makalah pertanahan

62
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasca berakhirnya kekuasaan orde baru pada bulan Mei 1998, muncul berbagai tuntutan perubahan disegala bidang, dan salah satu yang menjadi tuntutan pokok adalah adanya reformasi bidang politik, hukum dan ketatanegaraan, yaitu adanya keinginan untuk melakukan amandemen Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam kaedah ilmu hukum tata negara maupun ilmu politik, salah satu cara perubahan konstitusi atau UUD 1945 adalah dengan sistem amandemen. Keinginan untuk melakukan perubahan atas UUD 1945 tersebut disampaikan melalui dua cara yaitu, dengan melakukan perubahan total atau secara keseluruhan dan ada pula yang menghendali dilakukan perubahan sebagian atau dengan cara melakukan amandemen. 1 1 Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty, Yogyakarta: 2000, Hlm. 28.

description

Pertanahan

Transcript of makalah pertanahan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pasca berakhirnya kekuasaan orde baru pada bulan Mei 1998, muncul

berbagai tuntutan perubahan disegala bidang, dan salah satu yang menjadi

tuntutan pokok adalah adanya reformasi bidang politik, hukum dan

ketatanegaraan, yaitu adanya keinginan untuk melakukan amandemen Undang-

undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam kaedah ilmu

hukum tata negara maupun ilmu politik, salah satu cara perubahan konstitusi

atau UUD 1945 adalah dengan sistem amandemen. Keinginan untuk melakukan

perubahan atas UUD 1945 tersebut disampaikan melalui dua cara yaitu, dengan

melakukan perubahan total atau secara keseluruhan dan ada pula yang

menghendali dilakukan perubahan sebagian atau dengan cara melakukan

amandemen.1

Sebagai buah dari reformasi nasional tahun 1998, UUD 1945 telah

mengalami beberapa kali perubahan yang dilaksanakan secara bertahap, yakni

pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Dengan perubahan-perubahan itu,

pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar mengalami

pergeseran dan perubahan mendasar, sehingga mengubah pula corak dan format

kelembagaan serta mekanisme hubungan antara lembaga-lembaga negara yang

ada karena dengan adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 terdapat

1 Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty, Yogyakarta: 2000, Hlm. 28.

2

organ negara yang sebelumnya ada dihapuskan dari ketentuan Undang-Undang

Dasar, misalmya, Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang sebelumnya diatur

dalam pasal 16 bab VI ditiadakan dari naskah Undang-Undang Dasar. Di

samping itu, ada pula organ negara yang sebelumnya tidak ada justru diadakan

menurut ketentuan yang baru, seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD),

Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY).2

Salah satu buah reformasi sebagaimana amandemen UUD 1945 adalah

dibentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi

menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga

konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak

rakyat dan cita-cita demokrasi.3

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman,

disamping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1)

dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal

ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan

kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga

lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.4

Mahkamah Konstitusi menurut ketentuan Pasal 24C ayat (1) Amandemen

Ketiga Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, berwenang

2 Jimly Asshiddiqie, Dalam Kata Pengantar buku yang berjudul Undang Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Undang undang Republik Indonesia No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2005. Hlm. iii.

3 Arief Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasaan , dan Ideologi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hlm. 1.

4 Ibid., hlm. 9.

3

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final

untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus

perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Menurut ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 24 Tahun 2003

sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 8 Tahun 2012

Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi menyebutkan “Mahkamah Konstitusi berwenang

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final

untuk:

1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

3. memutus pembubaran partai politik; dan

4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 24 Tahun

2003 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 8 Tahun

2012 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, salah satu kewenangan Mahkamah

4

Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Sejak dikeluarkannya Undang-undang No. 12 Tahun 2008 yang merupakan

perubahan kedua atas Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, kewenangan Mahkamah Konstitusi ditambah satu lagi yakni memeriksa

dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) yang sebelumnya

menjadi kompetensi Mahkamah Agung. Pengalihan wewenang peradilan

sengketa hasil pilkada ini merupakan konsekuensi dari ketentuan Undang-

undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang menempatkan

pilkada ke dalam rezim pemilihan umum.5

Dengan adanya perubahan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tersebut,

Mahkamah Konstitusi kemudian membuat aturan yang dijadikan pedoman

beracara dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah, yakni Peraturan Mahkamah Konstitusi No, 15 Tahun

2008. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sebagaimana

di atur dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) Amandemen Ketiga Undang-undang

Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang

No. 24 Tahun 2003 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-undang

No. 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 24 Tahun 2003

Tentang Mahkamah Konstitusi tersebut kemudian juga di atur dalam ketentuan

Pasal 13 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15 Tahun 2008 Tentang

5 Moh. Mahfud MD, Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Hukum No. 4, Vol. 16, Oktober 2009, Hlm. 444.

5

Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah,

yang bunyinya “Putusan Mahkamah bersifat final dan mengikat”.

Secara harfiah kata bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum

masing-masing. Frase final diartikan sebagai terakhir dari rangkaian

pemeriksaan, sedangkan frase mengikat diartikan sebagai mengeratkan dan

menyatukan.6 Arsyad Sanusi menjelaskan perbedaan putusan Mahkamah

Konstitusi dengan Mahkamah Agung. Dikatakan Arsyad, putusan Mahkamah

Konstitusi bersifat erga omnes yang berarti mengikat dan harus dipatuhi oleh

setiap warga negara. Selain itu putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final,

tidak ada lagi upaya hukum seperti banding, kasasi dan lainnya. Sedangkan

putusan Mahkamah Agung bersifat inter partes yang hanya mengikat para pihak

bersengketa dan lingkupnya merupakan peradilan umum, diperkenankan

melakukan upaya hukum seperti banding, kasasi dan lainnya.7

Sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

menuntut kepada para Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memberikan putusan

yang benar, tepat serta dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi

para pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi disisi lain,

kewenangan Komisi Yudisial sebagai lembaga yang memiliki kewenangan

untuk melakukan pengawasan terhadap hakim sebagai pelaksana kekuasaan

kehakiman termasuk hakim pada Mahkamah Konstitusi dipangkas melalui

putusan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi No : 005/PUU-IV/2006, 6 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka,

Jakarta, 2001, hlm. 317.7 “Putusan MK Bersifat Erga Omnes”, 19 Mei 2010,

http://www.mahkamahkonsitusi.go.id.

6

tertanggal 23 Agustus 2006, yang dibuat berdasarkan permohonan pengujian

atas Undang-undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial oleh 30 orang

Hakim Agung. Alasan Mahkamah Konstitusi memangkas berbagai kewenangan

Komisi Yudisial tersebut antara lain, belum adanya kriteria yang jelas tentang

perilaku hakim sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum karena tumpang

tindih dengan pengawasan teknis yustisial yang dilakukan secara melekat oleh

pimpinan Mahkamah Agung sebagai lembaga pemegang kekuasaan kehakiman.8

Dengan pembatalan beberapa norma dalam Undang-undang No. 22 Tahun

2004 Tentang Komisi Yudisial yang berkaitan dengan pengawasan terhadap

Hakim Mahkamah Konstitusi menimbulkan kekosongan hukum dan ketiadaan

aturan siapa yang dapat mengawasi Hakim Mahkamah Konstitusi secara

ekternal.

