Makalah Pak Syahmi Transplantasi Organ

download Makalah Pak Syahmi Transplantasi Organ

of 92

Transcript of Makalah Pak Syahmi Transplantasi Organ

PENDAHULUANTransplantasi organ adalah pemindahan organ dari satu tubuh ke tubuh yang lainnya atau pemindahan organ dari donor ke resipien yang organnya mengalami kerusakan. Organ yang dapat ditransplantasi adalah jantung, ginjal, hati, pankreas, intestine dan kulit, sedangkan jaringan yang dapat ditransplantasi adalah kornea mata, tulang, tendo, katup jantung, dan vena. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi transplantasi organ, di satu sisi banyak membantu orang-orang yang mengalami kegagalan fungsi organ, tetapi disisi lain menjadi industri penjualan organ, yang cukup menjanjikan. Penjualan organ menjadi bisnis besar, bahkan menjadi mafia bisnis dan sasarannya adalah orang-orang tidak mampu, yang rela menjual organnya demi uang. Kasus penjualan organ banyak terjadi di negara India, China, Brazil, Afrika (Koran Tempo, 2003). Bahkan beberapa sendikat penjualan organ manusia berani memasang iklan untuk mencari pendonor dengan iming-iming uang dan bagi penerima organ, asalah memiliki uang yang banyak, maka sendikat ini akan mencarikan organ yang dibutuhkan (India abroad News Service, 2001; Mashberg, 2002, Kates, 2002).

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang baik di bidang kedokteran, tetapi tidak diikuti dengan pemahaman bioetika yang baik, maka akan terjadi banyak penyalahgunaan, yang tadinya bertujuan menolong pasien, bergeser menjadi mencari keuntungan sebesarbesarnya, dengan mengeksploitasi organ manusia. Bagaimana bioetika dapat dipahami oleh semua pihak, baik dokter, pendonor atau pun pasien?. Transplantasi organ dilaksanakan dengan alasan kemanusiaan, jadi tidak ada pemanfaatkan organ atas nama keuntungan satu pihak tertentu.

PEMBAHASANA. Transplantasi Organ.Transplantasi organ adalah transplantasi atau pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain, atau dari suatu tempat ke tempat yang lain pada tubuh yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tak befungsi pada penerima dengan organ lain yang masih berfungsi dari donor. Donor organ dapat merupakan orang yang masih hidup ataupun telah meninggal.

Pemindahan organ dari donor ke resipien bukan masalah yang sederhana, banyak factor yang harus dipertimbangkan, misalnya medikal transplantasi, dimana donasi organ atau jaringan memerlukan terapi transplantasi, meliputi persiapan resepien sebelum transplantasi, saat operasi dan sesudah transplantasi. Sering terjadinya penolakan transplantasi, yaitu organ atau jaringan donor tidak diterima oleh tubuh resepien. Hal ini merupakan tantangan dan masalah yang kompleks bagi dunia kedokteran. Untuk mengatasi penolakan dari resepien diatasi dengan obat immunosuppressant, obat yang menghambat aktivitas sistem imun. Penggunaan obat ini mengambil resiko tinggi, karena dengan tidak aktifnya sistem imun, resepien menjadi rentan terhadap infeki dan penyebaran sel-sel malignant. Efek samping lain adalah menyebabkan hipertensi, liver dan kerusakan ginjal. Obat ini pun biasanya berinteraksi dengan obat lain dan akan mempengaruhi aktivitas metabolisme resepien.

Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medik yang sangat bermanfaat bagi pasien dengan ganguan fungsi organ tubuh yang berat. Ini adalah terapi pengganti (alternatif) yang merupakan upaya terbaik untuk menolong pasien dengan kegagalan organnya,karena hasilnya lebih memuaskan,hingga dewasa ini terus berkembang dalam dunia kedokteran,namun tindakan medik ini tidak dapat dilakukan begitu saja,karena masih harus dipertimbangkan dari segi non medik,yaitu dari segi

agama,hukum,budaya,etika dan moral. Kendala lain yang dihadapi Indonesia dewasa ini dalam menetapkan terapi transplatasi adalah terbatasnya jumlah donor keluarga (Living Related Donor,LRD)dan donasi organ jenazah.karena itu diperlukan kerjasama yang saling mendukung antara para pakar terkait(hulum,kedokteran,sosiologi,pemuka agama,pemuka masyarakat,pemerintah dan swata).

B. JENIS-JENIS TRANSPLANTASI Kini telah dikenal beberapa jenis transplantasi atau pencangkokan ,baik berupa sel,jaringan maupun organ tubuh yaitu sebagai berikut : 1. Autograft. Transplantasi jaringan pada orang yang sama, biasanya dilakukan pada jaringan yang berlebih yang dapat beregenerasi atau jaringan yang terdekat. 2. Allograft. Transplantasi organ atau jaringan antara dua orang yang tidak sama secara genetik, tetapi pada spesies yang sama. Transplantasi organ pada manusia umumnya adalah allograft, sehingga ada kendala penolakan organ atau jaringan dari resepien. 3. Isograft. Merupakan bagian dari allograft, hanya disini donor dan resepien mempunyai kesamaan genetik, seperti kembar identik, kelebihannya adalah tidak ada penolakan organ atau jaringan dari resepien. 4. Xenotransplantation. Transplantasi organ atau jaringan dari satu spesies ke spesies lain, seperti transplantasi katup jantung babi pada manusia, yang berjalan dengan baik. Transplantasi ini sangat berbahaya, terutama masalah non-incompatibility, penolakan, dan penyakit yang dibawa organ atau jaringan tersebut. Organ atau jaringan tubuh yang akan dipindahkan dapat diambil dari donor yang hidup atau dari jenazah orang yang baru meninggal dimana meninggal sendiri didefinisikan kematian batang otak, - Organ-organ yang diambil dari donor hidup seperti : kulit ginjal sumsum tulang dan darah (transfusi darah). -Organ-organ yang diambil dari jenazah adalah jantung,hati,ginjal,kornea,pancreas,paru-paru dan sel otak.

Organ yang berasal dari donor yang masih hidup (living donor), harus mempunyai syarat , antara lain, pendonor harus tetap hidup layak, sehingga yang didonorkan adalah jaringan, sel atau cairan yang dapat diperbaharui, seperti kulit, darah atau organ yang dapat beregenerasi, seperti hati, intestine atau bila diambil masih dapat bekerja dengan baik, seperti ginjal. Organ pun dapat berasal dari donor yang sudah meninggal (cadaveric donor), pendonor sudah dinyatakan mengalami kematian batang otak, sehingga organ-organ yang

akan didonorkan harus tetap berfungsi dengan baik dan dapat ditransplantasikan pada tubuh resepien. Pada saat ini pun cadaveric donor dapat dari donor yang sudah dinyatakan cardicdeath.

C. BIOETIKA TRANSPLANTASI ORGANBioetika secara umum adalah studi filosofi dari kontroversi etik tentang biologi dan kedokteran, sehinga bioetika lebih memperhatikan permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan life science, bioteknologi, kedokteran, politik, hukum, filosofi, dan agama. Isu-isu bioetika tentang transplantasi organ akan meliputi definisi mati, kapan dan bagaimana transplantasi organ dapat dilaksanakan, juga meliputi pembayaran organ yang ditransplantasikan. Bioetika transplantasi organ manusia diatur dalam medical ethic, yang lebih mengarah pada aturan suatu organisasi profesi, yaitu kode etik kedokteran, yang mengaturn hubungan dokter-pasien-keluarga pasien (Rotgers, 2007). Pada transplantasi organ akan terlibat dokter, donor dengan keluarganya dan resepien dengan keluarganya. Ada suatu prosedur yang harus dipahami oleh semua orang yang terlibat dalam transplantasi organ. Prosedur yang harus dijalani adalah, pertama dokter mendiagnosis pasien, yang menyatakan kegagalan fungsi organ tertentu, dan direkomendasi untuk mengikuti program transplantasi organ dan dirujuk pada pusat transplantasi, disini pasien akan dievaluasi kesehatannya, juga status sosial yang mendukung dan kemungkinan adanya donor yang cocok. Ada dua sumber donor organ, yang pertama organ berasal dari donor yang sudah meninggal, atau disebut cadaveric donor. Orang menjadi cadaveric donor, harus ada persetujuan, bersedia menjadi cadaveri donor ketika dia meninggal dan ini harus dengan legalitas. Di beberapa negara, bila persetujuan cadaveric donor tidak ada, maka boleh dari keluarganya untuk memberikan izin mengambilan organ. Kedua, organ berasal dari donor yang masih hidup, biasanya yang masih mempunyai hubungan keluarga, teman atau orang yang tidak dikenal. Beberapa yayasan non-profit atau charity, seperti National Marrow Donor Program, mempunyai daftar donor bone marrow, bila pendonor tidak ada hubungan kekeluargaan dengan pasien, maka diberi tanda Non Direct Donor (NDD), yang sudah mengetahui kapan pun organnya akan diambil untuk ditransplantasikan pada resepien yang membutuhkan. Jumlah organ yang akan didonorkan sangat sedikit dibandingkan resepien yang membutuhkan organ.

Data dari transplant center menyatakan, bahwa setiap hari orang yang membutuhkan transplantasi organ bertambah 106 orang, transplantasi organ tiap hari terjadi sebanyak 68 orang dan 17 orang meninggal, karena menunggu organ yang akan ditransplantasi. Dengan demikian transplant center harus membuat aturan yang ketat, dengan membuat kriteria pemberian organ pada yang pasien yang membutuhkan, antara lain : 1. Setiap orang mempunyai hak yang sama 2. Pada orang yang membutuhkan 3. Pada orang yang berusaha 4. Pada orang yang memberi kotribusi 5. Pada orang berdasarkan free-market exchanges

Juga dengan pertimbangan, lamanya waktu menunggu dan usia. Transplant center mencoba meningkatkan jumlah organ yang didonorkan dan lebih mengarahkan pada cadaveric donor, dengan beberapa langkah disiapkan, yaitu : 1. Education, dengan memberikan kesadaran untuk menyumbangkan organnya saat meninggal, karena banyak orang yang membutuhkan organnya, sehingga dapat menolong jiwa orang lain. Juga pengertian pada keluarga untuk mendukung menyumbangkan organnya saat meninggal. 2. Mandated choice police, usaha yang dilakukan pemerintah menghimbau rakyatnya untuk peduli pada orang sakit yang membutuhkan organ, dengan memberi kemudahan mendaftrakan diri sebagai cadaveric donor 3. Presumed consent, adalah kebijakan suatu negara, bahwa pada saat seseorang meninggal maka jasadnya milik negara, sehingga setiap orang dapat menjadi cadaveric donor atas izin negara. 4. Pemberian incentive pada keluarga yang memberikan organ dari anggota keluarganya yang meninggal. 5. Orang tahanan yang dihukum mati, maka dapat menjadi cadaveric donor.

1.

SEL INDUK Berasal dari bahasa inggris (stem cell) merupakan sel yang belum berdeferensiasi dan

mempunyai potensi untuk dapat berdeferensiasi menjadi jenis sel lain.kemampuan tersebut memungkinkan sel induk mrnjadi sistem perbaikan tubuh dengan menyediakan sel-sel baruselama organisne bersangkutan hidup.

Peneliti medis meyakini bahwa penelitian sel induk berpotensi untuk mengubah keadaan penyakit manusia deangan cara digunakan perbaikan jaringan atau organ tubuh tertentu,hal ini tampaknya belum benar-benar diwujudkan dewasa ini.Penelitian sel induk dapat dikatakan dimulai pada tahun 1960_an setelah dilakukannya penelitian oleh ilmuan kanada,Ernest A.McCulloch dan James E.Till.

