Makalah Pencemaran Udara Akibat Kebakaran Hutan

download Makalah Pencemaran Udara Akibat Kebakaran Hutan

of 31

Transcript of Makalah Pencemaran Udara Akibat Kebakaran Hutan

  • TUGAS KULIAH

    KEBIJAKAN PENGELOLAAN SDA DAN LINGKUNGAN HIDUP

    KEBAKARAN HUTAN DAN PENCEMARAN UDARA

    (Studi kasus di Provinsi Riau)

    Oleh:

    1. GUNTUR ATUR PARULIAN (1306493404)

    2. LIA YUNITA (1306493410)

    3. MUHAMMAD BARIED IZHOM (1306493423)

    4. PANUNTUN SETIYO UTAMI (1306493436)

    DEPARTEMEN GEOGRAFI

    FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

    UNIVERSITAS INDONESIA

    2014

  • A. Latar Belakang

    Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki wilayah hutan terluas kedua

    di dunia. Keberadaan hutan ini tentunya merupakan berkah tersendiri. Hutan merupakan

    ekosistem alamiah yang keanekaragaman hayatinya sangat tinggi. Keberadaan hutan di

    Indonesia sangat penting tak hanya untuk bangsa Indonesia tetapi juga bagi semua

    makhluk hidup di bumi. Hutan di Indonesia sering dijuluki sebagai paru-paru dunia. Hal ini

    wajar mengingat jumlah pepohonan yang ada di dalam kawasan hutan ini bisa mendaur

    ulang udara dan menghasilkan lingkungan yang lebih sehat bagi manusia. Sayangnya,

    akhir-akhir ini kebakaran hutan di Indonesia semakin sering terjadi. Penyebabnya bisa

    beragam yang dibagi ke dalam dua kelompok utama, alam dan campur tangan manusia.

    Menurut data statistik, kebakaran hutan di Indonesia sebanyak 90% disebabkan oleh

    manusia dan selebihnya adalah kehendak alam.

    Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat

    memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara

    lain industri, transportasi, perkantoran, dan perumahan. Berbagai kegiatan tersebut

    merupakan kontribusi terbesar dari pencemar udara yang dibuang ke udara bebas. Sumber

    pencemaran udara juga dapat disebabkan oleh berbagai kegiatan alam, seperti kebakaran

    hutan, gunung meletus, gas alam beracun, dan lain-lain. Dampak dari pencemaran udara

    tersebut adalah menyebabkan penurunan kualitas udara, yang berdampak negatif terhadap

    kesehatan manusia. Udara merupakan media lingkungan yang merupakan kebutuhan dasar

    manusia perlu mendapatkan perhatian yang serius, hal ini pula menjadi kebijakan

    Pembangunan Kesehatan Indonesia 2010 dimana program pengendalian pencemaran udara

    merupakan salah satu dari sepuluh program unggulan.

    Kebakaran hutan dan lahan merupakan bencana yang selalu dikaitkan dengan isu

    lingkungan. Terkait dengan isu lingkungan, selain berkurangnya keanekaragaman hayati,

    udara yang meningkat. Pencemaran udara akibat kebakaran hutan tersebut bukan hanya

    dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan, tetapi juga meliputi ke provinsi lain bahkan

    sampai lintas batas negara.

  • Provinsi Riau merupakan provinsi yang berbatasan langsung dengan negara tetangga.

    Tercatat dalam tahun 1997/1998 kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau mencapai

    26.000 ha. Salah satu penyebab kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau karena adanya

    land clearing (pembersihan lahan) hutan untuk dijadikan perkebunan. Salah satu metode

    yang paling ekonomis dan efektif dari kegiatan land clearing adalah dengan cara

    membakar.

    B. Rumusan Masalah

    Kebakaran hutan dan lahan merupakan bencana yang telah berlangsung selama bertahun-

    tahun, bahkan kebakaran hutan yang ada di Indonesia terjadi hampir setiap tahunnya. Salah

    satu dampak kebakaran hutan dan lahan yang langsung dapat dirasakan berupa pencemaran

    udara yang tidak hanya terdampak di wilayah Indonesia saja tetapi sering kali

    menyebabkan pencemaran udara hingga lintas batas (transboundary haze pollution) ke

    wilayah negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Maka untuk itu perlu

    dikaji mengenai penanggulangan pencemaran udara akibat kebakaran hutan.

    Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengenai penyebab

    kebaran hutan, dampak kebakaran hutan terhadap kualitas udara, dan upaya penanganan

    dari kebakaran hutan dan lahan. Contoh kasus kebakaran hutan yang ambil yaitu kasus

    kebakaran hutan di Provinsi Riau. Secara singkat rumusan masalahnya adalah sebagai

    berikut:

    1. Bagaimanakah dampak yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan dan lahan di

    Provinsi Riau terhadap kualitas udara?

    2. Bagaimanakah peran pemerintah maupun rakyat dalam upaya mengatasi masalah

    pencemaran udara akibat kebakaran hutan?

    C. Tujuan Penulisan

    Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah memperoleh pengertian

    mengenai dampak pencemaran udara akibat kebakaran hutan dan lahan serta upaya

    pengendalian yang perlu diambil baik yang sudah berjalan atau yang seharusnya

    dijalankan.

  • D. Keterkaitan Kebijakan Pemerintah

    Pemerintah telah tegas dalam mengatur upaya pengendalian dampak kebakaran hutan dan

    lahan terkait dengan kualitas udara, diantara lain :

    a. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010

    Kebijakan pemerintah tentang mekanisme pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan

    lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan terdapat dalam

    Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010. Penjelasannya

    adalah sebagai berikut:

    Pasal 1

    1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam

    hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

    dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

    2. Lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha

    dan/atau kegiatan ladang dan/atau kebunbagi masyarakat.

    3. Pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkunganhidup adalah upaya untuk

    mempertahankan fungsi hutan dan/atau lahan melalui cara-cara yang tidak memberi

    peluang berlangsungnya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yangberkaitan

    dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.

    4. Sistem peringkat bahaya kebakaran adalah sistem yang dikembangkan untuk membantu

    para pengelola kebakaran untuk mengurangi kerusakan akibat kebakaran untuk mendukung

    pengaturan kegiatan dengan resiko tinggi penyebab kebakaran dan penerapan sumberdaya

    pemadaman kebakaran secara efektif berdasarkan observasi meteorologi harian dan

    tutupan vegetasi.

    5. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung

    terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku

    kerusakan lingkungan hidup.

    6. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,

    energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia

    sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

    7. Pembukaan lahan adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyiapan dan

    pembersihan lahan untuk kegiatan budidaya maupun non budidaya.

