Makalah Kognitif Bahasa

49
1 A. SIFAT BAHASA 1 Sejak hari pertama kita memperoleh pendidikan, membaca atau mendengar sebuah kalimat dan memahami maknanya adalah tindakan yang tidak memerlukan usaha dan bersifat spontan. (Memahami konsep yang mendasarinya tentu saja akan memunculkan kesulitan). Produksi dan pemahaman bahasa merupakan aktivitas yang sangat kompleks. Bahasa menurut para psikolog kognitif, adalah suatu sistem komunikasi yang didalamnya pikiran-pikiran dikirimkan (transmitted) dengan perantaraan suara (sebagaimana dalam percakapan) atau simbol (sebagaimana dalam kata-kata tertulis atau isyarat-isyarat fisik). Studi mengenai bahasa adalah studi yang dianggap penting oleh para psikolog kognitif. Perkembangan bahasa mencerminkan sebuah abstraksi yang unik, yang menjadi dasar kognisi manusia. Sekalipun bentuk-bentuk kehidupan yang lain memiliki cara berkomunikasi yang rumit, tingkat abstraksi yang digunakan manusia tetaplah jauh lebih besar. Bahasa adalah sarana utama komunikasi manusia, cara pertukaran informasi yang paling lazim. Pemrosesan bahasa adalah sebuah komponen penting dalam penyimpanan pemrosesan informasi (informasi processing storage), berpikir, dan pemecahan masalah. Sebagaimana yang telah kita pelajari sebelumnya, sebagian besar proses-proses memori manusia melibatkan informasi semantik. Ketika mendengar atau membaca sebuah kalimat, maka akan berfokus pada makna dan mengaitkan kalimat dengan informasi yang tersimpan di memori jangka panjang. Cabang ilmu yang mendalami pemahaman bahasa dan proses mental yang mendasarinya adalah psikolonguistik yaitu pengkajian terhadap pemahaman, produksi, dan pemerolehan bahasa. 1. DASAR NEUROLOGIS BAGI BAHASA Salahsatu analisis ilmiah paling awal terhadap bahasa melibatkan sebuah studi kasus klinis pada tahun 1861. Saat itu, seorang dokter bedah Prancis yang masih berusia muda bernama Paul Broca melakukan observasi terhadap seorang pasien yang mengalami paralisis di sebelah sisi tubuhnya, yang sekaligus mengalami hilangnya kemampuan berbicara sebagai akibat kerusakan neurologis. Tanpa 1 Edward E. Smith, Stephen M. Kosslyn. 2014. PSIKOLOGI KOGNITIF Pikiran dan Otak. YOGYAKARTA : PUSTAKA PELAJAR

description

makalah

Transcript of Makalah Kognitif Bahasa

  • 1

    A. SIFAT BAHASA1

    Sejak hari pertama kita memperoleh pendidikan, membaca atau mendengar

    sebuah kalimat dan memahami maknanya adalah tindakan yang tidak memerlukan

    usaha dan bersifat spontan. (Memahami konsep yang mendasarinya tentu saja akan

    memunculkan kesulitan). Produksi dan pemahaman bahasa merupakan aktivitas

    yang sangat kompleks.

    Bahasa menurut para psikolog kognitif, adalah suatu sistem komunikasi yang

    didalamnya pikiran-pikiran dikirimkan (transmitted) dengan perantaraan suara

    (sebagaimana dalam percakapan) atau simbol (sebagaimana dalam kata-kata

    tertulis atau isyarat-isyarat fisik).

    Studi mengenai bahasa adalah studi yang dianggap penting oleh para

    psikolog kognitif. Perkembangan bahasa mencerminkan sebuah abstraksi yang unik,

    yang menjadi dasar kognisi manusia. Sekalipun bentuk-bentuk kehidupan yang lain

    memiliki cara berkomunikasi yang rumit, tingkat abstraksi yang digunakan manusia

    tetaplah jauh lebih besar. Bahasa adalah sarana utama komunikasi manusia, cara

    pertukaran informasi yang paling lazim. Pemrosesan bahasa adalah sebuah

    komponen penting dalam penyimpanan pemrosesan informasi (informasi processing

    storage), berpikir, dan pemecahan masalah. Sebagaimana yang telah kita pelajari

    sebelumnya, sebagian besar proses-proses memori manusia melibatkan informasi

    semantik.

    Ketika mendengar atau membaca sebuah kalimat, maka akan berfokus pada

    makna dan mengaitkan kalimat dengan informasi yang tersimpan di memori jangka

    panjang. Cabang ilmu yang mendalami pemahaman bahasa dan proses mental yang

    mendasarinya adalah psikolonguistik yaitu pengkajian terhadap pemahaman,

    produksi, dan pemerolehan bahasa.

    1. DASAR NEUROLOGIS BAGI BAHASA

    Salahsatu analisis ilmiah paling awal terhadap bahasa melibatkan sebuah studi

    kasus klinis pada tahun 1861. Saat itu, seorang dokter bedah Prancis yang masih

    berusia muda bernama Paul Broca melakukan observasi terhadap seorang pasien

    yang mengalami paralisis di sebelah sisi tubuhnya, yang sekaligus mengalami

    hilangnya kemampuan berbicara sebagai akibat kerusakan neurologis. Tanpa

    1 Edward E. Smith, Stephen M. Kosslyn. 2014. PSIKOLOGI KOGNITIF Pikiran dan Otak.

    YOGYAKARTA : PUSTAKA PELAJAR

  • 2

    adanya teknologi pencitraan modern, para dokter pada masa itu hanya mampu

    melakukan pembedahan postmortem (pasca kematian). Dalam pembedahan

    tersebut:

    1. Paul Broca (1861) menemukan cedera di bagian lobus frontalis kiri otak

    pasien sebuah area yang selanjutnya dikenal sebagai area Broca. Studi-

    studi selanjutnya mendukung observasi Broca bahwa area frontal kiri

    memang terlibat dalam kemampuan berbicara. Area Broca terlibat dalam

    produksi bahasa.

    Pasien yang menderita Brocas aphasia juga dikenal dengan nonfluent

    aphasia mengalami kesulitan mengaitkan representasi level wacana dan level

    sintaksis, sulit membedakan makna. Kseulitan mereka bukan pada makna

    kata-kata individual tetapi hubungan kata dalam kalimat.

    2. Carl Wernicke (1875) menemukan suatu cedera di lobus temporalis kiri

    yang mempengaruhi pemrosesan bahasa, namun dampak kerusakan

    tersebut berbeda dengan tampak kerusakan yang ditimbulkan akbiat cedera

    di area Broca. Area Wernicke terlibat dalam pemahaman bahasa. Kerusakan

    di area Wernicke mengurangi kemampuan pasien yang bersangkutan untuk

    memahami kata-kata lisan dan tulisan, namun pasien tersebut masih mampu

    berbicara secara normal. Dengan kata lain, orang-orang yang mengalami

    kerusakan di area Wernicke masih mampu berbicara dengan lancar, namun

    tidak mampu memahami ucapan orang lain.

    Pasien yang mengidap Wernickes aphasia juga dikenal dengan fluent

    aphasia memiliki masalah yang sangat berbeda yang berada pada level kata

    dan morfem. Memiliki fungsi morfem yang baik dan tuturan mereka biasanya

    cukup sesuai kaidah tata bahasa dengan kata benda, kata kerja, dan bagian

    lain dalam kalimat yangdigunakan dengan tepat. Mengalami kesulitan

    memahami morfem konten yang menyebabkan mereka sangat sedikit

    memahami apa yangdikatakan kepada mereka.

    Perbedaan antara Brocas aphasia dan Wernickes aphasia yaitu:

    1. Perbedaan antara gangguan yang dialami dua jenis pasien menekankan

    mengenai perbedaan level terkait bagaimana bahasa dipresentasikan

    secara mental dan dalam otak dan menunjukkan bagiamna level berbeda

    tersebut dapat dipengaruhi melalui tingkatan tertentu.

  • 3

    2. Sifat gangguan yang dialami pasien menunjukkan tingkatan dimana level

    ini berhubungan

    2. TINGKATAN-TINGKATAN REPRESENTASI BAHASA ATAU STRUKTUR

    TATA BAHASA

    Setiap kalimat yang didengar atau baca tersusun atas berbagai jenis

    informasi yang berbeda diantaranya suara huruf, silabel, kata dan frase. Potongan-

    potongan bahasa ini bersatu menyerupai puzzle yang tersusun sehingga berbagai

    komponen tersebut memunculkan makna keseluruhan dari sebuah kalimat. Peneliti

    bahasa memandang berbagai potongan tersebut sebagai level representasi bahasa

    yang berbeda dan ketika digabungkan level-level tersebut akan menghasilkan tata

    bahasa (grammar). Istilah grammar menunjukkan aturan Pengunaan yang

    didasarkan pada ise seperti bagian tuturan. Ahli lingustik dan psikolinguistik

    menggunakan istilah ini secara berbeda. Mereka menggunakan istilah grammar

    untuk mengacu pada kumpulan pengetahuan yang dimiliki seseorang mengenai

    struktur bahasanya.

    Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa, dengan topic pembelajaran

    meliputi struktur bahasa dan berfokus pada pendeskripsian suara-suara, makna-

    makna, dan tata bahasa dalam percakapan.

  • 4

    Para ahli linguistic telah mengembangkan sebuah kerangka kerja bahasa

    yang bersifat hierarkis (berjenjang). Para ahli tersebut memiliki minat dalam

    pengembangan sebuah model bahasa mencakup isi, struktur, dan proses bahasa.

    Hierarki linguistic dari komponen-komponen yang fundamental ke komponen-

    komponen gabungan hingga ke komponen-komponen yang sangat rumit. Dengan

    kata lain, unit-unit suara dan unit-unit makna memiliki jenjang kerumitan yang

    semakin meningkat.

    Sebuah area yang tak kalah pentingnya berkaitan dengan cara kata-kata

    disusun menjadi frase dan kalimat. Kata-kata dapat digabungkan menjadi kombinasi,

    sekalipun untuk menyampaikan ide yang sama.

    Level-level dalam representasi bahasa yang mendasari kemampuan

    untuk memahami kalimat yaitu:

    1. Level discourse : yang mengacu pada kelompok koheren kalimat yang

    tertulis dan yang diucapkan. Level ini secara mental merepresentasikan

    makna keseluruhan kalimat, diluar makna kata-kata individual.

    Contoh kalimat Koki membakar mie bagian penting dalam representasi

    wacana ialah koki adalah agen yang melakukan tindakan dan mie adalah

    benda yang dikenal tindakan.

    Proposisi : yaitu pelekatan yang dibuat dalam klausa dalam kalimat (kintsch,

    1998). Sebuah representasi proposisi menghubungkan tindakan, hal yang

    melakukan tindakan, dan benda yang dikenal tindakan.

    Contoh kalimat membakar (koki, mie).

    Inferences: bagian utama dalam pemahaman bahasa adalah memperoleh

    pemahaman dasar mengenai siapa melakukan apa kepada apa. Mengaitkan

    makna kalimat dengan konteks dimana makna muncul dan mengaitkan

    kalimat dengan informasi di memori jangka panjang. Menghubungkan

    informasi pada kalimat dengan pengetahuan terdahulu.

    Contoh kalimat mie juga dibakar ketika terakhir kali kita makan disini dan

    menghasilkan kesimpulan hmm, mungkin kita harus mencoba restoran lain.

    2. Level sintaksis: yakni peraturan-peraturan yang mengendalikan kombinasi

    kata-kata dalam frase dan kalimat atau yakni ilmu yang mempelajari

    kombinasi kata-kata sehingga menjadi frase dan kalimat. Menjelaskan

  • 5

    hubungan antara jenis kata dalam kalimat (misalnya antara kata benda dan

    kata kerja). Sintaksis merupakan cara merepresentasikan struktur kalimat

    dan banyak psikolog dan ahli linguistic menyakini bahwa sintaksis merupakan

    bagian dari representasi mental kita terhadap kalimat.

    Pemerolehan sintaksis pada anak-anak dimulai pada usia kurang dari 2:0

    tahun. Pada usia tersebut anak sudah bisa menyusun kalimat dua kata atau lebih

    two word utterance Ujaran Dua Kata (UDK). Anak mulai dengan dua kata yang

    diselingi jeda sehingga seolah-olah dua kata itu terpisah. Dengan adanya dua kata

    dalam UDK maka orang dewasa dapat lebih bisa menerka apa yang dimaksud oleh

    anak karena cakupan makna menjadi lebih terbatas. UDK sintaksisnya lebih

    kompleks dan semantiknya juga semakin jelas (Dardjowidjojo, 2010:248). Ciri lain

    dari UDK adalah kedua kata tersebut adalah kata-kata dari kategori utama, yaitu

    nomina, verba, adjektiva, dan adverbia.

