Makalah nasikh mansukh
-
Upload
lutfi-widad -
Category
Education
-
view
777 -
download
52
Transcript of Makalah nasikh mansukh
MAKALAH
NASIKH DAN AL MANSUKH
A. Pendahuluan
Al Qur’an adalah kalamullah merupakan mu’jizat bagi Nabi
Muhammad Saw. Al Qur’an merupakan tuntutan bagi umat manusia untuk
mencapai bukan hanya kebahagiaan di dunia saja, terlebih lagi adalah
merupakan tuntunan untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Dalam Al
Qur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran.
Tasyri’ samawi diturunkan dari Allah kepada para rasul-Nya
untuk memperbaiki umat dibidang akidah, ibadah danmu’amalah. Oleh
karena akidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami
perubahan karena ditegakkan atas tauhid uluhiyah dan rububiyah maka
dakwah atau seruan para rasul kepada aqidah yang satu itu semuanya
sama.1
Mengenai ibadah dan muamalah, prinsip dasar umumnya adalah
sama, yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan
masyarakat serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan
persaudaraan.2
Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dalam penjelasan
Al Qur’an ada yang dikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis
besarnya saja, Ada yang khusus, ada yang masih bersifat umum dan
global. Ada ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala
kontradiksi yang menurut Quraish Shihab para ulama berbeda pendapat
tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat tersebut. Sehingga timbul
pembahasan tentang Nasikh dan Mansukh.3
Fenomena naskh yang keberadaannya diakui oleh ulama,
merupakan bukti besar bahwa ada dialetika hubungan antara wahyu dan
1 Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, terj. Mudzakir AS, Studi Ilmu- Ilmu Qur’an (Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2011), hal. 325.
2 Syaikh Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an,terj H. Aunur Rafiq El-Mazni (Jakarta: Pustaka Al Kautsar), hal. 284.
3 M. Quraish Shihab Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan Pustaka, 1994), hal.143.
1
realitas. Bahwa banyak sekali realitas kehidupan yang sangat tidak sama
dengan realitas kehidupan pada saat wahyu diturunkan. Hukum-hukum
yang tidak sesuai dengan realitas kehidupan pada zaman sekarang ini di
naskh dengan hukum-hukum yang lain dalam Al-Quran yang sesuai
dengan fenomena kehidupan.
Firman Allah Swt dalam surah Al Baqarah ayat 106 tentang
nasikh dan mansukh yaitu:
Artinya : ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS. al Baqarah : 106).
Dari ayat tersebut timbul pembahasan nasikh dan mansukh dalam
ayat-ayat Allah, baik ayat-ayat dalam Al Qur’an, sunnah Nabi maupun
ayat-ayat dalam kitab-kitab suci terdahulu.4
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan
manfaat besar bagi para ahli ilmu, terutama fuqaha, mufasir dan ahli
usul, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur,
oleh sebab itu, terdapat banyak asar (perkataan sahabat dan tabi’in) yang
mendorong agar mengetahui masalah ini.5
B. Nasikh dan Mansukh
1. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Dalam Al Qur’an, kata nasakh ditemukan sebanyak empat kali
dengan berbagai bentuknya.6 Yaitu dalam Qur’an Surah Al Baqarah
ayat 106, Surah A1-A’raf ayat 154, Surah A1-Hajj ayat 52, dan Surah Al
Jatsiah ayat 29. Nasikh-Mansukh berasal dari kata nasakh. Dari segi
etimologi, kata ini dipakai untuk beberapa pengertian: menghilangkan
4 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi), hal 259.5 Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an,op.cit h 329.6 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Teras, 2013), hal.
63.
