Makalah Osteoporosis Dan Osteoartritis Fix[1]
description
Transcript of Makalah Osteoporosis Dan Osteoartritis Fix[1]
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia, menurut Dr. Bambang Setyohadi, Sp.P.D.K.R (Devisi
Reumatologi Departemen Penyakit Dalam RSCM), osteoporosis mendapatkan
kepopulerannya sejak tahun 2001 dan kemudian menjadi banyak yang
memberikan perhatian terhadap salah satu penyakit degenerative ini.
Bila Anda mengalami patah tulang hanya karena terpeleset atau terantuk,
tubuh yang makin pendek atau makin bungkuk, atau sering mengalami nyeri
tulang diseluruh tubuh, perlu diwaspadai. Hal itu merupakan pertanda
osteoporosis atau rapuh tulang.
Osteoporosis tidak mudah didiagnosis, karena gejalanya tidak khas.
Penderita sering kali tidak menyadari, tahu-tahu patah tulang karena hal
sepele, misalnya mengangkat koper. Osteoporosis umumnya terjadi pada
wanita, terutama setelah menopause, akibat penurunan kadar hormone
esterogen secara drastis. Esterogen berperan pada proses remodeling tulang
dengan menghambat resorpsi tulang yang berlebihan.
Pada pria, osteoporosis terjadi pada usia yang lebih lanjut, sekitar 70
tahun, karena laki-laki tidak mengalami menopause. Hormone esterogen
didapat pria dari perubahan hormone testosterone dalam darah. (Zaviera,
2008).
Osteoarthritis merupakan penyakit kerusakan tulang rawan sendi yang
berkembang lambat dan berhubungan dengan usia lanjut. Secara klinik
ditandai dengan nyeri, deformitas, pembesaran sendi, dan hambatan gerak
pada sendi-sendi tangan dan sendi besar yang menanggung beban. Seringkali
berhubungan dengan trauma atau mikrotrauma yang berulang-ulang, obesitas,
stress oleh beban tubuh, dan penyakit-penyakit sendi lainnya. (Mansjoer,
2000).
Prevalensi keseluruhan OA pada tahun 2001 adalah 10,8%. 8,9% pada pria
dan 12,6% pada wanita. Prevalensi lebih tinggi pada perempuan di semua
1
kelompok umur. Pada usia 70-74 tahun, sekitar sepertiga dari pria dan 40%
wanita memiliki OA. Tingkat insiden pada 2000-2001 adalah 11,7%. Jumlah
meningkat dengan usia antara 50 dan 80 tahun. Data epidemiologi OA
menunjukan kondisi patologis yang mendasari dapat diamati pada sendi yang
memungkinkan klasifikasi sebagai OA sekunder sebanyak 41,7% pasien OA
panggul dan 33,4% pasien OA lutut. 82,1% pasien OA pinggul dan 87,4%
pasien OA lutut memiliki perubahan radiografi pada sendi mereka. Prevalensi
OA meningkat dengan usia dan lebih tinggi pada pasien wanita. OA lebih
sering diamati pada pasien OA lutut dibandingkan pada pasien OA panggul
sebanyak 34,9% berbanding 19,3%. (Kopec et al., 2007).
B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah, sebagai berikut:
1. Bagaimana definisi osteoporosis dan osteoartritis?
2. Bagaimana epidemiologi osteoporosis dan osteoartritis?
3. Bagaimana etiologi osteoporosis dan osteoartritis?
4. Bagaimana klasifikasi osteoporosis dan osteoartritis?
5. Bagaimana patofisiologi osteoporosis dan osteoartritis?
6. Bagaimana manifestasi osteoporosis dan osteoartritis?
7. Bagaimana pemeriksaan diagnostic osteoporosis dan osteoartritis?
8. Bagaimana pemeriksaan penunjang osteoporosis dan osteoartritis?
9. Bagaimana penatalaksanaan osteoporosis dan osteoartritis?
10. Bagaimana WOC osteoporosis dan osteoartritis?
11. Bagaimana asuhan keperawatan osteoporosis dan osteoartritis?
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah, sebagai berikut:
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi osteoporosis dan osteoartritis
2. Mengetahui definisi osteoporosis dan osteoartritis
3. Mengetahui epidemiologi osteoporosis dan osteoartritis
4. Mengetahui etiologi osteoporosis dan osteoartritis
2
5. Mengetahui klasifikasi osteoporosis dan osteoartritis
6. Mengetahui patofisiologi osteoporosis dan osteoartritis
7. Mengetahui manifestasi klinis osteoporosis dan osteoartritis
8. Mengetahui pemeriksaan diagnostik osteoporosis dan osteoartritis
9. Mengetahui pemeriksaan penunjang osteoporosis dan osteoartritis
10. Mengetahui penatalaksanaan osteoporosis dan osteoartritis
11. Mengetahui WOC osteoporosis dan osteoartritis
12. Mengetahui asuhan keperawatan osteoporosis dan osteoartritis
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Osteoporosis
a. Definisi
Secara harfiah, kata osteo berarti tulang dan kata porosis berarti
berlubang. Istilah populernya adalah tulang keropos. WHO dan konsensus
ahli mendefinisikan osteoporosis sebagai penyakit yang ditandai dengan
rendahnya massa tulang dan memburuknya mikrostruktural jaringan
tulang, yang menyebabkan kerapuhan tulang sehingga meningkatkan
risiko terjadinya fraktur. Dimana keadaan tersebut tidak memberikan
keluhan klinis, kecuali apabila telah terjadi fraktur. (Zaviera, 2008).
Osteoporosis yang lebih dikenal dengan keropos tulang menurut WHO
adalah penyakit skeletal sistemik dengan karakteristik masa tulang yang
rendah dan perubahan mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat
meningkatnya fragilitas tulang dan meningkatnya kerentangan tulang
terhadap patah tulang. Osteoporosis adalah kelainan dimana terjadi
penurunan masa tulang total. (Lukman, 2009).
Osteoporosis adalah kondisi dimana tulang menjadi tipis, rapuh,
keropos, dan mudah patah akibat berkurangnya massa tulang yang terjadi
dalam waktu yang lama. (Mis nadiarly, 2013).
4
b. Epidemiologi
1. Prevalensi osteoporosis untuk umur kurang dari 70 tahun untuk wanita
sebanyak 36%, sedangkan pria 20-27%, untuk umur diatas 70 tahun
untuk wanita 53,6%, pria 38%.
2. Jumlah penderita osteoporosis di Indonesia jauh lebih besar dari data
terakhir Depkes, yang mematok angka 19,7% dari seluruh penduduk
dengan alasan perokok di negeri ini urutan ke-2 dunia setelah China.
(Zaviera, 2008).
3. Hasil penelitian menyimpulkan pada usia 35 tahun, satu dari orang di
kawasan Asia berisiko menderita osteoporosis. Bahkan pada rentang
usia 25 tahun bisa sudah berisiko terkena penyakit tersebut.
4. Filiphina dan Indonesia menjadi Negara dengan catatan terburuk
dalam hal kondisi kepadatan tulang. Perempuan Indonesia pada usia
25-65 tahun berisiko tertinggi terkena osteoporosis dibandingkan
negara Asia lainnya. (Misnadiarly, 2013).
c. Etiologi
Berikut ini faktor-faktor risiko osteoporosis yang tidak dapat
dikendalikan adalah sebagai berikut:
1) Jenis kelamin
Kaum wanita mempunyai faktor risiko terkena osteoporosis lebih
besar dibandingkan kaum pria. Hal ini disebabkan pengaruh hormon
estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35
tahun.
2) Usia
Semakin tua usia, risiko terkena osteoporosis semakin besar karena
secara alamiah tulang semakin rapuh sejalan dengan bertambahnya
usia. Osteoporosis pada usia lanjut terjadi karena berkurangnya massa
tulang yang juga disebabkan menurunnya kemampuan tubuh untuk
menyerap kalsium.
5
3) Ras
Semakin terang kulit seseorang, semakin tinggi risiko terkena
osteoporosis. Karena itu, ras Eropa Utara (Swedia, Norwegia,
Denmark) dan Asia berisiko lebih tinggi terkena osteoporosis
dibanding ras Afrika hitam. Ras Afrika memiliki massa tulang lebih
padat dibanding ras kulit putih Amerika. Mereka juga mempunyai otot
yang lebih besar sehingga tekanan pada tulang pun besar. Ditambah
dengan kadar hormon estrogen yang lebih tinggi pada ras Afrika.
4) Pigmentasi dan tempat tinggal
Mereka yang berkulit gelap dan tinggal di wilayah khatulistiwa,
mempunyai risiko terkena osteoporosis yang lebih rendah
dibandingkan dengan ras kulit putih yang tinggal di wilayah kutub
seperti Norwegia dan Swedia.
5) Riwayat keluarga
Jika ada nenek atau ibu yang mengalami osteoporosis atau
mempunyai massa tulang yang rendah, maka keturunannya cenderung
berisiko tinggi terkena osteoporosis.
6) Sosok tubuh
Semakin mungil seseorang, semakin berisiko tinggi terkena
osteoporosis. Demikian juga seseorang yang memiliki tubuh kurus
lebih berisiko terkena osteoporosis dibanding yang bertubuh besar.
7) Menopause
Wanita pada masa menopause kehilangan hormon estrogen karena
tubuh tidak lagi memproduksinya. Padahal hormon estrogen
dibutuhkan untuk pembentukan tulang dan mempertahankan massa
tulang. Semakin rendahnya hormon estrogen seiring dengan
bertambahnya usia, akan semakin berkurang kepadatan tulang
sehingga terjadi pengeroposan tulang, dan tulang mudah patah.
Menopause dini bisa terjadi jika pengangkatan ovarium terpaksa
dilakukan disebabkan adanya penyakit kandungan seperti kanker,
6
mioma dan lainnya. Menopause dini juga berakibat meningkatnya
risiko terkena osteoporosis.
Berikut ini faktor–faktor risiko osteoporosis yang dapat
dikendalikan. Faktor-faktor ini biasanya berhubungan dengan
kebiasaan dan pola hidup adalah sebagai berikut:
a) Aktivitas fisik
Seseorang yang kurang gerak, kurang beraktivitas, otot-ototnya
tidak terlatih dan menjadi kendor. Otot yang kendor akan mempercepat
menurunnya kekuatan tulang. Untuk menghindarinya, dianjurkan
melakukan olahraga teratur minimal tiga kali dalam seminggu (lebih
baik dengan beban untuk membentuk dan memperkuat tulang).
b) Kurang kalsium
Kalsium penting bagi pembentukan tulang, jika kalsium tubuh
kurang maka tubuh akan mengeluarkan hormon yang akan mengambil
kalsium dari bagian tubuh lain, termasuk yang ada di tulang.