Disisi lain dalam praktiknya, sebagaimana tertuang dalam beberapa

putusannya, Mahkamah Konstitusi cenderung memberikan putusan-putusan

yang kontroversial, dikatakan kontroversial karena Mahkamah Konstitusi telah

menciptakan norma hukum baru sesuai dengan keyakinan hakim (judge made

law).9 Mahkamah Konstitusi sering menerabas ketentuan-ketentuan formil yang

berkaitan dengan Hukum Acara. Dalam beberapa putusan perkara perselisihan

hasil Pemilukada, Mahkamah Konstitusi tidak jarang memberikan putusan yang

menciptakan norma hukum baru yang didasarkan atas penafsiran dan keyakinan

8 Mahfud, op. cit., 4459 Helmi Kasim, Syukri Asy’ari, Meyrinda R. Hilipito, Rio Tri Juli Putranto, Kompatibilitas

Metode Pembuktian dan Penafsiran Hakim Konstitusi dalam Putusan Pemilukada, Pusat Penelitian dan Pengkajian Kepaniteraan dan Kesekretarian Jenderal Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2011.

7

Hakim semata, sehingga tidak jarang putusan-putusan yang diberikan adalah

putusan yang ultra petita atau ultra vires.

Dalam beberapa Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi dalam perkara

perselisihan perhitungan hasil suara Pemilukada, Mahkamah Konstitusi

memberikan pertimbangan hukum yang menjadi norma baru untuk memperlebar

kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan mengadili perkara

tersebut, sebagai contoh dalam pertimbangan hukum putusan perkara

perselisihan hasil suara Pemilukada Kabupaten Tebo, Nomor :

33/PHPU.D-IX/2011, tanggal 13 April 2011, pada putusan tersebut Mahkamah

Konstitusi menurunkan pertimbangan hukum yang memperlebar

kewenangannya dalam memeriksa dan mengadilai perkara pemilukada,

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa dalam menangani sengketa Pemilu

ataupun Pemilukada perlu pemaknaan dan pandangan hukum yang memberikan

penafsiran yang luas demi tegaknya keadilan, Mahkamah Konstitusi tidak hanya

terpaku secara harfiah dalam memaknai Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004 juncto

UU 12/2008 dan Pasal 4 PMK 15/2008 yang pada pokoknya menyatakan bahwa

Mahkamah Konstitusi mengadili perkara Pemilukada terbatas hanya persoalan

hasil perolehan suara, yang selengkapnya Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004 juncto

UU 12/2008 menyatakan :

“Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang memengaruhi terpilihnya pasangan calon”, dan Pasal 4 PMK 15/2008 menyatakan, “Objek perselisihan Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon yang mempengaruhi: a. penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada; atau b. terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah”;

8

Mahkamah Konstitusi berpandangan, sebagai pengawal konstitusi dan

pemberi keadilan tidak dapat memainkan perannya dalam mewujudkan cita-cita

dan tujuan negara dalam memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi warga

masyarakat jika dalam menangani sengketa Pemilukada hanya menghitung

perolehan suara secara matematis. Sebab kalau demikian, Mahkamah Konstitusi

tidak dapat atau dilarang memasuki proses peradilan dengan memutus fakta

hukum yang nyata-nyata terbukti tentang terjadinya suatu tindakan hukum yang

menciderai hak-hak asasi manusia, terutama hak politik. Lebih dari itu, apabila

Mahkamah Konstitusi diposisikan untuk membiarkan proses Pemilu ataupun

Pemilukada berlangsung tanpa ketertiban hukum maka pada akhirnya sama saja

dengan membiarkan terjadinya pelanggaran atas prinsip Pemilu yang Luber dan

Jurdil. Jika demikian maka Mahkamah Konstitusi selaku institusi negara

pemegang kekuasaan kehakiman hanya diposisikan sebagai “tukang stempel”

dalam menilai kinerja Komisi Pemilihan Umum. Jika hal itu terjadi berarti akan

melenceng jauh dari filosofi dan tujuan diadakannya peradilan atas sengketa

hasil Pemilu atau Pemilukada tersebut. Terlebih lagi banyak fakta tentang

terjadinya pelanggaran yang belum dapat diselesaikan oleh peradilan umum

karena waktu penyelidikan atau penyidikannya telah habis, sedangkan KPU dan

KPU Provinsi/Kabupaten/Kota harus segera menetapkan hasil Pemilukada

sesuai dengan tenggang waktu yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.

Dasar konstitusional atas sikap Mahkamah yang seperti itu adalah ketentuan

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi

9

berwenang mengadili..., dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan

umum”. Di dalam ketentuan tersebut jelas dinyatakan bahwa Mahkamah

mengadili dan memutus “hasil pemilihan umum” dan bukan sekadar “hasil

penghitungan suara pemilihan umum” saja. Mahkamah sebagai lembaga

peradilan menjadi lebih tepat jika mengadili “hasil pemilihan umum” dan bukan

sebagai peradilan angka hasil penghitungan suara, melainkan sebagai peradilan

yang mengadili masalah-masalah yang juga terjadi dalam proses-proses

pelaksanaan Pemilu dan Pemilukada.

Akan tetapi sikap Mahkamah Konstitusi tersebut ternyata juga

menimbulkan ketidakpastian hukum dan terkesan mengenyampingkan rasa

keadilan masyarakat, mengingat sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final

dan mengikat. Masih segar diingatan kita ketika Mahkamah Konstitusi

memutuskan untuk mendiskualifikasi salah satu pasangan calon yang dinyatakan

menang oleh KPUD dalam Pemilukada Kotawaringin Barat, putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut jelas menerabas koridor hukum yang sebenarnya hanya

memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan

memutus perselisihan hasil perhitungan suara Pemilukada bukan untuk

mendiskualifikasi salah satu pasangan calon, putusan Mahkamah Konstitusi

tersebut akhirnya menimbulkan konflik sosial di Kabupaten Kotawaringin Barat

yang berujung kepada pembakaran rumah dinas Bupati Kotawaringin Barat.

Selain itu paska terbongkarnya kasus suap ketua Mahkamah Konstitusi dan

ditangkapnya ketua Mahkamah Konstitusi pada tanggal 2 Oktober 2013, yang

terkait dengan perkara pemilukada Kabupaten Gunung Mas menimbulkan

10

pertanyaan besar pada integritas dan kredibilitas Hakim Mahkamah Konstitusi

dan Mahkamah Konstitusi itu sendiri, dihadapkan dengan sifat final dan

mengikat atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

Keadaan-keadaan yang demikian tentu menimbulkan pertanyaan apakah

ketentuan mengenai putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan

mengikat tersebut telah selaras dengan asas keadilan sebagaimana tersurat dalam

ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa “Peradilan negara menerapkan

dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila”, dan apakah dapat

dilakukan peninjauan ulang atas putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat

final dan mengikat tersebut ditinjau dari teori hukum progresif.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan judul dan latar belakang masalah di atas, maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah dibenarkan melakukan upaya peninjauan ulang atas putusan

Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat tersebut jika ditinjau

berdasarkan teori hukum Sadjipto Raharjo ?

C. Tujuan Penulisan

Dari perumusan masalah tersebut diatas, maka dapat dirumuskan beberapa

tujuan penulisan dalam penulisan ini adalah:

11

1. Untuk mengetahui apakah dibenarkan melakukan upaya peninjauan ulang

atas putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat tersebut

jika ditinjau berdasarkan teori hukum Sadjipto Raharjo.