2.

MACAM-MACAM SEL INDUK Berdasarkan potensi :

Sel induk ber-totipotensi (toti=total) Sel induk ber-multipotensi Sel induk ber-unipotensi (uni-tunggal)

Berdasarkan asalnya : Sel induk embrio (embrio stem cell) Sel induk dewasa (adult stem cell)

Menurut sumbernya transplantasi sel induk dapat dibagi menjadi : Transplantasi sel induk dari sumsum tulang (bone marrow transplantation)

Sumsun tulang adalah jaringan spond yang terdapat dalam tulang-tulang besar seperti tulang pinggang,tulang dada,tulang punggung dan tulang rusuk.Sumsum tulang merupakan sumber yang kaya akan sel induk hematopoetik. Transplantasi sel induk darah tepi (peripheral blood stem cell transplantation) Peredaran tepi merupakan sumber sel induk walaupun jumlah sel induk yang terkandung tidak sebanyak pd sumsum tulang.untuk jumlah sel induk mencukupi suatu transplantasi.biasanya pada donor diberikan granulocyte-colony stimulating factor (GCSF). Transplantasi dilakukan dengan proses yang disebut Aferesis. Transplantasi sel induk darah tali pusat. Darah tali pusat mengandung sejulah sel induk yang bermakna dan memiliki keunggulan diatas transplantasi sel induk dari sumsum tulangatau dari darah tepi bagi pasien-pasien tertentu.Transplantasi sel induk dari darah tali pusat telah mengubah bahan sisa dari proses kelahiran menjadi sebuah sumber yang dapat menyelamatkan jiwa.

D. PENJUALAN ORGAN Banyaknya orang yang membutuhkan transplantasi organ, ditambah dengan tekanan ekonomi yang cukup berat, sehingga memunculkan mafia-mafia menjualan organ yang berkedok yayasan kemanusiaan. Ini banyak terjadi di China, India, Brazil dan Afrika. Satu organ yang didonorkan akan mendapat imbalan minimal US$ 1000 ( Rothman, D.J, 1997; Kapp, 2004). Sasaran mafia penjualan organ adalah keluarga kaya, yang anggota keluarganya ada yang membutuhkan donor organ, dengan memberi tarif berkisar dari US$ 100.000 200.000, sedangkan pendonor atau keluarganya hanya menerima US$ 1000 5000. Ini merupakan bisnis yang sangat menjanjikan, bahkan di China dilaporkan tidak lagi mencari pendonor secara baik-baik, tetapi menggunakan orang tahanan (Samson, 2001;Asikin, 2006).

Sukarela Di Singapura memang ditempuh pendekatan hukum. Setiap warga Singapura diwajibkan menyumbangkan organ tubuhnya jika meninggal. Mereka yang tak bersedia harus membuat pernyataan tertulis. Dengan demikian, jumlah donor organ yang diperlukan menjadi banyak. Seperti juga kita menyumbangkan darah melalui Palang Merah Indonesia, maka sumbangan tersebut harus dilakukan secara sukarela. Tidak boleh ada pamrih apalagi meminta bayaran. Perdagangan organ tubuh merupakan tindakan melanggar hukum. Dewasa ini sudah banyak yayasan yang membantu penderita, seperti Yayasan Ginjal Indonesia (Yagina), Yayasan Mata, dan lain-lain. Yayasan tersebut membantu melakukan penyuluhan juga pendampingan jika diperlukan. Yayasan ini akan membantu jika seseorang bersedia menyumbangkan organ tubuhnya untuk menolong orang lain. Jadi jika ada anggota masyarakat berniat suci menyumbangkan organ tubuhnya dapat menghubungi yayasan yang berkaitan atau juga dapat menghubungi rumah sakit khusus yang menangani kasus yang berkaitan. Cangkok sumsum tulang telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1987. Hasilnya amat baik, tetapi biayanya amat mahal. Donor untuk cangkok sumsum tulang dapat berasal dari penderita sendiri, tetapi juga dapat berasal dari orang lain. Bahkan, sekarang ini di Eropa telah dilaksanakan cangkok sumsum tulang untuk penyakit keganasan darah (leukemia, limfoma malignum) dari sel punca (stem cell) darah tali pusat. Untuk itu dibutuhkan bank sel punca masyarakat sehingga sel punca tali pusat yang disimpan dapat digunakan bagi mereka yang memerlukannya. Cangkok hati di negeri kita masih pada tahap awal. Cangkok organ masih akan merupakan tindakan medis yang penting di masa depan. Meski perkembangan sel punca dan rekayasa jaringan mempunyai potensi untuk menggantikan cangkok organ, tetapi dewasa ini kebutuhan donor organ di negeri kita masih meningkat sehingga di samping donor hidup perlu dilaksanakan juga donor dari orang yang meninggal terutama untuk cangkok ginjal. E. ASPEK HUKUM TRANSPLANTASI Dari segi hukum ,transplantasi organ,jaringan dan sel tubuh dipandang sebagai suatu hal yang mulia dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia,walaupun ini adalah suatu perbuatan yang melawan hukum pidana yaitu tindak pidana penganiayaan.tetapi mendapat pengecualian hukuman,maka perbuatan tersebut tidak lagi diancam pidana,dan

dapat dibenarkan. Dalam PP No.18 tahun 1981 tentana bedah mayat klinis, beda mayat anatomis dan transplantasi alat serta jaringan tubuh manusia tercantum pasal tentang transplantasi sebagai berikut:

Pasal 1. c. Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringa tubuh yang dibentuk oleh beberapa jenis sel dan mempunyai bentuk serta faal (fungsi) tertentu untuk tubuh tersebut. d. Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mmempunyai bentuk dan faal (fungsi)yang sama dan tertentu. e. Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh ynag tidak berfungsi dengan baik. f. Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan tubuhnya kepada orang lain untuk keperluan kesehatan. g. Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak,pernafasan,dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti.

Ayat g mengenai definisi meninggal dunia kurang jelas,maka IDI dalam seminar nasionalnya mencetuskan fatwa tentang masalah mati yaitu bahwa seseorang dikatakan mati bila fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible, atau terbukti telah terjadi kematian batang otak. Pasal 10. Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan ketentuan yaitu persetujuan harus tertulis penderita atau keluarga terdekat setelah penderita meninggal dunia. Pasal 11 1.Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya boleh dilakukan oleh dokter yang ditunjuk oleh mentri kesehatan. 2.Transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter yang merawat atau mengobati donor yang bersangkutan

Pasal 12. Penentuan saat mati ditentukan oleh 2 orang dokter yang tidak ada sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi. Pasal 13. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksudkan yaitu dibuat diatas kertas materai dengan 2(dua) orang saksi. Pasal 14. Pengambilan alat atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau bank mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia,dilakukan dengan persetujuan tertulis dengan keluarga terdekat. Pasal 15 1. Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia diberikan oleh donor hidup,calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter yang merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai operasi,akibat-akibatya,dan kemungkinankemungkinan yang terjadi. 2. Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus yakin benar ,bahwa calon donor yang bersangkutan telah meyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut.

Pasal 16. Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak dalam kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi. Pasal 17. Dilarang memperjual belikan alat atau jaringan tubuh manusia. Pasal 18 Dilarang mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh manusia dan semua bentuk ke dan dari luar negeri. Selanjutnya dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan dicantumkan beberapa pasal tentang transplantasi sebagai berikut: Pasal 33. 1.Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan jaringan tubuh,transfuse darah ,imflan obat dan alat kesehatan,serta bedah plastic dan rekontruksi. 2.Transplantasi organ dan jaringan serta transfuse darah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan kemanusiaan yang dilarang untuk tujjuan komersial.

Pasal 34 1.Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan disaran kesehatan tertentu. 2.Pengambilan organ dan jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan ahli waris atau keluarganya.

3. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

F. PENGAWASAN TRANSPLANTASI ORGAN Tujuan mulia mendonorkan organ untuk menolong orang yang membutuhkan, sering disalah gunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dengan memperdagangkan organ tubuh manusia, bahkan sudah membentuk suatu jaringan penjualan organ manusia. Timbul satu pertanyaan, siapakah yang bertanggung jawab?

Pemahaman bioetika dengan memperhatikan hak hidup setiap organisme, sehingga dapat memperlakukan makhluk hidup, terutama manusia dengan benar. Sikap ini diharapkan menjadi pembatas manusia untuk tidak melakukan penjualan organ manusia, tetapi terkadang pertimbangan ekonomi lebih dikedepankan daripada pertimbangan hak hidup seseorang. Orang rela melakukan kejahatan demi uang yang diperoleh. Dalam kasus transplantasi organ yang paling berperan adalah dokter, dia yang mendiagnosa, menangani operasi dan merawat setelah transplantasi organ. Jadi penyalahgunaan organ tubuh manusia, pertama-tama terletak pada dokter yang menanganinya. Jika dokter ingin mendapat uang sebanyak-banyaknya, maka dokter akan menempuh segala cara untuk mendapat organ dengan mudah dan murah. Dokter terikat kode etik profesi dokter, izin praktek akan dicabut bila melakukan kecerobohan, jadi dalam hal ini organisasi profesi menjadi penting untuk menangani dokter yang melakukan kecurangan.

Sindikat penjualan organ manusia sudah lama diketahui, tetapi seperti tidak ada penyelesaian, pemerintah setempat seperti tidak berdaya, badan dunia seperti WHO, terlihat berusaha mengatasinya dengan memberikan rambu-rambu prosedur transplantasi organ, yang diatur dalam suatu deklarasi di Istambul yang mengatur transplantasi dan penjualan organ (International Summit, 2008; Delmonico, 2008). Dengan melibatkan semua pihak, seperti tim

medis, peneliti, pemerintah, organisasi sosial, permasalahan penjualan organ ini dapat diatasi dengan baik. G. ASPEK ETIK TRANSPLANTASI Transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien dengan kegagalan fungsi salah satu organ tubuhnya.dari segi etik kedokteran tindakan ini wajib dilakukan jika ada indikasi,berlandaskan dalam KODEKI,yaitu: Pasal 2. Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi. Pasal 10. Setiap dokter harus senantiasa mengingat dan kewajibannya melindungi hidup insani.