    Kalimat disusun oleh subjek kata benda frase (koki) yang di level wacana

    dipetakan berperan sebagai pelaku tindakan. Frase kata kerja (membakar) yang

    menjelaskan tindakan dan frase kata benda lain (mie) yang berfungsi sebagai objek

    langsung dan dipetakan sebagai benda yang dikenai tindakan.

    Pada level sintaksis inilah kita memahami bagaimana urutan kata akan

    mengaitkan informasi seperti pelaku tindakan. Misalnya koki membakar mie dan

    mie dibakar oleh koki keduanya menempatkan koki sebagai pelaku tindakan.

    Para ahli linguistic telah memusatkan upaya mereka dalam dua aspek yaitu:

    Produktivitas mengacu pada ketidakterbatasan jumlah kalimat, frase, atau

    ucapan yang memungkinkan muncul dalam suatu bahasa, dan sifat

    keteraturan.

    Regularitas mengacu pada pola-pola sistematik dalam kalimat, frase, atau

    ucapan.

    3. Level kata: level ini mengkodekan makna kata.

    Contoh koki mengacu pada seseorang yang ahli memasak.

    4. Level Morfem: Dalam bahasa, morfem adalah unit-unit terkecil yang memiliki

    makna. Morfem dapat berupa kata-kata atau bagian-bagian kata seperti

    prefiks (awalan), sufiks (akhiran), atau kombinasi prefiks-sufiks. Dengan

  • 6

    menggabungkan morfem-morfem dapat membentuk kata hampir tidak

    terbatas.

    Morfologi (morphology), yakni ilmu yang mempelajari kombinasi potongan-

    potongan kata dan kata-kata itu sendiri sehingga menjadi unit-unit yang lebih

    besar.

    Morfem dapat berbentuk:

    Morfem bebas adalah unit-unit bermakna yang berdiri secara mandiri

    seperti color, orange, dog, drive dan lain-lain.

    Morfem terikat adalah bagian-bagian kata seperti colorless, oranges,

    driving. Morfem terikat mengubah jalur gesture yang digunakan dalam

    menandai kata kerja, beberapa morfem terikat dapat dipadukan selama

    memproduksi kata kerja.

    Morfem fungsi beberapa bersifat terikat dan beberapa bersifat bebas

    menghubungkan level kata dan sintaksis.

    5. Fonem: adalah unit dasar bahasa lisan yang saat digunakan sebagai sebuah

    unit tunggal, tidak memiliki makna sama sekali. Fonem adalah suara-suara

    tunggal dalam percakapan yang direpresentasikan oleh sebuah simbol

    tunggal. Fonem dihasilkan oleh koordinasi yang rumit dari paru-paru,pita

    suara, larynx, bibir, lidah, dan gigi.

    Ketika seluruh organ tersebut bekerja dengan baik, suara yang dihasilkan

    akan dipersepsi dan dipahami dengan cepat oleh pendengar yang menguasai

    bahasa yang diucapkan si pembicara. Fonem dapat berupa huruf hidup atau

    konsonan (Denes & Pinson, 1963).

    Fonem unit terkecil dalam tuturan yang menghasilkan morfem dalam bahasa.

    Ejaan bukanlah system yang cukup tepat untuk merepresentasikan suara

    tuturan dikarenakan sejumlah alasan:

    Pertama: sistem tuliasan bervariasi dalam berbagai bahasa.

    Kedua: aturan ejaan dalam berbagai bahasa memiliki sejumlah

    pengecualian yang tidak mempengaruhi pengucapan.

    Fonem memberikan notasi yang berguna, memunculkan pemahaman lain

    mengenai bagaimana bahasa direpresentasikan secara mental.

  • 7

    Fonologi (phonology), yakni ilmu yang mempelajari kombinasi suara-suara

    dalam suatu bahasa;.

    3. BAHASA VERSUS KOMUNIKASI HEWAN

    Ada lebih dari 5000 bahasa manusia didunia yang mempresentasikan

    kumpulan fonem, morfem, kata, dan sintaksis yang sangat besar. Banyak hewan

    yang hidup berkelompok, termasuk burung, berbagai spesies kera, dan lebah,

    memiliki sistem komunikasi yang kompleks.

    Beberapa peneliti bahasa menyatakan bahwa recursion sintaksis adalah

    property paling penting yang memisahkan kapasitas bahasa manusia dengan sitem

    komunikasi lain. Pendekatan ini menempatkan perbedaan yang krusial antara

    manusa dan kera pada representasi level sintaksis tetapi ada pernyataan lain yang

    ditawarkan. Seidenberg dan Petitto menyatakan bahwa simpanse jelas dapat

    mengaitkan simbol dan memperoleh hadiah tetapi mereka sepertinya tidak mengerti

    simbol seperti nama benda.

    Ahli linguistic Amerika Charles Hockett (1916-2000) membandingkan system

    komunikasi hewan dan bahasa manusia dan mengidentifikasi sejumlah karakteristik

    utama dan yang khas dari bahasa manusia. Hal ini mencakup:

    1. Dualitas pemolaan yaitu sifat yang menunjukkan unit yang bermakna seperti

    morfem dibuat dari unit-unit yang tidak bermakna seperti fonem yang dapat

    dipadukan kembali untuk membuat kata-kata yang berbeda.

    2. Arbitrariness yaitu hubungan antara suara atau ejaan kata dan maknanya

    bisa terprediksi.

    3. Kapasitas generative yaitu memadukan kembali morfem, kata dan kalimat

    untuk menyampaikan sejumlah pikiran yang jumlahnya tidak terbatas.

    Sebuah komponen penting dari kapasitas generative dalam sintaks adalah

    recursion yaitu bagian-bagian yang melekat dari sebuah kalimat atau

    keseluruhan kalimat didalam bagian atau kalimat lain.

    Property dari recursion memainkan peran penting tidak hanya dibidang

    psikolinguistik tetapi umumnya dalam perkembangan psikologi kognitif. Tokoh-

    tokohnya yaitu :

  • 8

    Behavioris, yang paling terkenal B.F Skinner : menyatakan bahwa sintaks

    kalimat dapat dijelaskan sebagai sebuah rantai hubungan dari satu kata ke

    kata lain. Skinner menyatakan bahwa prinsip behavior seperti pengkondisian

    dan pengoperasiaan dapat menjelaskan bagaimana anak-anak mempelajari

    bahasa dengan melihat tuturan orang dewasa.

    Ahli linguistic, Noam Chomsky (1959) tokoh yang mengubah sudut pandang

    terhadap bahasa melalui teorinya yang membahas tata bahasa

    transformasional (transformational grammar) yaitu kumpulan peraturan yang

    mengendalikan keteraturan bahasa yang berkaitan dengan perubahan-

    perubahan dalam bentuk-bentuk linguistic yang mungkin mempertahankan

    makna yang sama. Contoh Kucing itu dijkejar anjing -> Anjing itu mengejar

    kucing.

    Ide-ide berikut seringkali dianggap mewakili aspek-aspek yang paling penting

    dari teori Chomsky:

    Bahasa memiliki banyak keseragaman yang mendasar dan struktur dasar

    bahasa seringkali sering berkaitan dengan makna sebuah kalimat

    dibandingkan karakteristik permukaan bahasa tersebut.

    Bahasa bukanlah sebuah system tertutup melainkan sebuah system yang

    mampu menghasilkan unit-unit baru

    Didalam struktur-struktur dasar tersebut terdapat elemen-elemen yang umum

    dijumpai di segala bahasa.

    Tiga aspek teori Chomsky terhadap linguistic yaitu struktur permukaan

    adalah bagian dari suatu kalimat yang dapat dipecah-pecah dan diberi label dengan

    menggunakan teknik penguraian umum, struktur dalam adalah makna dasar

    sebuah struktur, dan peraturan-peraturan transformasional.

    Mengkritik kerasa pendekatan behaviorist terhadap bahasa dengan

    menyatakan bahwa property recursion tidak bisa dipahami sebagai rantai hubungan.

    Rantai sederhana mengenai hubungan antara kata atau frase yang berdekatan

    secara salah mengaitkan kata benda dengan subjek sebenranrnya.

    Pandangan Chomsky, yang meyatakan bahwa pemahaman behavioris tidak

    bisa digunakan untuk memahami kemampuan linguistik manusia, merupakan

  • 9

    langkah krusial yang menolak pemahaman behaviorist terhadap semua aspek

    kemampuan manusia.

    REVIEW JURNAL1

    JUDUL JURNAL : PEMEROLEHAN BAHASA KANAK-KANAK : SATU

    ANALISIS SINTAKSIS

    PENGARANG : Tay Meng Guat (Jabatan Pengajian Melayu) Di reveiw : Leni Marlina

    Matakuliah : Psikologi Kognitif

    Fakultas : Psikologi Universitas Mercu Buana Bekasi

    Pemerolehan bahasa kanak-kanak: satuan analisis sintaksis yang disusun

    oleh Tay Meng Guat mempunyai jabatan pengajian melayu. Didalam jurnal ini

    menjelaskan tentang kajian awal untuk melihat pemerolehan bahasan kanak-kanak

    penutur natif bahasa Iban dari kawasan Bahagian Dua-Betong (Malaysia).

    Pemerolehan bahasa atau akuisisi adalah proses yang berlangsung di dalam

    otak seorang anak ketika dia memeroleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya.

    Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language

    learning). Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada

    waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia mempelajari

    bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama,

    sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua.

    Bahwa bahasa terdapat dua teori utama yaitu bahasa mempertahankan

    bahwa bahasa diperoleh manusia secara alamiah dan mempertahankan bahwa

    bahasa diperoleh manusia secara dipelajari.

    Dua faktor utama yang sering dikaitkan dengan pemerolehan bahasa ialah

    faktor nurture dan faktor nature. Seorang kanak-kanak akan melalui tiga proses

    pemerolehan bahasa yaitu proses pemerolehan komponen fonolgi, sintaksis dan

    semantic.

  • 10

    Dari segi pemerolehan komponen semantik, prosesnya dibagi menjadi empat

    peringkat yaitu penyempitan arti kata, generalisasi berlebihan, medan semantic dan

    generalisasi. Pemerolehan sintaksis hanya bermula apabila kanak-kanak dapat

    mengembangkan dua atau lebih kata. Pada tahapan morfem, kanak-kanak mula

    menggunakan kata-kata dengan lebih daripada tahap telegraf.

    Subjek kajiannya yaitu :

    Sampel dari seorang kanak-kanak perempuan Iban yang bertutur dalam

    bahasa Iban Kawasan Bahagian Dua-Betong. Bahasa tersebut merupakan bahasa

    ibu. Anak tersebut tinggal bersama-sama dengan keluarga ibu bapanya sendiri serta

    adik perempuannya yang berumur setahun. Subjeknya bernama Joyceline Ritha

    Mastralia lahir pada tanggal 24 Desember 2002 anak tersebut saat diteliti berusia 3

    tahun 5 bulan.

    Hasil dari penelitian yaitu:

    Aspek linguistik yang dianalisis dalam kajian ini ialah sintaksis. Analisis akan

    dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Kaedah kuantitatif melibatkan analisis

    distribusi dan perkiraan MLU sebagai satu kaedah menentukan perkembangan

    bahasa anak tersebut.

    Menggunakan pendekatan interaksi dengan kedua orangtua yaitu ibu, bapa

    dan adiknya. Dengan menggunakan alat rekam. Hasilnya mendapatkan data tentang

    pengalaman subjek dalam berbahasa sehari-hari. Data dikumpulkan dengan transkip

    rekaman wawancara terhadap subjek yang diteliti, ibu, bapa dan adiknya.

    Dari data yang diperoleh bahwa subjek (Joy) sering mengatakan satu kata

    kata sebanyak 40% daripada keseluruhan yang diucapkan, diikuti dua kata sebanyak

    26% dan tiga kata atau empat kata sebanyak 14% yang diucapkan. Joy mengalami

    kesulitan ketika harus mengucapkan kata yang biasa kedua orangtua dan adiknya

    ucapkan, Joy mampu mengucapkan beberapa kata yang sudah dikenalnya. Seperti

    enggau papa, duit aku, meli gitar dan lain-lain.