BAB II

PEMBAHASAN

12

Sebelum menjawab permasalahan mengenai apakah putusan Mahkamah

Konstitusi yang bersifat final dan mengikat khusus dalam sengketa pemilukada

telah selaras dengan asas keadilan dalam penerapan dan penegakan hukum

sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman dan dilakukannya upaya peninjauan ulang atas

putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat tersebut jika

dikaitkan dengan teori hukum Sadjipto Raharjo maka sebaiknya dalam makalah

ini Penulis uraikan tentang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia serta

kewenangan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi (MK).

A. Lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia

Dalam sejarah dunia, pembentukan mahkamah konstitusi sebagai lembaga

yang tersendiri atas dasar kebutuhan adanya suatu pengadilan yang secara

khusus melakukan pengujian terhadap produk undang-undang (dalam istilah

Hans Kelsen, statute and customary law) yang bertentangan dengan konstitusi

(undang-undang dasar). Ide ini, bermula dari Prof. Hans Kelsen, guru besar

kenamaan dari Universitas Wina (Vienna) yang mengusulkan dibentuknya suatu

lembaga yang diberi nama ‘Verfassungsgerichtshoft’ atau Mahkamah Konstitusi

(Constitutional Court). Gagasan Kelsen ini, kemudian diterima dengan bulat dan

diadopsikan ke dalam naskah Undang-undang Dasar Tahun 1920 yang disahkan

dalam Konvensi Konstitusi pada tanggal 1 Oktober 1920 sebagai Konstitusi

Federal Austria.10 Menurut Hans Kelsen11, kemungkinan muncul persoalan

10 Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedberg, New York: Russell & Russell, 1961

11 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

13

konflik antara norma yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, bukan saja

berkaitan antara undang-undang (statute) dan putusan pengadilan, tetapi juga

berkaitan dengan hubungan antara konstitusi dan undang-undang. Ini adalah

problem inkonstitusionalitas dari undang-undang. Suatu undang-undang (statute)

hanya berlaku dan dapat diberlakukan jika sesuai dengan konstitusi, dan tidak

berlaku jika bertentangan dengan konstitusi. Suatu undang-undang hanya sah

jika dibuat berdasarkan ketentuan-ketentuan konstitusi. Karena itu diperlukan

suatu badan atau pengadilan yang secara khusus untuk menyatakan

inkonstitusionalitas dari suatu undang-undang yang sedang berlaku.

Dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, gagasan mengenai perlu

tidaknya dibentuk sebuah Mahkamah Konstitusi telah diwacanakan sebelum

Indonesia merdeka. Yaitu ketika sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha

Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tahun 1945. Ketika itu M. Yamin yang

merupakan salah satu anggota dari BPUPK berpendapat bahwa Mahkamah

Agung (MA) perlu diberi wewenang untuk menguji apakah undang-undang yang

dibuat oleh DPR tidak bertentangan dengan UUD, hukum adat yang diakui, atau

syariat agama Islam.12 Walaupun memang dalam pendapat tersebut tidak

disebutkan secara explisit keharusan membentuk sebuah Mahkamah Konstitusi,

akan tetapi secara implisit substansi pendapat M. Yamin tersebut mengarah

kepada hal itu.

12 Satya Arinanto, Mahkamah Konstitusi RI dan Konstitusionalisme Indonesia. Artikel ini disusun atas permintaan Hanns Seidel Foundation di Jakarta, sebagai suatu Ko-referensi Indonesia dari perspektif akademis terhadap penerbitan artikel-artikel Prof. Dr. Siegfried Bross dalam buku: “Hukum Konstitusi Republik Jerman; Beberapa Putusan Terpilih” yang diterbikan oleh Hanns Seidel Foundation bekerjasama dengan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 2008, Hlm, 2.

14

Akan tetapi ide M. Yamin tersebut banyak ditentang oleh beberapa

kalangan, salah satu orang yang paling menentang pada saat itu adalah Prof.

Soepomo. Prof. Soepomo membatah dengan dua alasan antara lain : pertama,

UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945)

tidak mempergunakan teori trias politika, karena menurut Prof. Soepomo

kewenangan pengujian atas undang-undang yang diwacanakan oleh M. Yamin

tersebut hanya terdapat pada negara-negara yang melaksanakan trias politika,

kedua, menurut Prof. Soepomo para ahli hukum Indonesia tidak memiliki

pengalaman mengenai hal itu sehingga ditakutkan tidak akan berjalan dengan

efektif.13

Gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi kembali mengemuka pasca

reformasi tahun 1998, refornasi yang salah satu agendanya adalah mewujudkan

kehidupan ketatanegaraan yang demokratis membawa implikasi terhadap

banyaknya ketentuan-ketentuan fundamental dalam UUD 1945 sebelum

perubahan yang dirubah. Seperti ditinggalkannya prinsip supremasi parlemen

yang substansinya menganggap Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

sebagai pelaku kedaulatan rakyat sepenuhnya dan sebagai penjelmaan seluruh

rakyat yang mempunyai kedudukan tertinggi dengan kekuasaan yang tidak

terbatas diganti dengan prinsip pemisahan kekuasaan dan ‘checks  and 

balances’.14

13 Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,Dalamhttp//www.jimly.com/makalah/namafile/10/Mahkamah_Konstitusi_dalam_Sistem_ketatanegaraan. doc

14 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Dalam www.jimly.com/makalah/namafile/24/kedudukan_mk-2.doc, Hlm. 8.

15

Perubahan UUD 1945 yang terjadi pada era reformasi tidak lagi

menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Menurut ketentuan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan

Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia

terdapat (setidaknya) 9 (sembilan) buah organ negara yang secara langsung

menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan organ

tersebut adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah,

(iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v)

Presiden, (vi) Wakil Presiden, (vii) Mahkamah Agung, (viii) Mahkamah

Konstitusi, dan (ix) Komisi Yudisial. Di samping kesembilan lembaga tersebut,

terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang datur kewenangannya  dalam 

UUD,  yaitu  (a)  Tentara  Nasional  Indonesia,  (b)  Kepolisian Negara Republik

Indonesia, (c) Pemerintah Daerah, (d) Partai Politik. Selain itu, ada pula lembaga

yang tidak disebut namanya, tetapi disebut fungsinya, namun kewenangan

dinyatakan akan diatur dengan undang-undang, yaitu: (i) bank central yang tidak

disebut namanya “Bank Indonesia”,  dan (ii) komisi  pemilihan  umum  yang

juga bukan nama karena  ditulis  dengan  huruf  kecil.  Baik  Bank  Indonesia 

maupun  Komisi  Pemilihan Umum yang sekarang menyelenggarakan kegiatan

pemilihan umum merupakan lembaga- lembaga independen yang mendapatkan

kewenangannya dari Undang-Undang.15

Dalam perkembangannya, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi

mendapat respon positif dan menjadi salah satu materi perubahan UUD yang

diputuskan oleh MPR. Setelah melalui proses pembahasan yang mendalam,

15 Asshiddiqie, ibid, Hlm.1.

16

cermat, dan demokratis, akhirnya ide Mahkamah Konstitusi menjadi kenyataan

dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 7B UUD

1945 hasil perubahan ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001.16

B. Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan

bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-

undang dasar. Disamping itu, ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah

negara hukum, yang menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasan

mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya, baik berdasarkan

hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.17

Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas maka salah satu substansi

penting perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang

berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka

menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan

kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.18

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman,

disamping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1)

dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal

ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan

16 www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.profilMK&id=1.17 Arief Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasaan , dan Ideologi, PT Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 1996, hlm. 1.18 Bambang Sutiyoso, SH. M.Hum, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 8.