Pasal 11. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita. Pasal-pasal tentang transplantasi dalam PP No. 18 tahun 1981,pada hakekatnya telah mencakup aspek etik,mengenai larangan memperjual belikan alat atu jaringan tubuh untuk tujuan transplantasi atau meminta kompensasi material. Yang perlu diperhatikan dalam tindakan transplantasi adalah penentuan saat mati seseorang akan diambil organnya,yang dilakukan oleh (2) orang dokter yang tidak ada sangkt paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi,ini erat kaitannya dengan keberhasilan transplantasi,karena bertambah segar organ tersebut bertambah baik hasilnya.tetapi jangan sampai terjadi penyimpangan karena pasien yang akan diambil organnya harus benar-benar meninggal dan penentuan saat meninggal dilakukan dengan pemeriksaan elektroensefalografi dan dinyatakan meninggal jika terdapat kematian batang otak dan sudah pasti tidak terjadi pernafasan dan denyut jantung secara spontan.pemeriksaan dilakukan oleh para dokter lain bukan dokter transplantasi agar hasilnya lebih objektif. Pasal 1 ayat 5 UU Kesehatan memberikan pengertian Transplantasi adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik. Pasal 1 huruf

f PP Nomor 18 Tahun 1981 menjelaskan Donor adalah orang yang menyumbangkan alat dan atau jaringan tubuhnya kepada orang lain untuk keperluan kesehatan . Lebih lanjut mengenai transplantasi dijelaskan dalam Pasal 33 34 UU ini. Pasal 33 ayat (1) menyebutkan bahwa dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh, transfusi darah, implan obat dan atau alat kesehatan, serta bedah plastik dan rekonstruksi. Larangan transplantasi untuk tujuan komersial dijelaskan dalam Pasal 33 ayat (2) yang menyebutkan bahwa Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial. Tenaga medis atau dokter yang akan melakukan transplantasi dari tubuh donor ke penerima pun haruslah dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan hal itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu. Selain itu juga harus memperhatikan kesehatan dari pendonor, serta mendapat persetujuan dari ahli waris ataupun keluarganya. Ketentuan tersebut ditegaskan dalam Pasal 34 ayat 1 dan 2 undang undang ini. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 33 ayat (2) ini yaitu bagi siapa pun yang melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh dan atau transfusi darah yang dimaksud dalam pasal ini, ditegaskan dalam Pasal 80 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Sedangkan bagi siapa pun yang tanpa keahlian dan kewenangan baik itu tenaga medis dan atau dokter, yang dengan sengaja melakukan transplantasi organ atau jaringan tubuh seperti yang dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), menurut ketentuan dalam Pasal 81 (1)a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 140.000.000 (seratus empat puluh juta rupiah). Pada Pasal 81 ayat (2)a menyebutkan bahwa barang siapa dengan sengaja mengambil organ dari seorang donor tanpa memperhatikan kesehatan donor dan atau tanpa persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah). Sejak tahun 1981 telah ada peraturan yang mengatur tentang transplantasi ini, yaitu melalui PP Nomor 18 Tahun 1981, Bab V mengatur tentang Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia, Bab VI tentang Pengambilan Alat dan atau Jaringan Tubuh

Manusia Korban Kecelakaan, Bab VII tentang Donor, serta Bab VIII tentang Perbuatan yang Dilarang. Sesuai dengan Pasal 17 PP ini menegaskan salah satu perbuatan yang dilarang adalah memperjual-belikan alat dan atau jaringan tubuh manusia. UU Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan PP Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia. Oleh karena itu, hukum di Indonesia sudah memberikan aturan hukumnya untuk tindakan transplantasi organ ini. Janganlah mengambil jalan pintas untuk mengatasi masalah ekonomi dengan mendonorkan organ penting dalam tubuhnya, hanya untuk mendapat imbalan dari keluarga penderita. Coba pikirkan lagi bagaimana dampak yang akan muncul dikemudian hari bagi dirinya. Seseorang harus menerima transplantasi organ jika organ orang tersebut mengalami kerusakan atau tidak berfungsi lagi. Apabila hal tersebut terjadi, maka jalan terbaik adalah dengan mentransplantasikan organ ke dalam tubuh penderita agar penderita dapat tetap hidup. Transplantasi ginjal adalah suatu metode terapi dengan cara memanfaatkan sebuah ginjal sehat (yang diperoleh melalui proses pendonoran) melalui prosedur pembedahan. Ginjal sehat dapat berasal dari individu yang masih hidup (donor hidup) atau yang baru saja meninggal (donor kadaver). Ginjal cangkokan ini selanjutnya akan mengambil alih fungsi kedua ginjal yang sudah rusak. Ginjal baru dapat diperoleh dari donor yang baru saja meninggal dunia, atau dari donor hidup. Donor hidup bisa keluarga, bisa juga bukan biasanya pasangan atau teman. Jika anda tidak memiliki donor hidup, anda akan dimasukkan ke dalam daftar tunggu untuk memperoleh ginjal dari donor meninggal. Masa tunggu tersebut dapat berlangsung bertahun-tahun.

Petugas transplantasi akan mempertimbangkan tiga faktor untuk menentukan kesesuaian ginjal dengan penerima (resipien). Faktor tersebut akan menjadi tolak ukur untuk memperkirakan apakah sistim imun tubuh penerima akan menerima atau menolak ginjal baru tersebut. - Golongan darah. Golongan darah penerima (A,B, AB, atau O) harus sesuai dengan golongan darah donor. Faktor golongan darah merupakan faktor penentu kesesuaian yang paling penting. - Human leukocyte antigens (HLAs). Sel tubuh membawa 6 jenis HLAs utama, 3 dari ibu dan 3 dari ayah. Sesama anggota keluarga biasanya mempunyai HLAs yang sesuai. Resipien masih dapat menerima ginjal dari donor walaupun HLAs mereka tidak

sepenuhnya sesuai, asal golongan darah mereka cocok, dan tes lain tidak menunjukkan adanya gangguan kesesuaian. - Uji silang antigen. Tes terakhir sebelum dilakukan pencangkokan adalah uji silang organ. Sejumlah kecil darah resipien dicampur dengan sejumlah kecil darah donor. Jika tidak terjadi reaksi, maka hasil uji disebut uji silang negatif, dan transplantasi dapat dilakukan. Kedua ginjal lama, walaupun sudah tidak banyak berperan tetap berada pada posisinya semula, tidak dibuang, kecuali jika ginjal lama ini menimbulkan komplikasi infeksi atau tekanan darah tinggi.

Prosedur bedah transplantasi ginjal biasanya membutuhkan waktu antara 3 sampai 6 jam. Ginjal baru ditempatkan pada rongga perut bagian bawah (dekat daerah panggul) agar terlindung oleh tulang panggul. Pembuluh nadi (arteri) dan pembuluh darah balik (vena) dari ginjal baru ini dihubungkan ke arteri dan vena tubuh. Dengan demikian, darah dapat dialirkan ke ginjal sehat ini untuk disaring. Ureter (saluran kemih) dari ginjal baru dihubungkan ke kandung kemih agar urin dapat dialirkan keluar. Karena ginjal baru ini bukan merupakan ginjal yang berasal dari tubuh pasien sendiri, maka ada kemungkinan terjadi reaksi tubuh untuk menolak benda asing tersebut. Untuk mencegah terjadinya reaksi penolakan ini, pasien perlu mengonsumsi obat-obat anti-rejeksi atau imunosupresan segera sesudah menjalani transplantasi ginjal. Obat-obat imunosupresan bekerja dengan jalan menekan sistem imun tubuh sehingga mengurangi risiko terjadinya reaksi penolakan tubuh terhadap ginjal cangkokan.

Biaya yang dibutuhkan sangat besar mengingat diperlukannya tenaga ahli dan peralatan yang cukup rumit. Di Indonesia, biaya untuk mentransplantasikan ginjal tersebut berkisar antara 80 juta sampai dengan 250 juta rupiah. Akibat jika tubuh menolak organ transplan tersebut : - Demam -Terjadinya penggumpalan darah akibat perbedaan golongan darah. - kerusakan pada organ transplan karena sistem kekebalan tubuh yang menganggap organ transplan tersebut sebagai benda asing. - Peningkatan berat badan akibat penimbunan cairan.

Penyebab terjadinya penolakan tersebut: - Perbedaan golongan darah - Sistem imunitas tubuh

Cara menanggulangi kegagalan transplantasi organ dapat dilakukan dengan beberapa cara: - mencari donor yang memiliki golongan darah dan HLAs yg sesuai dengan resipien. - setelah pembedahan, pasien perlu mengonsumsi obat-obat anti-rejeksi atau imunosupresan segera sesudah menjalani transplantasi ginjal. Obat-obat imunosupresan bekerja dengan jalan menekan sistem imun tubuh sehingga mengurangi risiko terjadinya reaksi penolakan tubuh terhadap ginjal cangkokan. Penolakan umumnya terjadi pada setiap proses transplantasi organ. Penolakan biasanya bisa diatasi dengan menambah dosis atau jumlah obat immunosupresan. jika penolakan tidak dapat diatasi, berarti pencangkokkan telah gagal ginjal yang ditolak bisa dibiarkan di dalam tubuh resipien, kecuali jika: - demam terus menerus - air kemih mengandung darah - tekanan darah tetap tinggi.

Jika pencangkokkan gagal, maka harus segera kembali dilakukan dialisa. Upaya pencangkokkan berikutnya bisa dilakukan setelah penderita benar-benar pulih dari pencangkokkan yang pertama.

H. REAKSI PENOLAKAN TRANSPLANTASI Terjadi oleh sel T helper (Saat ini disebut CD4+) resipien yang mengenal antigen MHC allogenic. Sel T helper merangsang sel Tc (T citotoxic atau CD8+) mengenal antigen MHC allogenic untuk membunuh sel sasaran. Sel T helper melalui Limfokin menyebabkan

Makrofag dikerahkan akibatnya kerusakan jaringan target. Reaksi yang terjadi mirip dengan Hipersensitivitas tipe IV (Gell dan Coombs) (Kates: 2002): Tipe Reaksi penolakan: Tipe Reaksi Penolakan Transplantasi Rejeksi Hiperakut Rejeksi Akut

Reaksi penolakan yang terjadi dalam 24 jam setelah transplantasi. Reaksi terlihat pada resipien yang sebelumnya tidak tersensitisasi terhadap transplan pada penolakan umum allograft dan pengobatan imunosupresif yang kurang efektif. Rejeksi Kronis Hilangnya fungsi organ yang dicangkokkan secara perlahan beberapa bulan-tahun sesudah organ berfungsi normal dan disebabkan oleh sensitivitas yang timbul terhadap antigen transplan atau oleh sebab intoleransi terhadap sel T.

I. TRANSPLANTASI MENURUT PANDANGAN ISLAMKita perlu bicarakan dulu pengertian transplantasi. Transplantasi adalah pemindahan organ tubuh dari orang sehat atau mayat yang organ tubuhnya mempunyai daya hidup dan sehat kepada tubuh orang lain yang memiliki organ tubuh yang tidak berfungsi lagi sehingga resipien (penerima organ tubuh) dapat bertahan hidup secara sehat. Islam memerintahkan agar setiap penyakit diobati. Membiarkan penyakit bersarang dalam tubuh dapat berakibat fatal, yaitu kematian. Membiarkan diri terjerumus pada kematian adalah perbuatan terlarang, : )

29 )

"... dan janganlah kamu membunuh dirimu ! Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu." (QS. An-Nisa 4: 29)

Maksudnya, apabila sakit, berobatlah secara optimal sesuai dengan kemampuan karena setiap penyakit sudah ditentukan obatnya. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa seorang Arab Badui mendatangi Rasulullah saw. seraya bertanya, Apakah kita harus berobat? Rasulullah menjawab, Ya hamba Allah, berobatlah kamu, sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit melainkan juga (menentukan) obatnya, kecuali untuk satu penyakit. Para shahabat bertanya, Penyakit apa itu ya Rasulullah? Beliau menjawab, Penyakit tua. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Nah, transplantasi termasuk salah satu jenis pengobatan. Dalam kaidah metode pengambilan hukum disebutkan Al-Ashlu fil muamalati al-ibaahah illa ma dalla daliilun ala nahyi. (Pada prinsipnya, urusan muamalah (duniawi) itu diperbolehkan kecuali kalau ada

dalil yang melarangnya). Maksudnya, urusan duniawi silakan dilakukan selama tidak ada dalil baik Al Quran ataupun hadits yang melarangnya.

