Makalah MDGs TB

31
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan era millenium yang sudah di deklaraasikan, dikenal dengan millennium development goals (MDGs), dan deklarasi MDGs merupakan hasil perjuangan dan kesepakatan bersama antara negara-negara berkembang dan negara maju. Negara-negara berkembang berkewajiban untuk melaksanakannya, termasuk salah satunya Indonesia di mana kegiatan MDGs di Indonesia mencakup pelaksanaan kegiatan monitoring MDGs. Sedangkan negara-negara maju berkewajiban mendukung dan memberikan bantuan terhadap upaya keberhasilan setiap tujuan dan target MDGs. Secara nasional, komitmen tersebut dituangkan dalam berbagai dokumen perencanaan nasional, antara lain dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004– 2009. Lalu, dipertegas pada RPJMN 2010-

description

Makalah MDGs TB

Transcript of Makalah MDGs TB

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.   Latar Belakang

Pembangunan era millenium yang sudah di

deklaraasikan, dikenal dengan millennium

development goals (MDGs), dan deklarasi MDGs

merupakan hasil perjuangan dan kesepakatan

bersama antara negara-negara berkembang dan

negara maju. Negara-negara berkembang

berkewajiban untuk melaksanakannya, termasuk

salah satunya Indonesia di mana kegiatan MDGs

di Indonesia mencakup pelaksanaan kegiatan

monitoring MDGs. Sedangkan negara-negara

maju berkewajiban mendukung dan memberikan

bantuan terhadap upaya keberhasilan setiap

tujuan dan target MDGs. Secara nasional,

komitmen tersebut dituangkan dalam berbagai

dokumen perencanaan nasional, antara lain dalam

Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) 2004–2009. Lalu, dipertegas

pada RPJMN 2010-2014 dan Inpres No 3 Tahun

2010 tentang Program Pembangunan

Berkeadilan.

 

Saat ini pemerintah serius memberi perhatian

terhadap pencapaian delapan tujuan millennium

development goals (MDGs). Setiap tujuan MDGs

menetapkan satu atau lebih target, serta masing-

masing indikator akan diukur tingkat

pencapaiannya atau kemajuannya hingga tahun

2015. Secara global, ditetapkan 18 target dan 48

indikator. Namun, implementasinya tergantung

pada setiap negara disesuaikan dengan

kebutuhan pembangunan dan ketersediaan data

yang digunakan untuk mengatur tingkat

kemajuannya. Indikator global tersebut bersifat

fleksibel bagi setiap negara. Keseriusan itu

diimplementasikan dengan mengintegrasikannya

dalam program-program daerah sesuai acuan

program pembangunan nasional.

 

Delapan tujuan MDGs yang akan dicapai, pada

bidang kesehatan diantaranya pertama,

menurunkan angka kematian anak terhitng dari

tahun 1990 sampai 2015. Pada 2007, angka

kematian anak sekitar 44 per 1.000 kelahiran

hidup. MDGs menargetkan pengurangan angka

kematian anak 2015 adalah 32 per 1.000

kelahiran hidup. Kedua, meningkatkan kesehatan

ibu, sejak 1990 terjadi penurunan yaitu dari 390

menjadi sekitar 307 per 100.000 kelahiran hidup

pada tahun 2000. Target MDGs 2015 adalah

sekitar 110 per 100.000 kelahiran hidup. Untuk

mencegah terjadinya kematian ibu, di antaranya

adalah persalinan yang aman bagi ibu yaitu

persalianan yang dibantu tenaga persalinan

terlatih. Tahun 2007, proporsi persalinan yang

dibantu tenaga persalinan terlatih adalah 73

persen. Ketiga, penanganan berbagai penyakit

menular berbahaya yaitu HIV, TBC, malaria dan

penyakit menular lainnya, prevalensi HIV-AIDS

nasional saat ini adalah 5,6 per 100.000 orang.

