Makalah Meningitis II
-
Upload
tera-surbakti -
Category
Documents
-
view
90 -
download
14
description
Transcript of Makalah Meningitis II
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1.Latar belakang
Infeksi Bakteri mencapai struktur intrakranial melalui salah satu dari ketiga
cara berikut: penyebaran hematogen (bakteremia, emboli dari bakteri, atau trombi
yang terinfeksi), oleh penyebaran dari struktur jukstakranial (telinga, sinus paranasal,
fokus osteomyelitis di tengkorak, sinus traktus kongentinal, atau luka tembus pada
kranium), atau dari sumber diluar tubuh (pembedahan otak atau tulang belakang,
pemasangan shunt ventrikuleroperitoneal, dan jarang terjadi pasca lumbal punksi).
Akan tetapi, pada banyak kasus infeksi bakteri pada SSP infeksi tidak dapat
ditentukan, walaupun telah dilakukan otopsi.1
Angka kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit perkotaan pada saat ini
meningkat; di rumah sakit besar di negara-negara berkembang, tingkat kejadian
meningitis nosokomial sekarang ini hampir sama banyaknya dengan infeksi dalam
komunitas. Perawatan medis dapat meningkatkan resiko pasien untuk mendapatkan
infeksi SSP dan sistemik dengan sejumlah cara (Scheld et al. 1997; Cohen dan
Powderly 2003): (1) melalui kontak dengan patogen selama masa rawatan, (2)
melalui sawar yang tertembus (insisi bedah, peralatan intravena, endotracheal tube,
kateter kandung kemih), (3) melalui pemasangan benda asing seperti pemacu yang
menyediakan nidus untuk kolonisasi bakteri, (4) melalui perubahan jumlah flora
normal akibat pemberian antibiotik dan (5) melalui penatalaksanaan dengan obat
immunosuppresi.1
Meningitis Bakteri dapat didefinisikan sebagai respon
inflamasi terhadap infeksi bakteri pada pia-arachnoid dan cairan
serebrospinal pada ruang subarachnoid. Dikarenakan ruang
subarachnoid dijumpai sepanjang otak, batang otak, dan saraf
optikus, infeksi pada ruang ini meluas sepanjang aksis
serebrospinal kecuali dijumpai adanya obstruksi pada ruang
subarachnoid. Ventrikulitis pada tingkat terentu hampir selalu
1
tampak pada pasien dengan meningitis bakteri, tetapi ventrikulitis
tidak umum dijumpai pada meningitis dikarenanakan aliran dari
Cerebrospinal Ventrikel dari ventrikel kedalam ruang subarachnoid.1
Penyakit Mikobakteri sampai saat ini tetap merupakan
penyebab utama angka kesakitan dan kematian di dunia.3
Dengan kembali meningkatnya angka kejadian TB dalam dekade ini, ahli
saraf pada saat sekarang ini menghadapi tantangan terapeutik untuk menangani
Meningitis TB. Raviglione menyebutkan bahwa Asia Tenggara merupakan daerah
dengan angka kejadian terbesar Meningitis TB. 49% dari 3.8 juta kasus TB seluruh
dunia pada tahun 1990 dilaporkan berasal dari Asia Tenggara.6
TB pada SSP merupakan bentuk TB ektrsra pulmonal yang paling serius.
Walaupun kempoterapi yang efektif telah dilakukan, tingkat kematian tetap tinggi
(20-50%) dan sekuele neurologisnya dapat mematikan. Kerusakan otak pada
Meningitis TB merupakan akibat dari kecendrungan yang jelas untuk terjadinya
granulasi, pembentukan dan fibrosis dari eksudat basil yang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial, kelumpuhan saraf kranial, hidrosefalus obstruktif
dan periarteritis. Walaupun Mycobacterium tuberculosis merupakan organisme
penyebab, reaksi inflamasi awal yang tampak pada meningitis TB merupakan bagian
dari reaksi hipersenstivitas, yang walaupun telah dilakukan eradikasi bakteri yang
efektif, dapat berakibat pada kerusakan jaringan otak.6
Walaupun terdapat kemajuan yang besar dalam bidang imunologi,
mikrobiologi, dan perkembangan obat, TB tetap merupakan tantangan kesehatan
masyarakat yang utama. Kemiskinan; kekurangan infrastruktur kesehatan publik yang
masih dapat berfungsi; kekurangan pembiayaan untuk mendukung penelitian dasar di
dalam pengembangan obat baru, diagnosis, dan vaksin.4
1.2.Tujuan
Makalah ini bertujuan membantu mengenali dengan lebih dalam Meningitis
TB agar lebih mudah dalam menangani masalah berkaitan penyakit neiurologi ini dan
2
memenuhi syarat kepaniteraan klinik senior bagian Ilmu Penyakit Saraf di Rumah
Sakit H. Adam Malik Medan.
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1.Definisi
Meningitis TB merupakan infeksi kronis pada meningens yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis.2
2. 2.Epidemiology
Sekitar 2000 juta orang di dunia pada saat sekatrang ini terinfeksi dengan
tuberkulosis, tetapi hanya sekitar 10% yang kemudian mendapatkan penyakit klinis.
