makalah ktnt redoks

9
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Genangan air tanah telah lama diidentifikasi sebagai stres abiotik utama dan kendala yang diberikannya pada akar memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Bila peristiwa ini terjadi pada musim semi, maka genangan air ini dapat mengurangi perkecambahan benih dan perkembangan bibit. Dengan demikian, genangan air merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan kelangsungan hidup spesies tanaman, tidak hanya pada ekosistem alami, tetapi juga pada sistem pertanian dan hortikultura (Dat et al. 2006). Setelah penggenangan, terjadi perubahan yang cepat pada sifat tanah. Pada saat air memenuhi pori-pori tanah, udara didesak keluar, difusi gas berkurang dan senyawa beracun terakumulasi akibat kondisi anaerobik. Semua perubahan ini sangat mempengaruhi kemampuan tanaman untuk bertahan hidup. Sebagai responsnya, resistensi stomata meningkat, fotosintesis dan konduktivitas hidrolik akar menurun, dan translokasi fotoassimilat berkurang. Namun demikian, salah satu adaptasi terbaik tanaman terhadap hipoksia/anoksia adalah peralihan proses biokimia dan metabolisme yang umum terjadi pada saat ketersediaan O 2 terbatas (Dat et al. 2004).

Transcript of makalah ktnt redoks

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangGenangan air tanah telah lama diidentifikasi sebagai stres abiotik utama dan kendala yang diberikannya pada akar memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Bila peristiwa ini terjadi pada musim semi, maka genangan air ini dapat mengurangi perkecambahan benih dan perkembangan bibit. Dengan demikian, genangan air merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan kelangsungan hidup spesies tanaman, tidak hanya pada ekosistem alami, tetapi juga pada sistem pertanian dan hortikultura (Dat et al. 2006).Setelah penggenangan, terjadi perubahan yang cepat pada sifat tanah. Pada saat air memenuhi pori-pori tanah, udara didesak keluar, difusi gas berkurang dan senyawa beracun terakumulasi akibat kondisi anaerobik. Semua perubahan ini sangat mempengaruhi kemampuan tanaman untuk bertahan hidup. Sebagai responsnya, resistensi stomata meningkat, fotosintesis dan konduktivitas hidrolik akar menurun, dan translokasi fotoassimilat berkurang. Namun demikian, salah satu adaptasi terbaik tanaman terhadap hipoksia/anoksia adalah peralihan proses biokimia dan metabolisme yang umum terjadi pada saat ketersediaan O2 terbatas (Dat et al. 2004). Sintesis yang selektif satu set dari sekitar 20 protein stres anaerobik (ANPS) memungkinkan terjadinya proses metabolisme penghasil energi tanpa oksigen di bawah kondisi yang anaerob (Subbaiah dan Sachs 2003). Adaptasi lain yang diamati adalah perubahan morfologi yang terdiri dari pembentukan lentisel hipertrofi, inisiasi akar adventif dan/atau perkembangan aerenchyma (Vartapetian dan Jackson 1997, Jackson dan Colmer 2005; Folzer et al., 2006). Tinjauan ini merinci respons stres tanaman yang beragam terhadap hipoksia/anoksia, yang disebabkan oleh genangan air tanah/banjir dan mengkaji beberapa fitur kunci dari adaptasi metabolisme, fisiologis dan morfologis.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Perubahan Lingkungan Akar saat PenggenanganPada saat air menggenangi tanah, ruang udara dipenuhi air, mengakibatkan terjadinya perubahan karakteristik beberapa fisiko-kimia tanah (Kirk et al 2003; Dat etal.2004). Hal pertama yang terjadi sebenarnya adalah adanya peningkatan H2O: tanah jenuh air ciri dari banjir. Namun demikian, mekanisme yang memicu respons tanaman adalah produk dari banjir zona akar (perubahan redoks dan pH tanah, dan penurunan kadar O2).Potensial redoks (Eh) tanah sering dianggap sebagai indikator yang paling tepat dari perubahan kimia yang terjadi saat banjir (Pezeshki dan Delaune 1998). Eh umumnya menurun selama tergenang air tanah (Pezeshki dan Delaune 1998; Pezeshki 2001, Boivin et al 2002; Lu et al 