Makalah Meningitis II

32
BAB I PENDAHULUAN 1. 1.Latar belakang Infeksi Bakteri mencapai struktur intrakranial melalui salah satu dari ketiga cara berikut: penyebaran hematogen (bakteremia, emboli dari bakteri, atau trombi yang terinfeksi), oleh penyebaran dari struktur jukstakranial (telinga, sinus paranasal, fokus osteomyelitis di tengkorak, sinus traktus kongentinal, atau luka tembus pada kranium), atau dari sumber diluar tubuh (pembedahan otak atau tulang belakang, pemasangan shunt ventrikuleroperitoneal, dan jarang terjadi pasca lumbal punksi). Akan tetapi, pada banyak kasus infeksi bakteri pada SSP infeksi tidak dapat ditentukan, walaupun telah dilakukan otopsi. 1 Angka kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit perkotaan pada saat ini meningkat; di rumah sakit besar di negara-negara berkembang, tingkat kejadian meningitis nosokomial sekarang ini hampir sama banyaknya dengan infeksi dalam komunitas. Perawatan medis dapat meningkatkan resiko pasien untuk mendapatkan infeksi SSP dan sistemik dengan sejumlah cara (Scheld et al. 1997; Cohen dan Powderly 2003): (1) melalui kontak dengan patogen selama masa rawatan, (2) melalui sawar yang 1

description

makalah meningitis

Transcript of Makalah Meningitis II

Page 1: Makalah Meningitis II

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1.Latar belakang

Infeksi Bakteri mencapai struktur intrakranial melalui salah satu dari ketiga

cara berikut: penyebaran hematogen (bakteremia, emboli dari bakteri, atau trombi

yang terinfeksi), oleh penyebaran dari struktur jukstakranial (telinga, sinus paranasal,

fokus osteomyelitis di tengkorak, sinus traktus kongentinal, atau luka tembus pada

kranium), atau dari sumber diluar tubuh (pembedahan otak atau tulang belakang,

pemasangan shunt ventrikuleroperitoneal, dan jarang terjadi pasca lumbal punksi).

Akan tetapi, pada banyak kasus infeksi bakteri pada SSP infeksi tidak dapat

ditentukan, walaupun telah dilakukan otopsi.1

Angka kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit perkotaan pada saat ini

meningkat; di rumah sakit besar di negara-negara berkembang, tingkat kejadian

meningitis nosokomial sekarang ini hampir sama banyaknya dengan infeksi dalam

komunitas. Perawatan medis dapat meningkatkan resiko pasien untuk mendapatkan

infeksi SSP dan sistemik dengan sejumlah cara (Scheld et al. 1997; Cohen dan

Powderly 2003): (1) melalui kontak dengan patogen selama masa rawatan, (2)

melalui sawar yang tertembus (insisi bedah, peralatan intravena, endotracheal tube,

kateter kandung kemih), (3) melalui pemasangan benda asing seperti pemacu yang

menyediakan nidus untuk kolonisasi bakteri, (4) melalui perubahan jumlah flora

normal akibat pemberian antibiotik dan (5) melalui penatalaksanaan dengan obat

immunosuppresi.1

Meningitis Bakteri dapat didefinisikan sebagai respon

inflamasi terhadap infeksi bakteri pada pia-arachnoid dan cairan

serebrospinal pada ruang subarachnoid. Dikarenakan ruang

subarachnoid dijumpai sepanjang otak, batang otak, dan saraf

optikus, infeksi pada ruang ini meluas sepanjang aksis

serebrospinal kecuali dijumpai adanya obstruksi pada ruang

subarachnoid. Ventrikulitis pada tingkat terentu hampir selalu

1

Page 2: Makalah Meningitis II

tampak pada pasien dengan meningitis bakteri, tetapi ventrikulitis

tidak umum dijumpai pada meningitis dikarenanakan aliran dari

Cerebrospinal Ventrikel dari ventrikel kedalam ruang subarachnoid.1

Penyakit Mikobakteri sampai saat ini tetap merupakan

penyebab utama angka kesakitan dan kematian di dunia.3

Dengan kembali meningkatnya angka kejadian TB dalam dekade ini, ahli

saraf pada saat sekarang ini menghadapi tantangan terapeutik untuk menangani

Meningitis TB. Raviglione menyebutkan bahwa Asia Tenggara merupakan daerah

dengan angka kejadian terbesar Meningitis TB. 49% dari 3.8 juta kasus TB seluruh

dunia pada tahun 1990 dilaporkan berasal dari Asia Tenggara.6

TB pada SSP merupakan bentuk TB ektrsra pulmonal yang paling serius.

Walaupun kempoterapi yang efektif telah dilakukan, tingkat kematian tetap tinggi

(20-50%) dan sekuele neurologisnya dapat mematikan. Kerusakan otak pada

Meningitis TB merupakan akibat dari kecendrungan yang jelas untuk terjadinya

granulasi, pembentukan dan fibrosis dari eksudat basil yang dapat menyebabkan

peningkatan tekanan intrakranial, kelumpuhan saraf kranial, hidrosefalus obstruktif

dan periarteritis. Walaupun Mycobacterium tuberculosis merupakan organisme

penyebab, reaksi inflamasi awal yang tampak pada meningitis TB merupakan bagian

dari reaksi hipersenstivitas, yang walaupun telah dilakukan eradikasi bakteri yang

efektif, dapat berakibat pada kerusakan jaringan otak.6

Walaupun terdapat kemajuan yang besar dalam bidang imunologi,

mikrobiologi, dan perkembangan obat, TB tetap merupakan tantangan kesehatan

masyarakat yang utama. Kemiskinan; kekurangan infrastruktur kesehatan publik yang

masih dapat berfungsi; kekurangan pembiayaan untuk mendukung penelitian dasar di

dalam pengembangan obat baru, diagnosis, dan vaksin.4

1.2.Tujuan

Makalah ini bertujuan membantu mengenali dengan lebih dalam Meningitis

TB agar lebih mudah dalam menangani masalah berkaitan penyakit neiurologi ini dan

2

Page 3: Makalah Meningitis II

memenuhi syarat kepaniteraan klinik senior bagian Ilmu Penyakit Saraf di Rumah

Sakit H. Adam Malik Medan.