  • 8. Pembukaan Lahan Tanpa Bakar yang selanjutnya disingkat PLTB adalah suatu cara

    pembukaan lahan pertanian tanpa melakukan pembakaran.

    9. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun

    bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,

    adanya hubungan yangkuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang

    menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

    10. Indeks Standar Pencemar Udara yang selanjutnya disingkat ISPU adalah angka yang

    tidak mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi kualitas udara ambien di lokasi

    dan waktu tertentu yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai

    estetika dan makhluk hidup lainnya.

    Pasal 4

    (1) Masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan

    maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib

    memberitahukan kepada kepala desa.

    (2) Kepala desa menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    kepada instansi yang menyelenggarakanurusan pemerintahan di bidang perlindungan dan

    pengelolaanlingkungan hidup kabupaten/kota.

    (3) Pembakaran lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)tidak berlaku pada kondisi

    curah hujan di bawah normal, kemarau panjang, dan/atau iklim kering.

    Pasal 8

    Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya melakukan deteksi dini

    pencegahan kebakaran hutan dan/atau lahan dengan menyediakan data dan informasi

    yang meliputi: a. akuisisi citra satelit; b. analisis citra satelit untuk mengetahui daerah

    rawan kebakaran hutan dan/lahan serta lokasi terbakar; c. pengembangan peta rawan dan

    peta potensi biomassa terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan; d. pengembangan

    algorithma dan deteksi titik panas; dan/atau e. pengembangan basis data mengenai luas

    area dan dampak kebakaran hutan dan/atau lahan.

    Pasal 11

    (1) Menteri, menteri teknis terkait, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan

    kewenangannya melakukan pembinaan terhadap masyarakat dan penanggung jawab

  • usaha dan/atau kegiatan untuk melaksanakan pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan

    lingkunganhidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.

    (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara lain melalui: a.

    pendidikan dan/atau pelatihan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan

    hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan; b. fasilitasi dengan

    mekanisasi pertanian kepada masyarakat hukum adat; dan/atau c. penyuluhan mengenai

    peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengendalian pencemaran

    dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau

    lahan.

    Pasal 12

    (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya melakukan

    pengawasan terhadap penanggungjawab usahadan/atau kegiatan yang memanfaatkan

    hutan dan/atau lahan dalam pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkunganhidup

    yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan,.

    (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap: a. perusahaan

    yang lokasi usaha dan/atau kegiatannya terbakar dan/atau terdeteksi titik panas dalam

    kurun waktu tertentu; dan b. rencana kerja serta sarana dan prasarana yang harusdimiliki.

    (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara: a. periodik

    untuk mencegah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan

    dengan kebakaran hutan dan/atau lahan; dan b. intensif untuk menanggulangi dampak

    dan memulihkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yangberkaitan

    dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.

    (4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapatmelibatkan masyarakat.

    b. Undang Undang No. 32 Tahun 2009

    Dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

    Lingkungan Hidup, dijelaskan bahwa melakukan pencemaran terhadap baku mutu udara

    ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup

    merupakan suatu tindakan pidana atau melanggar hukum. Informasi singkat mengenai

    sanksi yang tertuang dalam undang-undang tersebut dapat dilihat pada tabel berikut,

  • TABEL 1.

    SANKSI PELANGGARAN TERHADAP PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN

    c. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012

    Analisis dampak lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan

    penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang

    diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau

    kegiatan di Indonesia. AMDAL ini dibuat saat perencanaan suatu proyek yang

    diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Yang

    dimaksud lingkungan hidup di sini adalah aspek abiotik, biotik dan kultural. Dasar

    hukum AMDAL di Indonesia adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang

    "Izin Lingkungan Hidup" yang merupakan pengganti PP 27 Tahun 1999 tentang Amdal.

    Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan Hidup berisi

    mengenai pentingnya analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi proses

    pengambilan keputusan tentang pelaksanaan rencana usaha dan kegiatan yang

    mempunyai dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup. Peraturan pemerintah

    tersebut juga menegaskan bahwa pemanfaatan sumber daya harus dipergunakan secara

    bijaksana dalam pembangunan yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

    mutu hidup, perlu dijaga keserasian antar berbagai usaha atau kegiatan.

  • d. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 289/MENKES/SK/III/2003

    Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 289/MENKES/SK/III/2003 tentang

    Prosedur Pengendalian Dampak Pencemaran Udara Akibat Kebakaran Hutan Terhadap

    Kesehatan. Pengendalian dampak tersebut terbagi menjadi 3 poin utama, yaitu fase pra

    bencana kebakaran hutan, fase bencana kebakaran hutan, dan fase pasca kebakaran hutan.

    Pada ketiga fase kebakaran hutan tersebut kegiatan yang dilakukan meliputi aspek teknis

    dan manajemen. Pada dasarnya fase pra bencana (kesiapsiagaan) lebih diarahkan kepada

    penentuan perkiraan besaran masalah. Perkiraan tersebut dilakukan dengan monitoring

    kualitas udara dilakukan untuk mengetahui gambaran dan kecenderungan adanya

    peningkatan tingkat Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di suatu daerah. sedangkan

    pada fase bencana diarahkan kepada tindakan reaksi cepat penanggulangan. Fase bencana

    kebakaran hutan adalah fase dimana mulai terjadi kebakaran hutan dan ditandai oleh

    angka ISPU 200 dan dinyatakan berakhir apabila angka ISPU mencapai 200. Fase

    yang ke 3 merupakan fase pasca bencana diarahkan kepada evaluasi pelaksanaan dan

    rencana tindak lanjut.

    E. Penyebab Kebaran Hutan

    Kebakaran hutan di Indonesia adalah peristiwa dimana hutan yang digologkan sebagai

    ekologi alamiah mengalami perubahan bentuk yang disebabkan oleh aktfitas pembakaran

    secara besar-besaran. Pada dasarnya, peristiwa ini memberi dampak negatif maupun

    positif. Namun, jika dicermati, dampak negatif kebakaran hutan jauh lebih mendominasi

    ketimbang dampak positifnya. Oleh sebab itu hal ini penting untuk dicegah agar dampak

    negatifnya tidak merugikan manusia terlalu banyak. Salah satu upaya pencegahan yang

    paling mendasar adalah dengan memahami penyebab terjadinya kebakaran hutan di

    Indonesia. Di dalam Kamus Kehutanan yang diterbitkan oleh Kementrian Kehutanan RI,

    disebutkan bahwa kebakaran hutan disebabkan oleh alam dan manusia. Konteks alam

    mencakup musim kemarau yang berkepanjanganjuga sambaran petir. Sementara faktor

    manusia antara lain kelalaian membuang punting rokok, membakar hutan dalam rangka

    pembukaan lahan, api unggun yang lupa dimatikan dan masih banyak lagi lainnya.

  • Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik perdebatan, apakah karena

    alami atau karena kegiatan manusia. Namun berdasarkan beberapa hasil penelitian

    menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal

    dari kegiatan atau permasalahan sebagai berikut:

    1. Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah.

    2. Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk insdustri

    kayu maupun perkebunan kelapa sawit.

    3. Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan

    tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum adat dan hukum positif

    negara.

    Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan hutan dimana

    pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat, murah dan

    praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan

    terkendali karena telah mengikuti aturan turun temurun (Dove, 1988). Kebakaran liar

    mungkin terjadi karena kegiatan perladangan hanya sebagai kamuflasa dari penebang liar

    yang memanfaatkan jalan HPH dan berada di kawasan HPH.

    Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk pengembangan

    tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang cukup luas. Metoda

    pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif

    pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat. Namun metoda ini sering

    berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan

    tanaman industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan

    lahan lainnya.

    Sedangkan penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik

    modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa

    kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh para

    investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan

    masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan

  • yang telah mereka miliki secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidak adilan

    menjadi pemicu kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk

    memadamkannya.

    F. Permasalahan dari aspek ekologi, sosial, ekonomi, budaya, kesehatan, hukum dan

    kelembagaan

    a. Aspek Kesehatan

    Dampak kebakaran hutan dan lahan yang paling menonjol adalah terjadinya kabut asap

    yang sangat mengganggu kesehatan masyarakat dan sistem transportasi sungai, darat,

    laut, dan udara. Secara sektoral dampak kebakaran ini mencakup sektor perhubungan,

    kesehatan, ekonomi, ekologi dan sosial, termasuk citra bangsa di mata negara tetangga

    dan dunia. World Wildlife Fund (WWF) menyampaikan kerugian akibat kebakaran

    hutan pada tahun 1997 di Indonesia kurang lebih 4,4 milyar dolar Amerika Serikat.

    World Wildlife Fund (WHO) memperkirakan sekitar 20 juta orang Indonesia telah

    terpajan asap kebakaran hutan yang mengakibatkan berbagai gangguan paru dan sistem

    pernapasan. Sejumlah besar bahan kimia asap kebakaran hutan dapat mengganggu

    kesehatan meliputi partikel dan komponen gas seperti sulfur dioksida (SO2), karbon

    monoksida (CO), formaldehid, akrelein, benzen,nitrogen oksida (NOx) dan ozon (O3).

    b. Aspek Ekologi

    Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan

    tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang

    luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink),

    habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah

    satu aspek biosfer Bumi yang paling penting. Hutan sebagai suatu ekosistem tidak

    hanya menyimpan sumberdaya alam berupa kayu, tetapi masih banyak potensi non

    kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budidaya tanaman

    pertanian pada lahan hutan. Sebagai fungsi ekosistem hutan sangat berperan dalam

    berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta-juta

    flora dan fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya

    pemanasan global. Sebagai fungsi penyedia air bagi kehidupan hutan merupakan salah

  • satu kawasan yang sangat penting, hal ini dikarenakan hutan adalah tempat

    bertumbuhnya berjuta tanaman. Kerugian kerugian ekologis lainya yaitu berkurangnya

    luas wilayah hutan, tidak tersedianya udara bersih yang dihasilkan vegetasi hutan serta

    hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur tata air dan pencegah terjadinya erosi.

    Hutan merupakan sumber bagi tiga perempat air bersih, menstabilkan lereng dan

    mencegah tanah longsor, serta melindungi masyarakat pantai terhadap tsunami dan

    topan. Hutan juga membantu memerangi perubahan iklim, karena hutan menyimpan

    lebih banyak karbon yang ada di atmosfir. Hutan Sebagai Penghasil Oksigen (O2) serta

    Penyerapan CO2 oleh tumbuhan memberi andil dalam mengurangi pencemaran CO2 di

    udara. Karbon dari CO2 ini disimpan di dalam jaringan tumbuhan (kayu) yang

    kemudian kayu ini berguna bagi manusia. Suatu laporan menyebutkan bahwa sebatang

    pohon selama hidupnya diprediksi mampu menyerap 7.500 gram karbon.

    Lahan gambut merupakan salah satu penyerap karbon di planet ini, perluasan

    deforestasi dilahan gambut membuat peningkatan emisi CO2 dan CH4 (gas rumah kaca

    utaman). Hutan Gambut di Indonesia mempunyai luas 2.7 juta ha (ketebalan 2-15 m)

    dan hutan ini menempati peringkat keempat di Dunia setelah Russia, Kanada dan USA,

    menurut WEC 2010. Juga menyimpan 54 Gt karbon (UNEP 2011) yang senilai karbon

    dilahan gambut 7.42-22.09 USD/ha untuk 30 tahun. Karbon tersimpan didalam hutan,

    jika vegetasi hutan sehat dan tumbuh, maka karbon pada kayu akan terakumulasi.

    Jumlah penyerapan karbon tergantung pada kelimpahan spesies pohon dan kerapatan

    yang tinggi, jumlah karbon yang tersimpan pada biomasa kayu di atas tanah hutan

    tropis mencapai 170-250 ton karbon/ha dengan nilai karbon hutan non-gambut 3.711-

    11.185 USD/ha untuk 25 tahun. Ketika pohon dan vegetasinya di tebang dan di

    bersihkan, hutan kehilangan kemampuanya untuk menyerap karbon dan karbon yang

    tersimpan dilepaskan kembali ke atmosfer. sekitar 17% dari emisi gas rumah kaca

    global berasal dari pembukaan dan pembakaran hutan, menurut Van der Werf Etal

    2009.

  • c. Ekonomi dan Sosial

    Dampak kebakaran yang sangat dirasakan manusia berupa kerugian ekonomis yaitu

    hilangnya manfaat dari potensi hutan seperti tegakan pohon hutan yang biasa

    digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya akan bahan bangunan, bahan

    makanan, dan obat-obatan, serta satwa untuk memenuhi kebutuhan akan protein

    hewani dan rekreasi. Kerugian lainnya berupa kerugian ekologis yaitu berkurangnya

    luas wilayah hutan, tidak tersedianya udara bersih yang dihasilkan vegetasi hutan serta

    hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur tata air dan pencegah terjadinya erosi.