Namun, tidak ada indikasi laju penyebaran HIV-

AIDS terhenti (Stalker, 2007). Derajat kesehatan

masyarakat yang masih belum optimal pada

hakikatnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan,

perilaku masyarakat, pelayanan kesehatan dan

genetika, hasil Riskesdas (2007), diketahui bahwa

rumah tangga yang telah mempraktikkan perilaku

hidup bersih dan sehat (PHBS) baru mencapai

38,7%. Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014

mencantumkan target 70% rumah tangga sudah

mempraktekkan (perilaku hidup bersih dan sehat)

PHBS pada tahun 2014 (Kementerian Kesehatan

RI, 2011)..

 

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah,

tapi belum sepenuhnya mencapai target MDGs

baik secara general maupun khusus di bidang

kesehatan. Masih banyak masyarakat yang belum

tahu MDGs. Pemerintah melalui instansi

terkaitnya dalam menjalanakan pencapaian

program MDGs, kurang memanfaatkan kegiatan-

kegiatan yang bersinggunngan terhadap

pencapaian MDGs, seperti: praktik keperawatan

komunitas yang dilakukan oleh instansi-instansi

pendidikan keperawatan. Padahal perawat

komunitas dalam memberikan asuhan kepada

masyarakat, yaitu mengajarkan bagaimana upaya-

upaya peningkatan kesehatan kepada masyarakat.

Besar peran perawat komunitas perlu diapresiasi

oleh pemerintah melalui dinas terkaitnya untuk di

jadikan mitra dalam pencapaian MDGs, atau

dapat diarahkan kepada pencapaian MDGs supaya

apa yang akan dan telah dilakkukan dapat lebih

focus kepada pencapaian target MDGs. Utamanya

menjadikan masyarakat yang mandiri dan dapat

menolong dirinya sendiri. Masyarakat sebagai

warga Negara yang baik, sudah seharusnya turut

mensukseskan apa yang menjadi tujuan

pemerintah.

 

B. Rumusan Masalah

1.Menjelaskan tentang isi dari MDGs

2.Menjelaskan peran perawat dalam pencapaian

MDgs    tahun    2015.

3.Bagaimanakah pencapaian MDGs Bidang

Kesehatan di Indonesia

C. Tujuan

 

1.Untuk mengetahui isi dari MDGs

2.Untuk mengetahui peran perawat dalam

pencapaian MDGs tahun 2015

3.Untuk mengetahui pencapaian MDGs Bidang

Kesehatan di Indonesia.

 

 

 

BAB II

 

PEMBAHASAN

 

1.Millennium Development Goals (MDGs).

Millennium Development Goals atau disingkat

dalam bahasa Inggris MDGs, adalah Deklarasi

Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan

perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB), ditandatangani oleh 147 kepala

pemerintahan dan kepala negara pada saat

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New

York pada bulan September 2000. Dasar hukum

dikeluarkannya deklarasi MDGs adalah resolusi

majelis umum PBB Nomor 55/2 Tanggal 18

September 2000, (A/Ris/55/2 United Nations

Millennium Development Goals). Deklarasinya

sendiri berisi komitmen untuk mencapai 8 buah

sasaran pembangunan, sebagai satu paket tujuan

yang terukur untuk pembangunan dan

pengentasan kemiskinan. Targetnya adalah

tercapai kesejahteraan rakyat dan pembangunan

masyarakat pada tahun 2015.

 

Pemerintah Indonesia turut menghadiri

Pertemuan Puncak Milenium di New York

tersebut dan juga turut menandatangani

Deklarasi Milenium. Pencapaian sasaran MDGs

menjadi salah satu prioritas utama bangsa

Indonesia. Delapan tujuan umum MDGs secara

general mencakup pengentasan kemiskinan,

pendidikan, kesetaraan gender, kesehatan,

kelestarian lingkungan dan permasalahan global.

Adapun secara rinci target MDGs memuat 8

tujuan yang meliputi;

1.penanggulangan kemiskinan dan kelaparan,

2.mencapai pendidikan dasar untuk semua,

3.kesetaraan gender dan pemberdayaan

perempuan,

4.mengurangi angka kematian bayi,

5.meningkatkan kesehatan ibu,

6.melawan HIV/AIDS, malaria dan penyakit

menular lain,

7.memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan

8.kemitraan untuk pembangunan.

