Makalah Klmpok PBL B5 Blok 24 Kasus 10

22
Inkompabilitas ABO pada Neonatus Kelompok B5 Mangara Wahyu 102009232 Nixon Sinurat 102010308 Celine Martino 102011005 Devi Karlina 102011069 Jesica The 102011159 Kevin Giovano 102011208 Apriandy Pariury 102011299 Olivia C. Kaihatu 102011370 Krissattryo Rosarianto 102011374 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Terusan Arjuna No. 6 Jakarta Barat 11510 Pendahuluan Ikterus merupakan masalah neonatus yang umum dan sering ditemukan pada bayi baru lahir, namun dapat pula menunjukkan suatu proses patologis. 1 1

description

amazing paper.. please read and enjoy.. kkk..

Transcript of Makalah Klmpok PBL B5 Blok 24 Kasus 10

Page 1: Makalah Klmpok PBL B5 Blok 24 Kasus 10

Inkompabilitas ABO pada Neonatus

Kelompok B5

Mangara Wahyu 102009232

Nixon Sinurat 102010308

Celine Martino 102011005

Devi Karlina 102011069

Jesica The 102011159

Kevin Giovano 102011208

Apriandy Pariury 102011299

Olivia C. Kaihatu 102011370

Krissattryo Rosarianto 102011374

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Terusan Arjuna No. 6 Jakarta Barat 11510

Pendahuluan

Ikterus merupakan masalah neonatus yang umum dan sering ditemukan pada bayi

baru lahir, namun dapat pula menunjukkan suatu proses patologis.1

Ikterus merupakan sutu pertanda adanya penyakit (patologik) atau adanya gangguan

fungsional (fisiologik). Ikterus patologik apabila ikterus dengan dasar patologik atau kadar

bilirubin mencapai hiperbilirubinemia yaitu bila peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl

atau lebih setiap 24 jam atau konsentrasi bilirubin serum lebih dari 15 mg/dl pada bayi cukup

bulan dan 12 mg/dl pada bayi kurang bulan.

1

Page 2: Makalah Klmpok PBL B5 Blok 24 Kasus 10

Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir sebagian besar disebabkan oleh bilirubin

indirek yang dapat memberikan efek toksik pada otak dan dapat menimbulkan kematian atau

cacat seumur hidup.

Penyebab hiperbilirubinemia pada neonatus banyak, namun penyebab yang tersering

adalah penyakit hemolitik neonatus, antara lain karena inkompatibilitas golongan darah (Rh,

ABO), defek sel darah merah (defisiensi G6PD, sferositosis) lisis hematoma dan lain-lain.

Inkompatibilitas ABO, hiperbilirubinemia lebih menonjol dibandingkan dengan

anemia dan timbulnya pada 24 jam pertama. Reaksi hemolisis terjadi saat zat anti dari ibu

masih terdapat dalam serum bayi.

Dua puluh sampai 25% kehamilan terjadi inkompatibilitas ABO, yang berarti bahwa

serum ibu mengandung anti-A atau anti-B sedangkan eritrosit janin mengandung antigen

respective. Inkompatibilitas ABO nantinya akan menyebabkan penyakit hemolitik pada bayi

yang baru lahir dimana terdapat lebih dari 60% dari seluruh kasus.2,3

Skenario

Seorang bayi perempuan berusia 5 hari dibawa ke puskemas dengan keluhan utama

kuning sejak lahir. Ibu mengatakan bahwa bayi mulai kuning sejak 10 jam dilahirkan, bayi

dilahirkan secara normal per vaginam di bidan, aktif dan kuat menangis. Sampai saat ini, bayi

hanya menerima ASI eksklusif dan kuat menyusu, serta aktif. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan suhu 36,80C, denyut nadi 130x/menit, napas 40x/menit, sklera dan kulit ikterik (+)

hingga daerah abdomen, hepato-splenomegali (-). Menurut ibunya, golongan darahnya adalah

O dan suaminya adalah B.

