Makalah m Darma Shalihin
-
Upload
muhammad-darma -
Category
Documents
-
view
232 -
download
5
Transcript of Makalah m Darma Shalihin
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Stroke adalah penyebab cacat nomor satu dan penyebab kematian
nomor dua di dunia. Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang
mendunia dan semakin penting, dengan dua pertiga stroke sekarang terjadi di
negara-negara yang sedang berkembang. Secara global pada saat tertentu
sekitar 80 juta orang menderita akibat stroke. Terdapat 13 juta orang korban
stroke baru setiap tahun, dimana sekitar 4,4 juta diantaranya meninggal dalam
12 bulan. Terdapat sekitar 250 juta anggota keluarga yang berkaitan dengan
para pengidap stroke yang bertahan hidup. Selama perjalanan hidup mereka,
sekitar empat dari lima keluarga akan memiliki salah seorang anggota
keluarga mereka yang terkena stroke (Feigin, 2006).
Setiap tahun 200 dari tiap 100.000 orang di Eropa menderita stroke
dan menyebabkan kematian 275.000-300.000 orang di Amerika. Di pusat-
pusat pelayanan neurologi di Indonesia jumlah penderita gangguan peredaran
darah otak (GPDO) selalu menempati urutan pertama dari seluruh pasien
rawat inap (Harsono, 2005).
Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti
sekarang ini, mengakibatkan perubahan yang sangat besar dalam kehidupan
masyarakat. Perubahan tersebut dapat terlihat dengan jelas, mulai dari
makanan yang dikonsumsi sampai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat lebih menyukai makanan yang cepat saji dan berkolesterol tinggi
2
dibanding makanan yang alami. Masyarakat juga mempunyai kecenderungan
untuk beraktivitas fisik yang sangat minimal karena adanya peralatan yang
sangat canggih untuk membantu aktivitas keseharian mereka. Selain itu,
masyarakat juga mempunyai tingkat stress yang cukup tinggi dan kebiasaan
lain yang buruk, seperti: merokok, minum-minuman keras dan lain-lain yang
semua itu dapat mengakibatkan mereka terkena penyakit-penyakit yang
diakibatkan oleh gaya hidup yang tidak sehat terutama stroke.
Tingkat penyembuhan stroke masih sangat rendah, sebanyak 15-30%
pasien akan menderita kelumpuhan atau cacat yang permanen, kehilangan
suara atau daya ingat, dan berbagai akibat lainnya. Sekitar 25% dari pasien
stroke meninggal dalam tahun pertama setelah terserang stroke dan 14-15%
mengalami stroke kedua dalam tahun yang sama setelah mengalami stroke
yang pertama (Sustrani, 2004).
Dilihat dari aspek fisioterapi, stroke non haemoragik stadium recovery
mengakibatkan berbagai tingkat gangguan yaitu impairment seperti
abnormalitas tonus yang berupa spastisitas, gangguan koordinasi dan
keseimbangan, functional limitation meliputi menurunnya kemampuan
aktivitas fungsional keseharian yang meliputi perawatan diri serta transfer dan
ambulasi dan pada tingkat disability yaitu ketidakmampuan melakukan
aktivitas sosial dan berinteraksi dengan lingkungan.
Fisioterapi mempunyai modalitas yang sangat sesuai untuk
mengurangi bahkan mengatasi gangguan-gangguan tersebut di atas, yaitu
dengan menggunakan modalitas infra red, ultra sound dan terapi latihan.
3
B. Rumusan Masalah
Pendekatan yang dilakukan oleh fisioterapis sehubungan dengan
perbaikan kualitas gerak dan fungsi menimbulkan beberapa pertanyaan yaitu :
1. Apakah dengan menggunakan modalitas infra red dapat meningkatkan
tonus otot,
2. Apakah dengan menggunakan ultra sound dapat memecah perlengketan
pada tendon achiles,
3. Apakah dengan menggunakan terapi latihan dapat menjaga dapat
mempertahankan tonus otot,
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengaruh modalitas infra red terhadap tonus otot,
2. Untuk mengetahui pengaruh ultra sound dapat memecah perlengketan pada
tendon achiles.
3. Untuk mengetahui pengaruh terapi latihan dapat menjaga dan
mempertahankan tonus otot.
D. Manfaat
a. Bagi Penulis
1. Menambah dan memperluas pengetahuan serta penulisan tentang
kondisi hemiparese post stroke non hemorage dextra dan bentuk-bentuk
terapinya.
2. Memberikan informasi kepada fisioterapi pada khususnya dan kepada
tenaga kesehatan pada pemberian US (ultra sound) dapat mengurangi
perlengketan pada tendon achiles.
4
3. Memberikan informasi kepada fisioterapi pada khususnya dan kepada
tenaga kesehatan umumnya bahwa terapi latihan dapat meningkatkan
kekuatan otot pada bahu serta dapat meningkatkan lingkup gerak sendi
pada bahu.
b. Bagi Rumah Sakit
Bermanfaat untuk salah satu sebagai metode dirumah sakit yang
dapat diaplikasikan kepada pasien hemiparese post stroke non hemorage,
sehingga dapat dilayani secara optimal.
c. Bagi Pembaca
Dapat manifestasi tentang kondisi hemiparese post stroke non
hemorage, sehingga dapat mengerti dan mengetahui tentang cara
pelayanan pada pasien hemipare post stroke non hemorage serta mampu
mengetahui hemiparese post stroke non hemorage dengan baik.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Kasus
1. Defenisi Stroke
Stroke adalah penyakit gangguan fungsional akut akibat gangguan
aliran darah ke otak karena perdarahan ataupun sumbatan dengan gejala dan
tanda sesuai bagian otak yang terkena, yang dapat sembuh sempurna, sembuh
dengan cacat, atau berakibat kematian (Junaidi, 2006). Jenis stroke ada 2,
yaitu (1) stroke hemoragik dan (2) stroke non hemoragik.
Stroke non hemoragik adalah gangguan peredaran darah otak yang
disebabkan oleh adanya penyumbatan suatu arteri serebral yang terjadi karena
thrombus yang terlepas dari perlengketannya (emboli) atau karena thrombus
setempat yang belum total mengurangi jatah darah kawasannya pada waktu
tekanan sistemik menurun (Sidharta, 1995). Sedangkan stroke hemoragik
adalah pecahnya pembuluh darah di otak sehingga terjadi perdarahan ke dalam
jaringan otak (disebut hemoregia intraserebrum atau hematoma intraserebrum)
atau ke dalam ruang subaraknoid, yaitu ruang sempit antara permukaan otak
dan lapisan jaringan yang menutupi otak (disebut hemoragia subaraknoid)
(Feigin 2006). Berdasarkan perjalanan kliniknya stroke dibagi menjadi 4 yaitu
: (1) TIA (Transient Ischemik Attack) : gejala dan tanda hilang dalam waktu
beberapa detik sampai dengan 24 jam. Defisit neurologis dapat berupa
hemiparese, monoparese, gangguan penglihatan, sulit bicara. (2) RIND
(reversible ischemic neurological deficit) : tanda dan gejala dalam beberapa
hari sampai dengan satu minggu. (3) Stroke in evolution atau progressive 6
6
stroke : defisit neurologikal bersifat fluktuatif, progresif kearah jelek, biasanya
disertai penykit penyerta (diabetes mellitus (DM), gangguan fungsi jantung,
gangguan fungsi ginjal, dll), (4) Complete stroke (stroke komplit) : defisit
neurologikal bersifat permanent.
