Makalah Periodontitis Tutor 6
-
Upload
rezakhadafyparenrengi -
Category
Documents
-
view
446 -
download
50
description
Transcript of Makalah Periodontitis Tutor 6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Newman dkk., (2012) periodontitis adalah peradangan pada jaringan
pendukung gigi yang disebabkan oleh mikroorganisme tertentu atau kelompok
mikroorganisme tertentu, yang menghasilkan kerusakan ligamen periodontal dan
tulang alveolar dengan meningkatnya kedalaman poket periodontal. Tanda tanda
klinis terbentuknya poket periodontal seperti kemerahan, penebalan gingiva tepi,
perdarahan gingiva dan supurasi, kegoyahan gigi dan terbentuknya celah antar
gigi, rasa sakit lokal atau rasa sakit dalam tulang.
Penyebab utama dari periodontitis adalah akumulasi plak pada permukaan
gigi. Peradangan pada mulanya hanya mengenai jaringan gingiva dan bila
berkelanjutan akan mengenai ligamen dan tulang alveolar penyangga gigi. Karena
plak mengandung bakteri, infeksi yang terjadi dapat menyerupai abses dan
meningkatkan kerusakan tulang.
Periodontitis terjadi apabila inflamasi dan infeksi yang terjadi pada gingiva
(gingivitis) yang tidak dirawat atau perawatan yang tertunda. Infeksi dan
inflamasi dari gingiva menyebar ke ligamen dan tulang alveolar yang menyangga
gigi. Hilangnya dukungan menyebabkan gigi dapat terlepas dari soketnya.
Periodontitis merupakan penyebab utama tanggalnya gigi pada orang dewasa.
Penyakit ini jarang sekali terjadi pada anak anak tetapi meningkat seiring
bertambahnya usia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan periodontitis?
2. Bagaimana klasifikasi periodontitis?
3. Bagaimana tanda dan gejala klinis, histologist, dan radiografis dari jaringan
periodontal yang normal dan periodontitis?
4. Apa saja macam-macam alveolar bone loss?
1
5. Apa saja macam-macam pocket periodontal?
6. Bagaimana patogenesis gingivitis berkembang menjadi periodontitis?
7. Bagaimana perawatan dan pencegahan periodontitis?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi periodontitis
2. Untuk mengetahui klasifikasi periodontitis
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala klinis, histologis, dan radiografis dari
jaringan periodontal yang normal dan periodontitis
4. Untuk mengetahui macam-macam alveolar bone loss
5. Untuk mengetahui macam-macam pocket periodontal
6. Untuk mengetahui patogenesis gingivitis berkembang menjadi periodontitis
7. Untuk mengetahui perawatan dan pencegahan periodontitis
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Periodontitis
Periodontitis diartikan sebagai “penyakit yang dimana terjadi inflamasi pada
jaringan pendukung gigi yang disebabkan oleh mikroorganisme spesifik atau
sekelompok mikroorganismes pesifik, menghasilkan kerusakan yang progresif dari
ligament periodontal dan tulang alveolar, dengan terbentuknya pocket, resesi gingiva,
atau keduanya” (Carranza,
Periodontitis sebagai Manifestasi dari Penyakit Sistemik
Periodontitis dapat berhubungan dengan manifestasi penyakit sistemik seperti:
a. Penyakit hematologi
i) Acquired neutropenia
ii) Leukemias
iii) Lainnya
b. Kelainan genetik
i) Familial and cyclic neutropenia
ii) Down syndrome
iii) Leukocyte adhesion deficiency syndrome
iv) Papillon-Lefevre syndrome
v) Chediak-Higashi syndrome
vi) Histiocytosis syndromes
vii) Glycogen storage disease
viii) Infantile genetic agranulocytosis
ix) Cohen syndromes
x) Ehlers-Danlos Syndrome (Type IV dan VIII AD)
xi) Hypophosphatasia
xii)Lainnya
c. Lainnya yang tidakspesifik
3
2.2 Klasifikasi Periodontitis
KLASIFIKASI BENTUK
PERIODONTITIS
AAP International
Workshop for
Classification of
Periodontal Disease, 1992
Chronic
Periodontitis
Aggressive
periodontitis
Periodontitis as a
manifestation of
systemic disease
PERIODONTITIS KRONIS
Periodontitis kronis adalah tipe periodontitis yang paling sering terjadi.
Periodontitis kronis lebih sering terjadi pada orang dewasa, tetapi dapat ditemukan
juga di anak-anak. Periodontitis kronis dihubungkan dengan akulmulasi dari plak dan
kalkulus, dan biasanya memiliki tingkat progress penyakit yang slow-to-moderate,
tetapi kerusakan yang lebih cepat dapat ditemukan. Peningkatan tingkat progress
penyakit dapat disebabkan oleh faktor local, sistemik, atau lingkungan yang dapat
mengganggu interaksi host-bakteri normal. Faktor lokal dapat menyebabkan
akumulasi plak. Penyakit sistemik, seperti infeksi diabetes mellitus dan HIV dapat
menyerang pertahanan host. Dan faktor lingkungan, seperti rokok dan stress, dapat
juga menyerang respon host pada akumulasi plak. Periodontitis kronis atau dapat
terjadi sebagai penyakit general dimana lebih dari 30% yang terkena efeknya.
Penyakit ini dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan clinical attachment
loss.Slight: 1-2 mm, Moderate: 3-4 mm, atau severe: lebih dari 5 mm. Periodontitis
4
kronis menurut daerah yang terserang dibagi menjadi :Localized dengan<30% daerah
yang terserang. Dan Generalized dengan>30% daerah yang terserang
Periodontitis Agresif
Karakteristik umum pada pasien periodontitis agresif:
d. Secara klinis umumnya pasien sehat
e. Kehilangan perlekatan (attachment loss) dan destruksi tulang secara cepat
f. Jumlah deposit mikroba tidak konsisten dengan keparahan penyakit
g. Ada faktor keturunan dari individu
Karakteristik yang umum namun tidak universal:
a. Penyakit biasanya diinfeksi oleh Actinobacillus actinomycetemcomitans.
b. Abnormalitas dari fungsi fagosit
c. Hiper responsive makrofag, peningkatan produksi prostaglandin E2 (PGE2) dan
interleukin-1β
d. Pada beberapa kasus, progresifitasnyaself-arresting.
Periodontitis agresif dapat diklasifikasikan kedalam lokalisata dan generalisata
seperti berikut:
a. Lokalisata
i) Circum pubertal onset
ii) Lokalisasi pada molar pertama atau insisif dengan proksimal attachment loss pada
setidaknya 2 gigi permanen, salah satunya molar pertama.
iii) Respon antibody kuat terhadap agen infeksi
b. Generalisata
i) Biasanya mengenai pasien usia di bawah 30 tahun
ii) Attachment loss proksimal generalisata mengenai setidaknya 3 gigi lain selain molar
pertama dan insisif.
iii) Pronounced episodic nature dari destruksi periodontal
iv) Respon antibodi serum buruk terhadap agen infeksi.
5
2.3 Faktor Etiologi dan Predisposisi Periodontitis
2.3.1 Initial Factor
2.3.1.1 Plak Dental
A. Klasifikasi
Dental plak adalah deposit lunak berwarna putih kekuningan yang
tersusun dari garam-garam saliva dan koloni mikroorganisme mulut (pada
umumnya Streptococcus mutans). Dental plak merekat kuat pada
permukaan gigi dan lokasi tersering adalah pada daerah-daerah gigi yang
sulit terjangkau saat menggosok gigi seperti pada pit dan fissure dari gigi-
gigi premolar-molar atau pada daerah tersembunyi di samping gigi dengan
malposisi.
Berdasarkan lokasinya pada permukaan gigi, plak dental diklasifikasikan
atas:
1. Plak Supragingival
Plak supragingival adalah plak yang berada pada atau koronal dari
tepi gingiva. Plak supragingival yang berada tepat pada tepi gingiva
dinamakan secara khusus sebagai plak marginal.
2. Plak Subgingival
Plak subgingival adalah plak yang lokasinya apikal dari tepi gingiva,
diantara gigi dengan jaringan yang mendindingi sulkus gingiva.
Secara morfologis, plak subgingival dibedakan pula atas plak
subgingival yang berkaitan dengan gigi (tooth associated) dan plak
subgingival yang berkaitan dengan jaringan (tissue associated)
B. Proses Pembentukan Plak
Proses pembentukan plak dibagi atas tiga tahap, yaitu:
1. Pembentukan pelikel dental
Pada tahap awal ini permukaan gigi atau restorasi akan dibalut oleh
pelikel glikoprotein. Pelikel berfungsi sebagai penghalang protektif,
yang akan bertindak sebagai pelumas permukaan dan mencegah
6
desikasi jaringan. Di atas pelikel ini akan menempel berbagai macam
bakteri yang membentuk koloni. Komponen dari pelikel ini termasuk
di dalamnya adalah albumin, lisozim, amilase, imunoglobulin A,
protein kaya prolin dan mucin.
2. Kolonisasi awal pada permukaan gigi
Bakteri yang pertama-tama mengkoloni permukaan gigi yang dibalut
pelikel didominasi oleh mikroorganisme fakultatif gram-positif,
seperti Actinomyces viscous dan Streptococcus sanguis. Pengkoloni
awal tersebut melekat ke pelikel dengan bantuan adhesin, yaitu
molekul spesifik yang ada di permukaan bakteri. Adhesin akan
berinteraksi dengan reseptor pada pelikel dental. Setelah kolonisasi
awal permukaan gigi, plak meningkat oleh dua mekanisme yang
berbeda:
1) Multiplikasi bakteri sudah menempel pada permukaan gigi
2) Lampiran berikutnya dan multiplikasi spesies bakteri baru pada
sel-sel bakteri sudah hadir di plak massa.
