Makalah Logoterapi
-
Upload
tri-astuti-utomo-iyas -
Category
Education
-
view
882 -
download
8
description
Transcript of Makalah Logoterapi
PSIKOLOGI KEPRIBADIAN II
“Logoterapi – Viktor E. Frankl”
Disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Psikologi Kepribadian II
Disusun Oleh:
Bunga Latif (46112120011)
Dewi Puspita Sari (46112120014)
Tri Astuti (46112120022)
Fakultas Psikologi
Universitas Mercu Buana
Menteng
2014
A. BIOGRAFI
Viktor Emil Frankl lahir pada tanggal 26 Maret 1905 di Wina dan meninggal 2 September
1997 pada umur 92 tahun Beliau berasal dari keluarga Yahudi kelas menengah masyarakat
Austria. Beliau adalah Profesor dalam bidang neurologi dan psikiatri di The University of Vienna
Medical School dan guru besar luar biasa bidang logoterapi pada U.S.International
University.Dia adalah pendiri apa yang biasa disebut madzhab ketiga psikoterapi dari Wina
(setelah psikoanalisis Sigmund Freud dan psikologi individu Alfred Adler), yaitu aliran
logoterapi. Minat Frankl terhadap psikologi muncul sejak ia masih muda. Untuk ujian akhir
(Matura) di SMA ia menulis sebuah makalah tentang psikologi pemikiran filsafat. Setelah lulus
dari SMA pada 1923, ia belajar kedokteran di Universitas Wina dan kemudian mengambil
spesialisasi dalam neurologi dan psikiatri.
Ayahnya adalah seorang Yahudi Saleh yang pernah menjadi mahasiswa kedokteraan, tetapi
terpaksa menghentikan kuliahnya karena kekurangan biaya. Setelah berhenti kuliah Ia bekerja
dibagian Sekretariat Parlemen Kerajaan Austria sebagai penulis steno selama 10 tahun dan
akhirnya menjadi pegawai tetap Depertemen Sosial sampai pensiun.Ayah frankl banyak menaruh
perhatian pada masalah kesejahteraan pemuda, betapa gembiranya waktu anaknya, Viktor Frankl
memilih studi kedokteran, bidang yang didambaannya yang kandas karena kekurangan biaya.
Setelah lulus menjadi dokter, Viktor Frankl mengambil alih dalam bidang Neuro – psikiatri ( ahli
penyakit syaraf dan jiwa ) dan berhasil meraih gelar dokter dalam Ilmu kedokteran ( M.D ),
kemudian Dokter dalam Ilmu Filsafat ( Ph.D ) di Universitas Wina.
Frankl meraih gelar Dokter dalam obat-obatan (M.D.) pada tahun 1930, dan Doktor filosofi
(Ph.D.) pada tahun 1949, keduanya dari Universitas Vienna. Disamping itu, dia juga
mendapatkan gelar Honoriskausa dari universitas di seluruh dunia yang jumlahnya lebih dari
120. Dia menjadi pembicara terhormat pada United States International University di San
Diego.Frankl juga menjadi Profesor tamu di Harvard, Duquesne, dan Southern Methodist
Univercities. Dia menerima beberapa gelar kehormatan dari Loyola University di Chicago,
Edgecliff, Rockford College dan Mount Mary College, serta dari universitas-universitas di
Brazil, Venezuela, dan Afrika Selatan. Dia menjadi dosen tamu di berbagai universitas di seluruh
dunia. Dia juga menjabat sebagai presiden di Austrian Medical Society of Psychotherapy serta
anggota kehormatan di Austrian Academy of Sciences.
Dari tahun 1942 sampai 1945, Frankl menjadi tawanan di kamp konsentrasi Jerman,
dimana orang tuanya, saudara laki-lakinya, isteri dan anak-anaknya mati. Pengalaman
mengerikan di kamp konsentrasi tidak pernah hilang dari ingatannya, tetapi dia bisa
menggunakan kenangan mengerikan itu secara konstruktif dan tidak mau kenangan itu
memudarkan rasa cintanya dan kegairahannya untuk hidup.
Teori dan terapi Viktor Frankl lahir dari pengalamannya selama menjadi tawanan di kamp
konsentrasi Nazi. Di sana, ia menyaksikan banyak orang yang mampu bertahan hidup atau mati
di tengah siksaan. Hingga akhirnya dia menganggap bahwa mereka yang tetap berharap bisa
bersatu dengan orang-orang yang dicintai, punya urusan yang harus diselesaikan di masa depan,
punya keyakinan kuat, memiliki kesempatan lebih banyak daripada yang kehilangan harapan.
Di kamp konsentrasi yang dibangun oleh Nazi itu, Frankl banyak belajar tentang makna
hidup, dan lebih spesifik lagi makna penderitaan. Ia pun mempraktekkan psikoterapi kelompok
bagi sesama tawanan guna membantu mereka dalam mengatasi kesia-siaan, keputusasaan,
keinginan bunuh diri dan berbagai kondisi patologis yang ia duga bersumber pada pengalaman
kegagalan menemukan makna. Bagi Frankl, pelajaran dan praktek di dalam kamp konsentrasi
memperkaya hasil studi formalnya dan menjadi bekal yang amat berharga dalam kehidupan
profesinya sebagai teoritisi dan praktisi psikoterapi di kemudian hari.
Dari pengalaman hidupnya, Frankl belajar bahwa manusia dapat kehilangan segala sesuatu
yang dihargainya kecuali kebebasan manusia yang sangat fundamental yaitu kebebasan untuk
memilih suatu sikap atau cara bereaksi terhadap nasib kita, kebebasan untuk memlilih cara kita
sendiri. Apa yang berarti dalam eksistensi manusia, bukan semata-mata nasib yang menantikan
kita, tetapi bagaimana cara kita menerima nasib itu.
Frankl percaya bahwa arti dapat ditemukan dalam semua situasi, termasuk penderitaan dan
kematian. Frankl berasumsi bahwa hidup ini adalah penderitaan, tetapi untuk menemukan sebuah
arti dalam penderitaan maka kita harus terus menjalani dan bertahan untuk tetap hidup. Frankl
menyatakan pentingnya dorongan dalam mencari sebuah arti untuk eksistensi manusia sebagai
suatu sistem, yang kemudian disebut logoterapy. Logoterapy kemudian menjadi model
psikoterapinya.
B. KARYA-KARYA
Setelah perang berakhir dan semua tawanan yang masih tersisa di bebaskan, Frankl
kembali ke Wina sebagai kepala bagian neurologi dan psikiatri di Poliklinik Hospital dan
mengajar kembali di The University of Vienna Medical School. Selanjutnya Frankl
menyebarluaskan pandangannya tentang logoterapi melalui artikel, buku dan ceramah-ceramah.
Ia juga aktif melakukan kunjungan-kunjungan ke berbagai universitas di seluruh dunia sebagai
dosen tamu atau pembicara, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas.