Stadium recovery adalah stadium pada penderita stroke dimana terjadi
reabsorbsi oedem pada otak, sehingga terjadi penurunan proses desak ruang
akut yang ada didalam otak, aktifitas reflek spinal sudah dapat berfungsi tetapi
belum mendapat respon dari sistem supraspinal, berlangsung sekitar 6-8 bulan
setelah terjadinya serangan stroke. Apabila fase ini diberikan penanganan
yang baik maka perbaikan kearah impairment masih dapat ditingkatkan.
(Kuntono, 2002)
B. Anatomi
1. Anatomi fungsional otak
Sistem saraf merupakan salah satu sistem dalam tubuh yang dapat
berfungsi sebagai media komunikasi antar sel maupun organ dan dapat
berfungsi sebagai pengendali berbagai sistem organ lain yang berjalan relatif
cepat dibandingkan dengan sistem humoral, karena komunikasi berjalan
melalui proses penghantaran impuls listrik disepanjang saraf. Berdasarkan
struktur dan fungsinya, sistem saraf secara garis besar dapat dibagi dalam
sistem saraf pusat (SSP) yang terdiri dari otak dan medula spinalis dan sistem
saraf tepi (SST). Didalam sistem saraf pusat terjadi berbagai proses analisis
informasi yang masuk serta proses sintesis dan mengintegrasikannya (Singgih,
2003).
7
Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf pusat yang
mengalami perubahan secara bertahap dan organ vital yang ikut berpartisipasi
dalam mengurus dan melaksanakan gerakan melalui susunan neuromuskuler
volunter. Otak dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu cortex cerebri, ganglion
basalis, thalamus serta hypothalamus, mesencephalon, trunkus cerebri, dan
cerebellum (Chusid, 1990). Menurut Sidharta (1997) secara anatomi, susunan
neuromuskulus volunter dibagi menjadi dalam Upper Motor Neuron (UMN)
yang memberi impuls dari kortek presentralis (area 4) hingga di kornu anterior
dari substansia grisea medula spinalis lalu dilanjutkan oleh Lower Motor
Neuron (LMN) hingga pada motor end plate lalu timbul suatu gerakan dari
otot itu sendiri tapi secara group otot dapat menimbulkan gerakan nyata.
Otak merupakan bagian sistem saraf pusat dimana dalam
pembagiannya digolongkan menjadi korteks serebri, ganglia basalis, thalamus
dan hypothalamus, mesenchepalon, batang otak, dan serebelum. Bagian ini
dilindungi oleh tiga selaput pelindung (meningens) yaitu duramater,
arachnoidea, piamater dan dilindungi oleh tulang tengkorak (Chusid, 1993).
Otak terdiri dari neuron – neuron, sel glia, cairan serebrospinalis, dan
pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah neuron yang sama yaitu
sekitar 100 miliar tetapi jumlah koneksi diantara berbagai neuron tersebut
berbeda – beda. Orang dewasa yang mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan
50% glukosa di dalam darah arterinya hanya membentuk sekitar 2% atau 1,4
kg koneksi neuron dari berat tubuh total (Feigin, 2006).
Lobus pada otak terdiri dari Lobus frontalis meluas dari ujung frontal
yang berakhir pada sulcus centralis dan di sisi samping pada fissura lateralis,
8
kemudian lobus ini terbagi menjadi beberapa sulcus dan gyrus. Lobus
Parietalis meluas dari sulcus centralis sampai fissura parietal occipitalis dan
ke lateral setinggi fissura cerebri lateralis. Lobus Occipitalis merupakan
lobus posterior yang membentuk piramid dan terletak di belakang fisura
parieto occipitalis. Lobus temporalis dari hemisferium cerebri terletak di
bawah fisura parieto occipitalis.
a. Korteks serebri
Korteks serebri merupakan bagian terluar dari hemisferium serebri.
Pada permukaan korteks serebri terdapat alur-alur atau parit-parit yang dikenal
dengan sulcus. Sedangkan bagian yang terletak di antara alur-alur atau parit-
parit ini dinamakan gyrus. Sulcus dan gyrus ini membagi otak menjadi lobus-
lobus yang namanya sesuai dengan nama tulang tengkorak yang
menutupinya, (lihat gambar 2.1).
Adapun lobus-lobus pada otak itu adalah :
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis meluas dari ujung frontal yang berakhir pada
sulcus centralis dan di sisi samping pada fissura lateralis. Fungsi dari
lobus frontalis adalah pusat berfikir.
2) Lobus parietalis
Lobus parietalis meluas dari sulcus centralis sampai fissura
parieto-occipitalis dan ke lateral sampai setinggi fissura cerebri
lateralis. Fungsi dari lobus parietalis adalah pusat bicara.
3) Lobus occipitalis
9
Lobus occipitalis merupakan lobus posterior yang berbentuk
pyramid dan terletak di belakang fissura parieto-occipitalis. Fungsi
dari lobus occipitalis adalah pusat penglihatan.
4) Lobus temporalis
Bagian lobus temporalis dari hemisferium serebri terletak di
bawah fissura lateralis serebri dan berjalan ke belakang sampai fissura
parieto-occipitalis. Fungsi dari lobus temporalis adalah pusat
keseimbangan.
Gambar 2.1.
Hemisferium serebri kiri dilihat dari lateral (Martin, 2003)
Keterangan :
10
1. Lobus frontalis
2. Lobus parietalis
3. Lobus occipitalis
4. Lobus temporalis
b. Traktus Ekstrapiramidalis
Pada gambar 2.2, traktus ekstra piramidalis terdiri atas susunan
beberapa komponen diantaranya corpus striatum, globus palidus,
thalamus, substansia nigra, formation lentrikularis batang otak,
serebellum dan kortex motorik ( area 4, 6, 8). Komponen tersebut saling
berhubungan dengan akson masing – masing membentuk sirkuit. Traktus
ekstrapiramidalis merupakan suatu mekanisme yang tersusun dari jalur –
jalur dari korteks motorik menuju anterior horn cell (AHC) pada medulla
spinalis. Secara sederhana lintasan sirkuit ekstrapiramidalis dibedakan
dalam striatal utama (principal) dan tiga sirkuit penunjang (asesorik) yang
terintegrasi dalam susunan sensorik dan motoris sehingga seperti
mempunyai sistem masukan pengeluaran. fungsi utama dari sistem
ekstrapiramidalis berhubungan dengan gerak yang berkaitan, pengaturan
sikap tubuh, dan integrasi otonom (Mahar dan Priguna, 1989).
Lesi traktus ekstrapiramidalis di tandai dengan : (1) paralysis
parah dengan sedikit atau tanpa atropi otot (kecuali sebagai akibat
sekunder dari inaktifitas), (2) spastisitas atau hipertonus otot – otot gerak
bawah dipertahankan dalam keadaan ekstensi dan anggota gerak atas
dipertahankan dalam keadaan fleksi, (3) peningkatan reflek otot dalam
11
serta klonus dapat ditemukan pada fleksor jari – jari tangan , otot
quadriceps, dan otot paha, (4) reaksi pisau lipat dimana terjadi ketika
berusaha mengadakan gerakan pasif suatu sendi terdapat tahanan oleh
karena adanya spastisitas otot (Snell, 1996).
12
Gambar 2.2.
Traktus Ekstrapiramidalis (Duss,1996)
13
c. Traktus Piramidalis
Traktus piramidalis berasal dari sel sel betz pada lapisan kelima
corteks cerebri pada gyrus precentralis lobus frontalis. Pada gambar 2.3,
serabut berasal dari gyrus precentralis lobus frontalis, berjalan ke caudal
menuju corona radiata kemudian masuk kedalam capsula interna dan
menduduki 2/3 bagian genu capsula interna, masuk ke diensepalon, lalu
pada daerah pendukulus cerebri yang merrupakan bagian dari
mesencepalon, setelah itu menuju pons varolli dan sampai di medulla
oblongata menempati suau bangunan yang disebut piramis. Diperbatasan
antara medulla oblongata dan medulla spinalis sebagian besar traktus ini
menyeberang (yang dari kiri kekanan dan sebaliknya), kira – kira 85 %
disebut traktus kortiko spinalis lateralis, kira kira 15 % melanjutkan diri
kebawah, yang disebut traktus cortico spinalis anterior. Tempat
persilangan ini disebut decusatio piramidalis. Fungsi sistem piramidalis
berhubungan dengan gerakan terampil dan motorik halus.