3. Kolonisasi sekunder dan pematangan plak
Pengkoloni sekunder adalah mikroorganisme yang tidak turut sebagai
pengkoloni awal ke permukaan gigi yang bersih. Bakteri sekunder
yang terdapat pada pelikel gigi termasuk spesies Gram-negatif seperti
Fusobacterium nucleatum, Prevotella intermedia, dan spesies
Capnocytophaga. Organisme ini biasanya akan ditemukan dalam plak
setelah 1 sampai 3 hari akumulasi. Proses perlekatannya adalah
berupa interaksi stereokhemikal yang sangat spesifik dari molekul-
molekul protein dan karbohidrat yang berada pada permukaan sel
bakteri.
C. Struktur dan Sifat Fisiologis
Struktur plak supragingival adalah berupa kokus gram positif dan
bakteri batang yang pendek mendominasi permuakaan yang menghadap
gigi. Sedangkan bakteri batang dan filamen garm-negatif dan spirokheta
7
mendominasi permukaan luar plak matang. Pada sulkus gingiva atau saku
mengenang cairan sulkular yang mengandung banyak substansi yang bisa
dijadikan bahan makanan oleh bakteri. Plak yang berkaitan dengan gigi
ditandai dari kokus dan bakteri batang gram positif, termasuk diantaranya
Streptococcus mitis, S. sanguis,A. viscous, A.naeslundii, dan Eubakterium
sp. Plak yang berkaitan dengan jaringan tersusun lebih longgar
dibandingkan yang berkaitan dengan gigi. Bakteri yang terkandung pada
plak ini terutama bakteri batang dan kokus gram negatif disamping
filamen, bakteri batang berflagela, dan spirokheta. Berdasarkan hasil
pengkulturan bakteri yang dominan pada plak yang berkaitan dengan
jaringan adalah P. gingivalis,P. intermedia, Capnocytophaga ochracea.
Peralihan mikroorganisme pada struktur plak dental dari gram positif
ke gram negatif sejalan dengan peralihan fisiologis pada perkembangan
plak. Diantara bakteri yang ada pada plak dental berlangsung banyak
interaksi fisiologis. Pejamu juga merupakan sumber nutrisi yang penting.
D. Hubungan Antara Mikroorganisme Plak Dengan Penyakit Periodontal
Dahulu ada anggapan bahwa penyakit periodontal merupakan akibat
dari penumpukan plak yang terus berlangsung disertai penurunan respon
pejamu dan peningkatan kerentanan pejamu sehubungan dengan
bertambahnya usia seseorang. Kemudian berkembang dua konsep,
masing-masing hipotesa plak non-spesifik dan hipotesa plak spesifik.
1. Hipotesa Plak Non-spesifik
Dikemukakan tahun 1976 oleh Loesche. Berdasarkan hipotesa ini,
penyakit periodontal adalah berasal dari produk perusak (noxious
product) dari seluruh flora plak yang ada. Termasuk kedalam hipotesa
non-spesifik ini adalah konsep bahwa kontrol terhadap penyakit
periodontal adalah tergantung pada pengkontrolan jumlah
penumpukan plak dengan jalan perawatan lokal disertai prosedur
kebersihan mulut.
2. Hipotesa Plak Spesifik
8
Berdasarkan hipotesa plak spesifik, hanya bakteri plak tertentu yang
patogen, dan patogenitasnya tergantung pada keberadaan atau
peningkatan mikroorganisme yang spesifik. Pada setiap tipe penyakit
biasanya berperan 6-12 spesies bakteri patogen. Diterimanya hipotesa
plak spesifik berawal dari dikenalinya Actinobacillus
actinomycetemcomitans sebagai patogen pada periodontitis juvenil
lokalisata.
E. Komposisi Bakteri Plak
Komposisi utama plak dental adalah mikroorganisme. Diperkirakan
bahwa sebanyak 400 spesies bakteri yang berbeda dapat ditemukan dalam
plak. Selain sel-sel bakteri, plak mengandung sejumlah kecil sel epitel,
leukosit, dan makrofag. Sel-sel yang terkandung dalam sebuah matriks
ekstraseluler, yang terbentuk dari produk bakteri dan air liur. Matriks
ekstraselular mengandung protein, polisakarida dan lipid.
2.3.2 Faktor Predisposisi
2.3.2.1 Kalkulus
A. Klasifikasi
Kalkulus merupakan suatu endapan amorf atau kristal lunak yang
terbentuk pada gigi atau protesa dan membentuk lapisan konsentris.
Bakteri plak diperkirakan memegang peranan penting dalam pembentukan
kalkulus, yaitu dalam proses mineralisasi, meningkatkan kejenuhan cairan
di sekitarnya sehingga lingkungannya menjadi tidak stabil atau merusak
faktor penghambat mineralisasi.
Diketahui ada dua macam kalkulus menurut letaknya terhadap
gingival margin yaitu kalkulus supragingival dan kalkulus subgingival.
B. Komposisi
Kalkulus terdiri dari komponen anorganik (70%-90%) dan komponen
organik.
9
Kandungan anorganik
Komponen anorganik kalkulus supragingival terdiri dari 75,9%
kalsium posfat; 3,1% kalsium karbonat dan sejumlah kecil magnesium
posfat, dan logam lainnya. Komponen anorganik yang utama adalah
kalsium (39%); posfor (19%); karbondioksida (1,9%); magnesium (0,8%);
dan sejumlah kecil natrium, seng, stronsium, bron, tembaga, mangan,
tungsten, emas, aluminium, silikon, besi, dan fluor. Sedikitnya dua per tiga
komponen anorganiknya dalam bentuk kristal. Empat bentuk kristal yang
utama adalah :
Hidroksiapatit (sekitar 58%)
Magnesium whitlockite (sekitar 21%)
Oktakalsium posfat (sekitar 21%)
Brusit (sekitar 9 %)
Kandungan organik
Kalkulus supragingival terdiri dari komponen anorganik (70-90%)
dan komponen organik. Komponen organik kalkulus terdiri dari campuran
senyawa protein-polisakarida, sel-sel epitel yang deskuamasi, leukosit, dan
bernagai tipe bakteri. 1,9-9,1% komponen organiknya berupa karbohidrat ,
yang terdiri dari galaktosa, glukosa, ramnosa, mannosa, asam glukoronat,
galaktosamin, dan kadang-kadang arabinosa, asam galakturonat, dan
glukosamin.
Protein saliva merupakan 5,9%-8,2% dari komponen organik kalkulus dan
kebanyakan berupa asam amino. Lemak terdapat sejumlah 0,2% dari
kandungan organik dalam bentuk lemak netral, asam lemak bebas,
kolesterol,kolesterol ester, dan posfolipid.
Komposisi kalkulus subgingival mirip dengan komposisi kalkulus
supragingival dengan sedikit perbedaan. Pada kalkulus subgingival
kandungan hidroksiapatitnya sama, magnesium whitlockite lebih banyak,
brusit dan oktakalsium posfat lebih sedikit. Rasio kalsium; posfat adalah
lebih tinggi pada kalkulus subgingival, kandungan natrium meningkat
10
dengan semakin dalamnya saku periodontal. Protein saliva tidak dijumpai
pada kalkulus subgingival.
C. Mekanisme Perlekatan Kalkulus ke Permukaan Gigi
Ada 4 cara perlekatan kalkulus ke permukaan gigi :
1. Perlekatan dengan bantuan pelikel organik
2. Penetrasi bakteri kalkulus ke sementum
3. Perlekatan mekanis ke ketidakrataan pada permukaan gigi
4. Adaptasi rapat antara depresi/lekukan pada permukaan dalam kalkulus
ke penonjolan pada permukaan sementum yang tidak terganggu (masih
utuh)
D. Proses Pembentukan Kakulus
Kalkulus melekat ke plak dental yang telah mengalami mineralisasi.
Proses kalsifikasi mencakup pengikatan ion-ion kalsium ke senyawa
karbohidrat-protein dari matriks organik, dan pengendapan kristal-kristal
garam kalsium posfat. Kristal terbentuk pertama kali pada matriks interseluler
dan pada permukaan bakteri, dan akhirnya diantara bakteri
Kalsifikasi kalkulus dimulai sepanjang permukaan dalam plak supragingival
(dan pada komponen melekat dari plak supragingival) yang berbatasan dengan
gigi membentuk fokus-fokus yang terpisah. Fokus-fokus tersebut kemudian
membesar dan menyatu membentuk massa kalkulus yang padat. Kalsifikasi
tersebut dapat diikuti dengan perubahan kandungan bakteri dan kualitas
pewarnaan plak. Dengan adanya kalsifikasi, bakteri berfilamen bertambah
jumlahnya. Pada fokus-fokus kalsifikasi terjadi perubahan dari basofilia
menjadi eosinofilia; intensitas pewarnaan menunjukkan pengurangan reaksi
periodic acid-schiff positif dan sulfihidril dan grup amino, dan pewarnaan
dengan toluidin blue yang pada mulanya ortokromatik berubah menjadi
metakromatik dan menghilang. Kalkulus dibentuk lapis demi lapis, dimana
setiap lapis sering dipisahkan oleh kutikula yang tipis, yang kemudian
tertanam dalam kalkulus dengan berlangsungnya kalsifikasi.
E. Peranan Kakulus Sebagai Faktor Etiologi
11
Kalkulus secara langsung tidak berpengaruh terhadap terjadinya
penyakit periodontal; akan tetapi karena kalkulus terbentuk dan plak gigi yang
termineralisasi karena pengaruh komponen saliva, maka secara tidak langsung
kalkulus juga dianggap sebagai penyebab keradangan gusi (gingivitis). Regio
kalkulus yang telah dibersihkan dan plak gigi dan dipoles permukaannya
ternyata tidak menimbulkan keradangan gusi dibandingkan dengan regio
kalkulus yang tidak dipoles.
