MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

36
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan pada dasarnya adalah diperuntukan untuk setiap warga Negara yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Seperti yang tertulis dalam UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal 5, secara jelas mendeskripsikan hak dan kewajiban Warga Negara. Adapun isi dari pasal tersebut adalah: 1. Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. 2. Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. 3. Warga Negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. 4. Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. 5. Setiap warga Negara behak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa warga Negara tidak terkecuali warga Negara yang memiliki kelainan fisik 1

description

Dalam kaitannya dengan metode pendidikan yang baik untuk mereka yang mempunyai kekurangan, secara fisik ataupun mental maka pembahasan kelompok kami meliputi Pendidikan Integratif, Inklusif, dan Segregatif.

Transcript of MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

Page 1: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan pada dasarnya adalah diperuntukan untuk setiap warga Negara yang berusaha

mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan

jenis pendidikan tertentu. Seperti yang tertulis dalam UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun

2003 pasal 5, secara jelas mendeskripsikan hak dan kewajiban Warga Negara. Adapun isi dari

pasal tersebut adalah:

1. Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan

yang bermutu.

2. Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,

dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

3. Warga Negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang

terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.

4. Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak

memperoleh pendidikan khusus.

5. Setiap warga Negara behak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan

sepanjang hayat.

Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa warga Negara tidak terkecuali warga

Negara yang memiliki kelainan fisik dan keterbelakangan mental memiliki hak yang sama

dengan warga Negara yang lain.

Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan,

peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi

tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan local, nasional, global sehingga perlu

dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

Pendidikan untuk warga Negara yang memiliki kekurangan secara fisik dan mental

membutuhkan penanganan yang lebih intensif oleh pemerintah dan pihak yang berkecimpung

dalam pendidikan. Dengan keterbatasannya, mereka yang mempunyai disabilitas kurang sering

dilihat berbeda dari manusia lainnya. Untuk itu dengan dasar kemanusiaan, sebagai pendidik

1

Page 2: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

berkewajiban membantu mereka dalam hal memperoleh pendidikan yang sama. Dengan

demikian pendidik harus menentukan metode yang tepat bagi mereka sehingga mereka dapat

memperoleh pendidikan secara baik, agar supaya dapat hidup bermasyarakat dan

mengembangkan potensi dirinya.

Dalam kaitannya dengan metode pendidikan yang baik untuk mereka yang mempunyai

kekurangan, secara fisik ataupun mental maka pembahasan kelompok kami meliputi Pendidikan

Integratif, Inklusif, dan Segregatif. Dengan demikian diharapkan dengan mengetahui metode-

metode pendidikan tersebut selaku pendidik kita mengetahui dan mampu untuk mengajarkan

anak didik yang mempunyai disabilitas kurang dan juga tidak terlepas dari anak didik lainnya.

B. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif Secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus

2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan

pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak.

Pengelompokan anak berkebutuhan khusus dan jenis pelayanannya, sesuai dengan Program

Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Tahun 2006 dan Pembinaan Direktorat Jenderal

Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Pendidikan

adalah sebagai berikut :

1. Tuna Netra

2. Tuna Rungu

3. Tuna Grahita

a. Tuna Grahita Ringan (IQ = 50-70)

b. Tuna Grahita Sedang (IQ = 25-50)

c. Tuna Grahita Berat (IQ 125 )

4. Anak Berbakat (anak dengan potensi bakat istimewa)

5. Kesulitan Belajar

6. Lambat Belajar ( IQ = 70 –90 )

7. Autis

8. Korban Penyalahgunaan Narkoba

9. Indigo

2

Page 3: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

C. Visi dan Misi Perkembangan Sekolah Luar Biasa

Visi

Terwujudnya pelayanan yang optimal bagi anak kebutuhan khusus sehingga dapat mandiri dan berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Misi

Memperluas kesempatan bagi semua anak berkebutuhan khusus melalui program

segregasi, terpadu dan inklusi.

Meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan luar biasa dalam hal pengetahuan,

pengalaman, atau keterampilan yang memadai.

3

Page 4: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

BAB II

LANDASAN, TUJUAN DAN FUNGSI PENDIDIKAN BAGI SISWA DISABILITAS

A. Landasan Pendidikan

a. Landasan Filosofi dan Religi

Wujud kebhinekaan manusia secara horizontal ditandai dengan adanya kebhinekaan ras,

agama, budaya, bahasa dan sebagainya. Keberadaan individu disabilitas sebagai wujud

kebhinekaaan secara vertical dibidang intelektual. Individu disabilitas seperti halnya individu-

individu yang lain juga untuk mengemban misi yang sama yaitu membangun kehidupan yang

lebih baik. Karenanya mereka memerlukan pendidikan khusus, yaitu pendidikan yang

disesuaikan dengan kebutuhan individualnya.

b. Landasan Pedagogis dan Psikologis

Individu yang mengalami kesulitan belajar, kesulitan berfikir, dan kesulitan dalam adaptasi

sosial. Hal tersebut disebabkan adanya gangguan pada fisik ataupun mental. Setiap disabilitas

memiliki perbedaan yang sangat beragam sehingga perlu diklasifikasi.

