Makalah Pak Her mels.docx
-
Upload
melyansyah-sa -
Category
Documents
-
view
264 -
download
3
Transcript of Makalah Pak Her mels.docx
DINAMIKA KONFLIK PUSAT DAN DAERAHOTONOMI DAERAH YANG SEMAKIN TERNISBIKAN
PASCA IMPLEMENTASI UU NO. 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
(Telaah Akademisi FISIP Unila dan Pemda di Provinsi Lampung)
Disusun Oleh:
Nama : Melyansyah
NPM : 1216021072
Mata Kuliah : Manajemen Konflik
Dosen Pengampu : Hertanto, Ph.D
JURUSAN ILMU PEMERINTAHANFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG11 JUNI 2015
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan izin dan
ridho-Nya makalah ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam semoga tetap
dilimpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa
kedamaian dan rahmat bagi semesta alam.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata Manajemen konflik.
Terimakasih kami ucapkan kepada dosen pengampu yang sudah membimbing
penulis dalam penyusunan makalah ini yang secara substantif mencoba
menganalisis konflik yang terjadi antar pusat dan daerah dalam implementasi UU
No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pribadi penulis
khususnya serta bagi pihak yang membutuhkan pada umumnya.
Bandarlampung, Juni 2015
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1B. Rumusan Masalah2C. Tujuan Penulisan 3
II. KERANGKA TEORI 4
A. Dilema Desentralisasi 4B. Desentralisasi Politis dan Desentralisasi Administratif 7
III. PEMBAHASAN 10
A. Pergeseran Konsep Otda Sebagai Momentum Lahirnya Konflik10
B. Pembagian Urusan Pemicu Perluasan Konflik 12C. Solusi dan Pemecahan Konflik 15
IV. PENUTUP 17
A. Simpulan 17
B. Saran 17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konsep “resentralisasi” sering terdengar setelah diberlakukan UU No. 23
Tahun 20141 tentang Pemerintahan Daerah sejak Oktober 2014. Kritik, protes
bahkan caci maki ditujukan oleh berbagai pihak diantaranya para praktisi,
akademisi dan yang paling utama berasal dari banyak pemerintah daerah di
Indonesia. Isu resentralisasi tersebut juga mendapat sambutan “panas” dari
akademisi dan pemda di Provinsi Lampung. Dalam sebuah forum seminar, UU
Pemerintahan Daerah yang baru tersebut mendapatkan sumpah serapah serta puja-
puji maupun caci-maki yang diartikulasikan dengan bersemangat oleh berbagai
pihak.2
Berbagai pandangan pun hadir terkait kehadiran UU Pemerintahan Daerah
tersebut. Jika menengok ke belakang, lahirnya UU tersebut bukanlah produk dari
masalah penyelenggaraan pemerintahan yang mendasar, melainkan disebabkan
alasan ketidaksesuaian dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan
tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah.3 Selain itu lahirnya UU
Pemerintahan daerah yang baru adalah karena ; Pertama, lemahnya fungsi
gubernur dan pemerintah pusat dalam mengontrol pemerintah kabupaten dan kota.
Dalam banyak kasus, gubernur sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat di
daerah gagal mencegah abuse of power dari pemerintah kota dan kabupaten
terutama dalam masalah pertambangan, kelautan dan kehutanan. Mucul juga raja-
1 UU No. 23 Tahun 2014, ada perubahan yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 Tahun 2014 tentan perubahan atas UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU.2 Purwo santoso, UU Sebagai Sandaran Nasib Daerah ?: Refleksi Desentralisasi di Indonesia, disampaikan dalam Seminar Nasional UU Pemerintahan Daerah : Solusi atau Masalah Baru, pada tanggal 30 April 2015.3 Konsideran UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
2
raja kecil di daerah yang tidak bisa dikontrol oleh gubernur. Kedua, maraknya
daerah pemekaran yang kebablasan. Ketiga, ada kewenangan yang tumpang
tindih.4
Lahirnya UU Pemerintahan Daerah yang baru ini juga menjadi refleksi
konflik kepentingan antara pusat dan daerah yang tidak pernah berkahir. Konflik
kepentingan tersebut dapat dilihat dalam berbagai perubahan substansial di dalam
UU tersebut. Diantaranya dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat 6 yang menyatakan
konsep otonomi daerah sebagai berikut :
“Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”5
Diksi “urusan pemerintahan” di atas dapat dipahami bahwa wewenang daerah
cenderung mengarah hanya sekedar kewenangan (desentralisasi) administratif
terkait urusan pemerintahan bukan kewenangan (desentralisasi) politik. Urusan
pemerintahan pun dikotak-kotakan menjadi tiga jenis yaitu urusan absolut,
konkuren dan pemerintahan umum. Pencaplokan sebagian kewenangan politis
pemerintah daerah juga dipertegas dengan penarikan urusan di bidang kehutanan,
kelautan dan sumberdaya mineral. Berdasarkan Pasal 14 ketiga urusan tersebut
menjadi urusan Pusat dan Provinsi.
