Makalah Penemuan Hukum_M Nur Rasyid_FINAL_post presentation.docx
Transcript of Makalah Penemuan Hukum_M Nur Rasyid_FINAL_post presentation.docx
PERBEDAAN METODE ISTIDLAL ANTARA IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM SYAFI’I
SERTA PENGARUHNYA TERHADAP ISTINBATH HUKUM
Oleh:
Muhibuddin & Aharis Mabrur(Mahasiswa PPs Prodi MIH Unsyiah Kelas A Tahun 2015)
A. PENDAHULUAN
Dilihat dari segi asalnya, dalil dibagi kepada 2, yaitu yang bersumber dari wahyu
(dalil manshush) dan yang bersumber dari ra’yu (ghairu manshush). Dalil manshush berupa
Al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan dalil ghairu manshush sangat beragam, di antaranya
ijma’, qiyas, istihsan, dan maslahat mursalah. Kedua macam dalil tersebut pada prakteknya
saling berhubungan satu sama lain, karena dalam menggali suatu dalil yang bersumber dari
wahyu, pada hakekatnya membutuhkan penalaran akal di dalamnya. Demikian juga
sebaliknya, hasil penalaran akal tidak dianggap sebagai dalil syara’ kecuali bila disandarkan
kepada wahyu.1 Mengenai pembahasan dalil syara’ ini, Hasbi al-Shiddieqy mengemukakan, bahwa
dalil syara’ yang pernah digunakan oleh para ulama ushul jumlahnya mencapai 46 (empat puluh
enam) macam dalil.2
Sedangkan dari segi kehujjahannya, secara garis besar ulama membagi dalil hukum
syara` menjadi dua, yaitu dalil yang disepakati (muttafaq), dan dalil yang tidak disepakati
(mukhtalaf). Dalil muttafaq ulama ini terdiri dari 4, yaitu Quran, Sunnah, Ijma`, dan Qiyas.
Mereka juga sepakat pada urutan prioritas penggunaannya harus digunakan secara tartiib,
tidak boleh melompat.3 Apabila dari keempat dalil belum bisa membuat keputusan hukum,
maka upaya berikutnya adalah mencari dalil, yang dikenal dengan istilah “Istidlal”. Metode
pencarian dalil tersebut merujuk kepada sejumlah sumber hukum yang tidak disepakati
(mukhtalaf). Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalil mukhtalaf ada tujuh, yaitu: Istihsan,
Mashalihul Mursalah (Istishlah), Istishab (kembali ke asal), `Urf (adat istiadat), Mazhab Shahabi
(perkataan para sahabat rasul), Syar`u Man Qoblanaa (Syariat sebelum Rasulullah), dan Saddu al-
Zari`ah.4
Dalam hal istidlal tersebut, para Imam mazhab berbeda pendapat. Di antara yang paling
tajam adalah perbedaan metode penalaran antara Imam Abu Hanifah dengan Imam Syafi’i.
Perbedaan tersebut tentunya memberi pengaruh pada istinbath yang mereka putuskan. Untuk itu,
secara khusus Penulis akan membahas dalam makalah ini dengan menggunakan pendekatan
perbandingan (comparative approach).
1 Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz III, Mesir, Dar al-Fikri al-Araby, t.t, hlm. 41.2 Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam I, Jakarta, Bulan Bintang, 1980, hal. 1853 Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, cet. VIII, Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah, Mesir, 1999, hlm. 214 Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 1986, hlm. 417
1
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan sebuah masalah, yaitu bagaimana
pengaruh perbedaan metode istidlal antara Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i terhadap istinbath
hukum?
C. PEMBAHASAN
Secara bahasa, kata dalil berarti: penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku,
bukti dan saksi. Fuqaha mengartikan sebagai “sesuatu yang mengandung petunjuk (dalalah) atau
bimbingan (irsyad).” Menurut Abdul Wahhab Khallaf: “sesuatu yang dijadikan landasan berpikir
yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis.”5 Jadi dalil merupakan
landasan bagi fuqaha dalam menetapkan suatu ketetapan hukum untuk diterapkan secara praktis
oleh seseorang atau masyarakat. Ketetapan bisa bersifat qath’i (pasti) atau zhanni (tidak pasti).