Lesi traktus piramidalis di tandai dengan : (1) adanya reflek
babinsky yang ditandai dengan ibu jari kaki terefleksi ke dorsal bila kulit
sepanjang bagian lateral telapak kaki di gores, (2) hilangnya reflek
abdominal superficialis dimana otot abdominal gagal berkontraksi ketika
dilakukan goresan pada kulit abdomen, (3) hilangnya reflek kremester
dimana otot – otot kremestel gagal berkontraksi ketika kulit pada sisi
medial paha digores, (4) hilangnya penampakan gerakan – gerakan
volunter terlatih yang halus terutama terjadi pada ujung – ujung distal
anggota gerak (Snell, 1996).
14
Gambar, 2.3.
Traktus Piramidalis (Duus 1996)
Keterangan gambar 2.3
1. Talamus 2. Traktus kortikopontis
3. Pedunkulus cerebral 4. Pons
5. Medulla oblongata 6. Traktus kortikospinalis lateral
7. Lempeng akhir motorik 8. Traktus kortikospinalis anterior
9. Dekusasio pyramidalis 10. Pyramida
11. Traktus pyramidalis 12. Traktus kortikonuklearis
13. Traktus kortikomesensefalitis 14. Kaput nukleus kaudatus
15. Kapsula interna 16. Nukleus lentikularis
17. Kauda nukleus kaudatus
15
2. Anatomi Peredaran Darah
Darah mengalir ke otak melalui 2 pasang pembuluh darah besar, yaitu
sepanjang arteri karotis interna (disebut sirkulasi anterior) dan sepasang
arteri vertebralis (disebut sirkulasi posterior). Kedua sirkulasi darah tersebut
membentuk anastomosis yang disebut sirkulasi willis (gambar 2.4). Sirkulasi
willisi dibentuk oleh hubungan antara arteri karotis interna, arteri cerebri
anterior, arteri cerebri posterior, arteri basilaris, arteri communicans
anterior, arteri communicans posterior. Sistem ini memungkinkan pembagian
darah didalam kepala untuk mengimbangi setiap gerakan leher kalau aliran
darah dalam suatu pembuluh nadi leher mengalami kegagalan. Sistem tersebut
juga membantu kalau ada penyakit yang menyumbat di salah satu pembuluh
nadi tersebut.
Arteri karotis interna bercabang menjadi arteri cerebri anterior dan
arteri cerebri media. Arteria cerebri posterior dihubungkan dengan arteria
cerebri media melalui arteria komunikans posterior, sedangkan arteria
cerebri anterior dihubungkan dengan arteri cerebri media oleh arteria
communicans anterior. Arteri basilaris dibentuk dari persambungan antara
arteri - arteri vertebralis.
Suplai darah ke korteks cerebri terutama melalui cabang – cabang
kortikal dari arteri cerebri anterior, arteri cerebri media, dan arteri cerebri
poseriort yang mencapai korteks didalam piameter. Permukaan lateral masing
– masing hemisferium cerebri mendapat darah terutama dari arteri cerebri
media. Permukaan medial dan inferior hemisferium cerebri diperdarahi oleh
aretri cerebri anterior dan arteri cerebri posterior.
16
Gambar 2.4.
Tempat arteriosclerosis; nomor menentukan urutan pada frekuensi
(Mahar dan Priguna, 1989)
17
Capsula interna memperoleh darah dari arteri lenticulostriata yang
berada dari bagian basal arteri cerebri media. Messencepalon diperdarahi
oleh arteri basillaris, arteri cerebri posterior, cerebelli superior. Pons
memperoleh darah dari arteri basilaris, arteri cerebelli anterior, arteri
cerebelli inferior, arteri cerebelli superior. Medulla oblongata diperdarahi
oleh arteri vertebralis , arteri spinalis anterior, arteri spinalis posterior,
arteri serebelli posterior inferior dan arteri bassilaris. cerebellum diperdarahi
serebelli superior, arteri serebelli anterior inferior,dan arteri serebelli
posterior inferior (Chussid, 1993).
Aliran vena batang otak dan serebelum berjalan paralel sesuai dengan
distribusi pembuluh darah arterinya. Sebagian besar drainase vena serebrum
adalah vena – vena dalam yang mengalirkan darah ke pleksus vena
superfisialis dan ke sinus – sinus dura, yang kemudian masuk ke vena
jugularis interna di dasar tengkorak dan bersatu dengan sirkulasi umum
(Chusid, 1993).
Perdarahan di otak dapat di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : (1)
Tekanan darah dikepala, (2) Resisted Cerebrovaskuler yaitu resitensi terhadap
aliran darah arterial yang melewati otak yng dipengauhi oleh tekanan
intracranial, viskositas darah dan keadaan pembuluh darah otak. (Chussid,
1993).
3. Etiologi
Menurut klasifikasi uji coba The National Institute of Neurological
Disorders Stroke Part III (NINDS III) berdasarkan penyebabnya stroke
iskemik dibagi menjadi 4 golongan, yaitu (1) aterotrombotik, yaitu
18
penyumbatan pembuluh darah oleh plak, (2) kardioemboli, yaitu sumbatan
pembuluh darah oleh pecahan plak, (3) lakuner, yaitu sumbatan plak pada
pembuluh darah yang berbentuk lubang (4) hipotensi (Junaidi, 2006).
Pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun, penyumbatan atau
penyempitan disebabkan oleh arterisklerosis yang terjadi pada hampir 2/3
pasien stroke non haemoragik. Emboli cenderung terjadi pada orang dengan
penyakit jantung (tachikardi, aritmia, kelainan katup) dan ¼ stroke ischemik
disebabkan emboli terutama kardioemboli. Sekitar 5-10% kasus stroke
ishemik disebabkan oleh gangguan darah, peradangan dan infeksi. Banyak
faktor resiko yang membuat seseorang rentan terhadap serangan stroke
diantaranya hipertensi, penyakit jantung, arterisklerosis, transient ishcemic
attack (TIA), diabetes, riwayat keluarga, migrain, merokok, makanan tidak
sehat, alkohol, inaktivitas fisik, kontrasepsi oral dan terapi sulih hormon, stres
dan depresi, narkoba, obesitas, dan cedera leher (Feigin, 2006).
4. Patologi
Telah disebutkan sebelumnya bahwa stroke non haemoragik adalah
penyumbatan aliran darah. Penyumbatan paling banyak disebabkan oleh suatu
adanya trombosis dan emboli (Junaidi, 2006).
Trombosis serebri merupakan penyebab stroke yang paling sering
yang biasanya berkaitan dengan kerusakan lokal dinding pembuluh darah
akibat aterosklerosis. Proses pembentukannya ditandai oleh plak berlemak
pada lapisan intima arteria besar. Bagian intima arteria serebri menjadi tipis
dan berserabut, sedangkan sel-sel ototnya menghilang, sehingga lumen
pembuluh darah terisi oleh materi sklerotik tersebut. Hilangnya intima akan
19
membuat jaringan ikat terpapar. Trombosit menempel pada permukaan yang
terbuka sehingga permukaan dinding pembuluh darah menjadi kasar.
