Makalah Penemuan Hukum_M Nur Rasyid_FINAL_post presentation.docx

8
PERBEDAAN METODE ISTIDLAL ANTARA IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM SYAFI’I SERTA PENGARUHNYA TERHADAP ISTINBATH HUKUM Oleh: Muhibuddin & Aharis Mabrur (Mahasiswa PPs Prodi MIH Unsyiah Kelas A Tahun 2015) A. PENDAHULUAN Dilihat dari segi asalnya, dalil dibagi kepada 2, yaitu yang bersumber dari wahyu (dalil manshush) dan yang bersumber dari ra’yu (ghairu manshush). Dalil manshush berupa Al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan dalil ghairu manshush sangat beragam, di antaranya ijma’, qiyas, istihsan, dan maslahat mursalah. Kedua macam dalil tersebut pada prakteknya saling berhubungan satu sama lain, karena dalam menggali suatu dalil yang bersumber dari wahyu, pada hakekatnya membutuhkan penalaran akal di dalamnya. Demikian juga sebaliknya, hasil penalaran akal tidak dianggap sebagai dalil syara’ kecuali bila disandarkan kepada wahyu. 1 Mengenai pembahasan dalil syara’ ini, Hasbi al-Shiddieqy mengemukakan, bahwa dalil syara’ yang pernah digunakan oleh para ulama ushul jumlahnya mencapai 46 (empat puluh enam) macam dalil. 2 Sedangkan dari segi kehujjahannya, secara garis besar ulama membagi dalil hukum syara` menjadi dua, yaitu dalil yang disepakati (muttafaq), dan dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf). Dalil muttafaq ulama ini terdiri dari 4, yaitu Quran, Sunnah, Ijma`, dan Qiyas. Mereka juga sepakat pada urutan prioritas penggunaannya harus digunakan secara tartiib, tidak boleh melompat. 3 Apabila dari keempat dalil belum bisa membuat keputusan hukum, maka upaya berikutnya adalah 1 Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz III, Mesir, Dar al-Fikri al-Araby, t.t, hlm. 41. 2 Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam I, Jakarta, Bulan Bintang, 1980, hal. 185 3 Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, cet. VIII, Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah, Mesir, 1999, hlm. 21 1

Transcript of Makalah Penemuan Hukum_M Nur Rasyid_FINAL_post presentation.docx

Page 1: Makalah Penemuan Hukum_M Nur Rasyid_FINAL_post presentation.docx

PERBEDAAN METODE ISTIDLAL ANTARA IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM SYAFI’I

SERTA PENGARUHNYA TERHADAP ISTINBATH HUKUM

Oleh:

Muhibuddin & Aharis Mabrur(Mahasiswa PPs Prodi MIH Unsyiah Kelas A Tahun 2015)

A. PENDAHULUAN

Dilihat dari segi asalnya, dalil dibagi kepada 2, yaitu yang bersumber dari wahyu

(dalil manshush) dan yang bersumber dari ra’yu (ghairu manshush). Dalil manshush berupa

Al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan dalil ghairu manshush sangat beragam, di antaranya

ijma’, qiyas, istihsan, dan maslahat mursalah. Kedua macam dalil tersebut pada prakteknya

saling berhubungan satu sama lain, karena dalam menggali suatu dalil yang bersumber dari

wahyu, pada hakekatnya membutuhkan penalaran akal di dalamnya. Demikian juga

sebaliknya, hasil penalaran akal tidak dianggap sebagai dalil syara’ kecuali bila disandarkan

kepada wahyu.1 Mengenai pembahasan dalil syara’ ini, Hasbi al-Shiddieqy mengemukakan, bahwa

dalil syara’ yang pernah digunakan oleh para ulama ushul jumlahnya mencapai 46 (empat puluh

enam) macam dalil.2

Sedangkan dari segi kehujjahannya, secara garis besar ulama membagi dalil hukum

syara` menjadi dua, yaitu dalil yang disepakati (muttafaq), dan dalil yang tidak disepakati

(mukhtalaf). Dalil muttafaq ulama ini terdiri dari 4, yaitu Quran, Sunnah, Ijma`, dan Qiyas.