Istilah Yang Tidak Diketahui

Istilah yang tidak diketahui pada kasus atau skenario ini adalah tidak ada.

Rumusan Masalah

Bayi ♀ usia 5 hari dengan keluhan utama kuning lahir.

Bayi mulai kuning sejak 10 jam dilahirkan.

Hipotesis

Bayi perempuan berusia 5 hari menderita Hemolytic Newborn Disease et causa

Inkompatibillitas ABO.

2

Page 3: Makalah Klmpok PBL B5 Blok 24 Kasus 10

Mind Mapping

Pembahasan

Anamnesis

Karena pada kasus ini pasiennya adalah seorang bayi, maka dilakukan allo-anamnesis

pada ibu pasien. Akan tetapi ada beberapa hal juga tentang ibu pasien yang akan ditanyakan

(contoh: golongan darah ibu).

Pada anamnesis hal-hal yang harus ditanyakan adalah sebagai berikut:

1. Identitas pasien

Menanyakan kepada pasien atau orang tua dari anak, meliputi: Nama lengkap pasien,

umur pasien, tanggal lahir, jenis kelamin, agama, alamat, umur (orang tua),

pendidikan dan pekerjaan (orang tua), suku bangsa.

2. Keluhan utama

Menanyakan keluhan utama pasien yaitu: bayi tampak kuning, sejak kapan?

3. Riwayat Penyakit Sekarang

3

RM

AnamnesisPemeriksaan

Fisik

Pemeriksaan Penunjang

DD

Working Diagnosis

EtiologiEpidemiologi

Patogenesis

Gejala Klinis

Penatalaksanaan

Pencegahan

Prognosis

Page 4: Makalah Klmpok PBL B5 Blok 24 Kasus 10

Pada pasien terjadi ikterus (bayi kuning), maka ditanyakan:

- Sejak kapan?

- Bagaimana riwayat kelahiran?

- Ada demam atau tidak?

- Apakah bayi sudah diberi ASI atau belum?

- Apakah sebelumnya mendapat transfusi darah?

4. Keluhan penyerta/keluhan lain

5. Riwayat penyakit dahulu (ditujukan pada ibu pasien)

Apakah pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya? Jika ya, apakah sudah berobat

ke dokter dan apa diagnosisnya serta pengobatan yang diberikan?

6. Riwayat Maternal dan Perinatal

Menanyakan berapa usia saat hamil ini dan taksiran persalinannya kapan, bagaimana

kondisi dan kebisaan selama hamil, berapa kali memeriksakan kehamilannya, adakah

penyakit yang diderita selama hamil, menanyakan hasil APGAR score, menanyakan

golongan darah orang tuanya.

7. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga

Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit kronis seperti hipertensi,

asma, diabetes melitus, penyakit menular dan penyakit lainnya selain itu juga perlu

ditanyakan apa ada keturunan kembar.

8. Riwayat Status Sosial Ekonomi

Keluarga ini termasuk berkecukupan atau tidak. Dari sini dapat diperkirakan apakah

pasien tinggal ditempat yang cukup memadai dan kondisi lingkungan rumah yang

cukup higienis.

9. Riwayat Pengobatan

Obat apa saja yang sudah diminum pasien untuk mengatasi kuning pada bayi.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik:

4

Page 5: Makalah Klmpok PBL B5 Blok 24 Kasus 10

Pada pemeriksaan daerah kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan didapatkan

konjungtiva anemis, mukosa pucat yaitu anemis, jaundice atau iketrik menandakan hemolisis,

hiperbilirubinemia, petekie, sebagai trombositopenia, glositis (peradangan lidah) tanda

anemia defisiensi zat besi, anemia defisiensi vitamin B12, limfadenopati maka limfoma.

Sistem integumen terlihat pucat, anemia, jaundice: hiperbilirubinemia, koilonisia

(kuku seperti sendok): anemia defisiensi zat besi, ekimosis dan petekie: trombositopenia.