Banyak faktor yang merupakan predisposisi terbentuknya plak gigi.
Plak gigi dan kalkulus mempunyai hubungan yang erat dengan keradangan
gusi; bila keradangan gusi ini tidak dirawat, akan berkembang menjadi
periodontitis atau keradangan tulang penyangga gigi, akibatnya gigi menjadi
goyang atau tanggal. Tetapi akhir-akhir ini dilaporkan bahwa baik pada
penelitian klinis maupun epidemiologis ternyata tidak semua gingivitis selalu
berkembang menjadi periodontitis. Penyakit periodontal bersifat kronis dan
destruktif, umumnya penderita tidak mengetahui adanya kelainan dan datang
sudah dalam keadaan lanjut dan sukar disembuhkan.
Kalkulus dan gingivitis terdapat lebih banyak pada para perokok daripada
bukan perokok. Sedangkan Sheiham melaporkan bahwa para perokok
mempunyai skor plak, kalkulus dan derajat penyakit periodontal yang lebih
tinggi dibandingkan dengan bukan perokok.
2.3.2.2 Debris Makanan dan Materi Alba
A. Perbedaan Debris Makanan dan Materi Alba
Debris makanan adalah sisa-sisa makanan yang dicairkan oleh enzim-
enzim bakteri , dan dibersihkan dari rongga mulut setiap lima menit setelah
makan, tetapi sebagian tetap tinggal di permukaan gigi dan mukosa dan lebih
mudah dibersihkan daripada plak. Sedangkan materi alba adalah deposit
lunak, bersifat melekat, berwarna kuning atau putih keabu-abuan, dan daya
lekatnya lebih rendah dibandingkan plak dental.
12
Materi alba merupakan kumpulan mikroorganisme, sel-sel epitel
deskuamasi, lekosit, dan campuran protein saliva dengan lemak, dengan
sedikit atau tanpa partikel makanan, serta tidak mempunyai pola susunan yang
teratur. Debris makanan juga mengandung bakteri, namun berbeda dengan
bakteri coatings (plak dan materi alba). Debris makanan seharusnya
dibedakan dsri serat-serat yang terjerat di daerah interproximal pada daerah
timbunan makanan.
B. Peranannya sebagai Faktor Etiologi
Penumpukan materi alba cenderung pada sepertiga gingival gigi dan
pada gigi yang malposisi. Efek pengiritasian dari materi alba terhadap gingiva
adalah berasal dari bakteri dan produk bakteri.
2.3.2.3 Stein Dental
Stein adalah deposit berpigmen pada permukaan gigi. Secara primer
keberadaan stein merupakan masalah estetis. Stein terjadi akibat pigmentasi
pelikek perkembangan (pelikel yang membalut gigi pada masa pertumbuhan
dan erupsi gigi) atau pelikel akuid (pelikel yang didapat setelah gigi erupsi )
oleh bakteri kromogenik, makanan dan bahan kimia. Stein bervariasi dalam
hal warna, komposisi, dan kekuatan perlekatannya ke permukaan gigi.
2.3.2.4 Faktor Iatrogenik
A. Pengertian
Faktor-faktor iatrogenik adalah kesalahan pada restorasi atau protesa
yang bisa berperan dalam menyebabkan inflamasi gingiva dan perusakan
jaringan periodontal.
B. Jenis-Jenisnya
Tepi Restorasi
Tepi tumpatan yang overhanging berperan dalam terjadinya inflamasi
gingiva dan perusakan periodontal karena merupakan lokasi yang ideal bagi
penumpukan plak serta dapat mengubah keseimbangan ekologis sulkus
13
gingiva ke arah yang menguntungkan bagi organisme anaerob gram-negatif
yang menjadi penyebab penyakit periodontal. Meskipun restorasinya dibuat
dengan standard kualitas yang tinggi, apabila tepinya ditempatkan subgingival
akan meningkatkan penumpukan plak dan laju aliran cairan sulkular. Adanya
kekasaran pada daerah subgingiva akibat penempatan tepi restorasi pada
daerah subgingiva merupakan penyebab penumpukan plak dengan akibat
respon inflamasi yang ditimbulkannya.
Kontur Restorasi
Mahkota tiruan dan restorasi dengan kontur berlebih (overcontoured)
cenderung mempermudah penumpukan plak dan kemungkinan juga mencegah
mekanisme self-cleansing oleh pipi, bibir, dan lidah. Kontak proksimal yang
inadekuat, tidak dikembalikannya anatomi occlusal marginal ridge dan
developmental groove cenderung menimbulkan impaksi makanan.
Oklusi
Restorasi yang tidak sesuai dengan pola oklusal akan menimbulkan
disharmoni yang bisa mencederai jaringan periodontal pendukung.
Bahan Restorasi
Pada umumnya bahan restorasi tidak mencederai jaringan periodontal,
kecuali bahan akrilik self-curing. Yang terpenting adalah bahan restorasi
harus dipoles dengan baik agar tidak mudah ditumpuki plak.
Desain GTSL
Gigi Tiruan Sebagian Lepasan mempermudah penumpukan plak,
terutama apabila desainnya menutup gingiva. Gigi tiruan yang terus dipakai
sepanjang siang dan malam akan menginduksi lebih banyak pembentukan
plak dibandingkan gigi tiruan yang hanya digunakan pada siang hari saja.
Oleh karena itu, pemeliharaan kebersihan mulut bagi pengguna gigi tiruan
sangat penting untuk menghindari terjadinya gangguan terhadap gigi yang
masih ada serta jaringan periodonsiumnya.
Prosedur Kedokteran Gigi
14
Penggunaan klem rubber dam, cincin untuk matriks, dan disc yang
tidak baik bisa mencederai gingiva dengan akibat terjadinya inflamasi.
Separasi gigi yang terlalu memaksa dapat menimbulkan cedera pada jaringan
periodontal pendukung.
2.3.2.5 Perananan Piranti Ortodonti Sebagai Faktor Etiologi
Perawatan ortodonti bisa berperan dalam menimbulkan penyakit atau
kelainan pada periodonsuim dengan berabagai cara :
Retensi plak
Piranti ortodonti tidak saja cendrung mempermudah penumpukan plak
dental dan debris makanan dengan akibat timbulknya gingivitis, tetapi bisa
pula memodofikasi ekosistem gingiva. Dilaporkan bahwa setelah pemasanagn
cincin ortodonti terjadi peningkatan proporsi Prevotella melaninogenica,
Prevotela intermedia, dan Actinomyces odontolyticus, dan pengurangan flora
anaerob/fakultatif di dalam sulkus gingiva.
Iritasi dari cincin ortodonti
Pemasangan cincin ortodonti yang dipaksakan terlalu jauh ke daerah
subgingiva bisa menyebabkan terpisahnya gingiva dari akibat migrasi epitel
penyatu ke arah apikal sehingga timbul resesi gingiva.
Tekanan dari piranti ortodonti
Tekanan ortodonsi yang normal dapat diadaptasi periodonsuim berupa
remodeling. Tekanan yang berlebihan bisa menimbulkan nekrose jaringan
periodontal dan tulang alveolar, yang pada umumnya bisa mengalami
perbaikan apabila tekanannya dikurangi. Namun demikian, apabila kerusakan
melibatkan ligamen periodontal yang berada pada krista tulang alveolar,
kerusakannya adalah irreversible. Tekanan ortodonsi yang terlalu berlebihan
dapat pula menyebabkan resopsi pada apkes akar gigi.
2.3.2.6 Impaksi Makanan
15
Impaksi makanan adalah terdesaknya makanan secara paksa ke
jaringan periodonsium. Hubungan kontak proksimal yang utuh dan ketat
mencegah terdesaknya makanan secara paksa ke daerah interproksimal.
Lokasi kontak proksimal yang optimal dalam arah serviko oklusal adalah pada
diameter mesio distal terbesar dari gigi, dekat ke Krista marginal ridge. Tidak
adanya kontak atau kontak proksimal yang tidak baik kondusif bagi terjadinya
impaksi makanan.
Kontur permukaan oklusal yang dibentuk oleh marginal ridge dan
developmental groove secara normal akan mendeflesikan makanan menjauhi
ruang interproksimal. Apabila gigi menjadi aus dan permukaan oklusalnya
menjadi datar, maka efek mendesak dari tonjol(cusp) gigi antagonis ke ruang
interproksimal akan bertambah hebat dengan akibat terjadinya impaksi
makanan. Efek tonjol pendorong bisa timbul karena keausan gigi, atau karena
perubahan posisi gigi karena tidak digantinya gigi yang hilang.
Overbite anterior yang berlebihan merupakan salah satu penyebab
umum impaksi makanan di region anterior, dimana makanan akan terdesak ke
gingival pada permukaan vestibular gigi anterior mandibula atau permukaan
oral gigi anterior maksila.
Hirschfeld mengemukakan beberapa factor yang menjurus ke terjadinya
impaksi makanan yaitu:
1. Keausan oklusl yang tidak sama rata
2. Terbukanya titik kontak sebagai akibat hilangnya dukungan proksimal
atau karena estruksi
3. Abnormalitas morfologis congenital
4. Restorasi yang tidak baik konstruksinya
Ada juga impaksi makanan lateral dimana sumber tekanan yang
mendesak makanan adalah tekanan lateral dari pipi, lidah dan bibir. Impaksi
lateral lebih mudah terjadi apabila embrasure gingival menjadi besar karena
kerusakan jaringan akibat penyakit periodontal atau resesi. Dampak impaksi
16
makanan akan menimbulkan penyakit gingival, periodontal, dan memperhebat
keparahan penyakit yang telah ada.