17

kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga

lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.19

Sesuai ketentuan Pasal 2 Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi juga disebutkan, “Mahkamah konstitusi merupakan salah

satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 2 Undang-undang No. 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, dapat dicermati

bahwa mahkamah konstitusi merupakan lembaga yang mandiri di bidang

yudisial. Kedudukan mahkamah konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman

dalam sistem kelembagaan negara di Indonesia dimaksudkan sebagai lembaga

yang mandiri untuk menyelenggarakan peradilan terhadap perkara-perkara

ketatanegaraan tertentu yang diatur menurut ketentuan pasal 7B jo pasal 24C

perubahan ketiga UUD 1945.20 Dengan demikian, pasca perubahan ketiga UUD

1945 kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh dua lembaga yaitu, Mahkamah

Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK), ini rrtinya Mahkamah Agung dan

Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan yang sejajar.21

19 Sutiyoso, ibid, Hlm.9.20Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik

Indonesia.Dalamhttp//www.jimly.com/makalah/namafile/10/Mahkamah_Konstitusi_dalam_Sistem_ketatanegaraan. doc

21 Dari segi kelembagaannya, menurut ketentuan UUD 1945 setelah perubahan keempat tahun 2002 dalam struktur kelembagaan RI terdapat delapan buah organ negara yang mempunyai kedudukan sederajat yang secara langsung menerima kewenangan konstitusional dari UUD. Kedelapan organ tersebut adalah; 1. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); 2.Dewan Perwakilan Daerah (DPD); 3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); 4. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); 5. Presiden dan Wakil Presiden; 6. Mahkamah Agung (MA); 7.Mahkamah Konstitusi (MK); dan 8. Komisi Yudisial (KY).  Kedelapan organ tersebut kewenangannya berdasarkan

18

Mahkamah Konstitusi menurut ketentuan Pasal 24C ayat (1) Amandemen

Ketiga Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, berwenang

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final

untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus

perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Menurut ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 24 Tahun 2003

sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 8 Tahun 2012

Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi menyebutkan “Mahkamah Konstitusi berwenang

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final

untuk:

1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

3. memutus pembubaran partai politik; dan

4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Kewenangan yang dimiliki Mahkamah konstitusi untuk menguji undang-

undang terhadap UUD sering disebut dengan istilah judicial review. Secara

perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power). Lihat dalam Ni’matul Huda. 2006. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Hlm. 151-152.

19

teoritik maupun praktek dikenal dua macam pengujian, yaitu pengujian formal

(formale toetsingsrecht) dan pengujian secara materiil (meteriele toetsingsrecht).

Pengujian formal ialah pengujian dengan cara menilai apakah produk legislatif

dibuat sesuai dengan prosedur atau tidak dan mengidentifikasi apakah suatu

kekuasaan berhak megeluarkan peraturan tertentu. Adapun yang dimaksud

dengan pengujian materiil ialah pengujian dengan cara menyelidiki dan menilai

apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak dengan

peraturan yang lebih tinggi.22 Dan menurut Prof. Mahfud hal ini didasarkan atas

alasan bahwa hukum adalah produk politik yang pasti tidak steril dari

kepentingan-kepentingan politik anggota lembaga yang membuatnya sehingga

sangat potensial mengandung penyimpangan-penyimpangan.23

Kewenangan Mahkamah Konstitusi selanjutnya adalah memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sengketa kewenangan

lembaga negara yang dimaksud adalah pertama, merupakan sengketa

kewenangan antar lembaga, kedua, keweangannya diberikan oleh Undang-

Undang Dasar, dan ketiga, lembaga negara tersebut memiliki kepentingan

lansung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.24

Esensi kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945

tersebut adalah merupakan cerminan suatu fungsi kontrol dari badan peradilan

22 Fatkhurrohman, Dian Aminudin dan Sirajudin, Memahami Keberadaan  Mahkamah Konstitusi di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hlm.23.

23 Moh. Mahfud, MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: LP3ES, 2006, Hlm. 37.

24 Fatkhurrohman dkk, Op.Cit, hlm. 37.

20

terhadap penyelenggaraan kekuasaan oleh lembaga negara yaitu dengan

menempatkan kekuasaan yang menjadi kewenangan lembaga negara sesuai

dengan proporsi atau ruang lingkup kekuasaan yang diatur menurut UUD.25

Kewenangan ketiga yang diberikan oleh Undang-Undang terhadap

Mahkamah Konstitusi adalah kewenangan untuk memutus pembubaran partai

politik. Esensi dari kewenangan ini adalah juga merupakan fungsi kontrol

terhadap partai politik. Apabila suatu partai politik diputuskan pembubarannya

oleh Mahkamah Konstitusi, maka keberadaan partai politik yang bersangkutan

secara hukum tidak lagi diakui. Putusan Mahkamah Konstitusi juga merupakan

syarat mutlak bagi pemerintah untuk membubarkan partai poltik tertentu.26

Kewenangan keempat yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah

kewenangan untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Esensi

dari kewenangan ini adalah penilaian terhadap perhitungan hasil pemilihan

umum yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum.27 Adapun pihak-pihak

yang berhak untuk mengajukan permohonan ini antara lain :

1. Perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan

Daerah

2. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilu Presiden dan

Wakil Presiden, dan

3. Partai politik peserta pemilu.28

25 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay. 2006. Mahkamah Konstitusi; Memahami Keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Hlm 36-37.

26 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, ibid, hlm. 36-37.27 Ibid, hlm.39.28 Fatkhurrohman dkk, Op.Cit. hlm. 50. Lihat juga ketentuan pasal 74 ayat (1) Undang-

Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

21

Selain kewenangan-kewenangan sebagaimana tersebut di atas, menurut

ketentuan Pasal 24C ayat (2) Amandemen Ketiga UUD 1945, Mahkamah

Kosntitusi juga diberikan kewenangan untuk memberikan putusan atas pendapat

Dewan Perwaklian Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau

Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.29 Putusan Mahkamah konstitusi

tersebut dapat dijadikan dasar hukum bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

untuk mengadakan rapat paripurna bersama Majelis Permusyawaratan Rakyat

dan meminta pertanggungjawaban Presiden/Wakil Presiden, hasil rapat

paripurna tersebutb dapat dijadikan pertimbangan oleh MPR untuk

memberhentikan atau tidak Presiden/Wakil Presiden.30

Selain itu, dikeluarkannya Undang-undang No. 12 Tahun 2008 yang

merupakan perubahan kedua atas Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, kewenangan Mahkamah Konstitusi ditambah satu lagi

yakni memeriksa dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada)

yang sebelumnya menjadi kompetensi Mahkamah Agung. Pengalihan

wewenang peradilan sengketa hasil pilkada ini merupakan konsekuensi dari

ketentuan Undang-undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

yang menempatkan pilkada ke dalam rezim pemilihan umum.31

Dengan adanya perubahan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tersebut,

Mahkamah Konstitusi kemudian membuat aturan yang dijadikan pedoman

beracara dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum Kepala Daerah dan

29 Lihat ketentuan Pasal 24C ayat (2) Amandemen Ketiga UUD 1945. 30 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Op.Cit, hlm. 39-40. Lihat juga Pasal 3 ayat (3) jo

Pasal  7A jo Pasal 7B ayat (1), (6), dan ayat (7)  Amandemen Ketiga UUD 1945.31 Moh. Mahfud MD, Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah

Konstitusi, Jurnal Hukum No. 4, Vol. 16, Oktober 2009, Hlm. 444.