    Dampak global dari kebakaran hutan dan lahan yang langsung dirasakan adalah

    pencemaran udara dari asap yang ditimbulkan mengakibatkan gangguan pernapasan

    dan mengganggu aktifitas sehari-hari. Peristiwa kebakaran hutan yang terjadi di

    Indonesia pada tahun 1997 1998 dan 2002 2005 menghasilkan asap yang juga

    dirasakan oleh masyarakat Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam serta

    mengancam terganggunya hubungan transportasi udara antar negara.

    Kebakaran hutan dan lahan terjadi disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor alami

    dan faktor kegiatan manusia yang tidak terkontrol. Faktor alami antara lain oleh

    pengaruh El-Nino yang menyebabkan kemarau berkepanjangan sehingga tanaman

    menjadi kering. Tanaman kering merupakan bahan bakar potensial jika terkena

    percikan api yang berasal dari batubara yang muncul dipermukaan ataupun dari

    pembakaran lainnya baik disengaja maupun tidak disengaja. Hal tersebut menyebabkan

    terjadinya kebakaran bawah (ground fire) dan kebakaran permukaan (surface fire). Dua

    tipe kebakaran tersebut merusak semak belukar dan tumbuhan bawah hingga bahan

    organik yang berada di bawah lapisan serasah seperti humus, gambut, akar pohon

    ataupun kayu yang melapuk. Apabila lambat ditangani kebakaran dapat terjadi meluas

    sehingga menimbulkan kebakaran tajuk (crown fire) dimana kebakaran ini merusak

    tajuk pohon. Akan tetapi tipe kebakaran terakhir ini dapat terjadi juga karena adanya

    sembaran petir.

    Faktor kegiatan manusia yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan antara lain

    adanya kegiatan pembuatan api unggun di dalam hutan, namun bara bekas api unggun

    tersebut tidak dipadamkan. Adanya kegiatan pembukaan lahan dengan teknik tebang-

  • tebas-bakar yang tidak terkontrol, biasa dilakukan oleh perusahaan HTI dan peladang

    berpindah ataupun menetap. Pembakaran secara disengaja untuk mendapatkan

    lapangan penggembalaan atau tempat berburu, membuang puntung rokok yang

    menyala secara sembarangan serta akibat penggunaan peralatan/mesin yang

    menyebabkan timbulnya api.

    Dampak kebakaran terhadap produksi di sektor pertanian diduga tidak terlalu besar

    karena pembakaran dilakukan untuk penyiapan/pembersihan lahan, bukan dalam masa

    pertanaman, kecuali jika kebakaran menjalar secara tidak terkendali pada lahan yang

    sedang berproduksi. Dampak kebakaran yang sangat dirasakan manusia berupa

    kerugian ekonomis yaitu hilangnya manfaat dari potensi hutan seperti tegakan pohon

    hutan yang biasa digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya akan bahan

    bangunan, bahan makanan, dan obat-obatan, serta satwa untuk memenuhi kebutuhan

    akan protein hewani dan rekreasi.

    Kebakaran hutan di Indonesia perlu ditanggulangi secara tepat sebab peristiwa ini

    memiliki dampak buruk bagi kehidupan manusia. Dampak tersebut yaitu:

    1. Kebakaran hutan akan menyebarkan sejumlah emisi gas karbon ke wilayah atmosfer

    dan berperan dalam fenomena penipisan lapisan ozon.

    2. Dengan terbakarnya hutan, satwa liar akan kehilangan rumah tempat mereka hidup

    dan mencari makan. Hilangnya satwa dalam jumlah yang besar tentu akan berakibat

    pada ketidakseimbangan ekosistem.

    3. Hutan identik dengan pohon. Dan pepohonan identik sebagai pendaur ulang udara

    serta akarnya berperan dalam mengunci tanah serta menyerap air hujan. Jika

    pepohonan berkurang, dipastikan beberapa bencana akan datang seperti bajir atau

    longsor.

    4. Kebakaran hutan di Indonesia akan membuat bangsa kita kehilangan bahan baku

    industri yang akan berpengaruh pada perekonomian.

    5. Jumlah hutan yang terus berkurang akan membuat cuaca cenderung panas.

    6. Asap dari hutan akan membuat masyarakat terganggu dan terserang penyakit yang

    berhubungan dengan pernapasan.

  • 7. Kebakaran hutan bisa berdampak pada menurunnya jumlah wisatawan yang

    berkunjung ke sebuah Negara.

    Namun, Kondisi hutan di Indonesia saat ini sangatlah memperihatinkan, tercatat luas

    hutan di Indonesia pada tahun 1990 mencapai 116.567.000 ha, kemudian pada tahun

    2000 berkurang menjadi 97.852.000 ha dan tinggal 88.496.000 ha pada tahun 2005.

    Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), laju kerusakan hutan

    di Indonesia tahun 2002-2005 merupakan yang terbesar dan terparah di dunia. Setiap

    tahun, menurut FAO, rata-rata 1,871 juta ha hutan Indonesia hancur atau 2 persen dari

    luas hutan yang tersisa pada tahun 2005, yakni 88,495 juta ha. Sedangkan pada tahun

    2008, data Departemen Kehutanan sendiri mengungkapan laju deforestasi Indonesia

    antara tahun 2003-2006 mencapai 1,17 juta ha/th, 64.8% dikawasan hutan dan 35.2%

    diluar kawasan (APL). Laju penggundulan hutan sangat tingggi terjadi di pulau

    Kalimantan, 6 X lapangan bola/menit yang nilai penyerapanya sama dengan 5 milyar

    ton CO2/th. Semetara di Sumatra, penenbangan liar bertanggung jawab atas hilangnya

    380.000 ha/th hutan antara 1985-2007, atau sebanding dengan nilai karbon dari

    pencegahan deforestasi USD 1 milyar pertahun.

    G. Lingkup Bahasan

    Lingkup bahasan yang dikaji dalam makalah ini yaitu kebakaran hutan di Provinsi Riau

    Tahun 2014 dengan mengkaji mengenai penyebab kebaran hutan, dampak kebakaran hutan

    terhadap kualitas udara, dan upaya pengendalian pencemar udara akibat dari kebakaran

    hutan dan lahan.

    H. Metodologi

    Penulisan makalah ini dilakukan dengan melihat dampak kebakaran hutan terhadap

    kualitas lingkungan udara dengan pendekatan analisis keruangan (spatial analysis).