Berdasarkan deskripsi dan argumentasi di atas, penulis akan mencoba
menganalisis konflik kepentingan antara pusat dan daerah dalam rangka melihat
prospek dan arah desentralisasi Indonesia di masa depan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konflik pusat dan daerah muncul?
2. Bagaimanakah konflik pusat dan daerah meluas?
3. Bagaimanakah konflik pusat dan daerah dipecahkan?
4 Djohermansyah Djohan, dalam Artikel Opini “Kado Hari Otonomi”, Kompas Edisi 25 April 2015, diakses pada tanggal 3 Juni 2015 pukul 19.35 WIB.5 Cetak ebal dari penulis.
3
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana munculnya konflik pusat dan daerah.
2. Untuk mengetahui bagaimana meluasnya konflik pusat dan daerah.
3. Untuk mengetahui bagaimana konflik pusat dan daerah dipecahkan.
II. KERANGKA TEORI
A. Dilema Desentralisasi
Sejarah ketatanegaraan Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah telah
berupaya terus menerus untuk mencari titik keseimbangan yang tepat dalam
meletakkan bobot desentralisasi dan otonomi daerah. Peletakan bobot
desentralisasi tersebut ditentukan berdasarkan arah UU yang dibuat oleh para
legislator. Terhitung sudah banyak produk UU yang mengatur pemerintahan
daerah dengan berbagai kecenderungan, baik itu sentralistis maupun desentralistis.
Kemudian yang terakhir adalah penetapan UU No. 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang menjadi babak baru dalam mendefisnisikan konsep
desentralisasi dan rangkaian hubungan konflik antar daerah dan pusat.
Pada dasarnya, desentralisasi bertujuan membangun partisipasi masyarakat
dan mengundang keterlibatan publik seluas-luasnya dalam proses perencanaan,
implementasi dan evaluasi pembangunan yang dijalankan. Untuk itu,
desentralisasi memberikan ruang yang lebih luas kepada daerah untuk secara
demokratis mengatur pemerintahannya sendiri sebagai manifestasi dari cita-cita
sistem desentralisasi. Tetapi, pelaksanaan sistem ini mendapatkan tantangan yang
cukup besar. Kendala-kendala tersebut diantaranya adalah (1) mindset atau
mentalitas aparat birokrasi yang belum berubah; (2) hubungan antara institusi
pusat dengan daerah; (3) sumber daya manusia yang terbatas; (4) pertarungan
kepentingan yang berorientasi pada perebutan kekuasaan, penguasaan aset dan
adanya semacam gejala powershift syndrom yang menghinggapi aparat
pemerintah; dan (5) keinginan pemerintah untuk menjadikan desa sebagai unit
politik di samping unit sosial budaya dimana desa memiliki tatanan sosial budaya
yang otonom.6
6 Pheni Chalid, 2005, Otonomi Daerah , Masalah, Pemberdayaan Dan Konflik, Jakarta : Kemitraan. hlm. 6.
5
Selain itu, beberapa pakar juga menambahkan akar persoalan penerapan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu ; Pertama, relasi kekuasaan
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah di Indonesia lebih cenderung
mengarah ke kutub sentralisasi daripada desentralisasi (Hidayat dalam Hertanto,
2015). Kedua, realitas implementasi desentratralisasi dan otonomi daerah juga
menggambarkan fokus perhatian agenda reformasi yang berlangsung selama
sepuluh tahun pertama (1990-2009) lebih banyak dicurahkan pada upaya
memperbaiki dan membangun institusi negara (state institutional reform).