Landasan pedagogis

Intelektual masing individu disabilitas secara significant berada di bawah

rata-rata dengan kemampuan yang sangat beragam sehingga mereka memerlukan

pelayanan pendidikan secara khusus dengan program yang diindividualisasikan

sesuai kemampuan masing-masing individu/kelompok.

Landasan sosiologis

Melalui program pendidikan dan pelatihan yang diindividualisasikan

disabilitas ringan maupun sedang dapat mengembangkan diri dan dapat

melakukan fungsi sosialnya secara wajar di masyarakat. Sesuai dengan

kemampuannya. Mereka perlu mendapatkan pendampingan/advokasi dan

memerlukan bantuan sosial untuk meningkatkan taraf hidupnya.

c. Landasan Hukum dan Perundang-Undangan

Undang-undang RI Nomor 20/2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, pasal 32. Ayat 1,

berbunyi: “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat

kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial

dan/atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa.” Dengan undang-undang tersebut maka anak-

anak pada umumnya memiliki kesamaan kesempatan untuk serendah-rendahnya dapat mengikuti

4

Page 5: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

pendidikan dasar Sembilan tahun. Undang-undang RI Nomor 4/1997 dan Peraturan Pemerintah

Nomor 43 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat, berbunyi:

“Upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat, dilaksanakan melalui:

Kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.

Rehabilitasi medis, sosial, edukasional dan vokasional; Bantuan sosial diarahkan untuk

membantu penyandang cacat agar dapat berusaha meningkatkan taraf kesejahteraan sosial;

Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial diarahkan pada pemberian perlindungan dan pelayanan

agar penyandang cacat dapat memperolh taraf hidup yang wajar.

B. Tujuan Pendidikan

Pendidikan luar biasa bertujuan membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik

dan/atau mental, dan/atau kelainan perilaku agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan

dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan

timbale balik dengan lingkungan sosial budaya dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan

kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.

Selain itu dalam undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan

Nasional, pasal 32 ayat 1 berbunyi: pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik

memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fifik,

emotional, mental, sosial dan/atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa.

C. Fungsi Pendidikan

Melalui pendidikan, disabilitas memiliki kemampuan untuk merealisasikan potensinya

dengan memperoleh kesempatan untuk berkembang secara optimal sesuai kemampuannya.

Dapat mengembangkan kemampuannya untuk berkomunikasi, yaitu membina hubungan dengan

orang lain melalui lisan, tulisan maupun perbuatan, sesuai kemampuannya.

Dapat turut bertanggung jawab sebagai anggota masyarakat dalam segala aspek kehidupan dan

penghidupan sesuai kemampuanya secara wajar. Memperoleh pengakuan sebagai anggota

masyarakat dapat berkesempatan untuk berperan di masyarakat.

5

Page 6: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

BAB III

LAYANAN PENDIDIKAN LUAR BIASA

Layanan pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) lebih bersifat formal.

A. Kurikulum yang digunakan

Kurikulum yang digunakan cenderung bermuatan akademik yang bersifat formal.

Isi kurikulum belum banyak menyentuh kebutuhan dan hambatan belajar peserta didik

disabilitas, sehingga kurikulum seperti ini kecil kemungkinannya untuk mengembangkan

potensi mereka secara optimal. Selama ini guru cenderung menggunakan kurikulum

sebagai patokan utama dalam melakukan pembelajaran dan belum mempertimbangkan

hambatan belajar, hambatan perkembangan, dan kebutuhan disabilitas secara individual.

B. Pendekatan pembelajaran

Pendekatan pembelajaran dilakukan kebanyakan guru lebih bersifat formal,

berpusat pada kurikulum dan pada guru, belum memperhatikan perbedaan perkembangan

dan hambatan belajar peserta didik disabilitas secara individual.dalam proses

pembelajaran sebagian besar guru cenderung lebih banyak member perintah dan

larangan, sangat jarang member penghargaan ketika disabilitas dapat melakukan sesuatu

yang positif sekecil apapun.

C. Penilaian hasil belajar

Para guru cenderung mengatakan hasil pembelajaran adalah penguasaan bahan

pelajaran oleh disabilitas melalui ujian atau tes yang dinyatakan dalam bentuk angka.

Penilaian tersebut belum dapat mengungkapkan seluruh perkembangan yang terjadi pada

diri disabilitas sebagai hasil belajar.

6

Page 7: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

BAB IV

PENDIDIKAN SEGREGATIF

A. Hakikat Pendidikan Segregatif

Sistem pendidikan dimana anak berkelainan terpisah dari sistem pendidikan anak normal.

Penyelengggaraan sistem pendidikan segregasi dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari

penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal.

Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari

sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan

khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A

(untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D

(untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus

(SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan

khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di

sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai

pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain

aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang

terbatas.