22

Wakil Kepala Daerah, yakni Peraturan Mahkamah Konstitusi No, 15 Tahun

2008. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sebagaimana

di atur dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) Amandemen Ketiga Undang-undang

Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang

No. 24 Tahun 2003 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-undang

No. 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 24 Tahun 2003

Tentang Mahkamah Konstitusi tersebut kemudian juga di atur dalam ketentuan

Pasal 13 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15 Tahun 2008 Tentang

Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah,

yang bunyinya “Putusan Mahkamah bersifat final dan mengikat”.

C. Putusan Mahkamah Konstitusi yang Bersifat Final dan Mengikat

dalam Prespektif Asas Keadilan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara

yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA).

Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 pasca Perubahan Keempat. Sebagai sebuah lembaga peradilan khusus yang

dibentuk melalui konstitusi, MK juga mempunyai karakter khusus. Kekhususan

tersebut juga terletak pada putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Pasal

24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

23

Sebagai sebuah lembaga peradilan khusus yang dibentuk melalui konstitusi,

Mahkamah Konstitusi mempunyai karakter khusus. Kekhususan tersebut juga

terletak pada putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Sifat putusan yang bersifat

final tersebut berarti putusan Mahkamah Konstitusi mau tidak mau harus

dilaksanakan dan tidak diperkenankan adanya upaya hukum lanjutan atas

putusan tersebut.

Sifat final tersebut juga berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi

langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam persidangan

dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh (inkracht van gewijsde). Sifat

mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan peradilan pada

umumnya. Jika di Peradilan Umum putusan hanya mengikat bagi para pihak

berperkara (interparties) maka putusan Mahkamah Konstitusi juga mengikat

bagi semua orang dan badan hukum yang ada di Indonesia.Sehingga putusan

Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negatif legislator yang bersifat erga

omnes.

Makna mengikat berarti memiliki akibat hukum bahwa para pihak yang

berperkara, dan para pihak tersebut harus menanggung akibat putusan tersebut.

Terkait dengan prinsip negara hukum dimana tujuan utama dari suatu negara

adalah terwujudnya supremasi hukum (supremacy of law), dimana untuk

mewujudkannya salah satunya adalah dengan menggunakan putusan hakim

sebagai tolak ukur moral dan yuridis.

24

Oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang mengikat

dan final maka putusan tersebut haruslah didasari oleh nilai-nilai filosofi dan

mempunyai nilai kepastian hukum yang mengikat, yang bertenggger pada nilai–

nilai keadilan. Sehingga putusan Mahkamah Konstitusi selalu menjunjung tinggi

nilai-nilai keadilan serta bermuara pada keadilan dan kepastian hukum. Keadilan

menjadi substansi utama yang idealnya menentukan putusan Mahkamah

Konstitusi.32

Sebagai organ kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi kehakiman,

Mahkamah Konstitusi juga bersifat independen, baik secara struktural maupun

fungsional. Untuk mendukung independensinya, berdasarkan ketentuan Undang-

Undang, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai mata anggaran tersendiri,

terpisah dari mata anggaran instansi lain. Hanya saja, sesuai dengan hukum

administrasi yang berlaku umum, ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja

kesekretariat-jenderalan dan kepaniteraan serta administrasi kepegawaian

Mahkamah Konstitusi tetap terikat kepada peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Hadirnya MK juga membawa harapan terwujudnya keadilan yang masih

belum ‘terfasilitasi’ dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia. Bahkan

terbentuknya MK menandai era baru dalam system kekuasaan kehakiman di

Indonesia, beberapa wilayah yang tadinya tidak tersentuh (untouchable) oleh

32 Mariyadi Faqih, “Nilai-Nilai Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat”, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3, Juni 2010, hal. 114

25

hukum, sekarang dapat dilakukan oleh MK, termasuk kewenangan-kewenangan

lainnya yang diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen.33

Sehingga, harapanpun kembali muncul dengan hadirnya lembaga hukum

yang salah satu tugasnya menjalankan fungsi menguji konstitusionalitas undang-

undang, yaitu MK menilai dan menguji norma UU apakah berlawanan dengan

konstitusi sebagai hukum tertinggi (fundamental law). Produk hukum seperti

undang-undang, meski ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR dengan cara

demokratis, akan tetapi belum tentu hasilnya mencerminkan nilai-nilai dari cita

hukum dan nilai-nilai konstitusi. Oleh karenanya dengan mengacu kepada

prinsip menegakkan keadilan substantif. Penegakan keadilan dalam proses

peradilan itulah yang saat ini digali MK sedalam-dalamnya untuk mewujudkan

keadilan substantif (substantive justice) di masyarakat dan tidak terbelenggu

dengan apa yang ditetapkan undang-undang (procedural justice).

Paradigma keadilan substantif mulai di blow up oleh MK dalam acara

Refleksi Kinerja MK 2009, jargon yang memprioritaskan subtansi keadilan itu

dilontarkan langsung oleh ketua MK, Prof. Mahfud MD. Alasan yang muncul

keharusan ditegakannya keadilan substantif karena keadilan berdasarkan hukum

tidak selalu terkait kepada ketentuan-ketentuan formal-prosedural. Hal itulah

yang kemudian menjadi acuan dalam diri hakim MK saat memberikan putusan

pada setiap perkara yang masuk ke lembaganya.

Keadilan substantif terfokus atau berorientasi kepada nilai-nilai fundamental

yang terkandung di dalam hukum. Sehingga hal-hal yang menitikberatkan

33 Bambang Sutiyoso, Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 6, Desember 2010, hlm. 26

26

kepada aspek prosedural akan di ‘nomorduakan’. Secara teoritik, keadilan

substantif dibagi ke dalam empat bentuk keadilan, yakni kedailan distributif,

kedalian retributif, kedilan komutatif, dan keadilan korektif. Kedilan distributif

menyangkut pengaturan dasar segala sesuatu, buruk baik dalam mengatur

masyarakat. Berdasarkan keadilan ini, segala sesuatu dirancang untuk

menciptakan hubungan yang adil antara dua pihak/masyarakat. Prinsip pokok

dalam keadilan distributif adalah setiap orang harus mendapat/andil/kesempatan

yang sama untuk memperoleh keadilan.34

Menarik untuk dikaji adalah beberapa putusan MK yang menekankan

bahwa putusannya mengedepankan aspek keadilan. Pertanyaan yang muncul

kemudian adalah, apakah MK dengan komposisi sembilan hakimnya benar-

benar memposisikan keadilan substantif sebagai garda terdepan?. Wajar saja

pertanyaan itu muncul mengingat hakim di lingkungan MK juga seorang

manusia yang tidak bisa dilepaskan dari kekhilafan, terlebih pasca

terbongkarnya kasus suap ketua Mahkamah Konstitusi dan ditangkapnya ketua

Mahkamah Konstitusi pada tanggal 2 Oktober 2013, yang terkait dengan perkara

pemilukada Kabupaten Gunung Mas menimbulkan pertanyaan besar pada

integritas dan kredibilitas Hakim Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah

Konstitusi itu sendiri.