Sementara upaya untuk membangun dan memperkuat kapasitas negara relatif
belum mendapat perhatian yang memadai. Akibatnya, “kehadiran” negara dalam
praktik kehidupan sehari-hari menjadi samar-samar atau bahkan “absen”. Karena
itu, kehadiran desentralisasi dan otonomi daerah sangat nyata dalam bentuk
institusi, tetapi tidak terlihat dalam fungsi. Desentralisasi dan otonomi daerah juga
sangat nyata hadir dengan kemasan demokrasi, namun roh yang terkandung di
dalamnya masih sangat bernuansa sentralistis (Hidayat dalam Hertanto, 2015).7
Ketiga, ada tiga problematik sehubungan dengan berlakunya UU No. 32
Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999, yakni problem konstitusi,
problem komitmen pemangku kepentingan, dan problem inkonsistensi kebijakan.8
Keempat, desain otonomi lokal yang pada dasarnya bukan merupakan isu teknis
pemerintahan melainkan indikasi dari persaingan sengit antara kepentingan-
kepentingan yang bersaing memperebutkan sumber daya material yang konkret.9
Meskipun pelaksanaan desentralisasi di Indonesia mengalami banyak
hambatan, namun penerapan desentralisasi dalam local government membawa dua
manfaat. Pertama, desentralisasi memberikan kontribusi positif bagi
perkembangan demokrasi nasional karena local government itu mampu menjadi
sarana bagi pendidikan politik rakyat, dan memberikan pelatihan bagi
kepemimpinan politik, serta mendukung penciptaan stabilitas politik. Lebih jelas
7 Hidayat dalam Hertanto, UU No. 23 Tahun 2014: Pemerintahan Daerah yang Efektif-Efisien dan Resentralisasi dalam Proceeding Semnas “UU Pemda : Solusi atau Masalah Baru? Pada 30 April 2015. 8 Haris dalam Hertanto, UU No. 23 Tahun 2014: Pemerintahan Daerah yang Efektif-Efisien dan Resentralisasi dalam Proceeding Semnas “UU Pemda : Solusi atau Masalah Baru? Pada 30 April 2015. 9 Hafidz dalam Hertanto, UU No. 23 Tahun 2014: Pemerintahan Daerah yang Efektif-Efisien dan Resentralisasi dalam Proceeding Semnas “UU Pemda : Solusi atau Masalah Baru? Pada 30 April 2015.
6
lagi, Hoessein (2000) menambahkan bahwa dalam konsep otonomi terkandung
kebebasan untuk berprakarsa untuk mengambil keputusan atas dasar aspirasi
masyarakat yang memiliki status demikian tanpa kontrol langsung oleh
Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, kaitannya dengan demokrasi sangat erat.10
Kedua, local government mampu memberikan manfaat bagi masyarakat
setempat (locality). Sebagaimana diingatkan oleh Hoessein (2001a) bahwa local
government dan local autonomy tidak dicerna sebagai daerah atau pemerintah
daerah tetapi merupakan masyarakat setempat. Urusan dan kepentingan yang
menjadi perhatian keduanya bersifat lokalitas karena basis politiknya adalah
lokalitas tersebut bukan bangsa. Makna lokalitas ini juga tercermin dalam
berbagai istilah di berbagai negara yang merujuk pada maksud yang sama.
Commune di Perancis, Gemeinde di Jerman, Gementee di Belanda, dan Municipio
di Spanyol yang kemudian menyerupai Municipality di Amerika Serikat (Norton,
1997: 23-24).11
Manfaat bagi masyarakat setempat ini adalah adanya political equality,
accountability, dan responsiveness. Sementara itu, dalam pandangan yang sama
Antoft & Novack (1998: 155-159) juga mengungkapkan manfaat atau keuntungan
dari local government ini dalam beberapa hal, yakni: accountability, accessibility,
responsiveness, opportunity for experimentation, public choice, spread of power,
dan democratic values. Dalam interpretasi ekonomi (Stoker, 1991: 238-242,
mengenai public choice theory), desentralisasi merupakan medium penting dalam
meningkatkan kesejahteraan pribadi melalui pilihan publik.
Diskursus konsep desentralisasi memang tidak pernah berujung. Hampir
setiap pergantian UU pemerintahan daerah selalu menuai kritik. UU pemerintahan
yang terbaru ini juga menuai kritik tajam baik dalam lingkup definitif otonomi
daerah atau pun substansial arah kebijakan desentralisasi yang disinyalir
cenderung menghilangkan kewenangan politis daerah di bidang tertentu dan
10 B. Hoessein, 1999, “Pergeseran paradigma otonomi daerah dalam rangka refprmasi administrasi publik di Indonesia”. Makalah dalam Seminar Reformasi Hubungan Pusat-Daerah Menuju Indonesia Baru : Beberapa Masukan Kritis untuk Pembahasan RUU Otonomi Daerah dan Proses Transisi Implementasinya yang diselenggarakan ASPRODIA-UI, Jakarta.11 A. Norton, 1997, International Handbook Of Local And Regional Govemment : Comparative Analysis Of Advanced Democracies. Cheltenham : Edwar Elgar.
7
seolah-olah membentuk daerah sebagai pemerintahan yang memilki kewenangan
administratif saja.
B. Desentralisasi Politik dan Desentralisasi Administratif
Dinamika konflik pemerintah pusat dan daerah semakin gencar dengan
penerapan UU Pemerintahan yang baru. Beberapa kewenangan pemerintah daerah
ditarik menjadi kewenangan provinsi sebagai kepanjangan tangan pemerintah
pusat. Kewenangan tersebut terkait dengan urusan kehutanan, kelautan dan energi
sumber daya mineral. Pencaplokan kewenangan tersebut seolah membuat
pergeseran konsep desentralisasi politis yang begitu kuat ke arah desentralisasi
administratif.