Kebutuhan akan kalsium harus disertai dengan asupan vitamin D yang
didapat dari sinar matahari pagi, tanpa vitamin D kalsium tidak
mungkin diserap usus. (Suryati, 2006).
c) Merokok
Para perokok berisiko terkena osteoporosis lebih besar dibanding
bukan perokok. Telah diketahui bahwa wanita perokok mempunyai
kadar estrogen lebih rendah dan mengalami masa menopause 5 tahun
lebih cepat dibanding wanita bukan perokok. Nikotin yang terkandung
dalam rokok berpengaruh buruk pada tubuh dalam hal penyerapan dan
penggunaan kalsium. Akibatnya, pengeroposan tulang/osteoporosis
terjadi lebih cepat.
d) Minuman keras/beralkohol
Alkohol berlebihan dapat menyebabkan luka-luka kecil pada
dinding lambung. Dan ini menyebabkan perdarahan yang membuat
tubuh kehilangan kalsium (yang ada dalam darah) yang dapat
7
menurunkan massa tulang dan pada gilirannya menyebabkan
osteoporosis.
e) Minuman soda
Minuman bersoda (softdrink) mengandung fosfor dan kafein
(caffein). Fosfor akan mengikat kalsium dan membawa kalsium keluar
dari tulang, sedangkan kafein meningkatkan pembuangan kalsium
lewat urin. Untuk menghindari bahaya osteoporosis, sebaiknya
konsumsi soft drink harus dibarengi dengan minum susu atau
mengonsumsi kalsium ekstra (Tandra, 2009).
f) Stress
Kondisi stres akan meningkatkan produksi hormon stres yaitu
kortisol yang diproduksi oleh kelenjar adrenal. Kadar hormon kortisol
yang tinggi akan meningkatkan pelepasan kalsium kedalam peredaran
darah dan akan menyebabkan tulang menjadi rapuh dan keropos
sehingga meningkatkan terjadinya osteoporosis.
g) Bahan kimia
Bahan kimia seperti pestisida yang dapat ditemukan dalam bahan
makanan (sayuran dan buah-buahan), asap bahan bakar kendaraan
bermotor, dan limbah industri seperti organoklorida yang dibuang
sembarangan di sungai dan tanah, dapat merusak sel-sel tubuh
termasuk tulang. Ini membuat daya tahan tubuh menurun dan membuat
pengeroposan tulang. (Waluyo, 2009).
d. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, ada 2 golongan besar osteoporosis menurut
(Misnadiarly, 2013) yaitu:
a. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang bukan disebabkan oleh
suatu (proses alamiah). Osteoporosis yang berhubungan dengan
berkurangnya massa tulang dan/atau terhentinya produksi hormone
(khusus wanita) disamping bertambahnya usia. Osteoporosis terdiri
dari:
8
1. Osteoporosis primer tipe I
Sering disebut dengan istilah osteoporosis pasca menopause
(setelah menopause), yang terjadi pada wanita pasca menopause
(berusis 50-65 tahun), fraktur biasanya pada vertebra (ruas tulang
belakang), tulang iga, atau tulang radius.
2. Osteoporosis primer tipe II
Sering disebut dengan istilah osteoporosis senil, yang terjadi pada
usia lanjut, biasanya berusia 70 tahun, pria dan wanita punya
kemungkinan yang sama terserang, fraktur biasanya pada tulang
paha. Selain fraktur, gejala yang perlu diwaspadai adalah kifosis
dorsalis (kifosis: kelainan bentuk tulang punggung yang
melengkung/bongkok) bertambah. Makin pendek dan nyeri tulang
berkepanjangan.
b. Osteoporosis sekunder, bila disebabkan oleh berbagai kondisi
klinis/penyakit, seperti infeksi tulang, tumor tulang, pemakaian obat-
obat tertntu, dan immobilitas dalam waktu yang lama.
e. Patofisiologi
Menurut definisi, osteoporosis adalah penyakit yang dicirikan oleh
rendahnya massa tulang dan kemunduran struktural jaringan tulang, yang
menyebabkan kerapuhan tulang. Apabila tidak dicegah atau bila tidak
ditangani dengan baik, proses pengeroposan akan terus berlanjut sampai
tulang menjadi patah dan penderitanya mengalami kesakitan dalam
melakukan pergerakan anggota tubuhnya. Patah tulang ini umumnya akan
terjadi pada tulang belakang, tulang panggul, dan pergelangan tangan. Bila
patah terjadi pada tulang panggul, hampir selalu penanganannya melalui
operasi atau pembedahan. Apabila tulang tidak bergeser, biasanya
sambungan disangga dengan plat dan batang logam. Namun bila
sambungan tulang bergeser, penggantian dengan sendi tiruan dapat
dilakukan. Perggantian sendi tiruan memerlukan biaya pengobatan yang
sangat besar. Patah tulang panggul juga bisa membuat seseorang tidak
9
mampu berjalan tanpa bantuan dan bisa menyebabkan kecacatan
permanen. Patah pada tulang belakang dapat menyebabkan berkurangnya
tinggi tubuh, rasa sakit pada tulang belakang yang parah, dan perubahan
bentuk tubuh.
Dalam keadaan normal, tulang dalam keadaan seimbang antara proses
pembentukan dan penghancuran. Fungsi penghancuran (resorpsi) yang
dilaksanakan oleh osteoklas, dan fungsi pembentukan yang dijalankan
oleh osteoblas senantiasa berpasangan dengan baik. Fase yang satu akan
merangsang terjadinya fase yang lain. Dengan demikian tulang akan
beregenerasi. Keseimbangan kalsium, antara yang masuk dan keluar, juga
memiliki peranan yang penting, bahkan merupakan faktor penentu utama
untuk terjadinya osteoporosis adalah kadar kalsium yang masih terdapat
pada tulang. Seseorang memiliki densitas tulang yang tinggi (tulang yang
padat), mungkin tidak akan sampai menderita osteoporosis. Kehilangan
kalsium tidak akan mencapai tingkat dimana terjadi osteoporosis. Lebih
kurang 99% dari keseluruhan kalsium tubuh berada di dalam tulang dan
gigi. Apabila kadar kalsium darah turun di bawah normal, tubuh akan
mengambilnya dari tulang untuk mengisinya lagi. Dengan bertambahnya
usia, keseimbangan sistem mulai terganggu. Tulang kehilangan kalsium
lebih cepat dibanding kemampuannya untuk mengisi kembali. Secara
umum, osteoporosis terjadi saat fungsi penghancuran sel-sel tulang lebih
dominan dibanding fungsi pembentukan sel-sel tulang, karena pola
pembentukan dan resopsi tulang berbeda antar individu. Para ahli
memperkirakan ada banyak faktor yang berperan mempengaruhi
keseimbangan tersebut. Kadar hormon tiroid dan paratiroid yang
berlebihan dapat mengakibatkan hilangnya kalsium dalam jumlah yang
lebih banyak. Obat-obat golongan steroid pun dapat mengakibatkan
hilangnya kalsium dari tulang.
10
Proses pembentukan dan penimbunan sel-sel tulang mencapai
kepadatan maksimal berjalan paling efisien sampai umur mencapai 30
tahun, dengan bertambahnya usia, semakin sedikit jaringan tulang yang
dibuat. Dengan usia yang lanjut, jaringan tulang yang hilang semakin
banyak. Penelitian memperlihatkan bahwa setalah mencapai usia 40 tahun,
akan kehilangan tulang sebesar 0,5% setiap tahunnya. Pada wanita dalam
masa pascamenopause, keseimbangan kalsium menjadi negatif dengan
tingkat 2 kali lipat dibanding sebelum menopause. Faktor hormonal
menjadi sebab mengapa wanita dalam masa pascamenopause mempunyai
resiko lebih besar untuk menderita osteoporosis. Pada masa menopause,
terjadi penurunan kadar hormon estrogen. Estrogen memang merupakan
salah satu faktor terpenting dalam mencegah hilangnya kalsium tulang.
Selain itu, estrogen juga merangsang aktivitas osteoblas serta menghambat
kerja hormon paratiroid dalam merangsang osteoklas.
f. Manisfestasi Klinis
Pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala, bahkan sampai
puluhan tahun tanpa keluhan. Jika kepadatan tulang sangat berkurang
sehingga tulang menjadi kolaps atau hancur, akan timbul nyeri dan
perubahan bentuk tulang. Jadi, seseorang dengan osteoporosis biasanya
akan memberikan keluhan atau gejala sebagai berikut:
11
1. Tinggi badan berkurang
2. Bungkuk atau bentuk tubuh berubah
3. Patah tulang
4. Nyeri bila ada patah tulang
5. Punggung yang semakin membungkuk (Tandra, 2009).
g. Hasil Pemeriksaan
1. Laboratorium
- Kadar kalsium fosfor, dan alkali serum normal.
- Kadar hormone paratiroid meningkat.
2. Pencitraan
- Pemeriksaan ronsen menunjukkan degenerasi yang khas pada
vertebra torakolumbal bawah.
- CT Scan mengkaji kehilangan tulang spina.
- Scan tulang menunjukkan area yang cedera atau area yang sakit.
3. Prosedur diagnostic
Biopsi tulang menunjukkan tulang yang tipis, keropos, dan
abnormal.
4. Pemeriksaan lain
Absorpsiometri foton tunggal atau ganda (pengukuran massa
tulang) menunjukkan kehilangan massa tulang. (Williams, 2009).
h. Pemeriksaan Penunjang
1. Densitometri Tulang
Pemeriksaan Densitometri Tulang DEXA (Dual Energy X-ray
Absorbsimetry) masih merupakan pemeriksaan gold standart untuk
mendiagnosis osteoporosis.