B. Fasilitas dan Sarana Pendidikan Segregatif

Tersedia alat-alat bantu belajar yang dirancang khusus untuk siswa. Sebagai contoh

tunanetra, seperti buku-buku Braille, alat bantu hitung taktual, peta timbul, dll.

Jumlah siswa dalam satu kelas tidak lebih dari delapan orang sehingga guru dapat

memberikan layanan individual kepada semua siswa.

Lingkungan sosial ramah karena sebagian besar memiliki pemahaman yang tepat mengenai

disabilitas anak.

Lingkungan fisik aksesibel karena pada umumnya dirancang dengan mempertimbangkan

masalah mobilitas disabilitas, dan kami mendapat latihan keterampilan orientasi dan

mobilitas, baik dari instruktur O&M maupun tutor sesama disabilitas.

Dapat menemukan orang disabilitas yang sudah berhasil yang dapat dijadikan sebagai model.

7

Page 8: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

C. Kategori

Kategori kecacatan SLB itu di kelompokkan menjadi :

1. SLB bagian A untuk anak tuna netra

2. SLB bagian B untuk anak tuna rungu

3. SLB bagian C untuk anak tuna grahita

4. SLB bagian D untuk anak tuna daksa

5. SLB bagian E untuk anak tuna laras

6. SLB bagian G untuk anak cacat ganda

D. Bentuk-Bentuk Sistem Pendidikan Segregasi

Ada empat bentuk penyelenggaraan pendidikan dengan sistem segregasi, yaitu:

1) Sekolah Luar Biasa (SLB)

Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. Bentuk SLB

merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat

persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu

kepala sekolah. Pada awalnya penyelenggaraan sekolah dalam bentuk unit ini berkembang sesuai

dengan kelainan yang ada (satu kelainan saja), sehingga ada SLB untuk tunanetra (SLB-A), SLB

untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan

SLB untuk tunalaras (SLB-E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan

tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi. Selain, ada SLB

yang hanya mendidik satu kelainan saja, ada pula SLB yang mendidik lebih dari satu kelainan,

sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB untuk anak tunarungu dan tunagrahita; SLB-ABCD, yaitu

SLB untuk anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa. Hal ini terjadi karena jumlah

anak yang ada di unit tersebut sedikit dan fasilitas sekolah terbatas.

2) Sekolah Luar Biasa Berasrama

Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi dengan

fasilitas asrama. Peserta didik SLB berasrama tinggal diasrama. Pengelolaan asrama menjadi

satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah, sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan,

tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannyapun juga sama

dengan bentuk SLB di atas, sehingga ada SLB-A untuk anak tunanetra, SLB- B untuk anak

tunarungu, SLB-C untuk anak tunagrahita, SLB-D untuk anak tunadaksa, dan SLB-E untuk anak

8

Page 9: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

tunalaras, serta SLB-AB untuk anak tunanetra dan tunarungu. Pada SLB berasrama, terdapat

kesinambungan program pembelajaran antara yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga

asrama merupakan tempat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu, SLB berasrama

merupakan pilihan sekolah yang sesuai bagi peserta didik yang berasal dari luar daerah, karena

mereka terbatas fasilitas antar jemput.

3) Kelas jauh/Kelas Kunjung

Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk memberi pelayanan

pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB.

Pengelenggaraan kelasjauh/kelas kunjung merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka

menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar. Anak berkebutuhan khusus

tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka

masih sangat terbatas di kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas

kunjung ini diharapkan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus semakin luas. Dalam

penyelenggaraan kelas jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga

guru yang bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka berfungsi

sebagai guru kunjung (itenerant teacher). Kegiatan administrasinya dilaksanakan di SLB

terdekat tersebut.

4) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)

Dalam rangka menuntaskan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus, pemerintah

mulai Pelita II menyelenggarakan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Di SDLB merupakan unit

sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat

anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa. Tenaga kependidikan di SDLB terdiri

dari kepala sekolah, guru untuk anak tunanetra, guru untuk anak tunarungu, guru untuk anak

tunagrahita, guru untuk anak tunadaksa, guru agama, dan guru olahraga. Selain tenaga

kependidikan, di SDLB dilengkapai dengan tenaga ahli yang berkaitan dengan kelainan mereka

antara lain dokter umum, dokter spesialis, fisiotherapis, psikolog, speech therapist, audiolog.

Selain itu ada tenaga administrasi dan penjaga sekolah. Kurikulum yang digunakan di SDLB

adalah kurikulum yang digunakan di SLB untuk tingkat dasar yang disesuikan dengan

kekhususannya. Kegiatan belajar dilakukan secara individual, kelompok, dan klasikal sesuai

dengan ketunaan masing-masing. Pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendekatan

individualisasi. Selain kegiatan pembelajaran, dalam rangka rehabilitasi di SDLB juga

9

Page 10: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

diselenggarakan pelayanan khusus sesuai dengan ketunaan anak. Anak tunanetra memperoleh

latihan menulis dan membaca braille dan orientasi mobilitas; anak tunarungu memperoleh

latihan membaca ujaran, komunikasi total, bina persepsi bunyi dan irama; anak tudagrahita

memperoleh layanan mengurus diri sendiri; dan anak tunadaksa memperoleh layanan fisioterapi

dan latihan koordinasi motorik. Lama pendidikan di SDLB sama dengan lama pendidikan di

SLB konvensional untuk tingka dasar, yaitu anak tunanetra, tunagrahita, dan tunadaksa selama 6

tahun, dan untuk anak tunarungu 8 tahun.

