Makalah Nunu

34
PEMANFAATAN PATI SINGKONG SEBAGAI BAHAN BAKU EDIBLE FILM ABSTRAK Bahan makanan pada umumnya sangat sensitif dan mudah mengalami penurunan kualitas. Salah satu cara untuk mencegah atau memperlambat fenomena tersebut adalah dengan pengemasan yang tepat. Bahan pengemas dari plastik banyak digunakan dengan pertimbangan ekonomis dan memberikan perlindungan yang baik dalam pengawetan. Penggunaan material sintetis tersebut berdampak pada pencemaran lingkungan, sehingga dibutuhkan penelitian mengenai bahan pengemas yang dapat diuraikan. Alternatif penggunaan kemasan yang dapat diuraikan adalah dengan menggunakan edible film. Edible Film didefinisikan sebagai lapisan yang dapat dimakan yang ditempatkan di atas atau di antara komponen makanan, dapat memberikan alternatif bahan pengemas yang tidak berdampak pada pencemaran lingkungan karena menggunakan bahan yang dapat diperbaharui dan harganya murah. Polisakarida seperti pati dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible film menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat diperbaharui, dan memberikan karakteristik fisik yang baik. Pembuatan edible film sering menggunakan metode casting dan pada pembuatannya menggunakan prinsip gelatinisasi. Penambahan hidrokoloid dan plasticizer agar didapatkan karakteristik film yang baik. Penelitian yang mengenai

Transcript of Makalah Nunu

Page 1: Makalah Nunu

PEMANFAATAN PATI SINGKONG SEBAGAI BAHAN BAKU EDIBLE

FILM

ABSTRAK

Bahan makanan pada umumnya sangat sensitif dan mudah

mengalami penurunan kualitas. Salah satu cara untuk mencegah

atau memperlambat fenomena tersebut adalah dengan

pengemasan yang tepat. Bahan pengemas dari plastik banyak

digunakan dengan pertimbangan ekonomis dan memberikan

perlindungan yang baik dalam pengawetan. Penggunaan material

sintetis tersebut berdampak pada pencemaran lingkungan,

sehingga dibutuhkan penelitian mengenai bahan pengemas yang

dapat diuraikan. Alternatif penggunaan kemasan yang dapat

diuraikan adalah dengan menggunakan edible film. Edible Film

didefinisikan sebagai lapisan yang dapat dimakan yang

ditempatkan di atas atau di antara komponen makanan, dapat

memberikan alternatif bahan pengemas yang tidak berdampak

pada pencemaran lingkungan karena menggunakan bahan yang

dapat diperbaharui dan harganya murah. Polisakarida seperti pati

dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible film

menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat diperbaharui,

dan memberikan karakteristik fisik yang baik. Pembuatan edible film

sering menggunakan metode casting dan pada pembuatannya

menggunakan prinsip gelatinisasi. Penambahan hidrokoloid dan

plasticizer agar didapatkan karakteristik film yang baik. Penelitian

yang mengenai pembuatan edible film memberikan kesimpulan tidak

ada metode standar dalam pembuatannya sehingga dapat

menghasilkan film dengan fungsi dan karakteristik fisikokimia yang

diinginkan akan berbeda. Edible film berbasis pati singkong dapat

diaplikasikan untuk mengemas apel potong sehingga dapat

Page 2: Makalah Nunu

mempertahan kecerahan warna apel dan dapat mempertahankan

umur simpan dodol durian hingga 25-44 hari. Kata Kunci: Pati

singkong, Edible Film, Metode Casting, Hidrokoloid, Plasticizer

Page 3: Makalah Nunu

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang

berjudul “Pemanfaatan Pati Singkong Sebagai Bahan Baku Edible Film” yang

disusun sebagai salah satu syarat untuk mengikuti lomba karya

tulis Beswan Djarum 2009 dengan tepat waktu. Penulis menyadari

bahwa tanpa bantuan dan dukungan berbagai pihak makalah ini

tidak akan dapat terselesaikan. Oleh sebab itu, pada kesempatan

ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada :

1. PT. Djarum yang telah memberikan beasiswa melalui Djarum

Bakti Pendidikan.

2. Ke dua orang tua yang telah memberikan dukungan baik

moril maupun materil.

3. Ibu Popi dan Bapak Tedi yang selalu memberikan semangat

kepada penulis.

4. Teman-teman Beswan Djarum angkatan 2008-2009 yang

telah memberikan informasi dan saran dalam pembuatan

makalah ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih atas segala

perhatiannya. Penulis berharap semoga makalah ini dapat

bermanfaat.