2
(Izalah), melenyapkan, atau menghapus, penggantian (tabdil), pengubahan
(tahwil), dapat juga berarti memindahkan (naql) (memindahkan sesuatu
dari suatu tempat ke tempat lain). Kata nasakh dapat juga berarti
mengganti atau menukar, membatalkan dan mengubah, dapat juga berarti
pengalihan. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan dan
sebagainya dinamakan nasikh. Sedangkan bagian yang dihapus
dinamakan mansukh.7 Singkatnya dalam Al Qur’an dan Tafsirnya
disebutkan nasikh ialah ayat yang menasakh dan mansukh ialah ayat yang
dinasakh.8
Pengertian nasakh secara terminology menurut Manna’ Khalil al
Qattan sebagaimana termaktub dalam buku Studi Ilmu-ilmu Al Qur’an
nasakh ialah “mengangkat (menghapus) hukum syara’ dengan dalil hukum
(khitab) syara’ yang lain”.9 Menurut Muhammad ‘Abd Azhim al Zarqaniy
sebagaimana dikutip Dr Usman, M.Ag dalam buku Ulumul Qur’an, bahwa
nasakh adalah mengangkat/menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’
yang lain yang datang kemudian.10
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Mohammad Gufron
dan Rahmawati bahwa secara bahasa, naskh berarti pembatalan,
penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, dan lainnya.
Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, disebut nasikh,
sedangkan yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan disebut mansukh.11
Mengenai nasakh, al Syatibi sebagaimana dikutip oleh Dr. M
Quraish Shihab menandaskan bahwa para ulama mutaqaddimin (ulama
abad I hingga III H) memperluas arti nasakh, mencakup hal-hal, yaitu :
a. Pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang
ditetapkan kemudian.
7 UsmanUlumul Qur’an(Yogyakarta:Teras, 2009), hal 256-2578 Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Tafsirnya loc cit9 Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an op cit hal. 32610 Usman, Ulumul Qur’an, op cit hal. 25811 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Qur’an (Yogyakarta:Teras, 2013), hal.
63.
3
b. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat
khusus yang datang kemudian.
c. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar
d. Penetapan syarat terhadap kukum terdahulu yang belum bersyarat.12
Bahkan menurut Muhammad Azhim al Zarqaniy seperti dikutip
oleh Quraish Shihab diantara para ulama tersebut ada yang beranggapan
bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu
telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat
adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau
menahan diri pada periode Makkah disaat kaum muslim lemah, dianggap
telah dinasakh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah.13
Pengertian yang begitu luas tersebut dipersempit oleh para ulama
yang datang kemudian (muta’akhirin). Menurut mereka nasakh terbatas
pada ketentuan hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau
mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang
terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan
terakhir.14 Sedang mansukh menurut Syaikh Manna’ adalah” hukum yang
diangkat atau yang dihapuskan”.15 Dalam buku Al Qur’an dan Tafsirnya
Departemen Agama RI disebutkan bahwa” Nasakh dalam arti istilah
adalah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’.
Nasikh ialah dalil syara’ yang menghapus suatu hukum, dan mansukh
ialah hukum syara’ yang telah dihapus.16
2. Ruang Lingkup Nasakh
Imam Suyuthi mengatakan, nasikh tidak dapat terjadi kecuali
mengangkut perintah dan larangan, baik yang diungkap dengan redaksi
shahih (tegas) atau yang tidak tegas; atau yang diungkap dengan kalimat
12 M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an, op cit hal. 14413 M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an, op cit hal. 144.14 M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an, op cit hal. 144.15 Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, op cit h 327. Lihat juga Syaikh
Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an,terj H. Aunur Rafiq El-Mazni, (Cet ke-4; Jakarta: Pustaka Al Kautsar) hal. 286.
16 Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Tafsirnya loc cit
4
khabar (berita) yang bermakna ‘amar (perintah) atau nahyi (larangan).17
Jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, zat Allah,
sifat-sifat Allah, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari kemudian, serta
tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok
ibadah dan muamalah. Hal itu karena semua syari’at ilahi tidak lepas dari
pokok-pokok tersebut. Sedang dalam masalah pokok (usul) semua syari’at
adalah sama. Firman Allah dalam QS Asy Syuura ayat 13 yang
terjemahnya :”Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa
yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami
wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama, dan janganlah kamu berpecah
belah tentangnya”(QS Asy Syuura ayat 13).18 Nasakh tidak terjadi dalam
berita, khabar, yang jelas-jelas tidak bermakna talab (tuntutan:perintah
atau larangan), seperti janji (al wa’d) dan ancaman (al wa’id) demikian
menurut Syaikh Manna’.
