MAKALAH LINA - Kolitis Ulserativa

download MAKALAH LINA - Kolitis Ulserativa

of 14

description

kolitis, ulcer

Transcript of MAKALAH LINA - Kolitis Ulserativa

Penegakkan Diagnosis serta Tatalaksana Kolitis Ulseratif

Lina Lim10-2013-285Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510No. Telp (021) 5694-2061, e-mail: [email protected]

Abstrak: Kolitis ulseratif adalah salah satu penyakit abdomen yang termasuk dalam penyakit inflamasi kolon. Kolitis ulseratif secara umum memiliki gejala yang sangat mirip dengan penyakit abdomen lainnya, seperti diare kronik dan nyeri abdomen yang intermiten serta remisif. Oleh karena itu pendekatan diagnostik yang tepat harus menjadi kompetensi dasar bagi setiap dokter supaya tidak terjadi kesalahan diagnosis penyakit dengan penyakit abdomen lain yang terutama memiliki persamaan gejala yang cukup mirip seperti pada penyakit crohn.Kata kunci: kolitis ulseratif, diare kronik, nyeri abdomen, penyakit crohn

Abstract: Ulcerative colitis is a disease that includes in abdominal colon inflammatory diseases. Ulcerative colitis generally have symptoms which is very similar to other abdominal diseases, such as chronic diarrhea with intermittent and remisif abdominal pain. Therefore, appropriate diagnostic approach should be the basis competence for any physician. In order to avoid fault diagnostic with other abdominal diseases especially whose have quite similar symptom such as Crohn's disease.Keywords: ulcerative colitis, chronic diarrhea, abdominal pain, Crohn's disease.PendahuluanSistem pencernaan manusia terdiri dari banyak komponen yang bekerja bersama dengan tujuan yang sama yakni mencerna dan mengabsorbsi makanan yang masuk ke dalam tubuh. Sistem pencernaan ini terdiri dari saluran yang panjang yang disebut sebagai traktus gastrointerstinal atau GI tract. Makanan masuk mulai dari mulut kemudian masuk ke esofagus, lambung, usus halus, usus besar, sigmoid, rektum dan pada akhirnya sisa pencernaan yang tidak lagi diperlukan oleh tubuh dikeluarkan melalui anus.1

Setiap komponen dalam GI tract ini dapat mengalami masalah atau cedera ketika terdapat faktor eksogen maupun endogen yang bersifat merusak. Sebagai contoh faktor eksogen bisa berupa makanan yang tidak sehat yang mengandung bakteri atau pun virus yang bisa saja menginvasif mukosa GI tract sehingga terjadilah kerusakan saluran cerna yang berakibat pada diare dan nyeri abdomen. Tentu saja dalam proses terjadinya diare dan nyeri abdomen ini tidak lepas dari sistem imun yang bekerja sebagai pelindung tubuh. Sistem imun inilah yang merupakan salah satu faktor eksogen yang ada.1

AnamnesisAnamnesis merupakan langkah pertama sekaligus langkah paling penting yang akan membawa pada diagnosis yang tepat. Oleh karena itu anamnesis harus dilakukan dengan cermat dan teliti. Pada kasus penyakit abdomen anamnesis terutama harus terfokus pada gejala utama atau keluhan utama pasien yakni diare dan nyeri abdomen. Setelah mendapatkan informasi mengenai identitas pasien maka selanjutnya adalah menggali informasi mengenai keluhan utama pasien. Pertanyaan yang perlu ditanyakan pada keluhan diare berupa: lama diare, frekuensi, volume, warna, lendir/darah, bau, penyakit penyerta seperti malnutrisi dan infeksi, riwayat makan dan minum sebelum dan sesudah diare dan juga berat badan sebelum sakit.2

