makalah kognitif pembentukan konsep, penalaran dan pengambilan keputusan.docx
-
Upload
muzizati-mentari-qalbu -
Category
Documents
-
view
544 -
download
8
description
Transcript of makalah kognitif pembentukan konsep, penalaran dan pengambilan keputusan.docx
BAB I
PEMBENTUKAN KONSEP
A. Pengertian Konsep
Menurut Hulse, Egeth dan Deese (1981) sebagai sekumpulan atau
seperangkat sifat yang dihubungkan oleh aturan-aturan tertentu. Suatu sifat
merupakan setiap aspek dari sesuatu objek, atau kejadian yang memiliki sifat-
sifat yang sama dengan objek atau kejadian yang lain. Solso (1986)
mendefinisikan bahwa konsep menunjukan pada sifat-sifat umum yang menonjol
dari satu kelas objek atau ide.
Dengan demikian yang dimaksud dengan pembentukan konsep adalah
suatu proses pengelompokan atau mengklasifikasikan sejumlah objek, peristiwa,
atau ide yang serupa menurut sifat-sifat atau atribut-nilai tertentu yang dimilikinya
kedalam satu kategori (Martin dan Caramazza, 1980). Misalnya seseorang
mengelompokan sebuah meja, kursi, dan sofa kedalam kategori perabot rumah
atau furniture.
B. Alasan-alasan Pembentukan Konsep.
Orang-orang sering membentuk kategori-kategori tertentu terhadap objek-
objek yang berada disekelilingnya. Menurut Anderson (1991) setidak-tidaknya
terdapat tiga pandangan mengenai asal mula kategori tersebut dibuat orang yaitu:
1. Segi bahsa atau linguistik
2. Sifat-sifat yang tumpang tindih atau feature overlap
3. Fungsi yang serupa atau similiarfunction.
Pandangan dari segi bahasa beranggapan bahwa pemberian label bahasa
dapat menyediakan isyarat yang menunjukan adanya suatu kategori dan orang-
orang belejar mengidentifikasi isyarat itu. Menurut pandangan feature overlap,
orang-orang menyadari bahwa sejumlah objek memiliki sifat-sifat yang tumpang
tindih antara satu dengan yang lain dan karena itu perlu dibentuk suatu kategori
yang dapat mencakup semuanya. Pandangan ini telah dibuktikan pada penelitian
1
Fred dan Holyoak (1984) yang menemukan bahwa orang-orang dapat
mempelajari kategori-kategori tanpa label bahasa.
Pandangan yang menekankan pada keserupaan fungsi berasumsi bahwa orang-
orang menyadari adanya sejumlah objek disekitarnya yang memang memberikan
fungsi-fungsi serupa dan memungkinkan mereka membentuk suatu kategori untuk
mencakup semuanya. Misalnya tempat duduk dan yang bukan dan yang berkaki
empat dan yang bukan, adalah contoh-contoh suatu kategori.
C. Proses pembentukan konsep
Berkaitan dengan proses pembentukan konsep, ada dua pandangan
pokok yaitu pandangan klasik dan pandangan modern.
1. Pandangan Klasik
Pembentukan konsep merupakan suatu proses penemuan atribbut-atribut
atau sifst-sifat penting dan menonjol pada sejumlah objek dan penyimpulan
seperangkat aturan berdasarkan atribut-atribut itu (Tennyson, Youngers dan
Suebsonthi, 1983; Solso, 1988). Contoh warga Negara Amerika Serikat adalah
seseorang yang dilahirkan di Amerika Serikat, atau dilahirkan diluar negri oleh
orang tua amerika serikat.
2. Pandangan Modern
Pembentukan konsep mencakup dua tahapan proses :
a. Mula-mula seseorang membentuk representasi informasi (di dalam ingatan)
mengenai kelas konsep yang diberikan.
b. Mengembangkan keterampilan kognitif yang dibutuhkan bagi penggunaan
informasiyang telah direpresentasikan untuk mengevaluasi dimensi-dimensi
khusus, baik kesamaan maupun perbedaan diantara contoh-contoh baru
(Tennyson, Youngers dan Suebsonthi, 1983).
Hasil penelitian Tennyson, dkk. (1981, 1983) yang antaralain
menggunakan konsep matematis menujukan bahwa tugas-tugas pembentuka
konsep memang mencakup dua tahapan proses; Pembebntukan prototype dan
pengembnagan keterampilan klasifikasi melalui generalisasi dan diskriminasi.
Demikian juga pendapat Winkel (1991) bahwa belajar pada pembentukan konsep
2
meliputi kemampuan untuk mengadakan generalisasi dengan mengelompokan
objek-objek yang mempunyai satu atau lebih ciri yang sama atau disebut
abstraksi. Tennyson dan kawan-kawan juga menemukan bahwa melalui cara
menghadirkan contoh-contoh yang paling baik dari suatu konsep dan disertai
definisinya, dapat lebih mempermudah seseorang anak membentuk prototype,
daripada dengan cara menunjukan definisi dan disertai dengan pernyataan
penjelasan hubungan diantara atribut-atribut kritis.
D. Aturan Pembentukan Konsep
Belajar kosep dilakukan dengan sejumlah aturan atau cara-cara menurut
logika yang menggabungkan sifat-sifat objek sehingga membentuk konsep-
konsep. Aturan-aturan logika yang digunakan pada umumnya meliputi lima
macam: Afirmatif, konjungtif, disjungtif-inklusif, kondisional dan bikondisional
(Solso, 1988)
Nama Aturan Deskripsi konsep Secara Verbal
1. Afirmatif atau atributif Semua objek yang berwarna merah adalah contoh-
conto konsep.
2. Konjungtif Semua objek yang berwarna merah dan juga
berbentuk segiempat adalah contoh-contoh konsep.
3. Disjungsi-inklusif Semua objek yang berwarna merah atau berbentuk
segiempat adalah contoh-contoh konsep
4. Kondisional Jika suatu objek berwarna merah, maka harus segi
empat. Ini merupakan contoh konsep.
5. Bikondisional Objek-objek yang berwarna mera merupakan
contoh-contoh konsep jika dan hanya jika berbentuk
segiempat; objek-objek berwarna merah yang bukan
segiempat atau segiempat yang bukan berwarna
mera adalah bukan contoh-contoh konsep.
Dikutip dari Ellis dan hunt (1993)
3
Suatu konsep didefinisikan secara afirmatif atau atributif jika konsep itu
memiliki nilai atau sifat khusus pada dimensi tertentu. Hal ini telah banyak
dikenal dalam kehidupan sehari-hari misalnya defenisi tentang ”bilangan genap”,
yaitu suatu bilangan yang dapat dibagi dua sacara tepat.
Suatu konsep didefinisikan secara konjungtif apabila contoh-contoh
konsep memiliki dua kondisi sekaligus. Cpontoh, calon presiden Indonesia
adalah setiap warga Negara Indonesia dan berusia 35tahun. Jika hanya memiliki
salah satu, maka tidak termasuk konsep konjungsi.
Konsep didefinisikan secara Disjungsi-inklusif jika contoh-contoh dari
suatu konsep ditemukan memiliki salah satu dari dua kondisi atau sekaligus
keduanya. Contoh seorang psikolog adalah anggota fakultas Psikologi atau
anggota ikatan sarjana psikologi Indonesia, maka ia termasuk contoh konsep.
Aturan kondisional adalah ketentuan yang menetapkan bahwa sesuatu itu
dianggap sebagai atribut yang benar atau relevan tergantung pada keberadaan
atribut lainya. Contoh jika ada gelas minuman tamu pelanggan yang kosong,
maka pelayan yang penuh perhatian akan segera mengisinya. Jadi apabila ada
gelas minuman yang kosong kemudian diisi, maka pelayanan itu berarti penuh
perhatian. Apabila tidak ada gelas gelas minuman dari tamu pelanggan yang
kosong maka pelayan tersebut tetap dianggap penuh perhatian.
Aturan bikondisional juga dikenal sebagai ekuivalensi atau persamaan
didalam logika. Contoh “Prilaku yang wajar”; adalah wajar untuk tertawa jika dan
hanya jika sesuatu yang diucapkan atau dilakukan memang lucu. Hal ini berarti
bahwa seseorang dianggap wajar untuk tertawa jika sesuatu yang lucu terjadi.
Juga, dianggap wajar orang tidak tertawa jika dan hanya jika sesuatu yang
diucapkan atau dilakukan orang lain tidak lucu. Namun demikian seseorang akan
dianggap tidak wajar untuk tertawa jika sesuatu yang lucu tidak terjadi. Ellis dan
Hunt (1993) memberikan contoh, tindakan menyalakan AC di ruangan dilakukan
jika dan hanya jika udara panas adalah merupakan contoh dari aturan
bikondisional.
4
E. Jenis-Jenis Konsep
1. Konsep logis
Konsep logis atau disebut juga konsep buatan digunakan dalam tugas
belajar konsep dengan menghadirkan kepada subjek berbagai macam pola
stimulus yang tidak biasa dialami didalam lingkungan sehari-hari. Stimulus
dikonstruksi begitu sistematik sehingga memiliki dimensi-dimensi tertentu yang
sangat jelas.
2. Konsep Alami.
Ciri-ciri yang membedakan antara konsep logis dengan konsep alami ialah
bahwa atribut-atribut yang membedakan diantara konsep-konsep alami tidak
dapat dibatasi secara tegas. Juga tidak ada aturan-aturan khusus yang digunakan
untuk mengkategorikan objek-objek alami kedalam konsep-konsep tertentu.
Dengan kata lain konsep alami memiliki definisi yang cacat atau ill-defined
(Martin dan Caramazza, 1980). Berdasarkan hasil penelitian, Reed (dalam martin
dan Caramazza, 1980) menyimpulkan bahwa tidak ada aturan logika sederhana
yang digunakan orang untuk menghubungkan ciri-ciri umumsejumlah objek
alami, sehingga menjadi kategori tertentu. Jadi objek-objek alami diklasifikasikan
menurut prototipenya atau prototypical concept.
Jadi baik baik bosner dan keck, maupun Reed (dalam martin dan
Caramazza, 1980) menemukan bahwa apabila kepada subjek dihadirkan sejumlah
stimulus yang tidak dimungkinkan untuk digunakan beberapa aturan yang jelas,
maka subjek akan cenderung mengabstrasikan satu bentuk prototype bagi suatu
kategori. Pada prinsipnya subjek berusaha mengembangkan pengujian terhadap
seperangkat ciri, sehingga memungkinkan ia mengklasifikasikan contoh-contoh
itu.
Selain konsep logis dan alami seperti dibahas didepan, Winkel (1991) juga
membedakan konsep menjadi dua macam, yaitu konsep konkret dan konsep yang
didefinisikan. Biasanya pembedaan konsep ini dapat dijumpai didalam praktek
pendidikan-pengajaran di sekolah.
5
3. Konsep Konkret
Konsep konkret adalah pengertian yang menunjukan pada objek-objek
didalam lingkungan pisik. Konsep konkret mewakili golongan benda tertentu
seperti meja, kursi dan pohon. Konsep konkret diperoleh melalui pengamatan
terhadap lingkungan pisik, yang berbeda. Biasanya, sampai dengan usia 10 tahun
anak akan banyak belajar konsep konkret ini.
4. Konsep yang Didefinisikan
Konsep yang didefinisikan adalah konsep yang mewakili realitas hidup,
tetapi tidak langsung menunjuk pada realitas seperti objek-objek konkrit, karena
realitas itu tidak berbadan. Misalnya, anak A adalah saudara sepupu dari anak B.
