Makalah Mitigasi Bencana Berbasis Masyarakat

download Makalah Mitigasi Bencana Berbasis Masyarakat

of 21

Transcript of Makalah Mitigasi Bencana Berbasis Masyarakat

  • RESUME

    MITIGASI BENCANA KEBAKARAN

    BERBASIS MASYARAKAT

    Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas terstruktur matakuliah Sistem Peringatan Dini

    Dosen Pengampu : Adi Susilo, Ph.D.

    Oleh :

    Bella Dinna Safitri / 115090700111002

    Jurusan Fisika Fakultas MIPA

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG

    2014

  • 1

    DAFTAR ISI

    DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 1

    Bab I ........................................................................................................................................... 2

    Pendahuluan ............................................................................................................................... 2

    1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 2

    1.2 Tujuan .............................................................................................................................. 2

    Bab II ......................................................................................................................................... 3

    Tinjauan Pustaka ........................................................................................................................ 3

    2.1 Bencana Kebakaran .......................................................................................................... 3

    2.2 Mitigasi Bencana Kebakaran ........................................................................................... 4

    2.3 Kearifan Lokal dalam Menghadapi Bencana Kebakaran .............................................. 15

    Bab III ...................................................................................................................................... 19

    Penutup .................................................................................................................................... 19

    3.1 Kesimpulan .................................................................................................................... 19

    3.2 Saran .............................................................................................................................. 19

    Daftar Pustaka .......................................................................................................................... 20

  • 2

    Bab I

    Pendahuluan

    1.1 Latar Belakang

    Pada beberapa dekade ini, istilah dan fenomena alam yang berkaitan dengan ancaman

    bencana seperti tsunami, erupsi, gempa tektonik, gempa vulkanik, gempa tremor, gempa

    multifase, awan panas, lahar panas, lahar dingin, kubah lava, abu vulkanik, semakin

    familier dikenal masyarakat. Itulah pembelajaran yang diterima masyarakat. Masyarakat

    menjadi akrab dengan lingkungan alam dan fenomena atau gejalanya. Gejala alam yang

    berupa bencana alam tidak perlu disikapi negatif, tetapi hendaknya hendaknya disikapi

    positif. Gejala-gejala alam tersebut patutlah diterima dengan akal sehat, rasional, tidak perlu

    mengaitkan dengan hal yang mistik, yang irasional dari sisi pemikiran ilmiah.

    Salah satu bencana yang sering terjadi di Indonesia adalah kebakaran, terutama

    kebakaran hutan. Hal yang perlu dilakukan oleh masyarakat adalah bagaimana dapat

    mencegah agar berbagai fenomena alam itu tidak atau kurang mengganggu kenyamanan

    hidup manusia. Untuk itu perlu dilakukan adanya pembenahan komunikasi antara

    Pemerintah dan masyarakat untuk melakukan sistem mitigasi berbasis masyarakat, sehingga

    nilai-nilai kearifan lokal pada daerah dapat mendukung upaya meminimalisir kerugian akibat

    bencana.

    1.2 Tujuan

    Makalah ini disusun untuk memberikan wawasan mengenai upaya mitigasi bencana,

    terutama bencana kebakaran dengan meningkatkan peran masyarakat dalam membantu

    Pemerintah menurunkan dampak bencana.

  • 3

    Bab II

    Tinjauan Pustaka

    2.1 Bencana Kebakaran

    Kebakaran adalah bahaya yang diakibatkan oleh adanya ancaman potensial dan derajat

    terkena pancaran api sejak dari awal terjadi kebakaran hingga penjalaran api, asap dan gas

    yang ditimbulkan. Kebakaran muncul akibat suatu nyala api, baik kecil atau besar pada

    tempat yang tidak dikehendaki, merugikan pada umumnya sukar dikendalikan (Perda DKI,

    1992).

    Klasifikasi kebakaran adalah penggolongan atau pembagian atas kebakaran berdasarkan

    pada jenis benda / bahan yang terbakar. Dengan adanya klasifikasi kebakaran tersebut

    diharapkan akan lebih mudah atau lebih cepat dan lebih tepat mengadakan pemilihan media

    pemadaman yang akan dipergunakan untuk melaksanakan pemadaman (Perda DKI, 1992).

    Menurut Perda DKI (1992) klasifikasi kebakaran sesuai dengan bahan bakar yang terbakar

    dan bahan pemadaman untuk masing masing kelas yaitu:

    a. Kelas A

    Termasuk dalam kelas ini adalah kebakaran pada bahan yang mudah terbakar biasa,

    misalnya : kertas, kayu, maupun plastik. Cara mengatasinya yaitu bisa dengan

    menggunakan ait untuk menurunkan suhunya sampai di bawah titik penyulutan, serbuk

    kering untuk mematikan proses pembakaran atau menggunakan halogen untuk

    memutuskan reaksi berantai kebakaran.

    b. Kelas B

    Kebakaran pada kelas ini adalah yang melibatkan bahan seperti cairan combustible

    dengan cairan flammable, seperti bensin, minyak tanah, dan bahan serupa lainnya. Cara

    mengatasinya dengan bahan foam.

    c. Kelas C

    Kebakaran yang disebabkan oleh listrik yang bertegangan untuk mengatasinya, yaitu

    dengan menggunakan bahan pemadaman kebakaran non kondusif agar terhindar dari

    sengatan listrik.

    d. Kelas D

    Kebakaran pada bahan logam yang mudah terbakar seperti titanium, alumunium,

  • 4

    magnesium, dan kalium. Cara mengatasinya yaitu powder khusus kelas ini.