Seperti disinyalir Diana Conyer (1983), perdebatan tentang konsep
desentralisasi belum berakhir, dan tidak pernah akan berakhir. Meskipun Slater
dan Rondinelli telah mengakhiri polemik mereka (1989-1990) dalam mengungkap
keunggulan dan kelemahan konsep desentralisasi politik dan desentralisasi
administrasi, namun semangat untuk terus mempertanyakan “kesahihan” konsep-
konsep desentralisasi masih terus berlangsung dan tidak pernah berhenti.
Fenomena ini, tegas Conyer (1983), harus diartikulasi dan dimaknai sebagai suatu
proses dinamis, dan pada saat yang bersamaan konsep desentralisasi terus
menyempurnakan diri sejalan perkembangan ruang dan waktu.
Bila ditelusuri kembali dinamika perkembangan konsep desentralisasi, akan
terlihat bahwa dalam perjalanannya tidak pernah luput dari kritik, atau bahkan
melahirkan polemik antara pihak yang pro dan kontra. Perdebatan pada tataran
konseptual tersebut, tidak saja berimplikasi pada semakin berkembangnya konsep
desentralisasi, tetapi juga telah memunculkan kerumitan-kerumitan tertentu dalam
memahami konsep desentralisasi. Kecenderungan ini semakin nyata terlihat sejak
dekade 1970-an, ketika kajian tentang desentralisasi sudah tidak lagi dimonopoli
oleh disiplin ilmu politik dan administrasi negara, tetapi juga telah menarik
perhatian disiplin ilmu lain. Hanya menyebut beberapa contoh, di antara disiplin
ilmu yang telah memberikan kontribusi dalam kajian desentraliasi dan otonomi
daerah adalah ilmu ekonomi, hukum, sosiologi, dan antropologi (Conyer, 1984:
8
190). Akibatnya, konsep desentralisasi dan otonomi daerah dirumuskan dalam
‘bahasa’ yang berbeda-beda, sesuai dengan disiplin ilmu pengusungnya.
Namun demikian, kompleksitas konsep desentralisasi secara umum dapat
dikategorikan ke dalam 2 (dua) perspektif utama, yakni political decentralisation
perspecitve (perspektif desentralisasi politik) dan administrative decentralisation
perspecitve (perspektif desentralisasi administrasi). Perbedaan mendasar dua
perspekstif ini terletak pada rumusan definisi dan tujuan desentralisasi. Perspektif
desentralisasi politik mendefinisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan
(devolution of power) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Parson (1961), misalnya, mendefinisikan desentralisasi sebagai “… sharing
of the governmental power by a central ruling group with other groups, each
having authority within a specific area of the state.” Sedangkan dekonsentrasi,
menurut Parson, adalah “… the sharing of power between members of the same
ruling group having authority respectively in different areas of the state.”
Dengan merujuk pada definisi desentralisasi dan dekonsentrasi yang dirumuskan
Parson tersebut, Mawhood (1987: 9) mengatakan bahwa desentralisasi adalah “…
devolution of power from central to local governments”. Hal senada juga
dikemukakan oleh Smith (1985), yang mendefinisikan desentralisasi sebagai “…
the transfer of power, from top level to lower level, in a territorial hierarchy,
which could be one of government within a state, or offices within a large
organisation.” Poin penting yang menarik untuk digarisbawahi di sini adalah
bahwa Smith juga mendudukkan ide devolution of power sebagai substansi utama
desentralisasi, kendati devolusi kekuasaan yang dimaksud tidak hanya dibatasi
pada struktur pemerintahan.
Pada sisi lain, perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan
definisi desentralisasi sebagai delegasi wewenang administratif (administrative
authority) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Rondinelli and
Cheema (1983: 18), misalnya, mengatakan:
Decentralisation is the transfer of planning, decision-making, or administrative authority from central government to its field organisations, local administrative units, semi autonomous and parastatal organisations, local government, or non-government organisations.
9
Perbedaan kedua perspektif dalam mendefinisikan desentralisasi, tidak dapat
dihindari, berimplikasi pada perbedaan dalam merumuskan tujuan utama yang
hendak dicapai. Secara umum, perspektif desentralisasi politik lebih menekankan
tujuan yang hendak dicapai pada aspek politis, antara lain: meningkatkan
keterampilan dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintah dan
masyarakat, serta mempertahankan integrasi nasional.