Bagian sistem kardiovaskuler yaitu takikardia, S4: anemia berat dan gagal ginjal.

Bagian abdomen jika splenomegali tanda adanya polisitemia, limfoma. Pemeriksaan

sistem neurologi jika terjadi kehilangan sensasi getar (vibration sense) tanda adanya anemia

megaloblastik. Sistem muskuloskeletal adanya nyeri tulang/tenderness tanda terjadi mieloma

multipel.4

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan sediaan hapus darah tepi

Bila dari pemeriksaan sediaan hapus darah tepi ditemukan adanya penghancuran

eritrosit disertai dengan adanya retikulositosis dan peningkatan bilirubin indirek dari hasil

pemeriksaan laboratorium maka ini merupakan tanda adanya hemolisis. Periksa kadar darah

bilirubin indirek > 16mg/dl, sedangkan kadar hemoglobin darah tali pusat <15 gr%, kadar

bilirubin dalam serum darah tali pusat > 5 mg%.2

1. Coombs Direk

Pemeriksaan Coombs direk (antiglobulin) mendeteksi antibodi-antibodi yang lain

dari grup ABO, yang bersatu dengan sel darah. Sel darah merah dapat diperiksa dan jika

sensitif terjadi reaksi aglutinasi. Pemeriksaan Coombs’ positif menunjukkan adanya

antibodi pada sel-sel darah merah, tetapi pemeriksaan ini tidak mendeteksi antibodi yang

ada. Posistif (+1 sampai +4): Eritroblastosis fetalis, anemia hemolitik (autoimun atau

obat-obatan), reaksi hemolitik transfusi (darah inkompatibel), leukemia < SLE.1

2. Coombs Indirek (Pemeriksan skrining antibodi)

Pemeriksaan coombs’ indirek mendeteksi antibodi bebas dalam sirkulasi serum.

Pemeriksaan skrining akan memeriksa antibodi di dalam serum resipien dan donor

sebelum transfusi untuk mencegah reaksi transfusi. Ini tidak secara langsung

mengidentifikasi antibodi yang spesifik. Pemeriksaan ini dilakukan sebagai bagian dari

pemeriksaan pencocokan silang (croos-match). Positif (+1 sampai +4): darah

5

Page 6: Makalah Klmpok PBL B5 Blok 24 Kasus 10

pencocokan silang inkompatibel, antibodi yang spesifik (transfusi sebelumnya), antibodi

anti-Rh, anemia hemolitik didapat.3

3. Pemeriksaan bilirubin

Peningkatan kadar bilirubin direk menunjukkan adanya gangguan pada hati

(kerusakan sel hati) atau saluran empedu (batu atau tumor). Peningkatan kadar bilirubin

indirek sering dikaitkan dengan peningkatan destruksi eritrosit (hemolisis), seperti pada

penyakit hemolitik oleh autoimun, transfusi, atau eritroblastosis fatalis. Nilai rujukan:

- Dewasa: total: 0,1 – 1,2 mg/dl, direk: 0,1 - 0,3 mg/dl, indirek: 0,1 – 1,0 mg/dl

- Anak: total: 0,2 – 0,8 mg/dl, indirek: sama dengan dewasa.

- Bayi baru lahir: total: 1 – 12 mg/dl, indirek: sama dengan dewasa.

Diagnosis Kerja

Inkompatibilitas ABO pada neonatus

Inkompatibilitas golongan darah utama antara ibu dan janin biasanya mengakibatkan

penyakit yang lebih ringan daripada penyakit inkompatibilitas Rh. Antibodi ibu akan

dibentuk melawan sel B jika ibu adalah golongan A atau melawan sel A jika ibu adalah

golongan B. Namun, biasanya ibu adalah golongan O dan bayi adalah golongan A dan B.