    Dari analisis berdasarkan Struktur Sintaksis ucapan Joy dibuat berdasarkan

    kombinasi struktur kata satu dengan kata kompleks. Dari 50 kata yang diucapkan

    Joy hanya terdapat 2 kata kompleks. Kata komplek sama dengan seperti kata

    hubung dan. Joy menggunakan bahasa Melayu.

  • 11

    Bahwa pola bahasa yang digunakan Joy sama seperti pola bahasa pada

    umumnya anak-anak gunakan yang masih kurang mampu menggunakan kata atau

    kalimat panjang atau kata yang lengkap. Anak-anak lebih menguasai kata nama dan

    kata kerja karena lebih dominan dalam penggunaannya sehingga anak-anak

    menyampaikan apa yang ingin diucapkannya. Selain kata nama dan kata kerja,

    anak-anak cepat menguasai juga kata nama terutama nama benda dan nama

    orang. Dalam melakukan penelitian Joy, bapa dan ibunya hampir sekata karena

    menjawab berupa soal yang diajukan antara Joy dengan ayah dan ibunya.

    Menggunakan MLU (Mean Length of Utterance) atau Min Panjang Ujaran

    merupakan satu jenis indeks untuk mengira perkembangan atau penguasaan

    bahasa anak-anak secara umum. MLU bukanlah penentu mutlak untuk mengukur

    perkembangan bahasa seseorang anak-anak.

    Kesimpulan dari jurnal tentang Pemerolehan bahasa kanak-kanak: satuan

    analisis sintaksis terhadap ucapan Joy yang berusia 3 tahun 5 bulan ialah:

    1. Analisis ucapan menunjukkan Joy mempunyai MLU 2.38 yaitu satu tahap yang di

    bawah jangkauan umurkronologinya dalam perkembangan penguasaan bahasa

    anak-anak mengikuti Browns Stages Of Development.

    2. Subjek (Joy) kajian anak-anak menggunakan berbagai kata yang berubah-ubah

    mengikuti situasi

    3. Ucapan Joy masih terikat dengan bahasa holofrasa dan telegrafik

    4. Joy lebih banyak menggunakan 2 kata

    5. Kata nama lebih banyak diucapkan Joy

    6. Dalam penelitian Joy hanya sebagai subjek yang menjawab pertanyaan

  • 12

    B. PERSEPSI TERHADAP UJARAN2

    Ujaran adalah suara murni (tuturan), langsung, dari sosok yang berbicara. Jadi

    ujaran itu adalah sesuatu hal yang berupa kata, kalimat, gagasan, yang keluar dari

    mulut manusia yang mempunyai arti. Dengan adanya ujaran ini maka akan muncul

    lah makna sintaksis, semantik, dan pragmatik.

    Persepsi adalah sebuah proses saat individu mengatur dan

    menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi

    lingkungan mereka. Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah

    dilakukan oleh manusia karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang

    meluncur tanpa ada batas waktu yang jelas antara satu kata dengan kata yang lain.

    Ketika seseorang berbicara atau bernyanyi, indera pendengaran kita mampu

    membedakan ciri bunyi yang satu dengan yang lainnya. Indera pendengaran mampu

    menangkap dan memahami rangkaian bunyi vokal dan konsonan yang membentuk

    sebuah tuturan, cepat-lambat tuturan, dan nada tuturan yang dihasilkan oleh seorang

    penutur. Seorang penguji mencoba dalam sebuah media elektronik dituntut memiliki

    kepekaan dalam persepsi terhadap bunyi bahasa yang yang dihasilkan oleh calon

    pembawa acara. Ia harus mampu menangkap ketepatan bunyi vokal dan konsonan.

    Selain itu, ia harus mampu menangkap cepat-lambat, tekanan, serta nada bicara si

    calon pembawa acara tersebut. Seorang komentator dalam acara kompetisi

    menyanyi yang populer di televisi dituntut mampu menangkap ketepatan nada yang

    dihasilkan oleh si penyanyi.

    Berdasarkan uraian diatas, persepsi terhadap bunyi bahasa yang dihasilkan

    oleh alat bicara dikelompokan menjadi dua, yakni

    Persepsi terhadap bunyi yang berupa satuan struktural, yaitu vokal dan

    konsonan

    Persepsi terhadap bunyi yang berupa cepat-lambat, kelantangan, tekanan, dan

    nada.

    2 Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik, Kajian Teoritik.Rineka Cipta : Jakarta

    Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

  • 13

    Dalam linguistik, bunyi-bunyi vokal dan konsonan yang kita dengar disebut

    bunyi segmental. Bunyi bahasa yang berupa cepat-lambat, kelantangan, tekanan,

    dan nada disebut bunyi suprasegmental atau prosodi.

    Perhatikan tiga ujaran berikut : a) Bukan angka, b) Buka nangka c) Bukan

    nangka. Meskipun ketiga ujaran ini berbeda maknanya satu dari yang lain, dalam

    pengucapannya ketiga bentuk ujaran ini bisa sama.

    Di samping itu, suatu bunyi juga tidak diucapkan secara persis sama tiap kali

    bunyi itu muncul. Bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh lingkungan di

    mana bunyi itu berada. Bunyi [b] pada kata buru, misalnya, tidak persis sama dengan

    bunyi [b] pada kata biru . Pada kata buru bunyi /b/ dipengaruhi oleh bunyi /u/ yang

    mengikutinya sehingga sedikit banyak ada unsur pembundaran bibir dalam

    pembuatan bunyi ini. Sebaliknya, bunyi yang sama ini akan diucapkan dengan bibir

    yang melebar pada kata biru karena bunyi /i/ merupakan bunyi vokal depan dengan

    bibir melebar.

    Namun demikian, manusia tetap saja dapat mempersepsi bunyi-bunyi

    bahasanya dengan baik. Tentu saja persepsi seperti ini dilakukan melalui tahap-

    tahap tertentu. Pada dasarnya ada tiga tahap dalam pemrosesan persepsi bunyi

    (Clack & Clark, 1977) :

    1. Tahap auditori: Pada tahap ini manusia menerima ujaran sepotong demi

    sepotong. Ujaran ini kemudian ditanggapi dari segi fitur akustiknya. Konsep-

    konsep seperti titik artikulasi, cara artikulasi, fitur distingtif, dan VOT (Voice Onset

    Time) sangat bermanfaat di sini karena awal seperti inilah yang memisahkan

    satu bunyi dari bunyi yang lain. Bunyi-bunyi dalam ujaran itu kita simpan dalam

    memori auditori kita.

    2. Tahap fonetik : Bunyi-bunyi itu kemudian kita identifikasi. Dalam proses mental

    kita, kita lihat, misalnya apakah bunyi tersebut [+konsonantal], [+vois], [+nasal],

    dst. Begitu pula lingkungan bunyi itu : apakah bunyi tadi diikuti oleh vokal atau

    oleh konsonan. Kalau oleh vokal, vokal macam apa vokal depan, vokal

    belakang, vokal tinggi, vokal rendah, dsb. Seandainya ujaran itu adalah Bukan

    nangka , maka mental kita menganalisis bunyi /b/ terlebih dahulu dan

    menentukan bunyi apa yang kita dengar itu dengan memperhatikan hal-

    hal seperti titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur distingtifnya. Kemudian

  • 14

    VOTnya juga diperhatikan karena VOT inilah yang akan menetukan kapan

    getaran pada pita suara itu terjadi.

    Segmen-segmen bunyi ini kemudian kita simpan di memori fonetik. Perbedaan

    antara memori auditori dengan memori fonetik adalah bahwa pada memori auditori

    semua variasi alofonik yang ada pada bunyi itu kita simpan sedangkan pada memori

    fonetik hanya fitur-fitur yang sifatnya fonemik saja. Misalnya, bila kita mendengar

    bunyi [b] dari kata buntu maka yang kita simpan pada memori auditori bukan fonem

    /b/ dan bukan hanya titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur-fitur distingtifnya saja

    tetapi juga pengaruh bunyi /u/ yang mengikutinya. Dengan demikian maka [b] ini

    ssedikit banyak diikuti oleh bundaran bibir (lip rounding) . Pada memori fonetik, hal-

    hal seperti ini sudah tidak diperlukan lagi karena begitu kita tangkap bunyi itu

    sebagai bunyi /b/ maka detailnya sudah tidak signifikan lagi. Artinya, apakah /b/ itu

    diikuti oleh bundaran bibir atau tidak, tetap saja bunyi itu adalah bunyi /b/.

    Analisis mental yang lain adalah untuk melihat bagaimana bunyi-bunyi itu

    diurutkan karena urutan bunyi inilah yang nantinya menentukan kata itu kata apa.

    Bunyi /a/, /k/, dan /n/ bisa membentuk kata yang berbeda bila urutannya berbeda.

    Bila /k/ didengar terlebih dahulu, kemudian /a/ dan /n/ maka akan terdengarlah bunyi

    /kan/; bila /n/ yang lebih dahulu, maka terdengarlah bunyi /nak/.

    3. Tahap fonologis : Pada tahap ini mental kita menerapkan aturan fonologis pada

    deretan bunyi yang kita dengar untuk menetukan apakah bunyi-bunyi tadi sudah

    mengikuti aturan fonotaktik yang pada bahasa kita. Untuk bahasa Inggris,

    bunyi /h/ tidak mungkin memulai suatu suku kata. Karena itu, penutur Inggris

    pasti tidak akan menggabungkannya dengan vokal. Seandainya ada urutan bunyi

    ini dengan bunyi yang berikutnya, dia pasti akan menempatkan bunyi ini dengan

    bunyi di mukanya, bukan di belakangnya. Dengan demikian deretan bunyi /b/, /e/,

    /n/, /g/, /i/, dan /s/ pasti akan dipersepsi sebagai beng dan is , tidak

    mungkin be dan ngis.

    Orang Indonesia yang mendengar deretan bunyi /m/ dan /b/ tidak mustahil

    akan mempersepsikannya sebagai /mb/ karena fonotaktik dalam bahasa kita

    memungkinkan urutan seperti ini seperti pada kata mbak dan mbok meskipun kedua-

    duanya pinjaman dari bahasa Jawa. Sebaliknya, penutur Inggris pasti akan

    memisahkan kedua bunyi ini ke dalam dua suku yang berbeda.

  • 15

    Kombinasi bunyi yang tidak dimungkinkan oleh aturan fonotaktik bahasa

    tersebut pastilah akan ditolak. Kombinasi /kt/, /fp/, atau /pk/ tidak mungkin memulai

    suatu suku sehingga kalau terdapat deretan bunyi /anaktunggal/ tidak mungkin akan

    dipersepsi sebagai /ana/ dan /ktunggal/ secara mental dengan melalui proses yang

    sama. Sehingga akhirnya semua bunyi dalam ujaran itu teranalisis. Yang akan

    membedakan antara bukan nangka, bukan angka, dan buka nangka adalah jeda

    (juncture) yang terdapat antara satu kata dengan kata lainnya.

    1. MODEL-MODEL UNTUK PERSEPSI

    Dalam rangka memahami bagaimana manusia mempersepsi bunyi sehingga

    akhirnya nanti bisa terbentuk komprehensi, para ahli psikolinguistik mengemukakan

    model-model teoritis yang diharapkan dapat menerangkan bagaimana proses

    persepsi itu terjadi. Sampai saat ini ada empat model teoritis yang telah diajukan:

    a. Model Teori Motor untuk Persepsi Ujaran

    Model yang diajukan oleh Liberman dkk ini, yang dalam bahasa Inggris disebut

    sebagai Motor Theory of Speech Perception, menyatakan bahwa manusia

    mempersepsi bunyi dengan memakai acuan seperti pada saat dia memproduksi

    bunyi itu (Liberman dkk 1967 dalam Gleason dan Ratner, 1998). Seperti dinyatakan

    sebelumnya, bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh bunyi-bunyi lain di

    sekitarnya. Namun demikian, bunyi itu akan tetap merupakan fonem yang sama,

    meskipun wujud fonetiknya berbeda. Persamaan ini disebabkan oleh artikulasinya

    yang sama pada waktu mengucapkan bunyi tersebut. Jadi, meskipun bunyi /b/ pada

    kata /buka/ dan /bisa/ tidak persis sama dalam pengucapannya, kedua bunyi ini

    tetap saja dibuat dengan titik dan cara artikulasi yang sama. Dengan demikian,

    seorang penutur akan menganggap kedua bunyi ini sebagai dua alofon dari satu

    fonem yang sama, yakni, fonem /b/. Dengan kata lain, meskipun kedua bunyi itu

    secara fonetik berbeda, kedua bunyi ini akan dipersepsi sebagai satu bunyi yang

    sama.

    b. Model Analisis dengan Sintesis

    Manusia bervariasi dalam ujaran mereka, tergantung pada berbagai faktor

    seperti keadaan kesehatan, keadaan sesaat (gembira atau sedih), dan keadaan alat

    ujuran (sedang merokok atau tidak). Dengan demikian, kalau kita hanya

    menggantungkan pada fitur akustiknya saja, maka sebuah kata bisa saja memiliki

  • 16

    banyak bentuk yang berbeda-beda. Karena itu, diajukanlah suatu model yang

    dinamakan Model Analisis dengan Sintesis (Analysis-by-Synthesis).