Trombosit akan melepaskan enzim adenosine difosfat yang mengawali
mekanisme koagulasi dan akhirnya seluruh arteri akan tersumbat dengan
sempurna. Suplay darah ke otak akan berkurang sehingga akan timbul iskemia
pada otak (Price and Wilson, 1995).
Emboli serebri termasuk urutan kedua penyebabab stroke. Emboli
serebri adalah penyumbatan pembuluh darah oleh sepotongan kecil bekuan
darah, tumor lemak, udara atau segumpal bakteri. Setelah terjadi penyumbatan
pembuluh darah, maka akan terjadi nekrosis pada daerah yang diperdarahi
oleh pembuluh tersebut. Sumber emboli serebri yang paling umum ialah
penyakit jantung, sekalipun emboli juga dapat terjadi pada proses-proses
trombosis atau supuratif dari setiap bagian tubuh atau pada penyakit
ekstrakranial. Emboli udara dapat terjadi setelah cedera pada paru-paru,
emboli lemak dapat menyertai fraktur tulang panjang. Embolus dapat
menyumbat pembuluh darah otak secara total atau partial. Daerah jaringan
otak yang disuplai oleh pembuluh darah ini akan mengalami infark (Chusid,
1993).
Pada keadaan pasca stroke kerusakan otak dapat di golongkan sebagai
berikut (1) Kerusakan dari sel otak yang aktual akibat dari lesinya atau disebut
zona nekrotik yang bersifat iriversibel permanen yang berlangsung lebih dari 6
bulan (area umbra), (2) Gangguan fisiologis sekunder dari sel saraf lain di
sekitar atau yang terkait dengan sel otak yang rusak disebut area penumbra,
yang diakibatkan oleh neural shock, odema, terputusnya aliran darah, atau
20
denervasi sebagian neuron pasca synapsis. Area penumbra ini dibagi menjadi
dua yaitu zona degenerasi reversibel yang berlangsung 6-8 bulan, dan area
odematosa bersifat riversibel yang berlangsung 6-10 hari (Setiawan, 2007)
Proporsi luas zona umbra dan penumbra bisa sangat bervariasi
terantung tipe lesi pada otak. Kejadian mendadak terlokalisir (misal stroke)
proporsi hampir sama antara keduanya, tetapi pada kejadian yang lambat
(misal tumor) mungkin hanya ada area umbra tanpa ada penumbra. Sedangkan
suatu trauma mungkin mengakibatkan area penumbra lebih dominan
(Setiawan, 2007).
5. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala lesi sangat bervariasi tergantung topis dan derajat
berat lesi. Adapun gejala serang stroke meliputi (1) lumpuh/lemah tiba-tiba
pada salah satu sisi tubuh, (2) rasa tebal dan kesemutan pada salah satu sisi
tubuh, (3) tiba-tiba jatuh saat jalan, (4) kadang disertai pusing berputar, sakit
kepala, mual dan muntah. Selain itu juga terdapat abnormalitas tonus,
gangguan gerak volunter, gangguan keseimbangan dan koordinasi, gangguan
sensoris yang meliputi proprioreseptif, interoreseptif, dan eksteroreseptif,
gangguan fungsi luhur beruapa gangguan kognitif , atensi, dan memori
(Sidharta, 2001).
6. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi setelah serangan stroke adalah: (1)
kejang pada pasien pasca stroke sekitar 4-8 %, (2) Trombosis Vena Dalam
(TVD) sekitar 11-75 % dan Embboli Pulmonum sekitar 3-10 %, (3)
21
perdarahan saluran cerna sekitar 1-3 %, (4) dekubitus, (5) pneumonia, (6)
stress, (7) bekuan darah, (8) nyeri pundak dan subluxation (Junaidi, 2006).
7. Prognosis
Prognosis thrombosis serebri ditentukan oleh lokasi dan luasnya
infark, juga keadaan umum pasien. Umumnya makin lambat
penyembuhannya, maka semakin buruk prognosisnya. Pada emboli serebri,
prognosis ditentukan juga dengan adanya emboli dalam organ-organ yang
lain. Bila pasien dapat mengatasi serangan yang akut, prognosis kehidupannya
baik. Dengan rehabilitasi yang aktif, banyak penderita dapat berjalan lagi dan
mengurus dirinya. (Chusid, 1993).
8. Diagnosis banding
Diagnosis banding penyebab stroke non haemoragik, yaitu thrombosis
dan emboli menurut Chusid (1993) yaitu onset yang relatif lambat menyokong
diagnosa thrombosis. Sedang endocarditis infeksiosa, fibrilasi atrium dan
infark myocard menyokong diagnosa emboli. Ada beberapa penyakit yang
memiliki tanda dan gejala yang menyerupai stroke, misalnya trauma kepala,
tumor intracranial, meningitis atau virus. Untuk menegakkan diagnosis
tersebut diperlukan pemeriksaan yang lebih spesifik misalnya: Coputerized
Tomography Scanning (CT Scan), Magnetic Resonace Imaging (MRI),
Possitron Emesion Tomograph Scanning (PET Scan) dan pemeriksaan
penunjang laboratorium.
22
9. Problematika Fisioterapi
Problem Fisioterapi dibedakan menjadi 2 yaitu : (1) akibat infark otak
dan (2) akibat imobilisasi. Pada infark akan terjadi problem misalnya terjadi
hemiplegia atau monoplegia, gangguan koordinasi, serta gangguan aktivitas
fungsional. Sementara akibat adanya imobilisasi akan terjadi gangguan : atropi
otot, penurunan kapasitas kerja, reflek vasomotor postural akan berkurang,
penurunan kekuatan kontraksi otot, dan masih banyak lagi. Problem fisioterapi
pada stroke iskemik stadium recovery diantaranya adalah munculnya reflek
menuju ke arah hipertonus yang ditandai dengan munculnya klonus terutama
pada sendi-sendi lutut dan pergelangan kaki di sisi yang lumpuh, muncul
gangguan keseimbangan dan koordinasi, serta muncul spastisitas.
Problem utama fisioterapi pada stadium recovery pada awalnya adalah
ketidakmampuan pasien untuk bergerak /menggerakkan pada sisi yang
lumpuh baik kanan ataupun kiri yang berupa flaccid atau hipotonus.
Selanjutnya akan muncul pola sinergis pada kelompok otot tertentu dan
spastisitas, potensial terjadi gangguan akibat imobilisasi pada sisi yang
lumpuh, kondisi ini akan diperparah apabila pasien tidak mempunyai
kemampuan atau tidak mau menggerakkan anggota tubuhnya yang lumpuh
sehingga berakibat pula pada sendi. Karena sendi yang jarang digunakan
untuk beraktivitas (imobilisasi) akan berpotensi untuk terjadi kekakuan, serta
otot-otot di sekitar sendi tersebut dapat mengalami atropi atau kontraktur,
karena selalu dalam keadaan menetap dan tidak terjadi kontraksi yang
mengakibatkan elastisitas dari otot tersebut terganggu. Untuk menghindari
semua ini, maka perlu diberikan latihan sedini mungkin pada penderita stroke.
23
C. Teknologi Intervensi Fisioterapi
1. Infra Red
a.Defenisi
Sinar Infra Red adalah pancaran gelombang elektromagnetik
dengan panjang gelombang 7.700 A – 4.000.000 A (Sujatno, 1993).