2. Bone Sonometer (Quantitative Ultra Sound/QUS)
Pesawat sonografi pada densitometry ini tidak berbeda dengan
pesawat USG yang biasa kita kenal pada pemeriksaan abdomen atau
obstetric. Frekwensi gelombang suara yang dipergunakan sekitar 0,2
12
sampai 0,5 MHz (bandingkan dengan USG yang biasa dipakai untuk
pemeriksaan abdomen atau obstetri, yaitu 3,5 MHz dan untuk
payudara sekitar 5-7,5 MHz), berarti panjang gelombang makin
panjang dengan daya tembus makin dalam. Dengan USG pengukuran
densitas mineral tulang dilaksanakan dengan cara yang tidak
berbahaya, relatif murah, mudah dan tidak memerlukan radiasi.
Dengan ultrasonografi ini dapat diukur densitas mineral pada tulang-
tulang perifer seperti tumit, tempurung lutut, jari dan tulang
tibia.Penggunaan USG pada densitometri ini baru diakui oleh FDA
pada tahun 1998 yang berarti layak pakai sebagai alat pemeriksaan
untuk osteoporosis. Dibandingkan dengan QCT, alat ini jauh lebih
praktis, karena tampilan alat portable dan biaya pemeriksaan yang
lebih murah, hampir tanpa efek radiasi. Pemakaian densitometer
sebagai alat pemeriksaan untuk penjajakan osteoporosis, di Amerika
baru direkomendasikan untuk kaum wanita, karena osteoporosis masih
jarang pada kaum pria.
i. Penatalaksanaan
1. Pengobatan
a) Osteoporosis
Pengobatan osteoporosis menurut Misnadiarly (2013) yaitu:
1) Edukasi/pendidikan/penyuluhan dan pencegahan
2) Latihan dan rehabilitasi, termasuk exercise
3) Pengobatan medikamentosa:
- Bisfosfonat
- Raloxifene
- Terapi sulih hormone
- Kalsitonin
- Osteo-anabolic (efek dari hormone pertumbuhan pada sel
osteoblast/sel tulang yang baru terhambat/lebih lama
13
daripada penghancuran sel tulang tua, sehingga kepadatan
tulang berkurang, dan timbul osteoporosis)
- Kalsium dan vitamin D
2. Pencegahan
Pencegahan penyakit osteoporosis sebaiknya dilakukan pada usia
muda maupun masa reproduksi. Berikut ini hal-hal yang dapat
mencegah osteoporosis, yaitu:
1) Asupan kalsium cukup
Mempertahankan atau meningkatkan kepadatan tulang
dapat dilakukan dengan mengkonsumsi kalsium yang cukup.
Minum 2 gelas susu dan vitamin D setiap hari, bisa
meningkatkan kepadatan tulang pada wanita setengah baya yang
sebelumya tidak mendapatkan cukup kalsium. Sebaiknya
konsumsi kalsium setiap hari. Dosis yang dianjurkan untuk usia
produktif adalah 1000 mg kalsium per hari, sedangkan untuk
lansia 1200 mg per hari. Kebutuhan kalsium dapat terpenuhi dari
makanan sehari-hari yang kaya kalsium seperti ikan teri, brokoli,
tempe, tahu, keju dan kacang-kacangan.
2) Paparan sinar matahari
Sinar matahari terutama UVB membantu tubuh
menghasilkan vitamin D yang dibutuhkan oleh tubuh dalam
pembentukan massa tulang. Berjemurlah dibawah sinar matahari
selama 20-30 menit, 3x/minggu. Sebaiknya berjemur dilakukan
pada pagi hari sebelum jam 9 dan sore hari sesudah jam 4. Sinar
matahari membantu tubuh menghasilkan vitamin D yang
dibutuhkan oleh tubuh dalam pembentukan massa tulang.
(Ernawati, 2008).
3) Melakukan olahraga dengan beban
Selain olahraga menggunakan alat beban, berat badan sendiri
juga dapat berfungsi sebagai beban yang dapat meningkatkan
kepadatan tulang. Olahraga beban misalnya senam aerobik,
14
berjalan dan menaiki tangga. Olahraga yang teratur merupakan
upaya pencegahan yang penting. Tinggalkan gaya hidup santai,
mulailah berolahraga beban yang ringan, kemudian tingkatkan
intensitasnya. Yang penting adalah melakukannya dengan teratur
dan benar. Latihan fisik atau olahraga untuk penderita
osteoporosis berbeda dengan olahraga untuk mencegah
osteoporosis. Latihan yang tidak boleh dilakukan oleh penderita
osteoporosis adalah sebagai berikut:
a. Latihan atau aktivitas fisik yang berisiko terjadi benturan dan
pembebanan pada tulang punggung. Hal ini akan menambah
risiko patah tulang punggung karena ruas tulang punggung
yang lemah tidak mampu menahan beban tersebut. Hindari
latihan berupa lompatan, senam aerobik dan joging.
b. Latihan atau aktivitas fisik yang mengharuskan membungkuk
kedepn dengan punggung melengkung. Hal ini berbahaya
karena dapat mengakibatkan cedera ruas tulang belakang.
Juga tidak boleh melakukan sit up, meraih jari kaki, dan lain-
lain.
c. Latihan atau aktivitas fisik yang mengharuskan
menggerakkan kaki kesamping atau menyilangkan dengan
badan, juga meningkatkan risiko patah tulang, karena tulang
panggul dalam kondisi lemah.
Berikut ini latihan olahraga yang boleh dilakukan oleh
penderita osteoporosis:
1) Jalan kaki secara teratur, karena memungkinkan sekitar 4,5
km/jam selama 50 menit, lima kali dalam seminggu. Ini
diperlukan untuk mempertahankan kekuatan tulang. Jalan
kaki lebih cepat (6 km/jam) akan bermanfaat untuk jantung
dan paru-paru.
15
2) Latihan beban untuk kekuatan otot, yaitu dengan mengangkat
”dumbble” kecil untuk menguatkan pinggul, paha,
punggung, lengan dan bahu.
3) Latihan untuk meningkatkan keseimbangan dan kesigapan.
4) Latihan untuk melengkungkan punggung ke belakang, dapat
dilakukan dengan duduk dikursi, dengan atau tanpa penahan.
Hal ini dapat menguatkan otot-otot yang menahan punggung
agar tetap tegak, mengurangi kemungkinan bengkok,
sekaligus memperkuat punggung.
5) Hindari rokok dan minuman beralkohol
Menghentikan kebiasaan merokok merupakan upaya penting
dalam mengurangi faktor risiko terjadinya osteoporosis.
Terlalu banyak minum alkohol juga bisa merusak tulang.
16
j. Web Of Caution (WOC)
17
Wanita
Ca tubuh
(-)
H. estrogen
menurun
Konsumsi
ca, terutama
pd
wanitanya
rendah
Kulit putih
Ras
Resiko besar
Lifestyle
Minuman
berkafein
dan
beralkohol
lifestyleMerokok Kurang Ca
Ca tubuh (-)
Tubuh
mengeluark
an hormon
Mengambil
Ca dr bagian
lain
Nikotin
Mempercepat
penyerapan
tulangToksin,
memhambat
pembentukan
massa tulang
Termasuk dr
tulang
Massa tulang
(-)
Penyerapan tulang lebih banyak daripada
pembentukan baru
Penurunan massa tulang
OSTEOPOROSIS
Usia
Usia (+)
Fungsi organ
tubuh
menurun
18
Tulang menjadi rapuh dan mudah patah Kolaps bertahap tulang vertebrata
Fraktur
colles
Fraktur
femur
Fraktur
kompresi
lumbalis
Fraktur
kompresi
vertebrata
torakalisGangguan fungsi ekremitas
atas bawah; pergerakan
fregmen tulang; spasme
otot
Kompresi
saraf
pencernaan
ileus puralitik
Perubahan
postural
Deformitas skelet
Kifosis progresif
Tinggi badan menurun
Perubahan postural
Relaksasi otot
abdominal, perut
menonjol
Insufisuensi paru
Dipsneu
MK : Pola nafas tidak
efektif
MK : Ganguuan citra
diri, ansietas
konstipasi
MK : Ganguuan
eliminasi alvi
MK : Nyeri
MK : Hambatan
mobilitas fisik
k. Asuhan Keperawatan
a) Pengkajian
1. Riwayat kesehatan
Anamnesis memegang peranan penting pada evaluasi klien
osteoporosis. Kadang keluhan utama (misal fraktur kolum femoris
pada osteoporosis). Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah usia,
jenis kelamin, ras, status haid, fraktur pada trauma minimal,
imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua,
kurangnya paparan sinar matahari, kurang asupan kalasium, fosfat
dan vitamin D. obat-obatan yang diminum dalam jangka panjang,
alkohol dan merokok merupakan factor risiko osteoporosis.
Penyakit lain yang juga harus ditanyakan adalah penyakit ginjal,
saluran cerna, hati, endokrin dan insufisiensi pancreas (diabetes
mellitus, hipertiroid, hiperparatiroid, Sindrom Cushing,
akromegali, Hipogonadisme). Riwayat haid, usia menarke dan
menopause, penggunaan obat kontrasepsi, serta riwayat keluarga
yang menderita osteoporosis juga perlu dipertanyakan.
2. Pengkajian psikososial
Perlu mengkaji konsep diri pasien terutama citra diri
khususnya pada klien dengan kifosis berat. Klien mungkin
membatasi interaksi sosial karena perubahan yang tampak atau
keterbatasan fisik, misalnya tidak mampu duduk dikursi dan lain-
lain. Perubahan seksual dapat terjadi karena harga diri rendah atau
tidak nyaman selama posisi interkoitus. Osteoporosis
menyebabkan fraktur berulang sehingga perawat perlu mengkaji
perasaan cemas dan takut pada pasien.
3. Pola aktivitas sehari-hari
Pola aktivitas dan latihan biasanya berhubungan dengan
olahraga, pengisian waktu luang dan rekreasi, berpakaian, mandi,
makan dan toilet. Beberapa perubahan yang terjadi sehubungan
dengan dengan menurunnya gerak dan persendian adalah agility,
19
stamina menurun, koordinasi menurun, dan dexterity (kemampuan
memanipulasi ketrampilan motorik halus) menurun.
4. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik menggunakan metode 6B
(Breathing, blood, brain, bladder, bowel dan bone) untuk mengkaji
apakah di temukan ketidaksimetrisan rongga dada, apakah pasien
pusing, berkeringat dingin dan gelisah. Apakah juga ditemukan
nyeri punggung yang disertai pembatasan gerak dan apakah ada
penurunan tinggi badan, perubahan gaya berjalan, serta adakah
deformitas tulang.
a) B1 (Breathing):
Inspeksi: ditemukan ketidaksimetrisan rongga dada dan tulang
belakang.