    Kebakaran dapat menimbulkan kerugian. Kerugian akibat kebakaran menurut Depnaker

    ILO, (1980) meliputi :

    a. Asap,

    b. Gas beracun,

    c. Kekurangan oksigen,

    d. Panas, dan

    e. Terbakar.

    Menurut Depnaker UNDP ILO, (1987) menyebutkan kerugian akibat kebakaran dan

    segala akibat yang ditimbulkan disebabkan adanya ketimpangan sebagai berikut :

    a. Tidak adanya sarana deteksi / alarm,

    b. Sistim deteksi /alarm tidak berfungsi,

    c. Alat pemadam Api tidak sesuai / tidak memadai,

    d. Alat pemadam Api tidak berfungsi,

    e. Sarana evakuasi tidak tersedia, dan

    f. Dan banyak faktor lain seperti manajemen K3, program inpeksi, dan pemeliharaan.

    2.2 Mitigasi Bencana Kebakaran

    Langkah-langkah pengurangan Risiko bencana dipahami sebagai pengembangan dan

    penerapan secara luas dari kebijakan-kebijakan, strategi-strategi dan praktek-praktek untuk

    meminimalkan kerentanan dan risiko bencana di masyarakat yang berbasis masyarakat.

    Upaya mengurangi risiko bencana dilakukan melalui tiga langkah, yaitu :

    1. Pencegahan

    Pencegahan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk

    menghilangkan dan atau mengurangi ancaman bencana. Sebagai contoh, untuk mencegah

    terjadinya kebakaran dilakukan tindakan pemasangan instalasi listrik yang benar,

    pemilihan bahan bangunan yang tidak mudah terbakar, jangan menempatkan bahan yang

    mudah terbakar di dekat sumber dan sebagainya,

    2. Mitigasi

    Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui

    pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi

    ancaman bencana.Tindakan mitigasi disebut sebagai tindakan struktural dan non

  • 5

    struktural. Tindakan mitigasi yang bersifat struktural contohnya adalah pemasangan

    instalasi listrik oleh orang yang profesional, bahan bangunan yang tidak mudah terbakar

    seperti kerangka baja ringan untuk kap rumah. Tindakan mitigasi yang bersifat non

    struktural misalnya pelatihan untuk membangun kepedulian masyarakat terhadap bahaya

    yang dihadapi, pelatihan dan pengorganisasian sukarelawan bagi kegiatan bencana

    kebakaran.

    Tujuan pokok dari tindakan mitigasi adalah :

    a. Mengurangi ancaman

    Sebagian bencana tidak dapat dicegah agar tidak terjadi, tetapi ancamannya

    dapat dikurangi. Misalnya: struktur bangunan yang tahan api.

    b. Mengurangi kerentanan

    Berbagai faktor seperti factor fisik, social, ekonomi maupun kondisi geografis

    dapat menurunkan kemampuan masyarakat untuk mempersiapkan diri maupun

    menanggulangi dampak akibat bahaya kebakaran. Hal terpenting dalam kegiatan

    pengelolaan risiko bencana kebakaran adalah menurunkan kerentanan sehingga

    masyarakat menjadi tahan terhadap bencana kebakaran.

    c. Meningkatkan kapasitas

    Kapasitas merupakan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana pada

    semua tahapannya, melalui berbagai sistem yang dikembangkannya. Contoh

    peningkatan kapasitas adalah dalam menghadapi kebakaran yang bersifat musiman,

    kelompok masyarakat memiliki posko kebakaran yang akan siap setiap kebakaran

    terjadi. Peningkatan kapasitas juga bisa dilakukan dengan meningkatkan penyediaan

    sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran, pelatihan tanggap darurat, dan

    sebagainya.

    3. Kesiapsiagaan

    Kesiapsiagaan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mengantisipasi

    bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya

    guna. Sebagai contoh: membangun system peringatan dini, penyiapan jalur evakuasi bila

    terjadi bencana, latihan simulasi bencana. Kesiapsiagaan diri, keluarga dan sekolah akan

    sangat membantu dalam mengurangi dampak bencana, baik kerugian harta maupun

    korban jiwa,

  • 6

    Kesiapsiagaan dimulai dengan langkah-langkah sebagai berikut:

    a. Memahami potensi ancaman yang ada di daerah masing-masing

    b. Memahami penyebab atau tanda-tanda akan terjadinya bencana, dan

    c. Memahami apa yang harus dipersiapkan dan yang harus dilakukan baik sebelum,

    saat dan sesudah bencana.

    Tingkat kerentanan perkotaan di Indonesia adalah suatu hal yang sangat penting

    untuk diketahui sebagai salah satu hal yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana

    alam. Tingkat kerentanan kota-kota besar di Indonesia dapat ditinjau dari kerentanan

    fisik , sosial kependudukan, dan ekonomi.