Pertanyaan itu muncul setidaknya memiliki beberapa alasan, pertama,

parameter keadilan yang masih menimbulkan kontroversi. Keadilan adalah

pergulatan abadi manusia, baik itu secara teoritis maupun praksis, mulai era

34 Anang Zubaidy, Perspektif Keadilan Dalam Penyelesaian Sengketa Pemilukada di Mahkamah Konstitusi, Makalah, disampaiakn pada diskusi Rutin PSHK FH UII di Yogyakarta, 14 Januari 2011.

27

plato sampai abad akhir keduapuluh, persoalan keadilan tidak hentinya

diperdebatkan. Immanuel Kant melihat keadilan sebagai bagian dari kewajiban

moral yang tidak bisa dipertanyakan35. Keadilan berpijak pada tiga prinsip, yakni

tindakan yang bisa disetujui oleh semua orang, memperlakukan manusia sebagai

tujuan pada dirinya sendiri, dan berasal dari kebebasan. Keadilan adalah bagian

dari moralitas yang tegak berdiri di dalam sanubari manusia.

Sementara John Rawls melihat keadilan sebagai suatu sikap fair yang

didasarkan pada prinsip-prinsip rasional yang terukur. Artinya para filsuf masih

berdiskusi keras untuk memahami arti sesungguhnya keadilan, dan mencari

kemungkinan penerapan di masa yang terus berubah. Kedua, putusan MK yang

bersifat final dan mengikat. Konsekwensinya jelas bahwa putusan MK langsung

memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum

yang dapat ditempuh (final and binding). Sehingga tidak dikenal upaya hukum

terhadap putusan tersebut, mengingat adanya ketidak laziman tersebut, pastinya

akan berimplikasi kepada pencari keadilan. Persoalan ini tentunya menimbulkan

tanya bagaimana jika Mahkamah Konstitusi dalam putusannya melakukan

kesalahan fatal dan berakibat ada pihak lain yang dirugikan?.

Bagi sebagian kalangan, putusan yang final semacam itu justru tidak

mencerminkan keadilan. Alasannya, hakim berpeluang tidak luput dari

kekeliruan ataupun kekhilafan. Maka dari itu, setiap putusan hakim perlu

dimungkinkan untuk diadakan pemeriksaan ulang sehingga kekeliruan atau

kekhilafan yang terjadi dalam suatu putusan itu dapat diperbaiki menurut

35 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, cet. VIII, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 196.

28

semestinya. Jadi, idealnya memang setiap putusan hakim diberikan upaya

hukum, untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam putusan tersebut.

Upaya hukum diberikan untuk sesuatu hal tertentu yang melawan keputusan

hakim.

Ketiga, abstraknya parameter keadilan substantif. Berangkat dari perdebatan

panjang, baik dari segi teori dan praktis, nampaknya dalam memberikan

ketentuan atau ukuran konkret keadilan substantif masih belum sampai pada

muaranya. Sehingga tidak heran putusan yang dihasilkan MK menimbulkan

berbagai interpretasi, sebagian kelompok menafsirkan bahwa itu merupakan

bentuk keadilan yang diharapkan oleh masyarakat, hal ini mengingat lembaga

yudisial dan penegak hukum di negeri ini tidak ada lagi yang bisa diharapakan.

Maka, MK itulah yang dirasa masih konsisten mengedepankan nilai keadilan

kepada pencari keadilan. Namum tidak bisa dipungkiri dan wajar muncul dugaan

bahwa MK dalam memutus perkaranya adalah bentuk arogansi, bahkan

‘kediktatoran’ para hakim MK. Hal ini mengingat sejauh ini para hakim MK

tidak bisa di awasi oleh lembaga lain, dan masih debatable-nya rumusan

keadilan substantif tersebut. Apalagi ketika melihat ke depan berkenaan

komposisi hakimnya, memang sejauh ini para hakim yang duduk di lembaga

negara tersebut memiliki kapabilitas dan integritas yang dapat dipertanggung

jawabkan. Namun, ke depan kita tidak tahu siapa yang akan mengisi posisi

hakim di MK. Sehingga kekhawatiran akan adanya putusan yang semena-mena

dan cenderung arogan bisa saja muncul ketika hakimnya tidak memiliki moral

dan jiwa negarawan yang baik. Oleh karenanya, tidaklah heran ketika tuntutan

29

dan pertanyaanpun mencuat berkaitan dengan keadilan substantif yang di agung-

agungkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Terlepas dari itu semua, bahwa dalam implementasinya harus digunakan

asas prioritas, dimana prioritas pertama adalah keadilan, kemudian kemanfaatan,

dan terakhir barulah kepastian hukum. Sungguhpun dalam perkembangan

selanjutnya, dengan semakin kompleksnya kehidupan manusia di era modern,

pilihan prioritas yang sudah dibakukan kadang-kadang justru bertentangan

dengan kebutuhan hukum dalam kasus-kasus tertentu, sebab bisa jadi

kemanfaatan lebih diprioritaskan ketimbang keadilan dan kepastian hukum atau

mungkin dalam kasus tertentu kepastian hukumlah yang lebih diprioritaskan

ketimbang kemanfaatan dan keadilan.

D. Upaya Peninjauan Ulang Atas Putusan Mahkamah Konstitusi Yang

Bersifat Final dan Mengikat Menurut Teori Hukum Satjipto Raharjo

Putusan hakim dalam sebuah proses peradilan adalah sebagai solusi antar

benturan yang ada. Para pihak yang telah bersengketa bersepakat untuk

menyelesaikan di muka persidangan konstitusi. Ketika sudah dipasrahkan pada

sang hakim untuk memutus maka para pihak semestinya siap menerima apapun

yang diputuskan oleh hakim dan segala akibat hukum yang ditimbulkannya.

Putusan hakim konstitusi sendiri sebagai jawaban final dari permohonan para

pemohon terhadap undang-undang yang dilakukan pengujian.

Putusan MK bersifat final artinya putusan tersebut dapat langsung

dilaksanakan (eksekusi) serta tidak terdapat ruang untuk melakukan upaya

hukum terhadap putusan tersebut. Sifat final putusan MK tak lain merupakan

30

upaya untuk menjaga wibawa peradilan konstutusional. Sebab jika peradilan

konstitusi mengakomodasi adanya upaya hukum maka tak ubahnya peradilan

umum. Pada peradilan umum biasanya perkara yang diajukan upaya hukum

terhadap putusannya maka akan memakan waktu yang panjang sampai dengan

kasus tersebut selesai. Konsekwensinya maka para pihak akan tersandera baik

waktu, tenaga, maupun biaya. Tentunya hal tersebut bertentangan dengan asas

peradilan yang diselenggarakan secara cepat, dan biaya ringan. Sifat final

putusan juga mengacu pada keinginan untuk segera mewujudkan kepastian

hukum bagi para pencari keadilan. Penjelasan Pasal 10 UU MK menegaskan

bahwa Putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh

kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat

ditempuh.