 

Memasuki tahun ke sepuluh, pencapaian MDGs

dirasa belum optimal, maka pemerintah

melakukan percepatan pencapaian, oleh karena

itu percepatan pencapaian target MDGs

merupakan amanah dari Inpres No 1 Tahun 2010

tentang Percepatan Pelaksanaan Pembangunan

Nasional 2010, dan Inpres No 3 Tahun 2010

tentang Program Pembangunan Berkeadilan.

Pada tingkat daerah (provinsi dan

kabupaten/kota), dituangkan dalam RAD

percepatan pencapaian tujuan pembangunan

millenium. Kemudian delapan sasaran umum itu,

dikembangkan melalui program Ditjen Bina

Kesmas, Kementrian Kesehatan RI, dengan lima

tambahan sasaran utama MDGs, yakni :

1.Meningkatkaan cakupan antenatal,

2.Meningkatkan cakupan persalinan yang ditolong

oleh tenaga kesehatan terlatih,

3.Meningkatkan cakupan neonatal,

4.Meningkatkan prevalensi kurang gizi pada balita,

5.Meningkatkan tingkat kunjungan penduduk

miskin ke puskesmas.

Tujuan tersebut pada dasarnya berkaitan satu

sama lain, dan MDGs bukan sekedar soal angka –

angka dan pencapaian target, namun untuk lebih

mendorong tindakan nyata. Salah satu manfaat

dari MDGs adalah berbagai persoalan yang

diusung menjadi perhatian berbagai pihak

termasuk masyarakat secara luas, seharusnya

(Stalker, 2007).

Adapun tujuan Pembangunan Milennium yang

diterapkan di Indonesia meliputi 8 tujuan

(Laporan Perkembangan Pencapaian Millennium

Development Goals Indonesia 2005: 45) yaitu :

1.Menaggulangi Kemiskinan Dan Kelaparan.

Dengan target :

1.Menurunkan proporsi penduduk yang

tingkatannya di bawah $ 1per hari menjadi

setengahnya antara tahun 1990-2015

2.Menurunkan proporsi penduduk yang menderita

kelaparan menjadi setengahnya antara tahun

1990-2015

3.Mencapai Pendidikan Dasar Untuk Semuanya.

Dengan target :

Memastikan pada tahun 2015 semua anak di

manapun, laki-laki

maupun perempuan, dapat menyelesaikan

pendidikan dasar.

1.Mendorong Kesetaraan Gender dan

Pemberdayaan Perempuan.

Dengan target : Menghilangkan ketimpangan

gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan

pada tahun 2005 dan di semua jenjang pendidikan

tidak lebih dari tahun 2015

1.Menurunkan Angka Kematian Anak

Dengan target : Menurunkan angka kematian

balita sebesar dua pertiganya, antara tahun 1990

dan 2015

1.Meningkatkan Kesehatan Ibu.

Dengan target : Menurunkan angka kematian ibu

sebesar tiga perempatnya antara tahun 1990-

2015.

1.Memerangi HIV / AIDS dan Penyakit Menular

Lainnya

Dengan target :

1.Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai

menurunnya jumlah kasus baru pada 2015

2.Mengendalikan penyakit malaria dan mulai

menurunnya jumlah kasus malaria dan penyakit

lainnya.

3.Memastikan Keberlanjutan Lingkungan Hidup

Dengan target :

1.Memadukan prisip-prinsip pembangunan

berkelanjutan dengan kebijakan dan program

nasional.

2.Penurunan sebesar separuh penduduk tanpa

akses terhadap sumber air minum yang aman

dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar

pada tahun 2015.

3.Mencapai perbaikan yang berarti dalam

kehidupan penduduk miskin di pemukiman

kumuh pada tahun 2020

4.Membangun Kemitraan Global untuk

Pembangunan

 

1.Peran perawat dalam pencapaian MDGs tahun

2015.