Transplantasi bisa dikategorikan urusan muamal (duniawi). Kalau kita amati, tidak ada dalil baik dari Al Quran ataupun hadits yang melarangnya. Jadi trasplantasi itu urusan duniawi yang diperbolehkan. Persoalannnya, bagaimana hukum mendonorkan organ tubuh untuk ditransplantasi? Islam memerintahkan untuk saling menolong dalam kebaikan dan mengharamkannya dalam dosa dan pelanggaran. ( ) 2 : "Dan tolong menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. Al-Maidah 5 :2)

Menolong orang lain adalah perbuatan mulia. Namun tetap harus memperhatikan kondisi pribadi. Artinya, tidak dibenarkan menolong orang lain yang berakibat membinasakan diri sendiri, sebagaimana firman-Nya, : )

195 )

dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. (QS. AlBaqarah 2: 195)

Jadi, jika menurut perhitungan medis menyumbangkan organ tubuh itu tidak membahayakan pendonor atau penyumbang, hukumnya boleh, bahkan dikategorikan ibadah kalau dilakukan secara ikhlas. Namun, bila mencelakakannya, hukumnya haram. Lalu, bagaimana dengan pemanfaatan organ tubuh manusia yang sudah meninggal? Ada dua pendapat tentang masalah ini.

Pendapat pertama mengatakan, haram memanfaatkan organ tubuh manusia yang sudah meninggal, karena sosok mayat manusia harus dihormati sebagaimana ia dihormati semasa hidupnya. Landasannya, sabda Rasulullah saw., Memotong tulang mayat sama dengan memotong tulang manusia ketika masih hidup. (HR. Abu Daud)

Pendapat kedua menyatakan, memanfaatkan organ tubuh manusia sebagai pengobatan dibolehkan dalam keadaan darurat. Alasannya, hadits riwayat Abu Daud yang melarang

memotong tulang mayat tersebut berlaku jika dilakukan semena-mena tanpa manfaat. Apabila dilakukan untuk pengobatan, pemanfaatan organ mayat tidak dilarang karena hadits yang memerintahkan seseorang untuk mengobati penyakitnya lebih banyak dan lebih meyakinkan daripada hadits Abu Daud tersebut.

Akan tetapi pemanfaatannya harus mendapat izin dari orang tersebut (sebelum ia wafat) atau dari ahli warisnya (setelah ia wafat). Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pendapat pertama, menurut hemat saya, pendapat kedua lebih logis untuk diterima. Karena itu wajar kalau sebagian besar ulama madzhab Hanafi, Syafii, Maliki, Hanbali, dan ulama Zaidiyyah membolehkannya. Kesimpulannya, transplantasi merupakan cara pengobatan yang diperbolehkan Islam.

Menjadi pendonor hukumnya mubah (boleh) bahkan bernilai ibadah kalau dilakukan dengan ikhlas asal tidak membinasakan pendonor dan menjadi haram bila membinasakannya. Orang meninggal boleh dimanfaatkan organnya untuk pengobatan dengan catatan sebelum wafat orang tersebut mengizinkannya. Wallahu Alam. 1. Transplantasi Organ Dari Donor Yang Masih Hidup : Syara membolehkan seseorang pada saat hidupnya dengan sukarela tanpa ada paksaan siapa pun untuk menyumbangkan sebuah organ tubuhnya atau lebih kepada orang lain yang membutuhkan organ yang disumbangkan itu, seperti tangan atau ginjal. Ketentuan itu dikarenakan adanya hak bagi seseorang yang tangannya terpotong, atau tercongkel matanya akibat perbuatan orang lain untuk mengambil diyat (tebusan), atau memaafkan orang lain yang telah memotong tangannya atau mencongkel matanya. Memaafkan pemotongan tangan atau pencongkelan mata, hakekatnya adalah tindakan menyumbangkan diyat. Sedangkan penyumbangan diyat itu berarti menetapkan adanya pemilikan diyat, yang berarti pula menetapkan adanya pemilikan organ tubuh yang akan disumbangkan dengan diyatnya itu. Adanya hak milik orang tersebut terhadap organ-organ tubuhnya berarti telah memberinya hak untuk memanfaatkan organ-organ tersebut, yang berarti ada kemubahan menyumbangkan organ tubuhnya kepada orang lain yang membutuhkan organ tersebut. Dan dalam hal ini Allah SWT telah membolehkan memberikan maaf dalam masalah qishash dan berbagai diyat. Allah SWT berfirman : Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang

demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan suatu rahmat. (QS. Al Baqarah : 178)

Syarat-Syarat Penyumbangan Organ Tubuh Bagi Donor Hidup Syarat bagi kemubahan menyumbangkan organ tubuh pada saat seseorang masih hidup, ialah bahwa organ yang disumbangkan bukan merupakan organ vital yang menentukan kelangsungan hidup pihak penyumbang, seperti jantung, hati, dan kedua paru-paru. Hal ini dikarenakan penyumbangan organ-organ tersebut akan mengakibatkan kematian pihak penyumbang, yang berarti dia telah membunuh dirinya sendiri. Padahal seseorang tidak dibolehkan membunuh dirinya sendiri atau meminta dengan sukarela kepada orang lain untuk membunuh dirinya. Allah SWT berfirman : Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian. (QS. An Nisaa : 29) Allah SWT berfirman pula : dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS. Al Anaam : 151)

Keharaman membunuh orang yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) ini mencakup membunuh orang lain dan membunuh diri sendiri. Imam Muslim meriwayatkan dari Tsabit bin Adl Dlahaak RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : dan siapa saja yang membunuh dirinya sendiri dengan sesuatu (alat/sarana), maka Allah akan menyiksa orang tersebut dengan alat/sarana tersebut dalam neraka Jahannam. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : Siapa saja yang menjatuhkan diri dari sebuah gunung dan membunuh dirinya sendiri, maka dia akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam.

Demikian pula seorang laki-laki tidak dibolehkan menyumbangkan dua testis (zakar), meskipun hal ini tidak akan menyebabkan kematiannya, sebab Rasulullah SAW telah melarang pengebirian/pemotongan testis (al khisha), yang akan menyebabkan kemandulan. Imam Bukahri meriwayatkan dari Abdullah bin Masud RA, dia berkata Kami dahulu pernah berperang bersama Nabi SAW sementara pada kami tidak ada isteriisteri. Kami berkata, Wahai Rasulullah bolehkah kami melakukan pengebirian ? Maka beliau melarang kami untuk melakukannya.

Hukum ini dapat diterapkan juga untuk penyumbangan satu buah testis, kendatipun hal ini tidak akan membuat penyumbangnya menjadi mandul. Ini karena sel-sel kelamin yang terdapat dalam organ-organ reproduktif yaitu testis pada laki-laki dan indung telur pada perempuan merupakan substansi yang dapat menghasilkan anak, sebab kelahiran manusia memang berasal dari sel-sel kelamin. Dalam testis terdapat sel-sel penghasil selsel sperma mengingat testis merupakan pabrik penghasil sel sperma. Dan testis akan tetap menjadi tempat penyimpanan yakni pabrik penghasil sel sperma dari sel-selnya baik testis itu tetap pada pemiliknya atau pada orang yang menerima transplantasi testis dari orang lain. Atas dasar itu, maka kromosom anak-anak dari penerima transplantasi testis, sebenarnya berasal dari orang penyumbang testis, sebab testis yang telah dia sumbangkan itulah yang telah menghasilkan sel-sel sperma yang akhirnya menjadi anak. Karena itu, anak-anak yang dilahirkan akan mewarisi sifat-sifat dari penyumbang testis dan tidak mewarisi sedikitpun sifat-sifat penerima sumbangan testis. Jadi pihak penyumbang testislah yang secara biologis menjadi bapak mereka. Maka dari itu, tidak dibolehkan menyumbangkan satu buah testis, sebagaimana tidak dibolehkan pula menyumbangkan dua buah testis. Sebab, menyumbangkan dua buah testis akan menyebabkan kemandulan pihak penyumbang. Di samping itu, menyumbangkan satu atau dua buah testis akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab. Padahal Islam telah

mengharamkan hal ini dan sebaliknya telah memerintahkan pemeliharaan nasab. Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia. Imam Ibnu Majah meriwayatkan pula dari Utsman An Nahri RA, dia berkata, Aku mendengar Saad dan Abu Bakrah masing-masing berkata,Kedua telingaku telah mendengar dan hatiku telah menghayati sabda Muhammad SAW : Siapa saja yang mengaku-ngaku (sebagai anak) kepada orang yang bukan bapaknya, padahal dia tahu bahwa orang itu bukan bapaknya, maka surga baginya haram.

Demikian pula Islam telah melarang seorang wanita memasukkan ke dalam kaumnya nasab yang bukan dari kaumnya, dan melarang seorang laki-laki mengingkari anaknya sendiri. Imam Ad Darimi meriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa dia mendengar

Rasulullah SAW bersabda tatkala turun ayat lian : Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apa pun dari Allah dan Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu di hadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat nanti).

2. Hukum Transplantasi Dari Donor Yang Telah Meninggal : Hukum tranplanstasi organ dari seseorang yang telah mati berbeda dengan hukum transplantasi organ dari seseorang yang masih hidup. Untuk mendapatkan kejelasan hukum trasnplantasi organ dari donor yang sudah meninggal ini, terlebih dahulu harus diketahui hukum pemilikan tubuh mayat, hukum kehormatan mayat, dan hukum keadaan darurat. Mengenai hukum pemilikan tubuh seseorang yang telah meninggal, kami berpendapat bahwa tubuh orang tersebut tidak lagi dimiliki oleh seorang pun. Sebab dengan sekedar meninggalnya seseorang, sebenarnya dia tidak lagi memiliki atau berkuasa terhadap sesuatu apapun, entah itu hartanya, tubuhnya, ataupun isterinya. Oleh karena itu dia tidak lagi berhak memanfaatkan tubuhnya, sehingga dia tidak berhak pula untuk menyumbangkan salah satu organ tubuhnya atau mewasiatkan penyumbangan organ tubuhnya. Berdasarkan hal ini, maka seseorang yang sudah mati tidak dibolehkan menyumbangkan organ tubuhnya dan tidak dibenarkan pula berwasiat untuk menyumbangkannya.

Sedangkan mengenai kemubahan mewasiatkan sebagian hartanya, kendatipun harta bendanya sudah di luar kepemilikannya sejak dia meninggal, hal ini karena Asy Syari (Allah) telah mengizinkan seseorang untuk mewasiatkan sebagian hartanya hingga sepertiga tanpa seizin ahli warisnya. Jika lebih dari sepertiga, harus seizin ahli warisnya. Adanya izin dari Asy Syari hanya khusus untuk masalah harta benda dan tidak mencakup hal-hal lain. Izin ini tidak mencakup pewasiatan tubuhnya. Karena itu dia tidak berhak berwasiat untuk menyumbangkan salah satu organ tubuhnya setelah kematiannya.

Mengenai hak ahli waris, maka Allah SWT telah mewariskan kepada mereka harta benda si mayit, bukan tubuhnya. Dengan demikian, para ahli waris tidak berhak menyumbangkan salah satu organ tubuh si mayit, karena mereka tidak memiliki tubuh si

mayit, sebagaimana mereka juga tidak berhak memanfaatkan tubuh si mayit tersebut. Padahal syarat sah menyumbangkan sesuatu benda, adalah bahwa pihak penyumbang berstatus sebagai pemilik dari benda yang akan disumbangkan, dan bahwa dia mempunyai hak untuk memanfaatkan benda tersebut. Dan selama hak mewarisi tubuh si mayit tidak dimiliki oleh para ahli waris, maka hak pemanfaatan tubuh si mayit lebih-lebih lagi tidak dimiliki oleh selain ahli waris, bagaimanapun juga posisi atau status mereka. Karena itu, seorang dokter atau seorang penguasa tidak berhak memanfaatkan salah satu organ tubuh seseorang yang sudah meninggal untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkannya.