    Analisis keruangan yang kami lakukan adalah dengan mempelajari karakteristik pola

    penyebaran dari kebakaran hutan secara temporal serta dampak pencemaran udara. Selain

    itu juga melihat terkait kebijakan yang mengatur mengenai isu kebakaran hutan dan

  • pencemaran udara yang diakibatkan serta upaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi

    permasalahan tersebut. Pengumpulan data dalam makalah ini menggunakan data informasi

    sekunder dan studi literatur. Secara sederhana alur metodologi dapat digambarkan dalam

    diagram pada Gambar 1.

    GAMBAR 1.

    ALUR PIKIR METODOLOGI

    Dalam pendekatan ini diawali dengan memadukan informasi mengenai luas dan lokasi

    kebakaran hutan. Fokus selanjutnya adalah penentuan masalah kebijakan. Beberapa

    penyebab utama disoroti dengan menjelaskan kegiatan-kegiatan tataguna lahan yang

    memiliki kontribusi terjadinya kebakaran hutan. Laporan ini selanjutnya menguraikan hasil

    kajian dan analisis dampak kebakaran hutan pada kualitas udara.

    I. Data dan Analisis Dampak dari Aspek Geografi Lingkungan

    Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana,

    kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan di mana hutan dan lahan dilanda api,

    sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan lahan yang menimbulkan kerugian ekonomis

    dan atau nilai lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan seringkali menyebabkan bencana

    asap yang dapat mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat sekitar. Dampak

    langsung dari kebakaran hutan dapat terlihat dengan menganalisis data sebaran titik api

    (Hot Spot) serta kabut asap yang ditimbulkan.

    a. Wilayah Terdampak Kebakaran Hutan

    Sebaran titik api (Hot Spot) dapat menunjukan wilayah yang rentan terhadap bahaya

    kebakaran hutan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai lembaga yang

    Data Jumlah

    Titik Api

    Indonesia

    Sebaran Titik

    Api Provinsi

    Riau Tahun

    2003 - 2014

    Analisis

    Dampak

    Pencemaran

    Udara

    Peraturan

    Perundangan

    Upaya

    Penanggulangan

    Kebakaran

    Hutan dan

    Dampak

    Terhadap

    Pencemaran

    Udara

  • memiliki fungsi mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan penanganan

    bencana dan kedaruratan secara terpadu, memetakan sebaran jumlah titik api di Indonesia.

    GAMBAR 2.

    JUMLAH TITIK API TAHUN 2009

    Pada bulan Mei hingga Agustus tahun 2009 tercatat setidaknya ada 21.294 titik api di

    Indonesia. Dari peta jumlah titik api di Indonesia, terlihat sebaran yang dominan berada di

    wilayah Sumatera dan Kalimantan. Peta tersebut juga menginformasikan wilayah dengan

    jumlah titik api terbanyak berada di Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Riau yang

    ditunjukan dengan warna merah yang masing-masing berjumlah 7.607 dan 5.181.

    Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang paling rawan terhadap kebakaran hutan,

    baik akibat faktor alam maupun faktor manusia. Kebakaran hutan tersebut terjadi setiap

    tahun dengan jumlah titik api yang besar. Jumlah titik api dapat terlihat dengan mengolah

    data citra satelit TERRA, untuk siang hari, dan AQUA untuk melihat jumlah titik api pada

    malam hari. Gambar 2 menunjukan data hasil olahan citra satelit TERRA dan AQUA di

    Provinsi Riau oleh NASA yang diambil dari tahun 2004 hingga tahun 2012.

  • GAMBAR 3.

    PETA SEBARAN TITIK API PROVINSI RIAU TAHUN 2004-2012

  • Dari Gambar 2. terlihat jumlah titik api, yang ditunjukan warna merah, yang selalu besar

    di setiap tahunnya. Titik api tersebut cenderung besar di wilayah barat laut yang

    berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara. Tidak berbeda dengan Gambar 4, Gambar

    3 juga menunjukan jumlah titik api yang cenderung besar pada tahun 2013 dan awal

    tahun 2014 yang diamati oleh NASA. Pada awal tahun 2014 kebakaran hutan cenderung

    terdapat di wilayah utara hingga timur.

    GAMBAR 4.

    PETA SEBARAN TITIK API PROVINSI RIAU TAHUN 2013-2014

  • Berdasarkan data yang diperoleh dari periode tahun 2003 hingga awal tahun 2014 jumlah

    titik api terbesar berada di tahun 2005 yang mencapai lebih dari 20.000 titik api. Titik api

    yang paling sedikit pada periode tersebut terjadi di tahun 2010 yang berjumlah kurang dari

    5.000 titik api. Pada awal tahun 2014 titik api yang ada di Provinsi Riau mencapai lebih

    dari 13.000. Jumlah tersebut sedikit berkuang dari tahun 2013, namun jika dilihat dari

    tahun 2010 hingga 2012, jumlah titik api di provinsi tersebut meningkat hingga dua kali

    lipat. Berikut gambar grafik jumlah titik api di Provinsi Riau tahun 2003 sampai dengan

    2014 yang diperoleh dari data citra satelit TERRA dan AQUA di Provinsi Riau oleh

    NASA.

    GAMBAR 5.

    GRAFIK JUMLAH TITIK API PROVINSI RIAU TAHUN 2003-2014

    Kebakaran hutan dan lahan pada umumnya terjadi sekitar bulan-bulan musim kering

    sekitar bulan Juni hingga Agustus karena hujan yang turun cenderung sedikit. Musim

    kering selain dapat membakar hutan gambut secara alami, pada musim ini rentan terjadinya

    pembakaran hutan oleh masyarakat. Pembakaran hutan pada musim kering dilakukan

    karena beberapa alasan, yaitu : (a) masyarakat sudah selesai melakukan penebasan semak

    yang biasanya dilakukan selama sekitar 40 hari dan hasil tebasan dibairkan mengering

    pada saat musim kering, (b) pada periode tersebut sedang terjadi kemarau yang sangat terik

    dan panas, sehingga mendorong masyarakat untuk membakar semak belukar atau

    rumput/serasah yang sudah ditebas sebelumnya, (c) jika pembakaran sudah dilakukan,

    maka sangat berpotensi terjadi rentetan kebakaran yang tidak diharapkan dan seringkali

    tidak terkendali terutama pada lahan-lahan tidur yang kepemilikannya tidak terdata atau

  • pemiliknya bertempat tinggal di luar lokasi. Pada kasus di Provinsi Riau pada awal tahun

    2014 masih mengalamim musim kering, sehingga proses kebakaran hutan gambut di sana

    masih terjadi.