BAB II

PEMBAHASAN

2. 1.Definisi

Meningitis TB merupakan infeksi kronis pada meningens yang disebabkan

oleh Mycobacterium tuberculosis.2

2. 2.Epidemiology

Sekitar 2000 juta orang di dunia pada saat sekatrang ini terinfeksi dengan

tuberkulosis, tetapi hanya sekitar 10% yang kemudian mendapatkan penyakit klinis.

Alasan orang mendapatkan penyakit klinis tetap tidak jelas. Alasannya kemungkinan

besar multifaktor: yang tidak hanya disebabkan faktor genetik pada individu tersebut,

tetapi juga faktor populasi dan ligkungan.5

Sebelum HIV, faktor utama yang menentukan perkembangan MTB adalah

umur. Pada populasi dengan prevalensi TB yang tinggi, MTB dibedakan dari TB paru

dan ekstra paru yang lain, pada insidensi puncak antara umur 0-4 tahun. Pada

penduduk dengan angka kejadian TB yang lebih rendah, sebagian besar kasus

Meningitis TB terjadi pada pasien yang lebih dewasa. Faktor resiko yang diketahui

untuk kelompok ini adalah alkoholisme, DM, keganasan, dan pemakaian

kortikosteroid yang terakhir. Koinfeksi dengan HIV sekarang meminimalkan makna

faktor resiko ini. HIV meningkatkan resiko jangka panjang untuk untuk mendapatkan

keadaan klinis post TB pada 1 dari 3 kasus. HIV juga menjadi faktor predisposisi

untuk terjadinya TB ekstrapulmonal, dan Meningitis TB yang spesifik, resiko yang

meningkatkan resiko penurunan jumlah sel CD4. Penyakit tersebut dapat berupa

reaktivasi dari infeksi laten, atau infeksi yang baru.5

Sejauh mana susunan genetik seseorang mempengaruhi resistensi atau

kecurigaan terhadap suatu infeksi masih menjadi perdebatan. Beberapa kelompok

etnis tertentu tampaknya lebih rentan dibanding kelompok yang lain. Penelitian yang

menggunakan konversi tuberkulin sebagai penanda menyebutkan bahwa orang

3

Page 4: Makalah Meningitis II

berkulit hitam lebih rentan terhadap infeksi dibandingkan orang berkulit putih.

Belakangan ini disebutkan bahwa beberapa polimorfisme tertentu didalam gen

NRAMP1 manusia dapat mempengaruhi kecurigaan terhadap TB paru pada populasi

Afrika Barat. Peran faktor genetik terhadap insidensi MTB belum diketahui.5

Sejauh mana vaksinasi BCG mampu memberi perlindungan terhadap

Meningitis TB masih dalam perdebatan. Meta-analisis tehadap penelitian khasiat

vaksinasi BCG menyebutkan terdapat efek perlindungan sebesar 64% terhadap MTB.

Presentase ini lebih tinggi dari pada TB paru (50%), tetapi hanya mencerminkan

keakuratan data dikarenakan perlunya rawat inap pada kasus-kasus seperti ini. Secara

keseluruhan, penelitian ini dan penleitian lainnya mendukung pandangan bahwa

vaksinasi BCG dapat memberi perlindungan terhadap Meningitis TB.5

Terdapat hubungan yang erat antara insidensi Meningitis TB yang diamati

pada anak berusia antara 0-4 tahun, dan resiko infeksi Meningitis TB rata-rata

tahunan pada populasi tersebut. Insidensi Meningitis TB terhitung mewakili 1 % dari

resiko tahunan untuk terkena infeksi. Resiko infeksi tergantung pada angka kejadian

kasus infeksi yang terjadi dalam suatu komunitas. Prevalensi dari kasus infeksi tidak

hanya bergantung pada resiko seseorang untuk terkena penyakit, tetapi juga faktor

didalam komunitas tersebut yang mempercepat penyebaran infeksi. Alasan utama

untuk terjadinya penyebaran TB adalah kemiskinan, malnutrisi, dan lumpuhnya

infrastruktur kesehatan publik.5

Jumlah total kasus TB diseluruh dunia sedang meningkat. Diperkirakan

bahwa sebagian besar dari kasus ini terjadi di Asia Tenggara yang dipercepat oleh

penyebaran HIV yang pesat. Telah diprediksi bahwa tanpa intervensi, 200 juta

manusia yang hidup sekarang dapat terinfeksi TB. Dokter harus siaga terhadap

perubahan ini, dikarenakan bentuk TB yang seperti Meningitis TB akan lebih sering

dihadapi.5

Prevalensi pada anak di seluruh dunia sulit untuk dinilai dikarenakan data

yang jarang dan tidak terorganisir. Data-data yang tersedia secara umum tidak

menunjukkan insidensi yang sebenarnya. Kurangnya pengawasan pada sebagian

besar daerah didunia mambatasi kemampuan untuk menilai prevalensi penyakit ini.