Berdasarkan panjang gelombang sinar Infra Red dibagi menjadi 2
macam yaitu gelombang panjang dan gelombang pendek. Infra Red
gelombang panjang memiliki panjang gelombang 12.000 A – 150.000
A dengan daya penetrasi sampai lapisan superfisial epidermis, yaitu
sekitar 0,5 mm. Sedangkan Infra Red gelombang pendek memiliki
panjang gelombang 7.700 A - 12.000 A dengan daya penetrasi lebih
dalam dari gelombang panjang, yaitu sampai pada jaringan subcutan
yang kira-kira dapat mempengaruhi secara langsung terhadap pembuluh
darah kapiler, pembuluh limfe, ujung-ujung saraf dan jaringan- jaringan
lain di bawah kulit.
b. Efek fisiologis dari infra merah
Efek dari pemberian infra merah adalah :
1) Meningkatkan proses metabolisme pada lapisan superficial kulit
sehingga pemberian oksigen dan nutrisi kepada jaringan lebih
diperbaiki, begitu juga pengeluaran sampah-sampah pembakaran.
2) Vasodilatasi pembuluh darah kapiler dan arteriolae akan terjadi
segera setelah penyinaran.
24
3) Terhadap saraf sensoris, pemanasan yang ringan mempunyai
pengaruh sedatif terhadap ujung-ujung saraf sensoris.
4) Terhadap jaringan otot, kenaikan temperatur disamping membantu
terjadinya releksasi juga akan meningkatkan kemampuan otot
untuk berkontraksi.
5) Kenaikan temperatur tubuh, penyinaran yang luas yang
berlangsung dalam waktu yang relatif cukup lama dapat
mengakibatkan kenaikan temperatur tubuh.
6) Mengaktifkan kerja kelenjar keringat, pengaruh rangsangan panas
yang dibawa ujung-ujung saraf sensoris dapat mengaktifkan kerja
kelenjar keringat (Sujatno, dkk, 2002.p.8).
c. Pemberian infra merah adalah:
1) Mengurangi dan menghilangkan rasa Nyeri
2) Rilaksasi otot
3) Meningkatkan suplai darah
4) Menghilangkan sisa-sisa metabolisme (Sujatno, dkk, 2002).
d. Indikasi Infra merah
1) Kondisi peradangan setelah sub acut
2) Arthitis.
3) Gangguan sirkulasi darah
4) Penyakit kulit
5) Sebagai persiapan exercise dan massage (Sujatno, dkk. 2002.P.2).
e. Kontra indikasi sinar infra merah
1) Daerah dengan insufisiensi pada darah
25
2) Gangguan sensibilitas kulit
3) Adanya kecenderungan terjadinya perdarahan (Sujatno, dkk,
2002.P.3).
f. Dosis waktu :
a) Hidupkan infra red dengan jarak lampu 50-60 cm.
b) Atur infra red sehingga sinar jatuh tegak lurus ke area yang akan
disinar.
c) Waktu yang diberikan selama 10-15 menit.
2. Ultra Sound
a. Defenisi
Gelombang ultra sonic adalah gelombang yang tidak dapat
didengar oleh manusia. Merupakan gelombang longitudinal yang gerakan
partikelnya dari arah “ke” dan “dari” perambatanya memerlukan media
penghantar. Media pengahantar harus elastis agar partikel bias merubah
bentuk dan kembali kebentuk semula untuk memungkinkan gerakan “ke”
dan “dari”. Dari sini dijumpai daerah padat atau Compression dan daerah
renggang atau refraction (Sujatno dkk, 2002)
Dalam penggunakan modalitas ultra sonic beberapa ahli
membuktikan bahwa ultra sonic efektif untuk mengurangi nyeri karena
ultra sonic dapat meningkatkan ambang rangsang, mekanisme dari efek
termal panas. Selain itu pembebasan histamin, efek fibrasi dari ulta sonic
terhadap gerbang nyeri dan suatu percobaan ditemukan bahwa pemakaian
ultra sound dengan pulsa rendah dapat merangsang pengeluaran dan
26
pelepasan histamine. Histamine menyebabkan pelebaran pembuluh darah
lokal sehingga terjadi percepatan pembersihan zat atau bahan kimia yang
menyebabkan nyeri.
b. Mekanisme ultra sonic/ Ultra sound
Mesin ultra sonic terdiri dari sirkuit primer dan sirkuit skunder.
Sirkuit primer adalah generator berfrekuensi tinggi yang membangkitkan
arus listrik berfrekuensi tinggi pula. Sirkuit ini yang dihubungkan dengan
tranduser dari bahan piezo elektrik yang disebut sebagai sirkuit skunder
yang memiliki frekuensi sama dengan sirkuit primer. Frekuensi sirkuit
skunder juga ditentukan oleh ketebalan bahan piezo elektrik yang harus
disesuaikan dengan sirkuit primer. Mesin ultra sonic dapat memberikan
energi secara kontinyu dan terputus. Pada pemberian-pemberian ultra
sonic secara terputus efek panas dapat ditekan dan memungkinkan
pemberian dengan intensitas yang tinggi. Sedang pemberian pemberian
secara kontinyu lebih menekankan efek termalnya (Sujatno dkk, 2002)
Dalam tranduser terdapat area yang memiliki radiasi efektif yang
disebut dengan ERA ( Effective Radiating Area ). Penentuan ERA sangat
penting dalam pemberian intensitas selain luas daerah yang diobati.
Fisika Dasar Ultra Sonic:
1) Sifat-sifat gelombang Ultra sonic
Gelombang ultra sonic memiliki dua area pancaran yang masing-
masing memiliki karakteristik yang berbeda yaitu area konvergen dan area
27
divergen. Area konvergen memiliki ciri terdapat gejala intervensi pada
bundle tersebut sehingga timbul variasi intensitas yang besar.
Sedang area divergen memiliki ciri tidak terjadi gejala interfensi
sehingga bundle gelombang sama dan intensitas semakin berkurang. jika
jarak tranduser semakin jauh dari permukaan tubuh. Pada area ini bundle
gelombangnya memiliki diameter lebih besar sehingga penyerapan energi
lebih besar (Sujatno dkk, 2002).
2) Panjang gelombang
Frekuensi dari mesin ultra sonic tetap dan kecepatan penyebaran
ditentukan oleh medium, maka panjang gelombang tergantung dari
medium yang digunakan.
3) Penyebaran gelombang ultra sonic
Penyebaran gelombang ultra sonic di dalam tubuh menusia timbul oleh
karena fenomena yaitu adanya refleksi dan difergensi pada area divergen.
Adanya penyebaran gelombang ultra sonic dapat menimbulkan efek di luar
daerah pancaran bundle ultra sonic sehingga harus diperhatikan media-
media yang kuat daya refleksinya seperti metal, udara, dan jaringan tulang.
(Sujatno dkk, 2002)
4) Penyerapan dan penetrasi pada gelombang ultra sonic
Jika energi Ultra Sonic masuk kedalam jaringan tubuh maka efek
pertama yang diharapkan adalah efek biologis. Oleh karena adanya
28
penyerapan tersebut semakin dalam gelombang Ultra Sonic masuk kedalam
tubuh, maka intensitasnya akan semakin berkurang (Sujatno dkk, 2002).
Gelombang ultra sonic diserap jaringan tubuh dalam berbagai ukuran.
Sebagai ukuran digunakan koefisien penyerapan. Penyerapan tergantung
pada frekuensi. Pada frekuensi rendah penyerapanya lebih sedikit dari pada
yang berfrekuensi tinggi. Disamping refleksi, koefisien penyareapan
menentukan penyebaran Ultra Sonic di dalam tubuh.
Semakin dalam gelombang ultra sonic masuk kedalam tubuh semakin
besar pula intensitasnya. Pada frekuensi rendah penyerapan lebih sedikit
daripada frekuensi tinggi. Satuan yang digunakan untuk menunjukkan
besarnya penyerapan adalah HVD ( Half Value Dept ) yaitu jarak dimana
intensitas ultra sonic dalam suatu medium tertentu tinggal separuh.