    Dilihat dari wilayah yang terbakar, kebakaran hutan di Riau pada tahun 2013 setidaknya

    telah membakar 100.000 Ha hutan. Dengan menggunakan Citra Landsat, CIFOR

    memetakan wilayah yang terdampak kebakaran hutan pada Tahun 2013. Wilayah yang

    terdampak atau terbakar ditunjukan dengan wilayah berwarna merah. Wilayah tersebut

    cenderung memiliki luasan yang besar di lahan gambut yang ditunjukan oleh warna coklat

    pada peta berikut.

    GAMBAR 6.

    PETA WILAYAH TERDAMPAK KEBAKARAN HUTAN DI PROVINSI RIAU

    b. Dampak Kulitas Udara, CO2, dan Kabut

    Di Indonesia kebakaran hutan pertama kali terjadi pada tahun 1982 pada sejumlah hutan

    batubara muda di Kalimantan. Sejak tahun 1997 sampai saat ini, kebakaran telah

    menghanguskan lebih dari 165.000 hektar hutan di beberapa provinsi, yaitu Sumatera

    Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Kalimantan, Maluku, dan Papua.

  • Data lain menunjukkan bahwa akibat kebakaran hutan di Indonesia, ambang batas atau

    total suspended particulate (TSP) sebesar 260 g/m telah terlampaui di beberapa provinsi,

    seperti Sumatera Barat (5 10 kali ambang batas), Riau (0,8-7 kali), Sumatera Selatan

    (3,5-8 kali), Kalimantan Barat (0,5-7,3 kali), dan Kalimantan Tengah (5-15 kali).

    World Wildlife Fund (WHO) memperkirakan sekitar 20 juta orang Indonesia telah terpajan

    asap kebakaran hutan yang meng-akibatkan berbagai gangguan paru dan sistem

    pernapasan. Sejumlah besar bahan kimia asap kebakaran hutan dapat mengganggu

    kesehatan meliputi partikel dan komponen gas seperti sulfur dioksida (SO2), karbon

    monoksida (CO), formaldehid, akrelein, benzen,nitrogen oksida (NOx) dan ozon (O3).

    Beberapa faktor yang berperan seperti cuaca, fase kebakaran dan struktur tanah dapat

    mempengaruhi sifat api dan efek asap kebakaran. Secara umum cuaca berangin membuat

    konsentrasi asap lebih rendah karena asap akan bercampur dengan udara. Sistem cuaca

    regional akan membuat api kebakaran menyebar lebih cepat dan membawa dampak yang

    lebih besar. Intensitas panas, khususnya saat awal kebakaran akan membawa asap ke udara

    dan menetap, kemudian turun jika suhu menurun. Asap kebakaran pertama biasanya

    langsung dibawa angin sehingga menjadi prediksi area yang terbakar. Beberapa produk

    pembakaran dikategorikan sebagai berikut:

    1. Partikel

    2. Polynuclear aromatic hydrocarbon

    3. Karbon monoksida

    4. Aldehid

    5. Asam organic

    6. Semivolatiledan senyawa organik yang mudah menguap

    7. Radikal bebas

    8. Ozon

    9. Fraksi partikel anorganik.

    Beberapa negara seperti Singapura dan Brunei Darusalam menggunakan pollutant

    standard index (PSI) yang dikeluarkan oleh United States Evironmental Protection Agency

    (USEPA) untuk melaporkan konsentrasi populasi udara sehari-hari. Indonesia

  • menggunakan istilah Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) atau PSI dengan

    pembagian sebagai berikut :

    PSI 0 50 : sehat

    PSI 51- 100 : sedang

    PSI 101 199 : tidak begitu baik

    PSI 200 - 299 : tidak sehat

    PSI 300 399 : berbahaya

    PSI 400 : sangat berbahaya

    Penilaian polusi udara perlu memperhatikan beberapa hal meliputi :

    - Partikel: TSP, PM 10, PM 2,5, PM 1,0

    - Gas: CO, NOx , SO

    - Variasi geografis

    - Variasi cuaca

    - Faktor meteorologi.

    Asap biomassa yang keluar pada ke-bakaran hutan mengandung beberapa komponen yang

    dapat merugikan ke-sehatan baik dalam bentuk gas maupun partikel. Komponen gas dalam

    biomassa besar yang mengganggu kesehatan ada-lah karbon monoksida (CO), sulfur

    dioksida (SO2), nitrogendioksida (NO2), dan aldehid. Beberapa senyawa lain seperti ozon

    (O3), karbon dioksida (CO2) dan hidrokarbon juga mempunyai dampak buruk terhadap

    paru. Bebagai jenis gas golongan nitrit dan nitrogen organik bisa terbang jauh dan dapat

    dikonversi menjadi gas lain seperti ozon atau menjadi partikel dan nitrit organik.

    Partikel akibat asap kayu yang terbakar hampir seluruhnya berukuran

  • sejak tanggal 27 Februari 2014 penderita penyakit tersebut naik drastis sekitar 172%.

    Secara lebih rinci dapat dilihat pada grafik berikut.

    GAMBAR 6.

    GRAFIK JUMLAH PENDERITA PENYAKIT DAMPAK ASAP RIAU

    Pada tahun 2014 dilihat dari sebaran wilayah yang terdampak berbagai penyakit akibat

    kebakaran hutan di Provinsi Riau, kabupaten yang paling banyak penderitanya adalah

    Rokan Hilir dan Pekanbaru dengan jumlah penderita lebih dari 5.000 orang. Selanjutnya

    daerah dengan jumlah penderita ISPA 2.000 sampai dengan 5.000 orang adalah Rokan

    Hulu, Kota Dumai, Bengkalis, Kampar, Siak dan Pelalawan. Dan wilayah dengan

    penderita kurang dari 2.000 orang adalah Meranti, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, dan

    Kuantan Sengingi. Berikut peta yang menunjukan wilayah terdampak ISPA di Provinsi

    Riau Tahun 2014.

  • GAMBAR 7.

    PETA TERDAMPAK ISPA DI PROVINSI RIAU

    Selain itu efek yang juga sering dirasakan dari kebakaran hutan adalah terkait dengan

    pencemaran udara yang menyebar ke berbagai wilayah. Secara kasat mata gas polutan

    tersebut terkandung dalam kabut asap. Kabut asap tidak hanya berdampak pada wilayah

  • lokal saja, namun bisa berdampak ke wilayah lain termasuk ke negara tetangga. Kabut asap

    tersebut terbawa hingga ke wilayah lain akibat terbawa oleh angin. Pada tanggal 19 dan 20

    Juni 2013, kabut asap kebakaran hutan dan lahan di wilayah Riau terekam oleh sensor

    Cloud and Aerosol Imager (CAI) pada Satelit Greenhouse Gases Observing Satellite

    (GOSAT). Pada Gambar 8 terlihat pergerakan arah kabut asap yang dibawa oleh angin dari

    wilayah Riau menuju ke wilayah Singapura.