Ini adalah kenyataan, tetapi tidak dapat diketahui dengan mengamati langsung
anak A dan anak B saja. Kenyataan ini diberitahukan melalui penggunaan bahasa
dan sekaligus dijelaskan apa yang dimaksud dengan “saudara sepupu”. Konsep
yang didefinisikan diajarkan tanpa ada kemungkinan untuk menunjukan dua
orang bersaudara sepupu, hanya dengan mengamati pisik edua orang itu. Konsep
yang demikian, biasanya telah dituangkan didalam bentuk definisi, maka
timbullah istilah konsep yang didefinisikan.
F. Jenis-jenis Strategi
1. Strategi Belajar Konsep
Suatu aspek penting mengenai bagaimana orang-orang melakukan
belajar konsep ialah terletak pada cara-cara mereka melakukan tugas sehingga
sehingga menemukan konsep, Bruner, dkk. (dalam Hulse,dkk.,1981). Strategi
yang digunakan dalam belajar konsep meliputi scanning dan focusing yang
masing-masing terdiri dari dua bagian (Solso, 1988).
2. Strategi Scanning
Simultaneous Scanning. Subjek memulai dengan semua kemungkinan
hipotesis, kemudian membuang hipotesis-hipotesis yang tidak dapat
dipertahankan. Successive scanning. Di dalam strategi ini subjek memulai dengan
satu hipotesis, dan mempertahankanya apabila ia berhasil. Jika tidak berhasil
6
maka ia mengybahnya dengan hipotesis yang lain berdasarkan semua pengalaman
terdahulu.
3. Strategi Focusing
Conservatine focusing. Subjek mula-mula merumuskan hipotesis,
dilanjutkan dengan memilih suatu contoh positif yang menjadi titik perhatianya,
kemudian membuat urutan rumusan kembali (masing-masing hanya mengubah
satu ciri). Setelah itu, ia mencatat mana yang dianggap contoh positif dan mana
yang negative. Focus Gambling. Strategi ini dicirikan oleh perubahan lebih dari
satu sifat khusus pada suatu saat.
Semua strategi yang diutarakan di atas, diantaranya yang dianggap paling
efektif adalah strategi conservative focusing; tekhnik scaning hanya memberikan
hasil yang cenderung sedang-sedang saja (Hulse, Egeth dan Deese, 1981; Solso,
1988). Secara umum, strategi focusing lebih berhasil dan efisien daripada
scanning.Salah satu kelemahan dari strategi kerja scanning ialah terlalu banyak
menuntut kerja memori seseorang, sehingga terjadi pemaksaan kognitif yang oleh
Bruner dkk (dalam Eysenck, 1984) disebut dengan cognitive strain.
G. Teori Pembentukan Konsep
Ada beberapa teori mengenai pembentukan konsep, yaitu teori asosiasi,
pengujian hipotesis, model pemrosesan informasi dan pandangan eklektif (Hulse,
dkk; 1981).
1. Teori Asosiasi
Teori yang mula-mula dikembangkan untuk menerangkan prilaku individu
didalam eksperimen belajar konsep ialah didasarkan atas pandangan mengenai
peristiwa belajar melalui asosiasi. Teori asosiasi menerangkan bahwa belajar
konsep sebagai suatu proses asosiasi respons-respons yang muncul selama belajar
dengan contoh-contoh yang mendefinisikan konsep.
Solso (1988) mengakatan bahwa model dasar dari belajar asosiasi adalah
berprinsip pada hubungan stimulus respons (S-R). Jadi prinsip ini memiliki
anggapan dasar bahwa belajar konsep merupakan hasil :
7
a. Penguatan pasangan yang benar mengenai suatu stimulus misalnya kotak
merah, dengan respons yang beridentifiksikan sebagai suatu konsep.
b. Tanpa penguatan (seperti bentuk hukuman) terhadap pasangan yang tidak
benar tentang stimulus, (misalnya lingkaran merah) dengan respons yang
mengidentifikasikanya sebagai suatu konsep.
Pada prinsipnya suatu konsep dilihat sebagai sesuatu yang terdiri dari
sederetan contoh yang masing-masing memiliki baik atribut-atribut yang relevan
maupun tidak relevan. Jadi menurut Ellis dan Hunt (1993) dan Hulse, Egeth dan
Deese (1981) proses pembentukan konsep serupa dengan belajar diskriminasi
antara isyarat yang relevan dengan yang tidak relevan dikembangkan secara
bertahap.
Pada akhirnya teori asosiasi mengalami perubahan dengan diperkenalkan
konsep mediasi atau perntaraan oleh penganut aliran behaviorisme modern
(Hayes, 1978). Teori mediasi beranggapan bahwa konsep-konsep dibentuk karena
respon mediasi terhadap stimulus yang menjadi contoh. Misalnya nasi, keju dan
daging semuanya merupakan anggota dari konsep makanan dan bukan karena
sifat-sifat fisiknya, tetapi karenasemua contoh itu menghasilkan suatu respon
mediasi yang umum. Dengan demikian, yang pentingari teori mediasi ini adalah
bahwa pembentukan konsep sebagailangkah intevening, berada diantara stimulus
dan reespons, dan bukan suatu asosiasi langsung antara atribut yang relevan dari
stimulus dengan respons nyata.
2. Teori Pengujian Hipotesis
Teori pengujian hipotesis dalam belajar konsep menekankan bahwa
manusia cenderung menyusun dan menguji coba berbagai hipotesis. Menurut
Hulse, Egeth dan Deese (1981) diasumsikan bahwa prilaku seseorang senantiasa
di bombing oleh beberapa hipotesis.
Secara umum asumsi-asumsi yang mendasari teori pengujian hipotesis
adalah sebagai berikut :
a. Hipotesis yang dimiliki seseorang dapat mengendalikan prilaku aktualnya.
b. Seseorang mengambil sampel dari serangkaian hipotesis yang tersedia.
8
c. Proses belajar berlangsung secara keseluruhan, atau tidak sama sekali (all-or-
none) (Hayes-Roth, 1977). Menurut pandangan ini, setetelah seseorang
mencoba menguji hipotesis yang ternyata benar pada sampel pertama, maka ia
tidak akan lagi membuat kesalahan.
d. Pengambilan sampel ulang dari tempat yang sama lalu diambil lagi sampel
dari tempat yang sama sebagai penggantinya. Sebab, diasumsikan bahwa tidak
ada memori bagi hipotesis penggantinya, dan pengujian hanya pada satu
hipotesis pada suatu saat sehingga hal ini membuat para ahli masi terus
mengadakan percobaan guna mengembangkan teori pengujian hipotesis (Ellis
dan Hunt, 1993).
3. Teori Pemrosesan Informasi
Pengembangan computer telah menghasilkan suatu tekhnik baru untuk
menganalisis fenomena mental-model pemrosesan-informasi dan telah
menyediakan cara-cara yang sangat objektif bagi pengujian model tersebut,
seperti simulasi computer. Hal ini tidak berarti bahwa computer berpikir seperti
manusia, tetapi melalui suatu program tertentu maka computer bisa melakukan
beberapa keahlian seperti yang dilakukan oleh manusia (Hulse, dkk.,1981)
Usaha pertama kali untuk menghasilkan program computer yang memungkinkan
mesin computer mempelajari konsep-konsep adalah dilakukan oleh Hovland dan
Hunt (Hulse,dkk.,1981). Model program yang mereka buat secara umum disebut
sebagai model pemrosesan-informasi tentang belajar konsep, yaitu persepsi,
definisi tentang contoh-contoh positif dan pengembangan pohon keputusan atau
decision trees.
Titik kritis dari program belajar konsep adalah mengembangkan metode
untukmenemukan konsep-konsep. Hunt mencirikan aktivitas ini sebagai
pemilihan contoh-contoh positif. Ia menggunakan strategi pemilihan contoh-
contoh yang merupakan hal penting dalam strategi pemutusan perhatian atau
focusing. Aturan-aturan logika mendefinisikan konsep-konsep yang dipelajari
melalui pengembangan pohon keputusan. Pohon keputusan dapat dicirikan
sebagai suatu rencana untuk menerangkan keputusan lanjutan.
9
H. Taraf Perkembangan Konsep
Terdapat empat taraf perkembangan konsep-konsep yang dialami individu
(chauna, 1978). Taraf-taraf ini tampak tersusun menurut tingkat perkembangan
kognitif yang dicapai oleh individu, terutama teori perkembangan yang diusulkan
oleh piaget (dalam DeCecco dan Crawford, 1977; Solso, 1988).
1. Taraf Konkret
Individu telah mencapai tingkat konkret apabila ia mengenal atau
mempersepsi suatu objek yang telah ditemukan pada waktu sebelumnya. Langkah
pertama dalam pencapaian taraf ini ialah menghampiri suatu objek
mempresentasikanya secara internal. Woodruf (dalaChauan, 1978) menulis
tentang perkembangan konsep oada taraf ini. Semua belajar dimulai dengan
beberapa bentuk hubungan personal dengan objek, peristiwa, atau situasi yang
nyata. Mula-mula indifidu menaruh perhatian kepada sejumlah objek melalui
gelombang sinar, suara atau kontak langsung dengan sensori organ tubuh,
kemudian suatu kesan dikumpulkan dan disimpandalam pikiranya. Tahap konkrit
ini umumnya dialami oleh bayi-bayi berusia beberapa bulan atau satu tahun,
meskipun mereka belum berkembang pada aspek bahasanya. (Solso, 1988).
2. Taraf Identitas
Pada taraf ini suatu konsep dicapai ketika seseorang mengenal sesuatu
objek yang serupa dengan apa yang pernah ditemukan sebelumnya. Ketika
seseorang anak menggenerealisasikan ciri-ciri khusus objek dalam perspektif yang
berbeda, maka dapat disimpulkan bahwa ia telah mencapai konsep pada taraf
identitas ini. Pembentukan konsep pada tarap konkrit hanya melibatkan
pembedaan suatu objek dari yang lain, tetapi pada taraf identitas melibatkan
berbagai bentuk pembedaan objek yang sama dari objek-objek lain dan juga
menggeneralisasikanya (Chahan, 1978).
3. Taraf Klasifikasi
Taraf kalsifikasi yang paling rendah dicapai ketika individu mulai sanggup
belum mampu menggambarkan alasan dasar bagi responya itu. Pada waktu
melihat seekor anak kuda milik tetangga dan keluarganya lalu anak itu
10
mengatakan bahwa keduanya adalah binatang kuda, maka berarti ia telah
menemukan suatu konsep pada taraf klasifikasi.
4. Taraf Formal
Konsep pada taraf formal telah dicapai apabila indifidu dapat memberi
nama suatu konsep baik nama intriksinya maupun pendefinisian atribut-atribut
yang dapat diterima oleh masyarakat dan secara tepat dapat memberi contoh-
contoh mana objek yang memiliki atribut-atribut tersebut dan mana yang tidak.
Juga ia dapat menyatakan alas an yang menjadi dasar dari pendefinisianya. Jadi
aspek yang menonjol dalam taraf formal adalah kesanggupan indifidu untuk
menyebut satu persatu, memberikan atribut definitifnya dan membedakan diantara
contoh-contoh konsep atas dasar ada atau tidak adanya atribut-atribut definitive
tersebut.
I. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar Konsep
Proses belajar konsep dan kategori dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain adalah faktor tugas, atribut, umpan balik, bahan atau materi dan
perbedaan indifidu.