    Dalam model ini dinyatakan bahwa pendengar mempunyai sistem produksi

    yang dapat mensintesiskan bunyi sesuai dengan mekanisme yang ada padanya

    (Stevens 1960, dan Stevens dan Halle 1967, dalam Gleason dan Ratner 1998).

    Waktu dia mendengar suatu deretan bunyi, dia mula-mula mengadakan analisis

    terhadap bunyi-bunyi itu dari segi fitur distingtif yang ada pada masing-masing bunyi

    itu. Hasil dari analisis ini dipakai untuk memunculkan atau mensintesiskan suatu

    ujaran yang kemudian dibandingkan dengan ujaran yang baru dipersepsi. Bila antara

    ujaran yang dipersepsi dengan ujaran yang disintesiskan itu cocok maka

    terbentuklah persepsi yang benar. Bila tidak, maka dicarilah lebih lanjut ujaran-ujaran

    lain untuk akhirnya ditemukan ujaran yang cocok.

    Sebagai contoh, bila penutur bahasa Indonesia mendengar deretan bunyi

    /pola/ maka mula-mula dianalisislah ujaran itu dari segi fitur distingtifnya dimulai

    dengan /p/ yang berfitur [+konsonantal], [-kontinuan], [+tak-vois], dsb. Proses ini

    berlanjut untuk bunyi /o/, dan seterusnya. Setelah semuanya

    selesai, disintesiskanlah ujaran itu untuk memunculkan bentuk-bentuk yang mirip

    dengan bentuk itu seperti kata /mula/, kemudian /pula/, lalu /kola/, /bola/ sampai

    akhirnya ditemukan deretan yang persis sama, yakni, /pola/. Baru pada saat itulah

    deretan tadi telah dipersepsi dengan benar.

    c. Fuzzy Logical Model

    Menurut model ini (Massaro, 1987, 1989) persepsi ujaran terdiri dari tiga

    proses : evaluasi fitur, integrasi fitur, dan kesimpulan. Dalam model ini ada bentuk

    prototipe, yakni, bentuk yang memiliki semua nilai ideal yang ada pada suatu kata,

    termasuk fitur-fitur distingtifnya. Informasi dari semua fitur yang masuk dievaluasi,

    diintegrasi, dan kemudian dicocokkan dengan deskripsi dari prototipe yang ada pada

    memori kita. Setelah dicocokkan lalu diambil kesimpulan apakah masukan tadi cocok

    dengan yang terdapat pada prototipe.

    Sebagai misal, bila kita mendengar suku yang berbunyi /ba/ maka kita

    mengaitkannya dengan suku kata ideal untuk suku ini, yakni, semua fitur yang ada

    pada konsonan /b/ maupun pada vokal /a/. Evaluasi fitur menilai derajat kesamaan

    masing-masing fitur dari suku yang kita dengar dengan masing-masing fitur dari

    prototipe kita. Evaluasi ini lalu diintegrasikan dan kemudian diambil kesimpulan

  • 17

    bahwa suku kata /ba/ yang kita dengar itu sama (atau tidak sama) dengan suku kata

    dari prototipe kita.

    Model ini dinamakan fuzzy (kabur) karena bunyi, sukukata, atau kata yang kita

    dengar tidak mungkin persis 100% sama dengan prototipe kita. Orang yang sedang

    mengunyah sesuatu sambil mengatakan /ba(rah)/ pasti tidak akan menghasilkan /ba/

    yang sama yang diucapkan oleh orang yang tidak sedang mengunyah apa-apa.

    Begitu pula orang yang sedang kena flu pasti akan menambahkan bunyi sengau

    pada suku ini; akan tetapi, suku kata /ba/ yang dengan bunyi sengau ini akan tetap

    saja kita anggap sama denga prototipe kita.

    d. Model Cohort

    Model untuk mengenal kata ini terdiri dari dua tahap:

    Pertama, tahap di mana informasi mengenai fonetik dan akustik bunyi-bunyi

    pada kata yang kita dengar itu memicu ingatan kita untuk memunculkan kata-

    kata lain yang mirip dengan kata tadi. Bila kita mendengar kata /prihatin/ maka

    semua kata yang mulai dengan /p/ maka teraktifkan: pahala, pujaan, priyayi,

    prakata, dsb. Kata-kata yang termunculkan inilah yang disebut sebagai cohort.

    Pada tahap kedua, terjadilah proses eliminasi secara bertahap. Waktu kita

    kemudian mendengar bunyi /r/ maka kata pahala dan pujaan akan tersingkirkan

    karena bunyi kedua pada kata kedua ini adalah /r/ seperti pada kata targetnya.

    Kata priyayi dan prakata masih menjadi calon kuat karena kedua kata ini memiliki

    bunyi /r/ setelah /p/. Pada proses berikutnya, hanya priyayi yang masih bertahan

    karena kata prakata memliki bunyi /a/, bukan /i/, pada urutan ketiganya. Akan

    tetapi, pada proses selanjutnya kata priyayi juga tersingkirkan karena pada kata

    tergetnya bunyi yang ke-empat adalah /h/ sedangkan pada priyayi adalah /y/.

    Dengan demikian maka akhirnya hanya ada satu kata yang persis cocok dengan

    masukan yang diterima oleh pendengar, yakni, kata prihatin.

    2. PERSEPSI UJARAN DALAM KONTEKS

    Di atas telah digambarkan bagaimana manusia memproses ujaran yang kita

    dengar secara satu per satu. Akan tetapi, dalam kenyataannya bunyi itu tidak

    diujarkan secra terlepas dari bunyi yang lain. Bunyi selalu diujarkan secara berurutan

  • 18

    dengan bunyi yang lain sehingga bunyi-bunyi itu membentuk semacam deretan

    bunyi. Lafal bunyi yang diujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain tidak

    sama dengan lafal bunyi itu bila dilafalkan secara sendiri-sendiri. Bunyi /p/ yang

    diujarkan sebelum bunyi /i/ (seperti kata pikir) akan berbeda dengan bunyi /p/ yang

    diujarkan sebelum bunyi /u/ ( seperti pada kata pukat). Pada rentetan yang pertama,

    bunyi /p/ ini akan terpengaruh oleh bunyi /i/ sehngga ucapan untuk /p/ sedikit banyak

    sudah diwarnai oleh bunyi /i/, yakni, kedua bibir sudah mulai melebar pada saat

    bunyi /p/ diucapkan. Sebaliknya, bunyi /p/ pada /pu/ diucapkan dengan kedua bibir

    bundarkan, bukan dilebarkan seperti pada /pi/.

    Namun demikian, sebagai pendengar kita tetap saja dapat menentukan bahwa

    kedua bunyi /p/ yang secara fonetik berbeda merupakan satu bunyi yang secara

    fonemik sama. Karena itulah maka betapa pun berbedanya lafal suatu bunyi,

    pendengar akan tetap menganggapnya sama apabila perbedaan itu merupakan

    akibat dari adanya bunyi lain yang mempengaruhinya. Dengan kata lain, alofon-

    alofon suatu bunyi akan tetap dianggap sebagai satu fonem yang sama.

    Persepsi terhadap suatu bunyi dalam deretan bunyi bisa pula dipengaruhi oleh

    kecepatan ujaran. Suatu bunyi yang diucapkan dengan bunyi-bunyi yang lain secara

    cepat akan sedikit banyak berubah lafalnya. Akan tetapi, sebagai pendengar kita

    tetap saja dapat memilah-milihnya dan akhirnya menentukannya. Pengetahuan kita

    sebagai penutur bahasa membantu kita dalam proses persepsi.

    Faktor lain yang membantu kita dalam mempersepsi suatu ujaran adalah

    pengetahuan kita tentang sintaksis maupun semantik bahasa kita. Suatu bunyi yang

    terucap dengan tidak jelas dapat diterka dari wujud kalimat di mana bunyi itu

    terdapat. Bila dalam mengucapkan kalimat Dia sedang sakit kita terbatuk persis pada

    saat kita akan mengucapkan kata sakit, sehingga kata ini kedengaran seperti

    /keakit/, pendengar kita akan dapat menerka bahwa kata yang terbatukkan itu adalah

    sakit dari konteks di mana kata itu dipakai atau dari perkiraan makna yang dimaksud

    oleh pembicara.

    Dari gambaran ini dapatlah dikatakan bahwa pengaruh konteks dalam persepsi

    ujaran sangatlah besar. Dari sintaksisnya kita tahu bahwa urutan pronomina, kala

    progsesif, dan adjektiva adalah urutan yang benar. Dari semantiknya terdapat pula

    kecocokan antara ketiga kata ini. Dari konteksnya ketiga kata ini mmemberikan

    makna yang layak.

  • 19

    KESIMPULAN

    Persepsi ujaran ternyata tidaklah sesederhana yang kita pikirkan, di dalamnya

    terdapat proses atau tahapan bagaimana suatu persepsi terhadap suatu ujaran itu

    terjadi. Melalui tahapan-tahapan tersebut kita sebagai pendengar dapat menafsirkan

    bunyi yang diujarkan oleh penutur dan memahaminya secara tepat dan sesuai

    dengan maksud si penutur.

    Persepsi ujaran juga mempunyai beberapa model dimana pada masing-

    masing model terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana sebuah

    persepsi ujaran itu terbentuk, seperti keadaan lingkungan, keadaan psikologis si

    penutur, dan juga kemampuan bahasa si pendengar atau yang memberikan

    persepsi.

    REVIEW JURNAL 2

    Judul Jurnal : ANALISIS KEKELIRUAN BERBAHASA PADA PENDERITA AFASIA

    BROCA PASCASTROKE: KAJIAN PSIKOLINGUISTIK

    Peneliti : Lilis Hartini, Dadang Sudana, Syihabuddin

    Di reveiw : Nur Ali (46113310022)

    Matakuliah : Psikologi Kognitif

    Fakultas : Psikologi Universitas Mercu Buana Bekasi

    Pembahasan Review Jurnal

    Jurnal ini membahas tentang suatu kekeliruan tentang berbahasa pada

    seorang yang mengidap penyakit Afasia Broca dalam pasca stroke (Afasia Broca

    adalah hilangnya kemampuan untuk memproduksi atau memahami bahasa. Hal ini

    disebabkan lesi kortikal di otak kiri, tepatnya di daerah broca, yang mengkhususkan

    diri dalam tugas-tugas pemproduksian bahasa. Penderita stroke yang terkena

    afasia broca sangat jarang berbicara spontan, hilangnya kemampuan dalam

    mengujarkan atau menirukan ujaran-ujaran bunyi vokal, berbicara dengan susunan

    kalimat yang tidak runtun, seringkali mensubstitusi kata-kata dengan suara yang

    mirip namun pengertiannya terhadap bahasa tidak terganggu).

    Dalam penelitian ini peneliti menemukan beberapa gangguan dalam berbahasa

    dari segi linguistik dan persepsi dari ujaran si penderita tersebut, dan gangguan

  • 20

    tersebut adalah gangguan fonologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Penelitian ini

    melakukan pendekatan kualitatif, artinya data yang dikumpulkan berasal dari hasil

    wawancara, observasi, dokumen pribadi, dan catatan memo. Subjek peneliti adalah

    seorang yang mengidap penyakit Afasia selama delapan tahun lamanya.

    Teori yang dipakai peneliti ini meliputi, teori tentang pengertian dan

    penjelasan tentang afasia, kemudian tentang linguistik, dan psikolinguistik.

    Analisi yang didapat dari penelitian ini adalah kekeliruan dalam berbahasa pada

    informan dan hal ini dapat mengakibatkan akan adanya kesalahan dalam persepsi si

    pendengar. Contoh dalam hasil data yang didapat dalam penelitian, para peneliti

    memaparkan beberapa dialog yang akan membuat si pendengar salah tanggap atau

    kekeliruan dalam persepsi,

    (1) Informan : itu ucing ku lauk!