10

Page 11: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

BAB V

PENDIDIKAN INTEGRATIF

A. Hakikat Pendidikan Integratif

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa banyak anak dengan disabilitas kurang,

belajar bersama anak normal, tetapi mereka tidak memperoleh pelayanan pendidikan secara

memadai atau mereka tidak mendapatkan sekolah dengan alasan yang tidak jelas. Hal ini

disebabkan salah satunya karena kurangnya sumber daya manusia dan banyak tenaga ahli yang

belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang anak dengan disabilitas kurang atau rasio

penyelenggaraan yang sangat mahal, sehingga masih sedikit sekolah yang mau menerima mereka

karena berbagai alasan diatas. Menyelenggarakan pendidikan integrasi disekolah merupakan

kemajuan yang baik, tetapi tidak semudah membalikkan tangan. Namun kita harus berani

memulai supaya anak dengan disabilitas kurang mendapat tempat dan penanganan yang terbaik.

Konsep pendidikan integratif memiliki penafsiran yang bermacam-macam antara lain:

a. Menempatkan anak dengan disabilitas dengan anak normal secara penuh.

b. Pendidikan yang berupaya mengoptimalkan perkembangan kognisi, emosi,

jasmani, intuisi.

c. Mengintegrasikan pendidikan anak autisme dengan pendidikan pada umumnya.

d. Mengintegrasikan apa yang dipelajari disekolah dengan tugas masa depan.

e. Mengintegrasikan manusia sebagai mahluk individual sekaligus mahluk sosial

B. Perkembangan Sistem Sekolah untuk Anak dengan Disabilitas

Menjelang pertengahan tahun 1970 an, kebanyakan sistem sekolah telah menciptakan

sekolah khusus yang terpisah untuk anak anak-anak yang mempunyai disabilitas. Masing-masing

sekolah melayani satu jenis disabilitas: biasanya intelektual, fisik, visual atau pendengaran. Dan

masih ada pembagian lebih lanjut berdasarkan atas tingkat disabilitas intelektual, atau untuk

anak-anak yang mempunyai kesulitan pendengaran, pendekatan pengajaran. Pengembangan

sistem sekolah khusus terpisah berdasarkan atas pemahaman bahwa setiap anak yang

mempunyai disabilitas akan memperoleh manfaat pada lingkungan terpisah dimana secara

teoritis paling tidak dapat menyediakan kelas kecil dan pengajaran dan peralatan khusus.

11

Page 12: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

Lebih dari 20 tahun terakhir, terdapat gerakan yang kuat menuju pendidikan siswa dengan

kebutuhan khusus pada sekolah regular. Pendidikan ini tidak lepas kaitannya dengan proses

integrasi, inklusi mainstreaming dan normalisasi. Dalam hal ini siswa yang mempunyai

disabilitas akan menggunakan fasilitas pendidikan khusus yang sama dengan yang digunakan

oleh siswa yang tidak mempunyai disabilitas.

Pendidikan tersebut didasari oleh tiga alasan utama:

1. Riset telah menunjukan dengan jelas bahwa sekolah khusus yang terpisah

menghasilkan hasil pembelajaran sosial atau akademis yang lebih baik dari pada

lingkungan terintegrasi, terutama untuk siswa yang mempunyai disabilitas sedang.

2. Terdapat riset yang menunjukan bahwa anak-anak dapat memperoleh manfaat dari

model sekolah inklusif, meskiun mereka mempunyai disabilitas yang parah dan

berganda.

3. Terdapat penerimaan yang luas mengenai hak semua orang untuk berpartisipasi

sepenuhnya di dalam masyarakat mainstream jika mereka mmemilih untuk

melakukannya.

Konsekuensi dari perubahan-perubahan tersebut adalah bahwa beberapa siswa yang mungkin

sebelumnya menghabiskan seluruh waktu sekolahnya dalam lingkungan yang terpisah, sekarang

akan mempunyai kelas regular. Oleh karena itu merupakan hal yang penting bahwa guru kelas

regular merasa berkopeten untuk mengajar semua siswa yang berada di bawah tanggung jawab

mereka. Mereka harus berbangga hati dalam melayani masyarakat mencakup orang-orang yang

mempunyai cacat dan yang tidak cacat.