4

Page 5: Makalah Meningitis II

Pada sebagian besar daerah di Afrika dan Asia, insidensi tahunan infeksi TB untuk

semua umur adalah 2%, yang mencakup sekikar 200 kasus TB setiap 10000

penduduk setiap tahunnya. Kira-kira 15-20% dari kasus-kasus ini terjadi pada anak-

anak dibawah umur 15 tahun. Di Negara-negara berkembang, 10-20% orang yang

meninggal akibat TB adalah anak-anak.4

Negara-negara berkembang tercatat memiliki memiliki1,3 juta kasus TB dan

40000 kematian yang terkait TB setiap tahunnya pada anak-anak dibawah umur 15

tahun. Meningitis TB menjadi komplikasi 1 dari setiap 300 pasien infeksi TB yang

tidak tertangani.4

WHO memprediksi bahwa 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh

Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 2005, sekitar 8,8 juta kasus baru TB

dilaporkan di seluruh dunia, 7,4 juta di Asia dan Afrika subSahara. Sekitar 1,6 juta

orang meninggal akibat TB, termasuk 195.000 pasien yang terinfeksi dengan HIV.4

Pada tahun 2005, tingkat kejadian TB stabil atau menurun pada ke 6 kawasan

WHO. Akan tetapi, jumlah total kasus TB yang baru tetap meningkat secara

perlahan-lahan.4

2. 3.Etiologi

Gambaran pertama Mycobacterium TB pertama kali di didedikasikan ke

Robert Whytt. Mycobacterium TB pertama kali digambarkan sebagai suatu

organisme patologis pada tahun 1836, dan Robert Koch menyatakan bahwa TB

disebabkan oleh M. tuberculosis pada tahun 1882.5

M. tuberculosis merupakan bakteri aerob batang gram positif yang tidak

memberi pewarnaan yang baik dikarenakan dinding selnya yang tebal yang

mengandung lipid, peptidoglycan, dan arabinomanannans.5

Gambaran mikobakteri bervaiasi mulai dari bentuk Spheris sampai filamen

yang pendek, yang bisa saja bercabang. Walaupun tampak sebagai batang yang

pendek samapai panjang, bakteri tersebut dapat saja berbentuk melengkung. Basil

biasanya berdiameter 0,5-1 um dengan panjang 1,5-10um, dengan sifat tidak bergerak

dan tidak membentuk spora.5

5

Page 6: Makalah Meningitis II

Salah satu ciri khas dari miko bakteri adalah kemampuannya untuk menahan

zat pewarna didalam basil yang biasanya oleh microorganisme lain dipindahkan oleh

alkohol dan melarutkan larutan yang terdiri dari asam mineral seperti asam

hidroklorida. Kemampuan ini merupakan akibat dari lapisan mirip lilin yang terdiri

dari asam lemak rantai pendek, asam myolat, di dalam dinding selnya. Sebagai

akibatnya, mikobateri dinamakan basil tahan asam.5

2. 4.Faktor Resiko

Perpindahan manusia memainkan peranan yang besar di dalam epidemiologi

TB. Perpindahan manusia secara massif selama masa perang dan gagal panen telah

berakibat pada peningkatan jumlah kasus TB dan perubahan distribusi geografis.5

Begitu terinfeksi dengan M. tuberculosis, koinfeksi dengan HIV merupakan

faktor resiko terbesar untuk terjadinya perkembangan ke TB yang aktif: resikonya

diperikrakan sebesar 10% setiap tahunnya, dibandingkan resiko jangka panjang

sebesar 5-10 % diantara pasien dengan TB tetapi tanpa infeksi HIV.5

Walaupun pasien yang telah terinfeksi dengan TB dan juga telah terinfeksi

dengan HIV, gambaran klinis dan progonsanya tampaknya tidak dipengaruhi oleh

infeksi HIV.5

Pasien yang terinfeksi HIV, terutama dengan AIDS, bearada dalam resiko

besar untuk mendapatkan TB aktif ketika terpapar dengan seorang pasien TB yang

resisten terhadap TB. Insidensi terjadinya TB yang resisten terhadap obat TB tinggi

didalam kelompok ini.5

Faktor-faktor predisposisi untuk perkembangan TB aktif termasuk malnutrisi,

alkoholisme, penyalahgunaan zat, DM, penggunaan kortikosteroid, keganasan,

trauma kapitis, dan infeksi HIV.5

Tunawisma dan penghuni rawat inap jangka panjang juga memilki resiko

yang lebih tinggi untuk mendapatkan TB aktif dibandingkan populasi pada

umumnya.5

6

Page 7: Makalah Meningitis II

2. 5.Patofisiologi

Sebagian besar dari gejala, tanda, dan sekuel dari Meningitis TB merupakan

hasil dari reaksi inflamasi yang terjadi secara imunologis terhadap infeksi tersebut

Perkembangan dari MTB mencakup 2 fase. Basil Mycobacterium TB memasuki

induk melalui inhalasi droplet, dengan makrofag alveolus sebagai penanda awal

infeksi. Infeksi lokal meingkat didalam paru-paru, kemudian terjadi diseminasi ke

kelenjar Getah Bening Regional untuk menghasilkan kompleks primer. Selama fase

ini, bakterimia yang singkat namun signifikan tampak, yang dapat menyemai basil

tuberkel ke organ yang lain didalam tubuh.4

Pada orang yang mendapatkan Meningitis TB, basil menyebar ke meningen

atau parenkim otak, yang mengakibatkan pembentukan foki subpial atau

subependymal yang kecil pada lesi metastatik, yang dikenal dengan “rich foci”.