Tulisan Dr. Frankl pertama kali dimuat pada tahun 1924 dalam The International Journal
of Psychoanalysis dan telah menerbitkan dua puluh tujuh buku, yang telah diterjemahkan dalam
19 bahasa termasuk bahasa Jepang dan Cina.
Mulai tahun 1946, setelah pembebasan dari kamp konsentrasi, karyakarya Frankl mulai
muncul dan ternyata mendapat sambutan hangat dari kalangan ilmuwan, budayawan, pendidik,
filosof, dan rohaniwan. Lebih-lebih setelah pengalamannya menjadi penghuni kamp konsentrasi
ditulis dalam buku from Death Camp to Existensialism, kemudian judulnya diubah
menjadi Man’s Search for Meaning, yang menjadi best seller di Amerika Serikat. Buku ini
seakan-akan menjadi pembuka bagi logoterapi untuk masuk dan berkembang di Amerika Serikat
dan menyebar ke negara-negara lain, serta akhirnya mendunia sebagai salah satu aliran dalam
psikologi atau psikiatri modern.
Man’s Search for Meaning merupakan edisi revisi dan perluasan dari from Death Camp to
Existensialism, yang terpilih sebagai “Book of The Year” oleh Colby College, Baker University,
Earlham College, Olivet Nazarene College dan St. Mary’s Dominian College.
Selain itu, buku ini telah terjual lebih dari 2 juta eksemplar, sebuah rekor penjualan yang
cukup spektakuler yang jarang bisa dicapai oleh buku nonfiksi. Sebagian besar bukunya telah
diterjemahkan dari bahasa Jerman ke dalam berbagai bahasa, yang meliputi bahasa Inggris,
Belanda, Itali, Spanyol, Portugis, Swedia, Polandia, Jepang dan Korea.
Frankl memulai kegiatan menulisnya dengan penulisan artikel. Artikel pertamanya ditulis
untuk jurnal psikologi individual. Ia juga pernah menulis artikel untuk jurnal psikoanalisis atas
permintaan Freud.
Buku-buku penting lainnya yang ditulis Frankl diantaranya adalah The Will to Meaning,
The Unheard Cry for Meaning, Psychotherapy and Existensialism, The Unconscious God,
Synchronization in Buchenwald yang secara keseluruhan menggambarkan orientasi atau
pendekatan eksistensialfenomenologis Frankl yang unik dalam menangani berbagai masalah
klinis maupun non klinis melalui logoterap. Selain dalam bentuk artikel dan buku, karya-karya
Frankl juga dapat dipelajari melalui film, rekaman dan kaset, serta edisi braile untuk kaum tuna
netra.
C. PEMIKIRAN VIKTOR E. FRANKL TENTANG LOGOTERAPI
1) Gambaran Umum Logoterapi
Kata logoterapi terbentuk dari dua kata, yaitu “logo” berasal dari kata “logos” yang
diambil dari bahasa Yunani diterjemahkan dengan kata “arti” (meaning). Adapun kata
“terapi” berasal dari bahasa Inggris “therapy” yang artinya penggunaan teknik untuk
menyembuhkan dan mengurangi atu meringankan suatu penyakit. Kemudian logoterapi
berbicara tentang arti dari eksistensi manusia dan kebutuhan manusia akan arti, dan juga
teknik-teknik terapeutis khusus untuk menemukan arti dalam kehidupan.
Dalam tahun 1930, Frankl menyebut pendekatannya ini Existenzanalyse (analisis
eksistensialis). Akan tetapi, istilah “analisa eksistensial” pada saat itu dipakai dengan
sangat leluas oleh beberapa ahli teori dalam Negara tempat dia bekerja. Untuk menghindari
kekacauan ini, maka Frankl mengganti istilah “logotherapy” untuk menggambarkan
sistemnya.
Logoterapi diketahui dari hadirnya pertama kali adalah suatu metode psikoterapi untuk
menangani orang-orang yang kehidupannya kehilangan arti. (Duane Schultz, 1991:150).
Meskipun “logos” yang mempunyai komponen dari kata logoterapi ini mempunyai arti
“rohani” secara harfiah, tetapi Frankl menyatakan bahwa rohani dalam logoterapi tidak
mengandung unsur keagamaan, bahkan cenderung bersifat sekuler—di mana logoterapi
memisahkan antara agama dan teknik logoterapi itu sendiri.
Logoterapi percaya bahwa perjuangan untuk menemukan makna dalam kehidupan
seseorang merupakan motivator utama orang tersebut. Maka dari itu, Frankl menyebutnya
sebagai keinginan untuk mencari makna hidup yang sangat berbeda dengan pleasure
principle (prinsip kesenangan) yang merupakan dasar dari aliran psikoanalisis Freud dan
juga berbeda dengan will to power yang merupakan landasan dari teori Erikson, atau pun
striving for superiority yang merupakan pokok utama aliran psikologi Adler.
Dengan kata lain, Frankl menjelaskan bahwa dorongan utama manusia dalam
kehidupan adalah mencari bukan diri melainkan arti; dalam beberapa hal, ini menyangkut
“melupakan” diri kita. Jadi, menurut Frankl tujuan dari hidup tidak selalu perihal
aktualisasi diri. Frankl menolak perjuangan manusia untuk membangun setiap keadaan atau
kondisi diri entah untuk kekuasaan, kenikmatan, atau aktualisasi. Frankl mengemukakan
bahwa pandangan serupa itu menggambarkan orang sebagai sistem yang tertutup, yang
tidak menyangkut interaksi dengan dunia yang nyata atau dengan orang-orang lain, tetapi
hanya dengan diri. Frankl percaya bahwa mengejar tujuan semata-mata dalam diri kita
adalah merusak diri.
Semakin banyak kita mengejar kesenangan maka mungkin semakin kurang kita
menemukannya. Kehidupan yang diarahkan untuk mengejar kebahagiaan tidak pernah akan
menemukan kebahagiaan. Semakin kita berpusat pada kebahagiaan sebagai tujuan, maka
semakin juga kita tidak akan melihat pertimbangan yang sehat untuk berbahagia.
Kenikmatan dan kebahagiaan terjadi dan menambahkan kesenangan hidup, tetapi
kenikmatan dan kebahagiaan bukanlah tujuan hidup. Kebahagiaan tidak dapat dikejar dan
ditangkap; biasanya timbul secara spontan dari pemenuhan arti, dari mencapai tujuan di
luar diri.
Jadi, yang penting bukanlah aktivitas yang dikerjakannya, melainkan bagaimana
caranya ia melakukan aktivitas itu, yaitu sejauh mana ia dapat menyatakan keunikan
dirinya dalam akivitas itu. Adapun ajaran logoterapi dirumuskan oleh Joseph B. Fabry
sebagai berikut:
• Hidup itu bermakna dalam kondisi apapun
• Kita memiliki kehendak hidup bermakna dan menjadi bahagia hanya ketika kita
merasa telah memenuhinya.