Melalui paparan masalah dan landasan teoritis di atas, penulis akan
memahami secara mendalam proses munculnya konflik, perluasan konflik dan
pemecahan konflik dengan menganalisis pergeseran konsep otonomi daerah
dalam UU pemerintahan yang baru, serta melihat kecenderungan pembagian
urusan antara pemerintah pusat, provinsi dan daerah ; apakah cenderung
desentralisasi politik atau administratif. Kemudian hasil analisis akan diakumulasi
dalam sebuah simpulan yang mengarah pada desentralisasi atau resentralisasi,
yang memberikan ruang bagi penulis untuk merekomendasikan solusi bagi
pemecahan konflik. Secara gamblang alur pikir penulis seperti yang digambarkan
di bawah ini :
Konflikmuncul danmeluas
Konflikdipecahkan
Gambar 1. Kerangkan pikir
UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Konsep dan Definisi Otda
dalam UU
Pembagian Urusan :Des. Politis atau Des.
Administrasi?
Desentralisasi atau Resentralisasi?
III. PEMBAHASAN
A. Pergeseran Konsep Otda Sebagai Momentum Lahirnya Konflik
Sejak zaman kolonial hingga sekarang kurang lebih ada 10 peraturan
perundang-undangan yang mengatur pemerintahan daerah di Indonesia. Dimulai
dari Desentralisatie WET 1903 yang merupakan produk kolonial belanda
kemudian pasca kemerdekaan lahirlah UU No. 1 tahun 1995 yang cenderung
dominan sentralistis, kemudian pasca reformasi lahir UU No. 22 tahun 1999 yang
cenderung desentralistis, selanjutnya pada masa demokratisasi lahir UU No.32
tahun 2004 yang menggabungkan sentralistis dan desentralistis dan yang terakhir
adalah UU No.23 tahun 2014 yang mengandung visi efektivitas pemerintahan.12
UU pemerintahan daerah yang terbaru ini memang memilki banyak sekali
perubahan. Salah satu perubahan yang mendasar adalah perubahan definisi
otonomi daerah. Perubahan tersebut berdasarkan pada pasal 1 ayat 6 yang
mendefinisikan otonomi daerah sebagai berikut :
“Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”13
Kemudian jika menengok kembali definisi otonomi daerah yang cukup populer
menurut beberapa pakar salah satunya menurut Sugeng Istianto yang
mendefinisikan otonomi daerah sebagai “hak dan wewenang untuk mengatur dan
mengurusus rumah tangga daerah”. Jika ditelaah secara mendalam terdapat
perbedaan yang sangat mendasar dalam redaksional dan makna dari konsepsi
otonomi daerah, yaitu dari mengurus rumah tangga daerah itu sendiri menjadi
12 Kementerian Dalam Negeri, 2015, Implementasi UU No. 23 Tahun 2014 : Pembagian Peran Antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, Jakarta.13 Cetak Tebal dari Penulis
11
urusan pemerintahan. Perubahan tersebut mengindikasikan bahwa daerah
kehilangan indepedensi “rumah tangga” dan aspek kekuasaan dalam rumah
tangga, hanya menjadi sebatas “urusan pemerintahan”. Kemudian dipertegas lagi
dengan redaksional kepentingan masyarakat setempat yang seolah-olah
memberikan kesan bahwa otonomi daerah hanya sebatas kekuasaan yang sangat
kecil hanya sebatas melayani kepentingan masyarakat setempat.14 Perubahan
tersebut sama seperti melemahkan kewenangan politis daerah untuk menjalankan
fungsinya sebagai pemerintahan yang otonom.
Perubahan definisi konseptual otonomi daerah tersebut memang menjadi
sebuah kejanggalan yang menciptakan konflik akibat perbedaan persepsi antar
stakeholder. Selain perubahan definisi tersebut yang menjadi kejanggalan adalah
latar belakang lahirnya UU pemerintahan yang terbaru ini bukan karena masalah
penyelenggaraan pemerintahan yang mendasar melainkan disebabkan adanya
ketidaksesuaian UU dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Mengingat memang tidak ada diskursus
yang serius terkait penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasar UU No. 32
tahun 2014. Karena selama ini yang menjadi masalah dalam UU tersebut hanyalah
masalah penyelenggraan pemerintahan daerah, desa dan mekanisme pilkada.
Namun perdebatan tersebut segera diredam dengan diberlakukan UU No. 6 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Desa dan UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota.