Nyeri abdomen berdasarkan gejala klinisnya terdapat:31. Nyeri viseralTerjadi ketika organ-organ abdomen yang berongga seperti intestinum atau percabangan bilier melakukan kontraksi kuat secara abnormal atau jika organ-organ tersebut mengalami distensi atau peregangan. Organ-organ padat seperti hepar juga dapat menimbulkan rasa nyeri jika kapsulanya teregang. Lokasi nyeri viseral sulit ditentukan. Nyeri viseral memiliki kualitas yang bervariasi dan dapat berupa sakit perut atau rasa mulas, rasa panas seperti terbakar, kram, ataupun rasa pegal.2. Nyeri parietal Berasal dari peritoneum parietalis yang disebabkan oleh inflamasi. Nyerinya berupa perasaan pegal yang menetap yang biasanya lebih hebat daripada nyeri viseral dan lokasinya lebih tepat di daerah struktur yang sakit. Rasa nyeri biasanya diperparah ketika pasien bergerak atau batuk. Biasanya pasien dengan tipe nyeri seperti ini lebih menyukai untuk berbaring diam.3. Nyeri alihDirasakan pada tempat yang lebih jauh dan mendapatkan inervasi dari medula spinalis dengan ketinggian atau level yang lebih-kurang sama seperti yang menginervasi struktur yang sakit. Nyeri alih sering timbul setelah nyeri awalnya bertambah parah dan dengan demikian akan seperti menjalar atau berpindah dari lokasi awalnya. Nyeri alih dapat diraba secara superfisial atau profunda, tetapi biasanya dapat ditentukan lokasinya dengan jelas.

Pemeriksaan FisikPemeriksaan abdomen paling baik dilakukan pada pasien dalam keadaan berbaring dan relaks, kedua lengan berada di samping, dan pasien bernapas dengan mulut. Pasien diminta untuk menekukkan kedua lutut dan pinggulnya sehingga otot-otot abdomen menjadi relaks. Dokter yang memeriksa harus merasa nyaman dan relaks, dan oleh sebab itu ranjang harus dinaikkan atau pemeriksa berlutut di samping tempat tidur. Tangan pemeriksa harus hangat untuk menghindari terjadinya reflex tahanan otot oleh pasien. Setelah melakukan inspeksi menyeluruh dan keadaan sekitarnya secara cepat, perhatikan abdomen untuk memeriksa apakah abdomen bisa bergerak tanpa hambatan ketika pasien bernapas, apakah pasien menderita nyeri abdominal yang nyata, apakah pasien menderita iritasi peritoneum, yaitu pergerakan abdomen menjadi terbataas, apakah terdapat jaringan parut dan kelainan-kelainan lain yang terlihat pada abdomen.4

Palpasi abdomen harus dilakukan secara sistematis, terutama jika pasien menderita nyeri abdomen. Selalu tanyakan kepada pasien etak nyeri yang dirasa maksimal dan periksa bagian tersebut paling akhir. Isi abdomen dapat bergerak, semi-solid, tersembunyi di balik organ lain, pada dinding posterior abdomen, dapat diraba melalui otot-otot abdomen, atau kelima-limanya.1,4

Lakukan palpasi pada setiap kuadran secara berurutan, yang awalnya dilakukan tanpa penekanan yang berlebihan, dan dilanjutkan dengan palpasi secara dalam. Kemudian , lakukan palpasi secara khusus terhadap beberapa organ. Perkusi berguna untuk memastikan adanya pembesaran beberapa organ, khususnya hati, limpa, atau kandung kemih. Lakukan selalu perkusi dari daerah resonan ke daerah pekak, dengan jari pemeriksa yang sejajar dengan bagian tepi organ. Auskultasi hanya didapatkan dari pengalaman klinis. Seorang pemeriksa mungkin membutuhkan waktu selama beberapa menit sebelum dapat mengatakan dengan yakin bahwa bisisng usus itu normal, tidak terdengar, ataupun berlebihan.1,5

Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien yang dicurigai kolitis ulseratif adalah pemeriksaan darah lengkap. Jika pasien dengan kolitis ulseratif yang cukup aktif maka akan ditemukan peningkatan CRP, hitung trombosit, ESR, dan penurunan Hb. Fecal lactoferin cukup menjadi marker yang sensitif dan spesifik untuk mendeteksi inflamasi pada intestinal. Pada kasus berat, level albumin serum dapat menurun cukup signifikan. Leukositosis dapat terjadi tapi tidak merupakan indikator yang spesifik untuk menentukan aktivitas penyakit. Pemeriksaan yang mungkin dapat menentukan tingkat keparahan penyakit adalah hematocrit, ESR, dan level serum albumin. Pemeriksaan mikrobiologi pada feses penting untuk menentukan apakah penyebab penyakit merupakan infeksi atau tidak.6-71. Fecal markerPenanda utama dalam kolitis ulseratif adalah adanya infiltrasi neutrofil di dalam kripta sel epitel dan lamina propria dan berhubungan dengan eksudasi neutrofil pada feses di dalam lumen kolon. Tidak adanya leukosit pada feses menyingkirkan adanya inflamasi dan mengacu kepada hal lain yang berupa kelainan struktural ataupun iritasi kolon. Calprotectin, yang berasal dari sel granulosit, calcium binding protein, dapat digunakan sebagai penilaian diagnostik untuk mengidentifikasi adanya diare inflamatorik dan aktivitas inflamasi yang terjadi. Sama halnya dengan lactoferin, yang merupakan protein granulosit neutrofilik yang dapat ditemukan dalam pemeriksaan latex agglutination assay atau dengan polyclonal antibody-based enzyme linked immunoassay, dapat digunakan untuk membedakan antara IBD atau irritable bowel syndrome (IBS).

2. Serologi Pemeriksaan diagnostik serologi terbaru untuk mengidektifikasi IBD adalah pemeriksaan adanya ANCA (Anti Neutophil Cytoplasmic Antibody) dan pANCA (Perinuclear Anti Neutrophilic Cytoplasmic Antibodies). Namun, pANCA juga dapat diidentifikasi positif pada sekitar 31% pasien dengan ulcerative colitis-like pattern dari penyakit Crohn. Berbeda dengan predominansi pANCA pada penyakit kolitis ulseratif, antibodi terhadap Saccharomyces cerevisiae (ASCA-anti saccharomyces cerevisiae antibody) lebih spesifik ditemukan pada pasien dengan penyakit Crohn dan positif pada 40-60% pasien. Pada akhirnya, untuk bisa membedakan antara kolitis ulseratif dengan penyakit Crohn tidak bisa dengan mendeteksi pANCA pada pasien dengan kolitis yang masih belum diketahui penyebabnya. Namun, mendeteksi ASCA dapat menjadi lebih bermanfaat pada indeterminate colitis, namun sensitivitasnya rendah, sehingga prediksi kemungkinan positif ataupun negatif cukup rendah.

3. EndoskopiPada kolitis ulseratif, endoskopi akan menunjukkan inflamasi yang kontinu, difus, yang mulai terlihat dari rektum, kemudian menjalar ke arah proksimal. Berdasarkan lokasi kolon yang terkena penyakit ini diklasifikasikan sebagai: Proktitis dan proktosigmoiditis (50%), mengenai lokasi rectum dan sigmoid left-sided colitis (30%), mengenai lokasi kolon desenden (fleksura splenika) extensive colitis (20%), mengenai lokasi kolon keseluruhan

Mukosa colon yang normal dan sehat adalah halus dan berkilau, memantulkan cahaya endoskopi dan memperlihatkan percabangan vaskular dari mukosa kolon. Jika terdapat inflamasi, maka mukosa kolon akan menjadi edema, eritematosa, lebih bergranular, sehingga pantulan cahaya menjadi acak dan tidak beraturan. Mukosa yang bergranulasi dapat halus atau kasar. Kasarnya mukosa yang bergranula tersebut menunjukkan adanya pinpoint ulceration dan berhubungan dengan tingkat kerapuhannya (dapat menyebabkan pendarahan spontan ataupun pendarahan karena skope yang dimasukkan).

Sigmoidoskopi digunakan untuk menilai aktivitas penyakit dan biasanya dilakukan sebelum treatment diberikan. Jika pasien tidak sedang dalam masa akut, kolonoskopi digunakan untuk menilai seberapa jauh perjalanan penyakitnya serta aktivitas penyakitnya. Gambaran endoskopi yang terlihat pada KU yang ringan adalah eritema, gambaran vaskularisasi mulai menghilang, dan kerapuhan yang ringan. Gambaran endoskopi pada KU yang sedang adalah eritema yang jelas, kehilangan gambaran vaskularisasi, kerapuhan, dan erosi. Sedangkan pada KU yang berat terlihat adanya ulserasi dan pendarahan spontan. Gambaran histologi berubah lebih lambat dibandingkan dengan gejala klinisnya, tapi tetap dapat digunakan untuk menilai tingkat aktivitas penyakit