Pneumonia tuberculosis terjadi, berkembang dengan bakterimia tuberculosis yang

lebih berat dan berkepanjangan. Deseminasi ke SSP lebih memungkinkan untuk

terjadi, terutama jika TB milier timbul.4

Fase kedua didalam proses perjalanan penyakit Meningitis TB adalah

peningkatan ukuran Rich foci sampai rupture kedalan ruang subarachnoid. Lokasi dari

tuberkel yang meluas (contoh Rich focus) menentukan tipe keterlibatan SSP.

Tuberkel yang ruptur ke dalam ruang subarachnoid menyebabkan meningitis.

Tuberkel yang menyebar lebih kedalam otak atau parenkim batang spinal

menyebabkan tuberkuloma atau abses. Sementara abses atau hematoma dapat

menyebabkan ruptur kedalam ventrikel, hal ini tidak berlaku untuk Rich foci.4

Infiltrat gelatin eksudat yang tebal menginfiltrasi pembuluh darah meningeal

atau cortical, menghasilkan inflamasi, atau obstruksi, atau infark. Meningitis Basal

bertanggung jawab atas disfungsi saraf kranial III,VI, dan VII, yang pada akhirnya

berakibat kepada hidrosefalus yang obstruktif dari obstruksi cistern basil. Patologi

neurologi yang berkelanjutan dihasilkan oleh 3 proses yang umum; pembentukan

adhesi, vaskulitis obliteratif, dan encephalitis atau myelitis.4

Tuberkuloma merupakan bentuk fokus kaseous yang terdapat di dalam

substansi otak. Dengan letak sentral, lesi yang aktif dapat mencapai ukuran yang

7

Page 8: Makalah Meningitis II

memadai tanpa menghasilkan meningitis. Dengan pertahanan induk yang buruk,

proses ini dapat berakibat pada terbentuknya area fokal yang berisi cerebritis atau

pembentukan abses yang jelas, tetapi proses yang biasanya terjadi adalah enkapsulasi

fibrous (contoh tuberkuloma). Perkembangan paradoks atau pembesaran tuberkuloma

selama kemoterapi antituberkulosis juga telah dilaporkan; hal ini mungkin

berhubungan dengan proses imunologis.4

Pada proses tuberkulous, meningen spinal dapat saja terlibat, yang

menyebabkan penyebaran infeksi dari meningitis intrakranial, meningitis spinal

primer dalam keadaan isolasi sebagai akibat dari adanya fokus tuberkel pada

permukaan batang spianal yang ruptur kedalam ruang subarachnoid, perluasan

transdural infeksi dari karies spinal.4

Secara patologis, eksudat granulomatous mengisi ruang subarachnoid dan

meluas melewati beberapa segmen. Vaskulitis yang melibatkan arteri dan vena dapat

terjadi, terkadang berakibat pada infark spinal iskemik.4

Lesi yang paling awal pada vertebra disebabkan oleh penyebaran hematogen,

yang sering melibatkan vertebra didekat diskus intervertebralis. Diskus

intervertebralis hampir selalu terlibat didalam penyebaran penyakit ke vertebra dan

pada akhirnya sampai sepanjang ligamen longitudinal anterior dan posterior atau

melalui lempeng ujung. Segera sesudahnya, abses dingin akan muncul, baik sebagai

abses paraspinal pada daerah lumbal dan dorsal atau sebagai abses retropharygeal di

daerah cervikal. Seiring dengan perkembangan penyakitnya, dekalsifikasi dan erosi

yang meningkat pada proses keruntuhan tulang yang progresif dan penghancuran dari

diskus intervertebtralis, yang melibatkan sebanyak 3-10 vertebra pada satu lesi, yang

mengakibatkan terjadinya kifosis. Abses tersebut dapat ruptur kedalam spinal, yang

berakibat pada meningitis spinal primer, peripakimeningitis hiperplastik, abses

intraspinal, atau tuberkuloma.4

2. 6.Tanda dan Gejala Klinis

MTB digambarkan sebagai meningitis limfositik subakut. Walaupun hal ini

benar pada sebagian besar kasus, hal ini tidak membantu untuk menggambarkan

gambaran klasik MTB. Hal ini bukan berarti bahwa proses ini tidak terjadi, tetapi

8

Page 9: Makalah Meningitis II

lebih untuk menjelaskan variasi gambaran klinis dan kebutuhan akan peningkatan

level kecurigaan diagnostik.5

Pada kasus yang memberikan gambaran Meningitis TB, riwayat pasien

tersebut akan seringkali membantu. Kontak terakhir dengan tuberkulosis harus

ditentukan; beberapa penelitian menunjujkan bahwa sekitar 70-90% anak sebelumnya

telah mengalami kontak dengan TB. Keadaan prodormal biasanya tidak spesifik tanpa

ada gejala yang mendominasi: 28% melaporkan sakit kepala, 25% muntah, dan 13%

mengalami demam. Hanya 2% melaporkan gejala meningitis.5

Pada evaluasi terhadap 205 anak hanya 38% memiliki demam dengan 9%

melaporkan adanya fotopfobia. 14% tetap bebas dari meningisme sepanjang proses

perjalanan penyakit. Penelitian terakhir mematikan variasi luas dari gambaran klinis

yang tampak pada Meningitis TB. Suatu penelitian di Australia pada 58 pasien

menemukan bahwa pada hari masuk rawan inap Meningitis TB dianggap sebagai

diagnosa pada 36% kasus, dengan 6% yang menerima penanganan segera. Durasi

gejala yang tamapak bervariasi dari 1 hari sampai 9 bulan, walaupun 55% memiliki

gejala selama kurang dari 2 minggu. Seperempat dari seluruh diagnosa pasien dan

penatalaksanaan tertunda sampai penurunan klinis memastikan diagnosis Meningitis

TB.5

Banyak komplikasi neurologis yang dapat terjadi. Sifat dan variasinya dapat

diprediksi dengan memahami tempat penyakitnya dan patogenesis Meningitis TB.