Mereka juga sepakat pada urutan prioritas penggunaannya harus digunakan secara tartiib,

tidak boleh melompat.3 Apabila dari keempat dalil belum bisa membuat keputusan hukum,

maka upaya berikutnya adalah mencari dalil, yang dikenal dengan istilah “Istidlal”. Metode

pencarian dalil tersebut merujuk kepada sejumlah sumber hukum yang tidak disepakati

(mukhtalaf). Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalil mukhtalaf ada tujuh, yaitu: Istihsan,

Mashalihul Mursalah (Istishlah), Istishab (kembali ke asal), `Urf (adat istiadat), Mazhab Shahabi

(perkataan para sahabat rasul), Syar`u Man Qoblanaa (Syariat sebelum Rasulullah), dan Saddu al-

Zari`ah.4

Dalam hal istidlal tersebut, para Imam mazhab berbeda pendapat. Di antara yang paling

tajam adalah perbedaan metode penalaran antara Imam Abu Hanifah dengan Imam Syafi’i.

Perbedaan tersebut tentunya memberi pengaruh pada istinbath yang mereka putuskan. Untuk itu,

secara khusus Penulis akan membahas dalam makalah ini dengan menggunakan pendekatan

perbandingan (comparative approach).

1 Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz III, Mesir, Dar al-Fikri al-Araby, t.t, hlm. 41.2 Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam I, Jakarta, Bulan Bintang, 1980, hal. 1853 Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, cet. VIII, Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah, Mesir, 1999, hlm. 214 Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 1986, hlm. 417

1

Page 2: Makalah Penemuan Hukum_M Nur Rasyid_FINAL_post presentation.docx

B. PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan sebuah masalah, yaitu bagaimana

pengaruh perbedaan metode istidlal antara Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i terhadap istinbath

hukum?

C. PEMBAHASAN

Secara bahasa, kata dalil berarti: penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku,

bukti dan saksi. Fuqaha mengartikan sebagai “sesuatu yang mengandung petunjuk (dalalah) atau

bimbingan (irsyad).” Menurut Abdul Wahhab Khallaf: “sesuatu yang dijadikan landasan berpikir

yang benar dalam  memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis.”5 Jadi dalil merupakan

landasan bagi fuqaha dalam menetapkan suatu ketetapan hukum untuk diterapkan secara praktis

oleh seseorang atau masyarakat. Ketetapan bisa bersifat qath’i (pasti) atau zhanni (tidak pasti).

Secara bahasa istidlal berarti: minta petunjuk, memperoleh dalil, menarik kesimpulan. Imam

al-Jurjani, memberi arti istidlal secara umum, yaitu menentukan dalil untuk menetapkan sesuatu

keputusan bagi yang ditunjukan. Dari berbagai definisi tersebut menunjukan bahwa seorang

mujtahid dalam memutuskan sesuatu keputusan hukum apabila tidak menemukan pada dalil

muttafaq sebagaimana tersebut di atas, maka hendaklah mencari dalil lain (istidlal).

Untuk memahami perbedaan metode istidlal dan pengaruhnya terhadap istinbath hukum,

perlu terlebih dahulu mengetahui aspek-aspek yang terkait kedua Imam, seperti pola pemikiran dan

faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1. Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah hidup di Kufah yang kurang dalam hal perbendaharaan ilmu hadist.

Pada masa itu juga sedang marak terjadi pemalsuan hadist, sementara banyak muncul

problema kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukum. Kondisi sosial Kufah sebagai

kota yang berada di tengah kebudayaan persia, masyarakatnya telah mencapai peradaban yang

cukup tinggi, oleh sebab itu dalam menetapkan hukum beliau banyak menggunakan ra’yi.6

Beliau bahkan lebih mengutamakan ra`yi ketimbang khabar ahad. Abu Hanifah berkata:

“Sesungguhnya aku merujuk kepada Al-Qur'an apabila aku mendapatkannya; apabila tidak ada dalam Al-Qur'an, aku merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang tsiqah. Apabila aku tidak mendapatkan dalam Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah, aku merujuk kepada qaul sahabat, (apabila sahabat ikhtilaf), aku mengambil pendapat sahabat yang mana saja yang kukehendaki, aku tidak akan pindah dari pendapat yang satu ke pendapat sahabat yang lain. Apabila didapatkan pendapat Ibrahim, Al-Sya'bi dan ibnu Al-Musayyab, serta yang lainnya, aku berijtihad sebagai mana mereka berijtihad.” 7

5 Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqih al-Islami Beirut, Dar al-Fikr, 1986, hlm. 417 dan Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, cet. VIII, Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah, Mesir, 1999, hlm, hlm. 20.

6 Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 997 Khudhari Bek, Muhammad, Tarekh Tasryri’ al-Islami. Cet. VI; Mesir: al-Sa’adah, 1954 , hlm. 232.