Gambar 1. Kolonoskopi Kolitis Ulseratif.8

Ketika KU mulai menyembuh, maka perubahan mukosa terlihat dengan sangat jelas. Mukosa kolon menyembuh dengan pertumbuhan jaringan granulasi untuk menggantikan ulserasi yang telah terjadi hingga akhirnya terjadi pemulihan gambaran vaskularisasi pada mukosa kolon, namun gambaran tidak terlihat jelas atau bahkan tidak jelas sama sekali karena percabangan vaskularisasi tidak terlalu banyak yang ireguler. Pada area yang mengalami inflamasi lebih parah, pertumbuhan jaringan granulasi terlihat lebih jelas dan mengalami reepitelisasi berbentuk pseudopolip postinflamasi. Pseudopolip yang terbentuk bervariasi antara ukuran dan bentuknya, dan sering berbentuk seperti finger-like projections. Jika ulserasi yang terjadi lebih berat, maka bisa terbentuk mucosal bridges. Pseudopolip yang terbentuk tidak memiliki potensi neoplasma sama sekali, namun sulit untuk membedakannya dengan polip adenoma lainnya. Terutama jika memang pasien mengalami KU yang sangat berat, maka pembentukan pseudopolip tersebut dapat menutupi seluruh mukosa, sehingga menyebabkan kesulitan untuk mendeteksi adanya polip adenoma.Pada KU yang parah, endoskopi dapat tetap dilakukan, namun hanya oleh dokter yang sudah sangat berpengalaman, untuk dapat menentukan tingkat keparahan pada perubahan mukosa kolon, seberapa dalam ulserasi yang terjadi, untuk akhirnya mengarah kepada prognosis dan terapi yang akan dilakukan. Kolonoskopi dan biopsi dapat juga digunakan untuk membantu melihat apakah ada komplikasi berupa infeksi seperti C. difficile.

4. Imaging Kelainan spesifik pada KU yang mungkin dapat dilihat dengan kontras barium enema adalah hilangnya haustrasi pada bagian yang mengalami inflamasi, lesi striktur, fistulasi, mukosa yang ireguler, gambaran ulkus atau polip, penebalan dinding usus, gambaran kolon yang terlihat seperti memendek, dan peningkatan jarak/ruang antara sakrum dengan rektum. Pemeriksaan barium enema dikontraindikasikan pada pasien dengan KU berat karena berpotensi terjadinya perforasi atau dapat menginduksi terjadinya megakolon toksik.

Diagnosa KerjaKolitits UlseratifKolitis ulseratif adalah penyakit kronis atau tahan lama yang menyebabkan peradangan dan luka, borok di lapisan dalam usus besar, termasuk usus besar dan rektum-bagian akhir usus besar. Kolitis ulseratif adalah salah satu dari dua bentuk utama penyakit peradangan kronis pada saluran pencernaan, yang disebut penyakit radang usus (IBD). Bentuk lain disebut penyakit crohn. Biasanya, usus besar menyerap air dari feses dan mengubahnya dari cairan menjadi padat. Peradangan menyebabkan hilangnya lapisan usus, menyebabkan perdarahan, produksi nanah, diare, dan perut tidak nyaman.

Penyebab kolitis ulseratif tidak diketahui meskipun ada teori orang dengan kolitis ulseratif memiliki kelainan sistem kekebalan tubuh, tetapi apakah masalah ini adalah penyebab atau akibat dari penyakit ini masih belum jelas. Gejala yang paling umum dari kolitis ulseratif adalah ketidaknyamanan perut dan darah atau nanah dalam diare. Gejala lain termasuk anemia, kelelahan, demam, mual, penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan, perdarahan rectal,hilangnya cairan tubuh dan nutrisi, lesi kulit, dan gagalnya pertumbuhan pada anak.