Adhesi dapat berakibat pada palsi saraf kranial (terutama II, III, IV, VI, VII, dan

VIII), konstriksi arteri carotis interna yang mengakibatkan stroke, dan obstruksi aliran

CSF yang mengakibatkan peningkatan Tekanan Intra Kranial, penurunan level

kesadaran, dan hidrosefalus. Infark terjadi pada sekitar 30% kasus, umunya pada

kapsula interna dan basal ganglia, yang menyebabkan berbagai gangguan mulai dari

hemiparesis sampai gangguan pergerakan. Kejang umum dijumpai, terutama pada

anak dan orang yang sudah lajut usia. Hidrosefalus, tuberkuloma, edama, dan

hiponatremia akibat sekresi ADH yang tidak sesuai dapat menyebabkan kejang.5

Selama 10 tahun terakhir berbagai penelitian telah menodokumentasikan

hubungan antara HIV dan Meningitis TB. Walaupun pasien yang terinfeksi HIV

9

Page 10: Makalah Meningitis II

terdiagnosa TB meningkat resikoya untuk mengidap Meningitis TB, gambaran klinis

dan prognosisnya tampak tidak tepengaruh. Pasien dengan Meningitis TB dan HIV

seringkal mengidap penyakit ekstra meningeal. Dalam satu laporan disebutkan bahwa

65% pasien memiliki bukti klinis maupun radiologis TB ekstrameningeal pada saat

diterima di rawatan inap. Dalam laporan yang lain 77% pasien dengan HIV memiliki

bukti klinis TB ekstrameningeal, dibandingkan dengan 9% pada pasien tanpa HIV.

Pada lebih dari setengah dari jumlah kasus tersebut dapat dijumpai tuberkuloma SSP.

Karekteristik ini dapat memfasilitasi penegakan diagnosis Meningitis TB pada pasien

dengan HIV.5

Orang lanjut usia dengan Meningitis TB merupakan kelompok yang

signifikan, terutama di negara-negara yang berkembang. Seperti kondisi lainnya yang

dialami oleh orang yang berusia lanjut, gambaran klinis yang tampak tdak spesifik.

Tanda meningism bisa saja tidak dijumpai, kejang lebih sring terjadi, dan temuan

CSF dapat bersifat atipikal; CSF bahkan menunjukkan gambaran aselular.5

Sebagai kesimpulan, diagnosis Meningitis TB tidak dapat ditegakkaan

ataupun disingkirkan berdasarkan pengamatan klinis. Koinfeksi dengan HIV

tampaknya tidak mengubah manifestasi klinis atau prognosis Meningitis TB,

walaupun diagnosis dapat diperkirakan dengan adanya TB ekstrameningeal atau

tuberkuloma SSP. Orang yang berusia lanjut dapat mengaburkan diagnosis jika tidak

diselidiki dengan hati-hati. Pencarian yang teliti untuk TB ekstameningeal cenderung

berguna untuk menetukan apakah meningitis tersebut disebabkan oleh TB.5

2. 7.Diagnosis

2. 7. 1.Riwayat

Meningitis TB sulit untuk didiagnosis, dan tingkat kecurigaan yang tinggi dibutuhkan

untuk menegakkan diagnosis yang dini.5

Hal-hal berikut harus ditanyakan:

1. Riwayat medis dan sosial pasien, meliputi kontak terakhir dengan pasien TB.

2. Tentukan apakah terdapat riwayat hasil yang positif dari tes derivatif protein.

10

Page 11: Makalah Meningitis II

3. Tentukan apakah pasien memiliki riwayat imunosupresi dari penyakit yang

diketahui atau dari terapi obat.

4. Periksa apakah pasien memiliki riwayat vaksin BCG.5

Biasanya, gejala prodormal bersifat nonspesifik, termasuk sakit kepala,

muntah, fotofobia, dan demam. Dalam 1 penelitian, hanya 2% pasien melaporkan

gejala-gejala meningitis. Durasi gejala yang tampak dapat bervariasi dari 1 hari

sampai 9 bulan, walaupun 55% tampak dengan gejala yang bertahan kurang dari 2

minggu.4

Pada individu yang imunokompeten, TB SSP biasanya mengambil bentuk

meningitis yang menyebabkan penyakit akut-subakut yang ditandai oleh demam,

sakit kepala, meningisme, dan kebingungan selama rentang waktu antara 2-3 minggu.

Selama periode prodormal, gejala nonspesifik dapat muncul, yang meliputi fatigue,

malaise, myalgia, dan demam.4

Seringkali, pada fase pertama dari meningitis, pasien terinfeksi saluran nafas

atasnya, fakta yang harus diingat ketika demam dan iritabilitas atau letargi yang

sedang berlangsung mulai tampak keluar dari batas yang dapat dimaklumi untuk jenis

penyakit tertentu, atau ketika gejala umum bertahan setelah mengalami pebaikan

manifestasi lokal. Demam dan sakit kepala tidak dijumpai pada 25 % kasus dan

malaise bisa tidak dijumapai pada setkitar pasien. Sakit kepala dan perubahan status

mental lebih umum didapati pada pasien berusia lanjut.4

Gejala penglihatan meliputi gangguan penglihatan atau kebutaan yang

terkadang memicu opthalmoplegia yang sangat nyeri. Tuberculosis okular tampak

dalam bentuk uveitis granulomatous. Diagnosis yang tertunda atau salah dapat

berakibat buruk pada struktur okuler dan kesehatan individunya.4

Onset defisit neurologis fokal yang tiba-tiba yang meliputi monopolegia,

hemiplegia, afasia, dan tetraparesis sudah pernah dilaporkan.4

Tremor dan pergerakan abnormal lainnya, yang meliputi choreoatetosis dan

hemiballismus, telah diamati, dengan tingkat kejadian yang lebih sering pada anak-

anak disbanding dewasa. Mioklonus dan disfungsi serebellar juga dijumpai.4

11

Page 12: Makalah Meningitis II

Sekresi SIADH (Syndrome of inappropriate antidiuretic hoermone)

merupakan kompliskasi yang umum dan dihubungkan dengan prognosis yang buruk.