    Kerentanan fisik menggambarkan tingkat kerusakan terhadap fisik bila ada faktor

    berbahaya tertentu. Melihat dari berbagai faktor seperti persentase kawasan terbanguin,

    kepadatan bangunan, persentase bangunan konstruksi darurat, jaringan listrik, rasio

    panjang jalan, jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM, jaringan rel KA, maka

    perkotaan di Indonesia dapat dikatakan berada pada kondisi yang sangat rentan karena

    persentase di antara unsur-unsur tersebut sangat rendah.

    Kerentanan sosial menunjukkan tingkat kerentanan terhadap keselamatan

    jiwa/kesehatan penduduk apabila ada bahaya. Dari beberapa indikator antara lain

    kepadatan pendusuk, laju pertumbuhan penduudk, persentase penduduk usia tua-balita

    dan penduduk wanita, maka kota-kota besar di Indonesia memiliki kerentanan sosial

    yang sangat tinggi. Belum lagi jika kita melihat kondisi sosial saat ini yang semakin

    rentan terhadap bncana non-alam, seperti rentannya kondisi sosial masyarakat terhadap

    kerusuhan, tingginya angka pengangguran, instabilitas politik, dan tekanan ekonomi.

    Kerentanan ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atau rusaknya kegiatan

    ekonomi (proses ekonomi) yang terjadi bila ada ancaman bahaya. Indikator yang dapat

    kita lihat menunjukkan tingkat kerentanan ini misalnya persentase rumah tangga yang

    bekerja pada sektor rentan (jasa dan distribusi) dan persentase rumah tangga miskin.

    Beberapa kerentana fisik, sosial, dan ekonomi tersebut di atas`menunjukkan bahwa

    kota-kota besar di Indonesia memiliki kerentanan yang tinggi, sehingga hal ini

    menyebabkan tingginya risiko terjadi bencana. Tingginya risiko kebakaran gedung dan

    pemukinan pada berbagai fungsi atau penggunaan bangunan dapat dinyatakan dengan

    analisis sebagai berikut :

  • 7

    a. Adanya risiko kebakaran karena hadirnya faktor-faktor penyebab kebakarana di

    setiap tempat dalam kehidupan sehari-hari, seperti: listrik dan peralatan rumah

    tangga yang menggunakan listrik, kompor (gas atau listrik), lampu tempel/lilin,

    rokok, obat nyamuk bakar, membakar sampah, dan kembang api/petasan. Kondisi

    ini apabila dipicu oleh tindakan yang salah atau lalai dapat memunculkan terjadinya

    kebakaran,

    b. Ketiadaan sarana pemadan kebakaran pada suatu lingkungan atau bangunan. Atau

    kurang terawatnya sarana peringatan dini (sistem alarm kebakaran) dan sarana

    pemadam kebakaran; sehingga dalam banyak kasus ditemukan berbagai sarana

    pemadaman kebakaran yang tidak berfungsi. Kondisi ini secara jelas berperan

    mengurangi atau melemahkan kemampuan suatu lingkungan atau bangunan gedung

    dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran apabila suatu saat terjadi, dan

    c. Perilaku orang-orang pada suatu lingkungan atau yang menghuni bangunan yang

    cenderung ceroboh/lalai, rendahnya kesadaran menjaga lingkungan, kurang

    pengetahuan tentang bahaya api, pembiaran terhadap anak-anak yang bermain api,

    keterpaksaaan karena keterbatasan ekonomi serta vandalisme. Kesemuanya ini

    merupakan faktor yang ikut menyumbangkan tingkat kerawanan terhadap kebakaran

    pada suatu bangunan atau lingkungan.

    Upaya pengurangan risiko kebakaran di lingkungan sekolah dapat dilakukan melalui

    tindakan-tindakan sebagai berikut :

    a. Melengkapi bangunan sekolah dengan sarana proteksi kebakaran dan sarana jalan

    keluar/penyelamatan jiwa,

    b. Memberikan penyuluhan atau pelatihan pencegahan dan penanggulangan kebakaran

    kepada kepala sekolah, guru, dan tenaga pendidikan,

    c. Memberikan materi pembelajaran pengurangan risiko, termasuk risiko kebakaran

    kepada siswa, dan

    d. Menyediakan panduan/prosedur tetap untuk menghadapi bencana.

    Salah satu bencana kebakaran yang paling sering melanda Indonesia adalah bencana

    kebakaran hutan. Kebakaran hutan yang cukup besar seperti yang terjadi pada tahun

    1997/98 menimbulkan dampak yang sangat luas disamping kerugian material kayu, non

    kayu dan hewan. Dampak negatif yang sampai menjadi isu global adalah asap dari hasil

  • 8

    pembakaran yang telah melintasi batas negara. Sisa pembakaran selain menimbulkan kabut

    juga mencemari udara dan meningkatkan gas rumah kaca.

    Asap tebal dari kebakaran hutan berdampak negatif karena dapat mengganggu

    kesehatan masyarakat terutama gangguan saluran pernapasan. Selain itu asap tebal juga

    mengganggu transportasi khususnya transportasi udara disamping transportasi darat,

    sungai, danau, dan laut. Pada saat kebakaran hutan yang cukup besar banyak kasus

    penerbangan terpaksa ditunda atau dibatalkan. Sementara pada transportasi darat,

    sungai, danau dan laut terjadi beberapa kasus tabrakan atau kecelakaan yang

    menyebabkan hilangnya nyawa dan harta benda.