Sedangkan penetrasi terdapat dimana efek terapeutik masih bias diharapkan
dinyatakan dengan istilah Penetration dept ( P ). Penetration dept adalah
titik dimana intensitas ultra sonic yang diberikan masih tersisa 10%
(Sujatno dkk, 2002)
5). Bentuk gelombang
Bentuk gelombang dari ultra sonic antara lain (a) Continous yaitu
gelombang yang dihantarkan secara terus-menerus (b) Interupted / pulsa
yaitu gelombang yang terputus, dengan bentuk pulsa dan lamanya
ditentukan oleh karakteristik mesin yang digunakan.
29
6) Media penghantar
Media penghantar harus memenuhi kriteria harus bersih dan steril pada
keadaan tertentu, tidak terlalu cair ( kecuali metode sub aqual ), tidak cepat
terserap kuli, tidak menyebabkan flek-flek, tidak menimbulkan iritasi kulit,
mudah meghantarkan ultra sonic, transparan dan murah (Sujatno dkk,
2002).
c. Efek dari ultra sonic
1) Efek mekanik
Efek yang pertama kali didapat oleh tubuh adalah efek mekanik.
Gelombang ultra sonic menimbulkan adanya peregangan dan perapatan
didalam jaringan dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi dari ultra
sonic. Efek mekanik ini juga disebut dengan micro massage. Pengaruhnya
terhadap jaringan yaitu meningkatkan permeabilitas terhadap jaringan dan
meningkatkan metabolisme.
Micro massage adalah merupakan efek teraputik yang penting karena
semua efek yang timbul oleh terapi Ultra Sonic diakibatkan oleh micro
massage ini.
2) Efek termal
Panas yang dihasilkan tergantung dari nilai bentuk gelombang yang
dipakai, intensitas dan lama pengobatan. Yang paling besar yang menerima
panas adalah jaringan antar kulit adan otot. Efek termal akan memberikan
pengaruh pada jaringan yaitu bertambahnya aktivitas sel, vasodilatasi yang
30
mengakibatkan penambahan oksigen dan sari makanan dan memperlancar
proses metabolisme.
3) Efek biologi
Efek biologi merupakan respon fisiologi yang dihasilkan dari pengaruh
mekanik dan termal. Pengaruh biologi ultra sonic terhadap jaringan antara
lain:
a. Memperbiki sirkulasi darah
Pemberian ultra sonic akan menyebabkan kenaikan temperatur yang
menimbulkan vasodilatasi sehingga aliran darah ke daerah yang diobati
menjadi lebih lancar. Hal ini akan memungkinkan proses metabolisme dan
pengangkutan sisa metabolisme serta suplai oksigen dan nutrisi menjadi
meningkat.
b. Rilexsasi otot
Rilexsasi otot akan mudah dicapai bila jaringan dalam keadaan hangat
dan rasa sakit tidak ada . Pengaruh termal dan mekanik dari ultra sonic
dapat mempercepat proses pengangkutan sel P (zat asam laktat) sehingga
dapat memberikan efek rilexsasi pada otot.
c. Meningkatkan permeabilitas jaringan
Energi ultra sonic mampu menambah permeabilitas jaringan otot dan
pengaruh mekaniknya dapat memeperlunak jaringan pengikat.
31
d. Mengurangi nyeri
Nyeri dapat berkurang dengan pengaruh termal dan pengaruh langsung
terhadap saraf. Hal ini akibat gelombang pulsa yang rendah intensitasnya
memberikan efek sedatif dan analgetik pada ujung saraf sensorik sehingga
mengurangi nyeri. Dan dasar dari pengurangan rasa nyeri ini diperoleh
antara lain, perbaikan sirkulasi darah, normalisasi dari tonus otot,
berkurangnya tekanan dalam jaringan, berkurangnya derajat keasaman.
e. Mempercepat penyembuhan
Pemberian Ultra sonic mampu mempercepat proses penyembuhan
jaringan lunak . Adanya peningkatan suplai darah akan meningkatkan zat
antibody yang mempercepat penyembuhan dan perbaikan pembuluh darah
untuk memperbaiki jaringan.
f. Pengaruh terhadap saraf parifer
Menurut beberapa penelitian bahwa Ultra Sonic dapat
mendepolarisasikan saraf efferent, ditunjukkan bahwa getaran Ultra Sonic
dengan intebsitas 0,5-3 w/cm2 dengan gelombang kontinyu dapat
mempengaruhi exitasi dari saraf perifer. Efek ini berhubungan dengan efek
panas. Sedangkan dari aspek mekanik tidak teralu berpengaruh (Sujatno
dkk, 2002).
3. Terapi Latihan
Terapi latihan merupakan suatu upaya pengobatan/penanganan
fisioterapi dengan menggunakan latihan-latihan gerakan tubuh baik secara
aktif maupun pasif (Kisner, 1996). Ada beberapa latihan yang diberikan
32
yaitu : (1) Active movement, pasien diminta menggerakkan anggota gerak
atas dan anggota gerak bawah ke semua arah gerakan. Dilakukan
semampu pasien. (2) Passive movement, fisioteraapi menggerakkan
anggota gerak atas dan anggota gerak bawah ke semua arah gerakan.
Dilakukan semampu pasien. (3) Gerakan melawan tahanan, pasien diminta
untuk melawan tahanan minimal hingga maksimal yang diberikan
fisioterapis kepada pasien. Dilakukan semampu pasien.
33
BAB III
LAPORAN STATUS KLINIS
PROGRAM STUDI FISIOTERAPI STIKES
FORT DEKOCK BUKITTINGGI
Jl. Bengkaweh, no 15 Bukittinggi
Telp./fax : 0752 625969
LAPORAN STATUS KLINIK
NAMA MAHASISWA : MUHAMMAD DARMA SHALIHIN
TEMPAT PRAKTEK : RSSN BUKITTINGGI
NIM : 0911401017
PEMBIMBING :
Tanggal pembuatan laporan : 19 – 07 - 2012
Kondisi : (FT A/ FT B/ FT C / FT D/ FT E)
I. KETERANGAN UMUM PASIENNama : Tn. AmrilUmur : 63 tahunJenis Kelamin : Laki-LakiAgama : IslamPekerjaan : PetaniAlamat : Cingkaring
II. DATA-DATA MEDIS RUMAH SAKITA. DIAGNOSIS MEDIS :
Post stroke hemiparese dextra
34
B. CACATAN KLINIS :Rongent : -Laboratorium : -
C. TERAPI UMUMDokter spesialis saraf : MedicamentosaRehabilitasi Medik : Fisioterapi : IR, US dan Exercise Teraphy
D. RUJUKAN FISIOTERAPI DARI DOKTER :Rujukan dari puskesmas padang luar
III. SEGI FISIOTERAPIA. DATA FISIOTERAPI
TANGGAL : 19 - 07 - 2012
1. ANAMNESIS : (AUTO/HETERO)
a. KELUMPAHAN UTAMA:Lemahnya anggota gerak atas dan anggota gerak bawah bagian kanan
b. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:+ 3 tahun yang lalu pasien mengalami pusing, lalu pasien pergi ke
puskesmas padang luar. Setelah di cek, ternyata TD pasien 160/90
mmHg, kemudian pasien pulang dan setelah itu pergi ke sawah.
Keesokan harinya saat pasien bangun pagi, pasien merakan lemah pada
AGA dan AGB kanan. Lalu pasien dibawa kepuskesmas padang luar.
Setelah itu pasien dirujuk ke RSSN bukittinggi, pada saat itu tekanan
darah pasien 210/90 mmHg. Pasien dirawat selama 12 hari, kemudian
pasein dirujuk ke poli fisioterapi. Pasien datang dengan kondisi lemah
pada AGA dan AGB dextra.
c. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU:Tidak ada penyakit yang menyertai.