Palpasi: traktil fremitus seimbang kanan dan kiri
Perkusi: cuaca resonan pada seluruh lapang paru
Auskultasi: pada usia lanjut biasanya didapatkan suara ronki.
b) B2 (Blood): Pengisian kapiler kurang dari 1 detik sering terjadi
keringat dingin dan pusing, adanya pulsus perifer memberi
makna terjadi gangguan pembuluh darah atau edema yang
berkaitan dengan efek obat.
c) B3 (brain): Kesadaran biasanya kompos mentis, pada kasus
yang lebih parah klien dapat mengeluh pusing dan gelisah.
d) B4 (Bladder): Produksi urine dalam batas normal dan tidak ada
keluhan padasistem perkemihan.
e) B5 (bowel): Untuk kasus osteoporosis tidak ada gangguan
eleminasi namun perlu dikaji juga frekuensi, konsistensi, warna
serta bau feses.
f) B6 (Bone): Pada inspeksi dan palpasi daerah kolumna
vertebralis, klien osteoporosis sering menunjukkan kifosis atau
gibbus (dowager’s hump) dan penurunan tinggi badan. Ada
perubahan gaya berjalan, deformitas tulang, leg-length
20
inequality dan nyeri spinal. Lokasi fraktur yang terjadi adalah
antara vertebra torakalis 8 dan lumbalis 3.
b) Diagnosis keperawatan
Diagnosis keperawatan yang dapat ditemukan pada klien fraktur
vertebra spontan akibat osteoporosis (Smeltzer, 2002), antara lain
kurangnnya pengetahuan tentang proses osteoporosis dan program
terapi, nyeri berhubungan dengan fraktur dan spasme otot, konstipasi
berhubungan dengan imobilitas atau terjadi ileus (obstruksi usus), dan
resiko terjadi cedera (fraktur berhubungan dengan tulang
osteoporosis). Sedangkan diagnosis keperawatan untuk osteoporosis
secara umum menurut Carpenito (1995) adalah resiko tinggi regimen
terapeutik tidak efektif berhubungan dengan insufisiensi pengetahuan,
faktor-faktor resiko terapi nutrisi dan prevensi.
Berdasarkan dua pendapat diatas, maka dapat di simpulkan
diagnosis keperawatan pada klien osteoporosis adalah sebagai berikut:
1) Kurang pengetahuan tentang proses osteoporosis dan program
terapi.
2) Nyeri berhubungan dengan fraktur dan spasme otot.
3) Konstipasi berhubungan dengan imobilitas atau terjadinya ileus
(obstruksi usus).
4) Risiko terjadi cedera: fraktur berhubungan dengan tulang
osteoporosis.
5) Resiko tinggi regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan
insufiensi pengetahuan, faktor-faktor resiko, terapi nutrisi, dan
prevensi.
c) Intervensi
Rencana asuhan keperawatan pada klien osteoporosis di bawah ini
disusun meliputi diagnosis keperawatan, tindakan keperawatan, dan
kriteria keberhasilan tindakan (kriteria evaluasi).
21
1. Kurang pengetahuan tentang proses osteoporosis dan program
terapi.
Tindakan
a. Jelaskan kepada klien tentang faktor yang mempengaruhi
terjadinya osteoporosis, intervensi dan upaya mengurangi
gejala.
b. Konsultasikan dengan ahli gizi untuk pemerian kalsium yang
cukup.
c. Menjelaskan manfaat asupan kalsium.
d. Konsultasikan latihan pembebanan teratur.
e. Anjurkan modifikasi gaya hidup seperti mengurangi kafein,
berhenti merokok, dan alcohol.
f. Jelaskan efeksamping konsumsi kalsium, yaitu nyeri lambung
dan distensi abdomen.
g. Minum obat: kalsium sesuai order (misal bersama makanan
lain).
h. Anjurkan banyak minum untuk mencegah batu ginjal.
i. Jelaskan pentingnya pemeriksaan berkala terhadap indikasi
kangker payudara dan endometrium, bila mengkonsumsi HRT.
Kriteria evaluasi:
Klien menunjukan pemahaman terhadap program terapi:
a. Menyebutkan hubungan asupan kalsium dan latihan terhadap
masa tulang.
b. Mengkonsumsi diet kalsium dengan jumlah mencukupi.
c. Meningkatkan tingkat latihan.
d. Menggunakan terapi hormone yang di resepkan.
e. Menjalani prosedur screening sesuai anjuran.
2. Nyeri berhubungan dengan fraktur dan spasme otot.
Tindakan
1) Anjurkan klien istirahat ditempat tidur dengan posisi telentang
atau miring kesamping.
22
2) Fleksikan lutut selama istirahat.
3) Berikan kompres hangat dan pijatan punggung.
4) Anjurkan klien untuk menggerakkan extremitasnya, namun
tidak boleh melakukan gerakan memuntir.
5) Pasang korset lombosacral, untuk menyokong dan imobilisasi
sementara ketika klien turun dari tempat tidur.
6) Berikan opioip oral pada hari hari pertama setelah nyeri
punggung.
Kriteria evaluasi:
Klien menunjukan peredaan nyeri:
1) Mengatakan nyeri reda saat istirahat.
2) Rasa ketidaknyamanan minimal selama aktivitas sehari-hari.
3) Menunjukn berkurangnya nyeri tekan pada tempat fraktur.
3. Konstipasi berhubungan dengan imobilitas atau terjadinya ileus
(obstruksi usus).
Tindakan
a) Berikan diet tinggi serat.
b) Anjurkan banya minum sesuai kebutuhan.
c) Berikan obat pelunak feses sesuai order.
d) Pantau asupan klien, bising usus dan aktivitas usus.
Kriteria evaluasi:
6) Klien menunjukan pengosongan usus yang normal.
7) Bising usus aktif.
8) Gerakan usus teratur.
9) Risiko terjadi cedera: fraktur berhubungan dengan tulang
osteoporosis
4. Risiko terjadi cedera: fraktur berhubungan dengan tulang
osteoporosis.
Tindakan
a) Dorong klien untuk latihan memperkuat otot, mencegah atrofi,
dan menghambat demineralisasi tulang progresif.
23
b) Latihan isometric, untuk memperkuat otot batang tubuh.
c) Jelaskan kepada klien pentingnya menghindari membungkuk
mendadak, melenggok, dan mengangkat beban lama.
d) Berikan informasi bahwa aktivitas di luar rumah penting untuk
memperbaiki kemampuan tubuh menghasilkan vit D.
Kriteria evaluasi
Klien tidak mengurangi fraktur baru:
1) Mempertahankan postur tubuh yang bagus.
2) Mempergunakan mekanika tubuh yang baik.
3) Mengkonsumsi diet yang seimbang tinggi kalsium dan vit D.
4) Rajin menjalankan latihan pembebanan berat badan (berjalan
jalan setiap hari).
5) Istirahat dengan berbaring beberapa kali sehari.
6) Berpartisispasi dalam aktivitas diluar rumah.
7) Menciptakan lingkungan rumah yang nyaman.
8) Menerima bantuan dan supervise kebutuhan.
B. Osteoartritis
a. Definisi
Osteoartritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini
bersifat kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai
oleh adanya deteriorasi dan abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan
tulang baru pada permukaan sendi. (Price, 2005).
24
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif, dimana
keseluruhan struktur dari sendi mengalami perubahan patologis. Ditandai
dengan kerusakan tulang rawan (kartilago) hyalin sendi, meningkatnya
ketebalan serta sklerosis dari lempeng tulang, pertumbuhan osteofit pada
tepian sendi, meregangnya kapsula sendi, timbulnya peradangan, dan
melemahnya otot–otot yang menghubungkan sendi. (Felson, 2008).
b. Epidemiologi
1. Osteoartritis merupakan penyakit sendi pada orang dewasa yang paling
umum di dunia.
2. Satu dari tiga orang dewasa memiliki tanda-tanda radiologis terhadap
osteoartritis. (Felson, 2008).
3. Osteoartritis pada lutut merupakan tipe osteoartritis yang paling umum
dijumpai pada orang dewasa.
4. Orang dewasa dengan kelompok umur 60-64 tahun sebanyak 22%.
5. Berbeda halnya pada wanita yang terdistribusi merata, dengan insiden
osteoartritis pada lutut kanan sebanyak 24,2% dan pada lutut kiri
sebanyak 24,7%. (Joern et al, 2010).
c. Etiologi
Etiologi penyakit ini tidak diketahui dengan pasti. Hasil penelitian
menunjukan 87% adalah kasus OA primer, dan 13%kasus OA sekunder.
Menurut klasifikasi rontgentography, 38% adalah jenis awal, 28,5% jenis
patellofemoral dan 23,2% jenis medio-patellofemoral. Klasifikasi
radiologi itu terkait dengan manifestasi klinis jika varus dan deformitas
valgus lebih parah, penilaian X ray juga akan menjadi lebih parah
(Yongping et al.,2000)
Ada beberapa faktor resiko yang diketahui berhubungan dengan
penyakit ini, yaitu:
a. Usia lebih dari 40 tahun
b. Jenis kelamin
25
c. Suku bangsa
d. Genetik
e. Kegemukan den penyakit metabolic
f. Cedera sendi, pekerjaan, olahraga
g. Kelainan pertumbuhan
h. Kepadatan tulang, dan lain-lain (Mansjoer, 2000)
d. Klasifikasi
Pada umumnya diagnosis osteoarthritis didasarkan pada gabungan
gejala klinik dan perubahan radiografi. Gejala klinik perlu diperhatikan,
oleh karena tidak semua pasien dengan perubahan radiografi osteoarthritis
mempunyai keluhan pada sendi. Terdapat 4 kelainan radiografi utama
pada osteoarthritis, yaitu: penyempitan rongga sendi, pengerasan tulang
bawah rawan sendi, pembentukan kista di bawah rawan sendi dan
pembentukan osteofit, sendi yang dapat terkena osteoarthritis antara lain:
1. Osteoarthritis sendi lutut.
2. Osteoarthritis sendi panggul.
3. Osteoarthritis sendi-sendi kaki
4. Osteoarthritis sendi bahu
5. Osteoarthritis sendi-sendi tangan
6. Osteoarthritis tulang belakang (Nur, 2009)
Namun ada pula yang membagi klasifikasi osteoarthritis berdasarkan
primer dan sekunder. Pembagian osteoarthritis berdasarkan
patogenesisnya dibagi menjadi osteoarthritis primer yang disebut juga
osteoarthritis idiopatik adalah osteoarthritis yang kausanya tidak diketahui
dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses
perubahan lokal pada sendi. Sedangkan osteoarthritis sekunder adalah
osteoarthritis yang didasari oleh adanya kelainan endokrin, inflamasi,
metabolik, pertumbuhan dan imobilisasi yang lama. Osteoarthritis primer
lebih sering ditemukan dari pada osteoarthritis sekunder (Arissa, 2012)
26
e. Patofisiologi
Akibat peningkatan aktifitas enzim-enzim yang merusak
makromolekul matriks tulang rawan sendi (proteoglikan dan kolagen)
terjadi kerusakan fokal tulang rawan sendi secara progresif dan
pembentukan tulang baru pada dasar lesi tulang rawan sendi serta tepi
sendi (osteofit). Osteofit terbentuk sebagai suatu proses perbaikan untuk
membentuk kembali persendian, sehingga dipandang sebagai kegagalan
sendi yang progresif (Mansjoer, 2000).