    Kerugian karena terganggunya kesehatan masyarakat, penundaan atau pembatalan

    penerbangan, dan kecelakaan transportasi di darat, dan di air memang tidak bisa

    diperhitungkan secara tepat, tetapi dapat dipastikan cukup besar membebani masyarakat

    dan pelaku bisnis. Dampak kebakaran hutan Indonesia berupa asap tersebut telah melintasi

    batas negara terutama Singapura, Brunai Darussalam, Malaysia dan Thailand.

    Dampak lainnya adalah kerusakan hutan setelah terjadi kebakaran dan hilangnya

    margasatwa. Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya

    mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh- tumbuhan menyebabkan lahan terbuka,

    sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena itu setelah hutan

    terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang

    hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit diperhitungkan.

    Analisis dampak kebakaran hutan masih dalam tahap pengembangan awal,

    pengetahuan tentang ekosistem yang rumit belum berkembang dengan baik dan

    informasi berupa ambang kritis perubahan ekologis berkaitan dengan kebakaran sangat

    terbatas, sehingga dampak kebakaran hutan sulit diperhitungkan secara tepat. Meskipun

    demikian, berdasarkan perhitungan kasar yang telah diuraikan diatas dapat

    disimpulkan bahwa kebakaran hutan menimbulkan dampak yang cukup besar bagi

    masyarakat sekitarnya, bahkan dampak tersebut sampai ke negara tetangga.

    Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan

    Sejak kebakaran hutan yang cukup besar yang terjadi pada tahun 1982/83 yang

    kemudian diikuti rentetan kebakaran hutan beberapa tahun berikutnya, sebenarnya telah

  • 9

    dilaksanakan beberapa langkah, baik bersifat antisipatif (pencegahan) maupun

    penanggulangannya.

    Upaya Pencegahan

    Upaya yang telah dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan dilakukan

    antara lain (Soemarsono, 1997) :

    a. Memantapkan kelembagaan dengan membentuk Sub Direktorat Kebakaran

    Hutan dan Lembaga non struktural berupa Pusdalkarhutnas, Pusdalkarhutda dan

    Satlak serta Brigade-brigade pemadam kebakaran hutan di masing-masing HPH dan

    HTI;

    b. Melengkapi perangkat lunak berupa pedoman dan petunjuk teknis pencegahan

    dan penanggulangan kebakaran hutan;

    c. Melengkapi perangkat keras berupa peralatan pencegah dan pemadam

    kebakaran hutan;

    d. Melakukan pelatihan pengendalian kebakaran hutan bagi aparat pemerintah,

    tenaga BUMN dan perusahaan kehutanan serta masyarakat sekitar hutan;

    e. Kampanye dan penyuluhan melalui berbagai Apel Siaga pengendalian

    kebakaran hutan;

    f. Pemberian pembekalan kepada pengusaha (HPH, HTI, perkebunan dan

    Transmigrasi), Kanwil Dephut, dan jajaran Pemda oleh Menteri Kehutanan dan

    Menteri Negara Lingkungan Hidup; dan

    g. Dalam setiap persetujuan pelepasan kawasan hutan bagi pembangunan

    non kehutanan, selalu disyaratkan pembukaan hutan tanpa bakar.

    Tindakan Preventif Pencegahan Kebakaran Hutan

    Gambar. Kebakaran hutan

  • 10

    Upaya untuk menangani kebakaran hutan ada dua macam, yaitu penanganan

    yang bersifat represif dan penanganan yang bersifat preventif. Penanganan kebakaran

    hutan yang bersifat represif adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk

    mengatasi kebakaran hutan setelah kebakaran hutan itu terjadi. Penanganan jenis ini,

    contohnya adalah pemadaman, proses peradilan bagi pihak-pihak yang diduga terkait

    dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan lain-lain.

    Sementara itu, penanganan yang bersifat preventif adalah setiap usaha, tindakan atau

    kegiatan yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau mengurangi kemungkinan

    terjadinya kebakaran hutan. Jadi penanganan yang bersifat preventif ini ada dan

    dilaksanakan sebelum kebakaran terjadi. Selama ini, penanganan yang dilakukan

    pemerintah dalam kasus kebakaran hutan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja,

    lebih banyak didominasi oleh penanganan yang sifatnya represif. Berdasarkan data

    yang ada, penanganan yang sifatnya represif ini tidak efektif dalam mengatasi kebakaran

    hutan di Indonesia.

    Hal ini terbukti dari kebakaran hutan yang terjadi secara terus menerus. Sebagai

    contoh : pada bulan Juli 1997 terjadi kasus kebakaran hutan. Upaya pemadaman sudah

    dijalankan, namun karena banyaknya kendala, penanganan menjadi lambat dan efek yang

    muncul (seperti : kabut asap) sudah sampai ke Singapura dan Malaysia. Sejumlah pihak

    didakwa sebagai pelaku telah diproses, meskipun hukuman yang dijatuhkan tidak

    membuat mereka jera. Ketidakefektifan penanganan ini juga terlihat dari masih terus

    terjadinya kebakaran di hutan Indonesia, bahkan pada tahun 2008.

    Oleh karena itu, berbagai ketidakefektifan perlu dikaji ulang sehingga bisa

    menghasilkan upaya pengendalian kebakaran hutan yang efektif.