    GAMBAR 8.

    ARAH KABUT ASAP KEBAKARAN HUTAN PROVINSI RIAU

    J. Upaya penanggulangan masalah kebakaran hutan dan pencemaran udara

    a. Peranan Pemerintah dalam Kelestarian Hutan

    Dalam pelestarian hutan pemerintah harus proaktif dan berperan sebagai motor penggerak

    dan sebagai pelindung hutan yang utama. Hal-hal berikut ini mesti dilakukan oleh

    pemerintah.

    Ketegasan Penegakan Hukum

    Ketegasan Pemerintah dalam kebijakan yang diambil haruslah memikirkan kelestarian

    hutan. Pemerintah dan para penegak hukum juga harus memberikan hukuman yang

  • seberat-beratnya kepada pelaku pembalakan liar dan para cukong yang berada dibalik

    pelaku pembalakan liar itu. Pemerintah juga harus menindak tegas orang-orang yang telah

    melakukan pencurian sumber daya hutan serta para pelaku perusak hutan. Hukum tak

    pandang bulu, walaupun seorang pejabat kepala daerah yang melakukan harus dihukum

    seberat-beratnya.

    Penegakan hukum inilah yang jadi pangkal masalah sehingga pembalak liar dan para

    backing yang merupakan penegak hukum itu sendiri, cukong dan bahkan kepala daerah

    tetap melenggang bebas walaupun sudah jelas terbukti melakukan pengrusakan hutan

    dengan memberi izin yang menyalahi aturan kelestarian hutan.

    Menerapkan Birokrasi Paperless

    Kebijakan Pemerintah atau birokrasi pemerintahan masih banyak menggunakan kertas-

    kertas. Hal ini sangat tidak mendukung terhadap kelestarian hutan. Apalagi setelah

    reformasi dengan kebijakan pilkada yang menggunakan kertas yang semakin banyak

    dengan mencetak jutaan dan bahkan ratusan juta surat suara yang telah menghabiskan

    berbatang-batang pohon kayu untuk kebutuhan kertas-kertas itu. Belum lagi kebijakan

    ujian-ujian yang diselenggarakan untuk kelulusan sekolah dan juga masuk perguruan tinggi

    dan kedinasan, semua menggunakan kertas-kertas. Apalagi kertas-kertas yang digunakan

    sehari-hari untuk dokumen dan surat-surat di kantor-kantor pemerintah yang tak terhitung

    lagi berapa tiap tahun yang dihabiskan. Semua itu bisa dikurangi dengan menggunakan

    kebijakan penerapan e-goverment yang mengaplikasikan birokrasi online. Hal-hal yang

    dulu menggunakan kertas bisa dikurangi bahkan ditiadakan (paperless). Jika pemerintah

    mau menerapkan kebijakan ini, niscaya penggundulan hutan untuk bahan baku kertas bisa

    diminimalis bahkan dapat dihilangkan.

    b. Menggalakan Pariwisata Hutan

    Dengan melakukan pelestarian maka ekonomi kehutanan berkurang akibat dihentikannya

    penebangan hutan untuk industri furniture, kertas dan bahan bangunan. Sebagai

    penggantinya pemerintah bisa menggalakan pariwisata hutan. Pemerintah bisa membangun

    wisata alam yang selama ini sudah dibangun di beberapa tempat misalnya di taman hutan

    Gunung Leuser Sumatera Utara dan Taman Nasional Ujung Kulon di jawa Barat.

  • Jika dikelola denga profesional maka wisata alam dan hutan ini akan menambah devisa

    negara di sektor pariwisata dan akan menambah pemasukan kas negara. Tak perlu pesimis

    bahwa wisata hutan tak diminati, bahkan para turis mancanegara lebih senang berwisata di

    hutan-hutan di indonesia ini.

    c. Kebijakan semua hutan adalah hutan lindung

    Pemerintah harus menerapkan kebijakan bahwa semua hutan adalah hutan lindung, yang

    wajib dilindungi dan dilestarikan. Tindak berat kepada siapa saja yang melakukan

    penebangan liar di setiap hutan di negeri ini. Dengan kebijakan ini maka kerusakan hutan

    bisa dikurangi sedikit demi sedikit.

    d. Reboisasi Tepat Sasaran dan Perawatan Pasca Reboisasi

    Pemerintah harus melakukan reboisasi yang tepat sasaran dan harus melakukan

    pengawasan dan perawatan setelah dilakukan reboisasi. Perawatan pohon yang ditanam

    memerlukan dana yang tak sedikit. Apalagi untuk melakukan pemupukan dan penyiraman

    setiap pohon yang ditanam. Ini erat kaitannya dengan keberhasilan proses reboisasi itu

    sendiri. Tak jarang pohon yang telah ditanam dirusak oleh orang yang tak bertanggung

    jawab atau bahkan pohon yang baru bersemi dimakan oleh hewan-hewan liar atau malah

    hewan-hewan ternak milik masyarakat. Jika tidak dilakukan pengawasan dan perawatan

    reboisasi tidak akan berhasil dengan maksimal.

    e. Peranan Masyarakat Terhadap Kelestarian Hutan dan Reboisasi

    Selain pemerintah, masyarakat juga harus berperan aktif dalam melakukan pelestarian dan

    penghijauan hutan kembali (reboisasi). Tanpa peran serta dan dukungan masyarakat maka

    kelestarian hutan juga tidak dapat dikendalikan. Berikut ini beberapa peran serta

    masyarakat yang cukup penting dalam pelestarian hutan di Indonesia.

    f. Menanamkan Kesadaran Pentingnya Hutan

    Seperti yang telah diuraikan diatas. Maka hutan sebagai paru-paru dunia dan bumi ini

    bergantung pada hutan sebagai penjaga suhu bumi agar tetap stabil (global warming).

    Dimana jika hutan ini habis maka suhu bumi tidak stabil sehingga kerusaka ekosistem yang

    lain akan susul-menyusul.