f. Manisfestasi Klinis
Gejala utama OA ialah adanya nyeri pada sendi yang terkena, terutama
waktu bergerak. Umumnya timbul secara perlahan-lahan, mula-mula rasa
kaku, kemudian timbul rasa nyeri yang berkurang dengan istirahat.
Terdapat hambatan pada pergerakan sendi, kaku pagi, krepitasi,
pembesaran sendi, dan perubahan gaya berjalan. Lebih lanjut lagi terdapat
pembesaran sendi dan krepitasi tulang (Mansjoer, 2000).
Tempat prediksi osteoarthritis adalah sendi karpometakarpal I,
metatarsofalangeal I, apofiseal tulang belakang, lutut, paha. Pada falang
distal timbul nodus Heberden dan pada sendi interfalangproksimal timbul
nodus Bouchard. Tanda-tanda peradangan pada sendi tersebut tidak
menonjol dan timbul belakangan, mungkin dijumpai karena adanya
sinovitis, terdiri dari nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang
merata, dan warna kemerahan (Mansjoer, 2000).
g. Hasil pemeriksaan
1. Laboratorium
Analisis cairan synovial menyingkirkan artritis inflamatori.
2. Pencitraan
a) Ronsen pada sendi yang terkena dapat menujukkan penyempitan
ruang atau margin sendi, deposit tulang yang menyerupai kista
pada ruang dan margin sendi, sclerosis pada ruang subkindral,
27
deformitas sendi atau kerusakan articular, pertumbuhan tulang
pada bagian yang menahan beban, dan kemungkinan terdapat fusi
sendi.
b) Scan tulang radionuklida dapat digunakan untuk menyingkirkan
artritis inflamtori dengan menunjukkan ambilan normal
radionuklida.
c) MRI menunjukkan sendi yang terkena, tulang yang berdekatan,
dan perkembangan penyakit. (Williams, 2009).
h. Pemeriksaan Penunjang
Pada penderita OA, dilakukannya pemeriksaan radiografi pada sendi
yang terkena sudah cukup untuk memberikan suatu gambaran diagnostik
(Soeroso, 2006). Gambaran Radiografi sendi yang menyokong diagnosis
OA adalah:
a. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada
bagian yang menanggung beban seperti lutut).
b. Peningkatan densitas tulang subkondral (sklerosis).
c. Kista pada tulang
d. Osteofit pada pinggir sendi
e. Perubahan struktur anatomi sendi.
Berdasarkan temuan radiografi, maka OA dapat diberikan suatu
derajat. Kriteria OA berdasarkan temuan radiografi dikenal sebagai kriteria
Kellgren dan Lawrence yang membagi OA dimulai dari tingkat ringan
hingga tingkat berat. Perlu diingat bahwa pada awal penyakit, gambaran
radiografi sendi masih terlihat normal (Felson, 2006).
i. Penatalaksanaan
1. Pengobatan
Penatalaksanaan OA terbagi atas 3 hal, yaitu:
a) Terapi non Farmakologi
1) Edukasi
28
Edukasi atau penjelasan kepada pasien perlu dilakukan agar
pasien dapat mengetahui serta memahami tentang penyakit
yang dideritanya, bagaimana agar penyakitnya tidak bertambah
semakin parah, dan agar persendiaanya tetap terpakai.
2) Terapi fisik atau rehabilitasi
Pasien dapat mengalami kesulitan berjalan akibat rasa sakit.
Terapi ini dilakukan untuk melatih pasien agar persendianya
tetap dapat dipakai dan melatih pasien untuk melindungi sendi
yang sakit.
3) Penurunan berat badan
Berat badan yang berlebih merupakan faktor yang memperberat
OA. Oleh karena itu, berat badan harus dapat dijaga agar tidak
berlebih dan diupayakan untuk melakukan penurunan berat
badan apabila berat badan berlebih. (Soeroso, 2006).
b) Terapi Farmakologis
Penanganan terapi farmakologi meliputi penurunan rasa nyeri
yang timbul, memeriksa gangguan yang timbul dan
mengidentifikasi manifestasi-manifestasi klinis dari ketidakstabilan
sendi.
(Non-steroidanti-inflammatory drugs) NSAIDs, Inhibitor
Siklooksigenase-2 (COX-2), dan Asetaminofen. Untuk mengobati
rasa nyeri yang timbul pada OA, penggunaan obat NSAIDs dan
Inhibitor COX-2 dinilai lebih efektif daripada penggunaan
asetaminofen. Namun karena risiko toksisitas obat NSAIDs lebih
tinggi daripada asetaminofen, asetaminofen tetap menjadi obat
pilihan pertama dalam penanganan rasa nyeri pada OA. Cara lain
untuk mengurangi dampak toksisitas dari NSAIDs adalah dengan
cara mengombinasikannnya dengan menggunakan inhibitor COX-
2 (Felson, 2006). Keterbatasan penggunaan NSAIDs adalah
toksisitasnya. Toksisitas NSAIDs yang sering dijumpai efek
sampingnya pada traktus gastrointestinal, terutama jika NSAIDs
29
digunakan bersama obat lain, alkohol, kebiasaan merokok atau
dalam keadaaan stres. Usia juga merupakan faktor resiko untuk
mendapatkan efek samping gastrointestinal akibat NSAIDs. Bagi
pasien yang sensitif dapat digunakan preparat NSAIDs dalam
bentuk supositoria, pro drug, enteric coated, slow realease atau
non-acidic.
Chondroprotective Agent adalah obat–obatan yang dapat
menjaga atau merangsang perbaikan dari kartilago pada pasien OA.
Obat–obatan yang termasuk dalam kelompok obat ini adalah:
tetrasiklin, asam hialuronat, kondroitin sulfat, glikosaminoglikan,
vitamin C, dan sebagainya. (Felson, 2006).
c) Terapi Pembedahan
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak
berhasil untuk mengurangi rasa sakit dan juga untuk melakukan
koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang mengganggu aktivitas
sehari–hari.
2. Pencegahan
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, agar kita terhindar dari
osteoarthritis:
a. Menghindari olahraga yang bisa menyebabkan sendi terluka.
b. Mengontrol berat badan agar berat yang ditopang oleh sendi
menjadi ringan.
c. Minum obat untuk mencegah osteoarthritis
30
j. Web Of Caution (WOC)
31
Umur di
atas usia 60
Proses
penuaan
Penurunan jumlah
cairan sinovial
pada sendi
Penurunan
absorbsi kalsium
Jenis
kelamin
wanita
Bentuk panggul
melebar
Penurunan
hormonal
(estrogen,
progesteron,
dll
Kadar kalsium
Penurunan
absorbsi
kalsium
Tekanan pada
sendi
Beban lama
Genetik Obesitas Trauma
Ekstrinsi
k
Intrinsik
Kartilago
Kekakuan
Penuruna
n
pembuluh
darah
Suplai O2
menurun
Kartilago
Pelebaran
PD
vasodilatasi
Sendi tdk
kuat
menahan
beban
tubuhDepresi
sendi
berlangsun
g lama
Penurunan
aliran darah
Pecahnya
pembuluh
darah
Struktur
tulang
(osteoartritis
tulang)
OSTEOARTRITIS
32
Perubahan
komponen
sendi
Stress
biomekanik
Proses
degeneratif
panjang
Peradangan
kartilago
Inflamasi
sendi
Penatalaksanaan
bedah
Perubahan
fungsi sendi
Deformtitas
sendi
Sulit bergerak
Pemecahan
kondosit
Pengeluaran
enzim lisosom
Kerusakan
matrik
kartilago
Penebalan
tulang sendi
Penurunan
hormon
paratiroid
Penurunan
absorbsi
kalsium
MK : Cidera
tulang
Menstimulasi
tumbuhnya
tulang baru
Perbaikan
yang
dilakukan tdk
memadai
Timbulnya
benjolan pd
pinggiran
sendi
(osteofit)
Pelepasan
mediator
nyeri
Menyentuh
ujung saraf
nyeri
Nyeri
Tindakan
operasi
Kerusakan
jaringan
MK:
Kurangnya
pengetahuan
MK : Nyeri
kronis
MK : Gangguan
body image
MK : Kerusakan
mobilitas fisik
Penyempitan
rongga sendi
Penurunan
kekuatan aktivitas
Nyeri
k. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Riwayat Kesehatan
- Adanya keluhan sakit dan kekakuan pada tangan, atau pada
tungkai.
- Perasaan tidak nyaman dalam beberapa periode/waktu sebelum
pasien mengetahui dan merasakan adanya perubahan pada
sendi.
b) Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas/istirahat
- Gejala: nyeri sendi karena pergerakan, nyeri tekan, yang
memburuk dengan stress dengan sendi, kekakuan senda
pada pagi hari, biasanya terjadi secara bilateral dan
simetris.
- Tanda: malaise, keterbatasan ruang gerak, atrofi otot, kulit
kontraktur atau kelainan pada sendi dan otot.
2) Kardiovaskur
Gejala: fenomena Raynaud jari tangan/kaki, missal pucat
intermitten, sianotik kemudian kemerahan pada jari sebelum
warna kembali normal.