Alasan orang mendapatkan penyakit klinis tetap tidak jelas. Alasannya kemungkinan
besar multifaktor: yang tidak hanya disebabkan faktor genetik pada individu tersebut,
tetapi juga faktor populasi dan ligkungan.5
Sebelum HIV, faktor utama yang menentukan perkembangan MTB adalah
umur. Pada populasi dengan prevalensi TB yang tinggi, MTB dibedakan dari TB paru
dan ekstra paru yang lain, pada insidensi puncak antara umur 0-4 tahun. Pada
penduduk dengan angka kejadian TB yang lebih rendah, sebagian besar kasus
Meningitis TB terjadi pada pasien yang lebih dewasa. Faktor resiko yang diketahui
untuk kelompok ini adalah alkoholisme, DM, keganasan, dan pemakaian
kortikosteroid yang terakhir. Koinfeksi dengan HIV sekarang meminimalkan makna
faktor resiko ini. HIV meningkatkan resiko jangka panjang untuk untuk mendapatkan
keadaan klinis post TB pada 1 dari 3 kasus. HIV juga menjadi faktor predisposisi
untuk terjadinya TB ekstrapulmonal, dan Meningitis TB yang spesifik, resiko yang
meningkatkan resiko penurunan jumlah sel CD4. Penyakit tersebut dapat berupa
reaktivasi dari infeksi laten, atau infeksi yang baru.5
Sejauh mana susunan genetik seseorang mempengaruhi resistensi atau
kecurigaan terhadap suatu infeksi masih menjadi perdebatan. Beberapa kelompok
etnis tertentu tampaknya lebih rentan dibanding kelompok yang lain. Penelitian yang
menggunakan konversi tuberkulin sebagai penanda menyebutkan bahwa orang
3
berkulit hitam lebih rentan terhadap infeksi dibandingkan orang berkulit putih.
Belakangan ini disebutkan bahwa beberapa polimorfisme tertentu didalam gen
NRAMP1 manusia dapat mempengaruhi kecurigaan terhadap TB paru pada populasi
Afrika Barat. Peran faktor genetik terhadap insidensi MTB belum diketahui.5
Sejauh mana vaksinasi BCG mampu memberi perlindungan terhadap
Meningitis TB masih dalam perdebatan. Meta-analisis tehadap penelitian khasiat
vaksinasi BCG menyebutkan terdapat efek perlindungan sebesar 64% terhadap MTB.
Presentase ini lebih tinggi dari pada TB paru (50%), tetapi hanya mencerminkan
keakuratan data dikarenakan perlunya rawat inap pada kasus-kasus seperti ini. Secara
keseluruhan, penelitian ini dan penleitian lainnya mendukung pandangan bahwa
vaksinasi BCG dapat memberi perlindungan terhadap Meningitis TB.5
Terdapat hubungan yang erat antara insidensi Meningitis TB yang diamati
pada anak berusia antara 0-4 tahun, dan resiko infeksi Meningitis TB rata-rata
tahunan pada populasi tersebut. Insidensi Meningitis TB terhitung mewakili 1 % dari
resiko tahunan untuk terkena infeksi. Resiko infeksi tergantung pada angka kejadian
kasus infeksi yang terjadi dalam suatu komunitas. Prevalensi dari kasus infeksi tidak
hanya bergantung pada resiko seseorang untuk terkena penyakit, tetapi juga faktor
didalam komunitas tersebut yang mempercepat penyebaran infeksi. Alasan utama
untuk terjadinya penyebaran TB adalah kemiskinan, malnutrisi, dan lumpuhnya
infrastruktur kesehatan publik.5
Jumlah total kasus TB diseluruh dunia sedang meningkat. Diperkirakan
bahwa sebagian besar dari kasus ini terjadi di Asia Tenggara yang dipercepat oleh
penyebaran HIV yang pesat. Telah diprediksi bahwa tanpa intervensi, 200 juta
manusia yang hidup sekarang dapat terinfeksi TB. Dokter harus siaga terhadap
perubahan ini, dikarenakan bentuk TB yang seperti Meningitis TB akan lebih sering
dihadapi.5
Prevalensi pada anak di seluruh dunia sulit untuk dinilai dikarenakan data
yang jarang dan tidak terorganisir. Data-data yang tersedia secara umum tidak
menunjukkan insidensi yang sebenarnya. Kurangnya pengawasan pada sebagian
besar daerah didunia mambatasi kemampuan untuk menilai prevalensi penyakit ini.