1. Tugas
Menurut pendapat Ellis dan Hunt (1993) ada tiga faktor dari sesuatu tugas
yang mempengaruhi bagaimana individu membentuk konsep-konsep. Tiga faktor
ini adalah meliputi; contoh-contoh positif sebagai kebalikan dari contoh-contoh
negative, atribut-atribut yang relevan dan tidak relevan dan umpan balik, dan juga
termasuk konteks bahasa.
Pertama, penggunaan contoh-contoh positif dan kebalikanya contoh-
contoh negative dalam belajar konsep, keduanya memiliki konsekuensi yang
berbeda. Secara umum jawaban yang diberikan subjek lebih cepat belajar konsep
melalui contoh-contoh yang negative meskipun ini tidak mutlak. Salah satu alas
an adalah manusia cenderung menyukai contoh-contoh positif yang kebanyakan
dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari
Kedua, jumlah atribut yang relevan dan tidak relevan juga mempengaruhi
tingkat kemudahan belajar konsep. Makin banyak jumlah atribut tambahan yang
11
relevan, maka belajar konsep menjadi lebih cepat. Sebaliknya, makin bertambah
jumlah sifat yang tidak relevan makin sulit belajar konsep dilakukan. Ketiga,
umpan balik adalah salahsatu faktor yang sangat penting didalam proses belajar
konsep, karena dapat menyediakan informasi terhadap kebenaran atau kesalahan
hipotesis yang digunakan individu.
Konteks bahasa juga mempengaruhi penilaian individu terhadap suatu
kategori. Konteks bahasa ini dapat mempengaruhi cara individu
mengklasifikasikan objek-objek demikikan hasil penelitian Labov (dalam Ellis
dan Hunt, 1993; Felder, 1986). Namun demikian, hasil penelitian yang dilakukan
felder (1986) menunjukan bahwa penilaian yang didasrkan atas relasi diantara
objek-objek kategori dilakuklan lebih cepat daripada konteks bahasa.
2. Gambar dan Kata-Kata
Sejumlah penelitian menemukan bahwa gambar-gambar dikategorikan
lebih cepat daripada sebutan nama-namanya. Ternyata hal ini tidak konsisten
dengan hasil beberapa hasil penelitian berikutnya ( Snodgross, 1986), sehingga
tidak dapat dikatakan bahwa mengkategorikan gambar lebih mudah dan
menguntungkan bagi individu daripada kata-kata atau bahasa.
Berdasarkan perbedaan hasil-hasil penelitian tersebut, maka diajukan beberapa
teori yang dikaitkan dengan representasi informasi didalam long-term memory
(LTM). Seperti teori pengkodean ganda berasumsi bahwa terdapat dua system
memori, satu untuk informasi spasial-visual dan dua untuk informasi ferbal (kata-
kata). Dengan demikian, gambar-gambar diproses terutama didalam system
memori visual, sedangkan kata-kata diproses kedalam system memori verb
Menurut teori proposisi konsepsual diasumsikan bahwa informasi fisual dan
verbal disimpan dalam bentuk proposisi abstrak dan saling berhubungan. Dengan
begitu, maka dalam menghadapi rangsangan yang masuk baik gambar maupun
verbal tidak berbeda dalam kecepatan proses kategorisasi.
3. Perbedaan Individu
Menurut pendapat Chauhan (1978), dalam pembentukan konsep-konsep
antara individu satu dengan yang lain dapat berbeda, tergantung pada misalnya
tingkat usia, intelegensi dan pengalaman masing-masing. Demikian juga menurut
12
pendapat Craig (1968) bahwa perbedaan strategi pemprosesan informasi termasuk
belajar konsep sangat erat berhubungan dengan tingkat usia dan jumlah
pengetahuan atau pengalaman yang relevan yang telah dimiliki. Juga hasil
penelitian Phrem (1968) menunjukan bahwa penelitian verbal pendahuluan pada
anak dapat mempengaruhi kemampuanya untuk melakukan transfer latihan dalam
tugas-tugas belajar konsep dikemudin hari.
13
BAB II
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
A. Penilaian dan Pengambilan Keputusan
1. Teori keputusan klasik
Model pertama tentang bagaimana manusia mengambil keputusan disebut
dengan teori keputusan klasik. Adapun beberapa teorinya yaitu :
a. Homo economicus
Model ini mengamsusikan 3 hal yaitu : pertama, pengambilan keputusan
diinformasikan sepenuhnya terkait dengan semua pilihan yang
memungkinkan bagi keputusan mereka. Kedua, mereka sangat sensitif
terhadappemilahan-pemilahan yang halus di antara opsi-opsi keputusan.
Ketiga, mereka sepenuhnya rasional terkait dengan pilihan terhadap opsi-
opsi.
b. Kemanfaatan subjek yang diiginkan
Menurut teori ini dalam pengambilan keputusan manusia berusaha
memaksimalkan rasa senang dan menghindari rasa sakit. Untuk
melakukan dua hal ini setiap dari kita mengkalkulasi dua hal berikut
yaitu : kemanfaatan subjektif, kalkulasi berbasis penitikberatan individu
terhadap kemanfaan (nilai) lebih daripada kriteria objektif. Probabilitas
subjektif, kalkulasi berbasis estimasi individu terhadap kemungkinan, lebih
dari pada pengomputasian statistik yang objektif.
Manusia berusaha mencapai keputusan berdasarkan 5 faktor yaitu :
1) Mempertimbangkan semua alternatif yang diketahui, berdasarkan
alternatif-alternatif tak terprediksi yang tersedia.
2) Penggunaan jumlah maksimum informasi yang tersedia, bedasarkan
informasi relevan yang mungkin belum tersedia.
3) Mengukur bobot potensial biayan (risiko) dan keuntungan setiap
alternatif.
14
4) Kalkulasi yang berhati-hati (meski subjektif) mengenai probabilitas
berbagai keluaran, berdasarkan hasil yang belum bisa dikethui secara
pasti.
5) Derajat maksimum kemasukakalan penalaran, berdasarkan
pertimbangan terhadap keempat faktor sebelumnya.
2. Pemuasan
Menurut Simon (1957) kita biasa menggunakan strategi pengambilan
keputusan yang disebut pemuasan. Dalam pemuasan, kita mempertimbangkan
setiap opsi satu per satu, lalu memilih sebuah opsi sesegera kita menemukan opsi
terebut memuaskan, atau cukup baik untuk memenuhi tingkat akseptabilitas. Kita
akan mempertimbangkanjumlah opsi minimal mungkin sesuai yang dibutuhkan
untuk mencapai sebuah keputusan yang diyakini akan memuaskan persyaratan
minimum.
3. Pengeliminasian melalui berbagai aspek
Kadang kala kita menggunakan strategi yang berbeda ketika dihadapkan
kepada alternatif-alternatif lain ketimbang saat kita merasakan bahwa kita bisa
mempertimbangkan dengan benar berdasarkan waktu yang dimiliki (Tversky,
1972a, 1972b). Didakam pengeliminasian melalui berbagai aspek, kita
menyisihkan alternatif-alternatif dengan memfokuskan perhatian kepada berbagai
aspek setiap alternatif, satu aspek pada satu waktu. Khususnya kita, memfokuskan
diri kepada satu aspek (atribut) dari berbagai opsi.
Kita membentuk sebuah kriteria minimum bagi aspek tersebut. Kita
mengeliminasi semua opsi yang tidak memenuhi kriteria tersebut. Untuk opsi
yang tersisa, kita lalu memilih sebuah aspek kedua yang kerenanya kita
menetapkan sebuah kriteria minimumuntuk menyisihkan opsi-opsi tambahan. Kita
terus menggunakan sebuah proses berurutan penyisihan opsi-opsi dengan
mempertimbangkan serangkaian aspek hingga satiu opsi saja yang tersisa (Dawes,
2000).
Seringkali kita menggunakan jalan pintas-mental (mental shortcut) bahkan
bias-bias yang membatasi dan terkadang mendistorsi kemampuan kita mengambil
keputusan-keputusan rasional. Salah satu cara kunci menggunakan jalan-pintas
15
mental adalah dengan memusatkan estimasi-estimasi kita terhadap probabilitas.
Probabilitas yang lain adalah probabilitas bersyarat, yaitu kemungkinan bagi
munculnya suatu kejadian mensyaratkan kejadian lain muncl terlebih dahulu.
Rumus kalkulasi probabilitas bersyarat berdasarkan bukti dikenal sebagai teorema
Bayes. Teorema ini cukup kompleks, sehingga banyak orang tidak
menggunakannya dalam situasi-situasi penalaran sehari-hari. Meskipun begitu,
kalkulasi-kalkulasi seperti itu sangat esensial untuk mengevaluasi hipotesis-
hipotesis ilmiah, membentuk diagnosis-diagnosis medis yang realistik,
menganalisis data demografis dan menggarap banyak tugas dunia nyata lainnya.
4. Heuristika dan Bias-bias
Manusia membuat banyak keputusan berdasarkan bias-bias dan heuristika
(jalan-pintas mental) di dalam pikiran mereka. Heuristika adalah strategi-strategi
informal, intuitif dan spekulatif yang terkadang mengarah kepada solusi yang
efektif namun terkadang tidak. Jalan-pintas mental ini memang bisa menerangi
muatan kognitif dalam pengambilan keputusan, namun juga membuka
kemungkinan lebih besar bagi terjadinya kesalahan.
Di dalam perwakilan, kita menilai probabilitas suatu kejadian yang tidak
pasti berdasarkan :
a. Betapa jelasnya dia mirip dengan, atau mewakili populasi tempatnya
berasal
b. Derajat yang padanya dia mencerminkan ciri-ciri menyolok proses yang
tempatnya muncul (seperti keacakan)
Contoh, yakni jika urutan kelahiran yang pertama lebih besar, karena dia
lebih mewakili jumlah wanita dan pria di dalam populasi, dan tampaknya lebih
acak ketimbang urutan kelahiran kedua. Namun, faktanya apapun urutannya,
kemungkinan lahirnya jenis kelamin tertentu sama-sama berpotensi muncul secara
kebetulan.
Contoh lain heuristika perwakilan adalah sesat-pikir penjudi (gambler-
fallacy). Sesat-pikir penjudi adalah keyakinan keliru bahwa probabilitas sebuah
kejadian acak tertentu, seperti menang kalahnya sebuah permainan peluang,
dipengaruhi oleh kejadian acak sebelumnya. Contoh, seorang penjudi yang
16
kehilangan lima taruhan berturut-turut mungkin percaya kalau sebuah
kemenangan baru tercapai setelah babak keenam. Namun sebenarnya setiap
taruhan (tepukan koin) adalah kejadian yang independen satu sama lain. Ia
memiliki probabilitas yang sama untuk menang atau kalah.
Sesat-pikir lain yang terkait dengan sesat-pikir penjudi adalah keyakinan
keliru terhadap ‘tangan panas’ (hothand) atau ‘tembakan kemenangan’ (streak
shooter). Dalam permainan basket. Para pemain mengambil keuntungan dari
keyakinan seperti ini dan akan menjaga ketat pemain lawan yang baru saja
memasukan bola. Alasannya, para pemain lawan akan terpacu untuk berusaha
keras dalam memasukan bola lagi.
Alasan kita sering menggunakan heuristika perwakilan adalah keliru
meyakini bahwa sempel kecil (seperti kejadian, orang-orang, ciri-ciri) mewakili
seluruh populasi tempat sempel tersebut ditarik (Tversky & Kahneman, 1971).