Pergeseran konsep otonomi daerah memang menjadi awal konflik
kepentingan antara pusat dan daerah. Selain itu dalil yang melatarbelakangi
lahirnya UU yang baru juga sangat lemah. Indikasi melemahkan kewenangan
politis daerah juga ditunjukkan dengan pembagian kekuasaan yang rigid antara
pemerintah pusat, provinsi dan daerah. Namun apapun yang mendasari lahirnya
UU yang baru tersebut selalu saja menimbulkan kritik dari para akademisi akibat
dari kajian akademis dan pandangan teknokrasi yang tidak terakomodasi dalam
pembuat UU tersebut. Kepentingan di dalam parlemenlah yang menjadi penentu
pengetukan palu pengesahan UU tersebut.
14 Ari Darmastuti, Arah Politik Pemerintahan UU No. 23 Tahun 2014, dalam Proceeding Semnas “UU Pemda : Solusi atau Masalah Baru? Pada 30 April 2015.
12
B. Pembagian Urusan Pemicu Perluasan Konflik
“Artinya semua ini? Undang-undang sebetulnya adalah medium tarik ulur
kepentingan”.15 Begitulah statement yang dipaparkan secara gamblang oleh Guru
Besar Ilmu Pemerintahan Purwo Santoso dalam sebuah forum seminar nasional.
Tarik ulur kepentingan merupakan konflik yang sangat nyata terjadi antara daerah
dan pusat. Melalui diberlakukan UU pemerintahan daerah yang baru konflik
kepentingan antara pusat dan daerah meluas dan menuju titik kronis. Terutama
setelah pengaturan tentang pembagian urusan antara pemerintah pusat, provinsi
dan daerah yang hampir mengikis habis kewenangan daerah terutama kewenangn
politis. Urusan-urusan tersebut meliputi urusan absolut yang diselenggarakan oleh
pemerintah pusat, urusan pemerintahan umum yang menjadi kewenangan presiden
sebagai kepala negara dan urusan pemerintahan konkuren yang dibagi antara
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Secara
rinci pembagian urusan tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini :
Gambar 2. Pembagian Urusan Absolut, Konkuren dan Pemerintahan Umum
15 Purwo santoso, UU Sebagai Sandaran Nasib Daerah ?: Refleksi Desentralisasi di Indonesia, disampaikan dalam Seminar Nasional UU Pemerintahan Daerah : Solusi atau Masalah Baru, pada tanggal 30 April 2015.
13
Gambar 3. Urusan Pemerintahan Konkuren
Melalui gambar di atas dapat diketahui bahwa kewenangan politis daerah
hampir semuanya ditarik dan diambil oleh pemerintah pusat. Urusan absolut dan
urusan pemerintahn umum sudah pasti menjadi kewenangan penuh pemerintah
pusat. Kewenangan pemerintah daerah hanyalah kewenangan konkuren, itu pun
harus di bagi lagi menjadi urusan wajib dan pilihan. Urusan wajib menjadi urusan
wajib yang harus dilaksanakn daerah. Urusan wajib terdiri dari urusan pelayanan
dasar dan non pelayanan dasar. Seluruh pelayanan dasar seperti yang dipaparkan
di atas harus berdasarkan standar pelayanan minimal (SPM) yang dibuat oleh
pemerintah pusat. Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 18 Ayat 1-3 yang
menyebutkan bahwa :
1. Penyelenggara Pemerintahan Daerah memprioritaskan pelaksanaan Urusan
Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar.
2. Pelaksanaan Pelayanan Dasar pada Urusan Pemerintahan Wajib yang
berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
14
berpedoman pada standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal diatur dengan
peraturan pemerintah.
Pelaksanaan wajib yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah pun harus diatur
oleh pemerintah pusat. Dengan kata lain bisa dinyatakan bahwa kerja pemerintah
daerah harus sesuai dengan keinginan pemerintah pusat dengan memenuhi kaidah-
kaidah SPM yang dibuat oleh pemerintah pusat. Hal ini menunjukkan bahwa
hilangnya independensi kewenangan pemerintah daerah dalam membentuk
kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Kemudian terkait dengan urusan
konkuren yang bersifat pilihan, urusan kehutanan, ESDM dan kelautan dan
perikanan juga ditarik oleh pemerintah pusat dengan memberikan urusan tersebut
kepada pemerintah provinsi sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah pusat.
Kemudian bagaimana nasib pemerintah daerah yang distribusi utama PADnya
berasal dari ketiga sektor tersebut.
Kemudian urusan sisa yang menjadi kewenangan daerah hampir semuanya
merupakan urusan yang sifatnya administratif. Misalnya saja urusan administrasi
kependudukan dan pencatatan sipil, urusan kominfo, urusan statistik, persandian,
perpustakaan dan arsip. Jika pun ada urusan yang sifatnya membutuhkan
kewenangan politis daerah, urusan tersebut merupakan urusan yang menjadi
masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, misalnya saja urusan pangan,
pertanahan, pengendalian penduduk dan keluarga berencana, lingkungan hidup,
transmigrasi dan sebagainya. Pembagian urusan yang seolah-olah menelanjangi
kewenangan daerah inilah yang menyebabkan konflik antara pemerintah pusat
daerah meluas dan menuju titik kronis. Pemerintah daerah seperti hanya mendapat
“urusan sisa” dari semua urusan yang ada.