Walaupun inkompatibilitas ABO terjadi 20 – 25% kehamilan, penyakit hemolitik hanya

berkembang pada 10% bayi-bayi ini, dan biasanya bayinya adalah golongan A1 yang sifatnya

lebih antigenik daripada A2. Antigenitas faktor ABO yang rendah pada janin dan bayi baru

lahir dapat menyebabkan insidens penyakit hemolitik ABO berat yang relatif rendah

dibandingkan insidens inkompatibilitas antara golongan darah ibu dan anak. Walaupun

antibodi terhadap faktor A dan B terjadi tanpa imunisasi sebelumnya (antibodi “alamiah”),

faktor-faktor ini biasanya terdapat fraksi 195 (IgM) gama globulin, dan tidak melewati

plasenta; namun, antibodi terhadap antigen A univalen inkomplit (albumin aktif) yang

terdapat pada fraksi 75 (IgG), dapat melewati plasenta, sehingga penyakit hemolitik isoimun

A-0 dapat ditemukan pada bayi pertama yang dilahirkan. Ibu yang telah menjadi imun

terhadap faktor A atau B dari kehamilan inkompatibel sebelumnya juga menunjukkan

antibodi dalam fraksi gamma globulin 7S. Antibodi “imun” ini terutama merupakan mediator

penyakit isoimun ABO.

Diagnosis dugaan didasarkan pada adanya inkompatibilitas ABO, uji Coombs direk

positif lemah sampai sedang, dan adanya sferosit pada pulasan darah, yang kadang-kadang

memberi kesan adanya sferositosis herediter. Hiperbilirubinemia sering merupakan satu-

6

Page 7: Makalah Klmpok PBL B5 Blok 24 Kasus 10

satunya kelainan laboratorium. Kadar hemoglobin biasanya normal tetapi dapat serendah 10-

12 g/dL (100-120 g/L). Retikulosit dapat naik sampai 10-15%, dengan polikromasia yang

luas dan kenaikan jumlah sel darah merah berinti. Pada 10 – 20% bayi yang terkena, kadar

serum bilirubin tak terkonjugasi dapat mencapai 20 mg/dL atau lebih jika tidak dilakukan

fototerapi.

Kriteria yang lazim digunakan untuk menegakan hemolisis neonatus akibat

inkompatibilitas ABO adalah sebagai berikut:

- Ibu memiliki golongan darah O dengan antibodi anti-A dan anti-B di dalam serumnya

sedangkan janin memiliki golongan darah A, B, atau AB.

- Ikterus dengan awitan dalam 24 jam pertama.

- Terdapat anemia, retikulositosis dan eritroblastosis dengan derajat bervariasi

- Kausa hemolisis yang lain telah disingkirkan dengan teliti.

Etiologi

Inkompatibilitas ABO disebabkan golongan darah ibu O yang secara alami

mempunyai antibodi anti-A dan anti-B pada sirkulasinya. Jika janin memiliki golongan darah

A atau B, eritoblastosis dapat terjadi karena IgG melewati plasenta.5

Epidemiologi

Inkompatibilitas ABO menurut statistik kira-kira 2% seluruh kehamilan terlihat dalam

ketidakselerasan golongan darah ABO dari 75% dari jumlah ini terdiri dari ibu golongan

darah O dan janin golongan A atau B. Mayoritas inkompatibilitas ABO 40% diderita oleh

anak pertama dan anak-anak berikutnya makin lama makin baik keadaannya.

Lebih sering terjadi pada bayi golongan B daripada A dan lebih sering pada bayi kulit

hitam daripada bayi kulit putih dengan golongan A atau B.