    Upaya Preventif Pencegahan Kebakaran Hutan menurut UU No 45

    Tahun 2004, pencegahan kebakaran hutan perlu dilakukan secara terpadu dari tingkat

    pusat, provinsi, daerah, sampai unit kesatuan pengelolaan hutan. Ada kesamaan bentuk

    pencegahan yang dilakukan diberbagai tingkat itu, yaitu penanggungjawab di setiap

    tingkat harus mengupayakan terbentuknya fungsi-fungsi berikut ini :

  • 11

    1. Mapping : pembuatan peta kerawanan hutan di wilayah teritorialnya masing-masing.

    Fungsi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, namun yang lazim digunakan adalah

    3 cara berikut:

    a. Pemetaan daerah rawan yang dibuat berdasarkan hasil olah data dari masa lalu

    maupun hasil prediksi,

    b. Pemetaan daerah rawan yang dibuat seiring dengan adanya survai desa

    (Partisipatory Rural Appraisal), dan

    c. Pemataan daerah rawan dengan menggunakan Global Positioning System atau

    citra satelit.

    2. Informasi : penyediaan sistem informasi kebakaran hutan.

    Hal ini bisa dilakukan dengan pembuatan sistem deteksi dini (early warning

    system) di setiap tingkat. Deteksi dini dapat dilaksanakan dengan cara berikut :

    a. Analisis kondisi ekologis, sosial, dan ekonomi suatu wilayah dan

    b. Pengolahan data hasil pengintaian petugas.

    3. Sosialisasi : pengadaan penyuluhan, pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat.

    Penyuluhan dimaksudkan agar menginformasikan kepada masyarakat di setiap

    wilayah mengenai bahaya dan dampak, serta peran aktivitas manusia yang seringkali

    memicu dan menyebabkan kebakaran hutan. Penyuluhan juga bisa menginformasikan

    kepada masyarakat mengenai daerah mana saja yang rawan terhadap kebakaran dan

    upaya pencegahannya.

    Pembinaan merupakan kegiatan yang mengajak masyarakat untuk dapat

    meminimalkan intensitas terjadinya kebakaran hutan. Sementara, pelatihan bertujuan

    untuk mempersiapkan masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar wilayah rawan

    kebakaran hutan,untuk melakukan tindakan awal dalam merespon kebakaran hutan.

    4. Standarisasi : pembuatan dan penggunaan SOP (Standard Operating Procedure)

    Untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan program pencegahan kebakaran

    hutan maupun efektivitas dalam penanganan kebakaran hutan, diperlukan standar

    yang baku dalam berbagai hal berikut :

    a. Metode pelaporan

    Untuk menjamin adanya konsistensi dan keberlanjutan data yang masuk,

    khususnya data yang berkaitan dengan kebakaran hutan, harus diterapkan sistem

  • 12

    pelaporan yang sederhana dan mudah dimengerti masyarakat. Ketika data yang

    masuk sudah lancar, diperlukan analisis yang tepat sehingga bisa dijadikan

    sebuah dasar untuk kebijakan yang tepat.

    b. Peralatan

    Standar minimal peralatan yang harus dimiliki oleh setiap daerah harus bisa

    diterapkan oleh pemerintah, meskipun standar ini bisa disesuaikan kembali

    sehubungan dengan potensi terjadinya kebakaran hutan, fasilitas pendukung, dan

    sumber daya manusia yang tersedia di daerah, dan

    c. Metode Pelatihan untuk Penanganan Kebakaran Hutan

    Standarisasi ini perlu dilakukan untuk membentuk petugas penanganan

    kebakaran yang efisien dan efektif dalam mencegah maupun menangani

    kebakaran hutan yang terjadi. Adanya standarisasi ini akan memudahkan petugas

    penanganan kebakaran untuk segera mengambil inisiatif yang tepat dan jelas

    ketika terjadi kasus kebakaran hutan.

    5. Supervisi : pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang berkaitan

    langsung dengan hutan.

    Pemantauan adalah kegiatan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya

    perusakan lingkungan, sedangkan pengawasan adalah tindak lanjut dari hasil analisis

    pemantauan. Jadi, pemantauan berkaitan langsung dengan penyediaan data, kemudian

    pengawasan merupakan respon dari hasil olah data tersebut. Pemantauan, menurut

    kementerian lingkungan hidup, dibagi menjadi empat, yaitu :

    a. Pemantauan terbuka

    Pemantauan dengan cara mengamati langsung objek yang diamati. Contoh :

    patroli hutan

    b. Pemantauan tertutup (intelejen)

    Pemantauan yang dilakukan dengan cara penyelidikan yang hanya diketahui

    oleh aparat tertentu.

    c. Pemantauan pasif

    Pemantauan yang dilakukan berdasarkan dokumen, laporan, dan keterangan

    dari data-data sekunder, termasuk laporan pemantauan tertutup.

    d. Pemantauan aktif

  • 13

    Pemantauan dengan cara memeriksa langsung dan menghimpun data di lapangan

    secara primer. Contohnya : melakukan survei ke daerah- daerah rawan kebakaran

    hutan.

    Sedangkan, pengawasan dapat dilihat melalui 2 pendekatan, yaitu :

    a. Preventif : kegiatan pengawasan untuk pencegahan sebelum terjadinya

    perusakan lingkungan (pembakaran hutan). Contohnya : pengawasan untuk

    menentukan status ketika akan terjadi kebakaran hutan.

    b. Represif : kegiatan pengawasan yang bertujuan untuk menanggulangi

    perusakan yang sedang terjadi atau telah terjadi serta akibat-akibatnya sesudah

    terjadinya kerusakan lingkungan.