Peran perawat dalam pencapaian target MDGs

tahun 2015, yaitu dengan meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat seoptimal mungkin melalui

praktik keperawatan komunitas, dilakukan

melalui peningkatan kesehatan (promotif) dan

pencegahan penyakit (preventif) di semua tingkat

pencegahan (levels of prevention).Perawat dalam

melaksanakan praktik kelapangan melaksanakan

atau memberikan asuhan keperawatan di

komunitas atau masyarakat pertama, berbasis

institusi pendidikan ketika sedang menempuh

program diploma, pada saat menempuh program

sarjana (tahap akademik dan profesi), pada tahap

menempuh pascasarjana baik aplikasi maupun

spesialis, dan ketika berada di tatanan tempat

kerja yaitu didinkes dan puskesmas.

 

Orientasi praktik perawat komunitas tidak hanya

kepada masalah sakit saja tetapi juga kepada

masalah sehat, dimana perawat komunitas

mengajarkan kepada masyarakat bagaimana

mengatasi sakit supaya tidak terjadi keparahan

dan menjadi sehat sehat, dan bagi yang sehat

bagaimana menjaga kesehatannya dan

meningkatkan kesehatannya. Juga menjadikan

masyarakat dari yang tidak tau menjadi tahu, dari

yang tidak mau menjadi mau dan dari yang tidak

mampu menjadi mampu.

 

Smith, et.all (1995) menjelaskan bahwa tanggung

jawab perawat adalah:

1.Menyediakan pelayanan bagi orang sakit atau

orang cacat di rumah mencakup pengajaran

terhadap pengasuhnya,

2.Mempertahankan lingkungan yang sehat,

3.Mengajarkan upaya-upaya peningkatkan

kesehatan,

4.Pencegahan, penyakit dan injuri.

5.Identifikasi standar kehidupan yang tidak

adekuat atau mengancam penyakit/injuri.

6.Melakukan rujukan.

7.Mencegah dan melaporkan adanya kelalaian

atau penyalahgunaan (neglect & abuse).

8.Memberikan pembelaan untuk mendapatkan

kehidupan dan pelayanan kesehatan yang

sesuai standart.

9.Kolaborasi dalam mengembangkan pelayanan

kesehatan yang dapat diterima, sesuai dan

adekuat,

10. Melaksanakan pelayanan mandiri serta

berpartisipasi dalam mengembangkan

pelayanan profesional,

11. Menjamin pelayanan keperawatan yang

berkualitas, dan

12. Melaksanakan riset keperawatan.

13. Pencapaian MDGs Bidang Kesehatan di

Indonesia

Secara umum, pencapaian MDGs bidang

kesehatan di Indonesia cukup baik. Kematian bayi

dan kematian balita dapat diturunkan dengan

relatif cepat. Imunisasi pada anak secara umum

juga menunjukkan kenaikan yang cukup

signifikan. Dengan perkembangan tersebut,

kemungkinan besar, target MDGs untuk

penurunan Angka Kematian Bayi dan Angka

Kematian Balita pada tahun 2015 akan dapat

tercapai. Kematian ibu juga menunjukkan

penurunan yang cukup berarti dalam satu dekade

terakhir. Persalinan oleh tenaga kesehatan secara

konsisten menunjukkan peningkatan. Walaupun

begitu, diperlukan upaya yang lebih keras untuk

mempercepat penurunan angka kematian ibu

untuk mencapai target MDGs. Dalam hal

pengendalian penyakit menular, upaya

penanggulangan tuberkulosis (TB) telah berhasil

menunjukkan hasil yang cukup signifikan antara

lain dengan pencapaian target global dan nasional

angka keberhasilan penyembuhan TB. Namun

perkembangan penyakit HIV/AIDS dan malaria

yang cukup mengkhawatirkan masih merupakan

persoalan serius dan perlu mendapat penanganan

khusus.

1.1.      Menurunkan Kekurangan Gizi Pada

Anak Balita Menjadi Setengahnya Pada

Tahun 2015

Kekurangan gizi pada anak balita erat

hubungannya dengan kemiskinan, rendahnya

pendidikan, dan rendahnya akses ke pelayanan

kesehatan. Kurang gizi pada masa kanakkanak

menyebabkan tingginya risiko kematian,

hambatan perkembangan kecerdasan

(kemampuan kognitif) dan berpengaruh pula pada

status kesehatan pada fase kehidupan

selanjutnya. Kecukupan dan kualitas gizi

merupakan landasan utama untuk perkembangan,

kesehatan dan kelangsungan hidup sekarang dan

alih generasi. Gizi yang cukup dan seimbang pada

wanita hamil dan menyusui juga penting agar

anak-anak yang dilahirkan mempunyai

perkembangan fisik dan mental yang baik. Jika

pertumbuhan anak yang optimal, maka akselerasi

pembangunan ekonomi akan berkesinambungan.