4
Pada sebagian besar daerah di Afrika dan Asia, insidensi tahunan infeksi TB untuk
semua umur adalah 2%, yang mencakup sekikar 200 kasus TB setiap 10000
penduduk setiap tahunnya. Kira-kira 15-20% dari kasus-kasus ini terjadi pada anak-
anak dibawah umur 15 tahun. Di Negara-negara berkembang, 10-20% orang yang
meninggal akibat TB adalah anak-anak.4
Negara-negara berkembang tercatat memiliki memiliki1,3 juta kasus TB dan
40000 kematian yang terkait TB setiap tahunnya pada anak-anak dibawah umur 15
tahun. Meningitis TB menjadi komplikasi 1 dari setiap 300 pasien infeksi TB yang
tidak tertangani.4
WHO memprediksi bahwa 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 2005, sekitar 8,8 juta kasus baru TB
dilaporkan di seluruh dunia, 7,4 juta di Asia dan Afrika subSahara. Sekitar 1,6 juta
orang meninggal akibat TB, termasuk 195.000 pasien yang terinfeksi dengan HIV.4
Pada tahun 2005, tingkat kejadian TB stabil atau menurun pada ke 6 kawasan
WHO. Akan tetapi, jumlah total kasus TB yang baru tetap meningkat secara
perlahan-lahan.4
2. 3.Etiologi
Gambaran pertama Mycobacterium TB pertama kali di didedikasikan ke
Robert Whytt. Mycobacterium TB pertama kali digambarkan sebagai suatu
organisme patologis pada tahun 1836, dan Robert Koch menyatakan bahwa TB
disebabkan oleh M. tuberculosis pada tahun 1882.5
M. tuberculosis merupakan bakteri aerob batang gram positif yang tidak
memberi pewarnaan yang baik dikarenakan dinding selnya yang tebal yang
mengandung lipid, peptidoglycan, dan arabinomanannans.5
Gambaran mikobakteri bervaiasi mulai dari bentuk Spheris sampai filamen
yang pendek, yang bisa saja bercabang. Walaupun tampak sebagai batang yang
pendek samapai panjang, bakteri tersebut dapat saja berbentuk melengkung. Basil
biasanya berdiameter 0,5-1 um dengan panjang 1,5-10um, dengan sifat tidak bergerak
dan tidak membentuk spora.5
5
Salah satu ciri khas dari miko bakteri adalah kemampuannya untuk menahan
zat pewarna didalam basil yang biasanya oleh microorganisme lain dipindahkan oleh
alkohol dan melarutkan larutan yang terdiri dari asam mineral seperti asam
hidroklorida. Kemampuan ini merupakan akibat dari lapisan mirip lilin yang terdiri
dari asam lemak rantai pendek, asam myolat, di dalam dinding selnya. Sebagai
akibatnya, mikobateri dinamakan basil tahan asam.5
2. 4.Faktor Resiko
Perpindahan manusia memainkan peranan yang besar di dalam epidemiologi
TB. Perpindahan manusia secara massif selama masa perang dan gagal panen telah
berakibat pada peningkatan jumlah kasus TB dan perubahan distribusi geografis.5
Begitu terinfeksi dengan M. tuberculosis, koinfeksi dengan HIV merupakan
faktor resiko terbesar untuk terjadinya perkembangan ke TB yang aktif: resikonya
diperikrakan sebesar 10% setiap tahunnya, dibandingkan resiko jangka panjang
sebesar 5-10 % diantara pasien dengan TB tetapi tanpa infeksi HIV.5
Walaupun pasien yang telah terinfeksi dengan TB dan juga telah terinfeksi
dengan HIV, gambaran klinis dan progonsanya tampaknya tidak dipengaruhi oleh
infeksi HIV.5
Pasien yang terinfeksi HIV, terutama dengan AIDS, bearada dalam resiko
besar untuk mendapatkan TB aktif ketika terpapar dengan seorang pasien TB yang
resisten terhadap TB. Insidensi terjadinya TB yang resisten terhadap obat TB tinggi
didalam kelompok ini.5
Faktor-faktor predisposisi untuk perkembangan TB aktif termasuk malnutrisi,
alkoholisme, penyalahgunaan zat, DM, penggunaan kortikosteroid, keganasan,
trauma kapitis, dan infeksi HIV.5
Tunawisma dan penghuni rawat inap jangka panjang juga memilki resiko
yang lebih tinggi untuk mendapatkan TB aktif dibandingkan populasi pada
umumnya.5
6
2. 5.Patofisiologi
Sebagian besar dari gejala, tanda, dan sekuel dari Meningitis TB merupakan
hasil dari reaksi inflamasi yang terjadi secara imunologis terhadap infeksi tersebut
Perkembangan dari MTB mencakup 2 fase. Basil Mycobacterium TB memasuki
induk melalui inhalasi droplet, dengan makrofag alveolus sebagai penanda awal
infeksi. Infeksi lokal meingkat didalam paru-paru, kemudian terjadi diseminasi ke
kelenjar Getah Bening Regional untuk menghasilkan kompleks primer. Selama fase
ini, bakterimia yang singkat namun signifikan tampak, yang dapat menyemai basil
tuberkel ke organ yang lain didalam tubuh.4
Pada orang yang mendapatkan Meningitis TB, basil menyebar ke meningen
atau parenkim otak, yang mengakibatkan pembentukan foki subpial atau
subependymal yang kecil pada lesi metastatik, yang dikenal dengan “rich foci”.
Pneumonia tuberculosis terjadi, berkembang dengan bakterimia tuberculosis yang
lebih berat dan berkepanjangan. Deseminasi ke SSP lebih memungkinkan untuk
terjadi, terutama jika TB milier timbul.4
Fase kedua didalam proses perjalanan penyakit Meningitis TB adalah
peningkatan ukuran Rich foci sampai rupture kedalan ruang subarachnoid. Lokasi dari
tuberkel yang meluas (contoh Rich focus) menentukan tipe keterlibatan SSP.
Tuberkel yang ruptur ke dalam ruang subarachnoid menyebabkan meningitis.