3. Syarat-Syarat Nasakh
Syarat-syarat nasakh diantaranya :19
a. Hukum yang di naskh (Mansukh) berupa hukum syar’i, baik yang
berbentuk perintah ataupun larangan.
b. Hukum dalil yang berfungsi sebagai nasikh harus berasal dari nash
syar’i sebagaimana hukum pada dalil mansukh.
c. Terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak
dapat dikompromikan.
d. Harus diketahui secara meyakinkan perurutan ayat-ayatnya tersebut,
sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh dan yang
kemudian sebagai nasikh.
4. Macam-macam Nasakh dalam al-Quran
17 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Qur’an (Yogyakarta:Teras, 2013), hal. 65.
18 Al Qur’an dan Terjemahnya, op cit hal. 78519 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Qur’an (Yogyakarta:Teras, 2013), hal.
64.
5
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya , nasikh dalam Al-Quran
dibagi menjadi empat macam, yaitu :
a. Nasikh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang
terdapat pada ayat yang terdahulu. Contohnya ayat tentang perang
(qital) pada surat Al-Anfal ayat 65 yang mengharuskan satu orang
muslim melawan sepuluh kafir :
Artinya :” Hai nabi, Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti”.
Menurut jumhur ulama ayat ini di nasakh oleh surat Al-Anfal ayat 66 :
Artinya :”Sekarang Allah Telah meringankan kepadamu dan dia Telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar”.
Ayat di atas mengandung maksud bahwa pengharusan bagi satu orang
mukmin melawan dua orang kafir, di mana sebelumnya pada ayat
yang dimansukh dijelaskan bahwa pengharusan satu orang muslim
melawan sepuluh kafir.
b. Nasikh Dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling
bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Keduanya turun untuk
masalah yang sama, dan diketahui waktu turunnya , maka ayat yang
6
datang kemudian menghapus ayat terdahulu. Contoh Surat Al-Baqarah
ayat 180 :
Artinya :”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf”.
Ayat ini dihapus oleh hadis la wasiyyah li warits (tidak ada wasiat
bagi ahli waris).
c. Nasikh Kully, orang yang mensyariatkan itu membatalkan hukum
syar’i sebelumnya. Membatalkan secara keseluruhannya dengan
merangkaikan kepada setiap pribadi mukallaf. Sebagai contoh
ketentuan “iddah empat bulan sepuluh hari yang terdapat dalam surat
Al-Baqarah ayat 234 :
Artinya :”Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Ayat di atas menasakh ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa masa
‘iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah satu tahun.
d. Naskh Juz’i, yaitu mensyariatkan hukum secara umum, meliputi
seluruh pribadi mukallaf, kemudian hukum ini dibatalkan dengan
menisbahkan kepada sebagian ifrad. Atau mensyariatkan hukum itu
secara mutlak, kemudian dibatalkan dengan menisbahkan kepada
beberapa hal. Maka nasikh itu tidak membatalkan perbuatan itu
7
dengan hukum pertama yang dijadikan dasar. Tapi membatalkannya
itu dengan menisbahkannya kepada ifrad atau kepada beberapa hal.
Contohnya hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh wanita
berzina tanpa adanya saksi yang kemudian dinasakh oleh ketentuan
li’an yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah bagi si penuduh.
Firman Allah surat An-Nur ayat 4 :
Artinya :”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”.
Ayat di atas di nasakh oleh surat An-Nur ayat 6
Artiny: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar”.
Adapun macam-macam nasakh ditinjau dari segi badal (dengan
adanya pengganti atau tidak adanya pengganti) dibagi menjadi 4 :
a. Nasakh tanpa badal ( pengganti). Contoh penghapusan bersedekah
sebelum berbicara kepada Rasulullah, Surat Al- Mujadilah : 12,
Artinya :”Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
8
Ayat di atas dinasakh dengan surat al-Mujadilah : 13,
Artinya: “Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) Karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah Telah memberi Taubat kepadamu Maka Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
b. Nasakh dengan badal mumatsil (sebanding); menghapus hukum
sebelumnya dengan mengganti hukum yang seimbang. Contoh
menasakh ketentuan menghadap Baitul Maqdis dengan mengganti
ketentuan menghadap ke Ka’bah dalam shalat. Surat al –Baqarah ayat
144,
Artinya: “Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya....
c. Nasakh dengan badal akhaf (lebih ringan). Contohnya puasa masa
dahulu, dalam al-Baqarah : 183 (ayat puasa), dinasakh dengan ayat al-
baqarah: 187;
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu...”
d. Nasakh dengan badal atsqal (lebih barat). Contohnya, menghapus
hukuman penahanan di rumah pada istri-istri yang menyeleweng
dengan diganti dengan hukuman dera. Surat Al-Nisa ayat 15,
9
Artinya:”Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka Telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya”.