Diagnosa BandingPenyakit kolitis ulseratif mempunyai kemiripan gejala klinis yang cukup mirip dengan beberapa penyakit berikut:1. Penyakit CrohnPenyakit crohn memiliki persamaan gejala dengan kolitis ulseratif karena keduanya termasuk dalam IBD. Sehingga pada beberapa kasus sukar sekali ditentukan kolitis ulseratif atau penyakit crohn. Keadaan ini disebut dengan intermediet kolitis. Secara umum kolitis ulseratif dapat dibedakan dengan penyakit crohn berdasarkan lokasi terjadinya inflamasi. Pada kolitis ulseratif inflamasi terutama terjadi pada mukosa rektum dan menyebar ke arah proksimal sedangkan pada penyakit crohn mukosa yang terkena bersifat segmental, transmural bisa terjadi pada SCBA, usus halus maupun usus besar serta terdapat manifestasi perianal berupa hemoroid, abses, fisura dan fistula perianal.

2. Kolitis InfeksiInfeksi pada kolon dan usus kecil dapat menyerupai KU ataupun PC. Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, virus, hingga protozoa. Diagnosis untuk kolitis infeksi dapat dilakukan kultur jika dicurigai infeksi bakteri, jamur, protozoa. Biopsi jika dicurigai infeksi virus untuk mencari badan inklusi.

3. DivertikulitisDiverkulitis dalam membedakannya dengan KU cukup sulit, baik secara klinis ataupun radiografi. Keduanya dapat menyebabkan demam, nyeri abdomen, leukositosis, meningkatnya ESR, obstruksi parsial, dan fistula. Satu-satunya cara membedakan adalah dengan dilakukannya endoskopi, karena pada diverkulitis tidak terjadi perubahan mukosa yang drastis seperti pada KU, serta pada diverticulitis dapat terlihat adanya lubang kantong-kantong yang terlihat dari lumen usus. Namun harus tetap diingat bahwa endoskopi dilakukan ketika pasien sedang tidak dalam masa diare, karena ditakutkan jika divertikulitis sedang dalam fase akut, maka ketika dilakukan endoskopi dapat terjadi perforasi.9

Gambar 3. Divertikulitis.9

4. Karsinoma kolon Kanker kolon ialah keganasan tumbuh lambat yang paling sering ditemukan daerah kolon terutama pada sekum, desendens bawah, dan kolon sigmoid. Penyebab jelas kanker usus besar belum diketahui secara pasti, namun makanan merupakan faktor yang penting dalam kejadian kanker tersebut. Yaitu berkorelasi dengan faktor makanan yang mengandung kolesterol dan lemak hewan tinggi, kadar serat yang rendah, serta adanya interaksi antara bakteri di dalam usus besar dengan asam empedu dan makanan, selain itu dapat juga dipengaruhi oleh minuman yang beralkohol, khususnya bir. Munculnya tumor biasanya dimulai sebagai polip jinak, yang kemudian dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal dan meluas ke dalam struktur sekitarnya. Gejala klinis kanker usus besar yang paling sering adalah perubahan pola defekasi adanya perdarahan pada anus, nyeri, anemia, anoreksia dan penurunan berat badan.9

5. Diare kronik Diare kronik adalah suatu keadaan dimana buang air besar bersifat cair dan frekuensinya lebih atau sama dengan 3 kali sehari serta berlangsung selama lebih dari dua minggu. Diare kronik dapat disebabkan oleh infeksi dari pada amoeba, TBC, malaria, manifestasi IBD, gangguan penyerapan makanan, radiasi atau pun karena suatu proses keganasan seperti karsinoma kolon.9

EpidemiologiFakta menunjukkan bahwa rasio terjadinya KU antara pria dan wanita sama. begitu pula dengan kerabatnya, yaitu PC. KU biasanya lebih sering terjadi pada umur remaja/dewasa muda (15-30 tahun), namun juga dapat terjadi pada umur yang cukup tua yaitu sekitar 60-80 tahun. Orang berkulit putih memiliki prevalensi KU lebih tinggi dibandingkan dengan bukan orang berkulit putih. Kelompok bersosioekonomi tinggi lebih banyak terjadi kasus KU dibandingkan dengan kelompok bersisioekonomi rendah. Efek dari merokok rupanya dapat meningkatkan resiko terjadinya KU sebesar 40% dibandingkan mereka yang tidak merokok. Bahkan mantan perokok sekalipun masih memiliki resiko 1.7 kali lebih besar terkena KU dibandingkan dengan mereka yang sama sekali tidak pernah merokok. Bukti lain menunjukkan bahwa appendectomy memberikan proteksi terhadap KU, namun meningkatkan resiko terjadinya PC, yaitu segera setelah appendectomy, namun resiko akan terus menurun. Hal ini dapat menjadi faktor pendukung diagnosis yang penting bagi mereka yang baru saja terkena PC setelah appendectomy. Pada 5-10% pasien yang terkena IBD, merupakan kasus yang bersifat familial. Pasien ini biasanya menunjukkan gejala yang lebih awal, yaitu pada umur yang masih cukup muda. Jika kedua orang tua menderita IBD, maka masing-masing anaknya akan memiliki resiko IBD sebesar 36%. IBD juga dapat terjadi/berhubungan dengan adanya gangguan pada genetik, seperti pada Turners syndrome dan Hermansky-Pudlak syndrome.6