3) Integritas ego
Gejala: factor-faktor stress akut/kronis missal finansial,
pekerjaan, ketidakmampuan, factor-faktor hubungan social,
keputusan dan ketidakberdayaan. Ancaman pada konsep diri,
citra tubuh, identitas diri missal ketergantungan pada orang
lain, dan perubahan bentuk anggota tubuh.
4) Makanan/cairan
- Gejala: ketidakmampuan untuk menghasilkan atau
mengonsumsi makanan atau cairan adekuat seperti mual,
anoreksia, dan kesulitan untuk mengunyah.
33
- Tanda: penurunan berat badan, dan membrane mukosa
kering.
5) Hygiene
Gejala: berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas
perawatan pribadi secara mandiri, ketergantungan pada orang
lain.
6) Neurosensory
- Gejala: kebas/ kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya
sensasi pada jari tangan.
- Tanda: pembengkakan sendi simetri.
7) Nyeri/kenyamanan
Gejala: fase akut dari nyeri (disertai/tidak disertai
pembengkakan jaringan lunak pada sendi), rasa nyeri kronis
dan kekakuan (terutama pada pagi hari).
8) Keamanan
Gejala: kulit mengkilat, tegang, nodus subkutaneus. Lesi kulit,
ulkus kaki, kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan
rumah tangga, demam ringan menetap, kekeringan pada mata,
dan membrane mukosa.
9) Interaksi social
Gejala: kerusakan interaksi dengan keluarga/orang lain,
perubahan peran, isolasi.
c) Riwayat Psiko Sosial
Pasien dengan RA mungkin merasakan adanya kecemasan
yang cukup tinggi apalagi pada pasien yang mengalami deformitas
pada sendi-sendi karean ia merasakan adanya kelemahan-
kelemahan pada dirinya dan merasakan kegiatan sehari-hari
menjadi berubah. Perawat dapat melakukan pengkajian terhadap
konsep diri klien khususnya aspek body image dan harga diri klien.
34
2. Diagnosa Keperawatan
a) Intoleransi Aktivitas b/d tirah baring dan imobilitas, kelemahan
umum, gaya hidup kurang gerak.
b) Ansietas b/d ancaman atau perubahan pada kesehatan, kebutuhan
yang tidak terpenuhi.
c) Gangguan citra tubuh b/d penyakit, ditandai dengan deformitas
sendi.
d) Resiko jatuh b/d penurunan kekuatan ekstremitas bawah,
kelemahan umum.
e) Defisiensi pengetahuan tentang proses penyakit b/d keterbatasan
kognitif, kurang familier dengan sumber-sumber informasi.
f) Nyeri b/d penyempitan rongga sendi.
g) Defisit perawatan diri b/d gangguan muskuloskeletal, kelemahan
3. Intervensi Keperawatan
a) Intoleransi Aktivitas b/d tirah baring dan imobilitas, kelemahan
umum, gaya hidup kurang gerak
Kriteria Hasil:
- Menoleransi aktivitas yang biasa dilakukan.
- Menunjukkan toleransi aktivitas.
- Mendemonstrasikan penghematan energy.
Intervensi:
- Kaji tingkat kemampuan klien berpindah dari tempat tidur,
berdiri, ambulasi.
- Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan
aktivitas.
- Tentukan penyebab keletihan.
- Pantau asupan nutrisi untuk memastikan sumber-sumber energi
yang adekuat
b) Ansietas b/d ancaman atau perubahan pada kesehatan, kebutuhan
yang tidak terpenuhi.
35
Kriteria hasil:
- Ansietas berkurang, dibuktikan oleh tingkat ansietas hanya
ringan hingga sedang.
- Menunjukkan pengendalian diri terhadap ansietas yang
dibuktikan oleh indikator 1-5 (tidak pernah, jarang, kadang-
kadang, sering, atau selalu).
Intervensi:
- Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasienGali
bersama pasien tentang teknik yang berhasil dan tidak berhasil
menurunkan ansietas.
- Bantu pengalihan ansietas melalui radio, TV, permainan untuk
menurunkan ansietas dan memperluas focus.
- Kolaborasi pemberian obat untuk menurunkan ansietas.
c) Gangguan citra tubuh b/d penyakit, ditandai dengan deformitas
sendi.
Kriteria Hasil:
- Gangguan citra tubuh berkurang yang dibuktikan oleh selalu
menunjukkan adaptasi dengan ketunadayaan fisik.
- Menunjukkan citra tubuh.
Intervensi:
- Kaji dan dokumentasikan respons verbal dan nonverbal pasien
terhadap tubuh klien.
- Identifikasi mekanisme koping yang biasa digunakan klien.
- Tentukan harapan klien tentang citra tubuh berdasarkan tahap
perkembangan.
d) Resiko jatuh b/d penurunan kekuatan ekstremitas bawah, kelemahan
umum
Kriteria Hasil:
- Resiko jatuh akan menurun atau terbatas, yang dibuktikan oleh
keseimbangan, gerakan terkoordinasi, perilaku pencegahan
jatuh, kejadian jatuh, dan pengetahuan: Pencegahan Jatuh
36
Intervensi:
- Lakukan pengkajian resiko jatuh pada pasien.
- Identifikasi karakteristik lingkungan yang dapat meningkatkan
potensi jatuh.
- Ajarkan klien bagaimana posisi terjatuh yang dapat
meminimalkan cedera.
- Bantu pasien saat ambulasi.
- Sediakan alat bantu berjalan
e) Defisiensi pengetahuan tentang proses penyakit b/d keterbatasan
kognitif, kurang familier dengan sumber-sumber informasi.
Kriteria Hasil:
- Mengidentifikasi kebutuhan terhadap informasi tambahan
tentang proses penyakit
Intervensi:
- Kaji tingkat pengetahuan klien saat ini dan pemahaman
terhdapa materi.
- Tetapkan tujuan pembelajaran bersama yang realistis dengan
klien.
- Pilih metode dan strategi penyuluhan yang sesuai.
- Beri waktu pada klien untuk mengajukan pertanyaan dan
mendiskusikan permasalahannya.
f) Nyeri b/d penyempitan rongga sendi.
Kriteria Hasil:
- Melaporkan nyeri dapat dikendalikan.
- Menunjukkan pengurangan tingkat nyeri.
Intervensi:
- Kaji tingkat nyeri.
- Ajarkan penggunaan teknik non farmakologis pengendalian
nyeri setelah atau selama aktivitas yang menimbulkan nyeri.
- Kolaborasi pemberian analgesik untuk mengurangi nyeri
(berat).
37
- Kendalikan faktor lingkungan yang memengaruhi respon
pasien terhadap ketidaknyamanan.
g) Defisit perawatan diri b/d gangguan muskuloskeletal, kelemahan.
Kriteria Hasil:
- Menunjukkan perawatan diri: Aktivitas kehidupan sehari-hari
dapat terpenuhi.
Intervensi:
- Kaji kemampuan personal hygiene.
- Pantau adanya perubahan kemampuan fungsi.
- Dukung kemandirian klien dalam personal hygiene, bantu klien
hanya jika diperlukan.
- Libatkan keluarga dalam pemberian asuhan.
- Akomodasi pilihan dan kebutuhan klien seoptimal mungkin
38
BAB III
APLIKASI KASUS
A. Kasus
Ny. Z umur 58 tahun datang ke RSI. Siti Hajar Sidoarjo dengan keluhan
ngilu pada sendi yang sering dirasakannya sejak 3 bulan yang lalu, rasa ngilu
itu sudah dirasakan sejak beberapa tahun yang lalu, namun Ny. Z tidak
memperdulikannya. Ketika memeriksakan diri ke dokter Ny. Z dianjurkan
untuk tes darah dan rongent kaki. Hasil rongent menunjukkan bahwa Ny. S
menderita osteoporosis diperkuat lagi dengan hasil BMD T-score -3. Klien
mengalami menopause sejak 6 tahun yang lalu. Menurut klien dirinya tidak
suka minum susu sejak usia muda dan tidak menyukai makanan laut. Klien
beranggapan bahwa keluhan yang dirasakannya karena usianya yang
bertambah tua. Riwayat kesehatan sebelumnya diketahui bahwa klien tidak
pernah mengalami penyakit seperti DM dan hipertensi dan tidak pernah
dirawat di RS. Pola aktifitas diketahui klien banyak beraktifitas duduk karena
dulu dirinya bekerja sebagai staf administrasi dan tidak suka olahraga karena
tidak sempat. Riwayat penggunaan KB hormonal dengan metode pil.
Pemeriksaan TB 165 cm, BB 76 kg (BB sebelumnya 78 kg).
B. Pengkajian
1. Anamnesa
No. Register : 11300130
Ruang : Bougenvile
Tanggal MRS : 07 September 2015 Jam : 08.00 WIB
Tanggal Pengkajian : 07 September 2015
Diagnosa Medis : Osteoporosis
1) Identitas pasien
Nama : Ny. Z
Umur : 58 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
39
Suku/bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMA
Alamat : Bojong Menteng Rt. 03 Rw. 01 Sidoarjo
Tanggungan : Suami
2) Data penanggung jawab
Nama : Tn. M
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Hubungan dengan px : Suami
Alamat : Bojong Menteng Rt. 03 Rw. 01 Sidoarjo
2. Riwayat keperawatan (nursing history)
Riwayat Sebelum Sakit:
Penyakit berat yang pernah diderita : tidak pernah menderita penyakit
yang serius.
Alergi : tidak ada alergi
Riwayat Penyakit Sekarang:
Keluhan utama : Klien mengatakan ngilu pada sendi yang
sering dirasakannya sejak 3 bulan yang
lalu, rasa ngilu itu sudah dirasakan sejak
beberapa tahun yang lalu, namun Ny. Z
tidak memperdulikannya.
Riwayat keluhan utama : Tanggal 06-09-2015 (19.00) ngilu pada
sendi yang sering dirasakannya sejak 3
bulan yang lalu, rasa ngilu itu sudah
dirasakan sejak beberapa tahun yang lalu,
40
namun Ny. Z tidak memperdulikannya,
kemudian dibawa ke UGD RSI. Siti Hajar
Sidoarjo pukul 05.00 pagi dan dirawat
ruang penyakit dalam.