Ayat ini dinasakh dengan al-Nur ayat 2,
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.
Adapun pada sisi otoritas yang lebih berhak menghapus nasakh,
para ulama membagi nasakh menjadi 4 bagian :
a. Nasakh sunnah dengan sunnah
Suatu hukum syara’ yang dasarnya sunnah kemudian dinasakh
atau dihapus dengan dalil syara’ dari sunnah juga. Contohnya adalah
larangan ziarah kubur yang dinasakh menjadi boleh. Hadisnya seperti
yang diriwayatkan At Tirmidzi” Dahulu aku melarang kamu berziarah
kubur, sekarang berziarahlah”. (Riwayat At Tirmidzi). Dalam hal
nasakh sunnah dengan sunnah ini Manna’Khalil Al Qattan
mengkategorikan ke dalam empat bentuk, yaitu (1). nasakh mutawatir
dengan mutawatir. (2) nasakh ahad dengan ahad. (3) ahad dengan
mutawatir. (4) nasakh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama
dibolehkan, sedang bentuk keempat terjadi silang pendapat. Namun
jumhur ulama tidak membolehkan.20
b. Nasakh Sunnah dengan Al Qur’an
20 Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, op cit, h 336
10
Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah
kemudian dinasakh dengan dalil Al Qur’an. Seperti shalat yang
semula menghadap Baitul Maqdis kemudian menjadi menghadap
Ka’bah di Masjidil Haram setelah turun ayat Al Qur’an surah Al
Baqarah/2 ayat 144:
Artinya : Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke
langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan (Al Baqarah/2 : 144).
Contoh lain tentang kewajiban berpuasa pada hari ‘Asyura
tanggal 10 Muharram menjadi tidak wajib, tetapi sunnah saja setelah
turun ayat kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan, yaitu turunnya
surah Al Baqarah/2 ayat 185:
Artinya : (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
11
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur (Al Baqarah/2 : 185).
Namun nasakh seperti itu pun ditolak oleh Syafi’i sebagaimana
dikutip Syaikh Manna’ dari Al Itqan, menurut Syafi’I; apa saja yang
ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al Qur’an, dan apa saja yang
ditetapkan Al Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal tersebut
menurut beliau antara Kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan
dan tidak bertentangan.
c. Nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an
Hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil ayat Al Qur’an
kemudian dinasakh dengan dalil ayat Al Qur’an pula. Tentang hal ini
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mereka yang
berpendapat bahwa nasikh dan mansukh ada terdapat dalam ayat-ayat
Al Qur’an, berdasarkan surah Al Baqarah ayat 106. Menurut para
ulama yang menerima adanya nasikh mansukh dalam Al Qur’an ini,
bahwa adanya nasikh dan mansukh dalam Al Qur’an dapat diterima
akal karena Allah Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang,
sehingga hukum yang ringan pada mulanya memang perlu ditetapkan,
dan kemudian perlu diganti dengan hukum yang tidak ringan lagi
setelah orang-orang Islam menghadapi keadaan normal dan dipandang
sudah mampu menghadapi hukum yang tidak ringan lagi. Hal tersebut
termasuk kebijakan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mengetahui.
Tetapi sebagian ulama lain berpendapat bahwa tidak ada nasikh
mansukh dalam ayat-ayat Al Qur’an.