Tuberkel yang menyebar lebih kedalam otak atau parenkim batang spinal
menyebabkan tuberkuloma atau abses. Sementara abses atau hematoma dapat
menyebabkan ruptur kedalam ventrikel, hal ini tidak berlaku untuk Rich foci.4
Infiltrat gelatin eksudat yang tebal menginfiltrasi pembuluh darah meningeal
atau cortical, menghasilkan inflamasi, atau obstruksi, atau infark. Meningitis Basal
bertanggung jawab atas disfungsi saraf kranial III,VI, dan VII, yang pada akhirnya
berakibat kepada hidrosefalus yang obstruktif dari obstruksi cistern basil. Patologi
neurologi yang berkelanjutan dihasilkan oleh 3 proses yang umum; pembentukan
adhesi, vaskulitis obliteratif, dan encephalitis atau myelitis.4
Tuberkuloma merupakan bentuk fokus kaseous yang terdapat di dalam
substansi otak. Dengan letak sentral, lesi yang aktif dapat mencapai ukuran yang
7
memadai tanpa menghasilkan meningitis. Dengan pertahanan induk yang buruk,
proses ini dapat berakibat pada terbentuknya area fokal yang berisi cerebritis atau
pembentukan abses yang jelas, tetapi proses yang biasanya terjadi adalah enkapsulasi
fibrous (contoh tuberkuloma). Perkembangan paradoks atau pembesaran tuberkuloma
selama kemoterapi antituberkulosis juga telah dilaporkan; hal ini mungkin
berhubungan dengan proses imunologis.4
Pada proses tuberkulous, meningen spinal dapat saja terlibat, yang
menyebabkan penyebaran infeksi dari meningitis intrakranial, meningitis spinal
primer dalam keadaan isolasi sebagai akibat dari adanya fokus tuberkel pada
permukaan batang spianal yang ruptur kedalam ruang subarachnoid, perluasan
transdural infeksi dari karies spinal.4
Secara patologis, eksudat granulomatous mengisi ruang subarachnoid dan
meluas melewati beberapa segmen. Vaskulitis yang melibatkan arteri dan vena dapat
terjadi, terkadang berakibat pada infark spinal iskemik.4
Lesi yang paling awal pada vertebra disebabkan oleh penyebaran hematogen,
yang sering melibatkan vertebra didekat diskus intervertebralis. Diskus
intervertebralis hampir selalu terlibat didalam penyebaran penyakit ke vertebra dan
pada akhirnya sampai sepanjang ligamen longitudinal anterior dan posterior atau
melalui lempeng ujung. Segera sesudahnya, abses dingin akan muncul, baik sebagai
abses paraspinal pada daerah lumbal dan dorsal atau sebagai abses retropharygeal di
daerah cervikal. Seiring dengan perkembangan penyakitnya, dekalsifikasi dan erosi
yang meningkat pada proses keruntuhan tulang yang progresif dan penghancuran dari
diskus intervertebtralis, yang melibatkan sebanyak 3-10 vertebra pada satu lesi, yang
mengakibatkan terjadinya kifosis. Abses tersebut dapat ruptur kedalam spinal, yang
berakibat pada meningitis spinal primer, peripakimeningitis hiperplastik, abses
intraspinal, atau tuberkuloma.4
2. 6.Tanda dan Gejala Klinis
MTB digambarkan sebagai meningitis limfositik subakut. Walaupun hal ini
benar pada sebagian besar kasus, hal ini tidak membantu untuk menggambarkan
gambaran klasik MTB. Hal ini bukan berarti bahwa proses ini tidak terjadi, tetapi
8
lebih untuk menjelaskan variasi gambaran klinis dan kebutuhan akan peningkatan
level kecurigaan diagnostik.5
Pada kasus yang memberikan gambaran Meningitis TB, riwayat pasien
tersebut akan seringkali membantu. Kontak terakhir dengan tuberkulosis harus
ditentukan; beberapa penelitian menunjujkan bahwa sekitar 70-90% anak sebelumnya
telah mengalami kontak dengan TB. Keadaan prodormal biasanya tidak spesifik tanpa
ada gejala yang mendominasi: 28% melaporkan sakit kepala, 25% muntah, dan 13%
mengalami demam. Hanya 2% melaporkan gejala meningitis.5
Pada evaluasi terhadap 205 anak hanya 38% memiliki demam dengan 9%
melaporkan adanya fotopfobia. 14% tetap bebas dari meningisme sepanjang proses
perjalanan penyakit. Penelitian terakhir mematikan variasi luas dari gambaran klinis
yang tampak pada Meningitis TB. Suatu penelitian di Australia pada 58 pasien
menemukan bahwa pada hari masuk rawan inap Meningitis TB dianggap sebagai
diagnosa pada 36% kasus, dengan 6% yang menerima penanganan segera. Durasi
gejala yang tamapak bervariasi dari 1 hari sampai 9 bulan, walaupun 55% memiliki
gejala selama kurang dari 2 minggu. Seperempat dari seluruh diagnosa pasien dan
penatalaksanaan tertunda sampai penurunan klinis memastikan diagnosis Meningitis
TB.5
Banyak komplikasi neurologis yang dapat terjadi. Sifat dan variasinya dapat
diprediksi dengan memahami tempat penyakitnya dan patogenesis Meningitis TB.