• Kita memiliki kebebasan—dengan segala keterbatasan—untuk memenuhi makna
hidup kita
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tujuan utama dari logoterpi sendiri adalah
meraih hidup bermakna dan mampu mengatasi secara efektif berbagai kendala dan
hambatan pribadi. Logoterapi tidak menyikapi setiap penderitaan (termasuk kematian)
secara pesimistis, tetapi secara aktif. Sebagaimana yang dikemukakan Frankl (1988:73):
Logotherapy is an optimistic approach to life, for it teaches that there are no tragic
and negative aspects which could not be by the stand one takes to them transmuted into
positive accomplishment.
Dari pernyataan tersebut, Frankl menekankan sikap optimis dalam menjalani
kehidupan dan mengajarkan bahwa tidak ada penderitaan dan aspek negative yang tidak
dapat diubah menjadi suatu yang positif. Karena manusia mempunyai kapasitas untuk
melakukan hal itu dan mampu mengambil sikap yang tepat terhadap apa yang sedang
dialaminya.
2) Landasan Filosofi Logoterapi
Logoterapi mempunyai 3 konsep yang menjadi landasan filosofinya, yaitu kebebasan
berkeinginan, keinginan akan maknaa, dan makna hidup.
- Kebebasan Berkeinginan (The Freedom Of Will)
Pemikiran ini terlahir setalah Frankl kembali dari kamp-kamp penahanan Nazi,
dia kembali dengan pengetahuan yang lahir dari pengalaman yang merupakan sumber
langsung di mana manusia dalam beberapa atau semua situasi, memiliki pilihan atas
tindakan-tindakannya.
Kita mampu mempertahankan, meskipun dalam saat-saat yang sangat gelap,
suatu sisa kebebasan spiritual, suatu potongan kebebasan. Frankl belajar bahwa
manusia dapat kehilangan segala sesuatu yang dihargainya kecuali kebebasan
manusia yang sangat fundamental: kebebasan untuk memilih suatu sikap atau cara
bereaksi terhadap nasib kita, kebebasan untuk memilih cara kita sendiri.
Apa yang berarti dalam eksistensi manusia, bukan semata-mata nasib yang
menantikan kita, tetapi cara bagaimana kita menerima nasib itu. Dan Frankl percaya
bahwa arti dapat ditemukan dalam semua situasi, termasuk penderitaan dan kematian.
Frankl menulis, “Hidup adalah menderita, tetapi untuk menemukan suatu arti dalam
penderitaan seseorang ialah tetap hidup”.
Manusia mempunyai peranan yang sangat penting dalam tiap pengambilan
keputusan yang menyangkut nasib kehidupan mereka. Meskipun kita dulu tidak ada
pilihan untuk dilahirkan atau tidak, cara kita hidup dan menjadi apa kita ini
merupakan hasil pilihan-pilihan yang kita tentukan (Corey, 1995: 255, dalam library
walisongo).
Dalam logoterapi diterangkan bahwa manusia mempunyai kebebasan yang
terikat dengan keterbatasan, karena manusia adalah makhluk yang serba terbatas. Dan
yang menjadi keterbatsan itu adalah:
Pertama, kebebasan manusia bukan merupakan kebebasan dari kondisi-kondisi
(biologis, psikologis, dan sosiologis), melainkan kebebasan yang menentukan sikap
terhadap kondisi-kondisi tersebut.
Frankl berpendapat bahwa manusia tidak sepenuhnya dikondisikan dan
dipengaruhi; manusia bisa menentukan sendiri apakah dia akan menyerah atau
mengatasi kondisi-kondisi yang dialami. Manusia bukan seperti mesin yang hanya
sekedar hidup dan berjalan, di sini manusia benar-benar mempunyai control penuh
tentang apa yang seharusnya merek pilih dan mereka abaikan. Inilah yang nantinya
menjadikan manusia disebut sebagai “the self determining being” yang menunjukkan
bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang dianggap penting
dan baik bagi dirinya. (Bastaman, 1996: 13, dalam library walisongo).
Kedua, kebebasan harus disertai dengan tanggung jawab (responsibility). Tanpa
adanya tanggung jawab yang mendampingi jalannya kebebasan, maka manusia akan
bertindak secara sewenang-wenang.
Penekanan pada sikap bertanggung jawab tercermin dalam doktrin logoterapi,
yaitu;
“Hiduplah seakan-akan anda sedang menjalani kehidupan untuk kedua kalinya
dan hiduplah seakan-akan anda sedang bersiap-siap untuk melakukan tindakan yang
salah untuk pertama kalinya.” (Frankl, 2004: 173, dalam library walisongo).
Maka dari itu, bagi kaum eksistensialis seperti Frankl, hidup bebas dan menjadi
manusia itu adalah identik. Kebebasan dan tanggung jawab berjalan seiring. Kita
pencipta hidup kita sendiri
- Kehendak Untuk Hidup Bermakna (The Will To Meaning)
Upaya manusia untuk mencari makna hidup merupakan motivator utama dalam
hidupnya, dan bukan “rasionalisasi sekunder” yang muncul karena dorongan-
dorongan naluriah. Kemauan akan arti ini membuat manusia secara terus menerus
mencari bukan diri kita melainkan suatu arti untuk member suatu maksud bagi
eksistensi kita sebagai manusia.
Makna hidup merupakan suatu yang unik dan khusus, yang mana makna hidup
ini hanya mampu dipenuhi oleh orang yang bersangkutan saja.
Jika para tokoh lainnya berpendapat bahwa makna-makna dan nilai-nilai hidup
merupakan “mekanisme pertahanan diri”, “formasi reaksi”, dan “sublimasi”. Namun
Frankl membantah hal tersebuut, Frankl tidak mau jika hidupnya hanya sebuah reaksi
formasi, dan dia juga tidak mau jika harus mati sebagai sebuah mekanisme
pertahanan diri.
Frankl memberi tanggapan bahwa kesenangan sama sekali bukan tujuan,
melainkan “akibat samping” dari tercapainya suatu tujuan. Sama juga halnya dengan
kekuasaan adalah sarana atau alat untuk mencapai tujuan, dan bukan tujuan itu
sendiri. Kesenangan dan kekuasaan sebenarnya tercakup dalam the will to meaning,
kekuasaan merupakan sarana penting mencapi makna hidup, dan kesenangan
merupakan akibat samping dari erpenuhinyha makna dan tujuan hidup (Bastaman,
1994: 15, dalam library walisongo). Di mana dalam ajarannya Frankl mempercayai
bahwa hasrat untuk hidup sesuatu yang khayali atau yang diada-adakan, meliainkan
kenyataan yang benar-benar dirasakan penting oleh manusia dalam kehidupannya.
Bastaman menggambarkan proses untuk meraih hidup bermakna seperti skema
di bawah ini:
Bahagia
Setiap orang cenderung untuk menginginkan dirinya untuk menjadi orang yang
bermakna dan beharga bagi orang lain, keluarganya, lingkungan hidpnya, atau paling
tidak kita dapat menjadi manusia yang bisa bermakna dan berharga bagi dirinya
sendiri.
