MAKALAH MIKOLOGI-JaDi

15
PEMANFAATAN JAMUR NEMATOFAGUS (Duddingtonia flagrans) SEBAGAI AGEN PENGENDALIAN NEMATODA (Haemonchus contortus) PADA HEWAN TERNAK Oleh: Andhika Agus S. B1J008124 Ross Nurul Rohmah B1J008126 Yeni Parera B1J008127 Riska Susi P. B1J008133 Prathiwi Dhita A. B1J008134 TUGAS TERSTRUKTUR MIKOLOGI

Transcript of MAKALAH MIKOLOGI-JaDi

Page 1: MAKALAH MIKOLOGI-JaDi

PEMANFAATAN JAMUR NEMATOFAGUS (Duddingtonia flagrans) SEBAGAI AGEN PENGENDALIAN NEMATODA (Haemonchus contortus)

PADA HEWAN TERNAK

Oleh:

Andhika Agus S. B1J008124Ross Nurul Rohmah B1J008126Yeni Parera B1J008127Riska Susi P. B1J008133Prathiwi Dhita A. B1J008134

TUGAS TERSTRUKTUR MIKOLOGI

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS BIOLOGIPURWOKERTO

2011

Page 2: MAKALAH MIKOLOGI-JaDi

I. PENDAHULUAN

Nematoda merupakan salah satu jenis organisme pengganggu yang menyerang

berbagai jenis tanaman maupun hewan. Nematoda parasit pada hewan biasanya menyerang

hewan ternak ruminansia seperti domba, kambing dan sapi. Cacingan (nematodiasis) pada

ternak ruminansia merupakan salah satu masalah cukup penting di Indonesia, karena

penyakit tersebut dapat menurunkan pertumbuhan ternak bahkan pada serangan yang berat

dapat mematikan (Beriajaya et al., dalam Mustika dan Ahmad, 2004). Di Indonesia

nematoda bersifat endemis, dengan rata-rata prevalensi di Indramayu (Jawa Barat) sebesar

67% (Kusumamihardja dan Zalizar, 1992 dalam Mustika dan Ahmad, 2004).

Penyakit cacing nematoda yang umumnya menyerang dan mengakibat kerugian

ekonomi cukup tinggi pada ternak domba dan kambing adalah Haemonchosis. Penyakit ini

disebabkan cacing H. contortus. Kerugiannya akibat parasit nematoda pada kambing

ditaksir mencapai 7 miliar per tahun (Rachmat et al., 1998 dalam Ahmad et al., 2006).

Beberapa cara pengendalian terhadap parasit cacing H. contortus pada ternak ruminansia

kecil (kambing dan domba) yang umum telah dilakukan di Indonesia. Pengobatan

dilakukan dengan menggunakan antelmintika komersial (Ivomex, Albendazol, Levamisol)

dan tradisional (biji pinang, pepaya), manajemen dan tata laksana kandang, namun

pemakaian antelmintika lebih populer dipakai dan umumnya tanpa memperhatikan aturan

pemakaian dengan berakibat dampak negatif yaitu kekebalan terhadap antelmintika

tersebut, contohnya golongan Albendazol (Haryuningtyas et al., 2001 dalam Ahmad et al.,

2006). Sebenarnya salah satu pilihan lain yang bisa dilakukan di Indonesia adalah dengan

menggunakan kapang nematofagus seperti Duddingtonia flagrans. Beberapa penelitian

terdahulu telah menunjukkan D. flagrans dan kapang nematofagus lain dapat

menanggulangi Haemonchosis pada ruminansia (Ahmad, 2005 dalam Ahmad et al., 2006).