Etiologi Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD yang pasti maupun penjelasannya yang memadai mengenai pola distribusinya. Tidak dapat disangkal bahwa factor genetic memainkan peran penting dengan adanya kekerapan yang tinggi pada anak kembar dan adanya keterlibatan familial. Teori adanya peningkatan permeabilitas epitel usus, terdapatnya anti neutrofil sitoplasmivc autoantibody, peran nitric oksida, dan riwayat infeksi (terutama infeksi mikrobakterium paratuberkulosis) banyak ditemukan. Yang tetap menjadi masalah adalah hal apa yang mencetuskan keadaan tersebut. Secara umum diperkirakan bahwa proses pathogenesis IBD di awali oleh adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumen kolon, yang terjadi pada individu yang rentan dipengaruhi oleh factor genetic, defek imun, lingkungan, sehingga terjadi kaskade proses inflamasi pada dinding usus.

Patogenesis Lesi patologik awal hanya terbatas pada lapisan mukosa, berupa pembentukan abses pada kriptus, yang jelas berbeda dengan lesi pada penyakit crohn yang menyerang seluruh tebal dinding usus. Pada permulaan penyakit, timbul edema dan kongesti mukosa. Edema dapat menyebabkan kerapuhan hebat sehingga terjadi perdarahan pada trauma yang hanya ringan, seperti gesekan ringan pada permukaan.9

Pada stadium penyakit yang lebih lanjut, abses kriptus pecah menembus dinding kriptus dan menyebar dalam lapisan submukosa, menimbulkan terowongan dalam mukosa. Mukosa kemudian terlepas menyisakan daerah yang tidak bermukosa (tukak). Tukak mula- mula tersebar dan dangkal, tetapi pada stadium yang lebih lanjut, permukaan mukosa yang hilang menjadi lebih luas sekali sehingga menyebabkan banyak kehilangan jaringan, protein dan darah.

Manifestasi KlinisGejala utama pada KU adalah diare, pendarahan rectal, tenesmus, adanya lendir, dan nyeri abdomen. Tingkat keparahan gejala menunjukkan tingkat keparahan penyakit. Kadang-kadang diare berdarah terjadi berselang-seling dan ringan, sehingga pasien seringkali tidak mencari bantuan medis. Pasien dengan proktitis biasanya akan mengeluarkan darah segar atau darah dengan lendir, yang dapat bercampur dengan feses maupun hanya pada permukaan feses saja. Jika penyakit mulai menyebar ke arah yang lebih dalam, maka darah akan bercampur dengan feses. Motilitas kolon terganggu karena adanya inflamasi, sehingga waktu transit di usus menjadi lebih cepat. Jika penyakitnya sangat berat, feses yang keluar berupa cair dan mengandung darah, pus, serta lendir. Diare biasanya terjadi pada malam hari ataupun postpradial. Gejala nyeri abdomen menjadi kekhasan pada KU, di mana nyeri terasa pada regio LLQ pada abdomen. Gejala lain yang dapat muncul adalah demam, anoreksia, nausea, vomiting, dan penurunan berat badan.