Untuk meraih apa-apa yang diinginkan dalam kehidupnnya, kita sebagai manusia
yang indepent, diharapkan dapt membebaskan bayangan kebesaran orang lain dalam
kehidupan kita, kalaupun kita akan menjadi orang yang berharga dan bermakna bagi
orang lain itu seua karena diri kita sepenuhnya, bukan atas pengaruh orang lain.
Hal ini dikarenakan, jika kita mengejar kebermaknaan hidup karena orang lain,
maka kebebasan kita sebagai manusia yang bebas tidak sepenuhnya dapat
mendapatkan apa yang seharusnya kita dapatkan. Kebebasan fundamental ang
dimiliki oleh kita otomatis akan terenggut oleh kehadiran orang lain.
- Tentang Makna Hidup (The Meaning Of Life)
Yang dimaksud dengan makna hidup dalam logoterapi adalah makna yang
terkandung dan tersembunyi dalam setiap situasi yang dihadapi seseorang sepanjang
hidup mereka (Frankl, 2004: 219).
Hasrat Hidup Bermakna
Terpenuhi
Tidak Terpenuhi
Hidup Bermakna
Hidup tak bermakna/frustasi eksistensial
Neurosis noogenik
Makna hidup yaitu hal-hal yang memberikan arti khusus bagi seseorang, yang
apabila berhasil dipenuhi akan menyebabkan kehidupannya dirasa berarti dan
bahagia.
Makna hidup yang dikenalkan oleh Frankl ini mempunyai sifat yang unik,
spesifik, personal, sehingga tiap orang mempunyai arti masing-masing dalam
memaknai hidup mereka, dan berbeda dari orng satu dengn orang lainnya. Selain itu,
makna hidup juga akan berbeda di tiap harinya, bahkan di tiap jam makna dari hidup
itu akan mengalami pergeseran. Karena itu yang penting bukan makna hidup secara
umum, melainkan makna khusus dari hidup seseorang pada suatu saat tertentu.
Dalam logoterapi, untuk mencapai makna hidup manusia tidak boleh mencari
makna hidup yang abstrak. Setiap orang mempunyai pekerjaan dan misi untuk
menyelesaikan pekerjaan atau tugas khusus dalam hidupnya. Karena itu, manusia
memiliki tugas unik dan kesempatan unik untuk menyelesaikan tugs-tugasnya.
Dalam prakteknya manusia seharusya tidak menanyakan tentang makna
hidupnya, melainkan sadar bahwa dialah yang akan ditanyai oleh hidup apa
sebenarnya makna hidp yang ia miliki. Dan ketika hidup tela menanyai manusia akan
makna hidup yang dia punyai, maka manusia hanya bis amenjawab pertanyaan itu
dengan bertanggung jawab atas hidupnya; kepada hidup manusia hanya bis
amenjawab dengan bertanggung jawab. Oleh karena itu, logoterai menganggap sikap
bertanggung jawab sebagai esensi dasar kehidupan dasar manusia (Frankl, 2004:
173).
Makna hidup yang sejati adalah yang bisa ditemukan di dunia tempat manusia itu
hidup, bukan pada jiwa ataupun batin manusia itu. Makna hidup manusia identik
dengan keberadaan dan keberfungsian manusia itu dalam lingkungan hidupnya.
Frankl menggaris bawahi fakta, bahwa manusia selalu menuju dan dituntut kepada
sesuatu atau seseorang yang berada di luar dari dirinya.
Untuk lebih jelas dalam mendapatkan pengertian dari makna hidup, berikut
beberapa karakteristik makna hidup dalam kehidupan manusia.
Pertama, makna hidup bersifat “unik” dan “personal”. Artinya, apa yang
dianggap penting oleh seseorang belum tentu hal itu juga penting dalam pandangan
manusia lainnya. Bahkan apa yang dianggap penting oleh orang tersebut hari ini,
belum tentu menjadi sesuatu yang penting di kemudian hari.
Kedua, makna hidup bersifat “spesifik” dan “konkrit”. Artinya, dapat ditemukan
dalam pengalaman dan kehidupan nyata, dan tidak selalu dikaitkan dengan tujuan-
tujuan yang berhubungan dengan idealistis, prestasi akademik, atau hasil perenungan
filosofi yang kaya dan kreatif.
Ketiga, sifat ketiga dari makna hidup adalah “menantang” dan “mengundang”.
Artinya makna hidup memberi pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang
dilakukan, sehingga makna hidup seolah-olah menantang dan mengundang manusia
untuk memenuhinya.
Keempat, makna hidup bersifat “mutlak”, “universal”, dan “ultimate”. Bagi
manusia yang tidak beragama, mungkin saja berangapan bahwa alam semesta,
ekosistem, pandangan filsafat, dan idiologi tertentu memiliki nilai yang universal dan
ultimate. Atas dasar ini, maka orang-orang dengan kelompok ini menjadikannya
sebagai landasan dan sumber makna hidup. Dan, pada orang-orang yang menjunjung
tinggi nilai keagamaan dan ketuhanan, maka Tuhan dan agama merupakan sumber
makna hidup ultimate yang mendasari makna hidup pribadi.
3) Meraih Makna Hidup
Di dalam logoterapi ada tiga jenis nilai yang nantinya dapat membuat kehidupan
manusia menjadi bermakna. Tiga nilai itu di antaranya adalah:
- Nilai-Nilai Daya Cipta
Menyangkut pemberian kepada dunia, diwujudkan dalam aktivitas yang kreatif dan
produktif. Arti diberikan kepada kehidupan melalui tindakan yang menciptakan suatu
hasil yang kelihatan atau ide yang tidak kelihatan atau dengan melayani orang – orang
lain yang merupakan suatu ungkapan individu.
- Nilai-Nilai Pengalaman
Menyangkut penerimaan dari dunia, diwujudakan dengan menyerahkan diri kepada
keindahan yang ada di alam sekitar atau seni. Menurut Frankl ada kemungkinan
memenuhi arti kehidupan dengan mengalami beberapa segi kehidupan secara intensif,
walaupun individu tidak melakukan suatu tindakan yang positif. Yang menentukan bukan
berapa banyak puncak yang kita capai atau berapa lama seseorang tinggal dalam
tingkatan pencapaian tersebut namun intensitas yang kita alami terhadap hal – hal yang
kita miliki.
- Nilai-Nilai Sikap
Situasi-situasi yang menimbulkan nilai-nilai sikap ialah situasi-siatuasi di mana manusia
tak mampu mengubah atau menghindari situasi tersebut. Apabila dihadapkan dalam
situasi ini maka satu-satunya cara untuk menyikapinya adalah menerima situasi tersebut.
Cara bagaiman manusia menerima situasi tersebut, keberanian dalam menahan
penderitaan tersebut, kebijaksanaan yang kita perlihatkan ketika berhadapan dengan
bencana marupakan ujian dan ukuran terakhir dari pemenuhan kita sebagai manusia.