Gambaran lain yang jarang tampak meliputi kejang demam atipikal pada anak, palsi

saraf kranial yang terisolasi, papiledema ayang bilateral, dan status kebingungan yang

akut.4

Meningitis spinal TB dapat bermanifestasi dalam bentuk akut, subakut, atau

kronis.4

Gambaran klinis meningitis spinal primer biasanya ditandai oleh adanya

mielopati, dengan paralysis yang menjalar keatas, yang pada akhirnya berakibat pada

meningitis basal dan sekuele yang berhubungan dengannya. Pada beberapa kasus

dengan onset yang akut, sebagai tambahan terhadap gejala utamanya, pasien dapat

mengalami paraplegia akut dengan defisit sensoris dan retensi urin. Gambaran klinis

seringkali menyerupai myelitis transvesus atau sindroma Guillain-Barre.4

Bentuk yang subakut sering didominasi oleh myeloradikulopati, dengan nyeri

radikular dan paraplegia progresif atau tetra plegia.Bentuk yang kurang virulen atau

kronis menyerupai suatu kompresi batang spinal yang berkembang dengan lambat

atau suatu arakhnoiditis yang non spsesifik.4

Batang dorsal meruapakan bagian yang paling sering dipengaruhi, diikuti oleh

regio lumbal dan servikal. Spondylitis TB juga dikenal dengan penyakit Pott’s atau

karies spinal.4

Pada daerah dimana penyakitnya bersifat endemik, seperti Asia dan Afrika,

kondisi ini meliputi 30-50% dari semua kasus myelopati yang berujung pada

paraplegia. TB spinal juga meliputi sekitar 50% dari semua kasus tulang dan

persendian pada kasus TB. Pada daerah lumbal, spondylitis TB dapat berakibat pada

pembentukan abses psoas yang seringkali mengalami kalsifkasi.4

Spondylitis biasanya bersifat akut atau kronis, dengan nyeri punggung dan

demam dan defisit neurologis yang bervariasi. Spondylitis dapat juga berakibat pada

beberapa gejala, meliputi nyeri lokal dan radikular, kehilangan sensori dan motorik

tungkai, dan gangguan pada sphincter.4

12

Page 13: Makalah Meningitis II

Pada akhirnya, kompresi batang spinal yang lengkap dengan paraplegia,

komplikasi yang paling ditakutkan, dapat terjadi. Radikulomyelitis Tuberkulous

(TBRM) merupakan komplikasi Meningitis TB yang telah dilaporkan dengan tingkat

kejadian yang jarang. TBRM biasanya terjadi dalam periode yang bervariasi setelah

Meningitis TB, bahkan pasien yang telah ditangani secara adekuat setelah seterilsasi

dari CSF.4

Gejala yang paling umum adalah paraparesis yang subakut, nyeri radikular,

gangguan berkemih, dan paralysis yang berkelanjutan.4

Seperti bentuk reaksi paradoks lainnya terahadap pengobatan anti-TB, bukti

menunjukkan bahwa penatalaksanaan dengan steroid dapat memberikan efek yang

menguntungkan.4

Dua bentuk Meningitis TB yang jarang adalah meningitis TB serosa dan

ensefalopati TB. Meningitis TB serosa ditandai oleh tanda dan gejala meningitis yang

ringan dengan penyembuhan yang spontan.4

Ensefaloapti TB biasanya terjadi pada anak muda dengan TB primer yang

progresif; dengan gambaran penurunan level kesadaran dengan beberapa gejala fokal

meningisme yang minimal. Edema yang difus dan substansi putih yang pucat dengan

demyelinasasi ditemukan pada saat pemeriksaan patologi. Patogenesisnya tidak jelas

tetapi tampaknya proses dimediasi oleh proses imun.4

Tuberkuloma merupakan fokus yang kaseous dengan enkapsulasi fibrosa pada

parenkim otak. Keduanya dapat tumbuh dan membesar ukurannya, bahkan selama

terapi anti TB yang sedang berlangsung dan dapat melibatkan arteri trunkus

intracranial, sehingga menyebabkan vaskulitis. Penyebran emboli dari tuberkuloma

pada otak dalam kasus-kasus meningitis tuberkular yang resisten terhadap multidrug

telah dilaporkan.4

2. 7. 1.Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan umum, sitemik, dan neurologis harus dilakukan dengan hati-hati,