C. Teknik Perencanaan Integratif

Mengintegrasikan anak disabilitas dengan anak normal secara penuh harus dengan suatu

konsep, perhitungan yang matang dan kerja keras.Kebanyakan sekolah juga belum memiliki

jawaban yang baik untuk saat ini. Yang ada orang tua dan guru-guru sekolah harus bekerja sama,

bersikap terbuka, selalu komunikasi untuk membuat perencanaan penanganan dengan tehnik

terbaik. Langkah-langkah penerimaan oleh sekolah:

Tentukan jumlah anak disabilitas yang akan diterima misal, dua anak dalam satu kelas

dan lain-lain.

Lakukan tes untuk melihat kemampuan serta menyaring anak.

12

Page 13: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

Setelah tes, wawancara orang tua untuk melihat pola pikirnya, apa tujuan memasukkan

anak ke sekolah.

Buatlah kerangka kerja dan hasil observasi awal.

Susun bagaimana mengatur evaluasi anak dalam hal: siapa yang

bertanggung jawab mengawasi, menerima complain, periode laporan perkembangan dan

lain-lain.

Buatlah kesepakatan antara orang tua dan sekolah bahwa hasil yang dicapai adalah paling

optimal.

Parameter apakah yang dapat membantu

D. Pelaksanaan Pendidikan Terpadu di Indonesia

a) Belajar di kelas biasa dengan guru kelas.

Sekarang ini banyak siswa disabilitas yang mendapatkan program pelayanan pendidikan

terpadu secara penuh, dimana siswa disabilitas belajar di kelas biasa dan ditangani sepenuhnya

oleh guru kelas serta masing-masing guru bidang studi. Sistem ini hanya dapat diikuti oleh siswa

disabilitas yang memiliki intelegensi di atas rata-rata.

b) Belajar di kelas biasa dengan guru kelas dan seorang guru pembimbing khusus.

Siswa disabilitas belajar di kelas biasa dengan guru kelas yang didampingi oleh guru

pembimbing khusus. Guru pembimbing khusus dapat berasal dari kalangan guru PLB tetapi

dapat pula dari tenaga ahli di bidangnya.

c) Belajar di kelas biasa dengan guru kunjung

Guru kunjung biasanya menangani siswa disabilitas yang belajar pada beberapa sekolah.

Fungsinya hanya memberikan saran-saran kepada guru kelas atau guru bidang studi.

d) Belajar di sekolah umum dengan kelas khusus.

Siswa disabilitas belajar di sekolah umum tetapi belajar di kelas yang khusus (terpisah

dengan siswa normal lainnya).

e) Belajar dalam satu lokasi sekolah dengan berbagai macam ketunaan.

Siswa disabilitas bersama dengan siswa yang memiliki kebutuhan khusus lainnya belajar

dalam satu gedung sekolah yang sama.

13

Page 14: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

E. Hambatan Pelaksanaan Pendidikan Terpadu

Di beberapa daerah di Indonesia, banyak sekolah umum yang tidak mau menerima siswa

tuna netra untuk belajar di sekolah tersebut dengan alasan tidak adanya surat keputusan dari

pemerintah yang menyatakan bahwa sekolah tersebut harus menerima siswa yang memiliki

kebutuhan khusus.

Sesuai surat keputusan Kepala Kanwil Depdiknas Propinsi DKI Jakarta

No.31/101.B2/LL/1999 tanggal 23 April 1999 ditunjuklah beberapa sekolah umum di DKI

Jakarta menjadi sekolah terpadu. Pada kenyataannya, banyak Kepala Sekolah yang ditunjuk

sebagai sekolah terpadu merasa keberatan dengan penunjukan tersebut. Alasannya sekolah

mereka tidak akan mendapatkan nilai plus dengan kehadiran siswa yang berkebutuhan khusus di

sekolah mereka. Kepala sekolah juga merasa bahwa dengan penunjukan tersebut akan

menurunkan nilai kinerja sekolah, sementara nilai kinerja sekolah tersebut yang diperoleh

melalui nilai akademis siswa merupakan dasar bagi penilaian akreditasi sekolah yang akan

dilaksanakan mulai tahun ajaran 2002/2003 di seluruh sekolah negeri di Jakarta.

Penunjukan sekolah umum menjadi sekolah terpadu juga tidak disertai dengan sosialisasi

anak berkebutuhan khusus kepada kepala sekolah beserta staff dan gurunya. Selain itu prasarana

dan sarana penunjang pelayanan pendidikan terpadu juga tidak disediakan oleh pemerintah.

Penunjukan sekolah terpadu di Jakarta hanya ditujukan untuk SLTP dan SMU. Sedangkan untuk

jenjang sekolah dasar belum ada penunjukan untuk sekolah terpadu.

Masih banyak anggapan di benak guru-guru di sekolah umum yang menyatakan bahwa

mengajar anak yang memiliki kebutuhan khusus adalah sesuatu yang remeh. Sehingga mereka

akan merasa menjadi rendah apabila sekolah dimana tempat mereka mengajar dijadikan sekolah

terpadu.