2

Page 3: Makalah Penemuan Hukum_M Nur Rasyid_FINAL_post presentation.docx

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau memakai ijma, qiyas, istishan8, mashlahah

mursalah, dan ‘urf.9

2. Imam Syafi’

Imam Syafi’i sangat menekankan sunnah dan juga mengkolaborasikan antara nash dan

ra’yu. Dalam berdalil dengan dasar-dasar tasyri’ untuk menetapkan hukum, Imam Syafi’i

berpegang kepada dhahir petunjuk nash dan dipahaminya menurut kaidah bahasa Arab.

Mazhab Syafi’i memautkan hukum syara’ dengan urusan-urusan yang telah tetap dan terus

menerus berlaku, bukan dipautkan dengan sangkaan atau dugaan-dugaan.

Dalam perkembangannya, pemikiran Mazhab Syafi’i terbagi dalam dua kelompok:

Pertama, corak pemikiran ketika masih tinggal di Irak (rasionalis) yang dikenal dengan qaul

qadim (pemikiran lama); Kedua, corak pemikirannya setelah pindah ke Mesir yang

mengkolaborasikan corak pemikiran ulama Hijaz (tekstual) dan Irak (rasionalis), yang dikenal

dengan qaul jadid (pemikiran baru). Jika terjadi pertentangan antar qaul jadid dan qaul qadim

maka yang mayoritas adalah qaul jadid. Dengan demikian, qaul qadim adalah pendapat imam

Syafi’i yang bercorak ra’yu, sedangkan qaul jadid adalah pendapatnya yang bercorak

sunnah.10

Jadi, apabila tidak menemukan hukum dari kaidah-kaidah sebelumnya di atas, Imam

Syafi’i memakai jalan istidlal dalam menetapkan hukum. Dua metode istidlal yang diakui

oleh Imam Syafi’i ‘adalah ‘urf dan istishab.11

3. Perbandingan Metode Istidlal Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i dan Pengaruhnya

terhadap Istinbath Hukum

Dalam pola pemikiran terdapat perbedaan yang signifikan antara Imam Abu Hanifah dan

Imam Syafi’i. Dalam hal menentukan metode istidlal, terdapat sejumlah persamaan dan

perbedaan, namun yang paling mencolok adalah menyangkut kehujjahan istihsan sebagai

metode penalaran dalil hukum.

Dalam melakukan penalaran, Imam Syafi’i hanya menggunakan metode qiyas. Namun

berbeda dengan Imam Abu Hanifah, beliau lebih mendahulukan khabar ahad daripada qiyas.

Imam Syafi’i menentang secara terbuka metode istihsan dengan ‘’membatalkan dan

mengharamkannya’’. Imam Syafi’i menolak kehujjahan istihsan dan menganggapnya sebagai

beristinbath terhadap hukum syara’ berdasarkan “hawa nafsu dan seenaknya sendiri”.

8 Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa: “Istihsan merupakan istidlal dengan dasar qiyas yang nyata, atau ia merupakan pentarjihan suatu qiyas atas qiyas yang kontradiksi dengan adanya dalil yang menuntut pentarjihan ini, atau ia merupakan istidlal dengan kemaslahatan mursalah (umum) berdasarkan pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum). Semuanya ini merupakan istidlal yang shahih.”

9 Hanafi, A. Pengantar dan sejarah Hukum Islam. Bulan Bintang, Cet. I: Jakarta, 1970, hlm 13010 Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada,

2002, hlm. 1111 Rasyad Hasan Khalil, Tārikh al-Tasyrī’ al-Islāmi, diterjemahkan oleh Nadirsyah Hawari dengan judul Tarikh Tasyri’,

Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta; Amzah, 2009, hlm.. 189-190.

3

Page 4: Makalah Penemuan Hukum_M Nur Rasyid_FINAL_post presentation.docx

Adapun mengenai metode istishab yang diakui sebagai salah satu metode istidlal oleh

Imam Syafi’i, mayoritas ulama Hanafiah, khususnya mutaakhirin, berpendapat bahwa Istishab

bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap

hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa untuk menetapkan

hukum yang akan ada (tidak mutlak), sementara kalangan Syafi’iyyah berpendapat bahwa

Istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama

belum ada dalil yang mengubahnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa perbedaan tersebut utamanya

disebabkan oleh adanya perbedaan pada pola pemikiran. Kecenderungan Imam Abu Hanifah

sebagai Ahl al-Ra’yi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengembangan teori 

istihsan secara kontekstual, sementara Imam Syafi’i sebagai Ahl al-Hadits mengembangkan

teori qiyas secara tekstual. Adanya perbedaan pada metode istidlal tersebut tentunya

berpengaruh pada istinbath hukum. Berikut beberapa contoh perbedaan istinbath hukum

terhadap suatu berkara akibat perbedaan metode istidlal yang digunakan.

a. Dalam perkara wakaf.