Pengendalian hayati merupakan salah satu cara alternatif dalam upaya

pengendalian Haemonchosis. Pada dasarnya pengendalian hayati adalah upaya untuk

mengurangi populasi agen penyakit sampai batas tidak menimbulkan kerugian pada

inangnya. Namun harus diingat bahwa agen tidak membunuh seluruh populasi peyebab

penyakit (Larsen, 2000 dalam Ahmad, 2008). Agen hayati pengendali biologis harus aman

bagi inang dan lingkungannya. Untuk memenuhi hal tersebut perlu dipenuhi syarat-

syaratnya yaitu aman, mudah didapat, diperbanyak dan mampu membunuh agen penyebab

Page 3: MAKALAH MIKOLOGI-JaDi

penyakit. Oleh karena itu, meski banyak isolat yang tergolong nematofagus namun hanya

sedikit yang dapat digunakan.

Cendawan merupakan mikroorganisme eukariotik, memproduksi spora, tidak

berklorofil, mcmperoleh nutrisi dengan cara absorbsi, bereproduksi secara seksual dan

aseksual, mempunyai struktur somatik dalam bentuk hifa, dan berdinding sel yang terdiri

atas kitin dan selulosa. Cendawan-cendawan tertentu dapat dimanfaatkan untuk ternak,

seperti kapang Arthrobotrys oligospora, Beauveria bassiana, Duddingtonia flagrans, dan

Metarhizium anisopliae yang dapat digunakan untuk meningkatkan keschatan ternak dan

pengendali hayati. Khamir Saccharomyces cerevisiae dapat berperan sebagai probiotik dan

imunostimulan untuk meningkatkan produktivitas dan kesehatan ternak. Mikroba isolat

lokal Indonesia ini merupakan hasil penelitian dalam kurun waktu 20 tahun, dimulai pada

tahun 1980-an sampai dengan 2000-an. Sebelum terpilih sebagai cendawan yang

bermanfaat bagi ternak, cendawan ini diseleksi melalui tahapan yang panjang. Dari isolat-

isolat yang berhasil diisolasi dan diidentifikasi, hanya sedikit yang terpilih sebagai

pengendali hayati, probiotik atau imunostimulan (Ahmad, 2008).

Cendawan dapat digolongkan menjadi jamur, kapang dan khamir. Cendawan dapat

dimanfaatkan dalam budi daya ternak antara lain sebagai pengendali hayati, probiotik, dan

imunostimulan. Pemanfaatan beberapa cendawan golongan kapang dan khamir seperti

Duddingtonia flagrans, Arthrobotrys oligospora, Beauveria bassiana, Metarhizium

anisopliae, dan Saccharomyces cerevisiae sebagai agen hayati pengendalian penyakit

dapat meningkatkan produktivitas ternak. Selama pemeliharaan, temak dapat terserang

berbagai penyakit sehingga tidak mampu mencapai produktivitas yang optimal, bahkan

dapat menyebabkan kematian. Penyakit yang menyerang ternak dapat disebabkan oleh

virus,bakteri atau parasit (cacing, cendawan, protozoa, serangga, dan akarid) (Alexopou-

Ins et al. 1996; Dube 1996 dalam Ahmad, 2008).

Page 4: MAKALAH MIKOLOGI-JaDi

II. PEMBAHASAN

Selama pemeliharaan ternak, temak dapat terserang berbagai penyakit sehingga

tidak mampu mencapai produktivitas yang optimal, bahkan dapat menyebabkan kematian.

Penyakit yang menyerang ternak dapat disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit (cacing,

cendawan, protozoa, serangga, dan akarid). Gejala klinis yang muncul pada temak yang

terserang cacing adalah kurus, konversi pakan buruk, mencret, anemia, edema, dan bila

infestasi cacing terlalu banyak dapat menyebabkan kematian. Pada domba, bila infestasi

cacing Haemonchus contortus mencapai 5.000 larva maka ternak dapat menderita

haemonchosis. Pada kasus akut, infestasi cacing mencapai 2.000-20.000 larva, dan pada

kasus hiperakut, infestasi cacing sekitar 30.000 larva (Soulsby 1986; Urqurhart et al. 1987

dalam Ahmad, 2008). Pada ternak yang terserang caplak, gejala klinis yang muncul adalah

temak menjadi kurus, caplak pada kulit dapat terlihat dengan karat mata, gelisah, kulit dan

bulu rusak, kulit menebal, kegatalan, serta dapat pula menimbulkan kematian. Infestasi

tungau dan caplak sering diikuti oleh infestasi virus, bakteri, dan mikroorganisme lain

sehingga akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ternak.