2004). Potensial redoks tidak hanya merupakan indikator dari kadar O2 (Eh sekitar +350 mV dalam kondisi anaerob) Pezeshki dan De Laune 1998) karena kondisi reduktif menyebabkan kompetisi tinggi akan O2, tetapi juga mempengaruhi ketersediaan dan konsentrasi pelbagai nutrisi tanaman ( Pezeshki 2001). Akan tetapi, perubahan Eh dipengaruhi oleh bahan organik serta Fe dan Mn (Lu et al 2004.). Reduksi tanah memacu pelepasan kation dan fosfor melalui adsorpsi ion besi dan pelarutan oksida (Boivin et al. 2002). Kondisi tanah yang reduktif juga mendukung produksi etanol, asam laktat, asetaldehida, dan asam asetat dan formiat.Karakteristik kimia tanah lainnya yang sangat dipengaruhi oleh kondisi genangan adalah pH tanah, yang berkorelasi negatif dengan Eh (Singh 2001; Zarate-Valde et al 2006). PH tanah umumnya cenderung meningkat menuju netral pada kondisi tergenang air (Lu et al. 2004). Peningkatan pH dapat dijelaskan oleh pelarutan karbonat dan bikarbonat di awal genangan (Lu et al. 2004). PH tanah juga mempengaruhi perombakan bahan organik tanah dan proses seperti mineralisasi, nitrifikasi, dan hidrolisis urea (Probert dan Keating 2000).Secara keseluruhan, salah satu efek utama genangan air adalah rendahnya keberadaan O2 di bagian tanaman yang terendam, karena gas O2 berdifusi 10.000 lebih cepat di udara dibandingkan di dalam air. Pengaruh terbatasnya O2 pada metabolisme sel tergantung pada konsentrasinya dan penurunan ketersediaan O2 secara gradual pada akar memiliki berbagai pengaruh pada metabolisme tanaman. Dengan demikian, karena kondisi anaerobik berkembang di tanah tergenang air, maka ada peningkatan jumlah produk sampingan dari metabolisme fermentasi yang terakumulasi di lingkungan perakaran dan kadar CO2, metana, dan asam lemak volatile meningkat (Pezeshki 2001). Penurunan energi yang tersedia memiliki konsekuensi yang dramatis pada proses seluler, yang menyebabkan ketidakseimbangan dan/atau kekurangan air dan hara nutrisi (Dat et al. 2006). Selain itu, perubahan lingkungan ini juga dapat membuat tanaman lebih rentan terhadap stres lainnya, khusus terhadap infeksi patogen (Munkvold dan Yang 1995, Yanar et al 1997; Balerdi etal.2003).2.2 Studi Kasus Tanah Areal PersawahanTingkat kesuburan tanah yang rendah pada areal persawahan merupakan akibat dari kondisi kemasaman tanah yang disertai dengan tingginya sifat toksisitas Fe dan Al yang berakibat pada kahatnya Ca, Mg, dan P karena proses fiksasi yang distimulasi aktivitas ion H+. Tanah-tanah pada sistem persawahan, penggenangan akan mendorong perubahan elektrokimia yang mempengaruhi penyediaan dan pengambilan hara (Ponnamperuma, 1985). Perubahan sifat-sifat kimia dimaksud antara lain terjadinya perubahan potensial redoks (Eh) dan keasaman tanah (pH) tanah yang merupakan dua faktor utama yang saling berkaitan dalam mempengaruhi kelarutan dan ketersediaan hara dan transformasinya di dalam tanah serta bepengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman padi.Salah satu dinamika ion yang paling menonjol dalam penggenangan tanah masam adalah kelarutan besi dari ion Fe+3 menjadi Fe+2 yang berpotensi menyebabkan keracunan pada tanaman padi, yang bila tidak terkendalikan dapat menurunkan produksi rata-rata 60%. Perubahan bentuk Fe+3 menjadi Fe+2 terjadi karena adanya perubahan suasana oksidatif menjadi reduktif. Reaksi tersebut melibatkan aktivitas mikroba tanah menstimulasi proses reduksi Fe+3 menjadi Fe+2, meningkatkan pH, menurunkan Eh, dan terjadi peningkatan ketersediaan P. Reaksi reduksi besi dapat digambarkan berikut ini (Yoshida, 1981).Fe(OH)3 + 3H+ aktifitas mikroba Fe+2 + 3 H2OTingginya aktivitas ion Fe2+ sebagai pemicu terjadinya fiksasi hara P sehingga ketersediaannya berbanding terbalik dengan tingkat aktivitas ion Fe2+ tetapi berbanding lurus dengan perubahan nilai Eh. Ponnamperuma, Castro dan Valencia (1969) menyatakan umumnya potensial redoks mengalami penurunan dari 700 mV sampai 300 mV, sedangkan pH