Menurut ulama-ulama ini Al Qur’an memang telah menasakh
kitab-kitab suci terdahulu, tetapi semua ayat Al Qur’an yang ada
sekarang tidak ada lagi yang mansukh. Hal tersebut menurut mereka
sesuai dengan firman Allah Swt dalam surah Fussilat/41 ayat 42. Yang
artinya: “Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan
12
maupun dari belakang yang diturunkan dari Tuhan yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji”.21 Karena tidak ada satu ayat pun yang
batil baik di bagian muka maupun di belakang, tidak ada ayat Al
Qur’an yang dinasakh maupun mansukh. Ayat-ayat Al Qur’an
memang telah menasakh ayat-ayat dalam kitab-kitab suci terdahulu
yaitu Taurat, Zabur, dan Injil. Pendapat demikian misalnya
dikemukakan oleh Abu Muslim al Isfahani, seorang mufassir yang
menulis kitab Jami’ut Ta’wil. Beberapa mufassir lain juga
berpendapat demikian bahwa sesama Al Qur’an tidak ada yang nasikh
dan mansukh.
d. Nasakh Al Qur’an dengan sunnah
Hukum yang didasarkan pada dalil ayat Al Qur’an dinasakh
dengan dalil sunnah. Nasakh jenis ini menurut Syaikh Manna’ terbagi
dua, yaitu: 22
1) Nasakh Al Qur’an dengan hadits ahad.
Jumhur berpendapat, Qur’an tidak boleh dinasakh oleh
hadis ahad, sebab Al Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan
yakin, sedang hadis ahad zanni, bersifat dugaan, di samping tidak
sah pula menghapus sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dengan
yang maznun (diduga)
2) Nasakh Al Qur’an dengan hadis mutawatir.
Nasakh jenis ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan
Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah
wahyu. Dasarnya adalah firman Allah dalam surah an Najm ayat 3-
4. Artinya”Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya)”. Serta Surah An Nahl ayat 44. Artinya
“Dan kami turunkan kepadamu Qur’an agar kamu menerangkan
21 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:1985, h 77922 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:1985, h 779
13
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”.
Dan nasakh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan.
Sementara itu Asy Syafi’I, Zhahiriyah dan Ahmad dalam
riwayatnya yang lain menolak nasakh seperti ini, berdasarkan
firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 106:
Artinya : Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (Al Baqarah/2 : 106).
Sedang hadits menurut ulama-ulama tersebut tidak lebih
dari atau sebanding dengan Al Qur’an. Jadi jumhur ulama sepakat
tidak ada nasakh Al Qur’an dengan sunnah, karena Al Qur’an lebih
tinggi dari sunnah, jadi tidak mungkin dalil yang lebih tinggi
dihapus oleh dalil yang lebih rendah. Pada Surah Al Baqarah ayat
106 telah disebutkan bahwa dalil yang menasakh yaitu lebih baik
dalam arti kuat dari pada dalil yang dinasakh, atau setidaknya
sama.
Macam-macam nasakh dari segi hukum dan tilawahnya dalam al-
Quran ada 3 macam :
a. Nasakh hukum sedang tilawahnya tetap
Misalnya hukum ‘iddah bagi isteri yang ditinggal mati
suaminya dalam surah Al Baqarah ayat 240 ditetapkan ‘iddahnya
selama satu tahun, kemudian dinasakh menjadi hanya empat bulan
sepuluh hari seperti ditetapkan dalam Surah Al Baqarah ayat 234(ayat
240 turun lebih dahulu daripada ayat 234). Lalu timbul pertanyaan.
Apakah hikmah penghapusan hukum sedang tilawahnya tetap?
Jawabannya ada dua, yaitu (1) Al Qur’an di samping dibaca untuk
diketahui makna dan diamalkan hukumnya, juga Al Qur’an sebagai
Kalamullah yang membacanya mendapat pahala. (2) Pada umumnya
14
nasakh itu untuk meringankan, sehingga dengan tetapnya tilawah dan
terus dibaca untuk mengingatkan akan nikmat dihapuskannya
kesulitan (masyaqqah) dari hukum yang dihapus.