Haemonchus contortus adalah cacing dari Kelas Nematoda, Ordo Strongylida dan

Super famili Trichostrongyloidea. Cacing dewasa hidup di dalam abomasum ruminansia

kecil termasuk domba dan kambing. Cacing jantan panjangnya 10-20 mm dan betina 18-30

mm. Cacing jantan dan betina dapat dibedakan melalui pengamatan morfologi organ

reproduksinya (Urquhart et al., 1987). Organ reproduksi cacing betina terdiri dari ovarium,

oviduk, uterus dan diakhiri dengan vagina pendek yang bermuara pada vulva. Uterus dan

vagina dihubungkan dengan ovijector. Cacing betina mempunyai vulva flap yang berfungsi

dalam proses kopulasi dan pengeluaran telur. Setiap ekor cacing betina dewasa mampu

bertelur sampai 10.000 butir perhari.

Haemonchus contortus dapat dikendalikan dengan berbagai cara. Penggunaan obat

anti cacing (anthelmintika) untuk membunuh atau mengusir cacing dalam tubuh hewan

merupakan cara yang umum digunakan. Keuntungan metode ini dapat dengan cepat

menekan infeksi dan mengurangi efek patofisiologisnya. Meskipun demikian, penggunaan

anthelmintika yang sama dalam jangka panjang beresiko menyebabkan resistensi cacing

terhadap obat dan adanya residu pada organ. Alternatif lain dalam pengendalian

Haemonchus contortus yaitu dengan pengendalian biologis menggunakan agen hayati,

Page 5: MAKALAH MIKOLOGI-JaDi

serta pengembangan vaksin dan seleksi ras ternak yang tahan dengan parasit (Patra, 2007;

Waller dan Larsen, 1994; Waller et al., 2006 dalam Ahmad, 2008).

Gambar 1. Cacing Haemonchus contortus

Siklus hidup Haemonchus contortus terdiri dari fase pre-parasitik (hidup bebas) di

luar tubuh induk semang (inang), serta fase parasitik dalam tubuh inangnya. Siklus dimulai

dengan keluarnya telur yang diproduksi cacing betina bersama tinja inang. Pada suhu 18-

26C dan kelembaban optimal yaitu 80-100% RH telur akan menetas mengeluarkan larva

stadium 1 (L1). Setelah melalui dua kali molting larva tersebut kemudian berkembang

menjadi L2 dan selanjutnya L3 berpindah ke rerumputan atau batang semak. Domba akan

terinfeksi bila memakan rerumputan yang mengandung L3 (larva infektif) dalam waktu 4-6

hari. Selanjutnya L3 akan berkembang dan tumbuh menjadi L4 atau larva pradewasa.

Kemudian L4 berkembang menjadi L5 atau tahapan dewasa yang siap bertelur pada hari ke-

15 sampai ke-20 setelah infeksi (Urquhart et al., 1987). Gangguan infeksi ditimbulkan

ketika L4 dan cacing dewasa menghisap darah pada mukosa abomasum. Setiap ekor cacing

mampu menghisap 0,05 ml darah setiap hari. Berikut adalah siklus hidup dari Cacing

Haemonchus contortus:

Telur menetas menjadi larva 1 di luar tubuh

inang (A) Berkembang menjadi larva 2 di luar tubuh

inang (B)

Cacing betina menghasilkan telur, keluar bersama tinja

inang (E)Larva 3 (larva infektif),

bila tertelan manjadi infektif (C)

Larva 4 di dalam tubuh inang (D)

Cacing dewasa di dalam tubuh domba (D)

Page 6: MAKALAH MIKOLOGI-JaDi

Kapang nematofagus Duddingtonia flagrans merupakan kapang pilihan untuk

mengendalikan larva parasit cacing nematoda pada ternak di masa kini dan mendatang.