15
C. Solusi dan Pemecahan Konflik
Arah UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah cenderung
sentralistis. Kewenangan daerah dalam lingkup politik hampir semuanya ditarik
oleh pemerintah pusat baik secara langsung maupun melalui pemerintah provinsi
yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat. Pengambilalihan
kewenangan tersebut akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi
pemerintah kabupaten/kota seperti berkurangnya PAD.16 Ketika daerah
kekurangan sumber daya finansial, bagaimana daerah akan membiayai berbagai
urusan dan manajemen pemerintahan di tingkat lokal. Alokasi distribusi
sumberdaya lah yang sebenarnya menjadi sumber konflik kepentingan.17
Kompleksitas masalah yang ditimbulkan oleh UU ini membutuhkan
penyelesaian yang efektif. Beberapa alternatif yang ditawarkan sebagai opsi untuk
penyelesaian konflik kepentingan ini meliputi ; Pertama, memilih federasi
ketimbang kesatuan. Gagasan ini merupakan gagasan tabu dalam diskursus
tentang bentuk negara. Namun konsep ini pernah ditawarkan juga oleh para
founding fathers kita seperti Moh. Hatta dan Tan Malaka. Jika konsep negara
federal mampu menciptakan kesejahteraan di setiap daerah tentu tidak akan
menutup kemungkinan sistem federasi akan terwujud. Karena pada dasarnya
esensi hidup bernegara adalah bagaimana menciptakan negara yang sejahtera
(welfare state).
Kedua, jika konsep negara federasi terlalu ekstrim, alternatif lain adalah
penerapan konsep asymetric decentralization di dalam bingkai negara kesatuan.
Konsep ini sebanarnya sudah ada di Indonesia dengan diterapkannya otonomi
khusus pada beberapa daerah di Indonesia seperti Aceh, Yogyakarta dan Papua.
Selain itu konsep desentralisasi asimetris ini juga telah menjadi program nawacita
Presiden Jokowi. Tidak menutup kemungkinan konsep ini akan diterapkan di
Indonesia. kemudian yang ketiga adalah menciptakan inclusive political
institutions, yaitu menciptakan pemerintahan yang mampu meningkatkan
partisipasi politik masyarakat secara adil tanpa diskriminasi dan tanpa
16 Syarief Makhya, Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam Persfektif UU No. 23 Tahun 2014, dalam Proceeding Semnas “UU Pemda : Solusi atau Masalah Baru? Pada 30 April 2015. 17 Ibid
16
menguntungkan elit tertentu (Robinson & Acemoglu, 2012 : 144-145).18 Karena
yang menjadi permasalahan utama konflik kepentingan pusat dan daerah adalah
adanya pertarungan kepentingan antar elit politik pusat dan daerah.
18 Budi Kurniawan, Kritik dan Saran untuk Perbaikan UU No. 23 Tahun 2014, dalam Proceeding Semnas “UU Pemda : Solusi atau Masalah Baru? Pada 30 April 2015.
IV. PENUTUP
A. Simpulan
Tarik ulur kepentingan merupakan konflik yang sangat nyata terjadi antara
daerah dan pusat. Konflik kepentingan tersebut termanifestasi dalam implementasi
UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Konflik kepentingan
tersebut dimulai dengan perubahan konsep otonomi daerah di dalam UU.
Kemudian konflik tersebut meluas dan menuju titik kronis akibat dari adanya
pembagian urusan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten. Konflik itu
sendiri bisa diredam dengan beberapa alternatif yang ditawarkan, yaitu perubahan
bentuk negara menjadi federasi, penerapan desentralisasi asimetris dan
menciptakan inclusive political institutions.
B. Saran
Konflik kepentingan antara pusat dan daerah memang sudah lama terjadi.
Meskipun demikian konflik tersebut jangan sampai menyebabkan instabilitas
politik yang sangat besar yang menyebabkan pemerintahan begitu rapuh.
Harmonisasi di dalam desentralisasi sangat dibutuhkan agar tercipta hubungan
yang baik. oleh karena itu pemerintah pusat tidak boleh mengkerdilkan
kewenangan politis daerah. Regulasi lebih lanjut dalam PP menjadi opsi rasional
yang dapat dilakukan pemerintah pusat untuk meredam konflik antara pusat dan
daerah. Jika konflik masih terus terjadi tidak menutup kemungkinan UU
pemerintahan daerah yang baru ini akan direvisi.