b. Nasakh Hukum dan Tilawah
Dalam hal ini baik hukum maupun tilawahnya dihapus
sehingga ayatnya maupun hukumnya sudah tidak ada lagi, dan diganti
dengan hukum baru pada ayat Al Qur’an. Bentuk ini menurut sebagian
besar ulama tidak terdapat dalam Al Qur’an, karena ayat-ayat Al
Qur’an sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, hingga wafat
beliau, bahkan hingga sekarang, tidak ada yang berubah atau
berkurang. Nasakh hukum dan tilawah hanya ada pada kitab-kitab suci
terdahulu, yaitu antar kitab-kitab Zabur, Taurat, dan Injil yang telah
dinasakh Al Qur’an. Meskipun begitu, ada sebagian ulama yang
berpendapat bahwa nasakh hukum dan tilawahnya ini ada juga dalam
Al Qur’an seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dan beberapa
perawi hadits lain, dari Aisyah, ia berkata:
”Diantara yang diturunkan kepada beliau adalah sepuluh
susuan yang diketahui itu menjadikan muhrim (haram dinikahi),
kemudian dinasakh oleh lima susuan yang diketahui. Maka ketika
Rasulullah wafat ‘lima susuan’ ini termasuk ayat Al Qur’an yang
baca”. Kata-kata Aisyah “lima susuan ini termasuk ayat Qur’an yang
dibaca”, pada lahirnya menunjukkan bahwa tilawahnya masih tetap,
tetapi tidak demikian halnya, karena ia tidak terdapat dalam mushaf
Usmani. Kesimpulan demikian dijawab, bahwa yang dimaksud
dengan perkataan Aisyah tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat.
Yang jelas bahwa tilawahnya itu telah dinasakh (dihapuskan) tetapi
penghapusan ini tidak sampai kepada semua orang kecuali sesudah
Rasulullah wafat. Oleh karena itu ketika beliau wafat, sebagian orang
masih tetap membacanya.
c. Nasakh Tilawah sedang Hukumnya Tetap
15
Menurut sebagian besar ulama bentuk ini juga tidak terdapat
dalam Al Qur’an, tetapi terdapat antar kitab-kitab suci terdahulu.
Dalam fiqih ada istilah yang disebut”Syar’un man qablana”yaitu
syari’at orang-orang sebelum kita. Hukum syari’at itu masih kita
lakukan hingga sekarang, seperti kewajiban khitan bagi anak laki-laki
sebelum usia balig. Tetapi ayat yang mewajibkan khitan pada kitab-
kitab suci terdahulu sudah tidak perlu kita baca lagi.
Tetapi ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa
nasakh tilawah tetapi hukumnya tidak dinasakh ada juga dalam Al
Qur’an, yaitu tentang hukum rajam, ayat yang telah dinasakh dan kini
tidak terdapat dalam Al Qur’an, yaitu; “Orang tua laki-laki dan
perempuan apabila keduanya berzina maka hendaknya dirajam kedua
orang tersebut dengan pasti sebagai siksaan dari Allah, dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.23
5. Pendapat Ulama Tentang Nasakh
a. Menerima Adanya Nasakh
Ulama-ulama yang menerima adanya nasakh berpendapat,
nasakh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi
dalam hukum-hukum syara’. Berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut;
(1) perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Allah
bisa saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya
pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui
kepentingan hamba-hamba-Nya. (2) Nash-nash kitab dan sunnah
menunjukkan kebolehan nasakh dan terjadinya.
Abd al Wahhab al Khallab berpendapat sebagaimana
dikutip Nashruddin Baidan dalam bukunya Wawasan baru ilmu
tafsir, bahwa memang terdapat nasakh sebelum Rasul wafat.
Namun setelah wafat beliau tidak ada lagi nasakh.24 Menurut Abdul
Azim al Zarqani sebagaimana dikutip M Quraish Shihab bahwa para
23 Ibid, hal. 262-26424 Nashruddin Baidan, Wawasan baru ilmu tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
hal. 176
16
pendukung nasakh mengakui bahwa nasakh baru dilakukan apabila;
(a) terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak
dapat dikompromikan. (b) Harus diketahui secara meyakinkan
perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu
ditetapkan sebagai mansukh dan yang kemudian sebagai nasikh.25
Termasuk ulama-ulama yang menerima adanya nasakh adalah Al
Suyuthi dan Imam Syafi’I.