Patofisiologi

Inkompatibilitas ABO terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan antibodi melawan

sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin dalam beberapa

insiden dapat masuk ke dalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan fetomaternal

microtransfusion. Bila ibu, tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin,

maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun antibodi tipe IgG tersebut

dapat melewati plasenta dan kemudian masuk ke dalam peredaran darah janin sehingga sel-

7

Page 8: Makalah Klmpok PBL B5 Blok 24 Kasus 10

sel eritrosit janin diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi

dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II).4

Ibu yang golongan O secara alamiah mempunyai antibodi anti-A dan anti-B pada

sirkulasi darahnya. Jika janin mempunyai golongan darah A atau B, eritroblastosis dapat

terjadi. Sebagian besar, secara alamiah, membentuk anti-A dan anti-B berupa antibodi IgM,

yang tidak melewati plasenta dan melisiskan eritosit janin. Oleh karena itu, meskipun dapat

menyebabkan anemia penyakit hemolitik pada neonatus, namun isoimunisasi ABO tdk dpt

menyebabkan hidrops fetalis dan lebih merupakan penyakit pediatrik daripada obstetris.

Beberapa ibu juga relatif mempunyai kadar IgG anti-A atau anti B yang tinggi, yang

potensial menyebabkan eritroblastosis, karena IgG melewati plasenta. Ibu golongan darah O

mempunyai kadar IgG anti-A lebih tinggi daripada ibu golongan darah B dan kadar IgG-anti

B lebih tinggi daripada ibu golongan darah A. Dengan demikian, penyakit hampir selalu

terjadi pada ibu golongan darah O. Penyakit jarang terjadi bila itu golongan darah A dan bayi

golongan darah B. Sekitar sepertiga bayi golongan darah A atau B dari ibu golongan darah O

akan mempunyai antibodi ibu yang dapat dideteksi pada eritrositnya.

Akan terjadi anemia berlebihan dalam tubuh bayi maka tubuh mengkompensasi

dengan cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yaitu imatur yang berinti

banyak, disebut dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.

Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dam limpa

yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi eriroblas ini

melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor penting lainnya untuk

pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan terjadinya

perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi.4,6,7

Gejala Klinis

Pada beberapa kasus, penyakit hemolitik ABO tampak hiperbilirubinemia ringan

sampai sedang selama 24 – 48 jam kelahiran. Hal ini jarang muncul dengan anemia yang

signifikan. Tingginya jumlah bilirubin dapat menyebabkan kern ikterus terutama pada

neonatus preterm.

- Hidrops fetalis

Suatu sindroma ditandai edeme menyeluruh pada bayi, asites dan pleural efusi pada

saat lahir. Perubahan patologi klinik yang terjadi bervariasi, tergantung intensitas

proses. Pada kasus parah, terjadi edema subkutan dan efusi ke dalam kavum serosa

8

Page 9: Makalah Klmpok PBL B5 Blok 24 Kasus 10

(hidrops fetalis). Hemolisis yang berlebihan dan berlangsung lama akan menyebabkan

hiperplasia eritroid pada sumsum tulang, hematopoiesis ekstrameduler di dalam lien

dan hepar, pembesaran jantung dan perdarahan pulmoner. Asites dan

hepatosplenomegali yang terjadi dapat menimbulkan distosia akibat abdomen janin

yang sangat membesar. Hidrothoraks yang terjadi dapat mengganggu respirasi janin.

- Hiperbilirubin dapat menimbulkan gangguan sistem saraf pusat, khususnya ganglia

basal atau menimbulkan kernikterus. Gejala yang muncul berupa letargia, kekakuan

ekstremitas, retraksi kepala, strabismus, tangisan melengking, tidak mau menetek dan

kejang-kejang. Kematian terjadi dalam usia beberapa minggu. Pada bayi yang bertahan

hidup, secara fisik tak berdaya, tak mampu menyanggah kepala dan tak mampu duduk.