Adapun hukum kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya, maka Allah SWT telah menetapkan bahwa mayat mempunyai kehormatan yang wajib dipelihara sebagaimana kehormatan orang hidup. Dan Allah telah mengharamkan pelanggaran terhadap kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran terhadap kehormatan orang hidup. Allah menetapkan pula bahwa menganiaya mayat sama saja dosanya dengan menganiaya orang hidup. Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Muminin RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang orang hidup. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban). Imam Ahmad meriwayatkan dari Amar bin Hazm Al Anshari RA, dia berkata,Rasulullah pernah melihatku sedang bersandar pada sebuah kuburan. Maka beliau lalu bersabda : Janganlah kamu menyakiti penghuni kubur itu ! Imam Muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : Sungguh jika seorang dari kalian duduk di atas bara api yang membakarnya, niscaya itu lebih baik baginya daripada dia duduk di atas kuburan !

Hadits-hadits di atas secara jelas menunjukkan bahwa mayat mempunyai kehormatan sebagaimana orang hidup. Begitu pula melanggar kehormatan dan menganiaya mayat adalah sama dengan melanggar kehormatan dan menganiaya orang hidup. Dan sebagaimana tidak boleh menganiaya orang hidup dengan membedah perutnya, atau memenggal lehernya, atau mencongkel matanya, atau memecahkan tulangnya, maka begitu pula segala penganiayaan tersebut tidak boleh dilakukan terhadap mayat. Sebagaimana haram menyakiti orang hidup dengan mencaci maki, memukul, atau

melukainya, maka demikian pula segala perbuatan ini haram dilakukan terhadap mayat.

Hanya saja penganiayaan terhadap mayat dengan memecahkan tulangnya, memenggal lehernya, atau melukainya, tidak ada denda (dlamaan) padanya sebagaimana denda pada penganiayaan orang hidup. Sebab Rasulullah SAW tidak menetapkan adanya denda sedikit pun terhadap seseorang yang telah memecahkan tulang mayat di hadapan beliau, ketika orang itu sedang menggali kubur.

Rasulullah SAW hanya memerintahkan orang itu untuk memasukkan potonganpotongan tulang yang ada ke dalam tanah. Dan Rasulullah menjelaskan kepadanya bahwa memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang hidup dari segi dosanya saja. Tindakan mencongkel mata mayat, membedah perutnya untuk diambil jantungnya, atau ginjalnya, atau hatinya, atau paru-parunya, untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkannya, dapat dianggap sebagai mencincang mayat. Padahal Islam telah melarang perbuatan ini. Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid Al Anshari ra, dia berkata, Rasulullah SAW telah melarang (mengambil) harta hasil rampasan dan mencincang (mayat musuh). Imam Ahmad, Imam Ibnu Majah, dan Imam An Nasai meriwayatkan dari Shafwan bin Asaal RA, dia berkata,Rasulullah SAW telah mengutus kami dalam sebuah sariyah (divisi pasukan yang diutus Rasulullah), lalu beliau bersabda : Majulah kalian dengan nama Allah dan di jalan Allah. Maka perangilah orangorang yang kafir terhadap Allah, dan janganlah kalian mencincang (mayat musuh), melakukan pengkhianatan, dan membunuh anak-anak !

Dengan penjelasan fakta hukum mengenai pelanggaran kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya ini, maka jelaslah bahwa tidak dibolehkan membedah perut mayat dan mengambil sebuah organnya untuk ditransplantasikan kepada orang lain. Ini karena tindakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap kehormatan mayat serta merupakan penganiayaan dan pencincangan terhadapnya. Padahal melanggar kehormatan mayat dan mencincangnya telah diharamkan secara pasti oleh syara.

Keadaan darurat adalah keadaan di mana Allah membolehkan seseorang yang terpaksa yang kehabisan bekal makanan, dan kehidupannya terancam kematian untuk memakan apa saja yang didapatinya dari makanan yang diharamkan Allah, seperti bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain. Apakah dalam keadaan seperti ini dibolehkan

mentransplantasikan salah satu organ tubuh mayat untuk menyelamatkan kehidupan orang lain, yang kelangsungan hidupnya tergantung pada organ yang akan dipindahkan kepadanya ? Untuk menjawab pertanyaan itu harus diketahui terlebih dahulu hukum darurat, sebagai langkah awal untuk dapat mengetahui hukum transplantasi organ tubuh dari orang yang sudah mati kepada orang lain yang membutuhkannya. Mengenai hukum darurat, maka Allah SWT telah membolehkan orang yang terpaksa yang telah kehabisan bekal makanan, dan kehidupannya terancam kematian untuk memakan apa saja yang didapatinya dari makanan yang diharamkan Allah seperti bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain hingga dia dapat mempertahankan hidupnya. Allah SWT berfirman : Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa atasnya. (QS. Al Baqarah : 173)

Maka orang yang terpaksa tersebut boleh memakan makanan haram apa saja yang didapatinya, sehingga dia dapat memenuhi kebutuhannya dan mempertahankan hidupnya. Kalau dia tidak mau memakan makanan tersebut lalu mati, berarti dia telah berdosa dan membunuh dirinya sendiri. Padahal Allah SWT berfirman : Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian. (QS. An Nisaa : 29).Dari penjelasan di atas, dapatkah hukum darurat tersebut diterapkan dengan jalan Qiyas pada fakta transplantasi organ dari orang yang sudah mati kepada orang lain yang membutuhkannya guna menyelamatkan kehidupannya ? Jawabannya memerlukan pertimbangan, sebab syarat penerapan hukum Qiyas dalam masalah ini ialah bahwa illat (sebab penetapan hukum) yang ada pada masalah cabang sebagai sasaran Qiyas yaitu transplantasi organ harus juga sama-sama terdapat pada masalah pokok yang menjadi sumber Qiyas yaitu keadaan darurat bagi orang yang kehabisan bekal makanan baik pada illat yang sama, maupun pada jenis illatnya. Hal ini karena Qiyas sesungguhnya adalah menerapkan hukum masalah pokok pada masalah cabang, dengan perantaraan illat pada masalah pokok. Maka jika illat masalah cabang tidak sama-sama terdapat pada masalah pokok dalam sifat keumumannya atau kekhususannya maka berarti illat masalah pokok tidak terdapat pada masalah cabang. Ini berarti hukum masalah pokok tidak dapat diterapkan pada masalah cabang. Dalam kaitannya dengan masalah transplantasi, organ yang ditransplantasikan dapat merupakan organ vital yang diduga kuat akan dapat

menyelamatkan kehidupan, seperti jantung, hati, dua ginjal, dan dua paru-paru. Dapat pula organ tersebut bukan organ vital yang dibutuhkan untuk menyelamatkan kehidupan, seperti dua mata, ginjal kedua (untuk dipindahkan kepada orang yang masih punya satu ginjal yang sehat), tangan, kaki, dan yang semisalnya. Mengenai organ yang tidak menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan dan ketiadaannya tidak akan membawa kematian, berarti illat masalah pokok yaitu menyelamatkan kehidupan tidak terwujud pada masalah cabang (transplantasi). Dengan demikian, hukum darurat tidak dapat diterapkan pada fakta transplantasi. Atas dasar itu, maka menurut syara tidak dibolehkan mentransplantasikan mata, satu ginjal (untuk dipindahkan kepada orang yang masih mempunyai satu ginjal yang sehat), tangan, atau kaki, dari orang yang sudah meninggal kepada orang lain yang membutuhkannya. Sedangkan organ yang diduga kuat menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan, maka ada dua hal yang harus diperhatikan :Pertama, Illat yang terdapat pada masalah cabang (transplantasi) yaitu menyelamatkan dan mempertahankan kehidupan tidak selalu dapat dipastikan keberadaannya, berbeda halnya dengan keadaan darurat. Sebab, tindakan orang yang terpaksa untuk memakan makanan yang diharamkan Allah SWT, secara pasti akan menyelamatkan kehidupannya. Sedangkan pada transplantasi jantung, hati, dua paru-paru, atau dua ginjal, tidak secara pasti akan menyelamatkan kehidupan orang penerima organ.

Kadang-kadang jiwanya dapat diselamatkan dan kadang-kadang tidak. Ini dapat dibuktikan dengan banyak fakta yang terjadi pada orang-orang yang telah menerima transplantasi organ. Karena itu, illat pada masalah cabang (transplantasi) tidak terwujud dengan sempurna.Kedua, Ada syarat lain dalam syarat-syarat masalah cabang dalam Qiyas, yaitu pada masalah cabang tidak dibenarkan ada nash lebih kuat yang bertentangan dengannya (taarudl raajih), yang berlawanan dengan apa yang dikehendaki oleh illat Qiyas. Dalam hal ini pada masalah cabang yakni transplantasi organ telah terdapat nash yang lebih kuat yang berlawanan dengan apa yang dikehendaki illat Qiyas, yaitu keharaman melanggar kehormatan mayat, atau keharaman menganiaya dan

mencincangnya. Nash yang lebih kuat ini, bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh illat masalah cabang (transplantasi organ), yaitu kebolehan melakukan transplantasi.

J. TRANSPLANTASI ORGAN MENURUT AGAMA KRISTEN

Saya membaca suatu artikel di koran mengenai Bapa Suci mengutuk kloning embrio manusia demi kepentingan transplantasi organ tubuh. Mohon penjelasan mengenai ajaran Gereja dalam masalah ini. ~ seorang pembaca di Sterling

Pada umumnya, Gereja Katolik memperkenankan transplantasi organ tubuh. Dalam ensiklik Evangelium Vitae (= Injil Kehidupan), Bapa Suci Yohanes Paulus II menyatakan, ada kepahlawanan harian, yang terdiri dari amal perbuatan berbagi sesuatu, besar atau kecil, yang menggalang kebudayaan hidup yang otentik. Teladan amal perbuatan yang secara khas layak dipuji seperti itu ialah pendermaan organ-organ, yang dilaksanakan melalui cara yang dari sudut etika dapat diterima, dengan maksud menawarkan kemungkinan kesehatan dan bahkan hidup sendiri kepada orang sakit, yang kadang sudah tidak mempunyai harapan lain lagi (No. 86). Ajaran ini menggemakan Katekismus Gereja Katolik: Transplantasi sesuai dengan hukum susila dan malahan dapat berjasa sekali, kalau bahaya dan resiko fisik dan psikis, yang dipikul pemberi, sesuai dengan kegunaan yang diharapkan pada penerima (No. 2296). Guna memahami ajaran ini dengan lebih baik, marilah kita bergerak selangkah demi selangkah. Perlu dicatat bahwa masalah ini pertama kali dibahas dengan jelas oleh Paus Pius XII pada tahun 1950-an, dan kemudian disempurnakan sesuai dengan kemajuankemajuan yang berhasil dicapai dalam bidang medis.

Pertama-tama, dibedakan antara transplantasi organ tubuh (termasuk jaringan) dari seorang yang telah meninggal dunia ke seorang yang hidup, versus transplantasi organ tubuh (termasuk jaringan) dari seorang yang hidup ke seorang lainnya. Dalam kasus pertama, yaitu apabila donor organ tubuh adalah seorang yang telah meninggal dunia, maka tidak timbul masalah moral. Paus Pius XII mengajarkan, Seorang mungkin berkehendak untuk mendonorkan tubuhnya dan memperuntukkannya bagi tujuan-tujuan yang berguna, yang secara moral tidak tercela dan bahkan luhur, di antaranya adalah keinginan untuk menolong mereka yang sakit dan menderita. Seorang dapat membuat keputusan akan hal ini dengan hormat terhadap tubuhnya sendiri dan dengan sepenuhnya sadar akan penghormatan yang pantas untuk tubuhnya. Keputusan ini hendaknya tidak dikutuk, melainkan sungguh dibenarkan (Amanat kepada Kelompok Spesialis Mata, 14 Mei 1956).