Surat Direktur Pendidikan Dasar No.0267/C2/U/1994 tanggal 30 Maret 1994 tentang

penyelenggaraan pendidikan terpadu yang diberlakukan bagi beberapa jenis kecacatan akan

tetapi memiliki kemampuan inteligensi normal atau di atas rata-rata menjadi kendala pula bagi

pelaksanaan pendidikan terpadu di Indonesia. Sebab dengan surat keputusan tersebut pihak

sekolah umum dapat menolak siswa disabilitas yang memiliki intelegensi di bawah rata-rata,

dengan demikian pelaksanaan pendidikan terpadu menjadi sangat terbatas hanya bagi siswa yang

sangat pandai saja

14

Page 15: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

BAB VI

PENDIDIKAN INKLUSIF

A. Hakikat Pendidikan Inklusif

Sekolah Inklusif adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa

reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan

pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan Inklusif, tidak hanya

memenuhi target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak

keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak tetapi lebih

penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan Inklusif mulai dengan merealisasikan

perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari

keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa

dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab. Inklusif terjadi pada semua

lingkungan sosial anak, Pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada

institusi-institusi kemasyarakatan lainnya.

Pendidikan inklusif merupakan sebuah pendekatan yng berusaha mentransformasi sistem

pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk

berpartisipasi penuh daam pendidikan.

Inklusif merupakan perubahan praktis yang memberi peluang anak dengan latar belakang dan

kemampuan yang berbeda bias berhasil dalam beljar. Perubahan ini tidak hanya menguntungkan

anak yang sering tersisihkan, seperti anak berkebutuhan khusus, tetapi semua anak dan

orangtuanya, semua guru dan administrator sekolah, dan setiap anggota masyarakat. (LIRP buku

1).

Inklusif memang menikutsertakan anak berkelaian seperti anak yang memiliki kesulitan

melihat atau mendengar, yang tidak dapat berjalan atau lebih lamban dalam belajar. Namun,

secara luas inklusif juga berarti melibatkan seluruh peserta didik tanpa terkecuali, seperti:

1. Anak yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa pengantar yang digunakan

di dalam kelas.

2. Anak yang beresiko putus sekolah karena sakit, kelaparan atau tidak berprestasi dengan

baik.

3. Anak yang berasal dari golongan agama atau kasta yang berbeda.

4. Anak yang terinfeksi HIV atau AIDS, dan

15

Page 16: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

5. Anak yang berusia sekolah tetapi tidak sekolah.

Prinsip-prinsip dasar pendidikan inklusif, yang membedakan dengan sistem integratif,

apalagi segregatif adalah:

1. Semua anak, siapapun dia, memiliki hak untuk menempuh pendidikan di sekolah mana

pun, dan sekolah wajib menerima murid, siapapun dia.

2. Setiap anak/murid adalah individu yang unik, olehkarenanya, sistem pendidikan harus

dibuat fleksibel, memberikan kemungkinan pada guru untuk melakukan penyesuaian,

guna mengakomodasikan kebutuhan khusus setiap siswa.

3. Sistem pendidikan dalam suatu negara harus dibuat satu sistem, dan sistem pendidikan

untuk anak-anak yang menyandang kecacatan merupakan bagian integral dari sistem

pendidikan umum tersebut; bukan terpisah atau khusus.

Guru-guru di sekolah umum harus memiliki wawasan dan ketrampilan untuk mengajar siswa,

siapa pun dia. Itu sebabnya, pendidikan/pelatihan untuk guru harus melakukan penyesuaian

dengan sistem ini.

Inklusif berarti bahwa sebagai guru bertanggung jawab untuk mengucapkan bantuan dalam

menjaring dan memberikan layanan pendidikan pada semua anak dari otoritas sekolah,

masyarakat, keluarga, lembaga pendidikan, layanan kesehatan, pemimpin masyarakat, dan lain-

lain.

B. Pengembangan Kurikulum

Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:

1. Modifikasi alokasi waktu

Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa.

Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler (Kurikulum

Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam.

Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal (anak

berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.

Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal dapat

dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam;

Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak

lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau lebih; dan untuk anak

tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya.

16

Page 17: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

2. Modifikasi isi/materi

Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi dalam

kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan diperdalam) dan/atau

ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah reguler, tetapi materi

tersebut dianggap penting untuk anak berbakat.

Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal materi dalam

kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat kesulitannya

diturunkan sedikit.

Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak

lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi atau

diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian tertentu.

3. Modifikasi proses belajar-mengajar

Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi, yang meliputi analisis, sintesis, evaluasi, dan

problem solving, untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal;

Menggunakan pendekatan student centered, yang menenkankan perbedaan individual

setiap anak;

Lebih terbuka (divergent)

Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam kelas

heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak kesana-kemari, dari satu

kelompok ke kelompok lain.

Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan

pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kompetitif anak dirangsang

untuk berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi secara fair. Melalui

kompetisi, anak akan berusaha seoptimal mungkin untuk berprestasi yang terbaik, “aku-

lah sang juara”! Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak

negatifnya, yakni mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak dapat menjadi

egois. Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif ini perlu

diimbangi dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan

pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaannya.