Pada tahun 1989, prevalensi kekurangan gizi

pada anak balita sekitar 37,5 persen. Artinya dari

100 anak berusia antara 0-59 bulan, 37 anak di

antaranya menderita kekurangan gizi. Hingga

tahun 2000 prevalensi ini terus menurun hingga

mencapai 24,7 persen. Namun kemudian angka

ini kembali cenderung meningkat, dan pada tahun

2005 adalah menjadi 28 persen, dengan 8,8

persen diantaranya mengalami gizi buruk.

 

Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) 2004-2009 menargetkan

prevalensi kekurangan gizi balita pada tahun

2009 sebesar 20 persen, sedangkan tujuan MDGs

pada tahun 2015 sebesar 15 persen. Dengan

kondisi saat ini, untuk mencapai target MDGs,

maka Indonesia harus mampu menurunkan kasus

gizi kurang setiap tahun rata-rata 1,35 persen.

Dengan melihat kecenderungan yang ada, sasaran

RPJM dan MDGs tersebut akan sulit untuk dicapai

tanpa upaya khusus. Oleh karena itu Indonesia

harus berupaya keras untuk mempercepat

penurunan kekurangan gizi pada balita.

 

Salah satu faktor utama penyebab kekurangan

gizi adalah kurangnya asupan zat gizi yang cukup

dan seimbang. Hal ini terkait dengan

ketersediaan dan keterjangkauan pangan di

tingkat rumah tangga sehingga mereka dapat

mengkonsumsi kalori dan gizi secara cukup.

Faktor lain adalah perilaku asuhan keluarga

terhadap gizi balita, penyakit infeksi yang diderita

secara berulang, dan lingkungan yang tidak sehat.

Menurut WHO masalah gizi kurang pada balita

merupakan penyebab pokok (underlying causes)

yang mencapai sekitar 45 persen dari kematian

balita. Selain itu permasalahan gizi juga

ditentukan oleh penyebab tidak langsung yang

terkait dengan tingkat rendahnya pendidikan

masyarakat, kemiskinan dan masalah budaya.

1.2.      Menurunkan Kematian Anak

Kematian anak balita (anak usia di bawah 5

tahun) menjadi penting karena mencakup lebih

dari 90 persen kematian global anak-anak di

bawah usia 18 tahun. Kematian balita

merefleksikan kondisi sosial, ekonomi dan

lingkungan tempat anak-anak hidup termasuk

perawatan kesehatan mereka. Angka kematian

balita sering digunakan untuk mengidentifikasi

populasi yang mudah atau rentan (vulnerable)

terserang penyakit, karena data insiden dan

prevalen penyakit (data morbiditas) sering tidak

tersedia dengan baik.

Menurut SDKI, Angka Kematian Anak Balita

(AKBA) pada tahun 1989 sebesar 97 per 1000

kelahiran hidup. AKBA kemudian terus menurun

hingga mencapai 46 per 1000 kelahiran hidup

(2002-2003. Rata-rata penurunan AKBA pada

dekade 1990-an adalah sebesar 7 persen (3,2

balita) per tahun, lebih tinggi dari dekade

sebelumnya sebesar 4 persen per tahun. Pada

tahun 2000 Indonesia telah mencapai target yang

ditetapkan dalam World Summit for

Children (WSC) yaitu 65 per 1.000 kelahiran

hidup. Untuk pencapaian kematian balita 32 per

1000 kelahiran hidup pada 2015, Indonesia

memerlukan penurunan AKBA sebesar 1,75 per

tahun. Dengan perkembangan seperti ini,

diperkirakan target MDGs sebesar 32 per 1.000

kelahiran hidup akan dapat dicapai dengan

memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan balita

agar tidak terjadi kejadian-kejadian luar biasa

yang merenggut nyawa balita. Untuk dapat

menekan AKBA tersebut perlu dilakukan

intervensi kepada penyebab kematian balita.