Kemampuan berjalan mengalami keterlambatan atau tak pernah dicapai. Pada kasus

yang ringan akan terjadi inkoordinasi motorik dan tuli konduktif. Anemia yang terjadi

akibat gangguan eritropoiesis dapat bertahan selama berminggu-minggu hingga

berbulan-bulan.2,5

Diagnosis Banding

Inkompatibilitas Rh

Inkompatibilitas Rh dapat disebabkan oleh isoimunisasi maternal ke antigen Rh oleh

transfusi darah Rh positif atau isoimmunisasi maternal dari paparan ke antigen Rh janin pada

kehamilan pertama atau kehamilan yang sekarang. Pada inkompabilitas Rh, anak pertama

lahir sehat karena ibu belum banyak memiliki benda-benda penangkis terhadap antigen Rh,

asalkan sebelummnya ibu tidak menderita abortus atau mendapat transfusi darah dari Rh

positif. Pasangan suami istri hanya mempunyai 1 atau 2 anak, sedangkan anak-anak

berikutnya semua meninggal.

Pada wanita Rhesus negatif melahirkan bayi pertama Rhesus positif, risiko

terbentuknya antibodi sebesar 8%, sedangkan insiden timbulnya antibodi pada kehamilan

berikutnya sebagai akibat sensitisitas pada kehamilan pertama sebesar 16%. Tertundanya

pembentukan antibodi pada kehamilan berikutnya disebabkan oleh proses sensitisasi,

diperkirakan berhubungan dengan respon imun sekunder yang timbul akibat produksi

antibodi pada kadar yang memadai. Kurang lebih 1% dari wanita akan tersensitasi selama

kehamilan terutama trimester ketiga. Kemungkinan terjadi imunisasi Rhesus diperkirakan 1-

2% dari semua kehamilan namun di Asia frekuensi ini lebih rendah. Untuk inkompatibilitas

Rhesus, predominan seks adalah perempuan.

9

Page 10: Makalah Klmpok PBL B5 Blok 24 Kasus 10

Mayoritas inkompatibilitas Rhesus terjadi pada janin dengan rhesus positif dari ibu

yang mempunyai Rh-negatif. Faktor Rhesus adalah protein, suatu antigen dalam sel darah

merah. Hadirnya faktor Rh membuat sel darah tidak cocok terhadap sel-sel darah merah yang

tidak mempunyai antigen. Jika seseorang dengan rhesus positif, berarti dia mempunyai faktor

rhesus di dalam darahnya. Sekitar 85% orang-orang mempunyai Rhesus positif dan sekitar

15% dengan darah Rhesus negatif. Faktor Rh bermasalah ketika darah dengan Rh-negatif

mengalami kontak dengan darah Rh-positif. Sistem imun dari orang dengan Rhesus negatif

mengidentifikasi darah Rhesus positif sebagai penyerang yang berbahaya, suatu antigen, dan

dapat memproduksi antibodi untuk melawa darah tersebut. Antibodi adalah substansi protein

yang dihasilkan oleh tubuh dalam merespon suatu antigen. Antibodi ini yang menyebabkan

masalah kehamilan.1,8

Penatalaksanaan

Transfusi Tukar

Tujuan transfusi tukar yang dapat dicapai:

1. Memperbaiki keadaan anemia, tetapi tidak menambah volume darah

2. Menggantikan eritrosit yang telah diselimuti oleh antibodi (coated cells) dengan

eritrosit normal (menghentikan proses hemolisis)

3. Mengurangi kadar serum bilirubin

4. Menghilangkan imun antibodi yang berasal dari ibu.

10

Page 11: Makalah Klmpok PBL B5 Blok 24 Kasus 10

Tranfusi tukar digunakan untuk menurunkan secara bermakna kadar bilirubin tidak

terkonjugasi yang meningkat yang tidak responsif terhadap terapi sinar, namun masih banyak

beda pendapat di antara para dokter mengenai kapan saatnya menerapkan strategi ini.