khususnya untuk mencari bekas vaksinasi BCG, limfadenopati, pepillaedenma dan

tuberkuloma selama pemeriksaan funduskopi, dan meningismus.2

13

Page 14: Makalah Meningitis II

Temuan Visual

1. Selain papillaedema, pemeriksaan fundus terkadang menunjukkan

tuberkuloma retina atau nodul khoroid kecil yang putih keabu-abiuan, yang

menunjukkan kecendrungan yang tinggi terhadap TB. Lesi ini diyakini lebih

umum dijumpai pada kasus TB miliar dibandingkan bentuk TB yang lain.2

2. Pada anak, pemeriksaan fundus dapat menunjukkan diskus yang pucat.2

3. Pemeriksaan dapat menunjukkan gangguan visual.2

Temuan Neurologis

1. Neuropati Kranial, yang seringkali melibatkan SK VI. SK III,IV, VII, dan

yang lebih jarang lagi, SK II, VIII, X, XI, dan XII, juga dapat dipengaruhi.2

2. Defisit neirologis fokal dapat melipuiti monoplegoa, hemiplegia, afasia, dan

tetraparesis.2

3. Tremor merupakan gangguan pergerakan yang paling umum dijumpai dalam

perjalanan penyakit Meningitis TB. Dalam presentase yang lebih rendah,

pergerakan abnormal, yang meliptuti khoreoathetosis dan hemiballismus,

pernah dijumpai, dengan tingkat kejadian yang lebih tinggi padan anak

dibandingkan orang dewasa. Sebagai tambahan, disfungsi myokluonus dan

serebelar juga pernah dijumpai. Lesi vaskular yang dalam lebih umum

dijumpai pada pasien dengan gangguan pergerakan.2

Seringkali tidak memungkinkan untuk mendiagnosa MTB berdasarkan

pemeriksaan CSF yang tunggal. Biasanya pemberian antibiotik menyebabkan

kelainan pada temuan yang didapat.2

Lumbal punksi berbahaya untuk dilakukan jika pasien memimilki defisit

neurologis yang fokal atau jika pada pemeriksaan funduskopi menunjukkan

papilaedema. Dalam keadaan seperti ini, C.A.T otak sangat membantu, jika peralatan

ini tersedia. Jika tidak, akan lebih aman untuk memulai penatalaksaan dengan obat

anti TB ketika bukti yang didapat dari riwayat dan pemeriksaan fisik lebih

mendukung.2

Temuan CSF: dapat bervariasi tergantung pada stadiumnya. Protein

meningkat, glukosanya rendah, klorida rendah dan limfosit biasanya

14

Page 15: Makalah Meningitis II

mendominasi. Adenosine deaminase CSF bisa meningkat (>7 unit/L).

Pewarnaan gram negatif dan Basil asam jarang ditemukan. Tes partisi

bromida mungkin dapat membantu. (rasio tes partisi bromida CSF < 1,6).

Basil dapat dikultur pada CSF tetapi memerlukan waktu 3-6 mingghu sebelum

keluar hasilnya.2

Jika tes Mantouxnya negatif, tes reaksi BCG dilakukan, dan rontgen dada juga

harus dilakukan.2

CT Scan Otak dapat membantu.2

2. 8.Penatalaksanaan

Tujuan Pengobatan

Diagnosis dan penatalaksanaan dini

Eradikasi mikobakteria

Pencegahan dan penatalaksaanaan dini komplikasi

Penatalaksanaan simptomatik dan suportif

Edukasi orangtua dan penjaga. Vaksin BCG kepada bayi baru lahir.2

Pembedahan

Pada pasien dengan bukti hidrosefalus obstruktif dan penurunan neurologis

pada pasien yang sedang menjalani pengobatan Meningitis TB, pemasangan drainase

ventrikular atau ventrikuloperitoneal atau shunt ventrikuloatrial harus dilakukan dan

tidak boleh ditunda.2

Berbagai penelitian menyebutkan bahwa shunt ventrikuloperitoneal yang

adekuat akan memperbaiki progonosis, terutrama padan pasien yang memberi

gambaran defisit neurologis yang minimal.4

Kecuali jika suatu efek massif membahayakan struktur vital, intervensi bedah

jarang diperlukan pada penatalaksanaan tuberkuloma.4

GUIDELINE PENATALAKSAAN2

Penatalaksanaan Penjelasan

Penatalaksanaan - Awasi status neurologist secara teratur

Semua pasien memerlukan

15

Page 16: Makalah Meningitis II

Non-farmakologis - Perhatikan status nutrisi- Pemberian makan melalui

NGT biasanya diperlukan.-Prosedur shunt CSF atau

lumbal punksi yang berulang mungkin diperlukan sebagai bagian dari penatalaksanaan hidrosefalus.

- Awasi fungsi hepar. Sebagian besar obat yang dipakai bersifat hepatotoxic.

fisioterapi.

Rawat jalan secara berkala

Rehabilitasi

Pengobatan2 bulan fase inisial:

Rifampicin + isoniazid (INH) + pyrazinamide +streptomycinRifampicin, oral, 20 mg/kg/24 jam 1 dosis tunggal harian.Isoniazid, oral, 20 mg/kg/24 jam 1 dosis tunggal harian.Pyrazinamide, oral, 40 mg/kg/24 jam 1 dosis tunggal harian; maximum 2 g per 24 jamStreptomycin: 20-40mg/kg/24 jam 1 dosis tunggal harian Dosis IM

Rujuk hidrosefalus non

komuniukan untuk dilakukan

poemasangan shunt

ventrikulo-peritoneal yang

segera.

4 bulan fase lanjutan Hentikan pyrazinamide.Sambung dengan rifampicin,

isoniazid dan memakai dosis

diatas.

Steroids: Prednisone, oral, 2–4 mg/kg/24 jam dalam 3 dosis terbagi.Selama 4-6 minggu. Kemudian

diturunkan secara perlahan

sampai dihentikan dalam kurun

waktu 14–21 hari.