Adhesi dapat berakibat pada palsi saraf kranial (terutama II, III, IV, VI, VII, dan
VIII), konstriksi arteri carotis interna yang mengakibatkan stroke, dan obstruksi aliran
CSF yang mengakibatkan peningkatan Tekanan Intra Kranial, penurunan level
kesadaran, dan hidrosefalus. Infark terjadi pada sekitar 30% kasus, umunya pada
kapsula interna dan basal ganglia, yang menyebabkan berbagai gangguan mulai dari
hemiparesis sampai gangguan pergerakan. Kejang umum dijumpai, terutama pada
anak dan orang yang sudah lajut usia. Hidrosefalus, tuberkuloma, edama, dan
hiponatremia akibat sekresi ADH yang tidak sesuai dapat menyebabkan kejang.5
Selama 10 tahun terakhir berbagai penelitian telah menodokumentasikan
hubungan antara HIV dan Meningitis TB. Walaupun pasien yang terinfeksi HIV
9
terdiagnosa TB meningkat resikoya untuk mengidap Meningitis TB, gambaran klinis
dan prognosisnya tampak tidak tepengaruh. Pasien dengan Meningitis TB dan HIV
seringkal mengidap penyakit ekstra meningeal. Dalam satu laporan disebutkan bahwa
65% pasien memiliki bukti klinis maupun radiologis TB ekstrameningeal pada saat
diterima di rawatan inap. Dalam laporan yang lain 77% pasien dengan HIV memiliki
bukti klinis TB ekstrameningeal, dibandingkan dengan 9% pada pasien tanpa HIV.
Pada lebih dari setengah dari jumlah kasus tersebut dapat dijumpai tuberkuloma SSP.
Karekteristik ini dapat memfasilitasi penegakan diagnosis Meningitis TB pada pasien
dengan HIV.5
Orang lanjut usia dengan Meningitis TB merupakan kelompok yang
signifikan, terutama di negara-negara yang berkembang. Seperti kondisi lainnya yang
dialami oleh orang yang berusia lanjut, gambaran klinis yang tampak tdak spesifik.
Tanda meningism bisa saja tidak dijumpai, kejang lebih sring terjadi, dan temuan
CSF dapat bersifat atipikal; CSF bahkan menunjukkan gambaran aselular.5
Sebagai kesimpulan, diagnosis Meningitis TB tidak dapat ditegakkaan
ataupun disingkirkan berdasarkan pengamatan klinis. Koinfeksi dengan HIV
tampaknya tidak mengubah manifestasi klinis atau prognosis Meningitis TB,
walaupun diagnosis dapat diperkirakan dengan adanya TB ekstrameningeal atau
tuberkuloma SSP. Orang yang berusia lanjut dapat mengaburkan diagnosis jika tidak
diselidiki dengan hati-hati. Pencarian yang teliti untuk TB ekstameningeal cenderung
berguna untuk menetukan apakah meningitis tersebut disebabkan oleh TB.5
2. 7.Diagnosis
2. 7. 1.Riwayat
Meningitis TB sulit untuk didiagnosis, dan tingkat kecurigaan yang tinggi dibutuhkan
untuk menegakkan diagnosis yang dini.5
Hal-hal berikut harus ditanyakan:
1. Riwayat medis dan sosial pasien, meliputi kontak terakhir dengan pasien TB.
2. Tentukan apakah terdapat riwayat hasil yang positif dari tes derivatif protein.
10
3. Tentukan apakah pasien memiliki riwayat imunosupresi dari penyakit yang
diketahui atau dari terapi obat.
4. Periksa apakah pasien memiliki riwayat vaksin BCG.5
Biasanya, gejala prodormal bersifat nonspesifik, termasuk sakit kepala,
muntah, fotofobia, dan demam. Dalam 1 penelitian, hanya 2% pasien melaporkan
gejala-gejala meningitis. Durasi gejala yang tampak dapat bervariasi dari 1 hari
sampai 9 bulan, walaupun 55% tampak dengan gejala yang bertahan kurang dari 2
minggu.4
Pada individu yang imunokompeten, TB SSP biasanya mengambil bentuk
meningitis yang menyebabkan penyakit akut-subakut yang ditandai oleh demam,
sakit kepala, meningisme, dan kebingungan selama rentang waktu antara 2-3 minggu.
Selama periode prodormal, gejala nonspesifik dapat muncul, yang meliputi fatigue,
malaise, myalgia, dan demam.4
Seringkali, pada fase pertama dari meningitis, pasien terinfeksi saluran nafas
atasnya, fakta yang harus diingat ketika demam dan iritabilitas atau letargi yang
sedang berlangsung mulai tampak keluar dari batas yang dapat dimaklumi untuk jenis
penyakit tertentu, atau ketika gejala umum bertahan setelah mengalami pebaikan
manifestasi lokal. Demam dan sakit kepala tidak dijumpai pada 25 % kasus dan
malaise bisa tidak dijumapai pada setkitar pasien. Sakit kepala dan perubahan status
mental lebih umum didapati pada pasien berusia lanjut.4
Gejala penglihatan meliputi gangguan penglihatan atau kebutaan yang
terkadang memicu opthalmoplegia yang sangat nyeri. Tuberculosis okular tampak
dalam bentuk uveitis granulomatous. Diagnosis yang tertunda atau salah dapat
berakibat buruk pada struktur okuler dan kesehatan individunya.4
Onset defisit neurologis fokal yang tiba-tiba yang meliputi monopolegia,
hemiplegia, afasia, dan tetraparesis sudah pernah dilaporkan.4
Tremor dan pergerakan abnormal lainnya, yang meliputi choreoatetosis dan
hemiballismus, telah diamati, dengan tingkat kejadian yang lebih sering pada anak-
anak disbanding dewasa. Mioklonus dan disfungsi serebellar juga dijumpai.4
11
Sekresi SIADH (Syndrome of inappropriate antidiuretic hoermone)
merupakan kompliskasi yang umum dan dihubungkan dengan prognosis yang buruk.