Berdasarkan istihsan, apabila mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka secara

otomatis termasuk pula hak pengairan, hak air minum, hak lewat ke dalam wakaf, tanpa

harus menyebutkanya, sedangkan menurut qiyas Imam Syafi’i semuanya itu tidak

termasuk, kecuali bila terdapat nash yang menyebutkanya sebagaimana jual beli. Secara

teoritis, metode Istihsan tersebut adalah dengan menguatkan qiyas khafi atas qiyas jali

dengan dalil, bahwasanya yang menjadi tujuan dari pada wakaf adalah pemanfaatan

sesuatu yang diwakafkan kepada mereka.12

b. Dalam perkara hukum wanita yang sedang haid membaca Al-Qur’an.

Berdasarkan istihsan, haid berbeda dengan junub karena waktunya lama. Oleh karena itu,

wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka haid yang

panjang itu menghalangi wanita memperoleh pahala ibadah, sedang laki-laki dapat

beribadah setiap saat (secara teoritis metode ini menguatkan qiyas khafi atas qiyas jali

dengan dalil), sedangkan menurut Imam Syafi’i, hukumnya tetap haram, wanita haid itu

diqiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram

membaca Al-Qur’an, maka demikian pula terhadap wanita haid .

c. Dalam perkara jual beli salam (pesanan).

Berdasarkan istihsan diperbolehkan, karena manusia berhajat kepada akad seperti itu dan

sudah menjadi kebiasaan mereka (metode pengecualian sebagai hukum kulli dengan dalil).

12 Dalil/alasannya adalah pemanfaatan tanah pertanian tidak akan ada kecuali dengan meminum airnya, saluran airnya, dan jalannya. Oleh karena itu, hal- hal tersebut juga termasuk dalam wakaf meskipun tanpa menyebutkannya. Karena tujuan tersebut tidak akan terealisasi kecuali dengan hal-hal itu, sebagaimana sewa-menyewa.

4

Page 5: Makalah Penemuan Hukum_M Nur Rasyid_FINAL_post presentation.docx

Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa syariat melarang jual beli yang barangnya

tidak ada pada waktu akad.

Dalam contoh-contoh yang di atas tersebut terdapat pertentangan pada suatu kasus

antara dua metode penalaran, yang pertama qiyas nyata yang mudah dipahami, dan kedua

qiyas yang tersembunyi yang agak rumit untuk dipahami, namun seorang mujtahid

mempunyai dalil yang memenangkan qiyas  yang  tersembunyi, kemudian ia  berpaling dari

qiyas yang nyata. Perpalingan ini adalah “istihsan”. Sedangkan dalil yang menjadi

dasarnya adalah segi istihsannya.

D. KESIMPULAN

Kesimpulan

Perbedaan pada metode Istidlal yang dijalankan oleh kedua Imam tersebut berpengaruh pada

berbedanya beberapa hasil istinbath hukum yang ditetapkan, misalnya dalam perkara wakaf tanah,

hukum wanita haid membaca Al-Quran, jual beli salam dan lain-lain, sehingga dalam konteks yang

lebih luas perbedaan penalaran dalil hukum tersebut menjadi bagian dari khasanah pemikiran Islam

di bidang hukum, yang dinamis dan terus berkembang.

E. DAFTAR PUSTAKA

a. Buku

Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, cet. VIII, Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah,

Mesir, 1999.

Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Cet. V, Bulan Bintang, Jakarta, 1989.

Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz III, Mesir, Dar al-Fikri al-Araby, t.t.

Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam I, Jakarta, Bulan Bintang, 1980.

Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta, Logos Wacana

Ilmu,1997.

Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam: Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, Jakarta;

PT. RajaGrafindo Persada, 2002

Muhammad Khudhari Bek, Tarikh Tasryri’ al-Islami, Cet. VI, al-Sa’adah, Mesir, 1954.

Rasyad Hasan Khalil, Tārikh al-Tasyrī’ al-Islāmi, diterjemahkan oleh Nadirsyah Hawari

dengan judul Tarikh Tasyri’, Sejarah Legislasi Hukum Islam, Amzah, Jakarta, 2009.

Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqih Al-Islami, Dar al-Fikr, Beirut, 1986.

b. Website dan Artikel Internet:

Muhammad Fachmi Hidayat, Sumber dan Dalil Hukum Islam http://muhammad-fachmi-

hidayat.blogspot.com/2013/03/makalah-ushul-fikih-sumber-dan-dalil.html

5