PenatalaksanaanPengobatan ditujukan untuk mengendalikan peradangan, mengurangi gejala dan mengganti cairan dan zat gizi yang hilang. Penderita sebaiknya menghindari buah dan sayuran mentah untuk mengurangi cedera fisik pada lapisan usus besar yang meradang. Diet bebas susu bisa mengurangi gejala. Penambahan zat besi bisa menyembuhkan anemia yang disebabkan oleh hilangnya darah dalam tinja. Obat-obatan seperti : Dosis kecil loperamide atau difenoksilat, diberikan pada diare yang relatif ringan. Untuk diare yang lebih berat, mungkin dibutuhkan dosis yang lebih besar dari difenoksilat atau opium yang dilarutkan dalam alkohol, loperamide atau codein. Pada kasus-kasus yang berat, pemberian obat-obat anti-diare ini harus diawasi secara ketat, untuk menghindari terjadinya megakolon toksik. Sulfasalazine, olsalazine atau mesalamine sering digunakan untuk mengurangi peradangan pada kolitis ulserativa dan untuk mencegah timbulnya gejala.

Obat-obatan ini biasanya diminum namun bisa juga diberikan sebagai enema (cairan yang disuntikkan ke dalam usus) atau supositoria (obat yang dimasukkan melalui dubur). Penderita dengan kolitis berat menengah yang tidak menjalani perawatan rumah sakit, biasanya mendapatkan kortikosteroid per-oral (melalui mulut), seperti prednisone. Prednisone dosis tinggi sering memicu proses penyembuhan. Setelah prednisone mengendalikan peradangannya, sering diberikan sulfasalazine, olsalazine atau mesalamine. Secara bertahap dosis prednisone diturunkan dan akhirnya dihentikan. Pemberian kortikosteroid jangka panjang menimbulkan efek samping, meskipun kebanyakan akan menghilang jika pengobatan dihentikan.

Bila kolitis ulserativa yang ringan atau sedang terbatas pada sisi kiri usus besar (kolon desendens) dan di rektum, bisa diberikan enema dengan kortikosteroid atau mesalamine.Bila penyakitnya menjadi berat, penderita harus dirawat di rumah sakit dan diberikan kortikosteroid intravena (melalui pembuluh darah). Penderita dengan perdarahan rektum yang berat mungkin memerlukan transfusi darah dan cairan intravena. Untuk mempertahankan fase penyembuhan, diberikan azathioprine dan merkaptopurin. Siklosporin diberikan kepada penderita yang mendapat serangan berat dan tidak memberikan respon terhadap kortikosteroid. Tetapi sekitar 50% dari penderita ini, akhirnya memerlukan terapi pembedahan.

Prognosis Prognosis penyakit kolitis ulseratif bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan respon masing-masing individu terhadap terapi medika mentosa yang diberikan. Penangganan yang dini dan tepat tentu akan memberikan prognosis yang lebih baik.

KesimpulanKolitis ulseratif adalah penyakit inflamasi kronik pada usus besar yang sering kambuh dan sering ditandai dengan diare, demam tinggi dan beberapa gejala yang lainnya. Penyakit ini belum jelas penyebabya, namun ada yang menyebutkan bahwa penyakit ini dapat disebabkan karena faktor imunitas dan faktor genetik. Selain itu faktor karena adanya penyakit lain juga sangat mempengaruhi. Dalam hal ini pengobatan kolitis ulseratif dapat dilaksanakan dengan pembedahan atau terapi obat.

Daftar Pustaka1. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid 1. Edisi 5: Anamnesis, Inflammatory Bowel Disease . Jakarta : Internal Publishing; 2010. Hal.25-7, 591-97.2. Gleadle J. At glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007.h.63.3. Bickley LS. Bates: buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan. Edisi ke-8. Jakarta: EGC; 2009. h. 326-32; 339-44.4. Welsby PD, Pemeriksaan klinis dan anamnesis klinik: Prinsip-prinsip pemeriksaan. Jakarta : EGC; 2010. Hal. 83-5.5. Santoso M. Pemeriksaan fisik diagnosis. Jakarta: Bidang penerbit yayasan diabetes Indonesia ; 2004. Hal. 80.6. Longo, Fauci, Kasper, Hauser, Jameson, Loscalzo. Harrisons principles of internal medicine. Volume 2. 18th ed. USA: The McGrawHill Companies; 2012. p. 2477-87.7. McPhee SJ, Papadakis MA. Current medical diagnosis & treatment. USA: The McGrawHill Companies; 2010. p. 582-3.8. Priyanto A, Lestar S. Endoskopi gastrointestinal. Jakarta: Penerbit Salemba Medika, 2008.h.93.9. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h.591-7.