    (2) Informan : ihh... tangkal dina hileud meni banyak kitu

    Data tersebut menggunakan bahasa sunda karena informan adalah orang sunda.

    Pada data tersebut bila diartikan kedalam bahasa sunda akan nampak kekeliruan

    dalam percakapannya, seperti kalimat (1) artinya itu kucing (dimakan) ikan, pada

    kalimat tersebut informan melepaskan verb pasif sehingga menimbulkan kekeliruan

    dalam ujaran informan tersebut.

    Kesimpulannya dalam penelitian ini adalah sulitnya membuat persepsi

    terhadap ujaran seseorang bila kalimat yang dikeluarkannya banyak mengalami

    hambatan, seperti dari segi fisik, kecepat dalam ujaran, sampai kekeliruan dalam

    segi arti kalimat. Untuk menyiasati hal tersebut bila terjadi dan agar tidak ada

    persepsi yang salah maka si pendengar haruslah melihat dari gesture tubuh si

    informan (menurut jurnal ini), dan pengetahuan kita terhadap suatu ujaran agar kita

    dapat menduga atau menerka kepastian ujaran si informan tersebut.

    Saya mengambil jurnal ini karena saya ingin mengetahui apakah kekeliruan

    persepsi ujaran tidak hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang keadaannya lelah,

    tergesah-gesah, konsentrasinya terpecah, dan dalam keadaan emosi (menurut

    simpulan jurnal) melainkan dengan seorang yang mengidap penyakit? Dan akhirnya

    keingin tahuan saya terbukti bahwa kekeliruan dalam persepsi ujaran dapat

    dilakukan oleh seorang yang mengidap penyakit juga.

  • 21

    C. PROSES-PROSES PEMAHAMAN BAHASA3

    1. MODEL-MODEL PROSES PEMAHAMAN BAHASA

    1.1. Model Segitiga Leksikon

    Peneliti bahasa menggunakan istilah leksikon untuk mengartikan seluruh

    rangkaian representasi mental kata. (Kata ini berasal dari bahasa latin legere, yang

    berarti membaca sebuah hubungan yang jelas dengan makna). Sering kali leksikon

    digambarkan sebagai kamus mental, penyimpanan dari apa yang kita ketahui

    tentang kata, apa maknanya, dan bagaimana penggunaannya. Perbandingan ini,

    meski bermanfaat, tidaklah benar. Representasi mental kita bukanlan daftar fakta

    mengenai pengucapan kata, bagai turunan, dan makna dan representasi bukan

    dalam urutan alphabet yang merupakan karakteristik utama sebuah kamus.

    Penekanannya ada pada pengetahuan leksikal sebagai pemetaan antara

    satu level representasi dan level lain (Seidenberg & McClelland, 1989).

    3 Edward E. Smith, Stephen M. Kosslyn. 2014. PSIKOLOGI KOGNITIF Pikiran dan Otak

    YOGYAKARTA : PUSTAKA PELAJAR

    Model Segitiga Leksikon

    Model ini merefleksikan keyakinan peneliti yaitu informasi mengenai kata direpresentasikan dalam sebuah jaringan yang mengaitkan makna, suara dan ejaan.

    Understanding of

    language thought

    Perception Of speech

    Spelling

    (orthograph

    y) cat

    Sound

    (phonology

    ) [Kt]

    Writing Speakin

    g

    Reading

    Meanin

    g

  • 22

    Pertimbangan ini dan pertimbangan lain membuat peneliti memahami representasi

    kata sebagai jaringan yeng terdiri dari setidaknya tiga komponen utama yaitu ejaan,

    suara dan makna.

    Dalam model segitiga leksikon ini, persepsi tuturan mengaitkan sepresentasi

    suara fonologi kata (titik kanan bawah dari segitiga) dengan representasi makna.

    Membaca adalah tindakan mengaitkan ejaan, atau ortografi, kata dengan makna.

    Produksi bahasa mengaitkan makna kata dengan representasi suara dengan

    mengucapkannya dengan keras atau dengan representasi ejaan untuk tulisan.

    Jenis Persepsi Ambiguitas

    Ikatan kata Anda mendengar skrim Ice cream? I scream?

    Ejaan / Ucapan dan makna

    kata Anda membaca "wind"

    "wind" seperti hembusan?

    "wind"

    dalam jam? "permit" seperti

    dalam

    mengijinkan "permit" dalam

    izin

    Ejaan dan penekanan kata

    Anda mendengat atau

    membaca" Bagian terluar sebuah batang?

    Suara

    "bark" (gonggongan/lapisan

    kayu)

    yang dibuat anjing?

    Struktur kalimat

    Anda mendengar atau

    membaca

    Apakah Mary sedang

    membaca

    "Mary read the book on the

    Titanic kisah Titanic? Apakah Mary

    sedang membaca buku ketika

    berada di kapal Titanic?

    Anda mendengar atau

    membaca Apakah Susan mengira Mary

    Kata ganti akan menang ? Apakah Susan going

    "Susan told Mary that she

    was mengira Susan akan menang?

    to win

  • 23

    Model segitika leksikon ini menunjukkan bagaimana peneliti membuat hipotesis

    mengenai bagaimana aspek-aspek yang berbeda dari pengetahuan kata dikaitkan

    tetapi model ini tidak menunjukkan proses actual yang terjadi dalam pemahaman

    dan produksi bahasa. Yang dilakukan model ini adalah memberikan sebuah

    kerangka untuk mendalami beberapa jenis proses pemahaman dengan mengaitkan

    satu bagian segitiga (misalnya representasi suara) dengan bagian lain (misalnya

    representasi makna).

    1.2. Ambiguitas : Tantangan Umum dalam Memahami

    Pemahaman merupakan tindakan yang kompleks. Alasannya adalah sebagian besar

    hubungan antarsuara, makna, dan ejaan bersifat arbiter tidak ada kaitan antara

    suara kata kucing yang terkait dengan klasifikasi hewan tempat ia digolongkan.

    Fitur lain dari bahasa yang menimbulkan kesulitan dalam mengaitkan level

    representasi linguistic yang berbeda adalah ambiguitas yang di dalam bahasa

    merupakan property yang memungkinkan adanya lebih dari satu interpretasi

    terhadap suara, kata, frase, atau kalimat.

    Bahasa membawa sejumlah besar ambiguitas di tiap level, sebuah

    ambiguitas di tiap level ini harus diselesaikan sebelum kita bisa memahami makna

    perkataan seseorang. Mari kita perhatikan ambiguitas di satu level makna kata.

    Lihatlah objek di sekeliling anda saat ini. Anda pasti melihat buku dan mungkin

    sebuah kursi, lampu, dan pena. Keempat kata ini, book, chair, lamp, dan pen adalah

    kata benda dan kata kerja, sehingga setiap kali anda mendengar atau membaca kata

    ini, anda harus menentukan apakah pembicara memaksudkannya sebagai objek

    (noun)atau tindakan (verb). Beberapa kata, misalnya pena memilki lebih banyak

    makna, yaitu dua kata benda (implementasi tulisan dan pendekatan terhadap hewan)

    dan dua kata kerja (to pen a sonnet, to pen up the pigs). Lihat disekitar anda sekali

    lagi. Anda akan cenderung melihat objek dengan nama-nama yang ambigu (mungkin

    saja, table, floor, dan page) dari pada objek yang hanya memiliki satu nama yang

    bermakna jelas.

    Contoh ambiguitas dalam bahasa

    Latihan menunjukan karakterisktik dasar dari kata. Ambiguitas menyebar

    dalam kata yang umum dalam bahasa dan kata-kata yang tidak memilki beragam

    makna misalnya, ozone, comma dan femur biasanya merupakan istilah teknis

    dan merupakan kata yang tidak lazim. Bagaimana hal ini berkaitan dengan model

  • 24

    segitiga? Artinya dalam ejaan tunggal atau pemetaan suara dalam berbagai kata

    memiliki makna di bagian atas segitiga. Hasilnya, untuk sebagian besar kata di

    sebagian besar waktu, kita harus mensortir berbagai makna meski kita biasanya

    hanya menyadari satu interprestasi. (permainan kata dan lelucon merupakan

    pengecualian. Humor tergantung pada kesadaran kita mengenai makna lain dari kata

    yang ambigu).

    Sebuah tema lazim yang muncul dalam semua penelitian mengenai resolusi

    ambiguitas adalah integrasi informasi dari-bawah-ke-atas dan dari-atas-ke-bawah.

    Informasi dari-bawah-ke-atas berasal langsung dari apa yang kita persepsikan. Saat

    ini, saat anda membaca, satu sumber informasi dari-bawah-ke-atas tercetak di

    halaman ini. Dalam model segitiga, informasi dari-bawah-ke-atas bergerak dari dua

    titik bawah segitiga, ejaan dan informasi suara, menuju titik atas yaitu makna.

    Informasi dari-atas-ke-bawah berasal dari informasi di memori jangka panjang yang

    membantu kita menginterpretasikan apa yang kita persepsikan dan menginterpretasi

    informasi dalam konteks di mana informasi dari-bawah-ke-atas terjadi. Dalam model

    segitiga, informasi dari-atas-ke-bawah juga menyertakan pengaruh dari makna

    hingga representasi ejaan ketika membaca. Oleh karena informasi dari-bawah-ke-

    atas, misalnya teks yang dicetak, merupakan sesuatu yang sangat berbeda dari

    representasi dari-atas-ke-bawah konteks makna dan informasi lain di memori jangka

    panjang, belum jelas sepenuhnya bagaimana dua bentuk informasi yang berbeda itu

    terintegrasi satu sama lain untuk membantu persepsi. Tentu saja, pernyataan yang

    berbeda mengenai bagaimana informasi tersebut terintegrasi menghasilkan

    beberapa kontroversi esar dalam penelitianbahasa dewasa ini. Di bagian berikut, kita

    akan melihat peran informasi dari-bawah-ke-atas dan dar-atas-ke-bawah dalam

    persepsi tuturan.

    1.3. Persepsi Tuturan

    Ketika seseorang berbicara dengan anda, fluktuasi tekanan udara terjadi di

    telinga anda dan entah bagaimana anda mampu mengubah gelombang suara ini

    menjadi sesuatu yang bisa dipahami terkait dengan apa yang dikatakan si

    pembicara. Satu langkah kunci dalam situasi yang luar biasa ini terdiri dari

    pengidentifikasian batasan antara kata-kata yang diucapkan di pembicara. Ini adalah

    sebuah area di mana persepsi membaca dan tuturan sangat berbeda. Dalam bahasa

    inggris dan dalam sebagian besar system tulisan lain ada ruang putih antara kata-

    kata yang tercetak di halaman sementara dalam sinyal tuturan batasan antarkata

  • 25

    tidak ditandai oleh jeda. Anda memiliki persepsi sadar ketika mendengar kata-kata

    individual dalam tuturan tetapi pada kenyataannya anda mendengar sesuatu seperti

    ini : katakataterhubungdalamsinyaltuturanyangberkelanjutan. Memisahkan kata-kata

    tersebut ketika ditulis akan memberikan efek pemahaman. Contoh bagaimana

    tuturan sebenarnya terlihat ditunjukkan Spektogram suara. Spektogram adalah

    tampilan visual dua dimensi tuturan di mana waktu ditunjukkan di satu poros,

    frekuensi suara (yang berkaitan dengan tinggi nada) di poros lain, dan intensitas

    suara di tiap titik waktu dan frekuensi diindikasikan oleh tingkat kegelapan tampilan

    (dan dengan demikian spasi putih menunjukkan kesenyapan). Spektogram pada

    tampilan di bawah menunjukkan kalimat yang diucapkan Kami pergi setahun yang

    lalu. Sebagian besar kata di dalam kalimat tidak dipisahkan oleh jarak da nada

    beberapa jarak di tengah kata seperti dalam kata ago.

    Tanpa adanya jeda yang mengarahkan kita, bagaimana kita menemukan

    ikatan kata ini? Sepertinya ketika kita mendengar tuturan, secara tidak sadar kita

    melakukan tebakan yang cerdas berdasarkan campuran informasi dari-bawah-ke-

    atas dan dari-atas-ke-bawah (Altmann, 1990). Informasi dari-bawah-ke-atas

    mencakup petunjuk dari sinyal tuturan secara langsung, misalnya regangan

    kesenyapan ketika pembicara sedang berpikir. Informasi dari-atas-ke-bawah

    mencakup pengetahuan mengenai fola fonem tipikal misalnya (b) dan (k) tidak umum

    We were away a year ago (Kami Pergi Setahun yang Lalu)

    Kalimat ini dipresentasikan dalam (a) sebuah spectogram dengan (b) lokasi kata yang diindikasikan di bawah. Dalam Spektogram, kesenyapan (jeda) dalam sinyal tuturan terbentuk vertical kosong. Perhatikan bahwa kalimat ini tidak memiliki jeda antara kata dan satu-satunya kesenyapan sebenarnya ada dalam kata yang terjadi g dalam kata ago.