2.3.2.7 Peranan Faktor-Faktor Berikut Sebagai Faktor Etiologi
1) Tidak Digantinya Gigi yang Hilang
Pencabutan gigi yang tidak disetai penggantian dengan gigi tiruan
dapat menimbulkan serangkaian perubahan yang menimbulkan dampak bagi
periodonsium. Apabila gigi molar pertama dicabut, perubahan awal yang
terjadi adalah drifting ( bergesernya) dan tilting (miring) gigi molar kedua dan
ketiga mandibula, dan ekstrusinya molar pertama maksila. Tilting gigi
posterior juga menyebabkan berkurangnya dimensi vertical dan bertambahnya
overbite anterior. Gigi anterior mandibula meluncur pada gingival sepanjang
permukaan oral gigi anterior maksila dengan akibat posisi mandibula bergeser
ke distal. Selain itu, terjadi impaksi makanan dan pembentukan saku pada gigi
anterior. Drifting premolar kedua mandibula ke distal menyebabkan terjadinya
impaksi makanan.
2) Maloklusi dan Malposisi Gigi
Gigi-geligi yang tidak teratur menyebabkan control plak sukar bahkan
bias tidak mungkin bias dilakukan. Resesi gingival bias terjadi pada gigi
labioversi. Disharmoni oklusal yang disebabkan maloklusi dapat mencederai
periodonsium. Overbite yang berlebihan sering menyebabkan iritasi gingival
pada rahang antagonis. Openbite bisa menjurus ke perubahan periodontal
yang disebabkan penumpukan plak dan hilangnya fungsi.
2.3.2.8 Kebiasaan Buruk yang Bisa Berperan Sebagai Faktor Etiologi
Jenis-jenisnya,yaitu :
(1) Bernapas dari mulut
(2) Mendorong-dorongkan lidah
(3) Penggunaan tembakau
(4) Trauma sikat gigi dan alat pembersihnya
17
(5) Kebiasaan parafungsi atau bruksim
(6) Neurosis
(7) Kebiasaan berkaitan dengan okupasi
2.3.2.9 Faktor Bahan Kimia dan Radiasi
A. Bahan kimia
Obat kumur yang terlalu keras efeknya, tablet aspirin yang
diletakkan pada kavitas gigi yang sedang berdenyut, obat-obatan dengan
efek membakar, dan kontak tidak sengaja dengan bahan kimia seperti
fenol dan perak nitrat bisa menimbulkan inflamasi akut dengan ulserasi
pada gingiva.
B. Efek radiasi
Khususnya dijumpai pada penderita kanker rongga mulut atau
disekitar kepala dan leher yang mendapat perawatan dengan radiasi. Radiasi
bisa menyebabkan pembentukan eritema dan deskuamasi mukosa termasuk
gingiva. Apabila radiasinya berlangsung lama bisa menyebabkan atrofi epitel,
jaringan ikat menjadi fibrous dengan pembuluh darah yang berkurang
jumlahnya. Pada tulang alveolar bisa terjadi degenerasi dan berkurangnya
osteoklas dan osteoblast. Akibat perubahan tersebut tulang menjadi tempat
masuknya infeksi dengan akibat terjadinya osteoradionekrosis. Radiasi juga
menyebabkan atrofi kelenjar saliva sehingga terjadi xerostomia dengan akibat
perubahan flora oral yang menjurus ke pembentukan karies.
2.3.2.10 Faktor Nutrisi Sebagai Faktor Etiologi Sistemik
Ada dua kesimpulan dari hasil-hasil penelitian mengenai efek nutrisi
terhadap jaringan periodonsium, yaitu ada defisiensi nutrisi tertentu yang
menyebabkan perubahan pada jaringan periodonsium, perubahan mana
dikategorikan sebagai manifestasi penyakit nutrisi pada periodonsium, dan
tidak ada defisiensi nutrisi yang sendirian saja dapat menimbulkan gingivitis
atau pembentukan saku periodontal. Namun demikian, ada defisiensi nutrisi
18
yang mempengaruhi kondisi periodonsium, sehingga memperparah efek dari
iritan local dan tekanan oklusal yang berlebihan.
Defisiensi Vitamin C
Disamping dapat menyebabkan scurvy, defisiensi vitamin C sering
dikaitkan dengan penyakit periodontal. Defisiensi vitamin C memperhebat
respon gingival terhadap plak dan memperparah oedema, pembesaran dan
pendarahan yang terjadi akibat inflamsi yang disebabkan plak. Ada
beberapa hipotesa mengenai mekanisme berperannya vitamin C pada
penyakit periodontal:
1. Level vitamin C yang rendah akan mempengaruhi metabolism kolagen
dalam periodonsium, sehingga mempengaruhi kemampuan regenerasi
dan perbaikan jaringan, namun belum ada hasil penelitian yang
mendukung hipotesa ini.
2. Defisiensi vitamin C menghambat pembentukan tulang yang akan
menjurus ke kehilangan tulang.
3. Defisiensi vitamin c meningkatkan permeabilitas epitel krevikular
terhadap dekstran tertritiasi; vitamin C dalam level yang tinggi
dibutuhkan untuk memelihara fungsi penghalang dari epitel terhadap
produk bakteri.
4. Peningkatan level vitamin C meningkatkan aksi kemotaksis dan aksi
migrasi lekosit, tanpa mempengaruhi aksi fagositosisnya; tampaknya
diperlukan megadosis vitamin c untuk memperbaiki aktivitas
bakterisidal lekosit.
5. Level vitamin C yang optimal diperlukan untuk memelihara integritas
mikrovaskulatur periodonsium, demikian juga respon vascular
terhadap iritasi bacterial.
6. Penurunan level vitamin C yang drastic bias mengganggu
keseimbangan ekologis bakteri dalam plak sehingga meningkatkan
patogenitasnya.
Defisiensi Protein
19
1. Terhambatnya aktivitas pembentukan tulang yang normal
2. Semakin parahnya efek destruktif dari iritan local dan trauma oklusal
terhadap jaringan periodonsium. Namun untuk dimulainya gingivitis
dan keparahannya adalah tergantung pada iritan lokal.
2.3.2.11 Peranan Penyakit Kelainan Endokrin Sebagai Faktor Etiologi Sistemik
Manifestasi jaringan periodontal dari penyakit sistemik bervarisi
tergantung penyakit spesifik, respon individual dan faktor lokal yang ada.
Faktor sistemik terlibat dalam penyakit periodontal dengan saling
berhubungan dengan faktor lokal. Faktor sistemik saja tidak bisa
menyebabkan respon keradangan pada penyakit periodontal,tetapi harus ada
faktor lokal yang mendukung.
Pada pasien kencing manis, bila faktor lokal pada rongga mulutnya
buruk, akan bisa menyebabkan gangguan yang lebih lanjut lagi, oleh karena
seorang dengan kencing manis mempunyai kelainan pada sistemiknya.
Ada beberapa hipotesa mengenai keterlibatan diabetes melitus
sebagai faktor etiologi penyakit gingiva dan periodontal, antara lain:
1. Terjadinya penebalan membran basal
Pada penderita DM membran basal kapiler gingiva mengalami
penebalan sehingga lumen kapiler menyempit. Menyempitnya lumen
kapiler akibat penebalan tersebut menyebabkan terganggunya difusi
oksigen, pembuangan limbah metabolisme, migrasi lekosit
polimorfonukleus, dan difusi faktor- faktor serum termasuk antibodi
2. Perubahan biokimia
Level cAMP, yang efeknya mengurangi inflamasi, pada penderita DM
menurun, hal mana diduga sebagai salah satu sebab lebih parahnya
inflamasi gingiva pada penderita DM.
3. Perubahan mikrobiologis
Peningkatan level glukosa dalam cairan sulkular dapat mempengaruhi
lingkungan subgingiva, yang dapat menginduksi perubahan kualitatif
20
pada bakteri yang pada akhirnya mempengaruhi perubahan
periodontal.
4. Perubahan imunologis
Meningkatnya kerentanan penderita diabetes melitus terhadap
inflamasi diduga disebabkan oleh terjadinya defisiensi fungsi lekosit
polimorfonukleus (LPN) berupa terganggunya khemotaksis,
kelemahan daya fagositosis, atau terganggunya kemampuannya untuk
melekat ke bakteri.
5. Perubahan berkaitan dengan kolagen
Peningkatan level glukosa bisa pula menyebabkan berkurangnya
produksi kolagen. Di samping itu, terjadi pula peningkatan aktivitas
kolagenase pada gingiva.
2.3.2.12 Peranan Kelainan atau Penyakit Darah Sebagai Faktor Etiologi
Sistemik
A. Leukimia
Leukemia adalah neoplasma maligna pada precursor sel darah putih.
Berdasarkan evolusinya, leukemia dibedakan atas bentuk:
1. akut, yang bersifat fatal;
2. subakut;
3. kronis.
Pada leukemia akut sel-sel leukemia menginfiltrasi gingival, dan
jarang sekali bisa infiltrasi ke tulang alveolar. Keadaan ini bisa menyebab
terjadinya pembesaran gingival (leukemic gingival enlargement).
Infiltrasi yang banyak dari sel-sel leukemik yang tidak matang
disamping sel-sel inflamasi yang biasa menyebabkan respon gingival
terhadap iritasi adalah berbeda dibandingkan dengan yang bukan penderita
leukemia.
21
B. Anemia
Anemia adalah defisiensi dalam defisiensi dalam kuantitas maupun
kualitas darah yang dimanifestasikan dengan berkurangnya jumlah eritrosit
dan hemoglobin.
Ada empat tipe anemia berdasarkan morfologi selulernya dan
kandungan hemoglobinnya, yaitu:
1. anemia makrositik hiperkromik (pernicious anemia);
2. anemia mikrositik hipokromik (iron deficiency anemia);
3. sickle cell anemia; dan
4. anemia normositik-normokromik (hemolytic anemia/aplastic anemia).
Diantara keempat tipe anemia tersebut, tampaknya anemia aplastik
yang turut berperan dalam etiologi penyakit gingival dan periodontal. Pada
tipe anemia ini kerentanan gingival terhadap inflamasi meningkat karena
terjadinya neutropenia.