Dengan memasukan nilai-nilai sikap sebagai cara member arti bagi kehidupan, Frankl
memberi kita harapan bahwa kehidupan manusia, meskipun dalam keadaan yang paling
gawat, dapat bercirikan arti dan maksud.
Orang-orang yang menemukan arti dalam kehidupan mencapai keadaan transendensi-
diri, keadaan ada yang terakhir untuk kepribadian yang sehat.
4) Sindrom ketidakbermaknaan
Menurut Frankl (dalam Koeswara, 1992), seseorang yang tidak menemukan makna
hidup akan mengalami sindroma ketidakbermaknaan (syndrom of meaninglessness).
Sindroma ini terdiri dari dua tahapan yaitu kevakuman eksistensi (existential vacum) dan
neurosis noogenik. Kevakuman eksistensial terjadi ketika hasrat akan makna hidup tidak
terpenuhi. Gejala-gejala yang ditimbulkan dari kevakuman eksistensial ini antara lain
perasaan hampa, bosan, kehilangan inisiatif, dan kekosongan dalam hidup.
Fenomena ini merupakan fenomena yang menonjol pada masyarakat modern saat
ini. Hal ini dikarenakan pola masyarakat modern yang sudah terlalu jauh meninggalkan
hal-hal yang bersifat religi dan moralitas. Hal ini juga diakui para terapis yang berada di
barat bahwa mereka sering menghadapi pasien dengan keluhan-keluhan yang menyangkut
permasalahan yang terkait makna hidup seperti merasa tidak berguna dan perasaan hampa.
Frankl menekankan bahwa kevakuman eksistensialis bukanlah sebuah penyakit
dalam pengertian klinis. Frankl menyimpulkan bahwa frustasi eksistensi adalah sebuah
penderitaan batin ketika pemenuhan akan hasrat untuk mempunyai hidup yang bermakna
terhambat. Frankl menyatakan bahwa kevakuman eksistensial tersebut bermanifestasi
dalam bentuk neurosis kolektif, neurosis hari Minggu, neurosis pengangguran dan
pensiunan, dan penyakit eksekutif. Beberapa bentuk manifestasi ini gejalanya sama yaitu
kebosanan dan kehampaan, namun terdapat pada kondisi, individu dan waktu tertentu.
Neurosis noogenik merupakan sebuah simptomatologi yang berakar kevakuman
eksistensialis. Frankl menerangkan bahwa neurosis ini terjadi apabila kevakuman
eksistensialis disertai dengan simptom-simptom klinis. Disini permasalahan patologis
tersebut berakar pada dimensi spiritual dan noogenis yang berbeda dengan neurosis
somatogenik (neurosis yang berakar pada fisiologis) maupun neurosis psikogenik (neurosis
yang berakar pada permasalahan psikologis.
Menurut Frankl, neurosis noogenik itu sendiri dapat timbul dengan berbagai neurosis
klinis seperti depresi, hiperseksualitas, alkoholisme, narkoba, dan kejahatan. Orang yang
mengalami kehampaan dan kekosongan hidup mungkin lari kepada alkohol dan narkoba
dalam rangka mengisi kekosongan hidup tersebut. Kasus alkoholik dan narkoba yang
berakar pada permasalahan kevakuman eksistensialis inilah disebut dengan neurosis
noogenik.
5) Kesehatan mental menurut logoterapi
Menurut Frankl, penyebab utama gangguan mental yang di derita seseorang adalah
kegagalan manusia modern memperoleh arti kehidupan. Kehidupan modern telah
mengabaikan keinginan manusia untuk mencari arti atau dasar hidup yang sesungguhnya.
Dalam sistem Frankl, ada satu dorongan yang fundamental, yakni kemauan akan arti
yang begitu kuat sampai mampu mengalahkan semua dorongan lain pada manusia.
Kemauan akan arti sangat penting untuk kesehatan psikologis dan dalam situasi-situasi
yang gawat (seperti yang dihadapi Frankl di Auschwitz), kemauan akan arti perlu sekadar
supaya tetap hidup. Tanpa arti untuk kehidupan, tidak ada alasan untuk meneruskan
kehidupan.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa arti kehidupan sangat khas (istimewa), unik
bagi setiap individu. Arti kehidupan berbeda dari yang satu dengan yang lainnya, berbeda
dari satu waktu dengan waktu yang lainnya. Tidak ada hal yang sedemikian rupa bahwa
kemauan universal akan arti berlaku secara merata bagi semua manusia.
Karena tugas-tugas dan nasib-nasib adalah unik bagi individu-individu dan periode-
periode waktu, maka setiap orang harus menemukan caranya sendiri untuk memberikan
respons. Setiap situasi adalah baru dan membutuhkan suatu respons tersendiri.
Meskipun adanya variasi dalam apa yang memberi arti bagi kehidupan, namun
Frankl tetap mempertahankan bahwa hanya ada satu jawaban terhadap setiap situasi.
Masalah bagi kita ialah bukan bahwa bukan bahwa beberapa situasi tidak mempunyai arti
—semua situasi mempunyai arti—tetapi bagaimana menemukan arti tesebut.
Suatu pribadi yang sehat mengandung tingkat tegangan tertentu antara apa yang
telah dicapai atau diselesaikan dan apa yang harus dicapai atau diselesaikan, suatu jurang
pemisah antara siapa kita dan bagaimana seharusnya kita.
6) Dimensi spiritual logoterapi
Adanya gejala-gejala kejiwaan yang khas manusiawi – dengan proses
eksistensialnya, mengisyaratkan adanya dimensi lain yang mengatasi dimensi somatic-
psikis. Frankl menamakan dimensi itu itu sebagai dimensi noetic atau dimensi spiritual
yang harus dibedakan dari dimensi psikis. Sesuai dengan arti “logos” yang dalam bahasa
Yunani berarti “meaning” (makna) dan juga spirituality (ruhani). Logoterapi yang
dikembangkan Frankl dilandasi oleh filsafat hidup dan wawasan mengenai manusia yang
mengakui adanya dimensi spiritualitas, disamping dimensi somatic dan dimensi psiko
sosial, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup
bermakna (the will to meaning) sebagi motivasi utama manusia. Logoterapi mengajarakan
bahwa manusia harus dipandang sebagai kesatuan raga-jiwa-ruhani yang tak terpisahkan
(Bastaman, 1994: 21).
Dimensi spiritual yang oleh frankl dinamakan juga “dimensi noetic”, dalam
pandangan logoterapi lebih cenderung ke arah dimensi antropologis daripada dimensi
teologis. Selain itu, dimensi spiritual yang dimaksud Frankl tidak mengandung konotasi
agama, tetapi merupakan sumber dari kualitas-kualitas insani.