Mereka diberi tugas dalam kelompok, secara bersama mengerjakan tugas dan

mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama

17

Page 18: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan cara ini sosialisasi anak dan jiwa kerjasama

serta saling tolong menolong akan berkembang dengan baik. Dengan demikian, jiwa

kompetisi dan jiwa kerjasama anak akan berkembang harmonis.

Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang bertipe visual; ada yang bertipe

auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis).

Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera penglihatan.Tipe

auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera pendengaran.Tipe

kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera perabaan/gerakan.Guru

hendaknya tidak monoton dalam mengajar sehingga hanya akan menguntungkan anak

yang memiliki tipe belajar tertentu saja.

C. Mainstreaming

Seorang siswa mengalami mainstream ketika dia terdaftar pada atau bersekolah pada kelas

khusus. Siswa berada pada kelas khusus yang berintegrasi di pagi hari, dan

bersekolahsebagaimana biasa(mainstream) di sore hari. Mainstreaming secara umum dianggap

sebagai penempatan yang paling normatife secara cultural.

a) Implementasi Mainstreaming

Kelas khusus dan kelas normal bergabung membentuk kelas yang sepenuhnya

berinteraksi.

Masing-masing siswa mempunyai status yang sama sebagai anggota kelas.

Lingkungan sesuai dengan usia.

Kurikulum dibuat untuk mengakomodasikan berbagai kecepatan belajar.

Rasio staff adalah tepat: staff yang bekerja akan bekerja pada kelas regular

dengan guru kelas untuk melayani kbutuhan semua anak-anak di kelas tersebut

termasuk yang mempunyai disabilitas intelektual.

b) Integrasi lain

Disamping kelas normal, terdapat program integrasi untuk semua siswa. Kelas yang akan

distreaming harus sesuai dengan usia agar supaya memberikan interaksi yang maksimum.

Bidang-bidang kurikulum ditentukan oleh staf yang berpartisipasi. Interaksi pada sosial,

insidental, dan direncanakan ditempat bermain , ditempat pertemuan, di ruang kelas, melalui

sistem pertemanan.

18

Page 19: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

c) Evaluasi

a. Evaluasi terprogram.

Data dikumpulkan dari staff, orang tua, personil yang terlibat dan siswa.

Mencakup laporan anekdot, kwisioner dan wawancara.

b. Evaluasi Penempatan

Siswa yang terlibat pada program normal dan parsial yang kemajuannya

dimonitor melalui pelaporan anekdot, sampling kerja dan pengamatan oleh

professional yang terlibat dan orang tua. Penempatan flexible, dengan pendidikan

dan kesejahteraan siswa merupakan faktor penting.

D. Normalisasi

Normalisasi merupakan suatu konsep keadilan sosial yang telah membentuk dasar dari

kebijakan pendidikan khusus dari kebanyakan sistem sekolah. Konsep normalisasi mencakup

kepercayaan bahwa orang-orang berhak untuk menjalani gaya hidup senormal mungkin didalam

masyarakat mereka. Prinsip normalisasi menunjuka bahwa semua anak-anak harus mempunyai

peluang untuk bersekolah di dekat rumah, dengan cara yang sama dengan anak-anak yang tidak

mempunyai disabilitas.

E. Hal-Hal yang Harus Diperhatikan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif

Sekolah harus menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keaneka-ragaman

dan menghargai perbedaan.

Sekolah harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan

pembelajaran yang bersifat individual.

Guru harus menerapkan pembelajaran yang interaktif.

Guru dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

Guru dituntut melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses pendidikan.

19

Page 20: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

BAB VII

KESIMPULAN

Dengan adanya sistem pendidikan integratif, Inklusif dan Segregatif, para siswa yang

mempunyai disabilitas dapat menentukan alternative sistem yang tepat untuk mendapatkan

haknya dalam memperoleh pendidikan. Sebagai pendidik, seharusnya berusaha untuk dapat

mendidik para siswanya baik itu dengan disabilitas ataupun yang tidak. Karena pada dasarnya

tidak ada manusia yang sempurna.

Dikarenakan siswa tidak hanya membutuhkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan untuk dapat

bergabung dalam masyarakat maka diperlukan sistem yang mengajarkan berinteraksi dengan

teman-teman sebaya ataupun yang lain. Melalui sistem pendidikan Integrasi, para siswa

disabilitas dapat berinteraksi dengan teman sebaya dengan mengikuti kelas screaming setelah

kelas khusus dipagi harinya. Dapat pula dengan cara meberikan kelas regular dalam sekolah

umum, yang mana diharapkan setelah secara intensif diberikan pendidikan dengan sesama

disabilitas, mereka dapat berinteraksi dengan teman sebaya dalam lungkungan sekolah.