b. Menolak Adanya Nasakh
Diantara yang menolak adanya nasakh adalah Abu Muslim al
Isfahani. Kemudian diikuti oleh para ulama mutaakhirin. Diantara
alasan mereka adalah; (1) sekiranya dalam Al Qur’an ada nasakh,
maka berarti dalam Al Qur’an ada yang salah atau batal. Sedang dalam
Al Qur’an dinyatakan tidak ada kebatalan (QS.41:42). (2) Dalil yang
dijadikan alasan nasakh perlu peninjauan lebih lanjut. Kosakata”ayat”
tidak hanya berarti ayat Al Qur’an tetapi dapat berarti mu’jizat, dapat
juga berarti kitab sebelum Al Qur’an (Taurat, Zabur, dan Injil)
disamping itu kata nasakh mempunyai arti bermacam-macam. Maka
lafal dalam ayat 106 Surah Al Baqarah dapat diartikan “kami
menukilkan” atau “Kami memindahkan” ayat Al Qur’an dari Lauh
Mahfuzh ke langit dunia. (3) Tidak ada kesepakatan para ulama berapa
jumlah ayat yang telah dinasakh. (4) Tidak ada penegasan dari Nabi
tentang ada atau tidaknya nasakh. (5) Adanya ayat yang nampaknya
bertentangan dan yang mungkin belum dapat dikompromikan, belum
bisa menjadi jaminan adanya nasakh. Ternyata banyak ayat yang
semula diduga telah dinasikh-kan, dapat dikompromikan dengan jalan
takhsikh, atau taqyid atau ta’wil atau dengan cara lain. Nasr Hamid
Abu Zaid berpendapat dalam bukunya Tekstualitas Al Qur’an; kritik
terhadap ulumul Qur’an, bahwa fenomena nasakh yang keberadaannya
diakui oleh ulama menimbulkan problema yaitu bagaimana
25 M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an, op cit hal. 146
17
mengkompromikan antara fenomena ini dengan konsekuensi yang
ditimbulkannya bahwa teks mengalami perubahan melalui nasakh,
dengan keyakinan umum bahwa teks sudah ada sejak azali di Lauh
Mahfuzh ?26
6. Hikmah Adanya Nasikh Mansukh
Adanya nasikh mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya
Al Qur’an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya kitab
suci Al Qur’an tidak terjadi sekaligus, tetapi berangsur-angsur dalam
waktu 20 tahun lebih. Sesungguhnya Al Khalik Yang Maha Suci lagi
Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam peroses
tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan
perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu pada awalnya
bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti oleh Allah dengan
yang lain, sehingga bersifat universal.
Adapun hikmah dibalik adanya naskh Al Qur’an secara
diantaranya : 27
a. memelihara kepentingan hamba dan kemaslahatan hamba.
b. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan
perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
c. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
d. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh
itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat
tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan, maka ia
mengandung kemudahan dan keringanan.
Terkait dengan adanya nasikh mansukh ini, Muhammad Ghufron
dan Rahmawati menambahkan bahwa hikmah adanya nasikh mansukh
diantaranya :28
26 Nashruddin Baidan, Wawasan baru ilmu tafsir, op cit h 178-18027 Nur Efendi dan Muhammad Fathurrohman, Studi Al Qur’an,(Yogyakarta:Teras, cet.1,
2014), hal. 252.28 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Qur’an,(Yogyakarta:Teras, cet.1, 2013),
hal. 72
18
a. Menunjukkan bahwa syariat Islam yang diajarkan Rasulullah Saw
adalah syariat yang paling sempurna, yang telah menghapus syariat-
syariat dari agama sebelumnya. Karena syariat Islam telah mencakup
ajaran-ajaran sebelumnya.
b. Untuk kemaslahatan umat Islam.
c. Untuk menguji umat Islam dengan perubahan hukum, apakah dengan
perubahan ini mereka masih taat atau sebaliknya.