Kualitas-kualitas insani adalah semua kemampuan, sifat, sikap, dan kondisi yang
semata-mata terpatri dan terpadu pada eksistensi manusia dan tidak dimiliki oleh hewan
dan makhluk-makhluk lainnya. Yang termasuk kualitas-kualitas insani antara lain adalah
intelegensi, ide, makna, imajinasi, kesadaran diri, pengembangan diri, humor, nilai-nilai,
cinta kasih, hasrat untuk hidup bermakna, moralitas, hati nurani, transendensi diri,
keimanan, kreativitas, kebebasan, dan tanggung jawab (Bastaman, 1996: 57, dalam library
walisongo).
Sekalipun pandangan ini jelas merupakan pandangan sekuler, dan logoterapi secara
sadar menarik garis batas tegas dengan teologi, namun logoterapi tidak menutup diri
terhadap agama, bahkan memberikan peluang sepenuhnya kepada setiap pribadi untuk
merealisasikan nilai-nilai keagamaan sebagai sumber makna hidup. Kemudian yang lebih
penting lagi, pandangan logoterapi yang mengakui dimensi spiritual (noetic) sebagai salah
satu ciri khas manusia, merupakan langkah awal ke arah penjajagan terhadap dimensi
spiritual dalam artian agama yang sejauh ini tidak tersentuh dan bahkan diabaikan oleh
psikologi kontemporer yang sekuler (Bastaman, 1996: 207-208, library walisongo).
Dengan demikian, agama diberi tempat yang tinggi dalam logoterapi. Frankl
berpendapat bahwa ini merupakan kekuatan paling besar yang memberi arti kepada
penderitaan manusia. Pendapatnya ini telah dibuktikan sendiri ketika dia menjadi tawanan
tentara NAZI. Oleh karena itu, dibandingkan dengan Freud, Frankl menunjukkan sikap
yang kontras terhadap agama. Ia dengan tajam mengecam penganut aliran psikoanalisis
yang melihat semua aktivitas manusia, bahkan yang paling manusiawi pun, didasari
sebagai motif-motif yang tidak disadari dan merupakan mekanisme pertahanan diri (Badri,
1986: 75-76, dalam library walisongo).
Meskipun Frankl mengatakan bahwa dimensi spiritual yang ia maksud tidak
mengandung konotasi agama, bahkan mengatakan bahwa ajaran logoterapi adalah sekuler,
tetapi ia telah berjasa menunjukkan adanya dimensi lain “di atas alam sadar”, yaitu sumber-
sumber kualitas insani dengan segala potensialitasnya. Dimensi ini mengejawantah ke alam
sadar dan benar-benar dapat dialami dan disadari manusia, tetapi sebagian besar masih
belum teraktualisasi atau masih merupakan potensialitas yang tidak disadari (Bastaman,
1994: 21, dalam library walisongo).
D. TEKNIK LOGOTERAPI
Frankl dengan logoterapi-nya tidak hanya penyumbang teori tetapi juga sebagai
penyumbang teknik-teknik dan metode-metode menemukan makna yang diharapkan dapat
memperoleh gambaran mengenai logoterapi dalam konteks praktek.
Untuk memudahkan pehamaman tentang teknik-teknik logoterapi perlu dijelaskan dahulu
suatu fenomena psikologi klinis yang disebut Anticipatory Anxienty, yakni kecemasan yang
ditimbulkan oleh antisipasi individu atas suatu situasi dan atau gejala yang ditakutinya. Menurut
Frankl, kecemasan antisipatori mengurung individu di dalam kecemasan terhadap kecemasan.
Frankl mencatat bahwa pola rekasi atau respon yang biasa digunakan oleh individu untuk
mengatasi kecemasan antisipatorinya itu adalah dengan pola reaksi: fight from fear, menghindari
atau lari dari obyek yang ditakuti dan situasi yang menjadi sumber kecemasan, fight against
obsession, mencurahkan seluruh daya dan upaya untuk mengendalikan, menahan dan melawan
pikiran tentang sesuatu atau keinginan untuk melakukan sesuatu yang sifatnya memaksa (suatu
dorongan yang kuat) dan aneh dalam dirinya; fight for something, melawan suatu hasrat uang
berlebihan (misal: kepuasan) yang dalam kenyataan sering sidertai kecenderungan kuat untuk
selalu menanti-nantikan dengan penuh harapan saat-saat kepuasan itu terjadi pada dirinya. Dalam
logoterapi, fenomena itu disebut hyper-reflection (terlalu memperhatikan kesenangan sendiri)
dan hyper-intention (selalu menghasrati sesuatu) yang semuanya diluar kewajaran.
Bagaimanapun menurut Frankl, kesenangan adalah semata-mata produk atau efek
sampingan dari suatu tindakan yang tidak akan bisa diperoleh apabila dijadikan tujuan akhir
dengan tindakan pencapaian yang bersifat memaksa. Ini sesuai dengan prinsip yang
menyebutkan bahwa semakin seseorang memaksa mendorong dirinya ke arah kesenangan, akan
semakin berkurang orang itu menikmati kesenangan.
Dari pola respon tersebut, Frankl menemukan dua fakta, yakni kesenjangan yang
memaksa untuk menghindari sesuatu semakin mendekatkan individu kepada sesuatu yang ingin
dihindarinya, dan kesenjangan yang memaksa untuk mencapai sesuatu semakin menjauhkan
individu dari sesuatu yang ingin dicapainya. Untuk mengatasi semua ini, Logoterapi
mengembangkan teknik-teknik sebagai berikut :
1. Intensi Paradoksial
Teknik Intensi Paradoksial pada dasarnya memanfaatkan kemampuan insani dalam
mengambil jarak (self detachment) dan kemampuan mengambil sikap (to take a stand)
terhadap keadaan diri sendiri dan lingkungannya. Selain itu, teknik ini memanfaatkan salah
satu kualitas insani lainnya, yaitu rasa humor. Dalam menerapkan teknik Intensi Paradoksial
penderita dibantu untuk menyadari pola keluhannya, mengambil jarak pada keluhannya itu
dan menanggapinya sendiri secara humoristis.
Teknik Intensi Paradoksial ini berusaha mengubah sikap penderita yang semula serba
takut menjadi “akrab’ dengan obyek yang justru ditakutinya dengan memandang segi-segi
humor dari keluhannya.
2. De-reflection
Teknik Dereflection pada dasarnya memanfaatkan kemampusan transendensi diri (self
transcendence) yang ada dalam diri setiap orang. Dalam transendensi diri ini seseorang
berupaya untuk keluar dan membebaskan diri dari kondisinya (berusaha untuk tidak lagi
terlalu memperhatikan keluhan-keluhannya). Selanjutnya ia lebih mencurahkan perhatiannya
kepada hal-hal lain yang lebih positif, lebih bermanfaat, lebih bermakna dan berguna
baginya, lalu memutuskan untuk merealisasikannya. Dengan teknik Dereflection diharapkan
mampu mengubah sikap yang semula terlalu memperhatikan (kesenangan) diri sendiri (self
concerned), sekarang melakukan komitmen untuk melakukan sesuatu yang penting baginya
(self commited).