Khususnya kita cenderung meremehkan kemungkinan bahwa karekteristik sempel
kecil (seperti orang-orang yang sudah kita kenal akrab) direpresentasikan secara
tidak adekuat mewakili karakteristik seluruh populasi.
Kita cenderung menggunakan heuristika perwakilan saat dihadapkan
dengan bukti anekdot berbasis sempel yang sangat kecil dari seluruh populasi.
Pengandalan dengan menggunakan bukti anekdot ini disebut sebagai argumentasi
‘seseorang yang’. Salah satu alasan manusia menggunakan heuristika perwakilan
secara keliru adalah gagal memahami konsep perkiraan dasar. Perkiraan dasar
(base rate) mengacu kepada kelaziman sebuah kejadian atau karakteristik di
dalam populasi kejadian atau karakteristik.
Saat mengambil keputusan sehari-hari, manusia sering mengabaikan
onformasi dari perkiraan dasar ini padahal sangat penting bagi penilaian dan
pengambilan keputusan yang efektif. Di banyak pekerjaan, penggunaan informasi
perkiraan dasar sangat esensial bagi performa kerja yang adekuat. Mereka bisa
diajari cara menggunakan perkiraan dasar untuk menyempurnakan pengambilan
keputusan mereka (Gigerenzer, 1996; Koehler, 1996).
17
5. Ketersediaan
Sebagian besar dari kita terkadang menggunakan apa yang disebut
heuristika ketersediaan, yàitu membuat penilaian berdasarkan seberapa mudah
kita bisa mengingat apa yang sudah diserap sebagai contoh relevan suatu
fenomena (Tversky & Kahneman, 1973; lihat juga Fischhoff, 1999; Stennberg,
2000).
Namun begitu, sesat-pikir konjungtif bisa juga muncul dan heuristika
perwakilan, khususnya ketika indivldu terlibat di dalam penalaran probabilistic
(Tversky & Kahneman, 1983; lihat juga Dawes, 2000).
Tversky dan Kahneman, contohnya, menanyakan kepada para mahasiswa hal-hal
berikut:
Tolong berikan estimasi Anda tentang nilai-nilai berikut: Berapakah
persentase pria yang disurvei (dalam sebuah survei kesehatan) berpotensi
untuk terkena serangan jantung? Berapakah persentase pria yang disurvei
yang berusia lebih dan 55 tahun berpotensi untuk terkena serangan
jantung? (hlm. 308)
Perkiraan rata-rata partisipan adalah 18% untuk pertanyaan pertama dan
30% untuk pertanyaan kedua, sedangkan 65% partisipan memberikan perkiraan
lebih tinggi bagi pertanyaan kedua. Padahal kita tahu kelompok kedua merupakan
bagian dan keiompok pertarna, karena himpunan {pria 55 tahun} ke atas
merupakan bagian dari himpunan {pria}.
Varian lain dari sesat-pikir konjungtif adalab sesat-pikir inklusi. Di dalam
sesat-pikir inkiusi, individu menilai sebuah kemungkinan iebih besar bahwa setiap
anggota dari sebuah kategori yang inklusif memiliki satu ciri tertentu ketimbang
anggota subset kategori inklusif lainnya (Shafir, Osherson & Smith, 1990).
Heuristika seperti perwakilan dan ketersediaan tidak selalu mengarah
kepada penilaian keliru atau keputusan tidak tepat. Walaupun demikian,
ketersediaan bisa juga dipengaruhi oleh kebaruan presentasi, ketidaklazirnan, atau
perbedaan mencolok kejadian atau kategori kejadian tertentu bagi setiap individu.
Namun, ketika informasi yang tersedia tidak dibiaskan untuk sejumlah alasan,
informasi yang paling tersedia yang biasanya dianggap paling umum. Dalam
18
kasus-kasus in heuristika ketersediaan sering kali menjadi jalan-pintas mental
yang nyaman dengan sedikit biaya. Akan tetapi, ketika cakupan-cakupan tertentu
tidak bisa diingat lebih baik karena bias-bias (seperti pandangan Anda tentang
perilaku Anda sendiri, dibandingkan dengan pandangan orang lain), heuristika
ketersediaan bisa mengarah pada keputusan-keputusan yang kurang begitu
optimal.
B. Fenomena Penilaian yang Lain
Sebuah heuristika yang lain terkait dengan ketersediaan adalah ‘heuristika
penjangkaran-dan-penyesuaian’ (anchoring-and-adjustment heuristic). Disini
manusia menyesuaikan evaluasi mereka terhadap hal-hal melalui titik-titik acuan
tertentu yang disebut ‘jangkar-akhir’ (end-anchors). Sebelum Anda meneruskan
bacaan in dengan cepat (kurang dan 5 detik) hitunglah di luar kepala jawaban
terhadap masalah berikut:
8x7x6x5x4x3x2x1
Sekarang, dengan cepat pula hitung jawahan bagi masalah berikut:
1x2x3x4x5x6x7x8
Dua kelompok partisipan menghitung salah satu dan rangkaian 8 angka ini
(Tversky & Kahneman, 1974). Estimasi median (nilai tengah) bagi partisipan
yang mengerjakan rangkaian pertama adalah 2.250. Sedangkan estimasi median
partisipan yang mengerjakan rangkaian kedua adalah 512. (Hasil aktual bagi
keduanya adalah 40.320). Kedua hasil hitungan ini sebenarnya sama karena setiap
angkanya sama, cuma dibalik susunannya. Walaupun demikian, partisipan di
tugas pertama mencapai hasil lebih tinggi daripada partisipan di tugas kedua.
Alasannya adalah penghitungan mereka terhadap penjangkaran —beberapa angka
pertama yang dikalikan satu sama lain—menunjukkan estimasi lebih tinggi,
sehingga darinya mereka membuat sebuah penyesuaian untuk mencapai hitungan
akhir.
Pertimbangan lain di dalam teori keputusan adalah pengaruh dan ‘efek-
efek penyusunan’ (framing effects), yaitu cara opsi-opsi dipresentasikan
mempengaruhi cara kita menyeleksi sebuah opsi (Tversky & Kahneman, 1981).
19
Contoh, kita cenderung memilih opsi yang justru membuktikan risiko saat
dihadapkan dengan opsi pencapaian potensial. Artinya, kita cenderung memilih
opsi-opsi yang menawarkan pencapaian kecil namun pasti daripada pencapaian
besar, namun tidak pasti, kecuali pencapaian yang tidak pasti ini kelewat besar.
Contoh nya bisa dilihat di dalam kotak ‘Menginvestigasi Psikologi Kognitif’
berikut ini yang digunakan Tversky dan Kahneman (1981).
Fenomen penilaian yang lain adalah korelasi ilusif. Di sini kita cenderung
melihat kejadian kejadian, atribut-atribut dan kategori-kategori tertentu jalan
bersama-sama karena kita terkondisikan untuk melihatnya demikian (Hamilton &
Lickel, 2000). Di dalam kejadian-kejadian, kita mungkin cenderung melihatnya
sebagai hubungan-hubungan sebab-akibat. Di dalam atribut-atribut, kita mungkin
menggunakan prasangka-prasangka pribadi untuk membentuk dan menggunakan
stereotip-stereotip (yang bisa jadi akibat dan penggunaan heuristika perwakilan).
Korelasi ilusif ini bahkan bisa memengaruhi diagnosis-diagnosis psikiatris
berbasis tes-tes proyektif seperti Tes Rorschach dan Tes DAP (Chapman &
Chapman, 1967, 1969, 1975). Para psikolog bisa saja menunjukkan sebuah
korelasi yang keliru bahwa respons-respons tertentu pasien diasosiasikan dengan
diagnosis tertentu. Contoh, mereka yakin kalau pasien yang didiagnosis paranoid
cenderung menggambar manusia dengan mata lebih besar ketimbang individu
yang didiagnosis lain. Faktanya, pasien yang didiagnosis paranoid tidak
menggambar mata manusia lebih besar ketimbang pasien yang didiagnosis
penyakit lain. Yang menarik, kira-kira apa yang akan terjadi jika pasien lalu
diminta untuk mengamati korelasi antara respons-responsnya tersebut dengan
diagnosis yang diasosiasikan psikolognya? Para pasien itu akan cenderung
melihat korelasi ilusif penyakit mereka, meski sebenarnya tidak ada korelasi yang
terjadi.
Kesalahan umum yang lain adalah keyakinan berlebihan —sebuah
penilaian berlebihan individu terhadap kemampuan, pengetahuan atau
penilaiannya sendiri. Contoh, partisipan dimmta menjawab 200 pernyataan
dengan dua alternatif seperti Absinte adalah (a) sebuah cairan alkohol, (b) sebuah
batu berharga.” (Absinte adalah cairan alkohol berbau harum dan berasa manis.)
20
Partisipan dimirita memiih jawaban yang benar dan menuliskan seberapa besar
probabilitas jawaban mereka benar (Fischoff, Slovic & Lichtenstein, 1977). Para
partisipan kebanyakan terlalu percaya diri. Contoh, ketika mereka menulis
probabilitas jawaban mereka benar 100%, ternyata kebenarannya hanya sampai
80% saja. Secara umum, partisipan cenderung mengestimasi secara berlebihan
akurasi penilaian mereka (Kahneman & Tversky, 1996). Kenapa partisipan bisa
menjadi terlalu yakin seperti itu? Salah satu alasannya adalah partisipan mungkin
tidak menyadari seberapa kecil yang mereka ketahui. Alasan kedua adalah mereka
menyadari apa yang mereka asumsikan ketika mengingat pengetahuan yang
tersimpan dalam memorinya. Alasan ketiga adalah mereka mungkin melupakan
fakta kalau informasi mereka berasal dan sumber-sumber yang tidak bisa
dipercaya (Carison, 1995; Griffin & Tversky, 1992).
Karena terlalu percaya diri, manusia sering mengambil keputusan yang
buruk. Keputusan-keputusan ini didasarkan kepada informasi yang tidak adekuat
dan strategi pengambilan keputusan yang tidak efektif. Kenapa kita cenderung
menjadi terlalu percaya diri di dalam penilaian yang masib belum begitu jelas.
Salah satu penjelasannya adalah kita lebih suka untuk tidak berpikir kalau kita
sudah keliru (Fischhoff, 1988).
Sebuah kekeliruan di dalam penilaian yang cukup umum di dalam pikiran
manusia adalah sesat-pikir penyusutan-biaya (sunk-cost fallacy) (Dupuy, 1998,
1999; Nozick, 1990). Sesat-pikir penyusutan biaya adalah keputusan untuk terus
menginvestasikan di dalam sesuatu hanya karena sudah menginvestasikan hal
tersebut sebelumnya sehingga berharap bisa mengembalikan investasinya lagi.
Kebanyakan penelitian tentang penilaian dan pengambilan keputusan telah
difokuskan pada kekeliruan yang kita buat. Rasionalitas manusia terbatas, begitu
pula irasionalitasnya terbatas (Cohen, 1981). Kita memang bertindak secara
rasional dalam hanyak hal, namun kita juga bisa menyempurnakan cara
mengambil keputusan lewat praktik. Lebih jauh lagi, kita bisa berusaha
menghindari keyakinan-berlebihan di dalam tebakan-tebakan intuitif kita terkait
pilihan-pilihan optimal. Cara lain mengoptimalkan pengambilan keputusan adalah
21
menggunakan penalaran dengan hati-hati dalam menarik kesimpulan tentang
berbagai opsi yang tersedia di hadapan kita.