    Untuk mendukung keberhasilan, upaya pencegahan yang sudah dikemukakan

    diatas, diperlukan berbagai pengembangan fasilitas pendukung yang meliputi :

    a. Pengembangan dan sosialisasi hasil pemetaan kawasan rawan kebakaran hutan.

    Hasil pemetaan sebisa mungkin dibuat sampai sedetail mungkin dan

    disebarkan pada berbagai instansi terkait sehingga bisa digunakan sebagai

    pedoman kegiatan institusi yang berkepentingan di setiap unit kawasan atau

    daerah.

    b. Pengembangan organisasi penyelenggara Pencegahan Kebakaran Hutan.

    Pencegahan Kebakaran Hutan perlu dilakukan secara terpadu antar

    sektor, tingkatan dan daerah. Peran serta masyarakat menjadi kunci dari

    keberhasilan upaya pencegahan ini. Sementara itu, aparatur pemerintah, militer

    dan kepolisian, serta kalangan swasta perlu menyediakan fasilitas yang memadai

    untuk memungkinkan terselenggaranya Pencegahan Kebakaran Hutan secara

    efisien dan efektif.

    c. Pengembangan sistem komunikasi.

    Sistem komunikasi perlu dikembangkan seoptimal mungkin sehingga

    koordinasi antar tingkatan (daerah sampai pusat) maupun antar daerah bisa

    berjalan cepat. Hal ini akan mendukung kelancaran early warning system,

    transfer data, dan sosialisasi kebijakan yang berkaitan dengan kebakaran hutan.

    Upaya Penanggulangan

  • 14

    Disamping melakukan pencegahan, pemerintah juga melakukan penanggulangan

    melalui berbagai kegiatan antara lain (Soemarsono, 1997) :

    a. Memberdayakan posko-posko kebakaran hutan di semua tingkat, serta melakukan

    pembinaan mengenai hal-hal yang harus dilakukan selama siaga I dan II,

    b. Mobilitas semua sumberdaya (manusia, peralatan & dana) di semua tingkatan, baik

    di jajaran Departemen Kehutanan maupun instansi lainnya, maupun perusahaan-

    perusahaan,

    c. Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di tingkat pusat melalui

    PUSDALKARHUTNAS dan di tingkat daerah melalui PUSDALKARHUTDA Tk I

    dan SATLAK kebakaran hutan dan lahan, dan

    d. Meminta bantuan luar negeri untuk memadamkan kebakaran antara lain: pasukan

    BOMBA dari Malaysia untuk kebakaran di Riau, Jambi, Sumsel dan Kalbar;

    Bantuan pesawat AT 130 dari Australia dan Herkulis dari USA untuk kebakaran

    di Lampung; Bantuan masker, obat-obatan dan sebagainya dari negara-negara Asean,

    Korea Selatan, Cina dan lain-lain.

    Peningkatan Upaya Pencegahan dan Penanggulangan

    Upaya pencegahan dan penanggulangan yang telah dilakukan selama ini ternyata

    belum memberikan hasil yang optimal dan kebakaran hutan masih terus terjadi pada

    setiap musim kemarau. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain:

    a. Kemiskinan dan ketidak adilan bagi masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan,

    b. Kesadaran semua lapisan masyarakat terhadap bahaya kebakaran masih rendah,

    b. Kemampuan aparatur pemerintah khususnya untuk koordinasi, memberikan

    penyuluhan untuk kesadaran masyarakat, dan melakukan upaya pemadaman

    kebakaran semak belukar dan hutan masih rendah, dan

    c. Upaya pendidikan baik formal maupun informal untuk

    penanggulangan kebakaran hutan belum memadai.

    Hasil identifikasi dari serentetan kebakaran hutan menunjukkan bahwa penyebab

    utama kebakaran hutan adalah faktor manusia dan faktor yang memicu meluasnya areal

    kebakaran adalah kegiatan perladangan, pembukaan HTI dan perkebunan serta konflik

    hukum adat dengan hukum negara, maka untuk meningkatkan efektivitas dan optimasi

  • 15

    kegiatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan perlu upaya penyelesaian

    masalah yang terkait dengan faktor-faktor tersebut.

    Di sisi lain belum efektifnya penanggulangan kebakaran disebabkan oleh faktor

    kemiskinan dan ketidak adilan, rendahnya kesadaran masyarakat, terbatasnya

    kemampuan aparat, dan minimnya fasilitas untuk penanggulangan kebakaran, maka untuk

    mengoptimalkan upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan di masa depan

    antara lain:

    a. Melakukan pembinaan dan penyuluhan untuk meningkatkan

    kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan, sekaligus berupaya

    untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya kebakaran hutan dan

    semak belukar,

    b. Memberikan penghargaan terhadap hukum adat sama seperti hukum negara, atau

    merevisi hukum negara dengan mengadopsi hukum adat,

    c. Peningkatan kemampuan sumberdaya aparat pemerintah melalui pelatihan

    maupun pendidikan formal. Pembukaan program studi penanggulangan kebakaran

    hutan merupakan alternatif yang bisa ditawarkan,

    d. Melengkapi fasilitas untuk menanggulagi kebakaran hutan, baik perangkat

    lunak maupun perangkat kerasnya, dan

    e. Penerapan sangsi hukum pada pelaku pelanggaran dibidang lingkungan khususnya

    yang memicu atau penyebab langsung terjadinya kebakaran.