Pada dasarnya, apabila organ-organ tubuh dari seorang yang telah meninggal dunia, seperti ginjal, hati, kornea mata, dapat menolong menyelamatkan atau memperbaiki hidup seorang lainnya yang masih hidup, maka transplantasi yang demikian adalah baik secara moral dan bahkan patut dipuji. Patut dicatat bahwa donor wajib memberikan persetujuannya dengan bebas dan penuh kesadaran sebelum wafatnya, atau keluarga terdekat wajib melakukannya pada saat kematiannya: Transplantasi organ tubuh tidak dapat diterima secara moral, kalau pemberi atau yang bertanggung jawab untuk dia tidak memberikan persetujuan dengan penuh kesadaran (No. 2296).

Satu peringatan perlu disampaikan di sini: Keberhasilan suatu transplantasi organ tubuh sangat bergantung pada kesegaran organ, artinya bahwa prosedur transplantasi harus dilakukan sesegera mungkin begitu donor meninggal dunia. Namun demikian, donor tidak boleh dinyatakan meninggal dunia secara dini atau kematiannya dipercepat hanya agar organ tubuhnya dapat segera dipergunakan. Kriteria moral menuntut bahwa donor sudah harus meninggal dunia sebelum organ-organ tubuhnya dipergunakan untuk transplantasi. Demi menghindari konflik antar kepentingan, Uniform Anatomical Gift Act memprasyaratkan, Saat kematian hendaknya ditetapkan oleh dokter yang mendampingi donor pada saat kematiannya, atau, jika tidak ada, dokter yang menyatakan kematiannya. Dokter tersebut tidak diperkenankan untuk ikut ambil bagian dalam prosedur pengambilan atau transplantasi organ tubuh (Section 7 (b)). Meski peraturan ini tidak mendatangkan dampak atas moralitas transplantasi organ tubuh itu sendiri, namun martabat orang yang menghadapi ajal wajib dilindungi, dan mempercepat kematian atau mengakhiri hidupnya demi mendapatkan organorgan tubuhnya untuk kepentingan transplantasi adalah amoral. Di sini, sekali lagi Katekismus Gereja Katolik mengajarkan, Langsung menyebabkan keadaan cacat atau kematian seseorang, selalu dilarang secara moral, meskipun dipakai untuk menunda kematian orang lain (No. 2296), suatu point yang digarisbawahi oleh Bapa Suci.

Transplantasi organ tubuh dari seorang donor hidup ke seorang lainnya jauh lebih rumit. Kemampuan untuk melakukan transplantasi ginjal yang pertama kali pada tahun 1954 menimbulkan suatu debat sengit di antara para teolog. Debat berfokus pada prinsip totalitas di mana dalam keadaan-keadaan tertentu seorang diperkenankan untuk mengorbankan salah satu bagian atau salah satu fungsi tubuhnya demi kepentingan seluruh tubuh. Sebagai contoh, seorang diperkenankan mengangkat suatu organ tubuh yang sakit demi memelihara kesehatan seluruh tubuhnya, misalnya mengangkat rahim yang terserang kanker. Namun demikian, para

teolog ini berargumentasi bahwa seorang tidak dapat dibenarkan mengangkat suatu organ tubuh yang sehat dan mendatangkan resiko masalah kesehatan di masa mendatang apabila hidupnya sendiri tidak berada dalam bahaya, misalnya pada kasus seorang mengorbankan sebuah ginjal yang sehat untuk didonorkan kepada seorang yang membutuhkan. Operasi yang demikian, menurut mereka, mendatangkan pengudungan yang tidak perlu atas tubuh dan karenanya amoral.

Sebagian teolog lainnya beragumentasi dari sudut pandang belas kasih persaudaraan, yaitu bahwa seorang yang sehat yang mendonorkan sebuah ginjal kepada seorang yang membutuhkan, melakukan suatu tindakan pengorbanan yang sejati demi menyelamatkan nyawa orang. Kemurahan hati yang demikian sesuai dengan teladan Tuhan Sendiri di salib, dan merefleksikan ajaran-Nya pada saat Perjamuan Malam Terakhir, Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabatsahabatnya (Yoh 15:12-13). Menurut para teolog ini, korban yang demikian secara moral dapat diterima apabila resiko celaka pada donor, baik akibat operasi itu sendiri maupun akibat kehilangan organ tubuh, proporsional dengan manfaat bagi si penerima. Bergerak dari alasan ini, para teolog yang pro-transplantasi mempertimbangkan kembali prinsip totalitas. Mereka mengajukan argumentasi bahwa meski transplantasi organ tubuh dari donor hidup tidak melindungi keutuhan anatomis atau fisik (yakni adanya kehilangan suatu organ tubuh yang sehat), namun sungguh memenuhi totalitas fungsional (yakni terpeliharanya fungsi dan sistem tubuh sebagai suatu kesatuan). Sebagai contoh, seorang dapat mengorbankan satu ginjalnya yang sehat (adanya kehilangan dalam keutuhan anatomis) dan masih dapat memelihara kesehatan dan fungsi tubuh yang layak dengan ginjal yang tersisa; donor yang demikian secara moral diperkenankan. Tetapi, dengan alasan yang sama, seorang tidak dapat mengorbankan satu matanya untuk diberikan kepada seorang buta, sebab tindakan yang demikian menganggu fungsi tubuhnya.

Paus Pius XII setuju dengan pemahaman belas kasihan ini dan juga tafsiran yang lebih luas dari prinsip totalitas; sebab itu beliau memaklumkan transplantasi organ tubuh dari seorang donor hidup secara moral diperkenankan. Bapa Suci menggarisbawahi point bahwa donor mempersembahkan korban diri demi kebaikan orang lain. Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan point ini, Setiap transplantasi organ tubuh bersumber dari suatu keputusan

yang bernilai luhur: yakni keputusan untuk memberi satu bagian dari tubuhnya sendiri tanpa imbalan demi kesehatan dan kebaikan orang lain. Di sinilah tepatnya terletak keluhuran tindakan ini, suatu tindakan yang adalah tindakan kasih sejati. Bukan sekedar memberikan sesuatu yang adalah milik kita, melainkan memberikan sesuatu yang adalah diri kita sendiri. (Amanat kepada Partisipan dalam Kongres Transplantasi Organ, 20 Juni 1991, No. 3).

Namun demikian, transplantasi organ tubuh dari seorang donor hidup kepada seorang yang lain wajib memenuhi empat persyaratan: (1) resiko yang dihadapi donor dalam transplantasi macam itu harus proporsional dengan manfaat yang didatangkan atas diri penerima; (2) pengangkatan organ tubuh tidak boleh mengganggu secara serius kesehatan donor atau fungsi tubuhnya; (3) perkiraan penerimaan adalah baik bagi si penerima, dan (4) donor wajib membuat keputusan dengan penuh kesadaran dan bebas dengan mengetahui resiko yang mungkin terjadi.

Masalah kedua menyangkut penggunaan organ-organ atau jaringan-jaringan tubuh dari kanak-kanak yang diaborsi (seperti bayi-bayi yang dibunuh dengan prosedur aborsi kelahiran parsial). Sesungguhnya, sedang berkembang suatu industri yang menguntungkan dalam Mendapatkan organ tubuh dengan memanfaatkan organ-organ atau jaringan-jaringan tubuh dari janin yang diaborsi. Point penting di sini adalah bahwa aborsi-aborsi ini dilakukan dengan tujuan memanfaatkan organ-organ atau jaringan-jaringan tubuh si bayi, dan dalam hubungan langsung dengan seorang penerima tertentu.

Aspek lain dari masalah ini adalah ketika seorang anak dikandung secara alami atau melalui fertilisasi in vitro (= pembuahan di luar tubuh) demi mendapatkan genetik terbaik yang sesuai, dan kemudian anak dilahirkan atau bahkan diaborsi sekedar demi mendapatkan organ-organ atau jaringan-jaringan tubuhnya. Sebagai contoh, baru-baru ini suatu pasangan mengandung seorang anak demi satu tujuan utama yaitu agar si bayi menjadi donor sumsum tulang bagi saudari kandungnya yang menderita leukemia; anak yang dikandung ini diperiksa untuk menjadi donor yang sesuai sementara ia masih dalam rahim dan kemudian dilahirkan. Orang patut bertanya apakah anak ini akan diaborsi andai ia tidak dapat menjadi donor yang sesuai. Ikut ambil bagian dalam suatu aborsi demi mendapatkan organ tubuh bayi,

mengandung seorang anak demi organ tubuhnya, atau secara sadar mempergunakan organorgan tubuh dari janin yang diaborsi adalah salah secara moral.

Masalah ini menjadi semakin rumit dengan riset teknologi kloning. Sebagian periset berharap menumbuhkan jaringan dan bahkan organ-organ tubuh dari sel-sel induk yang didapatkan dari embrio manusia; tetapi, dengan demikian harus membunuh embrio. Oleh sebab hidup manusia diawali dari saat pembuahan dan sakral sejak dari saat itu, maka pembinasaan macam itu adalah amoral. Menegaskan prinsip-prinsip Katolik yang konsisten, Paus Yohanes Paulus II mengatakan, teknik-teknik ini, sejauh meliputi manipulasi dan penghancuran embrio manusia, dari sudut moral tak dapat diterima, juga meskipun tujuannya baik (Amanat kepada Kongres Internasional Ikatan Transplantasi, No. 8). Pada intinya, tujuan akhir tidak dapat membenarkan sarana yang dipergunakan. Tetapi, Bapa Suci mendorong para ilmuwan untuk mengejar jalan riset ilmiah di mana dipergunakan sel-sel induk dewasa, dan yang tidak mempergunakan kloning dan sel-sel embrio manusia. Ringkasnya, riset macam apapun wajib menghormati martabat pribadi manusia sejak dari saat pembuahan.

Pertanyaan moral lainnya menyangkut pembagian dan pencangkokan organ tubuh kepada para penerima yang menanti. Sesungguhnya, jumlah penerima melampaui jumlah organ yang tersedia untuk transplantasi. Sementara tidak akan pernah ada suatu sistem yang sempurna, rencana pencangkokan organ hendaknya tidak diskriminatif (berdasarkan usia, jenis kelamin, ras, status sosial, dan semacam itu) atau manfaatnya (berdasarkan kapasitas kerja, manfaat sosial, dan semacam itu) melainkan hendaknya diupayakan untuk mengenali nilai intrinsik tiap-tiap pribadi. Sebaliknyalah, pencangkokan organ kepada penerima memenuhi faktor-faktor immunological dan clinical.