tanah berubah dari 4,5 menjadi 6,5 7,0. Patrick dan Redy (1978) menjelaskan adanya perubahan pada tanah tergenang yang disertai dengan perubahan elektrokimia yang dapat merugikan tanaman. Potensial redoks merupakan sifat elektrokimia yang dapat dipakai sebagai indikasi dalam mengukur derajat anaerobiosis tanah dan tingkat transformasi biogeokimia yang terjadi (Patrick dan Mahapatra, 1968; Ponnamperuma, 1972). Kondisi anaerob, mikroorganisme fakultatif dan obligat akan menggunakan oksidan anorganik selain oksigen sebagai akseptor elektron, seperti NO3- Mn4+, Fe3+, CO2, N2 dan H+, yang kemudian akan direduksi berturt-turut menjadi N2, Mn2+, Fe2+, H2S, CH4, NH4+, dan NH2 (Patrick dan Reddy, 1978) yang juga telah diperoleh dari hasil kajian Basir-Cyio (2001) dan Darman (2003).Tanah-tanah sawah yang dikelola secara periodik, selain berpengaruh terhadap sifat fisika, juga terhadap sifat kimia dan biologi tanah, baik terhadap pori makro dan mikro (Darman, 2003) maupun sifat kimia berupa deplesi O2, Eh, pH dan Fe3+ menjadi Fe2+ (Tisdale et al., 1985) dan bahka terjadi tingkat pelepasan CO2, CH4, H2S, dan asam organik (Ponnamperuma, 1976). Perubahan sifat fisik tanah sangat variatif, terutama dalam hal kepadatan yang menstimulasi terjadinya peningkatan berat jenis volum () sehingga difusi mengalami penurunan 104 kali lebih rendah dibandingkan dengan difusi di atmosfer karena adanya perubahan besaran ratio Dw/Da oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2) sekitar 1.13 X 104 (Ponnamperuma, 1984).Tanah sulfat masam dalam kondisi teroksidasi yang diberi bahan organik dan disertai dengan penggenangan mampu menetralkan ion Al3+ dan meningkatkan pH tanah, namun kondisi demikian sifatnya sementara. Bila tanah dalam kondisi teroksidasi kembai, pirit melepaskan proton (H+) dan pH tanah sawah akan turun kembali. Terjadinya deplesi oksigen pada subsoil akibat dominannya pori mikro menyebabkan aktivitas mikroorganisme anarob seperti Bacillus polymixa, Clostridium butyricum dan Clostrydium saccharobutyricum menjadi aktif (Hamman dan Ottow, 1974) dan menurut Benkiser et al. (1982), bakteri anerob tersebut tidak menggunakan O2 sebagai akseptor elektron, melainkan memanfaatkan ion Fe3+.

BAB IIIPENUTUP5.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA Boivin P, Favre F, Hammecker C, Maeght JL, Delarivire J, Poussin JC, Wopereis MCS (2002) Processes driving soil solution chemistry in a flooded rice-cropped vertisol: Analysis of long-time monitoring data. Geoderma 110,87-107. Dat J, Capelli N, Folzer H, Bourgeade P, Badot P-M (2004) Sensing and signaling during plantflooding. Plant Physiology and Biochemistry 42, 273-282. Kirk GJD, Solivas JL, Alberto MC (2003) Effects of flooding and redox conditions on solute diffusion in soil. European Journal of Soil Science 54, 617-624. Lu Y, Watanabe A, Kimura M (2004)Contribution of plant photosynthates to dissolved organic carbon in a flooded rice soil. Biogeochemistry 71, 1-15. Munkvold GP, Yang XB (1995) Crop damage and epidemics associated with 1993 floods in Iowa. PlantDisease 79, 95-101 Pezeshki SR, DeLaune RD (1998) Responses of seedlings of selected woody species to soil oxidation-reduction conditions. Environmental and Experimental Botany 40, 123-133. Pezeshki SR (2001) Wetland plant responses to soil flooding. Environmental and Experimental Botany 46, 299-312. Probert ME, Keating BA (2000) What soil constraints should be included in crop and forest models? Agriculture, Ecosystems and Environment 82, 273-281. Singh SN (2001) Exploring correlation between redox potential and other edaphic factors in field and laboratory conditions in relation to methane efflux. Environment International 27, 265-274. Subbaiah C, Sachs M (2003) Molecular and cellular adaptations of maize to flooding stress. Annals of Botany 91, 119-127. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=10836&val=752. (Online). Diakses tanggal 17 November 2014.