DAFTAR PUSTAKA
Acemoglu, Daron & A. Robinson, James. 2012. Why Nations Fail. New York : Crown Business.
Chalid, Pheni. 2005. Otonomi Daerah , Masalah, Pemberdayaan Dan Konflik. Jakarta : Kemitraan
Conyers, D. 1983. Decentralization: The Latest Fashion in Development Administration?. Public Administration and Development, Vol. 3.
Conyers, D. 1984. Decentralization and Development: a Review of the Literature, Public Administration and Development, Vol. 4.
Darmastuti, Ari. Arah Politik Pemerintahan UU No. 23 Tahun 2014, dalam Proceeding Semnas “UU Pemda : Solusi atau Masalah Baru? Pada 30 April 2015.
Djohan, Djohermansyah. Artikel Opini “Kado Hari Otonomi”, Kompas Edisi 25 April 2015, diakses pada tanggal 3 Juni 2015 pukul 19.35 WIB.
Hafidz, Vedi R. 2005. Desentralisasi dan Demokrasi di Indonesia: Sebuah Kritik terhadap Perspektif Neo-Institusionalis dalam Hertanto, UU No. 23 Tahun 2014: Pemerintahan Daerah yang Efektif-Efisien dan Resentralisasi dalam Proceeding Semnas “UU Pemda : Solusi atau Masalah Baru? Pada 30 April 2015.
Haris, Syamsuddin. 2014. Desentralisasi Asimetris, Problem atau Solusi?. Dalam Masalah-masalah Demokrasi & Kebangsaan Era Reformasi. Jakarta : Pustaka Obor dalam Hertanto, UU No. 23 Tahun 2014: Pemerintahan Daerah yang Efektif-Efisien dan Resentralisasi dalam Proceeding Semnas “UU Pemda : Solusi atau Masalah Baru? Pada 30 April 2015.
Hertanto, UU No. 23 Tahun 2014: Pemerintahan Daerah yang Efektif-Efisien dan Resentralisasi dalam Proceeding Semnas “UU Pemda : Solusi atau Masalah Baru? Pada 30 April 2015.
Hidayat, Syarief. 2008. Desentralisasi dan Otonomi Daerah dalam Perspektif State-Society Relation. Jurnal Poelitik Vol. 1 No. 1.
19
Hidayat, Syarief. 2010. Menuai Peristiwa-Merentas Karsa: Refleksi Satu Dasa Reformasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Prisma, Vol. 29 No. 3, Juli. Hlm 191-218 dalam Hertanto, UU No. 23 Tahun 2014: Pemerintahan Daerah yang Efektif-Efisien dan Resentralisasi dalam Proceeding Semnas “UU Pemda : Solusi atau Masalah Baru? Pada 30 April 2015.
Hoessein, B. 1999. “Pergeseran paradigma otonomi daerah dalam rangka refprmasi administrasi publik di Indonesia”. Makalah dalam Seminar Reformasi Hubungan Pusat-Daerah Menuju Indonesia Baru : Beberapa Masukan Kritis untuk Pembahasan RUU Otonomi Daerah dan Proses Transisi Implementasinya yang diselenggarakan ASPRODIA-UI, Jakarta.
Kemendagri. 2015. Implementasi UU No. 23 Tahun 2014 : Pembagian Peran Antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, Jakarta.
Kurniawan, Budi. Kritik dan Saran untuk Perbaikan UU No. 23 Tahun 2014, dalam Proceeding Semnas “UU Pemda : Solusi atau Masalah Baru? Pada 30 April 2015.
Makhya, Syarief. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam Persfektif UU No. 23 Tahun 2014, dalam Proceeding Semnas “UU Pemda : Solusi atau Masalah Baru? Pada 30 April 2015.
Mawhood, P. 1987. Local Government in The Third World: The Experience of Tropical Africa. Chicheser: John Wiley & Sons.
Norton, A. 1997. International Handbook Of Local And Regional Govemment : Comparative Analysis Of Advanced Democracies. Cheltenham : Edwar Elgar.
Parson, T. Dkk. 1961. Theories of Sociology. Glencoe: The Free Press.
Rondinelli, Dennis A., John R. Nellis & G. Shabbir Cheema. 1983. Decentralization in Developing Countries: A Review of Recent Experience, Washington D.C.: The World Bank
Santoso, Purwo. UU Sebagai Sandaran Nasib Daerah ?: Refleksi Desentralisasi di Indonesia, disampaikan dalam Seminar Nasional UU Pemerintahan Daerah : Solusi atau Masalah Baru, pada tanggal 30 April 2015.
Smith, B.C. 1985. Decentralization: The Territorial Dimension of The State. London: Asia Publishing House.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.