2.3.2.13 Peranan Penyakit Lain Sebagai Faktor Etiologi Sistemik
A. Penyakit yang melemahkan
Penyakit yang melemahkan (debilitating diseases) seperti sifilis,
nefritis kronis, dan tuberkulosa bisa menjadi factor pendorong bagi
terjadinya penyakit gingival dan periodontal, dengan jalan melemahkan
pertahanan periodonsium terhadap iritan local, dan menimbulkan
kecenderungan terjadinya gingivitis dan kehilangan tulang alveolar.
B. Gangguan Psikosomatik
Dengan gangguan psikosomatik dimaksudkan efek merusak sebagai
akibat pengaruh psikis terhadap control organic jaringan. Ada dua cara
gangguan psikosomatik mempengaruhi periodonsium dan jaringan di
rongga mulut lainnya:
1. melalui timbulnya kebiasaan buruk yang dapat mencederai
periodonsium;
22
2. dengan efek langsung system saraf otonom terhadap keseimbangan
jaringan yang fisiologis.
Dibawah tekanan mental atau emosional, mulut akan menjadi
sasaran pemuasan bagi orang dewasa. Hal ini menimbulkan kebiasaan buruk
seperti: klensing; menggigit pensil, ballpoint, atau kuku; merokok secara
berlebihan; yang kesemuanya berpotensi mencederai
periodonsium. Meningkatnya aktivitas system saraf otonom oleh pengaruh
psikis antara lain bisa menyebabkan perubahan respon pada kapiler
gingival.
C. AIDS/ Infeksi HIV
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) ditandai dengan
penurunan system imunitas yang menyolok. Kondisi yang pertama kali
dilaporkan tahun 1981 adalah disebabkan oleh virus yang dinamakan human
immunodeficiency virus (HIV). Infeksi HIV menyebabkan gangguan
terutama terhadap sel-TH, disamping terhadap monosit, makrofag, dan
beberapa sel lainnya. Meskipun limfosit B tidak terpengaruh, namun akibat
terganggunya fungsi limfosit T akan menyebabkan deregulasi pada sel-
B. Penurunan system imunitas pada penderita yang terinfeksi HIV
menyebabkan peningkatan kerentanannya terhadap penyakit gingival dan
periodontal.
2.3.2.14 Peranan Obat-Obatan yang Berperan Sebagai Faktor Etiologi Sistemik
A. Jenis obat
Beberapa jenis obat dengan efek kerja yang berbeda dapat
menginduksi hyperplasia gingival non-inflamasi dengan gambaran klinis
yang tidak dapat dibedakan. Obat-obatan yang dimaksud adalah :
Fenitoin atau dilantin, suatu antikonvulsan yang digunakan dalam
perawatan epilepsi
Siklosporin, suatu imunosupresif yang biasa digunakan untuk mencegah
reaksi tubuh dalam pencangkokan anggota tubuh.
23
Nifedipin, diltiazem, dan verapamil, yaitu penghambat kalsium (calcium
blocker) yang digunakan dalam perawatan hipertensi.
B. Mekanisme berperannya
Mekanisme penginduksian hyperplasia gingival oleh obat-obatan
tersebut diatas atau oleh metabolitnya belumlah jelas betul, namun terlepas
darimana yang paling berperan ada beberapa hipotesa yang dikemukakan:
Pengaruh obat atau metabolit secara tidak langsung
Obat atau metabolit menstimulasi diproduksinya IL-2 oleh sel-T, atau
diproduksinya metabolit testosterone oleh fibroblast gingiva, yang pada
akhirnya akan menstimulasi proliferasi dan atau sintesa kolagen oleh
fibroblast gingiva
Pengaruh obat atau metabolit secara langsung
Obat/metabolit secara langsung menstimulasi proliferasi fibroblast
gingival, sintesa protein, dan produksi kolagen
Penghambatan aktivitas kolagenase
Obat/metabolit dapat menghambat aktivitas kolagenase hingga
penghancuran matriks akan terhambat
Penghambatan degradasi kolagenase
Obat/metabolit menstimulasi terbentuknya kolagenase fibroblastic
inaktif, dengan akibat degradasi kolagen akan terhambat
Faktor estetis
Akhir-akhir ini dihipotesakan adanya faktor genetis yang menentukan
kecenderungan bisa terjadi hyperplasia yang diinduksikan obat-obatan
pada seseorang.
2.4 Tanda dan Gejala Klinis Periodontitis
Gingiva biasanya mengalami inflamasi kronis. Penampakan luar sangat
bervariasi tergantung dari lamanya waktu terjadinya penyakit dan respons dari
jaringan itu sendiri. Warna gingiva bervariasi dari merah sampai merah kebiruan.
Konsistensinya dari odem sampai fibrotik. Teksturnya tidak stippling, konturnya
24
pada gingiva tepi membulat dan pada interdental gingiva mendatar. Ukurannya
rata-rata membesar, junctional epithelium berjarak 3-4 mm kearah apikal dari
CEJ. Tendensi perdarahan banyak, pada permukaan gigi biasanya terdapat
kalkulus diikuti dengan adanya eksudat purulen dan terdapat poket periodontal
yang lebih dari 2mm, terjadi mobilitas gigi.
Sumber : http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/periodontitis.pdf
Periodontal Sehat
Tanda-tanda gusi sehat, antara lain berwarna merah jambu dan pucat,
konsistensinya kenyal, dengan bentuk stipling. Jika gusi tampak bengkak, merah
kehitam-hitaman, dan mudah berdarah, atau menunjukkan tanda-tanda lain atau
gejala dari periodontitis, segera periksa ke dokter gigi. Semakin cepat dilakukan
perawatan, semakin baik kesempatan untuk mengembalikan kerusakan yang
terjadi oleh karena periodontitis, serta dapat mencegah pada perkembangan
penyakit yang lebih parah.
2.5 Tanda dan Gejala Histologis Periodontitis
Keadaan histopatologis pada periodontitis berbeda dengan gingivitis. Pada
periodontitis khas ditemukan adanya resorpsi tulang alveolar, proliferasi epitel
kearah apikal dan ulserasi junctional epithelium serta bertambahnya kehilangan
perlekatan jaringan ikat.
25
Pada fase akut kemungkinan adanya invasi bakteri kedalam jaringan dapat
menyebabkan terbentuknya abses. Pada periodontitis ringan kehilangan
perlekatan sudah terjadi pada gingiva cekat sampai dengan sepertiga panjang
akar. Untuk mengetahui lesi periodontitis secara klinis diperlukan pemeriksaan
tingkat kehilangan perlekatan.
Gambar: Histopatologi periodontitis
(sumber: http://www.scielo.br/scielo.php?pid=S1678-
77572010000400003&script=sci_arttext)
2.6 Tanda dan Gejala Radiografis Periodontitis
Penilaian secara keseluruhan dari jaringan periodontal adalah berdasarkan
pada kedua pemeriksaan klinis dan temuan radiografi - dua investigasi melengkapi
satu sama lain. Sayangnya, seperti banyak indikator lain dari penyakit periodontal,
radiografi hanya memberikan bukti retrospektif dari proses penyakit. Namun, mereka
dapat digunakan untuk menilai morfologi gigi yang terkena dan pola dan tingkat
kehilangan tulang alveolar yang telah terjadi. Kehilangan tulang dapat didefinisikan
sebagai perbedaan antara ketinggian kehadiran tulang septum dan asumsi ketinggian
tulang yang normal untuk setiap tertentu pasien, dengan usia ke rekening. Bahkan
radiografi benar-benar menunjukkan jumlah tulang alveolar yang tersisa dalam
26
kaitannya dengan panjang akar.Tapi informasi ini masih penting dalam penilaian
keseluruhan tingkat keparahan penyakit,prognosis gigi dan pengobatan perencanaan.
Oleh karena itu Radiografi digunakan untuk:
● Menilai tingkat kehilangan tulang dan furkasi
● Menentukan kehadiran setiap faktor penyebab sekunder lokal
● Menilai panjang akar dan morfologi
● Membantu dalam perencanaan perawatan
● Evaluasi tindakan pengobatan terutama menurut guided tissue regeneration (GTR).
Sebuah periodontium yang sehat dapat dianggap sebagai jaringan periodontal
jika menunjukkan tidak ada bukti penyakit. Sayangnya, kesehatan tidak bisa
dipastikan dari radiografi saja, informasi klinis juga yang dibutuhkan. Namun, untuk
mampu menginterpretasikan radiografi dengan berhasil, dokter perlu mengetahui
gambaran radiografi jaringan sehat di mana tidak ada kehilangan tulang. Satu-satunya
yang dapat diandalkan gambaran radiografi adalah hubungan antara margin tulang
crestal dan cemento-enamel junction (CEJ). Jika jarak ini dalam batas biasa (2-3
mm) dan tidak ada tanda-tanda klinis attachment loss, maka dapat dikatakan bahwa
tidak ada periodontitis.
Gambaran radiografi tulang alveolar yang sehat meliputi:
● Tipis, halus, corticated margin rata ke tulang crestal interdental di daerah posterior.
● Tipis, rata, pointed margin ke interdental tulang crestal di daerah anterior.
● Cortication di atas puncak tidak selalu jelas, karena terutama untuk sejumlah kecil
tulang antara gigi anterior.
● Tulang crestal interdental kontinu dengan lamina dura dari gigi yang berdekatan.
Merupakan persimpangan dua bentuk sudut yang tajam.
● Tipis, lebar rata ke mesial dan distal ruang ligamen periodontal.