  • 26

    terletak bersebelahan dalam kata inggris (jadi jika anda mendengar (bk), maka (b)

    kemungkinan merupakan huruf akhir dari suatu kata dan (k) adalah huruf awal dari

    kata lain) (McQueen, 1998). Kita memiliki pengetahuan yang sangat detail mengenai

    bahasa asli (atau bahasa lain yang fasih kita gunakan), tetapi pengetahuan ini

    tidaklah membantu ketika kita mendengar seseorang menggunakan bahasa ini

    dengan pola yang tidak familiar. Pembicara bahasa asing sepertinya berbicara terlalu

    cepat dengan suara yang tidak beraturan dan tanpa ada batasan yang jelas

    antarkata. (Bahasa Yunani kuno mengistilahkan orang asing ini sebagai barbaroi,

    kaum barbar bukan karena mereka kasar tidak serta merta begitu tetapi karena

    mereka terdengar berbicara seperti orang barbar ketimbang bahasa Yunani).

    Sebaliknya, ketika kita mendengar sebuah bahasa yang sangat kita ketahui, kita

    tidak mempersepsikan sinyal tuturan sebagai aliran yang berkelanjutan, karena

    system persepsi kita melakukan pekerjaan yang sangat baik dengan menerka

    batasan kata. Hasilnya adalah ilusi yang membuat batasan itu, dalam bentuk jeda,

    terlihat benar-benar menjadi penanda fisik.

    Masalah utama dalam persepsi tuturan adalah mengidentifikasikan fonem

    dalam sinyal tuturan. Ada keberagaman yang besar terkait cara fonem dihasilkan.

    Setiap pembicara memiliki suara yang berbeda dan aksen yang sedikit berbeda

    (atau yang sama sekali berbeda). Kejelasan artikulasi produksi suara tuturan

    bervariasi tergantung pada kecepatan tuturan, mood pembicara, dan banyak factor

    lain. Artikulasi fonem juga tergantung pada fonem lain apa yang diartikulasikan

    sebelum atau sesudahnya. Pikirkan bagaimana anda mengatakan (k) dalam kaya

    key dan coo. Ucapkan kata-kata itu secara bergantian dan berhenti sebelum anda

    mengeluarkan suara (k) dari mulut anda. Bagaimana bentuk bibir anda di tiap kata

    ketika anda mengucapkan (k)? Anda akan mendapatai bibir anda secara berbeda

    karena sebelum anda mengeluarkan suara (k), bibir anda telah bersiap-siap

    menghasilkan huruf vocal setelahnya. Ketika huruf vocal berupa ee di kaya key,

    bibir anda akan terbuka lebar, tetapi ketika setelahnya ada oo dari kata coo maka

    bibir anda akan berbentuk bulat. Tumpang tindih fonem ini di dalam tuturan disebut

    dengan koartikulation dan memiliki dampak yang besar pada suara fonem tersebut.

    Jika anda mengucapkan (k) pada kata key dan coo tanpa huruf vocal tetapi dengan

    bibir anda yang melebar dan membulat seolah-olah anda akan mengucapkan kata

    tersebut, maka anda akan mendengar (k) di kaya key memiliki tinggi nada yang lebih

    tinggi dan terdengar berbeda dari (k) dalam kata coo. Fenomena koartikulation

    menunjukkan bahwa tiap fonem diartikulasikan secara berbeda tergantung pada

    fonem mana yang mendahului dan yang ada setelahnya.

  • 27

    Efek gabungan dari koartikulation, variasi antarpembicara, variasi dalam

    kecepatan tuturan, dan banyak perubahan lain dalam cara orang berbicara

    menunjukkan bahwa tiap fonem mungkin sata tidak pernah diartikulasikan dua kali

    secara sama persis. Jumlah variasi yang tidak terhingga ini berarti secara prinsip

    sulit untuk mengidentifikasikan fonem mana yang ada dalam sinyal tuturan. Hal ini

    kembali diatasi dengan menggunakan informasi dari-bawah-ke-atas dan dari-atas-

    ke-bawah, khususnya informasi mengenai konteks di mana fonem diucapkan.

    Dengan cara ini, fonem yang diucapkan dengan buruk atau bahkan yang hilang akan

    digunakan melalui efek restorasi fonem (Warren, 1970).

    Jenis informasi kontekstual lain dalam persepsi tuturan bukan berasal dari

    apa yang kita dengar tetapi dari apa yang kita lihat. Seseorang yang sulit mendengar

    mungkin berkata, saya mendengar anda dengan lebih baik ketika saya sapat

    melihat wajah anda. Sesorang yang tidak sulit mendengar mungkin mengatakan hal

    yang saa. Terlepas apakah pendengaran kita terganggu atau tidak, sejumlah

    pemahaman berasal dari pembacaan bibir. Jika kita melihat wajah si pembicara

    maka ini akan memberikan tambahan informasi mengenai fonem mana yang

    diucapkan karena banyak fonem yang dihasilkan dari bentuk mulut. Ketidaksesuaian

    antara suara tuturan yang anda dengar dan petunjuk visual dalam artikulasi dapat

    membingungkan pikirkan ketika anda menonton animasi yang buruk atau film asing

    yang dialih bahasakan menjadi bahasa inggris.

    Kebingungan antara apa yang anda lihat dan apa yang anda dengar disebut

    dengan efek McGurk yang dinamakan sesuai dengan penemunya Harry McGurk

    (Massaro & Stork, 1998; McGurk & MacDonald. 1976). McGurk dan asisten peneliti,

    John MacDonald, menggunakan video dan tape untuk merekan ibu yang sedang

    mengajarkan pesepsi tuturan pada bayinya. Ketika mereka mengganti ucapan ibu

    dengan kata ba dengan kata ga dan memainkan video itu, mereka terkejut ketika

    mendapati ibu di video ketiga mengatakan da. Akhirnya mereka sadar bahwa

    masalah bukan pada sulih suara. Jika mereka menutup mata mereka dan

    mendengarkan rekaman audio, mereka dengan jelas mendengar ba. Persepsi da

    ketika mereka menonton dan mendengar adalah ilusi yang muncul karena system

    perseptual yang dipadukan dengan petunjuk dari rekaman video dan audio. Video

    memperlihatkan kata ga di mana konsonan (g) dibuat dengan menggerakkan lidah

    ke belakang mulut dan audio memperdengarkan bunyi ba dimana konsonan (b)

    dibuat dengan bibir dirapatkan. Proses persepsi tuturan memadukan dua sinyal yang

    bertentangan ini untuk menghasilkan persepsi pertengahan yaitu da dimana

    konsonan (d) dibuat di tengah mulut.

  • 28

    Hasil yang kita bahas menunjukkan pentingnya pengintergrasian informasi

    dari-atas-ke-bawah dan dari-bawah-ke-atas selama mempersepsikan tuturan, tetapi

    hal ini tidak menunjukkan bagaimana informasi tersebut diintergrasikan. Diperkirakan

    bahwa banyak pengenalan pada komponen dari pengintergrasian bekerja lewat

    proses eliminasi yang tidak disadari ketika kita mempertimbangkan kata-kata yang

    mungkin muncul, yang dibesut dengan cohort, yang cocok dengan sinyal tuturan

    yang kita dengar, dan secara bertahap menyingkirkan kata-kata yang tidak cocok

    dengan informasi dari-bawah-ke-atas dan dari-atas-ke-bawah yang tersedia

    (Marslen-Wilson, 1984a). Dengan demikian, ketika anda mengenali suatu kata

    contohnya kata awesome , anda akan mulai memulainya dengan serangkaian kata

    yang dimulai dengan huruf vocal yang sama : awe, awesomw, awful, author,

    audition, awkward, authentic, Australia, Austin. Saat anda mendengar (s) dalam

    awesome, beberapa kata dalam cohort tidak lagi sesuai dengan sinyal tuturan

    (informasi dari-bawah-ke-atas) dan dikeluarkan dari cohort tersebut, sehingga yang

    hanya tertinggal hanya awesome, Australia, Austin.Di saat yang sama, anda juga

    menembak batas kata, jadi cohort anda juga akan menyertakan sepasang kata yang

    berbeda, awe dan some (Shilcock, 1990). Dengan sangat cepat, ketika makin

    banyak sinyal tuturan yang dipersepsikan dan informasi dari-atas-ke-bawah

    menunjukkan bahwa beberapa kemungkinan kata tidak masuk akal untuk dipakai

    (misalnya, Austin bukanlah kata sifat), kata-kata yang tidak cocok yang tersisa akan

    dikeluarkan dan hanya satu kata, awesome, yang tetap berada di cohort.

    Dua bukti mendukung pandangan bahwa persepsi tuturan melibatkan

    pertimbangan pada berbagai kemungkinan yang salah akan dibuang. Biktu pertama

    berasal dari sifat rangkaian kata yang familiar. Meski beberapa kata sangat berbeda

    dari kemungkinan lain ketika lebih banyak sinyal tuturan yang didengar, kata lain

    menyerupai banyak kata lain melalui sinyal tuturan. Dalam contoh awesome , saat

    anda mendengar huruf vocal aw dan konsonan s, ada sedikit kemungkinan yang

    tertinggal di cohort awesome, Australia, Austin, awe, ditambah dengan permulaan

    kata yang dimulai dengan s dan tidak ada lagi yang lain. Meskipun demikian, dua

    suara pertama dari kata totallytotally, konsonan t dan huruf vocal o, memberikan

    banyak kemungkinan dalam cohort totally, toast, tone, toe, told, Tolkien, toll, taupe,

    Tody, token, toad, dan banyak lagi yang lainnya. Peneliti tuturan menjelaskan

    perbedaan ini melalui istilah neighborhood density yaitu jumlah kata yang

    terdengar serupa dalam bahasa. Awesome memiliki neighbor yang sedikit,

    sementara totally memiliki neighborhood yang banyak dengan kata-kata serupa.

  • 29

    Jika peneliti memamng benar dalam meyakini bahwa kita mengenali kata-

    kata dengan mempertimbangkan kemungkinan kata-kata dalam cohort dan

    mengeliminasi kata-kata yang tidak benar, maka makin banyak neighbor yang

    dimiliki satu kata makin lama waktu yang diperlukan untuk mengeliminasi dan

    sampai pada kata yang diucapkan. Hal ini telah dibuktikan melalui eksperiment.

    Banyak penelitian menunjukkan bahwa partisipan lebih cepat saat mengenali kata.

    Misalnya awesome yang memiliki sedikit neighbor, dibandingkan kata-kata seperti

    totally yang memiliki banyak neighbor yang membenarkan mengenai efek

    neighborhood density (Luce & Pisoni, 1998).

    Bukti kedua mengenai cohort dan proses eliminasi berasal dari observasi

    respon yang tidak disengaja. Kita tidak memiliki perasaan sadar bahwa kita

    mempertimbangkan banyak kemungkinan selama persepsi tuturan, tetapi model

    cohort menunjukkan bahwa kandidat dalam cohort harus memunculkan tingkatan

    aktifasi yang lebih besar dari pada kata yang dipertimbangkan. Jika demikian, kita

    seharusnya mampu mengobservasi beberapa konsekuensi dari aktifasi ini dan hal ini

    telah pula dibuktikan melalui eksperimen. Misalnya, dalam suatu penelitian partisipan

    melihat objek di atas meja dan diminta untuk mengikuti instruksi yang mereka

    dengar, misalnya angkat beaker (gelas kimia) (Allopena et al.,1998). Dalam

    beberapa kondisi, objek di meja terdiri dari sebuah gelas kimia, mainan kumbang

    beetle (beetle tumpang tindih dengan kata pertama beaker), speaker mainan

    (speaker berima dengan beaker tidak tumpang tindih dengan suara pertama), dan

    berbagai objek lain yang tidak memiliki bunyi yang tumpang tindih dengan beaker.

    Peneliti memonitor gerakan mata partisipan yang memandangi berbagai objek di

    meja yang mengidentifikasikan bahwa ketika mendengar beaker, partisipan juga

    mempertimbangkan (melirik) beetle dan speaker (tapi bukan objek yang tidak

    memiliki suara yang tumpang tindih dengan beaker). Kedua kata (bone dan

    trombone) dipertimbangkan (Shilcock, 1990). Hasil ini mengindikasikan bahwa meski

    kita tidak memiliki kesadaran dalam mempertimbangkan alternative selama

    mempersepsikan tuturan, faktanya kita mengaktifkan kemungkinan cohort untuk

    mengenali suara.