Penelitian di luar negeri setelah kapang Arthrobotrys spp. diteliti kini mulai beralih kepada

kapang D. flagrans. Menurut Mendoza-De Gives et al. (1999) dalam Ahmad, (2010)

kapang D. flagrans lebih efektif dan efisien di dalam membunuh larva nematoda dibanding

Arthrobotrys spp, meski di dalam memproduksi konidia lebih banyak dihasilkan oleh A.

oligospora dengan perlakuan yang sama. Selain itu kapang D. flagrans mampu

menghasilkan klamidospora. Alasan lain digunakannya spesies D. flagrans karena lebih

efektif dipakai untuk mereduksi cacing ternak. Isolat ini dipilih karena tidak

mengakibatkan efek resistensi pada parasit cacing, untuk memproduksinya mudah

dilakukan, memiliki daya tahan hidup yang tinggi di alam, aplikasinya mudah, memiliki

klamidospora yang tahan terhadap faktor-faktor ekstrim pertumbuhan seperti suhu dan

kekeringan Waller dan Larsen (1996 dalam Ahmad, 2008).

Gambar 2. (A) Duddingtonia flagrans pada media potato dextrose agar (PDA) (B) Pengamatan mikroskopik perbesaran 400 x dan pewarnaan laktofenol biru

(B1) Konidia (B2) Klamidospora

Kapang D. flagrans termasuk kapang tanah yang menurut beberapa sistematika

termasuk kelas Hypomycetes bersama-sama dengan Arthrobotrys spp. memproduksi spora

dan klamidospora (Yeates, 2000 dalam Ahmad dan Beriajaya, 2010). D. flagrans sama

seperti kapang nematofagus lainnya tumbuh pada suhu 20-30C, kelembaban 90%, pH

sedikit asam bergantung pada jenis spesies, memerlukan oksigen dan sedikit mineral, dapat

tumbuh pada tanah pertanian dan bekas pemeliharaan ternak. Kapang ini mempunyai

kemampuan mengendalikan cacing nematoda dengan cara sebagai kelompok predator

(Larsen 2000 dalam Ahmad, 2008). Kondisi seperti ini banyak ditemukan di Indonesia

seperti di daerah Jawa Barat (Ahmad dan Beriajaya, 2003 dalam Ahmad, 2008). Kapang

D. flagrans dapat digunakan untuk pengendalian parasit cacing pada babi seperti

Osepohagostomum dentatus, Hyostrongylus rabidus; pada kuda seperti Cysthostome spp,

Page 7: MAKALAH MIKOLOGI-JaDi

Strongylus vulgaris, Strongylus edentatum; pada domba dan sapi H. contortus,

Trichosngylus colubriformis (Faedo et al., 1998; Larsen et al., 1995 (a), (b),1996,1998;

Nansen et al., 1996 dalam Ahmad dan Beriajaya, 2010).

D. flagrans adalah kapang yang tergolong ke dalam kelas Deuteromycetes dan

famili Moniliaceae (Yeates, 2000; Jacobs, 2002 dalam Ahmad, 2008). D. flagrans

termasuk dalam kelompok kapang bermitospora. Kapng ini berkembang biak secara

aseksual (anamorf), dengan bantuan spora (konidia). Menurut Yeates, 2000; Ahren, 2002

dalam Ahmad (2008) berdasarkan analisis skuen 18S rDNA menunjukkan bahwa D.

flagrans berkerabbat dekat dengan A. oligospora sehingga kemampuan keduan kapang

tersebut sering dibandingkan. Habitat D. flagrans sama seperti kapang nematofagus

lainnya yaitu tumbuh pada suhu 20-30C, kelembaban 90%, pH sedikit asam bergantung

pada jenis spesiesnya, memerlukan oksigen dan sedikit mineral, dapat tumbuh pada tanah

pertanian dan bekas pemeliharaan ternak. Mampu membentuk jerat pada temperatur 10-

35C dan setelah diinkubasi selama tiga minggu umumnya akan membentuk klamidospora

(Gronvold et al., 1996a dalam Ahmad, 2008). Klamidospora adalah modifikasi hifa berupa

penebalan dinding sel-sel hifa yang membentuk struktur reproduksi, namun fungsi

sebenarnya untuk mempertahankan diri.