Secara bahasa istidlal berarti: minta petunjuk, memperoleh dalil, menarik kesimpulan. Imam
al-Jurjani, memberi arti istidlal secara umum, yaitu menentukan dalil untuk menetapkan sesuatu
keputusan bagi yang ditunjukan. Dari berbagai definisi tersebut menunjukan bahwa seorang
mujtahid dalam memutuskan sesuatu keputusan hukum apabila tidak menemukan pada dalil
muttafaq sebagaimana tersebut di atas, maka hendaklah mencari dalil lain (istidlal).
Untuk memahami perbedaan metode istidlal dan pengaruhnya terhadap istinbath hukum,
perlu terlebih dahulu mengetahui aspek-aspek yang terkait kedua Imam, seperti pola pemikiran dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1. Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah hidup di Kufah yang kurang dalam hal perbendaharaan ilmu hadist.
Pada masa itu juga sedang marak terjadi pemalsuan hadist, sementara banyak muncul
problema kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukum. Kondisi sosial Kufah sebagai
kota yang berada di tengah kebudayaan persia, masyarakatnya telah mencapai peradaban yang
cukup tinggi, oleh sebab itu dalam menetapkan hukum beliau banyak menggunakan ra’yi.6
Beliau bahkan lebih mengutamakan ra`yi ketimbang khabar ahad. Abu Hanifah berkata:
“Sesungguhnya aku merujuk kepada Al-Qur'an apabila aku mendapatkannya; apabila tidak ada dalam Al-Qur'an, aku merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang tsiqah. Apabila aku tidak mendapatkan dalam Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah, aku merujuk kepada qaul sahabat, (apabila sahabat ikhtilaf), aku mengambil pendapat sahabat yang mana saja yang kukehendaki, aku tidak akan pindah dari pendapat yang satu ke pendapat sahabat yang lain. Apabila didapatkan pendapat Ibrahim, Al-Sya'bi dan ibnu Al-Musayyab, serta yang lainnya, aku berijtihad sebagai mana mereka berijtihad.” 7
5 Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqih al-Islami Beirut, Dar al-Fikr, 1986, hlm. 417 dan Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, cet. VIII, Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah, Mesir, 1999, hlm, hlm. 20.
6 Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 997 Khudhari Bek, Muhammad, Tarekh Tasryri’ al-Islami. Cet. VI; Mesir: al-Sa’adah, 1954 , hlm. 232.
2
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau memakai ijma, qiyas, istishan8, mashlahah
mursalah, dan ‘urf.9
2. Imam Syafi’
Imam Syafi’i sangat menekankan sunnah dan juga mengkolaborasikan antara nash dan
ra’yu. Dalam berdalil dengan dasar-dasar tasyri’ untuk menetapkan hukum, Imam Syafi’i
berpegang kepada dhahir petunjuk nash dan dipahaminya menurut kaidah bahasa Arab.
Mazhab Syafi’i memautkan hukum syara’ dengan urusan-urusan yang telah tetap dan terus
menerus berlaku, bukan dipautkan dengan sangkaan atau dugaan-dugaan.