35
d. RIWAYAT PRIBADI:Pasien yang bernama tn. Amril dengan usia 63 tahun memiliki
pekerjaan sebagai petani
e. RIWAYAT KELUARGA
Hypertensi : ( + )
DM : ( - )
f. ANAMNESIS SISTEM :a) Kepala dan leher :
-tidak ada keluhan pusing
-tidak ada keluhan kaku kuduk
b) Kardiovaskuler :Tidak ada keluhan: -nyeri dada
-jantung berdebar
-nafas cepat
c) Respirasi:Tidak ada keluhan batuk dan sesak nafas
d) Gastro intestinalis:BAB terkontrol.
e) Urogenital:BAK terkontrol
f) Musculoskeletal:-Adanya atrophi pada otot tungkai bawah bagian kanan yaitu pada
otot m.gastrocnemeus dan m.soleus
-adanya spasme pada m.deltoideus dan m.trapezius
g) NervorumTidak ada kesemutan
36
2. PEMERIKSAAN FISIKa. TANDA-TANDA VITAL
1) Tekanan darah : 130/80 mmHg2) Denyut nadi : 78x/menit3) Frekuensi pernapasan : 22x/menit4) Temperatur : 36 ۫ c5) Tinggi badan : 160 cm6) Berat badan : 60 kg
b. INSPEKSIStatik : -kepala sedikit condong kedepan
Dinamis : -melangkah normal
-duduk berdiri bagus
c. PALPISI-Suhu tubuh : masih dalam batas normal
-ada contractur pada tendong archiles kanan
-adanya spasme pada m.deltoideus dan m.trapezius
d. PERKUSI -
e. AUSKULTASI -
f. GERAKAN DASAR
1) Garak aktif:
-Flexi-extensi shoulder, ada nyeri, tidak full rom
-Abduksi-adduksi shoulder, tidak ada nyeri, full rom
-eksorotasi-endorotasi elbow, tidak ada nyeri full rom
-flexi-extensi elbow, tidak ada nyeri, tidak full
rom
-palmar flexi-dorsi flesi wrist, tidak ada nyeri, full rom
37
-flexi-extensi hip, tidak ada nyeri, full rom
-abduksi-adduksi hip, tidak ada nyeri, full rom
-plantar flexi-dorso flexi ankle, tidak ada nyeri, full
rom
2) Gerakan pasif:-Flexi-extensi shoulder, ada nyeri, full rom
-Abduksi-adduksi shoulder, tidak ada nyeri, full rom-eksorotasi-endorotasi elbow, tidak ada nyeri full rom-flexi-extensi elbow, tidak ada nyeri, tidak full rom-palmar flexi-dorsi flesi wrist, tidak ada nyeri, full rom-flexi-extensi hip, tidak ada nyeri, full rom
-abduksi-adduksi hip, tidak ada nyeri, full rom
-plantar flexi-dorso flexi ankle, tidak ada nyeri, full
Rom.
3) Gerakan melawan tahanan:
Pasien mampu melawan tahanan maksimal yang diberikan terapis
kepada pasien.
g. KOGNITIF, INTRAPERSONAL & INTERPERSONAL
1) Kognitif:Pasien mampu menceritakan yang dialaminya sampai sekarang
kepada terapis.
2) Intra personal:Pasien mampu menerima keadaan yang dialaminya
Dan pasien memiliki motivasi yang tinggi untuk sembuh.
3) Inter personal:
Pasien mampu bekerjasama dengan fisioterapis, keluarga dan
masyarakat.
38
h. KEMAMPUAN FUNGSIONAL & LINGKUNGAN AKTIVITAS1) Fungsional dasar:
-Pasien mampu melakukan gerakan terlentang miring kesisi yang sehat
dan sakit.
-pasien mampu duduk sendiri dari terlentang.
-pasien mampu beridiri sendiri dari posisi duduk.
-pasien mampu melakukan neck control.
2) Pasien Aktivitas fungsional:
Pasien mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara
mandiri seperti : makan dan minum,berdiri dan berjalan,toileting dan
dressing.
3) Lingkungan aktivitas:
Keluarga sangat mendukung proses terapi pasien
3. PEMERIKSAAN SPESIFIKa. Tes sensibilitas pada kulit
Pasien mampu membedakan antara tajam-tupul, panas-dingin, halus-
kasar.
b. Manual muscle test
Gerakan Nilai
Flexi shoulder 4
Extensi shoulder 4
Abduksi shoulder 5
39
Adduksi shoulder 5
Eksorotasi shoulder 5
Endorotasi shoulder 5
Flexi elbow 5
Extensi elbow 5
Palmar plexi wrist 5
Dorsi flexi wrist 5
Flexi hip 5
Extensi hip 5
Abduksi hip 5
Adduksi hip 5
Flexi knee 5
Extensi knee 5
Dorsi flexi ankle 2
Plantar flexi ankle 5
c. Indeks barthel
no Aktivitas Nilai
1 Makan 10
2 mandi 5
3 Kebersihan diri 5
4 Berpakaian 10
5 BAB 10
6 BAK 10
40
7 Toileting 10
8 Transfer 15
9 Mobilitas 15
10 Naik turun tangga 10
d. Pemeriksaan pada tungkai bawah dengan menggunakan goniometer
Kaki kanan Kaki kiri
1/3 proximal 29 cm 1/3 proximal 30 cm
1/3 distal 17 cm 1/3 distal 19 cm
Dari pengukuran diatas, didapat kesimpulan bahwa pada tungkai
bawah bagian kanan lebih kecil dari otot tungkai bawah bagian kiri
e. Verbal Diskriptive Scale (VAS)
Nyeri gerak : flexi shoulder: 1 2 3 4 5 6 7
(nyeri ringan)
Extensi shoulder: 1 2 3 4 5 6 7
(nyeri ringan)
B. INTERPRESTASI DATA / DIAGNOSIS FISIOTERAPI1. PERMASALAHAN KAPASITAS FISIK
-Adanya athropi otot pada tungkai bawah bagian kanan.
-adanya contraktur pada tendon archiles bagian kanan.
2. PERMASALAHAN KAPASITAS FUNSIONALPasien mengalami hambatan pada saat menaiki tangga
C. PROGRAM / RENCANA FISIOTERAPI
41
1. TUJUANa. Tujuan jangka pendek
-memelihara dan mempertahankan tonus otot-mengurangi contractur-meningkatkan kekuatan otot-menurunkan nyeri gerak
b. Tujuan jangka panjang-melanjutkan tujuan jangka pendek.-meningkatkan kapasitas fifik.
-mengembalikan fungsional pasien kembali seperti semula tanpa adanya keluhan.
2. TINDAKAN FISIOTERAPIa. Teknologi fisioterapi:
1. Teknologi alternatif:-ir, us, vibrator, exercise teraphy, tens.
2. Teknologi terpilih:Ir, us dan exercise teraphy.
3. Teknologi yang dilaksanakan:Ir, us dan exercise teraphy.
b. Edukasi
Pasien dianjurkan melakukan latihan-latihan yang
diberikan fisioterapi secara rutin, seperti gerak: flexi-extensi
shoulder,abduk-adduksi shoulder,flexi-extensi elbow, dorsi
flexi wrist-palmar flexi wrist,flexi-extensi hip, abduksi-
adduksi hip,dorsi flexi ankle dan plantar flexi ankle, serta
flexi-extensi jari tangan dan kaki. Pasien diminta untuk
melibatkan anggota gerak yang sakit.