    1.4. Mempresentasikan Makna

    Mengidentifikasi kata hanyalan awal dari pemahaman dan mendapatkan

    mekna yang sebenarnya dari apa yang dikatakan si pembicara merupakan tujuan

    terpenting. Dari model segitiga leksikon, perhitungan makna tiap kata

  • 30

    direpresentasikan sebagai pemetaan antara level fonologis dan representasi makna.

    Peneliti sering berpikir bahwa representasi mental makna adalah jaringan yang

    meiliki fitur-fitur yang saling berkaitan.

    Beberapa bukti pandangan non-kamus terkait makna leksikal berasal dari

    penelitian terhadap pasien yang mengalami kerusakan di lobus-lobus temporal otak.

    Pasien ini sebelumnya meiliki kemampuan berbahasa yang normal, tetapi kerusakan

    lobus temporal mereka (biasanya yang bersifat bilateral atau dominannya di hemisfer

    kiri) mengganggu pengetahuan mereka terhadap makna kata. Beberapa pasien

    memiliki gangguan dalam kategori khusus artinya mereka memiliki kesulitan yang

    lebih besar dalam mengaktifkan representasi semantyik untuk beberapa kategori

    dibandingkan kategori lain.

    Beberapa peneliti menyatakan bahwa pola gangguan ini menyiratkan

    representasi semantik (sebuah representasi mental dari makna) yang berada di

    berbagai kombinasi informasi perseptual (khususnya informasi visual) dan informasi

    fungsional informasi mengenai apa kegunaan benda (Warrington & McCarthy,

    1987; Warrington & Shalice, 1984). Dalam pandangan ini, ada pembagian yang

    besar antara benda hidup dan benda yang dibuat di dua dimensi ini. Bagi non-

    zoologist (ahli hewan), benda-benda hidup dibedakan hanya berdasarkan fitur

    perseptual zebra memiliki garis hitam putih, tetapi jika anda mengubah gambar

    zebra dan mengjhilangkan belangnya, sebagian besar orang akan berpikir bahwa

    gambar itu adalah sejenis kuda dan bukan zebra. Pasien dengan kerusakan besar di

    bagian otak yang memproses informasi perseptual memilki kesulitan yang lebih

    besar dalam mengenali objek-objek buatan. Suatu pengecualian untuk pola ini

    adalah instrument music pasien yang kesulitan mengenali benda hidup sering pula

    kesulitan memahami instrument music. Akan tetapi, pengecualian ini mungkin tidak

    terlalu kentara. Memang benar, instrument music adalah benda yang dibuat tetapi

    informasi perseptual yang detil diperlukan untuk membedakannya (pikirkan

    bagaimana anda bisa membedakan gambar gitar dan biola).

    Pada gangguan berbeda dari representasi semantic di mana tiap kata

    memiliki perbedaan leksikan atau bahkan memiliki skema dimana tiap kategori

    tersimpan di area otak yang berbeda. Jenis susunan ini tidak memrediksi apa yang

    diamati. Kelompok semantic tertentu akan tergantung secara bersamaan, misalnya

    kesulitan dalam mengenali instrument music sering disertai dengan kesulitan

    mengenali hewan. Pola kerusakan menunjukkan bahwa makna kata

    direpresentasikan oleh perpaduan informasi peseptual, informasi fungsional, dan

  • 31

    jenis informasi lain. Masalah yang dialami pasien seperti yang dibahas menunjukkan

    bahwa jaringan fungsiopnal dan informasi perseptual direpresentasikan di bagian

    otak yang berbeda. Artinya pasien dengan kesulitan yang lebih besar dalam

    mengenali benda-benda hidup diperkirakan memiliki kerusakan yang lebih besar di

    area otak yang berkaitan dengan fungsi, khususnya area motor (karena fungsi sering

    diimplementasikan melalui cara kita mengubah objek).

    Dukungan untuk hipotesis ini berasal dari penelitian neuroimaging terhadap

    partisipan normal ketika mereka mengakses representasi semantic. Dalam penelitian

    ini, partisipan melihat kata-kata dan diminta untuk memikirkan dalam hati nama

    warna yang sesuai dengan kata yang ditampilakan dalam kata (misalnya kuning

    untuk kata pisang, sehingga mengaktifkan informasi perseptual), atau kata tindakan

    (misalnya makan untuk pisang, yang mengaktifkan informasi fungsional) (Martin at

    Area di Otak yang Terlibat dalam Representasi Makna Kata

    Kerusakan di area ini memengaruhi pemahaman terhadap makna kata-kata tertentu, kadang dalam bentuk gangguan dalam kategori khusus. Pola gangguan menunjukkan bahwa kata-kata direpresentasikan dalam jaringan semantic yang mencakup berbagai jenis informasi termasuk aspek perseptual. Beberapa informasi ini juga direpresentasikan di area yang sama dengan hemisfer kanan.

  • 32

    al., 1995). Peneliti mendapati ketika pertisipan memikirkan warna maka hal ini akan

    mengaktifkan sebuah area di dekat otak yang mengendalikan gerakan. Hasil ini dan

    hasil lain menunjukkan bahwa representasi makna tersebar dalam berbagai area

    otak di jaringan yang mengkodekan berbagai aspek makna, termasuk fitur

    perseptual, fitur gerakan dan asosiasi emosional.

    1.5. Memahami kalimat

    Kalimat memberikan konteks yang dapat membayangi makna dari satu kata.

    Kalimat juga tentu saja memiliki makna. Bagian dari makna ini sebagian berasal dari

    makna kata yang terkandung dalam kalimat, sebagian dari sintaks kalimat

    hubungan antara kata tersebut dengan kata lain. manusia menggigit anjing memiliki

    arti berbeda dari anjing menggigit manusia. Tetapi tidak ada yang sederhana.

    Kalimat ini dapat diinterpretasikan dengan dua cara tergantung pada mana dari dua

    kemungkinan kalimat tersebut yang diasumsikan. Setiap struktur yang muncul

    (ditunjjukkan lewat tanda kurung) menghasilkan makna yang berbeda. Jika struktur

    kalimat mata-mata melihat (polisi dengan teropong), frase preposisi dengan

    teropongmenjelaskan di polisi yang artinya ini adalah seorang polisi yang memiliki

    teropong. Akan tetapi, jika struktur kalimatnya mata-mata melihat (polisi) dengan

    teropong maka dengan teropong menjelaskan cara melihat artinya mata-mata

    menggunakan teropong untuk membantunya melihat.

    Contoh ini menggambarakan ambiguitas structural yaitu aliran kata linear

    yang terdengar atau dibaca sejalan dengan lebih dari satu struktur sintaksis dan

    makna kalimat. Pembicara atau penulis hanya meniatkan satu struktur dan makna

    dan pendengar atau pembaca harus menemukan hal ini dengan merekonstruksinya

    dari aliran kata. Ambiguitas structural merupakan hal yang sangat lazim dalam

    tuturan dan tulisan tetapi meskipun demikian kita biasanya mencoba dengan cara

    kita sendiri untuk mengetahui interpretasi yang benar. Bagaimana kita

    melakukannya? Kegagalan yang kadang terjadi menunjukkan bagamana

    pemahaman kerja. Kegagalan ini sering menjadi dasar sebuah lelucon dimana

    humor berasal dari usaha mengelabui pendengar (atau pembaca) dalam satu

    interpretasi dari sebuah kalimat dan kemudian menimbulkan interpretasi lain yaitu

    interpretasi yang diniatkan dimiliki oleh pembaca. Comedian hebat Gruocho Marx

    merupakan pakar dalam hal ini. Salah satu leluconnya yang terkenal adalah salah

    satu ucapannya dalam film Animal Crackers : One morning I shot an elephant in my

  • 33

    pajamas. How he got in my pajamas, I dont know. Lelucon ini berhasil karena

    ambiguitas structural di kalimat pertama, ambiguitas yang sama yang ada di kalimat

    teropong di atas. Penonton awalnya menginterpretaskan kalimat pertama sebagai

    Ishot (an elephant) ini my pajamas aku menembak (seekor gajah) mengenakan

    piyama siketahui bahwa dari konteks yang ada setelahnya bahwa struktur kalimat

    adalah I shot (an elephant in my pajamas) aku menembak (seekor gajah di dalam

    piyama ku). Jenis ambiguitas ini disebut dengan garden path sentence karena

    pendengar atau pembaca awalnya dibawa ke dalam perkebunan sehingga

    memunculkan interpretasi yang salah sebelum akhirnya dapat menyadari kalimat

    dan menemukan interpretasi yang benar.

    Kalimat dalam garden path menunjukkan sifat yang sangat dasar dalam

    memahami kalimat yaitu kesegaran kita menginterpretasikan kata-kata ketika kita

    menjumpainya (Just & Carpenter, 1980). Secara prinsip, anda bisa menghindari

    ambiguitas dengan cara menunggu sampai kalimat selesai atau dengan menunggu

    kalimat lain sebelum memutuskan apa makna sari kata dan struktur kalimat yang

    benar. Dengan sara itu anda tidak akan terkejut ketika sebuah ambiguitas

    terselesaikan karena akan menunda interpretasi anda sampai anda sudah cukup

    mendengar sehingga konteks akan memecahkan ambiguitas yang timbul. Fakta

    dalam kalimat garden path mengejutkan kita menunjukkan bahwa pemahaman

    diproses segera setelah kta bisa membuat tebakan yang baik (yang tidak disadari)

    dari apa yang kita perseprikan. Ini berarti bahwa kita sering menebak interpretasi

    yang benar berdasarkan potongan informasi yang ada. Diasumsikan bahwa kita

    sering memperoleh interpretasi yang benar mengenai ambiguitas tanpa benar-benar

    menyadari makna alternative karena tebakan awal ini memang benar atau terjadi

    sangat cepat sebelum kita memiliki kesempatan untuk memperhatikan interpretasi

    alternatif lain. Kita sebelumnya mengamati fenomena ang sama dalam efek restorasi

    fonem, di mana orang-orang tidak menyadari ketika sebuah fonem digantikan oelh

    suara batuk, seperti dalam *eel pada jeruk. Konteks dari jeruk diintegrasikan

    dengan sangat cepat sehingga pendengar meyakini bahwa mereka mendengar kata

    peel (mengupas) dengan jelas. Jenis intergrasi yang cepat juga terjadi dalam

    penyelesaian ambiguitas sintaksis.

    Ketika ambiguitas dalam sinyal tuturan harus diselidiki menggunakan

    stimulus bahasa ujar, peneliti yang mengkaji resolusi ambiguitas sintaksis biasanya

    menggunakan ukuran waktu membaca untuk menguji hipotesis mereka mengenai

    bagaimana kita memperoleh interpretasi yang tepat terhadap ambiguitas. Dengan

  • 34

    menapilkan kalimat tertulis, peneliti dapat mengukur waktu bacaan di tiap kata

    (misalnya, dengan menggunakan sebuah alat yang mengukur gerakan mata

    pembaca) dan melacak di titik mana sebuah kalimat terasa sulit dipahami (mata yang

    berhenti bergerak). Mengukur kesulitan di tiap titik kalimat merupakan hal yang

    penting untuk memahami ambiguitas karena pola membaca dapat mengungkapkan

    kapan pembaca salah menginterpretasikan sebuah kalimat yang ambigu. Seperti

    yang telah kita lihat, ambiguitas structural bersifat temporer dan hanya berlangsung

    hingga munculnya bagian kalimat lain untuk membuat interpretasi yang diniatkan

    menjadi jelas. Ini biasanya terjadi dalam pemahaman terhadap bahasa. Misalnya,

    perhatikan kalimat berikut:

    1. Trish know Susan.. (struktur: ambigu)

    2. Trish know Susan from summer camp. (struktur: subjek-kata kerja-objek-

    preposisi tempat)

    3. Trish know Susan is laying. (struktur: subjek-kata kerja-(kalimat (subjek-

    kata kerja)

    Kalimat 1 berisikan ambiguitas structural yang temporer terkait dengan

    interpretasi know dan kata apapun yang muncul sesudahnya. Know dapat berarti

    mengenal dan kita bisa menginterretasikan bahwa kata yang akan muncul

    sesudahnya adalah kata benda yang menunjukkan siapa yang dikenal. Kalimat 2

    membenarkan interpretasi ini. Susan adalah objek langsung dari know dan kalimat

    ini berarti Trish mengenal Susan. Alternativenya, know dapat berarti menyadari

    kebenaran atas sesuatu, di mana kata-kata yang muncul setelah know biasanya

    keseluruhan kalimat yang diletakkan yang menyatakan kebenaran. Kalimat 3

    berjenis seperti ini dan Susan adalah seubjek yang dilekatkan dalam kalimat Susan

    is laying.