Bandung, Juli 2009

Penulis

Page 4: Makalah Nunu

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRA

K................................................................................................. ii

KATA PENGANTAR..............................................................................

iii

DAFTAR

ISI............................................................................................. iv

DAFTAR GAMBAR................................................................................

vi

DAFTAR

TABEL..................................................................................... vii

I. PENDAHULUAN......................................................................... 1

II. SINGKONG

2.1 Botani

Singkong............................................................................. 4

2.2 Komposisi Kimia............................................................................

6

2.3 Pati

Singkong.................................................................................. 7

III. EDIBLE COATING

3.1 Definisi Edible Film dan Fungsi..................................................... 9

3.2 Bahan Baku Edible Film.................................................................

10

3.2.1

Hidrokoloid..................................................................................... 11

3.2.2

Lipida..............................................................................................

12

Page 5: Makalah Nunu

3.2.3

Komposit........................................................................................ 13

IV. EDIBLE FILM BERBASIS PATI SINGKONG

4.1 Metode

Pembuatan......................................................................... 14

4.2 Karakteristik Film...........................................................................

16

4.3

Aplikasi........................................................................................... 19

V. KESIMPULAN............................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................

21

Page 6: Makalah Nunu

BAB I

PENDAHULUAN

Bahan makanan pada umumnya sangat sensitif dan mudah

mengalami penurunan kualitas karena faktor lingkungan, kimia,

biokimia, dan mikrobiologi. Penurunan kualitas tersebut dapat

dipercepat dengan adanya oksigen, air, cahaya, dan temperatur.

Salah satu cara untuk mencegah atau memperlambat fenomena

tersebut adalah dengan pengemasan yang tepat (Komolprasert,

2006 dalam Hui, 2006). Pengemasan makanan yaitu suatu proses

pembungkusan makanan dengan bahan pengemas yang sesuai.

Pengemasan dapat dibuat dari satu atau lebih bahan yang memiliki

kegunaan dan karakteristik yang sesuai untuk mempertahankan

dan melindungi makanan hingga ke tangan konsumen, sehingga

kualitas dan keamanannya dapat dipertahankan (Komolprasert,

2006 dalam Hui, 2006). Menurut Robertson (1993), bahan

pengemas yang dapat digunakan antara lain plastik, kertas, logam,

dan kaca.

Bahan pengemas dari plastik banyak digunakan dengan

pertimbangan ekonomis dan memberikan perlindungan yang baik

dalam pengawetan. Sekitar 60% dari poliethilen dan 27% dari

polyester diproduksi untuk membuat bahan pengemas yang

digunakan dalam produk makanan. Akan tetapi penggunaan

material sintetis tersebut berdampak pada pencemaran lingkungan

(Alvin dan Gil, 1994 dikutip Henrique, Teofilo, Sabino, Ferreira,

Cereda, 2007). Oleh karena itu pada saat ini dibutuhkan penelitian

mengenai bahan pengemas yang dapat diuraikan (biodegradable)

(Henrique et. al., 2007).

Pengembangan edible film pada makanan selain dapat

memberikan kualitas produk yang lebih baik dan memperpanjang

Page 7: Makalah Nunu

daya tahan, juga dapat merupakan bahan pengemas yang ramah

lingkungan. Edible film memberikan alternatif bahan pengemas yang

tidak berdampak pada pencemaran lingkungan karena

menggunakan bahan yang dapat diperbaharui dan harganya murah

(Tharamathan, 2003 dikutip Bourtoom, 2007). Pengaplikasian edible

film pada produk makanan bukan merupakan konsep yang baru dan

telah lama dipelajari secara ekstensif. Penerapan edible film dapat

memperpanjang masa simpan dan mempertahankan kualitas dari

berbagai produk makanan (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui, 2006).

Polisakarida seperti pati dapat digunakan sebagai bahan baku

pembuatan edible film. Pati sering digunakan dalam industri pangan

sebagai biodegradable film untuk menggantikan polimer plastik karena

ekonomis, dapat diperbaharui, dan memberikan karakteristik fisik

yang baik (Bourtoom, 2007). Ubi-ubian, serealia, dan biji polong-

polongan merupakan sumber pati yang paling penting. Ubi-ubian

yang sering dijadikan sumber pati antara lain ubi jalar, kentang, dan

singkong (Liu, 2005 dalam Cui, 2005). Pati singkong sering

digunakan sebagai bahan tambahan dalam industri makanan dan

industri yang berbasis pati karena kandungan patinya yang cukup

tinggi (Niba, 2006 dalam Hui, 2006). Kandungan pati pada beberapa

bahan pangan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Pati pada Beberapa Bahan Pangan

Bahan Pangan Pati (% dalam basis kering)

Biji gandum

Beras

Jagung

Biji sorghum

Kentang

Ubi jalar

67

89

57

72

75

90

Page 8: Makalah Nunu

Singkong 90

Sumber: Liu (2005) dalam Cui (2005)

Menurut Biro Pusat Statistik (2009), produksi tanaman ubi

kayu di Indonesia pada tahun 2008 sebesar 20.834.241 ton. Melihat

kandungan pati pada singkong sebesar 90%, maka pada tahun

tersebut dapat menghasilkan 18.750.816,9 ton pati singkong.