Upaya yang telah dilakukan : Tanggal 07-09-2015 (05.00) dibawa ke
UGD namun dirawat diruang penyakit
dalam.
Terapi/operasi yang pernah dilakukan : Belum pernah melakukan operasi
apapun.
Riwayat Kesehatan Keluarga : Klien mengatakan keluarga tidak ada
yang menderita penyakit seperti ini.
Riwayat Kesehatan Lingkungan : Suami Ny. Z mengatakan lingkungan
disekitar rumahnya cukup bersih,
adanya selokan dan sanitasi air
lancar.
Riwayat Kesehatan Lainnya : Suami Ny. Z tidak mempunyai alergi baik
makanan, obat maupun udara.
Alat bantu yang dipakai : Tidak ada alat bantu yang digunakan.
3. Observasi dan pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum= Kondisi kesadaran compos mentis.
2) Tanda-tanda vital, TB, dan BB= Hasil pemeriksaan fisik: TD= 130/90
mmHg, Nadi= 80 x/menit, RR= 20 x/menit, Suhu= 36,5oC. BB: 76 kg,
TB: 165 cm.
4. Body system :
1) Pernapasan (B1 : Breathing)
Hidung : Hidung simetris, tidak ada pernapasan cuping hidung
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
41
2) Cardiovaskuler (B2 : Bleeding)
Suara jantung : Normal, tidak ada kelainan pada cardiovaskuler
Edema : Tidak ada oedema
Dada : Bentuk dada simetris, tidak ada kemerahan.
3) Persyarafan (B3 : Brain)
Kesadaran : Compos mentis
Glasgow Coma Scale : E;2 V;3 M\: 4 = 9
Kepala dan wajah
Kepala : Bentuk kepala simetris, tidak terdapat kemerahan.
Mata : Konjungtiva anemis.
Leher :Warna kulit sama dengan warna kulit disekitar, tidak
ada pembesaran vena jugularis. Tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid.
4) Perkemihan-Eliminasi Urin (B4 : Bladder)
Produksi urine : 1100ml frekuensi : 4 x/hari
Warna : Kuning Bau : -
Alat bantu : Tidak ada alat bantu
Lainnya : Tidak ada kelainan pada perkemihan
5) Pencernaan-Eliminasi Alvi (B5 : Bowel)
Abdomen :
- Inspeksi : Warna kulit sama dengan warna kulit disekitar,
tidak terdapat kemerahan.
- Auskultasi : Bunyi peristaltik usus 7x/menit.
- Palpasi : -
- Perkusi: Timpani
6) Tulang-Otot-Integumen (B6 : Bone)
Extremitas atas : ROM ka/ki: 5/5. Capilary refil: 2 detik.
Akral: Hangat.
Ektremitas bawah : ROM ka/ki: 5/5. Capilary refil: 2 detik.
Akral: Hangat
42
5. Pola aktivitas (Dirumah dan Rs)
a. Makan
Rumah Rumah Sakit
Frekuensi 3 x 1 hari 3 x 1 hari
Jenis menu Semua makanan Makanan lunak
Porsi 1 porsi habis 1 porsi habis
Yang disuka Nasi goring Bubur ayam
Yang tidak disukai Ikan laut Tidak ada
Pantangan Tidak ada pantangan Makanan yang
mengandung asam,
pedas, berlemak, yang
bisa mengiritasi
lambung
Alergi Tidak ada alergi Tidak ada alergi
Lain-lain - -
b. Minum
Rumah Rumah Sakit
Frekuensi 8 gelas/hari 8 gelas / hari
Jenis minuman Air putih biasa Air putih dan air teh
Jumlah (Lt/gelas) 1,5 lt / gelas 1 lt / gelas
Yang disuka The Teh
Yang tidak disukai Susu Tidak ada
Pantangan Tidak ada pantangan Tidak ada pantangan
Alergi Tidak ada alergi Tidak ada alergi
Lain-lain - -
43
c. Kebersihan diri
Rumah Rumah Sakit
Mandi 2x sehari 1x sehari
Keramas 2x seminggu -
Sikat gigi 3x sehari 1x sehari
Memotong kuku 1x sehari -
Ganti pakaian 2x sehari 1x sehari
Lain-lain - -
d. Istirahat
Rumah Rumah Sakit
Tidur siang 2 jam 3 jam
Tidur malam 7 jam 10 jam
Gangguan tidur - -
e. Aktivitas
Rumah Rumah Sakit
Aktivitas sehari-hari Lama 10 jam
Jam 08.00 s/d jam
17.00
Lama - jam
Jam - s/d jam -
Jenis aktivitas Ibu rumah tangga Klien hanya tidur
karena lemah
Tingkat ketergantungan Semua aktivitas
dilakukan mandiri
Di bantu total
6. Psikososial Spiritual
a) Sosial/interaksi :
Hubungan dengan klien : Tidak kenal
Dukungan keluarga : Aktif
Dukungan kelompok/teman/masyarakat : Aktif
44
Reaksi saat interaktif : Kooperatif
Konfilk yang terjadi terhadap : Tidak ada
b) Spiritual
Konsep tentang penguasa kehidupan : Allah
Sumber kekuatan/harapan saat sakit : Allah
Ritual agama yang bermakna/berarti/diharapkan saat ini : Baca kitab
suci
Sarana/peralatan/orang yang diperlukan untuk melaksanakan ritual
agama yang diharapkan saat ini : Lewat ibadah
Upaya kesehatan yang bertentangan dengan keyakinan agama :Tidak
ada
Keyakinan/kepercayaan bahwa Tuhan akan menolong dalam
menghadapi situasi sakit saat ini : Ya
Keyakinan/kepercayaan bahwa penyakit dapat disembuhkan : Ya
Persepsi terhadap penyebab penyakit : Cobaan/peringatan
45
7. Pemeriksaan penunjang
Hasil Pemeriksaan laboratorium
Jam/Tgl : 07./07 September 2015
Parameter Hasil Satuan Nilai normal interpretas
Darah Lengkap :
Hb
AL (angka leukosit)
AE (angka eritrosit)
AT (angka trombosit)
HMT
Albumin
Natrium
Kalium
Klorida
Glukosa Sewaktu
14
11
4,76
350
42,4
2,74
137,2
4,32
102,0
95
gr%
ribu/ul
juta/ul
ribu/ul
%
mg/dl
mmol/l
mmol/l
mmol/l
gr/dl
14-16
4-11
4,5-5,5
150-450
42-52
3,5-5,5
135-148
3,5-5,3
98-107
<105
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
a. Pemeriksaan cairan sendi: Dijumpai peningkatan kekentalan cairan
sendi.
b. Pemeriksaan BMD (Bone Mineral Density): T- score - 3 (Penyusutan
massa tulang).
46
8. Analisa data
Nama : Ny.Z No. Register : 11300130
Umur : 58 tahun Ruang : Bougenvile
NO SYMTOMP ETIOLOGI PROBLE
M
1. DS: Klien mengatakan ngilu pada
lutut dan kaki kanan
P: klien mengatakan nyerinya
bertambah saat berjalan.
Q: seperti ditusuk-tusuk
R : kaki kanan dan lutut
S : 8
T : terus menerus
DO: Klien tampak menahan nyeri
dan skalanya 8.
Fraktur dan
spasme otot
Nyeri akut
2. DS: Klien mengatakan sulit untuk
beraktivitas dan klien mengatakan
selalu di bantu untuk memenuhi
ADLnya oleh keluarganya.
Do: Klien tampak sulit untuk
beraktivitas dan selalu dibantu oleh
keluarganya dalam memenuhi
ADL.
Disfungsi
sekunder
akibat
perubahan
skeletal
(kifosis), nyeri
sekunder atau
fraktur baru.
Hambatan
imobilitas
Fisik
3. DS: Klien mengatakan bahwa klien
sering merasa ngilu pada bagian
lutut dan kaki kanan.
DO: Terlihat klien memegang
bagian sendi kaki yang ngilu.
Hasil pemeriksaan BMD: T- score -
3.
Dampak
sekunder
perubahan
skeletal dan
ketidakseimba
ngan tubuh.
Resiko
cidera
47
C. Prioritas diagnosa
1. Nyeri akut berhubungan dengan fraktur dan spasme otot.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan disfungsi sekunder akibat
perubahan skeletal (kifosis), nyeri sekunder atau fraktur baru.
3. Resiko cidera berhubungan dengan dampak sekunder perubahan skeletal
dan ketidakseimbangan tubuh.
B. Intervensi
Nama : Ny. Z No. Register : 11300130
Umur : 48 tahun Ruang : Bougenvile
No TUJUAN &
KRITERIA HASIL
RENCANA
TINDAKAN
RASIONAL
1.
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
3x24 dengan tujuan
klien mampu
melakukan tindakan
mandiri.
Kriteria Hasil:
- Mengatakan nyeri
reda saat istirahat.
- Menunjukkan
berkurangnya nyeri
tekan pada tempat
fraktur.
1. Pantau atau kaji
tingkat/skala nyeri
(1-10), intensitas dan
sifat nyeri
P :Provocate
Q : Quality
R : Region
S: Severe
T: Time
2.Atur posisi pasien
senyaman mungkin.
3.Ajarkan klien dan
keluarganya
manajemen nyeri.
4.Kolaborasi dalam
pemberian analgetik.
1. Untuk mengetahui
penyebab nyeri dan
sifat nyeri apakah
bersifat terlokasi
atau menyebar dan
waktunya.
2. Posisi yang baik
dapat mengurangi
rasa nyeri.
3. Klien dapat
mengatasi nyeri
secara mandiri.
4. Analgetik dapat
mengurangi rasa
nyeri.
48
2. Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
3x24 dengan tujuan
klien dapat
melakukan mobilitas
fisik.
Kriteria Hasil: Klien
mampu melakukan
aktivitas normal
secara mandiri.
1. Ajarkan klien untuk
melakukan latihan-
latihan fisik secara
bertahap.
2. Ajarkan klien tentang
pentingnya latihan
fisik.
3. Anjurkan klien untuk
menghindari latihan
fleksi, membungkuk
dengan tiba-tiba Dan
mengangkat beban
berat.
4. Kolaborasi dalam
pemberian obat.
1. Latihan fisik dapat
meningkatkan
kekuatan otot serta
melancarkan
sirkulasi darah.
2. Klien mengetahui
pentingnya latihan
fisik dan mau
melakukannya secara
rutin.