    Titik dalam kalimat di mana struktur dan interpretasi yang diniatkan terlihat

    jelas disebut dengan disambiguation region (area disambigu). Di kalimat 2 area

    disambigu adalah form summer camp. Di kalimat 3 area disambigu ada pada is

    laying. Observasi terhadap wantu membaca dalam area disambigu dapat

    mengungkapkan kesulitan dalam memahami yang disebabkan oleh ambiguitas.

    Partisipan yang membaca sebuah kalimat ambigu dan kemudian mendapati area

    disambigu yang tidak sesuai dengan interpretasi awal akan memperlambat

    kecepatan bacaan mereka di area disambigu (mata mereka menetap di area ini

    untuk waktu yang lebih lama). Di titik ini mereka menyadari bahwa mereka telah

  • 35

    dibawa ke garden path dan harus menganalisa kembali kalimat yang membutuhkan

    waktu yang lebih lama Rayner & Pollatsek, 1989).

    Hipotesis Parser menunjukkan bahwa strategi untuk menyelesaikan

    ambiguitas dalam struktur kalimat sangat berbeda dari resolusi untuk ambiguitas

    leksikal. Hanya satu srtuktur kalimat dipertimbangkan di satu waktu sementara kita

    telah melihat bukti yang kuat di bagian sebelumnya yang menunjukkan bahwa

    beberapa interpretasi yang berbeda dari kata yang ambigu akan aktif selama

    dilakukannya resolusi ambiguitas leksikal. Perbedaan berasal dari konsep yang

    berbeda mengenai leksikon dan sintaks makna kata tersimpan di leksikon tetapi

    struktur sitaksis menghasilkan sesuatu yang baru tiap kali sebuah kalimat didengar.

    Dengan demikian, mengaktifkan beberapa alternative makna kata tidaklah

    menyulitkan tetapi membangun beberapa struktur altenatif secara

    berkesinambungan merupakan sesuatu yang terlalu sulit untuk dilakukan saat kita

    berusaha memahami sebuah kalimat.

    Hipotesis alternative adalah kita menghadapi ambiguitas dalam struktur

    kalimat dengan cara yang secara dasar bersifat sama dengan cara kita menghadapi

    ambiguitas leksikal (MacDonal et al., 1994; Trueswell & Tanenhaus, 1994). Seperti

    dalam ambiguitas leksikal, efek konteks untuk memecahkan ambiguitas structural

    dalam kondisi normal akan lebih lemah dari pada informasi dari-bawah-ke-atas.

    Pandangan ini terlihat menarik karena ia menekankan pada sifat ketertarikan kata

    dan level sintaksis dalam representasi bahasa dan ia memungkinkan adanya

    karakterisasi yang konsisten dari resolusi ambigu di berbagai level yang berbeda.

    Artinya apakah ambigu itu terjadi di level sinyal tuturan, makna kata, atau struktur

    kalimat, atau beberapa kobinasi dari hal ini, system pemahaman secara tidak sadar

    akan mengintergrasikan informasi apapun untuk menginterpretasikan input yang

    paling cocok dengan bukti yang tersedia. Peneliti masih menguji dua hipotesis ini

    tetapi masih belum ada kesepakatan untuknya.

    1.6. Bahasa Figuratif

    Bahasa figuratif, dikaitkan dengan ambigu defines, adalah penggunaan satu

    kata yang memiliki maksud lain, malalui metafora atau simile. Teman anda fished

    (mengeluarkan) menu dari renselnya tetapi penggunaan kata di atas tidak berarti ia

    mengeluarkan alat pancing, memasang kail, dan membuat tindakan yang

    mencengankan di tengaj jalanan yang ramai. Instilah ini digunakan untuk

    mengartikan tindakan sesorang yang mencari sesuatu. Bahasa figurative

  • 36

    memberikan masalah lain dalam pemahaman. Kita harus memutuskan apakah

    makna literal atau makna figurative yang di maksudkan. Seperti jenis ambiguitas lain,

    bahasa figurative sering muncul dalam tuturan umum. Beberapa analisa menyatakan

    bahwa pembiara menggunakan bahasa figurative sebanyak enam kali permenit

    dalam tuturan (Pollio et al., 1977) dan bahasa figurative khususnya lazim digunakan

    untuk mendeskripsikan emosi dan konsep abstrak (Gibbs, 1994).

    Bahasa figurative mengisi tuturan kita dalam kisaran yang besar sehingga ia

    menjadi contoh lain, bukan contoh khusus, mengenai beragam makna dari kata dan

    kalimat. Meskipun demikian, di hemisfer kiri penting untuk sebagian besar aspek

    pemahaman bahasa, interpretasi bahasa figurative terlihat bergantung pada

    pemrosesan di hemisfer kanan. Pasien dengan kerusakan di hemisfer kanan sering

    kesulitan memahami bahasa figurative dan penelitian neuroimaging telah

    menunjukkan bahwa partisipan normal memiliki aktifasi yang lebih besar di hemisfer

    kanan ketika memahami metafora ketimbang ketika memahami bahasa literal (Bottini

    et al., 1994).

    Peran pati dari hemisfer kanan dalam memahami bahasa figurative belum

    dipahami dengan baik tetapi ia bisa saja berkaitan dengan interpretasi terhadap

    intonasi kalimat yaitu melodi kalimat tinggi rendahnya nada, variasi dalam

    penekanan. Perhatikan kalimat Jim adalah lelaki yang baik dengan menggunakan

    intonasi yang berada, anda bisa membuat kalimat ini menjadi sebuah pernyataan

    fakta, pernyataan, atau komentar sarkastik yang menunjukkan bahwa anda berpikir

    Jim sama sekali bukan lelaki baik. Hemisfer kanan sangat terlibat dalam

    menginterpretasikan intonasi kalimat (Buchanan et al., 2000). Hubungannya?

    Sarkasme, ironi, lelucon, dan beberapa jenis bahasa figurative lain sering

    bergantung pada intonasi. Akan tetapi, peran hemisfer kanan dalam

    menginterpretasikan bahasa figurative lain sering bergantung pada intonasi. Akan

    tetapi, peran hemisfer kanan dalam menginterpretasikan bahasa figurative tidak bisa

    bergantung sepenuhnya pada analisis intonasi karena ia memainkan peran yang

    sama dalam menginterpretasikan tuturan yang diucapkan dan ditulis (dan tidak ada

    intonasi dalam tuturan tertulis).

  • 37

    1.7. Membaca

    Ketika anda tidak bisa memahami apa yang teman anda katakana, ia

    mengeluarkan menu sehingga anda bisa melihat alamat restoran tempat ia bekerja.

    Nama restoran, The happy Bird dan gambar burung yang ada di bagian atas menu.

    Anda mengenali gambar burung itu dengan cepat dan anda membaca kata The

    Happy Bird dengan cepat juga. Proses yang sama memungkinkan anda mengenali

    burung yaitu proses pengenalan objek mencakup pengumpulan informasi

    perseptual dari gambar seperti area terang dan gelap dan lokasi sudut pandang

    untuk mengidentifikasi objek. Dengan kata lain, anda menggunakan informasi visual

    dalam gambar untuk mengaktifkan informasi semantic dalam hal ini makna seekor

    burung memakai celemek dan membawa nampan makanan. Dalam

    menginterpretasikan gambar, tujuan membaca adalah menerjemahkan informasi

    visual kata di halaman menu menjadi informasi semantic mengenai makna kata

    dan teks.

    1.8. Jalur-jalur Pembacaan

    Berpikir mengenai tugas menerjemahkan kata yang tercetak menjadi makna

    kita bisa mengacu pada model segitiga leksikon. Perhatikan bahwa ada dua ruta

    yang mungkin ditempuh dalam kata yang tercetak menuju makna. Rute pertama

    adalah ejaan !makna, rute dari ejaan kata yang dicetak menuju makna di titik atas,

    sebuah rute yang digunakan untuk mengenali objek. Di atas kedua kasus, anda

    memperoleh informasi mengenai pola terang dan gelap di halam, sudut pandang dan

    fitur lain dan mengaitkan input visual ini dengan representasi makna yang tersimpan.

  • 38

    Rute alternative adalah ejaan !fonologi !makna : kata yang tercetak pertama-

    tama dikaitkan dengan representasi fonologis (artinya ada pemetaan antara dua titik

    bawah segitiga) dank ode fonologis dikaitkan dengan makna, seperti dalam persepsi

    tuturan. Ketika anda membaca, anda mungkin memahami ada suara di kepala anda

    yang mengatakan kata yang anda baca. Efek ini muncul karena ada aktifasi kode

    fonologis dari kata yang dicetak ketika kita membacanya. Rute fonologis ini

    digunakan ketika kita menyuarakan kata yang tidak familiar ejaan diterjemahkan

    menjadi tuturan. Rute fonologis adalah basis metode phonic dalam pengajaran

    membaca. Jika anda mengingat suara kata ketika anda belajar membaca, beginilah

    cara anda diajarkan.

    Penelitian neuroimaging menghasilkan bukti gabungan untuk teori mengenai

    bagaimana orang-orang menggunakan jalur membaca yang berbeda. FMRI telah

    digunakan untuk mengkaji jumlah aktifitas otak dalam diri pembaca dari berbagai

    usia dan dengan tingkatan kemampuan membaca yang berbeda ketika mereka

    membaca jenis kata yang berbeda (Pugh et al., 2001). Penelitian ini mengindikasikan

    bahwa dua area yang berbeda di hemisfer kiri diperlukan dalam pembacaan yang

    baik. Yang pertama adalah area temporoparietal otak yang dekat dengan area yang

    diperlukan terkaik makna kata dan fonologi dan area lain adalah system

    oksipitotemporal. (lihat gambar). Peneliti menyatakan ketika kita belajar membaca,

    system temporoparietal pada awalnya mendominasi dan bertanggung jawab dalam

    pembelajaran hubungan jalur ejaan !fonologi !makna. system oksipitotemporal

    berkembang kemudian dan menjadi semakin penting seiring dengan peningkatan

    dalam kemampuan membaca. System ini mengaitkan secara langsung informasi

    visual (yaitu ejaan) dengan informasi makna. Terlalu cepat mengatakan bagamana

    area otak ini berkaitan dengan jalur ejaan !fonologi !makna seperti yang terlihat

    dalam model segitiga, teteapi penelitian FMRI menawarkan sebuah cara yang

    menarik untuk memahami sifat pemrosesan informasi yang mendasari pembacaan.

  • 39

    1.9. Teks yang Berkaitan

    Bagian utama dalam membaca adalah pengenalan pada kata-kata individual

    dan interpretasi terhadap kalimat. Akan tetapi, membaca melibatkan hal yang lebih

    dari ini jika anda ingin memahami teks-teks yang berkaitan lannya. Apa yang ada

    lihat di depan anda bukanlah sebuah kalimat melainkan kalimat-kalimat yang

    berkaitan. Bagaimana kita memahami teks?

    Hal penting pertama yang harus kita buat adalah terdapat aspek motoric

    terkait tindakan membaca. Anda menggerakkan mata melintasi halaman sehingga

    anda bisa melihat semua kata. Pergerakan mata yang berlangsung cepat, yang

    disebut saccades, berubah seiring periode di mana mata anda tidak bergererak

    ketika memperhatikan beberapa titik khusus dalam teks. Sekitar 90% waktu

    Area Otak yang Penting Untuk Membaca

    Membaca yang berarti memetakan ejaan ke fonologi dan makna tergantung pada system otak temporoparietal di mana hubungan ejaan !fonologi !makna dipelajari dan tergantung pada system oksipitotemporal yang berkembang kemudian kettika kemampuan membaca meningkat yang mengaitkan informasi visual (ejaan) dengan makna.

    (Shaywautz, B. A., Shaywitz, S. E., Pugh, K. R. et al., Disruption of posterior brain system for reading in children with developmental dyslexia. Boil Psychiatry, 2002; 52, 101-110. Dicetak kembali dengan izin dari Elsevier.)

  • 40

    membaca dihabiskan untuk memperhatikan dan anda melakukan dua atau tiga kali

    saccades di tiap detik di bagian teks yang baru.