Produksi pati yang tinggi, penanamannya yang mudah, dan mudah

didapatkan di Indonesia menjadikan singkong sangat potensial

dijadikan sebagai bahan dasar edible film.

Page 9: Makalah Nunu

BAB II

PEMBAHASAN

I. SINGKONG

1.1 Botani Singkong

Singkong merupakan tanaman perdu yang berasal dari

Amerika Selatan dengan lembah sungai Amazon sebagai

tempat penyebarannya (Odigboh, 1983 dalam Chan 1983).

Ubi ini merupakan tanaman dikotil berumah satu yang

ditanam untuk diambil patinya yang sangat layak cerna.

Pohon singkong dapat tumbuh hingga 1 – 4 meter dengan

daun besar yang menjari dengan 5 hingga 9 belahan lembar

daun. Batangnya memiliki pola percabangan yang khas, yang

keragamannya tergantung pada kultivar (Rubatzky dan

Yamaguchi, 1995). Gambar pohon singkong dapat dilihat pada

Gambar 1.

Gambar 1. Pohon Singkong

(Sumber: Grahito, 2007)

Page 10: Makalah Nunu

Bagian dari ubi singkong yang dapat dimakan mencapai

80-90%. Bentuknya dapat berupa silinder, kerucut, atau oval

(Wankhede, Satwadhar, dan Sawate, 1998 dalam Salunkhe

dan Kadam, 1998). Panjang ubi berkisar 15 hingga 100 cm

dan diameternya 3 hingga 15 cm. Bobot ubi kayu berkisar

beberapa ratus gram hingga 15 kg. Tanaman singkong

umumnya menghasilkan sekitar 5-10 ubi (Rubatzky dan

Yamaguchi, 1995). Ubi singkong yang matang terdiri atas tiga

lapisan yang jelas yaitu; peridermis luar, cortex, dan daging

bagian tengah (Odigboh, 1983 dalam Chan 1983). Ubi

singkong dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Ubi singkong (Sumber: Grahito, 2007)

Menurut Odigboh (1983) dalam Chan (1983), spesies

dari singkong dibedakan berdasarkan kandungan HCN, yaitu

jenis pahit (Manihot esculenta Crantz.; M. utilissma Pohl.) dan manis

(M. dulcus Baill.; M. palmatta Muell.; M. aipi Pohl.)

2.1Komposisi Kimia

Menurut Wankhede et. al. (1998) dalam Salunkhe dan

Kadam (1998), singkong merupakan salah satu sumber kalori

bagi penduduk kawasan tropis di dunia. Ubi singkong kaya

akan karbohidrat yaitu sekitar 80-90% (bb) dengan pati

sebagai komponen utamanya. Menurut Odigboh (1983) dalam

Klasifikasi Singkong:Kingdom : PlantaeDivisi : SpermatophytaSub Divisi : AngiospermaeKelas : DicotyledoneaeOrdo : EuphorbialesFamili : EuphorbiaceaeGenus : ManihotSpesies : Manihot utilissima

(Prihatman, 2000)

Page 11: Makalah Nunu

Chan (1983), singkong relative kaya akan kalsium dan asam

askorbat (vitamin C). Namun ubi ini tidak dapat langsung

dikonsumi dalam bentuk segar tapi selalu dilakukan

pengolahan seperti pemanasan, perendaman dalam air,

penghancuran, atau beberapa proses tradisional lainnya

dengan tujuan untuk detoksifikasi atau membuang HCN yang

bersifat mematikan yang dikandung dari semua varietas

singkong. Kandungan kalori dan komposisi zat gizi dalam 100

gram singkong disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Kalori dan Komposisi Zat Gizi dalam 100 gram

Singkong

Komposisi Kimia Jumlah

Air (g)Karbohidrat (g)Protein (g)Lemak (g)Ca (mg)Fe (mg)Thiamin B1 (mg)Riboflavin B2 (mg)Niacin (mg)Vitamin C (mg)Energi (kal)

62,534,71,20,333,00,70,060,030,636146,0

Sumber : Odigboh (1983) dalam Chan (1983).