Heuristika tidak selalu membuat kita tersesat, bahkan terkadang menjadi
cara yang menakjubkan untuk menarik kesimpulan yang masuk akal. Contoh
sebuah heuristika sederhana, lakukan yang terbaik, bisa menjadi sangat efektif di
dalam situasi-situasi keputusan tertentu (Gigerenzer & Goldstein, 1996;
Gigerenzer, Todd & ABC Research Group, 1999; Marsh, Todd & Gigerenzer,
2004). Aturannya sederhana. Untuk membuat sebuah keputusan, identifikasikan
kriteria tunggal yang paling penting bagi Anda dalam mengambil keputusan
tersebut. Contoh, ketika memilih sebuah mobil baru, faktor paling penting yang
dikategorikan mungkin adalah efisiensi bahan bakar, keamanan dan performa
mesin. Sekilas, heuristika ‘lakukan yang terbaik’ tampaknya tidak adekuat, namun
faktanya sering mengarah kepada keputusan yang sangat baik, bahkan lebih baik
dalam banyak kasus ketimbang heuristika yang jauh lebih rumit. Walaupun
demikian, heuristika sederhana tetap bisa menghasilkan keputusan yang tidak
tepat juga, meski untuk menilai tujuan-tujuan praktis tindakan seseorang sering
kali terbukti efektif (Evans & Over, 1996).
Jenis berpikir lain yang terkait dengan heuristika adalah penalaran.
Penalaran adalah proses penarikan penyimpulan dan prinsip-prinsip dan dan bukti
(Leighton, 2004a, 2004b; Leighton & Sternberg, 2004; Leighton & Sternberg,
2004; Sternberg, 2004b; Wason & Johnson-Laird, 1972). Di dalam penalaran, kita
bergerak dan apa yang sudah diketahui menuju kesimpulan baru, atau
mengevaluasi kesimpulan yang sudah diusulkan.
Penalaran sering kali dibagi menjadi dua jenis: penalaran deduktif dan
induktif. Penalaran deduktif adalah proses penalaran dan satu atau lebih
pernyataan urnum terkait dengan apa yang diketahui untuk mencapai saW
kesimpulan logis tertentu (Johnson Laird, 2000; Rips, 1999; William, 2000).
Penalaran ini sering melibatkan penalaran dan satu atau lebih pernyataan umum
terkait dengan apa yang diketahui menuju pengaplikasian khususnya. Sebaliknya,
penalaran induktif adalah proses penalaran dan fakta-fakta atau observasi-
observasi spesifik untuk mencapai kesimpulan yang bisa menjelaskan fakta-fakta
22
tersebut secara koheren. Ciri kunci yang membedakan penalaran induktif dan
penalaran deduktif adalah di dalam penalaran induktif, kita tidak pernah bisa
mencapai kesimpulan logis tertentu. Kita hanya bisa mencapai kesimpulan yang
terbentuk baik atau potensial.
23
BAB III
LOGIKA ATAU PENALARAN
A. Penalaran Deduktif
Dasar Penalaran Deduktif adalah Proporsisi-proporsisi logis.
Proporsisi pada dasarnya merupakan sebuah pernyataan yang bisa benar atau
salah.
Premis proposisi-proposisi yang membentuk argumentasi-argumentasi.
Tujuan Penalaran Deduktif membantu manusia menghubungkan berbagai
proposisi dalam upaya menarik kesimpulan
1. Penalaran Bersyarat
Penalaran bersyarat, dimana penalar harus menarik kesimpulan
berdasarkan proposisi jika-maka. Proposisi ini menyatakan jika kondisi anteseden
p dipenuhi, maka peristiwa q mengikutinya. Validitas Deduktif tidak sama
dengan kebenaran. Anda bisa mencarapi kesimpulan deduktif valid namun tidak
benar dgn kondisi nyata. Hal ini tergantung dari premis-premis.
Faktanya, manusia mudah keliru dengan menerima argumen yang tidak
logis sebagai logis jika kesimpulannya secara faktual benar. Secara singkat
Validitas Deduktif adalah ke”masuk akal”an dalam penalaran. Skema
Penalaran Pragmatis adalah pengorganisasian umum prinsip-prinsip atau aturan-
aturan yang berkaitan dengan jenis-jenis khusus tujuan seperti permisivitas,
kewajiban atau kausalitas. Skema ini terkadang disebut skema pragmatis.
Bagaimana cara evolusi memengaruhi kognisi manusia? Menurut
Cosmides, peranti penguasaan- skema memfasilitasi kemampuan kita untuk
mengorganisasikan informasi tersebut menjadi kerangka kerja yang lebih
bermakna. Sifat skema disini sangat fleksibel namun mereka juga menyeleksi dan
mengorganisasi informasi yang diperoleh dengan cara paling efektif dalam situasi
yang kita hadapi di fenomena perubahan sosial.
24
Menurut Cosmides, ada 2 jenis penyimpulan yang khususnya diwakili skema-
skema perubahan sosial:
1) Penyimpulan terkait dengan biaya dan keuntungan
2) Penyimpulan yang membantu manusia dalam memprediksi perilaku
seseorang dalam perubahan sosial tertentu.
2. Penalaran Silogistik
Sebagai tambahan bagi penalaran bersyarat, tipe kunci lain penalaran
deduktif adalah penalaran silogistik, yang didasarkan kepada penggunaan
silogisme-silogisme. Silogisme adalah argument-argumen deduktif yang
melibatkan penarikan kesimpulan dari dua premis (Rips, 1994, 1999). Semua
silogisme mengandung satu premis mayor, satu premis minor dan satu
kesimpulan. Meskipun demikian, tidak ada kesimpulan logis yang bisa ditarik dari
dua premis khusus (partikularis).
3. Silogisme-silogisme Linear
Dalam sebuah silogisme, masing-masing dari dua premis mendeskripsikan
satu hubungan tertentu di antara dua item, dan minimal salah satu item bersifat
umum bagi kedua premis. Item-item bisa saja berupa objek-objek, kategori-
kategori, atribut-atribut atau hampir apa pun yang bisa dikaitkan dengan sesuatu.
Para ahli logika merancang terma pertama premis mayor sebagai subjek. Terma
umum menjadi terma tengah (digunakan sekali di setiap premis). Dan terma kedua
premis minor digunakan menjadi predikat.
Di dalam silogisme linear, hubungan di antara item-item bersifat linier,
bisa berbentuk perbandingan kuantitatif maupun kualitatif. Setiap terma
menunjukkan kurang lebih atribut atau kuantitas tertentu. Contoh, katakanlah
Anda diberikan sebuah persoalan di dalam kotak “Menginvestigasi Psikologi
Kognitif” berikut ini.
Masing-masing dari kedua premis ini menggambarkan sebuah hubungan
linear di antara dua item. Tugas penalaran deduktif bagi silogisme linear adalah
menentukan hubungan antara dua item yang tidak muncul di dalam premis yang
sama. Di dalam silogisme linear sebelumnya, pemecah masalah perlu
25
menyimpulkan kalau Anda lebih cerdas daripada teman sekamar Anda untuk
menyadari kalau Anda yang paling cerdas dari ketiganya.
Ketika silogisme linear secara deduktif valid, kesimpulan akan mengikuti
secara logis dari premis-premisnya. Kita bisa mendeduksi dengan benar kepastian
total bahwa Anda yang paling cerdas dari ketiganya. Namun teman sekamar atau
sahabat Anda mungkin bisa menunjukkan satu titik lemah di dalam kesimpulan
Anda. Bahkan sebuah kesimpulan yang secara deduktif valid bisa saja secara
objektif tidak benar. Namun dalam contoh ini, penyimpulan Anda benar.
Jadi bagaimana cara manusia menyelesaikan masalah silogisme linear ini ?
Beberapa teori yang berbeda sudah diusulkan. Beberapa peneliti menunjukkan
kalau silogisme linear diselesaikan secara spasial lewat perpresentasian mental
yang kontinum dan linier (DeSoto, London & Handel, 1965; Huttenlocher, 1968).
Intinya adalah manusia membayangkan sebuah representasi visual yang
mendasari terma-terma pada sebuah kontinum yang linier.
Peneliti yang lain menemukan bahwa manusia menyelesaikan silogisme
linear dengan menggunakan model semantik yang melibatkan perpresentasian
proposisi (Clark, 1969). Contoh, premis “Anda lebih cerdas daripada teman
sekamar” direpresentasikan sebagai [lebih cerdas (Anda, teman sekamar Anda)].
Menurut pandangan ini, manusia tidak menggunakan imaji-imaji sama sekali
melainkan lebih cenderung mengkombinasikan proposisi-proposisi semantik.
Pandangan ketiga adalah manusia memakai pengombinasian representasi-
representasi spasial dan proposisional untuk menyelesaikan silogisme-silogisme
(Strenberg, 1980). Menurut pandangan ini, manusia menggunakan proposisi-
proposisi yang awalnya merepresentasikan masing-masing premis. Mereka lalu
membentuk imaji-imaji mental berdasarkan isi proposisi-proposisi tersebut.
Pengetesan terhadap model ini mendukung hipotesis pengombinasian (atau
pencampuran) model perpresentasian yang entah ekslusif spasial (Sternberg,
1980).
Walaupun demikian, tak satu pun dari ketiga model ini benar sepenuhnya.
Ketiganya menunjukkan performa rata-rata di banyak individu. Sebaliknya,
muncul terdapat sejumlah perbedaan di dalam strategi-strategi individu, karena
26
sebagian cenderung menggunakan strategi imaji sementara yang lain cenderung
mengandalkan strategi proposisi (Sternberg & Weil, 1980). Hasil ini
menunjukkan sebuah pembatasan penting di banyak temuan psikologis : kecuali
mengamati setiap individu secara terpisah, kita berisiko untuk melompat kepada
kesimpulan berdasarkan sebuah kelompok rata-rata yang tidak bisa diaplikasikan
ke setiap orang per individu. Meskipun banyak orang bisa menggunakan strategi
kombinasi, namun tidak setiap dari mereka melakukannya. Jadi satu-satunya cara
menemukan strategi mereka adalah dengan menguji setiap individu tersebut.
4. Silogisme-silogisme kategoris
Jenis silogisme yang paling terkenal adalah silogisme kategoris. Sama
seperti jenis silogisme yang lain, silogisme kategoris mengandung dua premis dan
dua kesimpulan. Hanya saja di dalam kasus silogisme kategoris, premis-premis
menyatakan sesuatu tentang keanggotaan kategoris term-term –nya. Namun
begitu, faktanya setiap term ini merepresentasikan entah sebuah, tidak satu pun,
atau beberapa anggota kelas atau kategori tertentu. Seperti pada silogisme yang
lain, setiap premis mengandung dua term. Salah satunya haruslah term tengah
yang umum lagi kedua premis. Term pertama dan kedua di setipa premis
dihubungkan lewat keanggotaan kategoris term-term. Artinya, sebuah term adalah
anggota sebuah kelas yang ditunjuk oleh term yang lain. Bagaimanapun premis-
premis ini dibungkus dalam kata-kata, mereka tetap menyatakan bahwa beberapa
(atau semua / tidak satu pun) anggota-anggota kategori dari term pertama adalah
(atau bukan) anggota-anggota kategori term kedua. Jadi untuk menentukan apakah
kesimpulan muncul secara logis dari premis-premis, penalar harus menentukan
kategori keanggotaan term-term tersebut lebih dahulu. Sebuah contoh silogisme
kategoris bisa berbentuk sebagai berikut :
Sebuah psikologi kognitif adalah pianis.
Semua pianis adalah atlet.
Kalau begitu, semua psikologi kognitif adalah atit.