Gambaran lain yang jarang tampak meliputi kejang demam atipikal pada anak, palsi
saraf kranial yang terisolasi, papiledema ayang bilateral, dan status kebingungan yang
akut.4
Meningitis spinal TB dapat bermanifestasi dalam bentuk akut, subakut, atau
kronis.4
Gambaran klinis meningitis spinal primer biasanya ditandai oleh adanya
mielopati, dengan paralysis yang menjalar keatas, yang pada akhirnya berakibat pada
meningitis basal dan sekuele yang berhubungan dengannya. Pada beberapa kasus
dengan onset yang akut, sebagai tambahan terhadap gejala utamanya, pasien dapat
mengalami paraplegia akut dengan defisit sensoris dan retensi urin. Gambaran klinis
seringkali menyerupai myelitis transvesus atau sindroma Guillain-Barre.4
Bentuk yang subakut sering didominasi oleh myeloradikulopati, dengan nyeri
radikular dan paraplegia progresif atau tetra plegia.Bentuk yang kurang virulen atau
kronis menyerupai suatu kompresi batang spinal yang berkembang dengan lambat
atau suatu arakhnoiditis yang non spsesifik.4
Batang dorsal meruapakan bagian yang paling sering dipengaruhi, diikuti oleh
regio lumbal dan servikal. Spondylitis TB juga dikenal dengan penyakit Pott’s atau
karies spinal.4
Pada daerah dimana penyakitnya bersifat endemik, seperti Asia dan Afrika,
kondisi ini meliputi 30-50% dari semua kasus myelopati yang berujung pada
paraplegia. TB spinal juga meliputi sekitar 50% dari semua kasus tulang dan
persendian pada kasus TB. Pada daerah lumbal, spondylitis TB dapat berakibat pada
pembentukan abses psoas yang seringkali mengalami kalsifkasi.4
Spondylitis biasanya bersifat akut atau kronis, dengan nyeri punggung dan
demam dan defisit neurologis yang bervariasi. Spondylitis dapat juga berakibat pada
beberapa gejala, meliputi nyeri lokal dan radikular, kehilangan sensori dan motorik
tungkai, dan gangguan pada sphincter.4
12
Pada akhirnya, kompresi batang spinal yang lengkap dengan paraplegia,
komplikasi yang paling ditakutkan, dapat terjadi. Radikulomyelitis Tuberkulous
(TBRM) merupakan komplikasi Meningitis TB yang telah dilaporkan dengan tingkat
kejadian yang jarang. TBRM biasanya terjadi dalam periode yang bervariasi setelah
Meningitis TB, bahkan pasien yang telah ditangani secara adekuat setelah seterilsasi
dari CSF.4
Gejala yang paling umum adalah paraparesis yang subakut, nyeri radikular,
gangguan berkemih, dan paralysis yang berkelanjutan.4
Seperti bentuk reaksi paradoks lainnya terahadap pengobatan anti-TB, bukti
menunjukkan bahwa penatalaksanaan dengan steroid dapat memberikan efek yang
menguntungkan.4
Dua bentuk Meningitis TB yang jarang adalah meningitis TB serosa dan
ensefalopati TB. Meningitis TB serosa ditandai oleh tanda dan gejala meningitis yang
ringan dengan penyembuhan yang spontan.4
Ensefaloapti TB biasanya terjadi pada anak muda dengan TB primer yang
progresif; dengan gambaran penurunan level kesadaran dengan beberapa gejala fokal
meningisme yang minimal. Edema yang difus dan substansi putih yang pucat dengan
demyelinasasi ditemukan pada saat pemeriksaan patologi. Patogenesisnya tidak jelas
tetapi tampaknya proses dimediasi oleh proses imun.4
Tuberkuloma merupakan fokus yang kaseous dengan enkapsulasi fibrosa pada
parenkim otak. Keduanya dapat tumbuh dan membesar ukurannya, bahkan selama
terapi anti TB yang sedang berlangsung dan dapat melibatkan arteri trunkus
intracranial, sehingga menyebabkan vaskulitis. Penyebran emboli dari tuberkuloma
pada otak dalam kasus-kasus meningitis tuberkular yang resisten terhadap multidrug
telah dilaporkan.4
2. 7. 1.Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan umum, sitemik, dan neurologis harus dilakukan dengan hati-hati,
khususnya untuk mencari bekas vaksinasi BCG, limfadenopati, pepillaedenma dan
tuberkuloma selama pemeriksaan funduskopi, dan meningismus.2
13
Temuan Visual
1. Selain papillaedema, pemeriksaan fundus terkadang menunjukkan
tuberkuloma retina atau nodul khoroid kecil yang putih keabu-abiuan, yang
menunjukkan kecendrungan yang tinggi terhadap TB. Lesi ini diyakini lebih
umum dijumpai pada kasus TB miliar dibandingkan bentuk TB yang lain.2