3.1 Pati Singkong

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-

glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan

dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi

tidak larut disebut amilopektin (Winarno, 1984). Struktur

amilosa merupakan struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-

glukosa. Amilopektin terdiri dari struktur bercabang dengan

ikatan α-(1,4)-D-glukosa dan titik percabangan amilopektin

Page 12: Makalah Nunu

Umbi Bakar

Pencucian, Pengupasan, Disintegrasi

Sedimentasi, Pencucian

Sentrifugasi

Pati

merupakan ikatan α-(1,6). Berat molekul amilosa dari

beberapa ribu hingga 500.000, begitu pula dengan

amilopektin (Lehninger, 1982). Pati dapat diekstrak dengan

berbagai cara, berdasarkan bahan baku dan penggunaan dari

pati itu sendiri. Untuk pati dari ubi-ubian, proses utama dari

ekstraksi terdiri perendaman, disintegrasi, dan sentrifugasi.

Perendaman dilakukan dalam larutan natrium bisulfit pada pH

yang diatur untuk menghambat reaksi biokimia seperti

perubahan warna dari ubi. Disintegrasi dan sentrifugasi

dilakukan untuk memisahkan pati dari komponen lainnya (Liu,

2005 dalam Cui, 2005).Diagram alir ekstraksi pati dari umbi

akar dapat dilihat pada diagram berikut:

Pati singkong mengandung 83% amilopektin yang

mengakibatkan pasta yang terbentuk menjadi bening dan

kecil kemungkinan untuk terjadi retrogradasi (Friedman,

1950; Gliksman, 1969 dikutip Odigboh, 1983 dalam Chan,

1983).

Page 13: Makalah Nunu

Menurut Murphy (2000) dalam Phillips dan Williams

(2000), ukuran granula pati singkong 4 – 35 μm, berbentuk

oval, kerucut dengan bagian atas terpotong, dan seperti kettle

drum. Suhu gelatinisasi pada 62-73OC, sedangkan suhu

pembentukan pasta pada 63OC. Menurut Santoso, Saputra,

dan Pambayun (2004), pati singkong relative mudah didapat

dan harganya yang murah. Bentuk granula pati singkong

dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Granula Pati Singkong (Niba, 2006 dalam Hui, 2006)

II. EDIBLE FILM

II.1 Definisi Edible Film dan Fungsi

Merurut Arpah (1997) dikutip Christsania (2008), edible

packaging pada bahan pangan pada dasarnya dibagi menjadi

tiga jenis bentuk, yaitu: edible film, edible coating, dan

enkapsulasi. Hal yang membedakan edible coating dengan

edible film adalah cara pengaplikasiannya. Edible coating

langsung dibentuk pada produk, sedangkan pada edible film

pembentukannya tidak secara langsung pada produk yang

akan dilapisi/dikemas. Enkapsulasi adalah edible packaging

yang berfungsi sebagai pembawa zat flavor berbentuk

serbuk. Edible film didefinisikan sebagai lapisan yang dapat

Page 14: Makalah Nunu

dimakan yang ditempatkan di atas atau di antara komponen

makanan (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui, 2006).

Fungsi dari edible film sebagai penghambat perpindahan

uap air, menghambat pertukaran gas, mencegah kehilangan

aroma, mencegah perpindahan lemak, meningkatkan

karakteristik fisik, dan sebagai pembawa zat aditif. Edible film

yang terbuat dari lipida dan juga film dua lapis (bilayer)

ataupun campuran yang terbuat dari lipida dan protein atau

polisakarida pada umumya baik digunakan sebagai

penghambat perpindahan uap air dibandingkn dengan edible

film yang terbuat dari protein dan polisakarida dikarenakan

lebih bersifat hidrofobik (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui,

2006).

Jumlah karbondioksida dan oksigen yang kontak

dengan produk merupakan salah satu yang harus

diperhatikan untuk mempertahan kualitas produk dan akan

berakibat pula terhadap umur simpan produk. Film yang

terbuat dari protein dan polisakarida pada umumnya sangat

baik sebagai penghambat perpindahan gas, sehingga efektif

untuk mencegah oksidasi lemak. Komponen volatil yang

hilang atau yang diserap oleh produk dapat diatur dengan

melakukan pelapisan edible coating atau film (Lee dan Wan,

2006 dalam Hui, 2006).

Edible film dapat bergabung dengan bahan tambahan

makanan dan substansi lain untuk mempertinggi kualitas

warna, aroma, dan tekstur produk, untuk mengontrol

pertumbuhan mikroba, serta untuk meningkatkan seluruh

kenampakan.