    2.3 Kearifan Lokal dalam Menghadapi Bencana Kebakaran

    Kearifan lokal (local wisdom) dalam dekade belakangan ini sangat banyak

    diperbincangkan. Perbincangan tentang kearifan lokal sering dikaitkan dengan masyarakat

    lokal dan dengan pengertian yang bervariasi. Kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan

    setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan

    diikuti oleh anggota masyarakatnya (Sartini, 2004). Menurut rumusan yang dikeluarkan oleh

    Departemen Sosial (sekarang Kementerian Sosial) kearifan lokal diartikan sebagai pandangan

    hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang

    dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan

    kebutuhan mereka (Departemen Sosial RI, 2006). Sistem pemenuhan kebutuhan mereka pasti

  • 16

    meliputi seluruh unsur kehidupan, agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi

    sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian.

    Pengertian lain namun senada tentang kearifan lokal juga diungkapkan oleh Zulkarnain

    dan Febriamansyah (2008: 72) berupa prinsip-prinsip dan cara-cara tertentu yang dianut,

    dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat lokal dalam berinteraksi dan berinterelasi

    dengan lingkungannya dan ditransformasikan dalam bentuk sistem nilai dan norma adat.

    Adapun, Kongprasertamorn (2007: 2) berpendapat bahwa kearifan lokal mengacu pada

    pengetahuan yang datang dari pengalaman suatu komunitas dan merupakan akumulasi dari

    pengetahuan lokal. Kearifan lokal itu terdapat dalam masyarakat, komunitas, dan individu.

    Dengan demikian kearifan lokal merupakan pandangan dan pengetahuan tradisional yang

    menjadi acuan dalam berperilaku dan telah dipraktikkan secara turun-temurun untuk

    memenuhi kebutuhan dan tantangan dalam kehidupan suatu masyarakat.

    Kearifan lokal berfungsi dan bermakna dalam masyarakat baik dalam pelestarian sumber

    daya alam dan manusia, pemertahanan adat dan budaya, serta bermanfaat untuk kehidupan.

    Sementara itu, mitigasi bencana didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan untuk mencegah

    bencana atau mengurangi dampak bencana. Menurut Subiyantoro (2010), mitigasi bencana

    sesungguhnya berkaitan dengan siklus penanggulangan bencana berupa upaya penanganan

    sebelum terjadinya bencana. Adapun menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri RI No. 131

    tahun 2003, mitigasi (diartikan juga sebagai penjinaka) diartikan sebagai upaya dan kegiatan

    yang dilakukan untuk mengurangi dan memperkecil akibat-akibat yang ditimbulkan oleh

    bencana yang meliputi kesiapsiagaan dan kewaspadaan.

    Kajian tentang kearifan lokal dan mitigasi bencana pada masyarakat tradisional di

    Indonesia sejatinya terlihat dalam kaitannya dengan sumber daya alam dan sumber daya

    manusia. Pada masyarakat tradisional (lokal) manusia dan alam adalah satu kesatuan karena

    keduanya sama-sama ciptaan Yang Maha Kuasa. Alam dan manusia diyakini sama-sama

    memiliki roh. Alam bisa menjadi ramah jika manusia memperlakukan secara arif dan

    sebaliknya akan bisa marah jika kita merusaknya. Jika alam marah sehingga muncul bencana

    alam berupa banjir, tanah longsor, gunung meletus dan lain sebagainya, maka masyarakat

    tradisional umumnya juga memiliki pengetahuan lokal dan kearifan ekologi dalam

    memprediksi dan melakukan mitigasi bencana alam di daerahnya. Masyarakat lokal yang

    bermukim di lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah, misalnya, telah mempunyai kemampuan

  • 17

    untuk memprediksi kemungkinan terjadinya letusan. Hal tersebut antara lain menggunakan

    indikator berbagai jenis hewan liar yang turun lereng di luar kebiasaan dalam kondisi

    lingkungan normal (Iskandar, 2009).

    Berbagai contoh kearifan dalam pelestarian lingkungan hidup masyarakat lokal dapat

    pula ditemukan misalnya pada masyarakat Kasepuhan (Jawa Barat), masyarakat Siberut

    (Sumatera Barat), masyarakat Kajang (Sulawesi Selatan), dan masyarakat Dani (Papua).

    Umumnya, masyarakat lokal beranggapan bahwa lingkungan di sekitarnya ada yang memiliki

    dan menghuni selain manusia. Oleh karena itu, manusia yang berdiam di sekitarnya harus

    menghormati dan menjaga tempattempat mereka itu, seperti hutan, gunung, lembah, dan

    sumber air. Bahkan tidak sedikit tempat-tempat tersebut dijadikan tempat yang sakral atau

    dikeramatkan (Darmanto, 2009: 136; Adimihardja, 2009: 81; Boedhihartono, 2009: 67;

    Purwanto, 2009: 230).