Akhirnya, apakah seorang dapat menjual salah satu organ tubuhnya sendiri untuk transplantasi merupakan masalah lain lagi. Jawaban yang pasti adalah Tidak. Penjualan organ tubuh melanggar martabat manusia, menghapuskan kriteria belas kasih sejati dalam melakukan derma yang demikian, dan mendorong munculnya suatu sistem pasar yang bermanfaat hanya bagi mereka yang dapat membayar, lagi melanggar belas kasih yang otentik. Paus Yohanes Paulus II telah berulangkali mengarisbawahi ajaran ini, Suatu transplantasi, bahkan sekedar transfusi darah, tidaklah seperti operasi-operasi lainnya. Transplantasi sepatutnya tidak dipisahkan dari tindakan memberi diri si pendonor, yang

mengalir dari kasih yang memberi hidup (Amanat kepada Kongres Internasional Pertama Serikat Transplantasi Organ, 24 Juni 1991) dan Karenanya, segala prosedur yang cenderung mengkomersialkan organ-organ tubuh manusia atau menganggapnya sebagai barang untuk diperjualbelikan atau diperdagangkan, harus dianggap tidak dapat diterima secara moral, sebab penggunaan tubuh sebagai suatu `obyek' adalah melanggar martabat pribadi manusia (Amanat kepada Kongres Internasional Ikatan Transplantasi, No. 3).

Oleh karena itu, mendonorkan organ tubuh secara moral diperkenankan dengan persyaratan-persyaratan tertentu. The Ethical and Religious Directives for Catholic Health Care Services memberikan pedoman berikut: Transplantasi organ tubuh dari para donor hidup secara moral diperkenankan apabila derma yang demikian tidak mengorbankan atau secara serius merusakkan fungsi penting tubuh dan manfaat bagi si penerima proporsional dengan resiko yang ditanggung donor. Di samping itu, kebebasan donor wajib dihormati, dan donor hendaknya tidak mendapatkan keuntungan finansial (No. 30).

Pada umumnya, dalam kasus mendonorkan organ tubuh sesudah kematian, anugerah yang Tuhan berikan kepada kita untuk kita pergunakan dalam hidup ini - mata, jantung, hati, dan sebagainya - dapat diwariskan kepada seorang lain yang membutuhkan. Dalam kasus mendonorkan organ tubuh sementara masih hidup, seperti memberikan sebuah ginjal yang sehat kepada seorang kerabat yang membutuhkan, donor patut mempertimbangkan segala implikasinya; dalam belas kasih, seorang calon donor dapat memutuskan bahwa ia tidak dapat mendonorkan organ tubuhnya, misalnya sebab ia adalah orangtua dan tak hendak menambah resiko tidak dapat memelihara anak-anaknya sendiri yang masih tergantung padanya. Mendonorkan organ tubuh bukanlah suatu keharusan, namun dianjurkan sebagai tindakan belas kasih.

1. Transplantasi Organ Dari Donor Yang Masih Hidup : Syara membolehkan seseorang pada saat hidupnya dengan sukarela tanpa ada paksaan siapa pun untuk menyumbangkan sebuah organ tubuhnya atau lebih kepada orang lain yang membutuhkan organ yang disumbangkan itu, seperti tangan atau ginjal. Ketentuan itu dikarenakan adanya hak bagi seseorang yang tangannya terpotong, atau tercongkel matanya akibat perbuatan orang lain untuk mengambil diyat (tebusan), atau memaafkan orang lain yang telah memotong tangannya atau mencongkel matanya. Memaafkan pemotongan tangan atau pencongkelan mata,

hakekatnya adalah tindakan menyumbangkan diyat. Sedangkan penyumbangan diyat itu berarti menetapkan adanya pemilikan diyat, yang berarti pula menetapkan adanya pemilikan organ tubuh yang akan disumbangkan dengan diyatnya itu. Adanya hak milik orang tersebut terhadap organorgan tubuhnya berarti telah memberinya hak untuk memanfaatkan organ-organ tersebut, yang berarti ada kemubahan menyumbangkan organ tubuhnya kepada orang lain yang membutuhkan organ tersebut. Dan dalam hal ini Allah SWT telah membolehkan memberikan maaf dalam masalah qishash dan berbagai diyat. Allah SWT berfirman : Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan suatu rahmat. (QS. Al Baqarah : 178) Syarat-Syarat Penyumbangan Organ Tubuh Bagi Donor Hidup Syarat bagi kemubahan menyumbangkan organ tubuh pada saat seseorang masih hidup, ialah bahwa organ yang disumbangkan bukan merupakan organ vital yang menentukan kelangsungan hidup pihak penyumbang, seperti jantung, hati, dan kedua paru-paru. Hal ini dikarenakan penyumbangan organ-organ tersebut akan mengakibatkan kematian pihak penyumbang, yang berarti dia telah membunuh dirinya sendiri. Padahal seseorang tidak dibolehkan membunuh dirinya sendiri atau meminta dengan sukarela kepada orang lain untuk membunuh dirinya. Allah SWT berfirman : Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian. (QS. An Nisaa : 29)

Allah SWT berfirman pula : dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS. Al Anaam : 151) Keharaman membunuh orang yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) ini mencakup membunuh orang lain dan membunuh diri sendiri. Imam Muslim meriwayatkan dari Tsabit bin Adl Dlahaak RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : dan siapa saja yang membunuh dirinya sendiri dengan sesuatu (alat/sarana), maka Allah akan menyiksa orang tersebut dengan alat/sarana tersebut dalam neraka Jahannam.

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : Siapa saja yang menjatuhkan diri dari sebuah gunung dan membunuh dirinya sendiri, maka dia akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam. Demikian pula seorang laki-laki tidak dibolehkan menyumbangkan dua testis (zakar), meskipun hal ini tidak akan menyebabkan kematiannya, sebab Rasulullah SAW telah melarang pengebirian/pemotongan testis (al khisha), yang akan menyebabkan kemandulan. Imam Bukahri meriwayatkan dari Abdullah bin Masud RA, dia berkata : Kami dahulu pernah berperang bersama Nabi SAW sementara pada kami tidak ada isteri-isteri. Kami berkata, Wahai Rasulullah bolehkah kami melakukan pengebirian ? Maka beliau melarang kami untuk melakukannya. Hukum ini dapat diterapkan juga untuk penyumbangan satu buah testis, kendatipun hal ini tidak akan membuat penyumbangnya menjadi mandul. Ini karena sel-sel kelamin yang terdapat dalam organ-organ reproduktif yaitu testis pada laki-laki dan indung telur pada perempuan merupakan substansi yang dapat menghasilkan anak, sebab kelahiran manusia memang berasal dari sel-sel kelamin. Dalam testis terdapat sel-sel penghasil sel-sel sperma mengingat testis merupakan pabrik penghasil sel sperma. Dan testis akan tetap menjadi tempat penyimpanan yakni pabrik penghasil sel sperma dari sel-selnya baik testis itu tetap pada pemiliknya atau pada orang yang menerima transplantasi testis dari orang lain. Atas dasar itu, maka kromosom anak-anak dari penerima transplantasi testis, sebenarnya berasal dari orang penyumbang testis, sebab testis yang telah dia sumbangkan itulah yang telah menghasilkan sel-sel sperma yang akhirnya menjadi anak. Karena itu, anak-anak yang dilahirkan akan mewarisi sifat-sifat dari penyumbang testis dan tidak mewarisi sedikitpun sifat-sifat penerima sumbangan testis. Jadi pihak penyumbang testislah yang secara biologis menjadi bapak mereka. Maka dari itu, tidak dibolehkan menyumbangkan satu buah testis, sebagaimana tidak dibolehkan pula menyumbangkan dua buah testis. Sebab, menyumbangkan dua buah testis akan menyebabkan kemandulan pihak penyumbang. Di samping itu, menyumbangkan satu atau dua buah testis akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab. Padahal Islam telah mengharamkan hal ini dan sebaliknya telah memerintahkan pemeliharaan nasab. Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.

Imam Ibnu Majah meriwayatkan pula dari Utsman An Nahri RA, dia berkata, Aku mendengar Saad dan Abu Bakrah masing-masing berkata,Kedua telingaku telah mendengar dan hatiku telah menghayati sabda Muhammad SAW : Siapa saja yang mengaku-ngaku (sebagai anak) kepada orang yang bukan bapaknya, padahal dia tahu bahwa orang itu bukan bapaknya, maka surga baginya haram. Demikian pula Islam telah melarang seorang wanita memasukkan ke dalam kaumnya nasab yang bukan dari kaumnya, dan melarang seorang laki-laki mengingkari anaknya sendiri. Imam Ad Darimi meriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda tatkala turun ayat lian : Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apa pun dari Allah dan Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu di hadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat nanti). 2. Hukum Transplantasi Dari Donor Yang Telah Meninggal Hukum tranplanstasi organ dari seseorang yang telah mati berbeda dengan hukum transplantasi organ dari seseorang yang masih hidup. Untuk mendapatkan kejelasan hukum trasnplantasi organ dari donor yang sudah meninggal ini, terlebih dahulu harus diketahui hukum pemilikan tubuh mayat, hukum kehormatan mayat, dan hukum keadaan darurat. Mengenai hukum pemilikan tubuh seseorang yang telah meninggal, kami berpendapat bahwa tubuh orang tersebut tidak lagi dimiliki oleh seorang pun. Sebab dengan sekedar meninggalnya seseorang, sebenarnya dia tidak lagi memiliki atau berkuasa terhadap sesuatu apapun, entah itu hartanya, tubuhnya, ataupun isterinya. Oleh karena itu dia tidak lagi berhak memanfaatkan tubuhnya, sehingga dia tidak berhak pula untuk menyumbangkan salah satu organ tubuhnya atau mewasiatkan penyumbangan organ tubuhnya. Berdasarkan hal ini, maka seseorang yang sudah mati tidak dibolehkan menyumbangkan organ tubuhnya dan tidak dibenarkan pula berwasiat untuk menyumbangkannya. Sedangkan mengenai kemubahan mewasiatkan sebagian hartanya, kendatipun harta bendanya sudah di luar kepemilikannya sejak dia meninggal, hal ini karena Asy Syari (Allah) telah mengizinkan seseorang untuk mewasiatkan sebagian hartanya hingga sepertiga tanpa seizin ahli warisnya. Jika lebih dari sepertiga, harus seizin ahli warisnya. Adanya izin dari Asy Syari hanya khusus untuk masalah harta benda dan tidak mencakup hal-hal lain. Izin ini tidak mencakup pewasiatan tubuhnya. Karena itu dia tidak berhak berwasiat untuk menyumbangkan salah satu organ tubuhnya setelah

kematiannya. Mengenai hak ahli waris, maka Allah SWT telah mewariskan kepada mereka harta benda si mayit, bukan tubuhnya. Dengan demikian, para ahli waris tidak berhak menyumbangkan salah satu organ tubuh si mayit, karena mereka tidak memiliki tubuh si mayit, sebagaimana mereka juga tidak berhak memanfaatkan tubuh si mayit tersebut. Padahal syarat sah menyumbangkan sesuatu benda, adalah bahwa pihak penyumbang berstatus sebagai pemilik dari benda yang akan disumbangkan, dan bahwa dia mempunyai hak untuk memanfaatkan benda tersebut. Dan selama hak mewarisi tubuh si mayit tidak dimiliki oleh para ahli waris, maka hak pemanfaatan tubuh si mayit lebih-lebih lagi tidak dimiliki oleh selain ahli waris, bagaimanapun juga posisi atau status mereka. Karena itu, seorang dokter atau seorang penguasa tidak berhak memanfaatkan salah satu organ tubuh seseorang yang sudah meninggal untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkannya. Adapun hukum kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya, maka Allah SWT telah menetapkan bahwa mayat mempunyai kehormatan yang wajib dipelihara sebagaimana kehormatan orang hidup. Dan Allah telah mengharamkan pelanggaran terhadap kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran terhadap kehormatan orang hidup. Allah menetapkan pula bahwa menganiaya mayat sama saja dosanya dengan menganiaya orang hidup. Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Muminin RA bahwa Rasulullah SAW bersabda : Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang orang hidup. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban). Imam Ahmad meriwayatkan dari Amar bin Hazm Al Anshari RA, dia berkata,Rasulullah pernah melihatku sedang bersandar pada sebuah kuburan. Maka beliau lalu bersabda : Janganlah kamu menyakiti penghuni kubur itu ! Imam Muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : Sungguh jika seorang dari kalian duduk di atas bara api yang membakarnya, niscaya itu lebih baik baginya daripada dia duduk di atas kuburan ! Hadits-hadits di atas secara jelas menunjukkan bahwa mayat mempunyai kehormatan sebagaimana orang hidup. Begitu pula melanggar kehormatan dan menganiaya mayat adalah sama dengan melanggar kehormatan dan menganiaya orang hidup. Dan sebagaimana tidak boleh menganiaya orang hidup dengan membedah perutnya, atau memenggal lehernya, atau mencongkel matanya, atau memecahkan tulangnya, maka begitu pula segala penganiayaan tersebut tidak boleh dilakukan terhadap mayat. Sebagaimana haram menyakiti orang hidup dengan mencaci maki, memukul, atau melukainya, maka demikian pula segala perbuatan ini haram dilakukan terhadap