Page 15: Makalah Nunu

Asam benzoat, natrium benzoat, asam sorbat,

potasium sorbat, dan asam propionate merupakan beberapa

antimikroba yang ditambahkan pada edible film untuk

menghambat pertumbuhan mikroba. Asam sitrat, asam

askorbat, dan ester lainnya, Butylated Hydroxyanisole (BHA),

Buthylated Hydroxytoluen (BHT), Tertiary Butylated Hydroxyquinone

(TBHQ) merupakan beberapa antioksidan yang ditambahkan

pada edible film untuk meningkatkan kestabilan dan

mempertahankan komposisi gizi dan warna makanan dengan

mencegah oksidasi ketengikan, degradasi, dan pemudaran

warna (discoloration) (Cuppett, 1994 dalam Krochta, Baldwin,

Dan Nisperos-Carriedo, 1994).

II.2 Bakan Baku Edible Film

Komponen penyusun edible film dapat dibagi menjadi

tiga macam yaitu; hidrokoloid, lipida, dan komposit.

Hidrokoloid yang cocok antara lain senyawa protein, turunan

selulosa, alginat, pektin, pati dan polisakarida lainnya. Lipida

yang biasa digunakan waxes, asilgliserol, dan asam lemak.

Sedangkan komposit merupakan gabungan lipida dengan

hidrokoloid (Dohowe dan Fennema, 1994 dalam Krochta et.

al., 1994).

Edible film dan coating dapat diklasifikasikan berdasarkan

kemungkinan penggunaannya dan jenis film yang sesuai,

yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kemungkinan Penggunaan Edible Film dan Coating

Penggunaan Jenis film yang sesuai

Menghambat penyerapan uap

air

Lipida, komposit

Menghambat penyerapan gas Hidrokoloid, lipida, atau

Page 16: Makalah Nunu

komposit

Menghambat penyerapan

minyak dan lemak

Hidrokoloid

Menghambat penyerapan zat-

zat larut

Hidrokoloid, lipida, atau

komposit

Meningkatkan kekuatan

struktur atau memberi

kemudahan penanganan

Hidrokoloid, lipida, atau

komposit

Menahan zat-zat volatile Hidrokoloid, lipida, atau

komposit

Pembawa bahan tambahan

makanan

Hidrokoloid, lipida, atau

komposit

Sumber : Donhowe dan Fennema (1994) dalam Krochta et. al. (1994).

II.2.1Hidrokoloid

Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan

edible film adalah protein atau karbohidrat. Film yang

dibentuk dari karbohidrat dapat berupa pati, gum

(seperti contoh alginat, pektin, dan gum arab), dan pati

yang dimodifikasi secara kimia. Pembentukan film

berbahan dasar protein antara lain dapat menggunakan

gelatin, kasein, protein kedelai, protein whey, gluten

gandum, dan protein jagung. Film yang terbuat dari

hidrokoloid sangat baik sebagai penghambat

perpindahan oksigen, karbondioksida, dan lemak, serta

memiliki karakteristik mekanik yang sangat baik,

sehinggga sangat baik digunakan untuk memperbaiki

struktur film agar tidak mudah hancur (Dohowe dan

Fennema, 1994 dalam Krochta et. al., 1994).

Polisakarida sebagai bahan dasar edible film dapat

dimanfaatkan untuk mengatur udara sekitarnya dan

Page 17: Makalah Nunu

memberikan ketebalan atau kekentalan pada larutan

edible film. Pemanfaatan dari senyawa yang berantai

panjang ini sangat penting karena tersedia dalam

jumlah yang banyak, harganya murah, dan bersifat

nontoksik (Nisperos-Carriedo, 1994 dalam Krochta et. al.,

1994).

Beberapa jenis protein yang berasal dari protein

tanaman dan hewan dapat membentuk film seperti zein

jagung, gluten gandum, protein kedelai, protein kacang,

keratin, kolagen, gelatin, kasein, dan protein dari whey

susu, karena sifat dari protein tersebut yang mudah

membentuk film. Albumin telur dapat digunakan sebagai

bahan pembetuk film yang baik yang dikombinasikan

dengan gluten gandum, dan protein kedelai (Gennadios,

McHugh, Weller, dan Krochta, 1994 dalam Krochta et. al.,

1994).

II.2.2Lipida

Film yang berasal dari lipida sering digunakan

seagai penghambat uap air, atau bahan pelapis untuk

meningkatkan kilap pada produk-produk kembang gula.

Film yang terbuat dari lemak murni sangat terbatas

dikarenakan menghasilkan kekuatan struktur film yang

kurang baik (Dohowe dan Fennema, 1994 dalam

Krochta et. al., 1994). Karakteristik film yang dibentuk

oleh lemak tergantung pada berat molekul dari fase

hidrofilik dan fase hidrofobik, rantai cabang, dan

polaritas. Lipida yang sering digunkan sebagai edible film

antara lain lilin (wax) seperti parafin dan carnauba,

kemudian asam lemak, monogliserida, dan resin (Lee

Page 18: Makalah Nunu

dan Wan, 2006 dalam Hui, 2006). Jenis lilin yang masih

digunakan hingga sekarang yaitu carnauba. Alasan

mengapa lipida ditambahkan dalam edible film adalah

untuk memberi sifat hidrofobik (Hernandez, 1994 dalam

Krochta et. al., 1994).