27
Gambar ilustrasi radiografi periodontal yang sehat
Gambar radiografi teknik periapikal pada periodontal yang sehat
Periodontitis adalah nama yang diberikan untuk penyakit periodontal ketika
inflamasi superfisial di jaringan gingiva meluas ke tulang alveolar dan telah
kehilangan perlekatan (attachment loss). Penghancuran tulang dapat berupa lokal,
mempengaruhi beberapa daerah mulut, atau umum mempengaruhi semua bidang.
Dalam kronis periodontitis tingkat perkembangan ini dan destruksi tulang berikutnya
biasanya lambat dan terus sebentar-sebentar selama bertahun-tahun, sedangkan pada
periodontitis agresif itu biasanya cepat. Fitur radiografi dari berbagai bentuk
periodontitis yang sama; distribusi dan tingkat kerusakan tulang yang bervariasi.
Terminologi
Istilah yang digunakan untuk menggambarkan berbagai penampilan
destruksi tulang meliputi:
28
● kehilangan tulang horizontal
● kehilangan tulang Vertikal
● keterlibatan furkasi.
Istilah horisontal dan vertikal telah digunakan tradisional untuk menggambarkan arah
atau pola kehilangan tulang dengan menggunakan garis yang menghubungkan dua
gigi yang berdekatan di persimpangan cemento-enamel mereka sebagai garis
referensi. Jumlah kehilangan tulang kemudian dinilai sebagai ringan, sedang atau
parah.
1. Periodontitis kronis
Ini adalah bentuk paling umum dan penting dari penyakit periodontal,
yang mempengaruhi sebagian besar dentate dan penduduk sebagian
bergigi. Ini adalah penyebab utama hilangnya gigi pada usia dewasa
nanti.Ini adalah resorpsi tulang alveolar yang menyediakan gambaran
radiografi utama periodontitis kronis:
- Kehilangan crestal interdental corticated margin, tepi tulang menjadi
tidak teratur atau tumpul
- Pelebaran ruang ligamen periodontal pada margin crestal
- Kehilangan sudut yang tajam antara tulang crestal dan lamina dura -
tulang
menjadi bulat dan tidak teratur
- Kehilangan lokal atau umum dari alveolar yang merupakan tulang
pendukung
- Pola kehilangan tulang-horizontal dan / atauvertikal - yang
mengakibatkan bahkan hilangnya tulang atau pembentukan cacat intra-
tulang yang kompleks
- Kehilangan tulang di daerah furkasi dari gigi multirooted - ini dapat
bervariasi dari
29
pelebaran pencabangan ligamen periodontal untuk zona besar kerusakan
tulang
- Pelebaran ligamen periodontal
Gambar: kehilangan tulang horizontal sedang dan parah
Terkait faktor lokal sekunder - Meskipun penyebab utama penyakit
periodontal adalah plak bakteri, banyak faktor lokal sekunder yang juga mungkin
terlibat. Beberapa faktor tersebut dapat dideteksi pada radiografi dan meliputi:
- Deposit Kalkulus
- Rongga karies
- Resorpsi akar
- overhang filling
- Margin restorasi buruk
- Kurangnya titik kontak
- Kontur restorasi yang buruk, termasuk pontic design
- Perforasi dengan pin atau posting
- Status endodontik dalam kaitannya dengan Perio-endo lesi
- Overerupted gigi lawan
- Gigi miring
- Root approximation
30
- Gigi tiruan parsial sesuai gingiva
- Developmental groove
- Dens-in-dente.
Gambar: deposit kalkulus
Gambar: kehilangan tulang secara vertikal ringan, sedang dan parah
1. Periodontitis agresif
Seperti disebutkan sebelumnya, dalam periodontitis agresif perkembangan
penyakit dan kerusakan tulang selanjutnya lebih cepat dan dapat berupa
31
umum atau lokal. Salah satu contoh adalah awal periodontitis yang meliputi
juvenile periodontitis dan periodontitis prapubertas. Gambaran radiografi :
● kerusakan tulang vertikal yang parah yang mempengaruhi gigi geraham dan
/ atau gigi seri
● Arch atau kerusakan berbentuk cawan
● Kadang-kadang kehilangan tulang lebih general
● Migrasi dari gigi anterior dengan formasi diastema
● kerusakan tulang lebih cepat.
Gambar radiografi panoramic periodontitis juvenile
32
Gambar radiografi periapikal periodontitis juvenile
2.7 Tipe-tipe Alveolar Bone Loss
Alveolar Bone Loss
Kehilangan Tulang Meskipun periodontitis merupakan suatu penyakit
jaringan gingiva, perubahan yang terjadi pada tulang alveolar sangat berperan penting
karena kehilangan tulang dapat menyebabkan kehilangan gigi. Tinggi dan kepadatan
tulang alveolar pada keadaan normal memiliki keseimbangan antara besarnya
pembentukan dan resorpsi yang diatur oleh faktor sistemik dan faktor lokal. Saat nilai
resorpsi lebih besar dari nilai pembentukan tulang, tinggi dan kepadatan tulang
alveolar dapat menurun
2.7.1 Horizontal Bone Loss
Hilangnya tulang secara horizontal. Hilangnya tulang secara horizontal yang
paling sering dijumpai. Tulang alveolar berkurang tingginya, margin tulang berbentuk
horizontal atau agak miring. Resopsi tulang pada pola ini terjadi karena adanya
33
aktivitas yang sama besar pada semua bagian tulang. Sehingga kerusakan sama rata,
dan cacat yang terbentuk adalah puncak alveolar yang datar
Gambar radiografs kehilangan tulang horizontal bagian proximal
( www. studentdentist.ca )
34
Gambar A. Horizontal bone loss dan B vertical ( angular ) bone loss
daerah distal pada molar pertama.( www. studentdentist.ca )
2.7.2 Vertical Bone Loss
Kehilangan tulang secara vertikal atau angular terjadi dalam arah ablique, yang
meninggalkan suatu bentuk kawah pada tulang sepanjang akar; dasar dari defek
bertempat di bagian apical dari sekeliling tulang. Pada sebagian besar kasus, defek
angular biasanya mengikuti poket periodontal intraboni; poket intraboni, yang selalu
memiliki defek angular di bawahnya. Defek angular dikelompokkan berdasarkan
jumlah dinding osseus. Defek angular memiliki satu, dua atau tiga dinding. Jumlah
dinding pada bagian apikal dari defek dapat lebih besar dibanding pada bagian
oklusal, pada kasus dimana kombinasi defek osseus digunakan. Defek vertikal terjadi
secara interdental yang umumnya dapat dilihat pada gambar radiografi, meskipun
tebal, plat tulang terkadang menyamarkannya. Defek angular juga dapat nampak pada
permukaan fasial dan lingual atau palatal, tapi defek tersebut tidak dilihat pada
radiografi. Ekposure dengan cara pembedahan merupakan salah satu jalan untuk
menentukan keberadaan dan konfigurasi dari defek osseus vertikal. Defek vertikal
meningkat seiring dengan pertambahan usia. Sekitar 60 % dari masyarakat dengan
defek angular interdental hanya memiliki defek tunggal. Defek vertikal yang
ditemukan secara radiografi telah dilaporkan muncul paling sering pada permukaan
distal dan mesial. Namun, defek tiga dinding yang paling sering ditemukan pada
permukaan mesial dari molar atas dan bawah.
35
2.7.3 Interdental Craters
Cacat tulang pada septum interdental. Adanya cacat tulang ini dapat
dilihat secara radiografis, tetapi paling jelas diketahui dengan mengadakan
probing sewaktu diadakan pembukaan flap dalam prosedur operatif. Cacat
tulang pada septum interdental ini adalah: a) Crater (cupping). Cacat tulang
ini merupakan kavitas pada crest septum interdental yang dibatasi oleh
dinding oral dan vestibular dan kadang-kadang dijumpai antara permukaan
gigi dengan vestibular atau dasar mulut. b) Infrabony. Cacat tulang ini dapat
bermacam-macam tergantung pada jumlah dinding tulangnya.
Gambar: Interproximal crater diantara gigi 46 dan 47. Defek diantar buccal dan lingual cortical plates, terlihat radiolusent. ( www. studentdentist.ca )
2.7.4 Buccal And Lingual Cortical Bone Loss
- Penurunan kepadatan tulang yang superimposed di daerah akar dekat puncak
alveolar
- Biasanya berbentuk bayangan setengah lingkaran dengan puncak radiolusen
kearah apikal dari titik kontak
- Daerah interproksimal jarang terjadi bone loss
36
Gambar: Film periapikal memperlihatkan: Kehilangan alveolar crest buccal/lingual
gigi 4.7 tanpa terkait kehilangan tulang interproksimal
2.7.5 Bifurcation/Trifurcation Bone Loss
- Molar rahang atas, molar rahang bawah, molar pertama rahang atas
- Memperluas ruang PDL di bifurkasi interradicular bone crest
- Kerusakan tulang juga dapat melibatkan buccal dan/atau lingual cortical plate
Gambar: Film periapikal memperlihatkan: Adanya sedikit pelebaran ruang PDL di
daerah furkasi 36 dan 46
37
Gambar: Film periapikal memperlihatkan: Hilangnya tulang pada daerah cortical
palate bagian bukal dan lingual 46, serta menunjukkan daerah radiolusen pada furkasi
2.7.6 Periodontal Abcess
- Lesi akut mungkin tidak menunjukkan perubahan radiografi
- Pada lesi yang bertahan lama, ada daerah radiolusen sering melapiskan bagian
atas akar gigi
- Lesi koronal dapat muncul karena adanya bridge of bone, yang
memisahkannya dari puncak alveolar ridge
Gambar: Film periapikal memperlihatkan: Abses periodontal mesial ke akar gigi 2.5
dengan menunjukkan daerah radiolusen dari puncak alveolar lapisan tulang
2.8 Klasifikasi Pocket Periodontal
1. Definisi
38
Poket periodontal adalah pendalaman sulkus gusi secara patologis. Poket
periodontal dapat terjadi karena pergerakan tepi gusi kearah koronal, migrasi
junctional epithelium kearah apikal, atau kombinasi keduanya.