Hydrocephalus: Acetazolamide, oral, 100 mg/kg/24 jam dalam 3 dosis terbagi; maximum 1 g/hari.DANFurosemide, oral, 1–2 mg/kg/24

jam sebagai dosis tunggal

selama minimal 4–6 weeks.

.Convulsions

Diazepam, IV perlahan, 0.2–0.3 mg/kg, untuk mengendalikan kejang yang akut.Maintenance: Phenobarbital, oral, 5–10 mg/kg/24 jam dalam 2 dosis terbagi, sampai paien

16

Page 17: Makalah Meningitis II

bebas kejang selama 14 hari.Turunkan perlahan sampai

dihentikan dalam renmtang

waktu 1 minggu.

Peningkatan Tekanan

Intrakranial atau Edeama

serebri:

Elevasikan kepala tempat tidur

15 derajat.

Pertahankan PaCO2 pada 28-30

mmHg; intubasi dan ventilasi

jika diperlukan.

Mannitol, IV, 1mg/kg diberikan

selam 1 jam. (tanpa

pengulangan).

Furosemide, IV, 1mg/kg. (Tanpa

pengulangan).

Hindari kelebihan cairan. Batasi

masukan cairan harian (IV +

oral) agar ridak melewati

keperluan maintanance sesuai

umur

Tangani edema serebri berat

/peningkatan tekanan

intracranial jika terdapat

penurunan tingkat kesadaran

yang akut.

1 kPa = 7.5 mmHg; 1 mmHg x 0.133 = 1kPaBukti bahwa pemabatasan

cairan menguntungkan

belum ditenmukan.

2. 9.Prognosis

Beberapa penelitian telah menilai indikator klinis dan lab yang dapat

memperkirakan hasil pengobatan. Pengujian awal menggunakan analisis univarian-

menilai variable prognosis tanpa menyesuaikan efek terhadap kovariabel. Dari

penelitian ini, beberapa indikator prognosis yang buruk muncul; umur yang sangat

muda atau tua, perkembangan penyakit yang sudah lanjut, TB ekstrameningeal, dan

bukti peningkatan tekanan intrakranial. Penelitian yang menggunakan analisis

multivarian menyesuaikan pengaruh variabel yang lain jarang dilakukan. Satu

penelitian jenis ini pada anak-anak menemukan bahwa umur pasien dan stadium

penyakitnya merupakan 2 variabel yang terpisah yang berhubungan dengan

prognosis. Intervensi yang diperlukan adalah diagnosis dan penatalakasnaan yang

dini.5

17

Page 18: Makalah Meningitis II

BAB III

PENUTUP

18

Page 19: Makalah Meningitis II

3. 1.Kesimpulan

Meningitis TB merupakan infeksi kronis pada meningens yang disebabkan

oleh Mycobacterium tuberculosis.2

Negara-negara berkembang tercatat memiliki memilik i1,3 juta kasus TB dan

40000 kematian yang terkait TB setiap tahunnya pada anak-anak dibawah umur 15

tahun. MTB menjadi komplikasi 1 dari setiap 300 pasien infeksi TB yang tidak

tertangani.4

Penyebab Meningitis TB adalah reaksi inflamasi yang terjadi secara

imunologis terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis.4

MTB sulit untuk didiagnosis, dan tingkat kecurigaan yang tinggi dibutuhkan

untuk menegakkan diagnosis yang dini.4 Diagnosis Meningitis TB dapat ditegakkan

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologist, dan pemeriksaan

penunjang.

Penatalalaksanaan non farmakologis pada pasien Meningitis TB ditujukan

kepada pengawasan status neurologist secara teratur, perhatian status nutrisi,

pemberian makan melalui NGT biasanya diperlukan, prosedur shunt CSF atau lumbal

punksi yang berulang sebagai bagian dari penatalaksanaan hidrosefalus, pengawasan

fungsi hepar sebab sebagian besar obat yang dipakai bersifat hepatotoxic. Sedangkan

penatalaksanaan farmmakologisnya meliputi pemberian Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) dan steroid.2

3. 2.Saran

Pada pasien dengan Meningitis TB Intervensi yang diperlukan adalah

diagnosis dan penatalaksnaan yang dini.5 Tetapi yang lebih utama adalah

menghindari infeksi dengan meningkatan tingkat higiene individu dan lingkungan

sekitar serte edukasi masyarakat yang adekuat tentang TB dan penjalarannya.

DAFTAR PUSTAKA

19

Page 20: Makalah Meningitis II

1. Bradley. G. Walter, et al. Neurology in Clinical Practice; Principles of

Diagnostics and Management. Edisi 4. Philadelphia: Elsevier Inc. 2004. hal

1475-1477.

2. Kirks, D.R. and Burstein, J.R. Tuberculous Meningitis. J Clin Pathol. 1948;

17; 308-311.

3. Mehta. N, Pollard A.J. MENINGITIS. Tuberculous and Viral Meningitis.

Volume 6. Hospital Pharmacist; 1999. hal 264-267.

4. Ramachandran. S. Tuberculous Meningitis. [Online]. 2008 [5 Mei 2010].

Availabe from : URL : http://www.w3c.org/TR/1999/REC-html401-

19991224/loose.dtd

5. Thwaites, et al. Neurological Aspect of Tropical Diseases; Tuberculous

Menigitis.[Online].1999 [5 mei 2010]. Available from : URL :

http://www.w3c.org/TR/1999/REC-html401-19991224/loose.dtd

6. Wilder-Smith, Annelies, Einar. Tuberculous Meningitis and Corticosteroids:

a review; Neurology Journal South East Asia. Singapura: Department of

Neurology, Singapore General Hospital;1998. hal 57-60.

20