Di semua jenis silogisme, beberapa kombinasi premis mengarah kepada
kesimpulan yang tidak valid secara logis. Di dalam silogisme kategoris
27
khususnya, kita tidak bisa menarik kesimpulan yang valid secara logis dari
silogisme-silogisme kategoris yang mengandung dua premis khusus atau dua
premis negatif. Berbagai teori sudah diusulkan tentang cara seseorang
memecahkan permasalahan di dalam silogisme kategoris. Salah satu teori yang
paling awal adalah bias atmosfer (Begg & Denny, 1696; Wood-worth & Sells,
1935). Ada dua ide dasar di dalam teori bias atmosfer ini. Yang pertama adalah
jika terdapat minimal satu negasi di dalam premis-premis, seseorang akan
cenderung memilih solusi negatif. Yang kedua adalah jika terdapat minimal satu
partikularis di dalam premis-premis, seseorang akan cenderung memilih solusi
partikularis.
Peneliti lain memfokuskan perhatian kepada persoalan konversi premis-
premis (Chapman & Chapman, 1959). Di sini, term-term dari sebuah premis
tertentu dibalik. Seseorang kadang-kadang percaya kalau bentuk terbalik premis
sama validnya dengan bentuk orisinilnya. Gagasan utamanya adalah seseorang
cenderung membalikkan pernyataan seperti “Jika A maka B” menjadi “Jika B
maka A”. mereka tidak menyadari kalau dua pernyataan ini tidak ekuivalen.
Kekeliruan ini dilakukan oleh anak-anak maupun orang dewasa (Markovits,
2004).
Sebuah teori yang lebih diterima luas didasarkan kepada gagasan bahwa
seseorang menyelesaikan silogisme dengan menggunakan proses semantik
(berbasis-maknna) terhadap model-model mental (Johnson-Laird, 1997; Johnson-
Laird & Savary, 1999; Johnson-Laird & Steedman, 1978). Konsep penalaran yang
melibatkan proses-proses semantik berdasarkan model-model mental ini bisa
dilawankan dengan proses-proses berbasis-aturan (‘sintaksis’) seperti yang
umumnya dicirikan logika formal. Sebuah model-model mental adalah sebuah
representasi internal informasi yang mengaitkan analogi dengan apapun yang
direpresentasikan (Johnson-Laird, 1983). Beberapa model mental cenderung
mengarah pada kesimpulan yang secara deduktif valid ketimbang model mental
lainnya. Walaupun demikian, beberapa model mental mungkin tidak efektif untuk
menyanggah kesimpulan yang tidak valid.
28
Dalam dua eksperimen, peran memori-aktif dipelajari dalam kaitannya
dengan penalaran silogistik. Di dalam eksperimen pertama, silogisme disajikan
entah secara oral maupun visual. Presentasi oral meletakkan muatan yang cukup
tinggi pada memori-aktif karena partisipan harus mengingat premis-premis.
Sedangkan di dalam kondisi presentasi visual, partisipan dapat melihat bacaan
premis-premisnya. Dan didapatkan hasil bahwa performa lebih rendah pada
kondisi presentasi oral. Namun, di dalam eksperimen kedua, partisipan diminta
menyelesaikan silogisme-silogisme sekaligus pada waktu yang sama saat
melakukan tugas lain. Kedua tugas tersebut bisa mengandalkan sumber daya
memori-yang-sedang-bekerja, atau tidak sama sekali. Peneliti kemudian
menemukan bahwa tugas yang menggunakan sumber daya memori-aktif
bercampur aduk ini dengan penalaran silogistik partisipan, sedangkan pada tugas
yang tidak menggunakan sumber daya memori-aktif tidak menunjukkan fenomena
tersebut.
Ketika usia anak semakin bertambah, efektivitas penggunaan mereka
terhadap memori-yang-sedang-bekerja meningkat. Begitu pula kemampuan
menggunakan model-model mental yang mengandalkan sumber daya memori-
aktif juga meningkat.
Faktor-faktor yang lain juga bisa memberikan kontribusi bagi kemudahan
membentuk model-model mental. Seseorang tampaknya menyelesaikan masalah-
masalah logis secara lebih akurat dengan lebih mudah ketika term-term
mempunyai nilai pencitraan yang tinggi. Situais ini membantu mereka melakukan
perepresentasian mental. Dengan cara yang sama, ketika proposisi-proposisi
menunjukkan kaitan yang tinggi di dalam imaji-imaji mental, partisipan bisa lebih
mudah dan akurat menyelesaikan masalah dan menilai akurasi kesimpulan.
Contoh, sebuah premis tentang anjing dan sebuah premis tentang kucing lebih
mudah dikaitkan ketimbang sebuah premis tentang anjing dan sebuah premis
tentang meja.
Akhirnya, ada beberapa penalaran deduktif yang mengandung lebih dari
dua premis. Penyimpulan transitif contohnya, dimana pemecah masalah harus
mengatur berbagai term karena memiliki sejumlah premis yang berkaitan dengan
29
sejumlah term yang lebih banyak lagi. Pembuktian matematis dan logis seperti ini
memiliki cirri deduktif yang kompleks dan mensyaratkan lebih banyak tahapan
untuk diselesaikan.
5. Bantuan dan Hambatan Lebih Jauh di Dalam Penalaran Deduktif
Di dalam penalaran deduktif, kita terlibat di banyak jalan-pintas heuristik. Jalan-
pintas ini terkadang mengarah pada kesimpulan yang tidak akurat. Selain jalan-
pintas, kita juga sering dipengaruhi oleh bias-bias yang mendistorsi hasil-hasil
dari penalaran kita.
Heuristika di dalam penalaran silogistik mencakup kesalahan karena
perluasan yang berlebih-lebihan. Di dalam kesalahan karena perluasan yang
berlebih-lebihan (overextension-errors), kita meluaskan secara berlebihan
penggunaan strategi yang bekerja dari silogisme yang satu ke silogisme lain di
mana strategi-strategi menggagalkan kita. Kita juga mengalami efek-efek
penyegelan saat gagal mempertimbangkan semua kemungkinan sebelum
mencapai sebuah solusi. Selain itu, efek-efek pemfrasaan-premis bisa juga
mempengaruhi penalaran deduktif kita, seperti pengurutan term-term, penggunaan
kualifikasi khusus, atau pemfrasaan negasi. Efek-efek pemfrasan-premis (premise-
phrasing effects) bisa membawa kita kepada pelompatan menuju sebuah
kesimpulan tanpa merefleksikan secara adekuat validitas deduktif silogisme.
Bias-bias yang mempengaruhi penalaran deduktif umumnya berkaitan
dengan isi premis dan bias dipercayainya kesimpulan, tetapi juga berkaitan
dengan kecenderungan menuju bias konfirmasi. Di dalam bias konfirmasi, kita
lebih mencari konfirmasi daripada non-konfirmasi terhadap apa yang kita yakini.
Untuk meningkatkan penalaran deduktif, kita harus menghindari heuristika dan
bias-bias yang mendistorsi penalaran kita. Salah satu faktor yang mempengaruhi
penalaran silogistik adalah suasana hati. Ketika seseorang mengalami suasana hati
yang buruk, mereka cenderung memberi perhatian lebih banyak kepada detail-
detail. Sedangkan orang yang netral suasana hatinya cenderung memperlihatkan
performa seimbang di antara kedua hal ini.
30
B. Penalaran Induktif
Melalui penalaran deduktif, kesimpulan logis tertentu yang secara deduktif valid,
bisa dicapai minimal secara teoritis. Namun, di dalam penalaran induktif, yang
didasarkan kepada observasi, pencapaian kesimpulan logis apapun tidak mungkin
terjadi. Paling maksimal kita hanya bisa memperjuangkan kesimpulan kuat yang
sangat tinggi tingkatan probilitasnya (Johnson-Laird, 2000; Thargard, 1999).
Contoh, anggaplah anda memerhatikan kalau semua mahasiswa yang
mengikuti kuliah psikologi kognitif adalah pribadi-pribadi yang berprestasi. Dari
observasi ini anda bisa menalar secara induktif kalau semua mahasiswa yang
mengikuti psikologi kognitif adalah individu-individu yang cerdas (minimal nilai
mereka semua mengesankan). Kecuali sudah mengamati rata-rata nilai semua
orang yang pernah mengambil mata kuliah psikologi kognitif, Anda tidak akan
bisa membuktikan kesimpulan tersebut. Selain itu, mahasiswa yang nilainya
rendah dan telah mengikuti matakuliah psikologi kognitif sebelumnya mungkin
tidak akan setuju dengan kesimpulan anda. Walaupun demikian, setelah
melakukan banyak observasi, anda mungkin masih bersikukuh sudah membuat
cukup observasi untul menalar secara induktif.
Teka-teki fundamental induksi sejak dulu adalah bagaimana cara kita membuat
induksi apapun. Berdasarkan masa depan alternatif yang memungkinkan,
bagaimana kita bisa tahu mana yang harus di prediksi ?
Di dalam situasi ini, dan di banyak situasi lain yang memerlukan penalaran
tentang hubungan di antara elemen-elemen tertentu, anda tidak diberikan premis
yang dinyatakan secara jelas atau gamblang. Di titik inilah, alternatif penalaran
yang lain diperlukan. Penalaran induktif merupakan sebuah penalaran yang tidak
mempunyai kesimpulan logis yang hendak dikejar. Sering kali hal ini melibatkan
penalaran dari fakta-fakta atau observasi-observasi spesifik menuju kesimpulan
umum yang hanya digunakan untuk menjelaskan fakta-fakta yang ada.
Para psikologi kognitif setuju kenapa manusia menggunakan penalaran
induktif minimal karena dua alasan berikut ini. Pertama, penalaran induktif
membantu mereka menjadi semakin mampu memahami besarnya variasi-variasi
di lingkungannya. Kedua, penalaran induktif membantu mereka memprediksi
31
kejadian-kejadian di lingkungan sehingga bisa mereduksi ketidakpastiannya. Oleh
karena itu, para psikolog kognitif berusaha memahami bagaimana-nya dan bukan
kenapa-nya sesuatu di dalam penalaran induktif. Bisa saja kita memiliki sejumlah
peranti akuisisi-skema secara bawaan atau tidak, namun yang jelas akuisisi tidak
muncul dari setiap penyimpulan seolah-olah kita tinggal mengaturnya saja.
Kita penalaran induktif seringkali melibatkan proses-proses pemunculan
alternatif dan pengetesan hipotesis melalui penggeneralisasian. Saat mengamati
kasus-kasus tambahan, kita bisa meluaskan lebih jauh pemahaman awal. Kita
kalau bisa menginduksikan sejumlah prinsip umum bagi kovariasi ini. Tugas
besar penalaran induktif, kalau begitu, adalah bagaimana cara kita menyimpulkan
prinsip-prinsip umum yang berguna berdasarkan sejumlah besar observasi
terhadap kovariasi yang terus-menerus hadir di hadapan kita. Manusia tidak
mendekati induksi dengan kemampuan memilah-milah pikiran layaknya komputer
mengalkulasi setiap kovariasi yang memungkinkan. Tidak juga kita menarik
penyimpulan hanya dari kemunculan kovariasi-kovariasi yang paling sering atau
paling masuk akal.