3. Bimbingan Rohani
Frankl mengungkapkan bahwa dalam Logoterapi terdapat pula kasus-kasus dimana yang
diperlukan sama sekali bukan terapi, melainkan sesuatu yang lain, yaitu bimbingan rohani.
Dalam hidup ini sering ditemukan berbagai krisis dan peristiwa tragis yang tak terhindarkan
lagi, sekalipun upaya-upaya mengatasinya secara maksimal telah dilakukan (baik
menggunakan teknik Paradoxicial Intention dan Dereflection). Penyakit yang tak
tersembuhkan, kelainan bawaan, kemandulan, kematian, dosa dan kesalahan, kecelakaan
yang menyebabkan kecacatan, merupakan contoh peristiwa-peristiwa tragis yang dapat
dialami oleh siapa pun.
Mengingat kondisi-kondisi serupa itu tidak dapat dihindari, maka Logoterapi sebagai
“terapi melalui makna” (sekarang mottonya “sehat melalui makna”) atau “terapi berwawasan
spiritual” mengarahkan para penderita untuk berusaha mengembangkan sikap (attitude) yang
tepat dan positif terhadap keadaan yang tidak terhindarkan itu. Bimbingan rohani menurut
Frankl tidak berurusan dengan penyelamatan jiwa (soul salvation) yang merupakan tugas
para rohaniawan, tetapi berurusan dengan kesehatan rohani. Roh manusia akan tetap sehat
selama ia tetap sadar akan tanggung jawabnya. Tanggung jawab yang dimaksud tidak lain
adalah tanggung jawab merealisasi nilai-nilai, termasuk nilai-nilai bersikap, menunjukkan
sikap positif terhadap penderitaannya, sehingga ia bisa menemukan makna dari
penderitaannya itu. Misalnya, berupa upaya para penderita untuk bersedia meninjau
masalahnya dari sudut lain, berolah seni, mendalami agama, dan lain sebagainya.
E. CONTOH KASUS
1. Penerapan Teknik Intensi Paradoksial
a) Kasus hidrofobia yang dialami seorang klien selama 4 tahun, dimana ia selalu
merasa gemetar dan keluar keringat tiap kali berjabat tangan dengan atasannya.
Frankl mengajukan saran kepada kliennya supaya jika ia bertemu kembali dengan
atasannya berusaha secara sengaja mengatakan pada dirinya bahwa ia akan
mengeluarkan keringat sebanyak-banyaknya jika bersalaman dengan atasannya
yang sebelumnya hanya sedikit. Dan hasilnya ternyata klien tidak berkeringat
sedikitpun saat bersalaman dengan atasannya.
b) Kasus bakterofobia dan kompulsi mencuci yang dialami ibu rumah tangga ditangani
Frankl dengan mengajak ibu tersebut menirukan apa yang dilakukannya dengan
menggosok-gosokkan tangan ke lantai dan kemudian berkata, ‘’Lihat, tangan saya
menjadi kotor, tetapi saya tidak bisa menemukan banyak bakteri !’’ dan kemudian
ibu tersebut mau menirukannya dan selama 5 hari berikutnya gejala-gejala
bakterfobia mulai menyusut dan akhirnya hilang sama sekali.
Dari contoh kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan intensi paradoksial
individu didorong untuk melakukan sesuatu yang paradoks yakni mendekati sesuatu
yang justru ditakutinya dan yang selalu ingin dihindarinya.
2. Penerapan Teknik Dereflection
Menjadi tua adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari. Saat memasuki periode
lansia, keberadaan seseorang menjadi yang lebih berarti dalam hidup dan sangat
penting. Lansia akan menghadapi berbagai persoalan yang terkait dengan beberapa
perubahan yang dialami pada masanya, yaitu perubahan dalam aspek fisik, kognitif,
dan psikososial. Hal tersebut akan menimbulkan berbagai dampak bagi lansia, salah
satunya ialah perasaan tidak bermakna dalam hidup yang dapat menyebabkan
terjadinya gejala fisik. Subjek ialah lansia yang mengalami ketidakbermaknaan hidup
dan berdampak pada gejala fisik.
Konseling logoterapi diberikan pada subjek karena konseling ini merupakan
konseling yang diberikan pada individu yang mengalami ketidakjelasan makna dan
tujuan hidup. Hal tersebut menyebabkan subjek mengalami kehampaan dan kehilangan
gairah hidup. Konseling logoterapi juga diberikan pada subjek karena konseling ini
tidak diterapkan untuk kasus patologis berat yang membutuhkan psikoterapi. Selain itu,
konseling logoterapi memiliki karakteristik jangka pendek, berorientasi masa depan dan
berorientasi pada makna hidup (Bastaman, 2007).
Hasil dari konseling logoterapi ini didukung oleh kemauan dan motivasi subjek
untuk meningkatkan kebermaknaan hidupnya serta dukungan dari anggota keluarga
subjek. Istri subjek menyatakan bahwa terdapat perubahan pada diri subjek ke arah
yang lebih baik, termasuk berkaitan dengan sikapnya terhadap istri dan anak-anak
subjek. Istri subjek tidak lagi menemui kebiasaan subjek untuk memeriksakan kondisi
fisiknya secara berlebihan ke puskesmas.
Istri subjek juga menyatakan bahwa subjek kini lebih dapat mengendalikan emosi
daripada sebelumnya. Selain dari proses konseling logoterapi, peningkatan kondisi
subjek tersebut dipengaruhi oleh pihak lain, yaitu penjelasan dari saudara subjek yang
berprofesi dokter yang dapat meyakinkan subjek bahwa gejala fisik yang
dikeluhkannya bukan merupakan gejala dari penyakit kronis tertentu. Serta percakapan
yang sering dilakukan subjek dengan temannya dimana subjek diajarkan untuk
mengubah sikapnya dalam menjalani hidup dan dalam menyikapi orang lain. Subjek
menyadari bahwa masukan dari dua pihak tersebut serta proses konseling yang telah
dilakukan memiliki manfaat yang besar terhadap dirinya untuk menjadi lebih baik di
waktu yang akan datang.
Selanjutnya berdasarkan Kuesioner Kebermaknaan Hidup yang diisi oleh subjek,
terdapat perbedaan yang signifikan pada beberapa poin di awal konseling dengan di
akhir konseling. Hal tersebut menunjukkan bahwa subjek belum menemukan tujuan
hidupnya sebelum diberikan konseling dan telah mampu menentukan tujuan hidupnya
secara jelas setelah diberikan konseling, yaitu dapat membahagiakan keluarga, dapat
bermanfaat bagi orang lain, serta lebih dekat dengan Tuhan. Pada poin lain juga
terdapat perbedaan yang signifikan, dimana hasil pengisian kuesioner menunjukkan
bahwa pada awal konseling subjek belum menemukan makna hidupnya dan pada akhir
konseling subjek telah menemukan makna hidupnya. Sedangkan hasil pengisian
kuesioner secara keseluruhan, kondisi subjek menunjukkan adanya perubahan pada
awal dan akhir konseling. Subjek telah mampu menentukan tujuan hidupnya secara
jelas dan telah menemukan makna hidupnya kembali.