Rekomendasi sebelumnya untuk transfusi tukar adalah jika kadar serum > 20 mg/dL dengan

adanya hemolisis dengan ambang yang lebih rendah untuk bayi dengan berat lahir

rendah/prematur dan dengan penyakit lain.6

Foto terapi

Fototerapi harus dilakukan sebelum bilirubin mencapai konsentrasi “kritis”;

penurunan konsentrasi mungkin belum tampak selama 12 sampai 24 jam. Fototerapi harus

dilanjutkan sampai konsentrasi bilirubin serum tetap di bawah 10 mg/dL. Transfusi tukar

harus dilakukan apabila fototerapi saja terbukti tidak efektif dalam mengendalikan kadar

bilirubin serum. Karena pemakaian fototerapi bukannya tanpa resiko, modlitas ini harus

dilakukan secara konservatif disertai ketaatan terhadap petunjuknya. Penyulit yang dihadapi

dalam fototerapi mencakup diare, panas berlebihan dan dehidrasi. Dapat terjadi diskolorasi

gelap di kulit (bronze baby) akibat penimbunan fotoderivatif bilirubin yang kecoklatan dalam

darah, apabila juga terjadi hiperbilinuremia terkonjugasi. Mata bayi harus dilindungi selama

penyinaran untuk mencegah kerusakan retina.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perawatan bayi antara lain (1) Diusahakan agar

bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan membuka pakaian bayi;

(2) Kedua mata dan gonad ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya; (3) Bayi

diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak terbaik mendapatkan energi

yang optimal; (4) Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh yang

terkena cahaya dapat menyeluruh; (5) Suhu bayi dapat diukur secara berkala 4-6 jam/kali; (6)

Kadar bilirubin diperiksa setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya sekali dalam 24 jam; (7)

Hemoglobin juga harus diperiksa secara berkala terutama pada penderita dengan hemolisis;

(8) Perhatikan dehidrasi bayi dan (9) Lama terapi sinar dicatat.6

Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar bilirubin.

Fototerapi sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal.

Komplikasi

Komplikasi yang terjadi bisa ringan sampai parah. Berikut ini adalah beberapa masalah yang

dapat diakibatkan:

Selama kehamilan

11

Page 12: Makalah Klmpok PBL B5 Blok 24 Kasus 10

a. Anemia hiperbilirubinemia, ringan dan penyakit kuning

b. Anemia berat dengan pembesaran hati dan limpa

c. Hidrops fetalis

Hal ini terjadi sebagai organ bayi tidak mampu untuk menangani anemia. Jantung

mulai gagal dan sejumlah besar cairan membangun pada jaringan bayi dan organ.

Sebuah janin dengan hidrops berisiko besar yang lahir mati.5

Setelah lahir

a. Hiperbilirubinemia berat dan ikterus

b. Kernikterus

Kernikterus adalah bentuk yang paling parah hiperbilirubinemia dan hasil

penumpukan bilirubin dalam otak. Hal ini dapat menyebabkan kejang, kerusakan

otak, ketulian, dan kematian.4

Pencegahan

Pencegahan inkompabilitas ABO dapat dilakukan dengan:

- Uji antiglobulin direk atau indirek atau anti-A atau anti-B pada setiap bayi bergolongan

darah A atau B.

- Transfusi darah yang digunakan adalah golongan darah O yang rhesus negatif dan

mungkin dalam plasma golongan AB.

12

Page 13: Makalah Klmpok PBL B5 Blok 24 Kasus 10

- Tindakan terpenting untuk menurunkan insiden kelainan hemolitik adalah imunisasi

pasif pada ibu. Setiap dosis preparat imunoglobulin yang digunakan memberikan tidak

kurang dari 300 mikrogram anti-A/B.

- Suntikan anti Rhesus (D) yang diberikan pada saat persalinan bukan sebagai vaksin dan

tak membuat wanita kebal terhadap penyakit rhesus. Suntikan ini untuk membentuk

antibodi bebas, sehingga ibu akan bersih dari antibodi pada kehamilan berikutnya.

Prognosis

Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa janin mati

dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin dapat

dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih tinggi

menunjukkan kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu yang sudah

mengalami sensitisasi dalam kehamilan berikutnya dapat naik meskipun janinnya Rhesus

negatif.