Selain bersifat final putusan MK juga bersifat mengikat (binding). Sifat

mengikat tersebut berarti putusan MK sejak diputuskan oleh hakim telah

mempunyai kekuatan hukum. UU MK menentukan bahwa sifat binding putusan

MK melekat sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Artinya

sejak putusan tersebut keluar maka sudah berlaku dan segera dieksekusi.

MK adalah lembaga yang sangat besar kewenangannya dalam sistem tata

negara Indonesia pasca reformasi. MK adalah lembaga penjaga konstitusi,

benteng terakhir penegakan konstitusi, penjaga agar kehidupan bernegara di

Indonesia tidak melenceng dari yang digariskan dalam hukum dasar/konstitusi

(Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945). MK bisa disebut sebagai

lembaga yang secara relatif bisa dilihat “mengatasi” lembaga eksekutif dan

31

legislatif, karena apa yang dihasilkan oleh lembaga eksekutif dan legislatif bisa

dimentahkan oleh MK. Karena itu jika terjadi “apa-apa” di MK maka itu tentu

sangat berbahaya dan mengkhawatirkan, mengingat besarnya tanggungjawab

dan kewenangan yang ada di pundak para hakim MK, berikut besarnya harapan

dan kepercayaan masyarakat umum kepada lembaga MK.

Kewenangan MK yang begitu besar itu (yang diatur dalam pasal-pasal di

UUD 1945 dan pasal-pasal UU 24/2003 tentang MK ) antara lain bisa kita lihat

bahwa MK mempunyai kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD.

Disini kita lihat MK sebagai sebuah lembaga peradilan berwenang untuk

membatalkan suatu ayat, pasal, atau bahkan keseluruhan UU tersebut bilamana

bagian dalam UU tersebut bertentangan dengan konstitusi. Kita bisa bayangkan

bagaimana sebuah produk hukum yang dibuat bersama oleh DPR sebagai

perwakilan rakyat bersama pemerintah yang juga dipilih rakyat, bisa dibatalkan

oleh 9 orang hakim konstitusi ini. Kita juga bisa melihat pada kewenangan MK

yang lainnya, yaitu memutus sengketa pemilu (Termasuk pemilukada). Di sini

bisa kita lihat bahwa di tangan 9 hakim konstitusi, masa depan suatu daerah

digenggam. Siapakah yang akan menjadi kepala daerah di daerah tersebut akan

ditentukan oleh MK, jika hasil pemilukada itu digugat dan MK kemudian

menetapkan perhitungan pihak mana yang sah dan benar. Begitu pula dalam

pemilihan umum nasional, penentuan siapa yang menjadi wakil rakyat bahkan

siapa yang menjadi presiden RI pun berada di tangan MK, jika sekiranya hasil

pengumuman KPU mengenai pemilu tersebut digugat. Kemudian kewenangan

MK yang lainnya adalah memutus pembubaran partai politik. Bisa kita

32

bayangkan disini MK memegang kekuasaan yang sangat besar untuk merampas

hak asasi warga dalam berserikat dan berkumpul, yang salah bentuknya adalah

mendirikan parpol. Pasca tertangkapnya Akil oleh KPK terjadi proses

delegitimasi MK di mata publik. MK melakukan berbagai cara, mulai dari

memperbaiki standar pengamanan sidang hingga meminta pengacara tak

menggoda hakim dengan gelimang uang. Bahkan wacana untuk meninjau ulang

putusan MK terkait sengketa pemilukada semakin kencang dilayangkan berbagai

pihak di masyarakat maupun aparatur hukum lainnya berkenaan dengan sifat

final dan mengikatnya putusan MK.

Mahkamah Konstitusi berada di ujung tanduk. Lembaga yang dahulunya menjadi

tempat pengeluhan masyarakat atas ketimpangan undang – undang terhadap UUD 1945

dan keputusan – keputusan mengenai pilihan mereka terhadap pemimpin daerahnya,

kini mengalami degradasi kredibilitas. Perpu yang diterbitkan Presiden sebagai respon

atas kasus ini bertentangan dengan putusan MK sendiri pada 2006 lalu tentang

pengawasan terhadapnya oleh Komisi Yudisial. Pendapat tentang hukuman yang layak

bagi Akil Mochtar sebagai objek utama jatuhnya wibawa Mahkamah Konstitusi

menjadikan hal ini semakin menjadi – jadi. Sepintas, Mahkamah Konstitusi telah

mengalami keruntuhan “imunitas” dengan adanya operasi tangkap tangan oleh KPK ini.

Satu – satunya lembaga yang tidak mendapatkan pengawasan formal berdasarkan

undang – undang manapun juga, kini menjadi bulan – bulanan media, negarawan,

legislator, bahkan Presiden sendiri. Kredibilitas Mahkamah Konstitusi yang dahulunya

superior, sedang jatuh terjerembab ke jurang yang cukup dalam oleh perilaku satu orang

saja. Disini kontrol sosial masyarakat terhadap hukum memegang peranan penting

dalam setiap reaksi yang timbul dari pihak yang disebutkan tadi, yang akan

mengarahkan pada situasi yang secara kasat mata cenderung “chaotic”, tapi pada

33

akhirnya, saya cukup yakin, kontrol sosial masyarakat terhadap hukum jugalah yang

akan membawa situasi ini kembali pada jalur yang benar, entah dalam bentuk

“keruntuhan” Mahkamah Konstitusi, ataupun keberhasilan penjagaan kredibilitasnya di

mata masyarakat.36

Secara teoritis, final bermakna putusan MK berkekuatan hukum tetap

setelah selesai diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan tidak

terdapat upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan itu. Sifat mengikat

bermakna putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi seluruh

masyarakat Indonesia.

Menurut Bernard L. Tanja, akademisi Universitas Nusa Cendana Kupang,

Kalau jelas ada bau korupsi dalam putusan, maka putusan itu perlu dikoreksi

tentunya dengan menggunakan kacamata hukum progresif, selain itu kepastian

yang diperoleh melalui putusan hakim tak bisa dibaca sebagai kepastian an sich,

tetapi harus juga memberikan kepastian yang berkeadilan dan sudah saatnya

Hakim harus memberi tafsir baru pada final dan mengikat37

Istilah hukum progresif, diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, yang

dilandasi asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Satjipto Rahardjo

merasa prihatin dengan rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan

bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum

itu sendiri.

36 Lesza Leonardo Lombok, S.H., LL.M., Operasi Tangkap Tangan KPK: Runtuhnya “Imunitas” Mahkamah Konstitusi?. www. ManadoPost.com. Diunduh pada tanggal 31 Januari 2013

37 Muhammad Yasin. Menguji Sifat ‘Final dan Mengikat’ dengan Hukum Progresif. hukumonline.com . diunduh tanggal 31 Januari 2013

34

Adapun pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara cepat,

melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta

melakukan berbagai terobosan. Pembebasan tersebut di dasarkan pada prinsip

bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu tidak

ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk

harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.

Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut

berarti hukum progresif adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan

mengubah sistem hukum (termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila

perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta

menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.

Secara lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang melakukan

pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga

mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya

mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasa atau

keberpihakan dalam menegakkan hukum. Sebab menurutnya, hukum bertujuan

untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat.