II.2.3Komposit

Komposit film terdiri dari komponen lipida dan

hidrokoloid. Aplikasi dari komposit film dapat dalam

lapisan satu-satu (bilayer), di mana satu lapisan

merupakan hidrokoloid dan satu lapisan lain merupakan

lipida, atau dapat berupa gabungan lipida dan

hidrokoloid dalam satu kesatuan film. Gabungan dari

hidrokolid dan lemak digunakan dengan mengambil

keuntungan dari komponen lipida dan hidrokoloid.

Lipida dapat meningkatkan ketahanan terhadap

penguapan air dan hidrokoloid dapat memberikan daya

tahan. Film gabungan antara lipida dan hidrokoloid ini

dapat digunakan untuk melapisi buah-buahan dan

sayuran yang telah diolah minimal (Dohowe dan

Fennema, 1994 dalam Krochta et. al., 1994).

III. EDIBLE FILM BERBASIS PATI SINGKONG

III.1 Metode Pembuatan

Metode casting merupakan salah satu metode yang

sering digunakan untuk membuat film. Pada metode ini

protein atau polisakarida didispersikan pada campuran air

dan plasticizer, yang kemudian diaduk. Setelah pengadukan

dilakukan pengaturan pH, lalu sesegera mungkin campuran

tadi dipanaskan dalam beberapa waktu dan dituangkan pada

Page 19: Makalah Nunu

casting plate. Setelah dituangkan kemudian dibiarkan

mengering dengan sendirinya pada kondisi lingkungan dan

waktu tertentu. Film yang telah mengering dilepaskan dari

cetakan (casting plate) dan kemudian dilakukan pengujian

terhadap karakteristik yang dihasilkan. (Lee dan Wan, 2006

dalam Hui, 2006).

Pembuatan edible film berbasis pati pada dasarnya

menggunakan prinsip gelatinisasi. Dengan adanya

penambahan sejumlah air dan dipanaskan pada suhu yang

tinggi, maka akan terjadi gelatinisasi. Gelatinisasi

mengakibatkan ikatan amilosa akan cenderung saling

berdekatan karena adanya ikatan hidrogen. Proses

pengeringan akan mengakibatkan penyusutan sebagai

akibat dari lepasnya air, sehingga gel akan membentuk film

yang stabil (Careda, Henrique, Oliveira, Ferraz, dan Vicentini,

2000).

Menurut Sarmento (1997) dikutip Careda et. al. (2000),

suhu dimulainnya gelatinisasi pati yang digunakan pada

suhu 60,5OC hingga 65,8OC, dan pada suhu 61,2OC hingga

66,5OC merupakan rentan suhu pengentalan. Pada suhu

pendinginan hingga 50OC akan sedikit menaikkan

kekentalan, kecenderungan untuk terjadi retrogradasi kecil,

dan juga kecil kemungkinannya terjadi kristalisasi. Ketebalan

film dapat diatur dengan memperhatikan rasio luas cetakan

dengan larutan edible film yang digunakan. Pembuatan larutan

edible film komposit antara bahan bersifat hidrofobik dengan

hidrofilik, harus ditambahkan emulsifier agar larutan akan

lebih stabil (Santoso dkk., 2004). Proses pembuatan edible film

dari pati singkong dapat dilihat pada digram berikut;

Page 20: Makalah Nunu

Larutan Pati Singkong 3%

Pemanasan dan pengadukan pada suhu 70

OC selama 15-20 menit

Pendinginan pada suhu 25 OC

Pencetakan pada Polystyrene plates berdiameter 10 cm

Larutan edible film

Pengeringan pada suhu 50

OC selama 24 jam

Edible Film

Diagram Alir Proses Pembuatan Larutan Edible Film Berbasis Pati Singkong

(Careda et. al., 2000)

III.2 Karakteristik Film

Pati yang digunakan sebagai edible film dapat pati

singkong murni atau pati yang telah dimodifikasi. Dari setiap

bahan tersebut akan mengasilkan karakteristik film yang

berbeda-beda. Menurut Careda et. al. (2000), konsentrasi 3%

pati singkong tanpa modifikasi akan menghasilkan pori-pori

yang kecil, yang mungkin disebabkan gelembung-

gelembung kecil dari udara terlarut ketika pemanasan. Pori-

pori yang kecil mengakibatkan edible film dari pati singkong

memiliki laju transmisi rendah terhadap uap air dan gas

(Santoso dkk., 2004). Sedangkan pati yang diestrifikasi

(CMA) dengan konsentrasi 3% menunjukkan adanya granula-

Page 21: Makalah Nunu

granula pati dengan struktur yang kecil yang saling

berdempetan. Pati singkong yang dioksidasi (Amilum 320)

dengan konsentrasi 3% menunjukkan struktur granula yang

utuh dan tidak hancur dalam air (Careda et. al., 2000).