    Di Indonesia, upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah dalam menghentikan

    kebakaran hutan dan lahan telah banyak dilakukan salah satunya dengan membentuk Pusat

    Pengendalian Operasi Kebakatan Hutan dari tingkat nasional, provinsi dan kabupaten, namun

    belum memperoleh hasil yang signifikan.

    Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Drs. Acep Akbar,

    MP., mengatakan penghentian peritiwa kebakaran hutan sebenarnya dapat dilakukan dengan

    mengajak masyarakat sekitar hutan yang paling dekat dengan sumber api serta lembaga

    formal yang selama ini telah melakukan upaya pencegahan. Kesenjangan komunikasi antar

    pihak pelaksana lembaga formal dengan masyarakat menjadi salah satu penyebab strategi

    pencegahan kebatakarn hutan tidak efektif dalam menurunkan kejadian kebakaran hutan.

    Pencegahan kebakaran hutan berbasis masyarakat seperti yang dilakukan tiga etnis sub

    suku dayak yang hidup di sekitar hutan Mawas Kalimantan Tengah bisa dipraktikkan di

    daerah lain. Adanya kearifan lokal masyarakat di sekitar hutan yang melakukan pencegahan

    kebakaran hutan dan lahan.

    Tiga etnis sub suku dayak yang hidup di sekitar hutan Mawas, yakni suku Dayak

    Kapuas, dayak Maanyan, dan Dayak Bakumpay. Ketiganya memiliki kearifan lokal dalam

    pencegahan yang terdiri dari kearifan penyebab kerawanan hutan terhadap kebakaran,

    penyebab api liar, sumber api rutin di lahan, teknik mencegah terjadinya kebakaran, tanda

    kemarau dan adanya sangsi jipen (denda) bagi pelanggar pembakaran. Prinsip pemadaman di

  • 18

    masyarakat ditunjukkan adanya sistem kebersamaam menghadapi musim kemarau. Aktivitas

    pemadaman dilakukan dengan cara memadamkan api kecil dan pembakaran terkendali pada

    ladang.

    Umumnya masyarakat Dayak yang hidup di sekitar hutan menganggap api sebenranya

    dapat dicegah karena dapat diketahui secara dini. Api liar umumnya berasal dari kelalaian

    sebagian kecil masyarakat saat membuka ladang dengan membakar. Kebakaran terjadi akibat

    kelalaian yang saat pembakaran di kondisi cuaca sangat kering dan angin kencang sehingga

    muncul api loncat yang dapat menjadi api liar baru di sekitar hutan.

  • 19

    Bab III

    Penutup

    3.1 Kesimpulan

    Kebakaran adalah bahaya yang diakibatkan oleh adanya ancaman potensial dan derajat

    terkena pancaran api sejak dari awal terjadi kebakaran hingga penjalaran api, asap dan gas

    yang ditimbulkan. Kebakaran muncul akibat suatu nyala api, baik kecil atau besar pada

    tempat yang tidak dikehendaki, merugikan pada umumnya sukar dikendalikan. Salah satu

    jenis kebakara yang paling sering terjadi di Indonesia adalah kebakaran hutan. Pada dasarnya

    kebakaran hutan disebabkan oleh multi-faktor yang sangat kompleks mencakup aspek fisik

    yaitu bahan bakar dan iklim, ekologi, sosial ekonomi dan budaya anthropologis masyarakat,

    teknologi dan sistem kelembagaan serta intensitas pengelolaan hutan dan lahan termasuk

    aspek silvikultur.

    Kesenjangan komunikasi antar pihak pelaksana lembaga formal dengan masyarakat

    menjadi salah satu penyebab strategi pencegahan kebatakarn hutan tidak efektif dalam

    menurunkan kejadian kebakaran hutan. Pencegahan kebakaran hutan berbasis masyarakat

    seperti yang dilakukan tiga etnis sub suku dayak yang hidup di sekitar hutan Mawas

    Kalimantan Tengah bisa dipraktikkan di daerah lain. Adanya kearifan lokal masyarakat di

    sekitar hutan yang melakukan pencegahan kebakaran hutan dan lahan.

    3.2 Saran

    Diharapkan pengetahuan mengenai kebencanaan dapat diterima dan dipahami oleh

    masyarakat secara luas, sehingga nilai-nilai kearifan lokal yang ada pada daerah dapat

    menunjang upaya meminimalisir dampak bencana.

  • 20

    Daftar Pustaka

    Abdul Khoir. 2009. Kearifan lokal Dayak cegah kerusakan alam. Kearifan-lokal-

    Dayakcegah-kebakaran-alam.pdf.

    Adimihardja K. 1998. Petani Merajut Tradisi Era Globalisasi. Humaniora Utama Press.

    Bandung.

    Arisman H. 1997. Fire Management in P.T. Musi Hutan Persada. Barito Pacific Group.

    Jakarta.

    Dampha A. 2001. Management of Forest Fire Through the Involvement of Local

    Communities : The Gambia.

    Nicolas M. V.J. 1999. Fire management in the logging concessions and plantation forests of

    Indonesia. Impacts of Fire and Human Activities on Forest Ecosystems in the tropics.

    International Symposium on Asian Tropical Forest Management. Samarinda.

    Pattinama M.J. 2009. Pengetahuan kemiskinan dengan kearifan lokal ( Studi Kasus di Pulau

    Buru-Maluku dan Surade-Jawa Barat. Makara. Sosial Humaniora. Vol.13 No1.