7. Ayat-ayat Nasikh dan Mansukh
Di antara ayat-ayat yang dinyatakan nasikh dan mansukh yaitu :
NO Mansukh Nasikh Masalah
1 Al-Baqarah: 115 Al-Baqarah: 144 Kiblat Shalat
2 Al-Baqarah: 178 Al-Maidah: 45
Dan Al-Isra’: 33
Qishash dan hukum
pembebasan
3 Al-Baqarah: 183 Al-Baqarah 187 Puasa Ramadhan
4 Al-Baqarah: 184 Al-Baqarah: 185 Fidyah atau menebus
puasa
5 Al-Baqarah: 191 Al-Baqarah: 91 Membunh musush di
Masjidil Haram
6 Al-Baqarah: 217 At-Taubah: 5 dan
36
Berperang di jalan
Allah pada bulan suci
7 Al-Baqarah: 240 Al-Baqarah: 234 ‘Iddah janda (ditinggal
mati suami)
8 Ali-‘Imran: 102 Al-Taghabun: 16 Taqwa kepada Allah
9 Al-Nisa’: 8 Al-Nisa’: 11 Bagian warisan
10 Al-Nisa’: 15-16 Al-Nur: 2 Hukum berzina (laki-
laki/perempuan)
11 Al-Nisa’: 88 Al-Nisa’: 89 dan
Al-taubah: 5
Jihad dan memerangi
orang kafir
12 Al-maidah: 106 Al-Thalaq: 2 Saksi
13 Al-Anfal: 65 Al-Anfal: 66 Memerangi orang kafir
19
14 Al-Taubah: 39 Al-Taubah: 122 Berperang dengan
orang kafir
15 Al-Nur: 3 Al-Nur: 32 Perkawinan di antara
pelaku zina
16 Al-Nur: 4 Al-Nur: 6 Menuduh perempuan
berzina tanpa saksi
17 Al-Nur: 58 Al-Nur: 59 Izin anak untk masuk
kamar orang tua
18 Al-Ahzab: 52 Al-Ahzab: 50 Istri-istri Nabi
Muhammad SAW
19 Al-Mujadilah: 12 Al-Mujadilah: 13 Bersedekah pada
Rasulullah sebelum
mengadakan
pembicaraan
20 Al-Mumtahanah:
11
Al-Taubah: 1 Memberikan harta
rampasan pada orang
kafir untuk mengawini
istrinya
21 Al-Muzammil: 1,2 Al-Muzammil: 20 Shalat malam
C. Penutup
Nasakh ialah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan
dalil syara’. Nasikh ialah dalil syara’ yang menghapus atau mengangkat suatu
hukum, dan mansukh ialah hukum syara’ yang telah dihapus atau diganti.
Nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan
dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita
(khabar) yang bermakna ‘amar (perintah) atau nahyi (larangan), tidak ada
nasakh ayat tentang persoalan akidah, zat Allah, sifat-sifat Allah, kitab-kitab-
Nya, para rasul-Nya dan hari kemudian, etika dan akhlak atau dengan pokok-
pokok ibadah dan muamalah.
20
Para ulama berbeda pendapat tentang ada tidaknya nasikh mansukh
dalam Al Qur’an. Sedangkan hadis yang dinasakh oleh ayat Al Qur’an jumhur
ulama mengakui adanya hal tersebut. Dan ayat Al Qur’an yang dinasakh oleh
hadis para ulama sepakat hal tersebut tidak ada.
DAFTAR PUSTAKA
21
Al Qur’an dan Terjemahnya;Tafsir Al Qur’anul Karim(Medinah Munawwarah: Mujamma Khadim Al Haramain Asy Syarifain al Malik Fahd li thiba’at al Mush-haf asy Syarif, 1411 H).
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi).
Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, terj. Mudzakir AS, Studi Ilmu- Ilmu Qur’an (Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2011).
M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007)
M. Quraish Shihab Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan Pustaka, 1994).
Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Teras, 2013).
Nashruddin Baidan, Wawasan baru ilmu tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
Nur Efendi dan Muhammad Fathurrohman, Studi Al Qur’an (Yogyakarta:Teras, cet.1, 2014).
Syaikh Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an,terj H. Aunur Rafiq El-Mazni (Jakarta: Pustaka Al Kautsar).
Usman, Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Teras, 2009).
MAKALAH
NASIKH DAN AL MANSUKH
22
oleh :
HIDAYATUL MUFIDAH (NIM. 1423402071)
LUTFI WIDAD (NIM. 1423402075)
SITI MUKHLISOH (NIM.1423402082)
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur
Mata Kuliah Studi Al Qur’an Hadits
Dosen Pengampu Dr. Hj. Naqiyah, M.Ag
PROGRAM PASCA SARJANA
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM (MPI)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PURWOKERTO
2015
23