Perbedaan ketiga jenis film tadi yang dianalisis menggunakan

SEM (Scaning Electron Microscopy) dapat dilihat pada Gambar 6.

(a) (b)

(c)

Gambar 4. (a) Permukaan film dari 3% pati singkong tanpa modifikasi dengan

pembesaran SEM 372x,

(b) Permukaan film dari 3% CMA dengan pembesaran SEM 463x, (c) Permukaan

film dari 3% amilum

320 dengan pembesaran SEM 405x (Careda et. al, 2000)

Menurut Henrique et. al. (2007), film dari CMA dengan

konsentrasi 5% sulit larut dan cenderung lebih permeabel

dan lebih tebal. Sedangkan dengan konsentrasi 3%

cenderung memiliki ketebalan yang kecil dan lebih larut.

Permebilitas, kelarutan, dan ketebalan film merupakan

Page 22: Makalah Nunu

karakteristik yang pada umumnya dipengaruhi oleh

konsentrasi bahan keringnya.

Menurut Flores et. al. (2006) dalam Bourtoom (2007),

tidak ada metode standar dalam pembuatan edible film

sehingga dapat dihasilkan film dengan fungsi dan

karakteristik fisikokimia yang diinginkan akan berbeda.

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan dalam pembuatan

edible film berbasis pati seringnya dilakukan penambahan

hidrokoloid dan plasticizer agar didapatkan karakteristik film

yang baik. Hidrokoloid berfungsi untuk membentuk struktur

film agar tidak mudah hancur.

Plasticizer berfungsi untuk meningkatkan elastisitas dari

film dengan mengurangi derajat ikatan hidrogen dan

meningkatkan jarak antar molekul dari polimer (Lee dan

Wan, 2006 dalam Hui 2006). Penggunaan plasticizer yang

terlampau banyak akan meningkatkan permeabilitas

terhadap uap air (Dohowe dan Fennema, 1994 dalam

Krochta et. al., 1994; Lee dan Wan 2006 dalam Hui, 2006 ).

Menurut Santoso dkk. (2004), pembuatan larutan edible film

komposit antara bahan bersifat hidrofobik dengan hidrofilik,

harus ditambahkan emulsifier agar larutan lebih stabil. Film

dari pati dengan penambahan sorbitol sebagai plasticizer

memiliki permebilitas yang rendah terhadap uap air

dibandingkan dengan glikol, gliserol, polietilen glikol,

maupun sukrosa pada konsentrasi yang sama (McHugh et.

al., 1994 dikutip Bourtoom, 2007). Jenis dan konsentrasi dari

plasticizer akan berpengaruh terhadap kelarutan dari film

berbasis pati. Semakin banyak penggunaan plasticizer maka

akan meningkatkan kelarutan. Begitu pula dengan

Page 23: Makalah Nunu

penggunaan plasticizer yang bersifat hidrofilik juga akan

meningkatkan kelarutannya dalam air. Gliserol memberikan

kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan sorbitol pada edible

film berbasis pati (Bourtoom, 2007).

Suhu pemanasan yang digunakan ditentukan

berdasarkan bahan dasar yang digunakan dan akan

berpengaruh terhadap elastisitas, persentase pemanjangan,

permeabilitas terhadap uap air, dan kelarutan edible film atau

coating. Edible film dari pati singkong menggunakan suhu

pemanasan 95OC selama 5 menit akan menghasilkan kuat

tarik (tensile strength) yang maksimum. Peningkatan suhu

pemanasan juga akan menurunkan perentase pemanjangan

dari edible film. Permeabilitas terhadap uap air dan kelarutan

akan cenderung menurun seiring dengan naiknya suhu

pemanasan (Bourtoom, 2007).