Dalam perkembangannya, pemikiran Mazhab Syafi’i terbagi dalam dua kelompok:
Pertama, corak pemikiran ketika masih tinggal di Irak (rasionalis) yang dikenal dengan qaul
qadim (pemikiran lama); Kedua, corak pemikirannya setelah pindah ke Mesir yang
mengkolaborasikan corak pemikiran ulama Hijaz (tekstual) dan Irak (rasionalis), yang dikenal
dengan qaul jadid (pemikiran baru). Jika terjadi pertentangan antar qaul jadid dan qaul qadim
maka yang mayoritas adalah qaul jadid. Dengan demikian, qaul qadim adalah pendapat imam
Syafi’i yang bercorak ra’yu, sedangkan qaul jadid adalah pendapatnya yang bercorak
sunnah.10
Jadi, apabila tidak menemukan hukum dari kaidah-kaidah sebelumnya di atas, Imam
Syafi’i memakai jalan istidlal dalam menetapkan hukum. Dua metode istidlal yang diakui
oleh Imam Syafi’i ‘adalah ‘urf dan istishab.11
3. Perbandingan Metode Istidlal Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i dan Pengaruhnya
terhadap Istinbath Hukum
Dalam pola pemikiran terdapat perbedaan yang signifikan antara Imam Abu Hanifah dan
Imam Syafi’i. Dalam hal menentukan metode istidlal, terdapat sejumlah persamaan dan
perbedaan, namun yang paling mencolok adalah menyangkut kehujjahan istihsan sebagai
metode penalaran dalil hukum.
Dalam melakukan penalaran, Imam Syafi’i hanya menggunakan metode qiyas. Namun
berbeda dengan Imam Abu Hanifah, beliau lebih mendahulukan khabar ahad daripada qiyas.
Imam Syafi’i menentang secara terbuka metode istihsan dengan ‘’membatalkan dan
mengharamkannya’’. Imam Syafi’i menolak kehujjahan istihsan dan menganggapnya sebagai
beristinbath terhadap hukum syara’ berdasarkan “hawa nafsu dan seenaknya sendiri”.
8 Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa: “Istihsan merupakan istidlal dengan dasar qiyas yang nyata, atau ia merupakan pentarjihan suatu qiyas atas qiyas yang kontradiksi dengan adanya dalil yang menuntut pentarjihan ini, atau ia merupakan istidlal dengan kemaslahatan mursalah (umum) berdasarkan pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum). Semuanya ini merupakan istidlal yang shahih.”
9 Hanafi, A. Pengantar dan sejarah Hukum Islam. Bulan Bintang, Cet. I: Jakarta, 1970, hlm 13010 Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada,
2002, hlm. 1111 Rasyad Hasan Khalil, Tārikh al-Tasyrī’ al-Islāmi, diterjemahkan oleh Nadirsyah Hawari dengan judul Tarikh Tasyri’,
Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta; Amzah, 2009, hlm.. 189-190.
3
Adapun mengenai metode istishab yang diakui sebagai salah satu metode istidlal oleh
Imam Syafi’i, mayoritas ulama Hanafiah, khususnya mutaakhirin, berpendapat bahwa Istishab
bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap
hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa untuk menetapkan
hukum yang akan ada (tidak mutlak), sementara kalangan Syafi’iyyah berpendapat bahwa
Istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama
belum ada dalil yang mengubahnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa perbedaan tersebut utamanya
disebabkan oleh adanya perbedaan pada pola pemikiran. Kecenderungan Imam Abu Hanifah
sebagai Ahl al-Ra’yi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengembangan teori
istihsan secara kontekstual, sementara Imam Syafi’i sebagai Ahl al-Hadits mengembangkan
teori qiyas secara tekstual. Adanya perbedaan pada metode istidlal tersebut tentunya
berpengaruh pada istinbath hukum. Berikut beberapa contoh perbedaan istinbath hukum
terhadap suatu berkara akibat perbedaan metode istidlal yang digunakan.
a. Dalam perkara wakaf.
Berdasarkan istihsan, apabila mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka secara
otomatis termasuk pula hak pengairan, hak air minum, hak lewat ke dalam wakaf, tanpa
harus menyebutkanya, sedangkan menurut qiyas Imam Syafi’i semuanya itu tidak
termasuk, kecuali bila terdapat nash yang menyebutkanya sebagaimana jual beli. Secara
teoritis, metode Istihsan tersebut adalah dengan menguatkan qiyas khafi atas qiyas jali
dengan dalil, bahwasanya yang menjadi tujuan dari pada wakaf adalah pemanfaatan
sesuatu yang diwakafkan kepada mereka.12
b. Dalam perkara hukum wanita yang sedang haid membaca Al-Qur’an.