Penyebab kematian balita antara lain adalah diare

(19 persen), ISPA (37 persen), campak (7 persen),

dan gizi buruk (54 persen) (SDKI, 2002).

Kematian bayi adalah kematian pada anak usia di

bawah satu tahun. Angka Kematian Bayi (AKB)

sangat relevan untuk merepresentasikan

komponen AKBA. AKB juga menggambarkan

kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan di mana

bayi tinggal. Pada tahun 1989 AKB di Indonesia

sebesar 68 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini

kemudian menurun dengan tajam dan hingga

mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup (SDKI

2002-2003). Pada tahun 2007 diproyeksikan AKB

telah mencapai 29,4 per 1.000 kelahiran hidup

(BPS, Bappenas dan UNFPA, 2005). Target AKB

MDGs pada tahun 2015 sebesar 23 per 1.000

kelahiran hidup, sedangkan target RPJM sebesar

26 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2009.

Dengan kecenderungan yang ada, diperkirakan

target ini dapat tercapai.

Diperkirakan sekitar 75 persen dari seluruh

kematian anak terjadi pada bulan pertama

kelahiran (neonatus). Menurut SDKI, penurunan

kematian neonatus relatif lebih lambat

dibandingkan dengan kematian bayi dan kematian

anak balita. Pada SDKI 1989, kematian neonatus

mencapai 29 per 1.000 kelahiran hidup dan

menurun menjadi 20 per 1.000 kelahiran hidup

(SDKI 2002-2003). Oleh karena itu, penanganan

bayi baru lahir yang memadai sangat penting

dalam menurunkan angka kematian anak.

Penyebab utama kematian neonates adalah

tetanus (10 persen), berat badan lahir rendah

(BBLR) sebesar 28 persen, asfiksia 27 persen, dan

infeksi 15 persen  (SKRT, 2001). Upaya penting

untuk menurunkan kematian neonatus antara lain

adalah meningkatkan persalinan kepada petugas

kesehatan terlatih dan pelayanan yang mampu

menangani penyebab kematian neonatus.

Angka kematian balita, bayi dan neonatus saling

mempengaruhi yang dikenal dengan fenomena

duapertiga yaitu:

1.Kematian bayi baru lahir atau neonatal (0–28

hari) merupakan duapertiga dari kematian bayi.

2.Kematian perinatal (0 – 7 hari) merupakan dua

pertiga dari kematian bayi baru lahir.

3.Kematian bayi (0 – 1 hari) merupakan

duapertiga dari kematian perinatal

4.3.       Meningkatkan Kesehatan Ibu

Kematian ibu adalah jumlah ibu meninggal karena

hamil, bersalin dan nifas (42 hari setelah

bersalin). Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia

menurun dari 390 (SDKI 1994) menjadi 307 per

100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003).

Penurunan ini antara lain disebabkan oleh

meningkatnya persalinan oleh tenaga kesehatan

dari 46,13 persen (1995) menjadi 72,4 persen

(2006). Meskipun diperkirakan AKI saat ini lebih

rendah lagi, untuk dapat mencapai tujuan MDGs,

perlu upaya yang lebih keras lagi. Pencapaian

target MDGs sebesar 102 per 100.000 kelahiran

hidup akan dapat terwujud hanya jika dilakukan

upaya yang lebih intensif untuk mempercepat laju

penurunannya. Penurunan AKI pada periode 1990

– 1994 adalah sebesar 8 persen per tahun, pada

tahun 1994 – 1997 sebesar 14 persen per tahun

dan periode 1997 – 2002 sekitar 8 persen per

tahun. Penurunan yang tinggi terjadi pada tahun

1994 ke 1997 antara lain karena adanya

intensifikasi program bidan di desa. Namun, pada

era desentralisasi, program bidan di desa kurang

mendapat perhatian sehingga penurunan angka

kematian menjadi sangat lambat. Bila pemerintah

ingin mengejar ketinggalan penurunan angka

kematian ibu dengan asumsi AKI sama dengan

2002 maka penurunan AKI setiap tahun harus

mencapai 26 ibu per 100.000 kelahiran hidup.