Jika titer antibodi naik sampai secara klinis bermakna, pemeriksaan titer antibodi

diperlukan. Titer kritis tercapai jika didapatkan nilai 1:16 atau lebih. Jika titer dibawah 1:32,

maka prognosis janin diperkirakan baik.

a. Mortalitas

Angka mortalitas dapat diturunkan jika:

1. Ibu hamil dengan Rhesus negatif dan mengalami imunisasi dapat dideteksi

secara dini.

2. Hemolisis pada janin dari ibu golongan darah O dapat diketahui melalui kadar

bilirubin yang tinggi di dalam cairan amnion atau melalui sampling pembuluh

darah umbilikus yang diarahkan secara USG.

3. Pada kasus yang berat, janin dapat dilahirkan secara prematur sebelum

meninggal di dalam rahim atau dapat diatasi dengan transfusi intraperitoneal

atau intravaskuler langsung sel darah merah.

b. Perkembangan anak selanjutnya

Menurut Bowman, kebanyakan anak yang berhasil hidup setelah mengalami

transfusi janin akan berkembang secara normal. Dari 89 anak yang diperiksa ketika

berusia 18 bulan atau lebih, 74 anak berkembang secara normal, 4 anak abnormal

dan 11 anak mengalami gangguan tumbuh kembang.9

13

Page 14: Makalah Klmpok PBL B5 Blok 24 Kasus 10

Prognosis mengarah ke dubia ad bonam. Jika terapi perawatan bayi dilakukan dengan

pilihan yang tepat dan segera sesuai indikasi dapat menurunkan bilirubin tidak terkonjugasi

dengan signifikan dan bayi kembali normal.

Kesimpulan

Perbedaan golongan darah antar ibu dan anak dapat menyebabkan berbagai kelainan

baik bagi ibu maupun janin yang dikandungnya. Misalnya pada kasus PBL ini didapat

golongan darah ibu O sedangkan golongan darah bayi B, sehingga terjadi hemolytic of the

newborn (HDN) atau erythroblastosis fetalis yang disebabkan oleh inkompabilitas ABO.

HDN merupakan suatu penyakit darah yang terjadi apabila tipe darah ibu dan anaknya tidak

kompatibel. Jika tipe darah bayi masuk ke dalam darah ibu sewaktu di dalam kandungan atau

kelahiran, maka sistem imun ibu akan membentuk antibodi yang akan menyerang sel darah

merah bayi. Hal ini akan menyebabkan hemolisis pada eritrosit bayi. HDN biasanya terjadi

karena inkompabilitas Rhesus ataupun inkompabilitas golongan darah ABO.

Daftar Pustaka

1. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku ajar pediatri rudolph. Edisi ke-20.

Jakarta: EGC; 2007.h.1313-21.

2. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Edisi ke-2. Jakarta: Erlangga;

2005.h.81.

3. Hartanto H. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium. Edisi ke-11. Jakarta: EGC;

2004.h.271-6.

4. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Esensi pediatri nelson. Edisi ke-4. Jakarta:

EGC; 2003.h.212-14, 245-9.

5. Hoffbrand AV. Hematologi pada kehamilan dan anak. Dalam: Mahanani DA,

penyunting. Kapita selekta hematologi. Edisi ke-4. Jakarta: EGC; 2005.h.303-6.

6. Hassan R, Alatas H. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Edisi ke-4.Jakarta: FKUI;

2007.h.1095-1115.

7. Leveno KJ. Obstetri williams; panduan ringkas. Edisi ke-21. Jakarta: EGC; 2003.h.307.

8. Lissauer T, Fanaroff A. At a glance: neonatalogi. Edisi ke-2. Jakarta: Erlangga;

2009.h.96-101.

9. Wagle S. Hemolytic disease of the newborn. Edisi 12 November 2012. Diunduh dari

www.neonatology.org. 12 April 2014.

14