3. Gerakan yang
menimbulkan
kompresi vertical
berbahaya dan dapat
mengakibatkan
risiko fraktur
vertebra.
4. Membantu dalam
proses
penyembuhan.
3. Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
3x24 jam dengan
tujuan klien tidak
mengalami injury.
Kriteria Hasil: Klien
tidak mengalami jatuh
atau fraktur akibat
jatuh.
1. Ciptakan lingkungan
yang aman dan bebas
bahaya bagi klien.
2. Beri support untuk
kebutuhan ambulansi;
mengunakan alat
bantu jalan atau
tongkat.
1. Lingkungan yang
bebas bahaya
mengurangi risiko
untuk jatuh dan
mengakibatkan
fraktur.
2. Memberi support
ketika berjalan
mencegah tidak jatuh
pada lansia.
49
3. Bantu klien penuhi
ADL (activities daily
living) dan cegah
klien dari pukulan
yang tidak sengaja
atau kebetulan.
4. Anjurkan klien untuk
belok dan
menunduk/bongkok.
secara perlahan dan
tidak mengangkat
beban yang berat.
3. Benturan yang keras
menyebabkan fraktur
tulang, karena tulang
sudah rapuh, porus
dan kehilangan
kalsium.
4. Gerakan tubuh yang
cepat dapat
mempermudah fraktur
compression vertebral
pada klien dengan
osteoporosis.
C. Implementasi
Nama : Ny. Z No. Register : 11300130
Umur : 58 tahun Ruang : Bougenvile
No Tanggal
dan jam
Penatalaksaan Evaluasi
tindakan/respon
klien
Nama
dan
paraf
1. 07-09-2015
Pukul:
08.00 WIB
1. Memantau atau
mengkaji tingkat/skala
nyeri (1-10), intensitas
dan sifat nyeri.
2. Mengatur posisi pasien
senyaman mungkin.
3. Mengajarkan klien dan
keluarganya manajemen
nyeri.
1. Klien mampu
mendiskripsikan
nyerinya (skala 5).
2. Klien tiduran di
kasur dengan
senyaman mungkin.
3. Klien dapat
mengatasi nyeri
secara mandiri.
50
4. Mengkolaborasi dalam
pemberian analgetik.
4. Rasa nyeri
berkurang sedikit.
2. 07-09-2015
Pukul:
09.00 WIB
1. Mengajarkan klien
untuk melakukan
latihan-latihan fisik
secara bertahap.
2. Mengajarkan klien
tentang pentingnya
latihan fisik.
3. Menganjurkan klien
untuk menghindari
latihan fleksi,
membungkuk dengan
tiba-tiba dan
mengangkat beban
berat.
4. Mengkolaborasi dalam
pemberian obat.
1. Klien melakukan
gerakan sedikit.
2. Klien mengetahui
pentingnya latihan
fisik dan mau
melakukannya
secara rutin.
3. Klien mampu
mempertahankan
keseimbangan
tubuh saat duduk
tanpa penyangga
punggung.
4. Klien mau minum
obat itu.
3. 07-09-2015
Pukul:
10.00
1. Menciptakan
lingkungan yang aman
dan bebas bahaya bagi
klien.
2. Memberi support untuk
kebutuhan ambulansi;
mengunakan alat bantu
jalan atau tongkat.
3. Membantu klien penuhi
1. Klien tidak bergerak
kemana-mana.
2. Klien menggunakan
kursi roda.
3. Aktivitas klien di
51
ADL (activities daily
living) dan mencegah
klien dari pukulan yang
tidak sengaja atau
kebetulan.
4. Menganjurkan klien
untuk belok dan
menunduk/bongkok.
secara perlahan dan
tidak mengangkat beban
yang berat.
bantu oleh keluarga.
4. Klien melakukan
latihan itu dengan
baik.
D. Evaluasi
Nama : Ny.Z No. Register : 11300130
Umur : 58 tahun Ruang : Bougenvile
No Tanggal
dan jam
Catatan perkembangan Nama dan
paraf
1. 07-09-2015
Pukul:
08.00 WIB
S : Klien menyatakan nyeri d skala 5 atau
sedang
O : Klien tampak sedikit tidak nyaman
A : Tujuan teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi 1
2. 07-09-2015
Pukul:
09.00 WIB
S : Klien menyatakan nyaman untuk
bergerak leluasa
O: Klien tampak rileks
A : Tujuan teratasi
P : Pasien diperbolehkan pulang dan
diberikan Health Education.
3. 07-09-2015 S : Klien menyatakan mengetahui cara
52
Pukul:
10.00
latihan untuk mengurangi rasa sakit ini.
O : Klien merasakan nyaman
A : Tujuan teratasi
P : Pasien diperbolehkan pulang dan
diberikan Health Education.
53
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pengkajian
Data yang di dapat setelah pengkajian yang dilakukan pada Ny. Z dirasa
sudah cukup sesuai dengan pengkajian berdasarkan tinjauan teori yang ada.
Data-data tersebut sudah menunjang untuk melakukan asuhan keperawatan
selanjutnya, karena semua data sudah di dapatkan dengan jelas dan akurat.
B. Diagnosa keperawanan
Menurut Lukman, (2009) diagnosa keperawatan pada klien dengan
Osteoporosis adalah:
1) Kurang pengetahuan tentang proses osteoporosis dan program terapi.
2) Nyeri berhubungan dengan fraktur dan spasme otot.
3) Konstipasi berhubungan dengan imobilitas atau terjadinya ileus (obstruksi
usus).
4) Risiko terjadi cedera: fraktur berhubungan dengan tulang osteoporosis.
5) Resiko tinggi regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan
insufiensi pengetahuan, faktor-faktor resiko, terapi nutrisi, dan prevensi.
Diagnosa yang diangkat pada Klien Ny. Z adalah:
a) Nyeri akut berhubungan dengan fraktur dan spasme otot.
b) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan disfungsi sekunder akibat
perubahan skeletal (kifosis), nyeri sekunder atau fraktur baru.
c) Resiko cidera berhubungan dengan dampak sekunder perubahan skeletal
dan ketidakseimbangan tubuh.
Diagnosa yang diangkat sudah sesuai dengan tinjauan teori, meskipun
hanya sebagian diagnosa saja yang muncul namun sudah cukup mewakili dan
disusun sesuai dengan prioritas masalah.
54
C. Intervensi keperawanan
Intervensi keperawatan yang disusun berdasarkan prioritas masalah
keperawatan pada klien Ny. Z adalah:
1. Dx 1:
a. Pantau atau kaji tingkat/skala nyeri (1-10), intensitas dan sifat nyeri
b. Atur posisi pasien senyaman mungkin.
c. Ajarkan klien dan keluarganya manajemen nyeri.
d. Kolaborasi dalam pemberian analgetik.
2. Dx 2:
a. Ajarkan klien untuk melakukan latihan fisik secara bertahap.
b. Ajarkan klien tentang pentingnya latihan fisik.
c. Anjurkan klien untuk menghindari latihan fleksi, membungkuk dengan
tiba-tiba Dan mengangkat beban berat.
d. Kolaborasi dalam pemberian obat.
3. Dx 3:
a. Ciptakan lingkungan yang aman dan bebas bahaya bagi klien.
b. Beri support untuk kebutuhan ambulansi; mengunakan alat bantu jalan
atau tongkat.
c. Bantu klien penuhi ADL (activities daily living) dan cegah klien dari
pukulan yang tidak sengaja atau kebetulan.
d. Anjurkan klien untuk belok dan menunduk/bongkok secara perlahan
dan tidak mengangkat beban yang berat.
Intervensi yang disusun telah mengacu pada Tinjauan teori, yaitu
diambil dari Lukman (2009).
D. Implementasi
Implementasi merupakan aplikasi dari intervensi yang telah disusun. Pada
kasus Ny. Z semua intervensi yang telah disusun telah dilakukan dengan baik
sesuai dengan prosedur tetap yang ada.
55
E. Evaluasi
Evaluasi hasil dari implementasi keperawatan yang didapat pada Klien Ny.
Z setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam sudah cukup memuaskan,
karena masalah sudah teratasi meskipun hanya sebagian. Sehingga masih
perlu melanjutkan intervensi-intervensi yang telah disusun dilanjutkan oleh
perawat ruangan.
56
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Osteoporosis
Osteoporosis adalah penyakit tulang sisitemik yang ditandai oleh
penurunan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan
mudah patah. Osteoporosis dibagi 2 kelompok, yaitu: Osteoporosis primer
berhubungan dengan kelainan pada tulang, yang menyebabkan
peningkatan proses resorpsi di tulang trabekula sehingga meningkatkan
resiko fraktur vertebra dan Colles. Pada usia decade awal pasca
menopause, wanita lebih sering terkena dari pada pria dengan
perbandingan 68:1 pada usia rata-rata 53-57 tahun. Osteoporosis Sekunder
disebabkan oleh penyakit atau sebab lain diluar tulang.
2. Osteoarthritis
Osteoartritis (AO) adalah gangguan sendi yang bersifat kronis disertai
kerusakan tulang dan sendi berupa disentegrasi dan pelunakan progresif
yang diikuti dengan pertambahan pertumbuhan pada tepi tulang dan tulang
rawan sendi yang disebut osteofit, dan fibrosis dan kapsul sendi.
Beberapa penyebab dan faktor predisposisi adalah usia/umur, jenis
kelamin, ras, faktor keturunan, faktor metabolik/endokrin, faktor mekanik,
diet.
B. Saran
Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui/menguasai tentang penyakit
Osteoporosis dan Osteoartritis dan mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari.
57
DAFTAR PUSTAKA
Dra.Misnadiarly A.S., A..P.U. 2013. Osteoporosis Pengenalan, Faktor Risiko,
Pencegahan, dan Pengobatan. Jakarta Barat: Akademia Permata.
Dr.Saputra, Lyndon. 2014. Ilustrasi Berwarna Anatomi dan Fisiologi. Tangerang
Selatan: Binarupa Aksara Publiser.
Ns. Lukman, S.Kep.,M.M, et all. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Williams, Lippincott & Wilkins. 2009. Kapita Selekta Penyakit:Dengan implikasi
Keperawatan. Jakarta: Media Aesculapius.
Zaviera, Ferdinand. 2008. Osteoporosis: Deteksi Dini. Penanganan, dan Terapi.
Jogjakarta: Katahati.
58