Apabila asumsi AKI tahun 2007 sebesar 262,

maka penurunan AKI setiap tahun mencapai 16

ibu per 100.000 kelahiran hidup. Dengan

demikian, AKI merupakan salah satu tujuan MDGs

yang sulit tercapai (off track) jika pemerintah

tidak memfokuskan semua sumberdaya dan jenis

intervensi dengan lebih efektif

Kematian ibu dipengaruhi oleh berbagai faktor

termasuk status kesehatan secara umum,

pendidikan dan pelayanan kesehatan selama

kehamilan dan persalinan. Penyebab utama

kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan (28

persen), infeksi (24 persen), eklamsia (11),

komplikasi puerperium atau nifas (8 persen),

partus macet/lama (5 persen), komplikasi abortus

(5 persen) dan lainnya (11 persen).

 

4. Menanggulangi HIV/AIDS, Malaria, dan Penyakit Menular  Lainnya

a. HIV dan AIDS

Saat ini Indonesia menghadapi epidemi Human

Immune Virus(HIV) dan Acquired Immune

Deficiency Syndrome (AIDS) yang cukup serius.

Walaupun prevalensi AIDS pada populasi umum

masih cukup rendah, namun pada sub-populasi

perilaku berisiko seperti pengguna narkotika dan

psikotropik suntik (intravenous drug use/IDU) dan

pekerja seks komersial telah melebihi 5 persen.

Bahkan di Papua, HIV dan AIDS telah masuk pada

populasi umum dengan prevalensi 2,4 persen

(usia 15-49 tahun). Kasus HIV dan AIDS

meningkat cukup tajam dari 276 kasus HIV dan

112 kasus AIDS (1995) menjadi 5.229 kasus HIV

dan 8.139 kasus AIDS (2006). Jika pada tahun

2004 hanya 16 provinsi yang melaporkan adanya

kasus AIDS, maka pada tahun 2007 AIDS telah

dilaporkan di 32 provinsi. Hingga akhir

September 2007, jumlah kumulatif kasus AIDS

yang dilaporkan mencapai 10,384 kasus. Angka

penggunaan kondom digunakan untuk memonitor

perkembangan arah penghentian dan

pengurangan penyebaran HIV/AIDS. Kondom juga

merupakan metode yang efektif dalam

pengurangan penyebaran HIV. Penggunaan

kondom saat hubungan seksualdengan pekerja

seks komersial pada tahun 2004 mencapai 59,7

persen, naik dari 41 persen pada tahun

sebelumnya. Meskipun demikian, survei di tiga

kota menunjukkan bahwa hanya 10 persen dari 7-

10 juta pelanggan seks pria yang menggunakan

kondom secara konsisten.

Survey di Papua tahun 2006 menunjukkan bahwa

penggunaan kondom dalam hubungan sekspada

pekerja komersial juga sekitar 14,1 persen.

Sementara itu, penggunaan kondom sebagai alat

KB (contraceptive prevalence rate) pada wanita

berstatus kawin pada tahun 2002-2003 sebesar

0,9 persen. Sebesar 65,8 persen wanita dan 79,4

persen pria usia 15-24 tahun telah mendengar

tentang HIV dan AIDS. Pada wanita usia subur

usia 15-49 tahun, sebagian besar (62,4 persen)

telah mendengar HIV dan AIDS, tetapi hanya 20,7

persen di antaranya yang mengetahui bahwa

menggunakan kondom setiap berhubungan

seksual dapat mencegah penularan HIV (SDKI

2002-2003).