2. Pada anak, pemeriksaan fundus dapat menunjukkan diskus yang pucat.2
3. Pemeriksaan dapat menunjukkan gangguan visual.2
Temuan Neurologis
1. Neuropati Kranial, yang seringkali melibatkan SK VI. SK III,IV, VII, dan
yang lebih jarang lagi, SK II, VIII, X, XI, dan XII, juga dapat dipengaruhi.2
2. Defisit neirologis fokal dapat melipuiti monoplegoa, hemiplegia, afasia, dan
tetraparesis.2
3. Tremor merupakan gangguan pergerakan yang paling umum dijumpai dalam
perjalanan penyakit Meningitis TB. Dalam presentase yang lebih rendah,
pergerakan abnormal, yang meliptuti khoreoathetosis dan hemiballismus,
pernah dijumpai, dengan tingkat kejadian yang lebih tinggi padan anak
dibandingkan orang dewasa. Sebagai tambahan, disfungsi myokluonus dan
serebelar juga pernah dijumpai. Lesi vaskular yang dalam lebih umum
dijumpai pada pasien dengan gangguan pergerakan.2
Seringkali tidak memungkinkan untuk mendiagnosa MTB berdasarkan
pemeriksaan CSF yang tunggal. Biasanya pemberian antibiotik menyebabkan
kelainan pada temuan yang didapat.2
Lumbal punksi berbahaya untuk dilakukan jika pasien memimilki defisit
neurologis yang fokal atau jika pada pemeriksaan funduskopi menunjukkan
papilaedema. Dalam keadaan seperti ini, C.A.T otak sangat membantu, jika peralatan
ini tersedia. Jika tidak, akan lebih aman untuk memulai penatalaksaan dengan obat
anti TB ketika bukti yang didapat dari riwayat dan pemeriksaan fisik lebih
mendukung.2
Temuan CSF: dapat bervariasi tergantung pada stadiumnya. Protein
meningkat, glukosanya rendah, klorida rendah dan limfosit biasanya
14
mendominasi. Adenosine deaminase CSF bisa meningkat (>7 unit/L).
Pewarnaan gram negatif dan Basil asam jarang ditemukan. Tes partisi
bromida mungkin dapat membantu. (rasio tes partisi bromida CSF < 1,6).
Basil dapat dikultur pada CSF tetapi memerlukan waktu 3-6 mingghu sebelum
keluar hasilnya.2
Jika tes Mantouxnya negatif, tes reaksi BCG dilakukan, dan rontgen dada juga
harus dilakukan.2
CT Scan Otak dapat membantu.2
2. 8.Penatalaksanaan
Tujuan Pengobatan
Diagnosis dan penatalaksanaan dini
Eradikasi mikobakteria
Pencegahan dan penatalaksaanaan dini komplikasi
Penatalaksanaan simptomatik dan suportif
Edukasi orangtua dan penjaga. Vaksin BCG kepada bayi baru lahir.2
Pembedahan
Pada pasien dengan bukti hidrosefalus obstruktif dan penurunan neurologis
pada pasien yang sedang menjalani pengobatan Meningitis TB, pemasangan drainase
ventrikular atau ventrikuloperitoneal atau shunt ventrikuloatrial harus dilakukan dan
tidak boleh ditunda.2
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa shunt ventrikuloperitoneal yang
adekuat akan memperbaiki progonosis, terutrama padan pasien yang memberi
gambaran defisit neurologis yang minimal.4
Kecuali jika suatu efek massif membahayakan struktur vital, intervensi bedah
jarang diperlukan pada penatalaksanaan tuberkuloma.4
GUIDELINE PENATALAKSAAN2
Penatalaksanaan Penjelasan
Penatalaksanaan - Awasi status neurologist secara teratur
Semua pasien memerlukan
15
Non-farmakologis - Perhatikan status nutrisi- Pemberian makan melalui
NGT biasanya diperlukan.-Prosedur shunt CSF atau
lumbal punksi yang berulang mungkin diperlukan sebagai bagian dari penatalaksanaan hidrosefalus.
- Awasi fungsi hepar. Sebagian besar obat yang dipakai bersifat hepatotoxic.
fisioterapi.
Rawat jalan secara berkala
Rehabilitasi
Pengobatan2 bulan fase inisial:
Rifampicin + isoniazid (INH) + pyrazinamide +streptomycinRifampicin, oral, 20 mg/kg/24 jam 1 dosis tunggal harian.Isoniazid, oral, 20 mg/kg/24 jam 1 dosis tunggal harian.Pyrazinamide, oral, 40 mg/kg/24 jam 1 dosis tunggal harian; maximum 2 g per 24 jamStreptomycin: 20-40mg/kg/24 jam 1 dosis tunggal harian Dosis IM
Rujuk hidrosefalus non
komuniukan untuk dilakukan
poemasangan shunt
ventrikulo-peritoneal yang
segera.
4 bulan fase lanjutan Hentikan pyrazinamide.Sambung dengan rifampicin,
isoniazid dan memakai dosis
diatas.
Steroids: Prednisone, oral, 2–4 mg/kg/24 jam dalam 3 dosis terbagi.Selama 4-6 minggu. Kemudian
diturunkan secara perlahan
sampai dihentikan dalam kurun
waktu 14–21 hari.