mayat. Hanya saja penganiayaan terhadap mayat dengan memecahkan tulangnya, memenggal lehernya, atau melukainya, tidak ada denda (dlamaan) padanya sebagaimana denda pada penganiayaan orang hidup. Sebab Rasulullah SAW tidak menetapkan adanya denda sedikit pun terhadap seseorang yang telah memecahkan tulang mayat di hadapan beliau, ketika orang itu sedang menggali kubur. Rasulullah SAW hanya memerintahkan orang itu untuk memasukkan potonganpotongan tulang yang ada ke dalam tanah. Dan Rasulullah menjelaskan kepadanya bahwa memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang hidup dari segi dosanya saja. Tindakan mencongkel mata mayat, membedah perutnya untuk diambil jantungnya, atau ginjalnya, atau hatinya, atau paru-parunya, untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkannya, dapat dianggap sebagai mencincang mayat. Padahal Islam telah melarang perbuatan ini. Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid Al Anshari ra, dia berkata, Rasulullah SAW telah melarang (mengambil) harta hasil rampasan dan mencincang (mayat musuh). Imam Ahmad, Imam Ibnu Majah, dan Imam An Nasai meriwayatkan dari Shafwan bin Asaal RA, dia berkata,Rasulullah SAW telah mengutus kami dalam sebuah sariyah (divisi pasukan yang diutus Rasulullah), lalu beliau bersabda : Majulah kalian dengan nama Allah dan di jalan Allah. Maka perangilah orang-orang yang kafir terhadap Allah, dan janganlah kalian mencincang (mayat musuh), melakukan pengkhianatan, dan membunuh anak-anak ! Dengan penjelasan fakta hukum mengenai pelanggaran kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya ini, maka jelaslah bahwa tidak dibolehkan membedah perut mayat dan mengambil sebuah organnya untuk ditransplantasikan kepada orang lain. Ini karena tindakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap kehormatan mayat serta merupakan penganiayaan dan pencincangan terhadapnya. Padahal melanggar kehormatan mayat dan mencincangnya telah diharamkan secara pasti oleh syara. Keadaan Darurat Keadaan darurat adalah keadaan di mana Allah membolehkan seseorang yang terpaksa yang kehabisan bekal makanan, dan kehidupannya terancam kematian untuk memakan apa saja yang didapatinya dari makanan yang diharamkan Allah, seperti bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain. Apakah dalam keadaan seperti ini dibolehkan mentransplantasikan salah satu organ tubuh mayat untuk menyelamatkan kehidupan orang lain, yang kelangsungan hidupnya tergantung pada organ yang akan dipindahkan kepadanya ?

Untuk menjawab pertanyaan itu harus diketahui terlebih dahulu hukum darurat, sebagai langkah awal untuk dapat mengetahui hukum transplantasi organ tubuh dari orang yang sudah mati kepada orang lain yang membutuhkannya. Mengenai hukum darurat, maka Allah SWT telah membolehkan orang yang terpaksa yang telah kehabisan bekal makanan, dan kehidupannya terancam kematian untuk memakan apa saja yang didapatinya dari makanan yang diharamkan Allah seperti bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain hingga dia dapat mempertahankan hidupnya. Allah SWT berfirman : Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa atasnya. (QS. Al Baqarah : 173) Maka orang yang terpaksa tersebut boleh memakan makanan haram apa saja yang didapatinya, sehingga dia dapat memenuhi kebutuhannya dan mempertahankan hidupnya. Kalau dia tidak mau memakan makanan tersebut lalu mati, berarti dia telah berdosa dan membunuh dirinya sendiri. Padahal Allah SWT berfirman : Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian. (QS. An Nisaa : 29) Dari penjelasan di atas, dapatkah hukum darurat tersebut diterapkan dengan jalan Qiyas pada fakta transplantasi organ dari orang yang sudah mati kepada orang lain yang membutuhkannya guna menyelamatkan kehidupannya? Jawabannya memerlukan pertimbangan, sebab syarat penerapan hukum Qiyas dalam masalah ini ialah bahwa illat (sebab penetapan hukum) yang ada pada masalah cabang sebagai sasaran Qiyas yaitu transplantasi organ harus juga sama-sama terdapat pada masalah pokok yang menjadi sumber Qiyas yaitu keadaan darurat bagi orang yang kehabisan bekal makanan baik pada illat yang sama, maupun pada jenis illatnya. Hal ini karena Qiyas sesungguhnya adalah menerapkan hukum masalah pokok pada masalah cabang, dengan perantaraan illat pada masalah pokok. Maka jika illat masalah cabang tidak sama-sama terdapat pada masalah pokok dalam sifat keumumannya atau kekhususannya maka berarti illat masalah pokok tidak terdapat pada masalah cabang. Ini berarti hukum masalah pokok tidak dapat diterapkan pada masalah cabang. Dalam kaitannya dengan masalah transplantasi, organ yang ditransplantasikan dapat merupakan organ vital yang diduga kuat akan dapat menyelamatkan kehidupan, seperti jantung, hati, dua ginjal, dan dua paru-paru. Dapat pula organ tersebut bukan organ vital yang dibutuhkan untuk menyelamatkan kehidupan, seperti dua mata, ginjal kedua (untuk dipindahkan kepada orang yang masih punya satu ginjal yang sehat), tangan, kaki, dan yang semisalnya.

Mengenai organ yang tidak menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan dan ketiadaannya tidak akan membawa kematian, berarti illat masalah pokok yaitu menyelamatkan kehidupan tidak terwujud pada masalah cabang (transplantasi). Dengan demikian, hukum darurat tidak dapat diterapkan pada fakta transplantasi. Atas dasar itu, maka menurut syara tidak dibolehkan mentransplantasikan mata, satu ginjal (untuk dipindahkan kepada orang yang masih mempunyai satu ginjal yang sehat), tangan, atau kaki, dari orang yang sudah meninggal kepada orang lain yang membutuhkannya. Sedangkan organ yang diduga kuat menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan, maka ada dua hal yang harus diperhatikan :Pertama, Illat yang terdapat pada masalah cabang (transplantasi) yaitu menyelamatkan dan mempertahankan kehidupan tidak selalu dapat dipastikan keberadaannya, berbeda halnya dengan keadaan darurat. Sebab, tindakan orang yang terpaksa untuk memakan makanan yang diharamkan Allah SWT, secara pasti akan menyelamatkan kehidupannya. Sedangkan pada transplantasi jantung, hati, dua paru-paru, atau dua ginjal, tidak secara pasti akan menyelamatkan kehidupan orang penerima organ. Kadang-kadang jiwanya dapat diselamatkan dan kadang-kadang tidak. Ini dapat dibuktikan dengan banyak fakta yang terjadi pada orang-orang yang telah menerima transplantasi organ. Karena itu, illat pada masalah cabang (transplantasi) tidak terwujud dengan sempurna.Kedua, Ada syarat lain dalam syarat-syarat masalah cabang dalam Qiyas, yaitu pada masalah cabang tidak dibenarkan ada nash lebih kuat yang bertentangan dengannya (taarudl raajih), yang berlawanan dengan apa yang dikehendaki oleh illat Qiyas. Dalam hal ini pada masalah cabang yakni transplantasi organ telah terdapat nash yang lebih kuat yang berlawanan dengan apa yang dikehendaki illat Qiyas, yaitu keharaman melanggar kehormatan mayat, atau keharaman menganiaya dan mencincangnya. Nash yang lebih kuat ini, bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh illat masalah cabang (transplantasi organ), yaitu kebolehan melakukan transplantasi. Berdasarkan dua hal di atas, maka tidak dibolehkan mentransplantasikan organ tubuh yang menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan seperti jantung, hati, dua ginjal, dua paru-paru dari orang yang sudah mati yang terpelihara darahnya (mashumud dam) baik dia seorang muslim, ataupun seorang dzimmi*, seorang muahid**, dan seorang mustamin kepada orang lain yang kehidupannya tergantung pada organ yang akan ditransplantasikan kepadanya. Transplantasi atau pencangkokan organ tubuh adalah pemindahan organ tubuh tertentu yang mempunyai daya hidup yang sehat, dari seseorang untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat atau tidak berfungsi dengan baik milik orang lain.

Orang yang anggota tubuhnya dipindahkan disebut donor (pen-donor), sedang yang menerima disebut repisien. Cara ini merupakan solusi bagi penyembuhan organ tubuh tersebut karena

penyembuhan/pengobatan dengan prosedur medis biasa tidak ada harapan kesembuhannya. Ditinjau dari segi kondisi donor (pendonor)-nya maka ada tiga keadaan donor: 1. 2. 3. donor dalam keadaan hidup sehat; donor dalam kedaan sakit (koma) yang diduga kuat akan meninggal segera; donor dalam keadaan meninggal. Organ tubuh yang banyak didonorkan adalah mata, ginjal dan jantung. Namun sejalan dengan perkembangan iptek modern, transplantasi pada masa yang akan datang tidak terbatas pada ketiga organ tubuh tersebut saja. Tapi bisa berkembang pada organ tubuh-tubuh lainnya. Bagaimana hukum transplantasi tersebut menurut hukum Islam? Dibolehkan ataukah diharamkan? Untuk menentukan hukum boleh tidaknya transplantasi organ tubuh, perlu dilihat kapan pelakasanaannya. Sebagaimana dijelaskan ada tiga keadaan transplantasi dilakukan, yaitu pada saat donor masih hidup sehat, donor ketika sakit (koma) dan didiuga kuat akan meninggal dan donor dalam keadaan sudah meninggal. Berikut hukum transplantasi sesuai keadaannya masing-masing. Pertama, apabila pencangkokan tersebut dilakukan, di mana donor dalam keadaan sehat wal afiat, maka hukumnya menurut Prof Drs. Masyfuk Zuhdi, dilarang (haram) berdasarkan alasanalasan sebagai berikut: 1. Firman Allah dalam surat Al-Baqaroah: 195

Artinya:Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu hke dalam kebinasaan Dalam kasus ini, orang yang menyumbangkan sebuah mata atau ginjalnya kepada orang lain yang buta atau tidak mempunyai ginjal ia (mungkin) akan menghadapi resiko sewaktu-waktu mengalami tidak normalnya atau tidak berfungsinya mata atau ginjalnya yang tinggal sebuah itu (Ibid, 88).

2.

Kaidah hukum Islam:

Artinya:Menolak kerusakan harus didahulukan at