42
3. RENCANA EVALUASIAkan dilakukan evaluasi setiap kali pasien terapi
D. PROGNOSISQuo ad vitam : BaikQuo ad sanam : baikQuo ad cosmeticam : baikQuo ad fungsionam : baik
E. PENATALAKSANAAN FISIOTERAPITanggal 19/07/20121. Infra Reda. Persiapan alat
Siapkan alat, kemudian cek kabel dan cek keadaan lampu
b. Persiapan pasien
Posisi pasien tidur telentang, bebaskan area yang akan diterapi
dari pakaian. Sebelum terapi, kulit harus kering dan dilakukan tes
sensibilitas terlebih dahulu, serta berikan iformasi yang jelas
kepada pasien, tentang tujuan terapi, mengenai apa yang dirasakan
dan apa yang tidak boleh dilakukan selama terapi.
c. Pelaksanaan terapi
Atur sedemikian rupa lampu sinar infra merah, sehingga
dapat menjangkau daerah yang akan diterapi dengan jarak 30-
45 cm. posisi lampu sinar infra merah tegak lurus terhadap
daerah yang akan diterapi. Setelah semuanya siap alat
dihidupkan dan atur waktu selama 10 menit. Selama proses
terapi berlangsung, fisioterapis harus mengontrol panas yang
43
akan diterima pasien, setelah proses terapi selesai, rapikan alat
kekondisi semula.
2. USa. Persiapan alat
Periksa kondisi kabel, apakah ada yang terkelupas atau
tidak, kemudian periksa tranducer
b. persiapan pasien
posisi pasien diatur senyaman mungkin, kemudian
lakukan tes sensibilitas pada kulit pasien, apakah kulit
sensitive apa tidak.
c. pelaksanaan terapi
posisi pasien telungkup, kemudian berikan gell pada area
yang akan diterapi. Kemudian atur waktu 5 menit, lalu
gosokkan tranducer pada area yang telah diberi gell tersebut.
Kemudian naikkan intensitas sampai 1.20 Hz. Setelah selesai,
kembalikan alat kekondisi semula.
3. Terapi latihan
a. Active movement
Pasien diminta menggerakkan AGA dan AGB (kesemua arah
gerakan). Dilakukan semampu pasien.
b. Passive movement
Semua gerakan AGA dan AGB pasien digerakkan secara passive,
dilakukan semampu pasien.
44
c. Gerakan melawan tahanan
Pasien diminta untuk melawan tahanan minimal hingga maksimal
yang diberikan terapis kepada pasien pada semua arah gerakan.
F. EVALUASI
Pasien yang bernama Tn. Amril, umur 63 tahun dengan diagnose post stroke
hemiparese dextra. Setelah dilakukan 1 x terapi didapatkan hasil.
Skala indeks barthel
no Aktivitas nilai
1 Makan 10
2 mandi 5
3 Kebersihan diri 5
4 Berpakaian 10
5 BAB 10
6 BAK 10
7 Toileting 10
8 Transfer 15
9 Mobilitas 15
10 Naik turun tangga 10
Verbal Deskriptive Test (VAS)
Nyeri gerak : flexi shoulder: 1 2 3 4 5 6 7
45
(nyeri ringan)
Extensi shoulder: 1 2 3 4 5 6 7
Manual muscle test
Gerakan Nilai
Flexi shoulder 4
Extensi shoulder 4
Abduksi shoulder 5
Adduksi shoulder 5
Eksorotasi shoulder 5
Endorotasi shoulder 5
Flexi elbow 5
Extensi elbow 5
Palmar plexi wrist 5
Dorsi flexi wrist 5
Flexi hip 5
Extensi hip 5
Abduksi hip 5
Adduksi hip 5
Flexi knee 5
Extensi knee 5
Dorsi flexi ankle 2
Plantar flexi ankle 5
46
Pemeriksaan tungkai bawah dengan menggunakan goniometer
Kaki kanan Kaki kiri
1/3 proximal 29 cm 1/3 proximal 30 cm
1/3 distal 17 cm 1/3 distal 19 cm
G. HASIL TERAPI TERKHIR
Berdasarkan hasil evaluasi diatas, maka didapatkan hasil sebagai berikut :
1. Nyeri tetap
2. Kekuatan otot tetap
3. Spasme otot berkurang
Berdasarkan hasil evaluasi diatas, maka pasien yang bernama Tn. Amril dianjurkan untuk menjalani terapi lanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Chusid, JG, 1990 ; Neuroanatomi Korelatif Dan Neurologi Fungsional; Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 1, 11, dan 12.
47
Chusid, JG 1993; Neuroanatomi Korelatif Dan Neurologi Fungsional, cetakan ke empat, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1992. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan: Jakarta.
Davies, P. M., 1985 ; Step To Follow; Springer-Verlag, New York.
Duss, P., 1996 ; Diagnosa Topik Neurologi; Anatomi, Fisiologi, Tanda ,Gejala; Edisi 2, EGC, Jakarta, hal. 33 dan 35.
Feigin, V., 2006 ; Stroke; PT Buana Ilmu Populer, Jakarta, hal xxi-xxii, 3-7, 23-43, dan 48.
Harsono, 2005; Kapita Selekta Neurologi; cetakan kelima, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
IFI, 2006; Dasar Hukum Praktek Fisioterapi; dikutip Majalah Fisioterapi Indonesia; volume 6 no.10, Agustus 2006.
Johnstone, 1987; The Stroke Patient: A Team Approach, Churchill Livingstone, London.
Johnstone, 1991; Therapy for Stroke, Churchill Livingstone, London.
Junaidi, I., 2006 ; Stroke A-Z; PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hal 18 dan 19.
Kisner, Carolyn, and Lynn, Colby, 1996; Therapeutic Exercise Foundation and Technique, Third edition, F.A Davis Company. Philadelphia.
48
Mahar Mardjono dan Priguna Sidharta,1989;Neurologi Klinis Dasar; Edisi Lima; Dian Rakyat, Jakarta.
Martin, J.H, 2003; Neuroanatomy: text and atlas; third edition, Medical Publishing Division, New York.
Price, S.A & Wilson, L.M., 1995; Fisiologi Proses-Proses Penyakit; alih bahasa Peter Anugrah, EGC, Jakarta.
Pudjiastuti, S. S. dan U., Budi, 2003 ; Fisioterapi Pada Lansia; EGC, Jakarta, hal. 61, 66, 67, 72, dan 119.
Setiawan,2002;Motor Relearning Programme (MRP) pada Stroke; dikutip Journal Ikatan Fisioterapi Indonesia, volume 2, 2002. Jakarta.
Setiawan, 2007 ; Pelatihan Nasional Dimensi Baru Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Stroke Secara Paripurna; Surakarta.
Sidharta, Priguna, 1995; Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum , Cetakan kelima, Jakarta Dian Rakyat.
Sidharta, P., 1997 ; Neurologi Klinis Dasar; Dian Rakyat, Jakarta, hal. 1, 3, 4, 11, dan 30.
Sidharta, Priguna, 1999 ; Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi, cetakan ketiga, Dian Rakyat, Jakarta.
Singgih, S., 2003; Sistem Saraf Sebagai Sistem Pengendali Tubuh; Diakses tanggal 8/03/2009, dari http://ikdu.fk.ui.ac.id/SISTEM_PENGENDALI TUBUHsas.pdf
Snell, Richard S.,1996;Neuro Anatomi Klinik; Edisi Dua, Alih Bahasa dari dr R. F. Maulany, MSc, EGC, Jakarta.
49
Soehardi, 1992; Fisioterapi pada Stroke dengan Pendekatan M. Johnstone, Jakarta: IKAFI & YASTROKI.
Sustrani, L., Alam, S., Hadibroto, I., 2004; Stroke; PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.