Berdasarkan istihsan, haid berbeda dengan junub karena waktunya lama. Oleh karena itu,
wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka haid yang
panjang itu menghalangi wanita memperoleh pahala ibadah, sedang laki-laki dapat
beribadah setiap saat (secara teoritis metode ini menguatkan qiyas khafi atas qiyas jali
dengan dalil), sedangkan menurut Imam Syafi’i, hukumnya tetap haram, wanita haid itu
diqiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram
membaca Al-Qur’an, maka demikian pula terhadap wanita haid .
c. Dalam perkara jual beli salam (pesanan).
Berdasarkan istihsan diperbolehkan, karena manusia berhajat kepada akad seperti itu dan
sudah menjadi kebiasaan mereka (metode pengecualian sebagai hukum kulli dengan dalil).
12 Dalil/alasannya adalah pemanfaatan tanah pertanian tidak akan ada kecuali dengan meminum airnya, saluran airnya, dan jalannya. Oleh karena itu, hal- hal tersebut juga termasuk dalam wakaf meskipun tanpa menyebutkannya. Karena tujuan tersebut tidak akan terealisasi kecuali dengan hal-hal itu, sebagaimana sewa-menyewa.
4
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa syariat melarang jual beli yang barangnya
tidak ada pada waktu akad.
Dalam contoh-contoh yang di atas tersebut terdapat pertentangan pada suatu kasus
antara dua metode penalaran, yang pertama qiyas nyata yang mudah dipahami, dan kedua
qiyas yang tersembunyi yang agak rumit untuk dipahami, namun seorang mujtahid
mempunyai dalil yang memenangkan qiyas yang tersembunyi, kemudian ia berpaling dari
qiyas yang nyata. Perpalingan ini adalah “istihsan”. Sedangkan dalil yang menjadi
dasarnya adalah segi istihsannya.
D. KESIMPULAN
Kesimpulan
Perbedaan pada metode Istidlal yang dijalankan oleh kedua Imam tersebut berpengaruh pada
berbedanya beberapa hasil istinbath hukum yang ditetapkan, misalnya dalam perkara wakaf tanah,
hukum wanita haid membaca Al-Quran, jual beli salam dan lain-lain, sehingga dalam konteks yang
lebih luas perbedaan penalaran dalil hukum tersebut menjadi bagian dari khasanah pemikiran Islam
di bidang hukum, yang dinamis dan terus berkembang.
E. DAFTAR PUSTAKA
a. Buku
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, cet. VIII, Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah,
Mesir, 1999.
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Cet. V, Bulan Bintang, Jakarta, 1989.
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz III, Mesir, Dar al-Fikri al-Araby, t.t.
Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam I, Jakarta, Bulan Bintang, 1980.
Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta, Logos Wacana
Ilmu,1997.
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam: Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, Jakarta;
PT. RajaGrafindo Persada, 2002
Muhammad Khudhari Bek, Tarikh Tasryri’ al-Islami, Cet. VI, al-Sa’adah, Mesir, 1954.
Rasyad Hasan Khalil, Tārikh al-Tasyrī’ al-Islāmi, diterjemahkan oleh Nadirsyah Hawari
dengan judul Tarikh Tasyri’, Sejarah Legislasi Hukum Islam, Amzah, Jakarta, 2009.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqih Al-Islami, Dar al-Fikr, Beirut, 1986.
b. Website dan Artikel Internet:
Muhammad Fachmi Hidayat, Sumber dan Dalil Hukum Islam http://muhammad-fachmi-
hidayat.blogspot.com/2013/03/makalah-ushul-fikih-sumber-dan-dalil.html
5