  • Masyarakat harus tahu hal itu dan sejak dini anak-anak dan remaja harus didik untuk sadar

    lingkungan dan kelestarian hutan. Orang tua dan guru harus terus mengkampanyekan

    pentingnya hutan agar tertanam dalam bawah sadar mereka bahwa kerusakan hutan akan

    juga merusak kelangsungan hidup manusia. Jika kesadaran itu sudah tumbuh maka,

    masyarakat akan saling bekerja sama menjaga kelestarian hutan dan segera melapor atau

    mencegah dengan sendirinya jika ada orang-orang yang hendak merusak atau menebang

    pohon-pohon di hutan di sekitar mereka.

    g. Menghilangkan Kebiasaan Ladang Berpindah-Pindah

    Bagi masyarakat petani harus dihindari pembukaan lahan hutan untuk pembuatan ladang

    yang berpindah-pindah. Ini juga penyebab kerusakan hutan yang mungkin masih sering

    terjadi terutama di daerah-daerah terpencil.

    h. Kebiasaan Menanam Pohon

    Masyarakat terutama generasi muda diharapkan mempunyai kebiasaan menanam pohon

    dilingkungan tempat tinggalnya. Baik dipekarangan rumah atau dipinggir-pinggir jalan

    desa. Kebiasaan ini perlu dipupuk sejak dini. Memang sulit hal ini diterapkan didaerah

    perkotaan. Tapi kebiasaan ini masih bisa diterapkan di desa-desa dan digalakan untuk

    masyarakat desa.

    Untuk menghentikan kerusakan hutan di Indonesia, maka pemerintah harus mulai serius

    untuk tidak lagi mengeluarkan izin-izin baru pengusahaan hutan, pemanfaatan kayu

    maupun perkebunan, serta melakukan penegakan hukum terhadap pelaku ekspor kayu

    bulat dan bahan baku serpih. Pemerintah juga harus melakukan uji menyeluruh terhadap

    kinerja industri kehutanan dan melakukan penegakan hukum bagi industri yang

    bermasalah. Setelah tahapan ini, perlu dilakukan penataan kembali kawasan hutan yang

    rusak dan juga menangani dampak sosial akibat penghentian penebangan hutan, misalkan

    dengan mempekerjakan pekerja industri kehutanan dalam proyek penanaman pohon.

    Setiap individu masyarakat dapat membantu dengan memulai menanam pohon untuk

    kebutuhan di masa datang, memanfaatkan kayu dengan bijak dan tidak lagi membeli kayu-

    kayu hasil penebangan yang merusak hutan. Semoga, paru-paru dunia yang kita miliki ini

    masih bisa diselamatkan.

  • Setidaknya ada tiga alasan penting melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan

    kelestarian hutan; Pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh

    informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat yang tanpa

    kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. Kedua, masyarakat

    akan lebih mempercayai proyek atau program jika mereka dilibatkan dalam proses

    persiapan dan perencanaan. Dan ketiga, mendorong partisipasi umum, karena anggapan

    bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan

    masyarakat mereka sendiri.

    K. Kesimpulan

    1. Kebakaran hutan merupakan masalah pencemaran udara yang serius

    2. Asap polusi terkandung dalam biomassa yang besar pengaruhnya terhadap kesehatan,

    ekologi, ekonomi, sosial, transportasi dan pencemaran udara.

    3. Dampak kebakaran hutan terhadap penurunan kualitas udara berupa asap polusi,

    peningkatan CO2, (SO2), karbon monoksida (CO), formaldehid, akrelein, benzen,

    nitrogen oksida (NOx) dan ozon (O3).

    4. Kebakaran hutan mutlak harus dicegah

    L. Saran

    Implikasi Kebijakan

    1. Perlu adanya kemauan politik (political will), seperti melakukan investasi berupa

    penelitian untuk mencari inovasi baru (teknologi tepat guna) yang dapat digunakan

    untuk memberikan alternatif tidak membakar kebun/semak, seperti teknologi Tanpa

    Olah Tanah (TOT) berikutalat-alat pendukungnya, teknologi pembusukan

    (decomposed), teknologi pemanfaatan lahan gambut sebagai media tanaman, untuk

    meningkatkan efisiensi dan nilai tambah produk pertanian.

    2. Perlu ada deregulasidan sinkronisasi peraturan-peraturan yang ada, untuk menghindari

    terjadinya saling melempar tanggungjawab, khususnya status hukum kepemilikan

    lahan dan penggarapan lahan.

    3. Perlu ada law enforcement secara tegas dan konsekuen terhadappara pelaku dan pihak

    yang menyebabkan terjadinya kebakaran, termasuk pencegahan timbulnya 22 biaya

  • transaksi (transaction cost) yang dapat menyebabkan semakin leluasanya pihak

    tertentu melakukan pembakaran.

    4. Perlu difikirkan adanya instrumen kebijakan berbasis ekonomi (economic-based

    policies) seperti: (a) memberikan insentif kepada sekelompok atau seseorang yang

    mempu menjaga kawasannya dari kebakaran dan memberikan disinsentif kepada yang

    tidak mampu menjaga kawasannya dari kebakaran, (b) menciptakan program-program

    yang dapat menghambat dilakukannya pembakaran hutan dan lahan dan

    menyebarluaskannya kepada masyarakat, seperti menggandengkan upaya pencegahan

    pembakaran dengan kredit usahatani atau kredit ketahanan pangan (KKP), kredit P4K

    atau kegiatan Program PRIMATANI.

  • DAFTAR PUSTAKA

    BNPB. 2014. Penderita Penyakit Akibat Asap Riau Naik 2 Kali Lipat. http://www.bnpb.go.id.

    Dakses tanggal 18 Maret 2014.

    CIFOR. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya, dan Implikasi Kebijakan.

    http://www.cifor.org. Diakses tanggal 26 Februari 2014.

    CIFOR. 2006. Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia.

    http://www.cifor.org. Diakses tanggal 7 Maret 2014.

    Faisal, Fikri. 2012. Dampak Asap Kebakaran Hutan pada Pernapasan. Departemen Pulmonologi

    dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

    FWI/GFW. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.:

    Global Forest Watch. Bogor.

    LAPAN. 2013. Kondisi Kabut Asap Kebakaran Hutan/lahan Di Riau Dari Sensor Cai Gosat.

    http://www.lapanrs.com/. Diakses tanggal 26 Februari 2014.

    Pasaribu, Sahat. 2006. Memahami Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan Serta Upaya

    Penanggulangannya. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian: Bogor.

    Samsuri. 2012. Model Spasial Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan (Studi Kasus

    Propinsi Kalimantan Tengah). FORESTA Indonesian Journal of Forestry. Sumatera

    Utara.

    Sumber Data:

    http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/simple_data.jsp. Diakses tanggal 27 Februari 2014.

    http://geospasial.bnpb.go.id/category/peta-tematik/kebakaran/. Diakses tanggal 10 Maret 2014.

    https://earthdata.nasa.gov/labs/. Diakses tanggal 10 Maret 2014.

    https://firms.modaps.eosdis.nasa.gov/firemap/. Diakses tanggal 8 Maret 2014.