Selama proses konseling logoterapi, peneliti dan subjek memiliki hubungan yang
akrab, terbuka, saling menghargai, memahami dan menerima, sehingga proses
konseling dapat dilakukan secara fleksibel. Konseling bersifat direktif dimana peneliti
memberikan pengarahan pada subjek mengenai hal-hal yang dapat dilakukan subjek
sebagai proses untuk menemukan makna hidupnya. Peneliti berperan sebagai
participating partner yang menarik keterlibatan dengan subjek sedikit demi sedikit
setelah subjek mulai menyadari dan menemukan makna hidupnya (Bastaman, 2007).
Keterbatasan dalam penelitian ini ialah faktor eksternal yang tidak dapat dikontrol
oleh peneliti, yang kemungkinan dapat mempengaruhi hasil konseling. Faktor eksternal
tersebut ialah pengaruh dari keluarga, saudara, serta sahabat subjek. Keluarga, terutama
istri subjek, memberikan dukungan setiap saat agar subjek dapat menerima kondisi
fisiknya dan menjalani hidup dengan lebih tenang. Selama proses konseling, keluarga
mendukung subjek untuk melakukan hal-hal yang positif dan bermanfaat sehingga
kebermaknaan hidup subjek meningkat. Saudara subjek yang berprofesi dokter juga
memberikan pengaruh terhadap hasil konseling. Saudara subjek tersebut melakukan
pemeriksaan terhadap kondisi fisik subjek dan tidak menemukan kemungkinan yang
mengarah pada penyakit kronis tertentu. Saudara subjek menjelaskan bahwa gejala fisik
yang dialami subjek akibat kondisi fisik subjek yang mengalami penurunan karena
memasuki masa lansia, dan meyakinkan bahwa subjek tidak perlu mengkhawatirkan
gejala-gejala tersebut. Selanjutnya sahabat subjek yang sering melakukan percakapan
dengan subjek juga memberikan dukungan pada subjek. Ia meyakinkan bahwa subjek
dapat memiliki kehidupan yang lebih tenang dengan menerima kondisi fisiknya yang
menurun. Sahabat subjek yang mengalami kelumpuhan tersebut menyampaikan bahwa
ia dapat menjalani hidupnya dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat, sehingga ia
berharap subjek dengan kondisi fisik yang lebih baik juga dapat melakukan hal-hal
yang bermanfaat.
Diharapkan setelah konseling dihentikan, subjek dapat mempertahankan atau
meningkatkan kebermaknaan hidupnya sehingga menjadi pribadi yang lebih terbuka
dan menyenangkan, bersedia melakukan pengalaman baru (Reker & Woo, 2011) selalu
memiliki harapan menjadi lebih baik dan bersedia untuk memperbaiki diri, berguna dan
bermanfaat bagi lingkungan sekitar (Bastaman, 2007). Selain itu, sebagai proses
meningkatkan kebermaknaan hidupnya, subjek diharapkan dapat mempertahankan
ketertarikan, aktivitas, dan interaksi sosial selama periode lansia (Feldman, 2003) serta
mampu menemukan makna yang positif dari kehidupan dan kematian, bahkan dalam
kondisi fisik yang tidak baik, seperti penurunan fungsi tubuh (Wong, 2007).
3. Penerapan Teknik Bimbingan Rohani
Harold seorang warga Australia berusia paruh baya yang kehidupannya dengan
cepat berubah carut-marut diluar kontrol seperti seorang pemabuk. Masalah keuangan
dibebani oleh sejumlah biaya yang dihabiskan untuk minum dan pengaruh beban
pekerjaan (stress). Simpati istrinya berkurang disamping ia juga punya masalah tidur
tengah malam. Dia pulang untuk menemui Chris Wurm, seorang ahli Logotherapi.
Wurm mengkombinasikan pendekatan medis sebagai contoh pemberian informasi
terhadap bahaya minuman-minuman yang dilakukan dengan logotherapi. Roda
kehidupan Harold kembali bergulir, liku-liku sisi alkohol dari kehidupannya muncul
kembali dan tak bisa dihindari. Wurm berkata bahwa Harold harus memikirkan apa
yang dia ketahui dan dapat menentukan pilihan serta menjalani kehidupan dengan
berbagai cara. Harold harus menetukan pilihan yang membawa perubahan baginya dan
memberikan gambaran masa-masa mendatang. Ternyata teknik tersebut berhasil dan
berperan sangat efektif. Harold menjadi memandang bahwa akal piciknya menjadi
bumerang untuk dirinya sendiri.
F. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN LOGOTERAPI
- Kelebihan Logoterapi
Logoterapi mengajarkan bahwa setiap kehidupan individu mempunyai maksud,
tujuan, makna yang harus diupayakan untuk ditemukan dan dipenuhi. Hidup kita tidak
lagi kosong jika kita menemukan suatu sebab dan sesuatu yang dapat mendedikasikan
eksistensi kita.
- Kekurangan Logoterapi
Ada beberapa klien yang tidak dapat menunjukan makna hidupnya sehingga timbul
suatu kebosanan merupakan ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan minat
apatis, perasaan tanpa makna, hampa, gersang, merasa kehilangan tujuan hidup,
meragukan kehidupan. Sehingga enyulitkan konselor untuk melakukan terapi kepada
klien tersebut.
Kekurangan makna hidup, bagi Frankl, merupakan suatu neourosis; dia menyebut
kondisi ini noögenic neurosis. Inilah suatu keadaan yang bercirikan tanpa arti, tanpa
maksud, tanpa tujuan dan hampa. Frankl menulis tentang kawan-kawan setahanannya,
“celakalah diayang tidak lagi melihat arti dalam kehidupannya, tidak lagi melihat tujuan,
tidak lagi melihat maksud, dan karena hal tersebut ada sesuatu yang turut serta. Dia akan
merasa kehilangan”. Karena tidak merasa kehidupan yang penuh dan gairah, maka orang
semacam itu berada dalam kekosongan eksistensial , suatu kondisi yang menurut
keyakinan Frankl adalah lumrah dalam masa yang sudah modern ini
DAFTAR PUSTAKA
Frankl, V. Man’s Search for Meaning: An Introduction to Logotherapy. Boston: Beacon Press,
1962.
Graham, Helen (2005). Psikologi Humanistik. Yogyakarta: Pustaka Jaya.
Gusti. Nona (2014). Teori Eksistensialisme Viktor. From http://nonagusti.blogspot.com, 17
Novemer 2014
Library.walisongo.ac.id/digilib, 2 November 2014
Schultz, Duane (1991). Psikologi Pertumbuhan “Model-model Kepribadian Sehat”. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.