Sistem pendidikan Inklusif lebih membantu siswa disabilitas dalam proses pembelajarannya

karena dengan menggabungkan siswa disabilitas dengan siswa normal didalam suatu sistem

pengajaran maka mereka akan terpacu untuk dapat mengikuti kemampuan teman-teman

sekelasnya dan dapat dipastikan adanya interaksi sosial. Dalam sistem Inklusif peranan pihak

sekolah terutama pendidik dituntut melakukan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap,

sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi.

Pemerintah juga harus berperan aktif dalam menyediakan sarana dan prasarana guna

mengembangkan potensi para pendidik agar dapat membantu siswa disabilitas mengembangkan

potensi yang dimilikinya sehingga dapat berinteraksi secara sosial dan pada akhirnya bermanfaat

bagi umat manusia lainnya.

Sistem segregatif ini berlangsung sangat lama, bahkan telah ada sebelum Louis Braille lahir.

Kemudian, di pertengahan abad 20an, orang mulai melakukan evaluasi terhadap sistem ini.

Beberapa kelemahan yang terdapat pada sistem segregatif ini adalah:

Mendirikan sekolah luar biasa membutuhkan biaya yang sangat mahal, karena semuanya harus

serba khusus; sekolahnya khusus/tersendiri, dengan fasilitas tersendiri, berikut guru-guru khusus,

dan hanya menampung satu jenis kekhususan atau kecacatan. Misalnya, SLB-A, hanya

menerima siswa tunanetra; SLB-B, hanya menerima siswa tunarungu; SLB-C, hanya menerima

20

Page 21: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

siswa dengan gangguan kecerdasan; SLB-D, hanya menerima siswa dengan kecacatan tangan

dan kaki. Jumlahnya terbatas, hanya ada di kota-kota besar.

Mengingat mahalnya SLB, pada umumnya Pemerintah hanya bisa mendirikan dalam jumlah

yang terbatas, biasanya hanya di kota-kota besar. Akibatnya, siswa tunanetra yang mulai

bersekolah dan tinggal di kota yang berbeda dengan lokasi SLB, harus meninggalkan atau

berjauhan dari keluarga, dan tinggal di asrama.

Kondisi terpisah dari keluarga ini tentu tidaklah ideal, baik bagi si anak tunanetra khususnya

yang masih usia sangat muda, maupun bagi keluarga tersebut; orang tua tidak bisa memantau

perkembangan anaknya secara intensif.

Siswa tunanetra hanya berteman dengan sesama tunanetra, ini berdampak pada:

1. Mereka tidak berada di dunia yang sebenarnya; pada kenyataannya, di masyarakat terdiri dari

kelompok yang berragam-ragam, tidak hanya satu golongan.

2. Sosialisasi menjadi kurang, dan ini berakibat siswa tidak atau kurang siap terjun ke

masyarakat nantinya; merasa rendah diri dan kurang percaya diri.

3. Situasi di sekolah kurang kompetitif; biasanya jumlah murid di SLB hanya sedikit, dan siswa

tidak terlalu bersemangat untuk ”bersaing secara sehat” untuk meraih prestasi sebaik

mungkin.

Bagi masyarakat, termasuk anak-anak/siswa-siswa yang tidak menyandang kecacatan,

mereka tidak atau kurang terbiasa melihat, bertemu dan bergaul dengan siswa yang menyandang

kecacatan. Akibatnya, siswa dan masyarakat yang tidak menyandang kecacatan kurang bisa

memahami dan menghargai siswa dan orang-orang dengan kecacatan.

Mencermati banyaknya kelemahan yang ada pada sistem pendidikan segregatif, di paruh

kedua abad 20 orang mulai membuka kesempatan bagi siswa tunanetra untuk menempuh

pendidikan di sekolah umum. Sistem ini kemudian disebut sistem pendidikan integrasi, yaitu

sistem pendidikan yang ”memberikan kesempatan” kepada siswa tunanetra dan siswa dengan

kecacatan lain untuk menempuh pendidikan di sekolah umum, asal mereka bisa menyesuaikan

diri dengan sistem dan kurikulum yang ada.

21

Page 22: MAKALAH PENDIDIKAN DENGAN LAYANAN KEKHUSUSAN

DAFTAR PUSTAKA

Enslikopedi Indonesia, edisi khusus 4 KOM, Jakarta: PT Ichtiar Baru – Van Hoave.

Yusron Razak, Afifi Fauzi Abbas, Nandi Rahman dan Zamah Sari, Pendidikan Agama, ( Jakarta,

UHAMKA PRESS, 2001).

Mustofa Kemal Pasha, Ahmad Abady Darban, Muhammadiyah sebagai Historis dan Idiologis

Internet, Rekontruksi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan, PC IMM, Bandung : 2008

Ajib, R. (2013, April 09). Riyan Ajib. Retrieved November 10, 2013, from riyanajib:

http://riyanajib.blogspot.com/2013/04/bentuk-layanan-segregasi-untuk-anak.html

Coroners, L. (n.d.). Another Coroners. Retrieved November 10, 2013, from lukmancoroners: http://lukmancoroners.blogspot.com/2010/04/disusun-oleh-nouval-neni-kurnianingsih.html

22