Menurut Ahmad (2008) ada beberapa jenis kapang lain yang juga berperan sebagai

agen pengendali nematoda (jamur nematofagus) dan bermanfaat untuk kesehatan ternak

antara lain sebagai berikut:

Tabel 1. Cendawan atau Kapang dan Kegunaannya untuk Kesehatan Ternak

Spesies cendawan Kegunaan Jenis ternakSaccharomycescerevisiae

Probiotik imunostimulan

Ayam, domba, kelinci, sapi, ikan dan udang

Duddingtoniaflagrans

Nematofagus Babi, kambing, domba, kambing, kuda dan sapi

Metarhiziumanisopliae

Entomofagus Kambing dan sapi

Beauveriabassiana

Entomofagus Kambing dan sapi

Page 8: MAKALAH MIKOLOGI-JaDi

Mekanisme kapang D. flagrans dalam memengsa nematoda adalah dengan menjadi

predator larva, membunuh cacing dengan cara membuat perangkap terhadap larva infektif.

Pada saat larva bergerak mengenai hifa, kapang ini akan mengeluarkan zat kemoatraktan

yang mengandung sekresi. Larva yang tertarik datang, akan melekat pada hifa dan

selanjutnya dijerat oleh hifa vegetatif yang kemudian kapang mensekresikan enzim

pengurai kutikula untuk memudahkan hifa melakukan penetrasi pada kutikula (Gronvold et

al., 1993 dalam Ahmad, 2008). Hifa vegetatif yang masuk ke dalam tubuh larva akan

tumbuh dan berkembang hingga larva akhirnya mati. Kapang D. flagrans mempunyai

kemampuan memproduksi enzim kitinase dan protease (Ahman, 2000; Meyer dan Wiebe,

2003 dalam Ahmad, 2008) yang aka digunakan untuk proses pengendalian parasit

nematoda. Selain itu juga mempunyai nematotoksin berupa lektin yang diduga turut

membantu di dalam membunuh larva (Rosen, 1996 dalam Ahmad, 2008).

Page 9: MAKALAH MIKOLOGI-JaDi

III. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.

Page 10: MAKALAH MIKOLOGI-JaDi

DAFTAR REFRENSI

Ahmad R. Z . 2008. Efektifitas Cendawan Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces cerevisiae dalam Pengendalian Cacing Haemonchus contortus pada Domba. Disertasi. Progam Studi Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

Ahmad R. Z . 2008. Pemanfaatan Cendawan untuk Meningkatkan Produktivitas dan Kesehatan Ternak. Jurnal Litbang Pertanian, Vol. 27 (3):84-92.

Ahmad R. Z dan Beriajaya. 2010. Pertumbuhan Duddingtonia flagrans pada Air Liur Larutan Rumen, Blok Komin, dan Agar Semen. Jurnal Veteriner, Vol. 11 (1):52-57.

Ahmad R. Z, Beriajaya, Suatmojo M dan Purwaningsih E. 2006. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aplikasi Duddingtonia flagrans Di Dalam Mereduksi Larva Haemonchus contortus di Lapang Rumput. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006, Bogor. hlm. 958-979.

Mustika, Ika dan Ahmad R. Z. 2004. Peluang Pemanfaatan Jamur Nematofagus Untuk Mengendalikan Nematoda Parasit Pada Tanaman Dan Ternak. Jurnal Litbang Pertanian, 23 (4): 115-122.