Kita selalu mencari jalan pintas mental. Para penalar induktif, seperti
penalar probabilistik lainnya, menggunakan heuristika seperti perwakilan,
ketersediaan, kaidah jumlah besar dan ketidaklaziman. Ketika menggunakan
heuristika ketidaklaziman, kita memberikan perhatian khusus pada kejadian-
kejadian yang tidak lazim. Ketika kedua kejadian-kejadian yang tidak lazim
muncul bersamaan atau muncul berdekatan satu sama lain, kita cenderung
mengasumsikan keduanya berkaitan dengan satu cara. Mungkin kita
menyimpulkan kalau kejadian tidak lazim pertama menyebabkan kejadian tidak
lazim kedua (Holyoak, Nisbett, 1988).
1. Mencapai penyimpulan-penyimpulan Kausal
Sebuah pendekatan untuk mempelajari penalaran induktif adalah dengan
menguji penyimpulan-penyimpulan kausal – yaitu cara manusia membuat
penilaian tentang apakah sesuatu menyebabkan sesuatu yang lain (Cheng, 1997,
1999; Cheng & Holyoak, 1995; Koslowski, 1996; Spellman, 1997). Peneliti
pertama teori tentang bagaimana manusia membuat penilaian-penilaian kausal
32
adalah John Stuart Mill (1887). Dia mengajukan seperangkat kanon yang
menerima luas prinsip-prinsip heuristik yang darinya manusia bisa mendasarkan
penilaian mereka.
Metode kemunculan,metode ini dilakukan dengan membuat data-data yang
terpisah tentang penyebab-penyebab paling memungkinkan yang hadir dan tidak
hadir ketika hasil tertentu muncul. Jika, dari semua penyebab yang
memungkinkan tersebut, hanya satu yang hadir di semua contoh bagi keluaran
tertentu, pengamatan dapat menyimpulkan secara induktif bahwa penyebab yang
hadir di semua kasus adalah penyebab yang sebenarnya. Artinya, di luar semua
perbedaan di antara penyebab-penyebab yang memungkinkan, terdapat
kesepakatan berdasarkan satu penyebab dan satu efek.
Kanon mill yang lain adalah metode pembedaan. Di dalam metode ini,
anda mengamati kalau semua kondisi tempat fenomena tertentu muncul sama
seperti kondisi tempat fenomena tersebut tidak muncul, kecuali ada satu hal yang
membuat mereka berbeda. Faktanya, penalaran induktif memang bisa dilihat
sebagai sebuah pengetesan hipotesis (Bruner, Goodnow & Austin, 1956).
Sebuah studi menginvestigasi penyimpulan kausal dengan memberikan kepada
partisipan skenario-skenario (Schustack & Stenberg, 1981). Para patisipan
menggunakan informasi yang mendeskripsikan konsekunsi-konsekuensi bagi
setiap perusahaan. Mereka harus menggambarkan apakah sebuah nilai saham
perusahaan akan turun jika produk utama perusahaan dicurigai mengandung
karsinogen.
Khususnya mereka cenderung mengonfirmasikan bahwa sebuah kejadian
bersifat kausal lewat satu dari dua cara berikut. Pertama, didasarkan pada
kehadiran bersama kejadian penyebab dan hasilnya. Kedua, didasarkan pada
ketidakhadiran bersama kejadian penyebab dan hasilnya. Namun, mereka juga
cenderung tidak mengonfirmasikan kausalitas lewat satu dari dua cara ini.
Pertama, didasarkan pada hadirnya kejadian penyebab, namun tidak hadirnya
hasil. Kedua, didasarkan pada tidak hadirnya kejadian penyebab namun hasilnya
hadir. Lebih jauh lagi, kita sering membuat kekeliruan saat berusaha menentukan
33
kuasalitas berdasarkan bukti korelasi semata. Seperti yang sudah dikatakan
berulang kali, bukti korelasional tidak bisa mengindikasikan arah penyebab.
Sebuah kesalahan yang terkait dengan hal-hal ini muncul saat kita gagal
mengenali kalau banyak fenomena memiliki banyak sebab. Sekali kita sudah
mengidentifikasi salah satu penyebab yang dicurigai bagi sebuah fenomena, kita
bisa menyeleksi apa yang diketahui sebagai sebuah kesalah pengabaian. Kita
berhenti mencari alternatif tambahan atau penyebab utama lainnya.
Bias konfirmasi dapat berpengaruh besar bagi kehidupan sehari-hari kita.
Riset telah menyelidiki hubungan antara kovariasi (korelasi) informasi dan
penyimpulan kausal (Ahn dkk., 1995; Ahn & Bailenson, 1996). Para peneliti
mengusulkan kalau informasi kovariatif juga harus menyediakan informasi
tentang mekanisme kausal yang memungkinkan bagi informasi untuk memberikan
kontribusi bagi penyimpulan-penyimpulan kausal.
Teori-teori yang ada memengaruhi bukan hanya konsep-konsep yang
dimiliki, tetapi juga penyimpulan kausal yang dibuat dari konsep-konsep tersebut.
Model kategorisasi berbasis teori ini menyatakan bahwa konsep-konsep
direpresentasikan sebagai sebuah rangkaian teori, buka daftar ciri-ciri. Namun,
bukti ini juga menunjukkan kalau teori-teori tidak hanya ‘duduk’ di dalam kepala.
Mereka secara aktif digunakan saat melakukan penalaran kausal. Bahkan, para
ahli memilih teori-teori kausal mereka sendiri lebih dari acuan standar bagi kerja
mereka.
Sebuah alternatif pandangan menyatakan kalau manusia bertindak sebagai
ilmuwan naif dalam mengumpulkan entitas-entitas daya kausal teoritis nir-
observasi untuk menjelaskan kovariasi-kovariasi yang diamati (Cheng, 1997).
Oleh karena itulah, manusia bisa bersikap rasional dalam membuat atribusi-
atribusi kausal yang berbasis jenis-jenis kovariasi yang tepat mengenai suatu
informasi.
2. Penyimpulan-penyimpulan Kategoris
Atas landasan apa manusia menarik kesimpulan? Pada umumnya manusia
itu menggunakan strategi bawah-ke-atas dan atas-ke-bawah untuk melakuannya
34
(Holyoak &Nisbett,1988). Artinya, mereka menggunakan baik informasi yang
diperoleh dari pengalaman indrawi maupun infromasi yang berbasis apa yang
sudah mereka ketahui atau sudah disimpulkan sebelumnya.
3. Penalaran Melalui Analogi
Penalaran induktif bisa diaplikasikan di banyak situasi lebih dari
jangkauan situasi yang mensyaratkan penyimpulan-penyimpulan kausal atau
kategoris. Penalaran induktif bisa diterapkan kepada penalaran melalui anologi.
Beberapa peneliti telah menggunakan metodologi waktu-reaksi untuk
menggambarkan bagaimana manusia menyelesaikan masalah-masalah induksi.
Contoh, dengan menggunakan pemodelan matematis saya dapat memilah-
milahkan jumlah waktu yang dialokasikan pertisipan bagi beragam proses
penalaran analogis. Saya menemukan bahwa sebagian waktu yang dipakai untuk
menyelesaikan analogi-analogi verbal sederhana dialokasikan untuk mengodekan
term-term dan dalam merespons (Sternberg,1977). Hanya sejumlah kecil waktu
yang enar-benar dihabiskan untuk mengerjakan operasi-operasi penalaran
terhadap pengkodean-pengkodean ini. Kesulitan pengkodean bisa menjadi lebih
besar di berbagai analogi yang membingungkan.
4. Perkembangan Penalaran Induktif
Anak-anak kecil tidak memiliki kemampuan penalaran induktif yang sama
seperti anak-anak yang lebih tua. Contoh, anak yang berusia 4 tahun tampaknya
tidak menginduksi prinsip-prinsip biologis umum tentang hewan ketika diberikan
informasi yang spesifik tetang hewan-hewan tertentu (Carey,1985). Namun, anak
yang berusia 10 tahun akan jauh lebih bisa melakukan penginduksian tersebut.
Contohnya, jika anak 4 tahun diberitahu bahwa anjing dan lebah memiliki satu
organ tubuh yang sama, mereka masih menganggap hanya hewan yang mirip
anjing atau yang mirip lebah saja yang memiliki organ tersebut, sedangkan hewan
yang berbeda bentuknya tidak. Sebaliknya, anak yang berusia 10 tahun akan
menginduksi jika hewan-hewan yang sangat berbeda seperti anjing dan lebah
memiliki satu organ yang sama, maka banyak hewan lain juga memiliki organ
tersebut. Selain itu, anak 10 tahun jauh lebih sanggup ketimbang anak 4 tahun
35
untuk menginduksi prinsip-prinsip biologis. Yang sama yang menghubungkan
manusia dengan hewan-hewan lainnya.
Dengan alur penalaran yang sama, ketika anak yang berusia 5 tahun
belajar informasi baru tentang jenis hewan tertentu, mereka tampaknya
menambahkan informasi kepada skema-skema yang sudah ada untuk jenis hewan
tertentu, namun tidak untuk memodifikasi keseluruhan skema mereka bagi hewan
atau bagi cirri biologis secara keseluruhan (lihat Keil, 1989,1999). Namun begitu,
anak-anak kelas 1 dan 2 SD sudah menunjukkan kemampuan untuk memilih
bahkan untuk memunculkan secara spontan tes-tes yang tepat bagi pengumpulan
bukti tidak langsung dalam rangka menyetujui hipotesis-hipotesis alternative atau
tidak (Sodian, Zaitchik & Carey, 1991).
Bahkan, anak-anak 3 tahun tampaknya sudah menginduksi beberapa
prinsip umum dari observasi-observasi spesifik, khususnya prinsip-prinsip yang
mempertahankan kategori-kategori taksonomis hewan (Gelman, 1984/1985;
Gelman & Markman, 1987). Contohnya, anak-anak usia pra-sekolah sanggup
menginduksi prinsip-prinsip yang mengatribusikan dengan benar penyebab
fenomena (seperti pertumbuhan) kepada proses-proses alamiah lebih daripada
campur tangan pengembangbiakan oleh manusia (Gelman & Kremer, 1991;
Hickling & Gelman, 1995). Didalam penelitian yang terkait, anak-anak usia pra-
sekolah sanggup menalar dengan benar bahwa burung gagak lebih mirip sikapnya
dengan burung flamingo ketimbang kelelawar karena gagak dan flamingo sama-
sama burung (Gelman & Markman, 1987). Perhatikan bahwa didalam contoh ini,
anak-anak usia pra-sekolah cenderung melawan persepsi mereka bahwa gagak
terlihat mirip kelelawar (sama-sama hitam) ketimbang flamingo, mendasarkan
penilaian mereka kepada fakta bahwa gagak dan flamingo sama-sama burung
(meskipun harus diakui, pengaruh terkuat berasal dari istilah ‘burung’ yang
melekat pada nama gagak dan flamingo).
Meskipun tujuan kata-kata sebagian besar untuk mengekspresikan makna,
contoh untuk menunjukkan kepada seekor anjing, kita menggunakan kata ‘anjing’
sedangkan untuk menunjukkan kata seekor flamingo kita menggunakan kata
‘flamingo’. Terdapat sejumlah bukti bahwa proses ini tidak satu arah sepenuhnya.
36
Terkadang anak-anak menggunakan kata-kata yang maknanya tidak mereka
pahami, yang dapat dikuasai hanya secara bertahap setelah meraka mulai
menggunakan kata-kata tersebut (Kessler & Shaw, 1999). Nelson (1999)
menyebut fenomena ini ‘penggunaan tanpa makna’.