2. Klasifikasi
Berdasarkan kondisi poket :
1. Poket gusi/gingival pocket/pseudopocket/false pocket
Poket ini terbentuk karena pembesaran gusi tanpa adanya kerusakan jaringan
periodontal di bawahnya. Pendalaman sulkus terjadi karena bertambahnya
ketebalan gusi.
2. Poket periodontal/true pocket
Poket ini terjadi disertai kerusakan jaringan periodontal yang mendukungnya.
Pendalaman poket yang progresif akan menyebabkan destruksi jaringan
periodontal pendukung (misalnya tulang), terjadinya kegoyangan dan terlepasnya
gigi.
Poket ini terbagi menjadi 2 :
- Poket Supraboni (suprakrestal/supraalveolar)
Ditandai dengan dasar poket terletak lebih koronal dibanding puncak tulang
alveolar
- Poket Intraboni (infraboni, subkrestal, intraalveolar)
Ditandai dengan dasar poket terletak lebih apikal dibanding puncak tulang
alveolar. Dinding poket lateral terletak di antara permukaan gigi dan tulang
alveolar.
39
Gambar A. Gingival Pocket, B. Suprabony Pocket, C. Infrabony Pocket
Sumber : Carranza 11th Edition
Poket dapat melibatkan 1, 2 atau lebih dari 2 permukaan gigi, dan dapat memiliki
kedalaman yang berbeda-beda walaupun terletak pada satu gigi. Sehingga dibedakan:
1. Poket sederhana/simple pocket, merupakan poket yang hanya melibatkan satu
permukaan gigi.
2. Poket kompon/compound poket, merupakan poket yang melibatkan dua atau
lebih permukaan gigi.
3. Poket kompleks/complex pocket/spiral, merupakan poket yang berasal dari satu
sisi, dan memiliki akhiran di tepi sisi yang lain.
Gambar A. Simple Pocket, B. Compound Pocket, C. Complex Pocket
Sumber : Carranza 11th Edition
2.9 Patogenesis Gingivitis Menjadi Periodontitis
40
Lesi awal berkembangnya periodontitis pada seseorang adalah adanya
inflamasi gusi yang menandakan respon gingiva terhadap berubahan aktivitas
bakteri. Inflamasi disertai dengan pembentukan poket periodontal dari sulcus
yang tadinya normal, dan juga perbedaan proporsi bakteri pada dental plaque.
Plak gigi pada gusi yang sehat hanya memiliki sedikit mikroorganisme,
yang kebanyakan hanya sel-sel coccus dan batang non-motil. Pada gingival
yang meradang, dapat ditemukan spirochaeta dan bakteri batang yang motil.
Pembentukan poket dimulai dengan inflamasi di dinding jaringan ikat
pada sulkus gusi. Adanya eksudat pada inflamasi menyebabkan jaringan
ikatnya berdegenerasi, serat kolagen di bagian apical epitel junctional rusak,
dan area tersebut akan dipenuhi dengan sel-sel inflamatori dan edema.
Ada dua mekanisme yang berkaitan dengan rusaknya serat kolagen; (1)
sel-sel fibroblast, leukosit polimorfonuklear, dan makrofag menjadi
ekstraseluler dan merusak kolagen dengan cara mengubah matriks
makromolekulnya menjadi peptida kecil yang disebut matrix
metalopropinase. (2) fibroblast memfagositosis serat kolagen dengan
memperluas permukaan sitoplasmiknya hingga ke batas pertemuan antara
ligament-sementum, kemudian mendegradasi kolagen fibril pada matriks
sementum.
Sebagai konsekuensi dari rusaknya kolagen, sel-sel apical epitel junctional
berproliferasi sepanjang akar, dan memperluas villi-nya kira-kira 2 sampai 3
kali ketebalan sel. Bagian koronal epitel junctional terlepas dari akar karena
sel-sel apikalnya bermigrasi. Akibat dari adanya inflamasi, sel-sel PMN
menginvasi akhiran koronal tersebut dalam jumlah besar (sampai memenuhi
60% epitel junctional), kemudian jaringan akan kehilangan daya kohesifnya
dengan gigi dan terpisah dengan gigi.
41
Dengan demikian dasar sulkus bergeser ke apikal, dan epitel sulcular
menempati bagian dari lapisan sulcular (poket). Awal pendalaman saku telah
digambarkan terjadi antara epitel junctional dan gigi atau oleh pembelahan
intraepithelial dalam junctional epithelium.
Migrasi epitel junctional sepanjang akar membutuhkan sel-sel epitel
yang sehat. Degenerasi atau nekrosis epitel junctional malah akan merusak
daripada mempercepat pembentukan poket. Perubahan degeneratif terlihat
pada epitel junctional di dasar kantong periodontal yang biasanya kurang
parah dibandingkan epitel dinding saku lateralis. Karena migrasi epitel
junctional membutuhkan sel yang sehat, adalah wajar untuk mengasumsikan
bahwa perubahan degeneratif yang dilihat di daerah ini terjadi setelah epitel
junctional mencapai posisinya pada sementum.
Tingkat infiltrasi leukosit pada epitel junctional tidak tergantung pada
volume jaringan ikat yang meradang, sehingga proses ini dapat terjadi pada
gingiva dengan sedikit tanda-tanda peradangan klinis. Dengan berlanjutnya
inflamasi, gingiva akan meningkat dalam jumlah besar, dan puncak tepi
gingiva meluas ke koronal. Junctional epitelium terus bermigrasi sepanjang
akar dan terpisah dengan akar. Epitel dinding lateral poket akan berproliferasi
membentuk bulat, meluas ke dalam jaringan ikat yang meradang. Leukosit
dan edema dari jaringan ikat yang meradang menginfiltrasi lapisan epitel
poket, sehingga mengakibatkan berbagai tingkat degenerasi dan nekrosis.
Transformasi dari sulkus gingiva menjadi poket periodontal menciptakan
suatu daerah di mana pengangkatan plak menjadi mustahil.
Tahap-tahap periodontitis9 adalah sebagai berikut :
a. Mild Periodontitis
42
Periodontitis ringan adalah bentuk paling awal, dan itu terjadi ketika
plak mulai mengeras menjadi kalkulus (tartar) di ruang antara gusi dan gigi.
Bakteri dapat menyebar di bawah garis gusi dan menyerang gusi dan jaringan
tulang yang mendukung gigi. Destruksi periodontal umumnya dianggap
sebagai periodontitis ringan ketika absorpsi tulang alveolar tidak lebih dari 1
hingga 2 mm dari daerah cemento enamel junction atau telah terjadi
hilangnya perlekatan klinis atau terbentuk pocket yang kedalamannya tidak
lebih dari 1 hingga 2 mm. Pada tahap ini, gusi akan menjadi lebih lunak, lebih
mudah berdarah terutama saat dilakukan probing, dan seringkali terjadi bone
loss tipe horizontal. Gambaran radiografisnya terdapat erosi tulang marginal
yang terlokalisir, puncak lamina dura menipis, hilangnya batas tajam lamina
dura gigi yang berdekatan, hilangnya sedikit tulang (< 1/3).10
b. Moderate Periodontitis
Periodontitis ringan, jika tidak diobati, dapat berkembang menjadi
periodontitis moderat atau lanjutan. Infeksi dan peradangan menyebabkan
tubuh akan memecah serat dan tulang yang mendukung gigi. Racun dari
bakteri memasuki aliran darah dan merangsang respon inflamasi kronis
dengan hati dan sistem organ lainnya. Sejak gusi dan tulang rahang yang
mendasari dihancurkan, gigi akan mulai melonggar dan mungkin akan lepas.
Kerusakan jaringan periodontal umumnya dianggap sebagai periodontitis
yang sedang ketika telah terbentuk pocket sedalam 3 hingga 4 mm. Jaringan
gingiva menjadi lebih merah dan bengkak, lebih mudah berdarah, serta
adanya kemungkinan terjadi bone loss tipe horizontal atau vertikal. Rasio
mahkota dan akar adalah 1:1 akibat hilangnya 1/3 tulang alveolar. Gambaran
43
radiografisnya terdapat kehilangan tulang horizontal yang mengarah pada
hilangnya tulang puncak pada gigi, kerusakan yang terlokalisasi terdiri dari
kehilangan tulang vertikal dan kehilang tulang kortikal bukal dan lingual.10
c. Advanced Periodontitis
Destruksi periodontal umumya dianggap sebagai periodontitis yang
berat / parah ketika telah terbentuk pocket sedalam 5 mm atau lebih. Tahap ini
juga ditandai dengan terjadinya bone loss tipe horizontal dan vertikal. Rasio
mahkota dan akar gigi adalah 2:1 atau bahkan lebih karena hilangnya lebih
dari 1/3 tulang alveolar. Secara klinis, gigi dapat bergeser, dapat diungkit, dan
bahkan lepas. Gambaran radiografisnya terdapat kehilangan tulang horizontal
ataupun vertikal atau kombinasi kehilangan tulang horizontal dengan
kerusakan tulang vertikal yang terlokalisasi, tingkatan tulang adalah 1/3
apikal akar.10
2.10 Perawatan Periodontitis
Perawatan periodontitis kronis dapat dibagi menjadi 3 fase,
yaitu:
Fase I : Fase terapi inisial, merupakan fase dengan cara
menghilangkan beberapa faktor etiologi yang mungkin terjadi
tanpa melakukan tindakan bedah periodontal atau melakukan
44
perawatan restoratif dan prostetik. Berikut ini adalah
beberapa prosedur yang dilakukan pada fase I :