Hydrocephalus: Acetazolamide, oral, 100 mg/kg/24 jam dalam 3 dosis terbagi; maximum 1 g/hari.DANFurosemide, oral, 1–2 mg/kg/24
jam sebagai dosis tunggal
selama minimal 4–6 weeks.
.Convulsions
Diazepam, IV perlahan, 0.2–0.3 mg/kg, untuk mengendalikan kejang yang akut.Maintenance: Phenobarbital, oral, 5–10 mg/kg/24 jam dalam 2 dosis terbagi, sampai paien
16
bebas kejang selama 14 hari.Turunkan perlahan sampai
dihentikan dalam renmtang
waktu 1 minggu.
Peningkatan Tekanan
Intrakranial atau Edeama
serebri:
Elevasikan kepala tempat tidur
15 derajat.
Pertahankan PaCO2 pada 28-30
mmHg; intubasi dan ventilasi
jika diperlukan.
Mannitol, IV, 1mg/kg diberikan
selam 1 jam. (tanpa
pengulangan).
Furosemide, IV, 1mg/kg. (Tanpa
pengulangan).
Hindari kelebihan cairan. Batasi
masukan cairan harian (IV +
oral) agar ridak melewati
keperluan maintanance sesuai
umur
Tangani edema serebri berat
/peningkatan tekanan
intracranial jika terdapat
penurunan tingkat kesadaran
yang akut.
1 kPa = 7.5 mmHg; 1 mmHg x 0.133 = 1kPaBukti bahwa pemabatasan
cairan menguntungkan
belum ditenmukan.
2. 9.Prognosis
Beberapa penelitian telah menilai indikator klinis dan lab yang dapat
memperkirakan hasil pengobatan. Pengujian awal menggunakan analisis univarian-
menilai variable prognosis tanpa menyesuaikan efek terhadap kovariabel. Dari
penelitian ini, beberapa indikator prognosis yang buruk muncul; umur yang sangat
muda atau tua, perkembangan penyakit yang sudah lanjut, TB ekstrameningeal, dan
bukti peningkatan tekanan intrakranial. Penelitian yang menggunakan analisis
multivarian menyesuaikan pengaruh variabel yang lain jarang dilakukan. Satu
penelitian jenis ini pada anak-anak menemukan bahwa umur pasien dan stadium
penyakitnya merupakan 2 variabel yang terpisah yang berhubungan dengan
prognosis. Intervensi yang diperlukan adalah diagnosis dan penatalakasnaan yang
dini.5
17
BAB III
PENUTUP
18
3. 1.Kesimpulan
Meningitis TB merupakan infeksi kronis pada meningens yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis.2
Negara-negara berkembang tercatat memiliki memilik i1,3 juta kasus TB dan
40000 kematian yang terkait TB setiap tahunnya pada anak-anak dibawah umur 15
tahun. MTB menjadi komplikasi 1 dari setiap 300 pasien infeksi TB yang tidak
tertangani.4
Penyebab Meningitis TB adalah reaksi inflamasi yang terjadi secara
imunologis terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis.4
MTB sulit untuk didiagnosis, dan tingkat kecurigaan yang tinggi dibutuhkan
untuk menegakkan diagnosis yang dini.4 Diagnosis Meningitis TB dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologist, dan pemeriksaan
penunjang.
Penatalalaksanaan non farmakologis pada pasien Meningitis TB ditujukan
kepada pengawasan status neurologist secara teratur, perhatian status nutrisi,
pemberian makan melalui NGT biasanya diperlukan, prosedur shunt CSF atau lumbal
punksi yang berulang sebagai bagian dari penatalaksanaan hidrosefalus, pengawasan
fungsi hepar sebab sebagian besar obat yang dipakai bersifat hepatotoxic. Sedangkan
penatalaksanaan farmmakologisnya meliputi pemberian Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) dan steroid.2
3. 2.Saran
Pada pasien dengan Meningitis TB Intervensi yang diperlukan adalah
diagnosis dan penatalaksnaan yang dini.5 Tetapi yang lebih utama adalah
menghindari infeksi dengan meningkatan tingkat higiene individu dan lingkungan
sekitar serte edukasi masyarakat yang adekuat tentang TB dan penjalarannya.
DAFTAR PUSTAKA
19
1. Bradley. G. Walter, et al. Neurology in Clinical Practice; Principles of
Diagnostics and Management. Edisi 4. Philadelphia: Elsevier Inc. 2004. hal
1475-1477.
2. Kirks, D.R. and Burstein, J.R. Tuberculous Meningitis. J Clin Pathol. 1948;
17; 308-311.
3. Mehta. N, Pollard A.J. MENINGITIS. Tuberculous and Viral Meningitis.
Volume 6. Hospital Pharmacist; 1999. hal 264-267.
4. Ramachandran. S. Tuberculous Meningitis. [Online]. 2008 [5 Mei 2010].
Availabe from : URL : http://www.w3c.org/TR/1999/REC-html401-
19991224/loose.dtd
5. Thwaites, et al. Neurological Aspect of Tropical Diseases; Tuberculous
Menigitis.[Online].1999 [5 mei 2010]. Available from : URL :
http://www.w3c.org/TR/1999/REC-html401-19991224/loose.dtd
6. Wilder-Smith, Annelies, Einar. Tuberculous Meningitis and Corticosteroids:
a review; Neurology Journal South East Asia. Singapura: Department of
Neurology, Singapore General Hospital;1998. hal 57-60.
20