Penelitian lain mendukung pandangan bahwa anak-anak usia pra-sekolah
bisa mengambil keputusan berdasarkan prinsip-prinsip umum yang diinduksi,
lebih daripada penampilan perseptualnya. Contoh, mereka bisa menginduksi
kategori-kategori taksonomis berdasarkan fungsi-fungsi (seperti cara bernapas)
lebih daripada penampilan yang bisa dipersepsi (seperti berat tubuh) (Gelman &
Markman, 1986). Ketika informasi tertentu tentang bagian-bagian internal objek-
objek sebuah kategori. Anak-anak usia pra-sekolah juga menginduksi bahwa
objek-objek lain didalam kategori yang sama juga memiliki bagian-bagian internal
yang sama (Gelman & O’Reilly, 1988; lihat juga Gelman & Wellman, 1991).
Namu begitu, ketika menginduksi prinsip-prinsip dari informasi yang berbeda,
anak-anak usia pra-sekolah lebih menekankan cirri-ciri eksternal dan menyolok
hewan ketimbang anak-anak yang lebih tua yang lebih menekankan cirri-ciri
structural internal atau fungsionalnya. Selain itu, berdasarkan informasi spesifik
yang sama, anak-anak yang lebih tua tampaknya menginduksi penyimpulan secara
lebih kaya dengan ciri-ciri biologis daripada anak-anak yang lebih muda (Gelman,
1989).
Adalah pentingnya mempertahankan kedua bentuk pengetahuan yang
berbasis penampilan dan berprinsip ini untuk digunakan secara fleksibel didalam
situasi dan bidang yang berbeda-beda (Wellman & Gelman, 1998). Pengetahuan
mendalam tentang hubungan-hubungan fungsional internal sangat penting untuk
menginduksi ciri-ciri objek. Namun, kemiripan dalam penampilan juga penting
dibawah kondisi-kondisi yang lain. Pengusaan pengetahuan berkembang lewat
penggunaan teori-teori kerangka kerja, atau model-model untuk menarik
kesimpulan tentang lingkungan di berbagai bidang (seperti fisika, psikologi dan
biologi) (Wellman & Gelman, 1998). Banyak studi menunjukkan penguasaan
lebih awal dan lebih cepat terhadap keahlian dalam memahami objek-objek fisik
dan hubungan-hubungan kausal diantara kejadian-kejadian, entitas-entitas serta
37
daya-daya biologis. Perubahan-perubahan dalam penalaran tentang factor-faktor
di bidang-bidang ini tampaknya menunjukkan pemahaman yang meningkat
tentang hubungan anatara penampilan dan prinsip-prinsip fungsional yang lebih
dalam. Kalau begitu, anak-anak menggunakan pengetahuan fundasional di
bidang-bidang yang berbeda untuk membangun kernagka pemahaman tentang
dunia.
Sekarang anda sudah tahu kalau para psikolog kognitif sering kali tidak
setuju bahkan terkadang berdebat sengat tentang bagaimana dan kenapa manusia
menalar. Sebuah perspektif alternative mengenai penalaran sudah diusulkan. Dua
system penalaran yang saling melengkapi ini bisa dibedakan. Yang pertama
adalah system asosiatif, yang melibatkan operasi-operasi mental berdasarkan
kemiripan yang diamati dan hubungan temporalnya (yaitu kecenderungan bagi
hal-hal untuk muncul bersamaan didalam waktu). Yang kedua adalah system
berbasis aturan, yang melibatkan pemanipulasian berbasis hubungan di antara
simbol-simbol (Sloman, 1996).
System asosiatif dapat mengarah kepada respons-respons cepat yang
sangat sensitive bagi pola-pola dan kecenderungan-kecenderungan umum.
Melalui system ini, kita mendeteksi kemiripan-kemiripan diantara pola-pola yang
diamati dan pola-pola yang tersimpan didalam memori. Kita bisa memberikan
atensi lebih besar kepada ciri-ciri mencolok (seperti ciri-ciri khas dan berubah-
berubah) ketimbang mendefiniskan ciri-ciri suatu pola. System ini
menitikberatkan dan bukannya mengabaikan batasan-batasan yang bisa
menghambat penyeleksian pola-pola yang tidak cocok dengan pola yang diamati.
System ini juga mendukung pola-pola yang diingat yang lebih cocok dengan pola
yang diamati. Salah satu contoh penalaran asosiatif ini adalah penggunaan
heuristika perwakilan. Contoh lain adalah efek bias keyakinan didalam penalaran
silogistik. Efek ini muncul pada saat kita lebih setuju kepada silogisme yang
mendukung keyakinan kita, entah silogisme ini valid secara logis atau tidak.
Contoh penggunaan system asosiatif ini adalah efek consensus yang keliru.
Didalam efek konsensus yang keliru (false-consensus effect) manusia yakin kalau
perilaku dan penilaian mereka lebih umum dan lebih tepat ketimbang perilaku dan
38
penilaian orang lain (Ross, Greene & House, 1977). Anggaplah beberapa orang
memiliki sebuah opini mengenai sebuah masalah. Mereka tampaknya yakin kalau
mereke memiliki opini yang diamini dan dianggap benar oleh orang lain.
Tentunya memang terdapat sejumlah nilai diagnostic disetiap opini seseorang.
Bisa juga orang lain mempercayai apa yang dipercayai seseorang (Dawes &
Mulford, 1996; Krueger, 1998). Namun begitu, secara keseluruhan
mengasosiasikan pandangan orang lain dengan pandangan diri sendiri hanya
karena yakin pandangan mereka sama dengan pandangan kita adalah sebuah
praktik yang patut dipertanyakan.
Sementara itu, system berbasis aturan biasanya memerlukan prosedur-
prosedur yang lebih bebas dan terkadang menyakitkan untuk mencapai sebuah
kesimpulan. Melalui system ini, kita menganalisis dengan hati-hati ciri-ciri yang
relevan (seperti pendefinisian ciri-ciri) tentang data yang tersedia, berdasarkan
aturan-aturan yang tersimpan didalam memori. System ini menekankan batasan-
batasan ketat yang menghilangkan kemungkinan-kemungkinan yang mengganggu
aturan-aturan. Ada sejumlah bukti bagi penalaran berbasis aturan ini. Pertama,
kita bisa mengenali argument-argumen logis ketika dijelaskan pada kita.
Kedua,kita bisa mengenali kebutuhan untuk membuat kategorisasi berdasarkan
pendefinisian ciri-ciri diluar kemiripan-kemiripan ciri yang khas. Contohnya, kita
bisa mengenali bahwa sebuah koin berdiameter 3 inci yang terlihat mirip
segiempat mestinya merupakan sebuah tipuan. Ketiga, kita bisa menghilangkan
kemustahilan-kemustahilan, seperti kucing membaca dan melahirkan anak anjing.
Keempat, kita bisa mengenali banyak keniscayaan. Contoh, tidak mungkin
Kongres AS akan mengesahkan undang-undang yang melindungi gaji tahunan
bagi semua mahasiswa penuh waktu. Menurut Sloman, kita memerlukan dua
system yang saling melengkapi ini. Kita perlu merespons dengan cepat dan mudah
situasi sehari-hari berdasarkan kemiripan yang diamati dan hubungan-hubungan
temporalnya. Namun kita juga memerlukan sebuah cara untuk mengevaluasi
respons-respons secara lebih bebas.
Dua system ini bisa dikonseptualisasikan didalam sebuah kerangka kerja
koneksionistik (Sloman, 1996). System asosiatif direpresentasikan dengan mudah
39
berdasarkan pola aktivasi dan penghambatan, yang jelas cocok dengan model
koneksionis. Sedangkan system yang berbasis aturan bisa direpresentasikan
sebagai system aturan-aturan produksi (Lihat bab 11).
Salah satu pandangan alternative para koneksionis menyatakan bahwa
penalaran deduktif bisa dilakukan ketika sebuah pola aktivasi tertentu
diseperangkat nodi (yang diasosiasikan dengan satu premis tertentu atau
seperangkat premis-premis) mencakup atau memproduksi satu pola tertentu
aktivasi di dalam perangkat nodi kedua (Rips, 1994). Dengan cara yang sama,
sebuah model koneksionistik tentang penalaran induktif bisa melibatkan aktivasi
berulang dari serangkaian pola yang mirip diberbagai kasus. Aktivasi berulang ini
lalu memperkuat kaitan-kaitan diantara nodus-nodus yang diaktifkan. Pada
gilirannya ia lalu mengarah kepada penggeneralisasian atau mengabstraksian pola
bagi beragam kasus.
Model-model penalaran koneksionisme dan berbagai pendekatan lain yang
diuraikan bab ini menawarkan pandangan beragam terhadap data yang tersedia
terkait dengan cara kita menalar dan membuat penilaian. Saat ini, tak satupun
model teoritis bisa menjelaskan semua data dengan baik. Namun, setiap model
menjelaskan minimal beberapa data secara memuaskan. Bersama-sama, semua
teori ini membantu kita memahami kecerdasan manusia dengan lebih baik, sebuah
topic yang akan dibahas di bab berikutnya sekaligus final.
40
BAB IV
KESIMPULAN
1. Teori-teori awal dirancang untuk mencapai model-model matematis praktis
mengenai pengambilan keputusan dan mengasumsikan kalau para pengambil
keputusan memahami sepenuhnya informasi, sangat sensitive terhadap
informasi, dan sepenuhnya rasional. Teori-teori berikutnya mulai mengakui
bahwa manusia sering menggunakan criteria subjektif untuk mengambil
keputusan, bahwa unsur kebetulan sering memengaruhi hasil keputusan,
bahwa manusia sering mengunakan perkiraan-perkiraan subjektif untuk
mempertimbangkan hasil-hasilnya dan bahwa manusia memiliki rasionalitas
terbatas dalam mengambil keputusan.
2. Penalaran deduktif melibatkan pencapaian kesimpulan dari seperangkat
proposisi bersyarat atau dari sebuah pasangan silogisme premis-premis.
Diantara berbagai tipe silogisme, yang paling umum adalah silogisme linier
dan silogisme kategoris. Selain itu, penalaran deduktif bisa melibatkan
masalah-masalah penyimpulan transitif yang kompleks atau bukti-bukti
matematis atau logis yang melibatkan sejumlah besar term. Selain itu,
penalaran deduktif bisa melibatkan penggunaan skema-skema penalaran
pragmatis dalam situasi praktis sehari-hari.
3. Tampaknya manusia terkadang menggunakan penalaran berbasis system-
sistem aturan formal seperti dengan mengaplikasikan aturan-aturan logika
formal, dan terkadang menggunakan penalaran berdasarkan asosiasi, yaitu
memperhatikan kemiripan-kemiripan dan kontak-kontak temporal.
4. Steven Sloman telah menyatakan bahwa manusia memiliki dua system
penalaran yang berbeda, sebuah system asosiatif yang sensitive untuk
mengamati kemiripan-kemiripan dan kontak-kontak temporal dan sebuah
system berbasis aturan yang melibatkan manipulasi-manipulasi berdasarkan
hubungan-hubungan di antara symbol-simbol.
41
DAFTAR PUSTAKA
Tversky, A., & Kahneman, D. (1973). Availability: A Heuristic for Judging
Frequency an Probabiility. Dalam Cognitive Psychology, No. 5, hlm. 207-
232.
Tversky, A., & Kahneman, D. (1974). Judgement Under Uncertainty: Heuristics
and Biases. Dalam science, No. 185, hlm 1124-1131
Tversky, A., & Kahneman, D. (1981). The Farming of Decisions and the
Psychology of Choice. Dalam science. No. 211, hlm 453-458
Robert J. Strenberg. (2008). Psikologi Kognitif. Yogyakarta : Pusaka Belajar
42