1. Memberi pendidikan pada pasien tentang kontrol plak.
2. Scaling dan root planning
3. Perawatan karies dan lesi endodontic
4. Menghilangkan restorasi gigi yang over kontur dan over
hanging
5. Penyesuaian oklusal (occlusal ajustment)
6. Splinting temporer pada gigi yang goyah
7. Perawatan ortodontik
8. Analisis diet dan evaluasinya
9. Reevaluasi status periodontal setelah perawatan tersebut
diatas
Fase II : Fase terapi korektif, termasuk koreksi terhadap
deformitas anatomikal seperti poket periodontal, kehilangan
gigi dan disharmoni oklusi yang berkembang sebagai suatu
hasil dari penyakit sebelumnya dan menjadi faktor
predisposisi atau rekurensi dari penyakit periodontal. Berikut
ini adalah bebertapa prosedur yang dilakukun pada fase ini:
1. Bedah periodontal, untuk mengeliminasi poket dengan
cara antara lain: kuretase gingiva, gingivektomi, prosedur
bedah flap periodontal, rekonturing tulang (bedah tulang)
dan prosedur regenerasi periodontal (bone and tissue
graft)
2. Penyesuaian oklusi
3. Pembuatan restorasi tetap dan alat prostetik yang ideal
untuk gigi yang hilang
45
Fase III: fase terapi pemeliharaan, dilakukan untuk mencegah
terjadinya kekambuhan pada penyakit periodontal. Berikut ini
adalah beberapa prosedur yang dilakukan pada fase ini:
1. Riwayat medis dan riwayat gigi pasien
2. Reevalusi kesehatan periodontal setiap 6 bulan dengan
mencatat scor plak, ada tidaknya inflamasi gingiva,
kedalaman poket dan mobilitas gigi.
3. Melekukan radiografi untuk mengetahui perkembangan
periodontal dan tulang alveolar tiap 3 atau 4 tahun sekali.
4. Scalling dan polishing tiap 6 bulan seksli, tergantung dari
evektivitas kontrol plak pasien dan pada kecenderungan
pembentukan kalkulus
5. Aplikasi tablet fluoride secara topikal untuk mencegah
karies
46
BAB III
STUDI KASUS
3.1 Kasus
Martin, seorang pria berumur 47 tahun, datang ke tempat praktik dokter gigi.
Dia melaporkan adanya gigi goyang, bau mulut, dan perdarahan gusi. Pasien tidak
merokok dan pernah menderita gingivitis. Kunjungan terakhirnya ke dokter gigi
adalah beberapa tahun yang lalu. Dokter gigi memeriksa dan mengevaluasi
keadaan rongga mulut pasien untuk menegakkan diagnosa dan perawatan serta
rujukan bila diperlukan. Terakhir kali dokter gigi bertemu dengan pasien, gusi
pasien bengkak dan terasa sakit.
Dokter gigi melakukan pemeriksaan radiografis sebelum melakukan
perawatan. Pemeriksaan probing menunjukkan bahwa pocket pasien Martin lebih
dari 4 mm, dibandingkan dengan rata-rata pengukuran pada kunjungan
sebelumnya, yaitu 2 mm, artinya terdapat pocket periodontal. Ditemukan juga
perdarahan, kehilangan perlekatan (attachment loss), kehilangan tulang (alveolar
bone loss), dan halitosis.
Berdasarkan pemeriksaan intra oral didapatkan bahwa pasien mengalami
kerusakan tulang pendukung gigi yang menyebabkan gigi anda menjadi goyang.
Gusi pasien mengalami resesi dan pocket lebih dalam dibandingkan normal.
Gingivitis pada pasien pada kunjungan terakhir telah berkembang menjadi
penyakit gusi yang lebih serius.
3.2 Hipotesis
Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan disertai pemeriksaan intraoral
dan radiografi, dapat diduga bahwa Martin mengalami periodontitis yang ditandai
dengan adanya perdarahan, kehilangan perlekatan (attachment loss), kehilangan
tulang (alveolar bone loss), halitosis, dan gigi goyang.
47
3.3 Mekanisme Kasus
Berdasarkan anamnesis terhadap pasien Martin, diketahui bahwa beberapa
tahun yang lalu pasien datang ke tempat praktik dokter gigi, Pasien memiliki gusi
yang bengkak dan terasa sakit dan dokter gigi mendiagnosis pasien mengalami
gingivitis. Namun sekarang, gingivitis pasien telah berkembang menjadi penyakit
gusi yang lebih serius atau dikenal dengan periodontitis.
48
Gingivitis
tidak dirawat
Attachment loss
Pocket >4mm
Resesi gusi
Alveolar
bone lossPeriodontiti
s Kronis
Perdarahan
Bau mulut Gigi goyang
Gingivitis merupakan suatu peradangan gingiva yang dapat disebabkan
oleh adanya plak dan kalkulus atau oral hygiene yang buruk. Plak merupakan
lapisan campuran bakteri, saliva, debris makanan, dan asam hasil fermentasi
glukosa oleh bakteri sedangkan kalkulus adalah plak yang mengalami kalsifikasi.
Adanya bakteri pada plak yang menempel di permukaan gigi subgingival
ataupada sulkus gingiva dapat mengiritasi gingiva dan menyebabkan terjadi
inflamasi di gingiva. Peradangan pada gingiva atau yang dikenal dengan
gingivitis merupakan lesi awal yang merupakan awal perkembangan periodontitis.
Tanda awal dari periodontitis adalah perubahan dari sulkus gingiva yang normal
menjadi pocket periodontal yang abnormal.
Sulkus gingiva sering menjadi tempat penumpukan plak dan kemudian
terkalsifikasi menjadi kalkulus. Pada gingiva normal, mikroorganisme yang
didapati kebanyakan jenis coccus dan straight rods / bacillus. Namun pada
gingiva yang abnormal, ditemukan peningkatan jumlah dari bakteri spirochcetes
dan motile rods namun mikroorganisme yang berbeda ini bukanlah penyebab
terjadinya masalah periodontal. Pembentukan poket disebabkan adanya
attachment loss yang dalam dari jaringan yang terinfeksi dengan permukaan
giginya. Prosesnya dimulai dari adanya inflamasi pada jaringan ikat di sulkus
gingiva. Sel-sel inflamatori yang dihasilkan oleh sel sehat (kolagenase) dan
jaringan yang mengalami inflamasi (fibroblas, sel leukosit PMN, dan makrofag)
menyebabkan hancurnya serat kolagen dan jaringan ikat di sekitar mengalami
degenerasi. Akibat hilangnya serat kolagen, sel-sel di bagian apikal dari
junctional epithelium berproliferasi sepanjang akar dan terus memanjang. Karena
sel di bagian apical ini bermigrasi, sel di bagian koronal pun melepaskan ikatan
dari akar. Akibat dari inflamasi, PMN bertambah banyak dan menginvasi ujung
koronal dari junctional epithelium. Ketika sel PMN yang tidak memiliki ikatan
desmosom yang mengizinkannya menempel dengan sel epitel sekitar, mengisi
sekitar 60% dari junctional epithelium, jaringan yang terinflamasi tadi akan
kehilangan kemampuan melekat dan akhirnya terlepas dari permukaan gigi
disertai dengan pergerakan ke arah apikal sehingga terbentuklah poket
49
periodontal. Transformasi dari sulkus gingiva menjadi poket periodontal
menciptakan suatu daerah yang memudahkan akumulasi plak karena sulit
dibersihkan. Karena akumulasi plak dan kalkulus, poket akan bertambah dalam
dan begitu seterusnya.
3.4 Tatalaksana Kasus
Karena pada kasus tidak diberitahukan adanya faktor predisposisi lain yang
memicu terjadinya periodontitis misalnya plak, maka tatalaksana untuk pasien
yaitu dilakukan terapi inisial dengan memberi pendidikan kepada pasien tentang
kontrol plak dan dilakukan scaling dan root planning pada praktik dokter gigi.
Setelah itu, dapat dilakukan terapi korektif berupa bedah periodontal untuk
mengeleminasi poket dengan cara antara lain: kuratase gingiva, gingivektomi,
prosedur bedah flap periodontal, rekonturing tulang (bedah tulang), dan prosedur
regenerasi periodontal (bone and tissue graft).
Setelah dilakukan terapi korektif, perlu dilakukan terapi pemeliharaan untuk
mencegah kambuhnya penyakit periodontal. Pemeliharaan bisa dilakukan dengan
rajin melakukan kunjungan ke dokter gigi 6 bulan sekali untuk mengevaluasi
kesehatan jaringan periodontal (ada tidaknya plak atau kalkulus, inflamasi
gingiva, poket periodontal, dan mobilitas gigi). Jika ada plak atau kalkulus maka
harus segera dilakukan scaling.
50
BAB IV
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan kasus dapat disimpulkan bahwa pasien bernama Martin menderita
periodontitis kronis. Gingivitis yang awalnya dialami pasien telah berkembang
menjadi penyakit gusi yang lebih serius atau dikenal dengan periodontitis.
Periodontitis berbeda dengan gingivitis. Periodontitis adalah tahapan yang berlanjut
dari gingivitis yang parah.
Periodontitis ditandai dengan migrasi junctional epitheliumke arah apical,
kehilangan perlekatan dengan jaringan pendukung, dan resorpsi tulang alveolar. Baik
gingivitis maupun periodontitis keduanya memiliki manifestasi serta patogenitas pada
oral. Sehingga diperlukan kesadaran untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut setiap
waktu.
51
Daftar Pustaka
Carranza FA, Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR. 2006. Carranza’s Clinical
Periodontology 10th ed. Missouri: Saunders Elsevier
Daliemunthe, Saidina Hamzah. 2001. Periodonsia Edisi Revisi 2008. Medan.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23674/3/Chapter%20II.pdf
Stuart C. White, Michael J. Phaeoach, “ Oral Radiology principle and interpretation”
6th Edition.
Irfan Ahmad “ Digital and conventional dental photography : a practical clinical
manual” Chicago: Quintessence Pub. Co 2004
52