III.3 Aplikasi

Edible film berbasis pati singgkong dapat diaplikasikan

untuk mengemas apel yang telah dipotong-potong untuk

meminimalkan susut bobot dan menghambat reaksi

pencoklatan. Formulasi 1% pektin(b/v), CaCl2 1,6% (b/b

pektin), gliserol 1% (b/v), 2% (b/v) pati singkong, dan 0,04%

(b/v) asam palmitat dapat mempertahan kecerahan warna

apel sama dengan apel yang dikemas menggunakan plastik

polietilen. Akan tetapi penurunan berat pada apel yang

dikemas dengan menggunakan edible film pati singkong-pektin

tersebut lebih besar dibandingkan dengan apel yang

dikemas dengan plastik polietilen. Hal ini disebabkan karena

edible film pati singkong-pektin memiliki nilai laju transmisi

uap air yang besar, sehingga tidak mampu menahan

Page 24: Makalah Nunu

transmisi uap air dari dalam wadah ke luar dan selanjutnya

terjadi pula transmisi uap air dari dalam ke permukaan buah

(Layuk, Djagal, dan Haryadi, 2002)

Edible film komposit dari gliserol, CMC, beeswax, dan pati

singkong dapat digunakan sebagai bahan pengemas primer

dodol durian. Dodol durian yang tidak dikemas hanya

memiliki umur simpan hingga tiga hari yang kemudian

ditumbuhi jamur. Penggunaan kemasan tradisional (kertas

minyak) hanya tahan hingga hari penyimpanan selama tujuh

hari, selain itu juga kertas minyak lengket dengan bahan

yang dikemas. Penggunaan edible film komposit pati singkong-

CMC-beeswax menghasilkan ketebalan film sebesar 1,12 mm

dan dapat mempertahankan umur simpan dodol durian

hingga 25-44 hari (Harris, 2001).

Page 25: Makalah Nunu

BAB III

KESIMPULAN

Edible film didefinisikan sebagai lapisan yang dapat dimakan

yang ditempatkan di atas atau di antara komponen makanan,

berfungsi sebagai penghambat

perpindahan uap air, menghambat pertukaran gas, mencegah

kehilangan aroma, mencegah perpindahan lemak, meningkatkan

karakteristik fisik, dan sebagai pembawa zat aditif. Bahan baku

pembentuk edible film dapat berasal dari pati singkong. Pati singkong

dapat membentuk pasta yang bening dan kecil kemungkinan untuk

terjadi retrogradasi. Kelebihan lain dari pati ini adalah mudah

didapatkan dan relatif murah.

Metode pembuatan edible film yang sering digunakan yaitu

metode casting, yaitu dengan mendispersikan bahan baku edible film,

pengaturan pH larutan, pemanasan larutan, pencetakan,

pengeringan, dan pelepasan dari cetakan. Tidak ada metode

standar dalam pembuatan edible film sehingga dapat dihasilkan film

dengan fungsi dan karakteristik fisikokimia yang diinginkan akan

berbeda. Namun pada umumnya dilakukan penambahan

hidrokoloid untuk membentuk struktur film yang tidak mudah hancur

dan plasticizer untuk meningkatkan elastisitas.

Lapisan film yang dibentuk memiliki pori-pori yang lebih kecil

sehingga laju transmisi terhadap uap air dan gas juga rendah. Edible

film berbasis pati singkong dapat diaplikasikan untuk mengemas

apel potong sehingga dapat mempertahan kecerahan warna apel

dan dapat mempertahankan umur simpan dodol durian hingga 25-

44 hari.

Page 26: Makalah Nunu

DAFTAR PUSTAKA

Biro Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia; Harvested Area,

Yield Rate and Production of Cassava by Province.

http://www.datastatistikindonesia.com/component/option,

com_tabel/kat,1/idtabel,111/Itemid,165 (diakses pada

tanggal 26/03/2012)

Bourtoom, T. 2007. Effect of Some Process Parameters on The

Properties of Edible Film Prepared From Starch.

Department of Material Product Technology, Songkhala.

(on line) http://vishnu.sut.ac.th/at/food_innovation/up/rice

%20starch%20film.doc (diakses pada tanggal

26/03/2012)

Chan, H. T., JR. 1983. Handbook Of Tropical Foods. Marcel

Dekker Inc., New York and Bassel.

Cui, S. W. 2005. Food Carbohidrates Chemistry, Physical

Properties, and Aplications. CRC Press, Boca Raton,

London, New York, Singapore

Grahito, A. 2007. Root And Tuber Crops. Available at:

http://indonesian-foodforage.blogspot.com/2007/12

(diakses tanggal 27/03/2012)

Layuk, P., Djagal W. M., Haryadi. 2002 Karakteristik Komposit

Film Edible Pektin Daging Buah Pala (Myristica fragrans

Houtt) dan Tapioka. Jurnal Teknol dan Industri Pangan XIII

(2).

Lehninger, A., L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Penterjemah: M.

Thenawijaya. Erlangga, Jakarta

Prihatman, K. 2000. Ketela Pohon/Singkong (Manihot utilissima

Pohl). Available at: http://www.ristek.go.id (diakses

tangga 26/03/2012)

Page 27: Makalah Nunu

Winarno, F. G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.