b.Malaria

Hampir separuh populasi Indonesia—sebanyak

lebih dari 110 juta orang—tinggal di daerah

endemik malaria, sebagian besar berada di bagian

timur Indonesia di mana malaria merupakan

penyakit endemik. Di Jawa Tengah dan Jawa

Barat, malaria merupakan penyakit yang muncul

kembali (re-emerging diseases). Diperkirakan saat

ini terdapat 30 juta kasus malaria setiap

tahunnya. Sejak tahun 1990, kasus malaria

cenderung berfluktuasi dengan kecenderungan

menurun dari tahun 1990 hingga tahun 1996,

kemudian meningkat cukup tinggi pada tahun

2000. Sejak tahun 2000, kasus malaria cenderung

mengalami penurunan hingga pada tahun 2005

mencapai 18,94 kasus per 1.000 penduduk

(Annual Parasite Rate/API di Jawa dan Bali) dan

0,15 kasus per 1.000 penduduk (Annual Malaria

Rate/AMI di luar Jawa dan Bali). Di antara anak di

bawah lima tahun (balita) dengan gejala klinis

malaria, hanya sekitar 4,4 persen yang menerima

pengobatan malaria. Sementara balita yang

menderita malaria umumnya hanya menerima

obat untuk mengurangi demam (67,6 persen).

Kurang lebih separuh dari kasus yang dilaporkan

diperkirakan hanya didiagnosis berdasarkan

gejala klinis tanpa dukungan konfirmasi

laboratorium.

c.Tuberkulosis (TB)

Indonesia juga masih berada pada urutan ketiga

terbesar penyumbang kasus tuberkulosis (TB) di

dunia. Tahun 2005 prevalensiTB (all cases)

nasional mencapai 262 per 100.000 penduduk

dengan 533,000 kasus. Insidens bakteri tahan

asam positif (smear sputum positive atau SS+)

nasional pada tahun 2005 adalah 125 kasus per

100.000 penduduk di menunjukkan prevalensi

bakteri tahan asam positif tahun 1990 menurut

kawasan Sumatera, Jawa Bali, Kawasan Indonesia

Timur, dan nasional masing-masing menurun

sebesar 35 persen, 54 persen, 28 persen, dan 42

persen. Angka kematian tuberculosis (death rate)

secara nasional pada tahun 2005 sebesar 41 per

100.000 penduduk Kinerja program TBDirectly-

Observed Treatment Short Course (DOTS) telah

meningkat dengan baik. Angka penemuan kasus

TB meningkat pesat dari 1 persen menjadi 76

persen (2006) dan angka keberhasilan

pengobatan TB meningkat tajam dari 51 persen

menjadi 91 persen (2005). Dengan kemajuan ini,

Indonesia telah mencapai target global dan

nasional sebesar 85 persen. Pada tahun 2003,

sebanyak 87 persen penderita menyelesaikan

pengobatan (pengobatan lengkap dan sembuh).

Angka ini telah mencapai target global dan

nasional sebesar 85 persen pada tahun 2000.

Angka keberhasilan pengobatan ini pada tahun

2005 terus meningkat menjadi 91 persen.

 

 

 

BAB III

PENUTUP

1.KESIMPULAN

Millennium Development Goals atau disingkat

dalam bahasa Inggris MDGs, adalah Deklarasi

Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan

perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB), ditandatangani oleh 147 kepala

pemerintahan dan kepala negara pada saat

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New

York pada bulan September 2000.

Adapun peran perawat dalam pencapaian target

MDGs tahun 2015, yaitu dengan meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat seoptimal mungkin

melalui praktik keperawatan komunitas,

dilakukan melalui peningkatan kesehatan

(promotif) dan pencegahan penyakit (preventif) di

semua tingkat pencegahan (levels of prevention).

Secara umum, pencapaian MDGs bidang

kesehatan di Indonesia cukup baik, seperti 

kematian bayi dan kematian balita dapat

diturunkan dengan relatif cepat.

 

1.SARAN

Adapun yang saya harapkan, hendaknya kita tetap

menjaga kesehatan karena kesehatan merupakan

salah satu tiang utama dalam usaha peningkatan

kualitas  sumber daya manusia maupun dalam

peningkatan kesejahteraan masyarakat. Terdapat

tiga tujuan MDGs yang berhubungan langsung

dengan sektor kesehatan, maka marilah kita

berusaha untuk mewujudkan Indonesia sehat

dengan mengoptimalkan pelaksanaan program

MDGs 2015.