Satjipto Rahardjo mencoba menyoroti kondisi di atas ke dalam situasi ilmu-

ilmu sosial, termasuk ilmu hukum, meski tidak sedramatis dalam ilmu fisika,

tetapi pada dasarnya tejadi perubahan yang fenomenal mengenai hukum yang di

rumuskannya dengan kalimat dari yang sederhana menjadi rumit dan dari yang

35

terkotak-kotak menjadi satu kesatuan. Inilah yang disebutnya sebagai pandangan

holistik dalam ilmu (hukum).38

Pandangan holistik tersebut memberikan kesadaran visioner bahwa sesuatu

dalam tatanan tertentu memiliki bagian yang saling berkaitan baik dengan

bagian lainnya atau dengan keseluruhannya.

Hukum progresif bermakna hukum yang peduli terhadap kemanusiaan

sehingga bukan sebatas dogmatis belaka. Secara spesifik hukum progresif antara

lain bisa disebut sebagai hukum yang pro rakyat dan hukum yang berkeadilan.

Konsep hukum progresif adalah hukum tidak ada untuk kepentingannya sendiri,

melainkan untuk suatu tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh karena itu,

hukum progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau

rechtsdogmatiek.

Aliran-aliran tersebut hanya melihat ke dalam hukum dan membicarakan

serta melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan

peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Hukum progresif bersifat

responsif yang mana dalam responsif ini hukum akan selalu dikaitkan pada

tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri .

Sehingga sudah saatnya para penegak hukum baik itu hakim, ahli hukum,

aparat hukum serta seluruh elemen masyarakat mulai untuk melakukan

terobosan baru atau tafsir-tafsir baru dengan teori hukum yang sudah ada

disesuaikan dengan fakta hukum yang terjadi dimasyarakat sekarang, termasuk

38 Anonim. Pengertian Hukum Progresif. "http://www.referensimakalah.com Lihat Juga atjipto Rahardjo, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, (Surakarta: Muhammadiyah Press University, 2004)

36

wacana peninjauan ulang terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat

final dan mengikat.

Jadi hukum harus melihat dinamika yang mewarnai masyarakat dan bersifat

fleksibel terhadap perubahan masyarakat sehingga adagium 'Hukum berjalan

terpincang-pincang di belakang masyarakat' dapat di atasi. Prof Tjip

mengkritalisasi apa yang dimaksud dengan hukum progresif dan paradigma yang

menopangnya, yaitu: Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan manusia

untuk hukum. Nilai ini menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari

hukum bukanlah hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang

pada keyakinan bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu

diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema

yang telah dibuat oleh hukum. Pasal-pasal yang ada dalam peraturan

perundangan-undangan harus dikontektualisasi dalam dinamika masyarakat agar

dapat mencapai keadilan masyarakat. Peraturan perundang-undangan tidak dapat

ditafsirkan secara litelar dan dogmatis atas dasar kepastian hukum.

kedua, Hukum Progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam

berhukum. Mempertahankan status quo berarti mempertahankan segalanya, dan

hukum adalah tolak ukur untuk semuanya. Pandangan status quo itu sejalan

dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Sehingga sekali undang-undang

menyatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali

hukumnya dirubah terlebih dahulu. Status quo yang dipertahankan lewat asas

kepastian hukum tidak hanya membekukan hukum, tetapi juga berpotensi besar

membekukan masyarakat.

37

Ketiga, Hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan

perilaku manusia dalam berhukum. Perilaku di sini dipengaruhi oleh

pengembangan pendidikan hukum. Selama ini pendidikan hukum lebih

menekankan penguasaan terhadap perundang-undangan yang berakibat

terpinggirnya manusia dari perbuatannya di dalam hukum.39

Namun kemudian permasalahan wacana peninjauan ulang terhadap putusan

Mahakamah Konstitusi yang seharusnya bersifat mengikat dan final ini kembali

lagi pandangan hukum masing-masing pihak, karena sampai sekarang masih

banyak juga para ahli hukum yang bersikeras bahwa peninjauan ulang putusan

Mahkamah Konstitusi oleh majelis yang memutus perkara itu juga adalah

sesuatu yang tidak logis. Jika putusan yang sudah final dan mengikat ditinjau

ulang, bagaimana pula dengan hak-hak yang sudah timbul dari putusan

sebelumnya.

Di sisi lain, banyak pula ahli hukum bahkan masyarakat di Indonesia yang

mendukung adanya peninjauan ulang putusan Mahkamah Konstitusi pasca

terbongkarnya kasus suap M. Akil Mochtar di MK. Tindak lanjutnya kemudian

adalah bagaimana sikap hakim lainnya yang berani berpola pikir out of the box

dalam menangani suatu perkara hukum yang fakta-faktanya tidak lagi dibahas

secara mendetil dalam sebuah aturan hukum yang ada.

39 Aditya Nugraha Iskandar. Paradigma Hukum Progresif. http://iskandarcentre.blogspot.com/favicon.ico. diunduh tanggal 1 Jauari 2014

38

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pasca terbongkarnya kasus suap ketua Mahkamah Konstitusi dan

ditangkapnya ketua Mahkamah Konstitusi pada tanggal 2 Oktober 2013, yang

terkait dengan perkara pemilukada Kabupaten Gunung Mas menimbulkan

pertanyaan besar pada integritas dan kredibilitas Hakim Mahkamah Konstitusi

dan Mahkamah Konstitusi itu sendiri, dihadapkan dengan sifat final dan

mengikat atas putusan Mahkamah Konstitusi serta isu peninjauan ulang terhadap

putusan MK tersebut.

Permasalahan peninjauan ulang putusan Mahkamah Konstitusi itu

sebenarnya bisa saja dilakukan jika menengok atau diselesaikan dengan

39

kacamata hukum progresif seperti teori yang telah dikemukakan oleh Prof.

Satjipto Raharjo.

Menurut beliau rumusan sederhana tentang hukum progresif, yaitu

melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam

hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk

menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Berangkat

dari asumsi bahwa hukum itu bukan hanya tatanan determinatif yang sengaja

dibikin (rule making) tetapi dalam kehidupannya hukum mengalami benturan,

kelokan dan terantuk-antuk, sehingga untuk mencapai tujuannya yang tertinggi

perlu dilakukan terobosan-terobosan (rule breaking) sudah saatnya para hakim

befikir out of the box.

B. Saran

Hendaknya kasus suap ketua Mahkamah Konstitusi menjadi pelajaran bagi

semua elemen masyarakat khususnya para penegak keadilan yang cukup

menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia sangatlah lemah, sehingga

sebuah Mahkamah Konstitusi saja tertangkap tangan melakukan tindak pidana

korupsi. Sekarang ini kita tidak hanya bisa mengandalkan peraturan baku yang

sudah lama dibuat sehingga menundukkan kita semua kedalam aturan yang

senyatanya tidak sesuai dengan kondisi masyarakat kita sekarang.

Sudah saatnya para penegak keadilan lebih mengedepankan jiwa yang

berkeadilan sesungguhnya sehingga dapat mengembalikan kepercayaan

masyarakat kembali, para penegak keadilan sudah saatnya untuk bisa berpikir

40

diluar kebiasaan bukan karena alasan yang tidak jelas melainkan karena

kebutuhan serta fakta dilapangan yang juga berkembang seiring dengan

mobilisasi jaman.