makalah kemuhammadiyahan lengkap

69
MEMAHAMI LATAR BELAKANG BERDIRINYA MUHAMMADIYAH A. LATAR BELAKANG Sejarah mencatat bahwa jauh sebelum Bangsa Eropa tiba di kepulauan Nusantara, Islam telah berkembang luas di wilayah ini dan bahkan bisa dikatakan sudah menjadi agama mayoritas masyarakat Nusantara. Sejak abad ke-13 di Pulau Sumatera telah berdiri kerajaan Islam yaitu kerajaan Samudra Pasai, disusul kerajaan Aceh Darussalam, sehingga pada awal abad ke-15 Islam telah mampu menguasai wilayah Malaka (pusat perdagangan Asia Tenggara). Pada bulan April tahun 1595, empat armada kapal Belanda di bawah komando Corniles De Houtman berlayar menuju kepulauan Melayu,[1] dan tiba di Jawa Barat (pelabuhan Banten) pada bulan Juni 1596. Adapun tujuan mereka datang ke Indonesia ialah untuk mengembangkan usaha perdagangan, yaitu mencari rempah-rempah yang kemudian akan dijual di negara mereka. Keberhasilan orang Belanda di bawah perintah De Houtman membuat orang Belanda makin tertarik untuk mengembangkan dagangannya di Indonesia, maka pada tahun 1598 angkatan kedua di bawah pimpinan Van Nede Van Haskerck dan Van Warwisk datang ke Indonesia. Kedatangan Belanda yang bertepatan dengan melemahnya pertahanan maritim dari kesultanan-kesultanan Indonesia yang diakibatkan banyaknya peperangan yang dilakukan oleh kesultanan Indonesia dalam usahanya menutup lautan Indonesia 1

Transcript of makalah kemuhammadiyahan lengkap

MEMAHAMI LATAR BELAKANG BERDIRINYA MUHAMMADIYAH

A. LATAR BELAKANG

Sejarah mencatat bahwa jauh sebelum Bangsa Eropa tiba di kepulauan

Nusantara, Islam telah berkembang luas di wilayah ini dan bahkan bisa dikatakan sudah

menjadi agama mayoritas masyarakat Nusantara. Sejak abad ke-13 di Pulau Sumatera telah

berdiri kerajaan Islam  yaitu kerajaan Samudra Pasai, disusul kerajaan Aceh Darussalam,

sehingga pada awal abad ke-15 Islam telah mampu menguasai wilayah Malaka (pusat

perdagangan Asia Tenggara).

Pada bulan April tahun 1595, empat armada kapal  Belanda di bawah komando

Corniles De Houtman  berlayar menuju kepulauan Melayu,[1] dan tiba di Jawa Barat

(pelabuhan Banten) pada bulan Juni 1596.  Adapun tujuan mereka datang ke Indonesia

ialah untuk mengembangkan usaha perdagangan, yaitu mencari rempah-rempah yang

kemudian akan dijual di negara mereka. Keberhasilan orang Belanda di bawah perintah De

Houtman membuat orang Belanda makin tertarik untuk mengembangkan dagangannya di

Indonesia, maka pada tahun 1598 angkatan kedua di bawah pimpinan Van Nede Van

Haskerck dan Van Warwisk datang ke Indonesia.

Kedatangan Belanda yang bertepatan dengan melemahnya pertahanan maritim dari

kesultanan-kesultanan Indonesia yang diakibatkan banyaknya peperangan yang dilakukan

oleh kesultanan Indonesia dalam usahanya menutup lautan Indonesia dari perluasan

wilayah imperialis Portugis, menjadikan Belanda lebih mudah menguasai perdagangan di

Indonesia, sehingga pada tahun 1599 armada Belanda kembali datang ke Indonesia di

bawah pimpinan van der Hagen dan pada tahun 1600 di bawah pimpinan van Neck.

Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8

Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis,

kemudian dikenal dengan KHA Dahlan. Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton

Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam

pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat

mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang

sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian

keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.

1

2

Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya

mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat

mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar

kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk

mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini

Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.

Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga

memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut “Sidratul

Muntaha”. Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam

hari untuk anak-anak yang telah dewasa.

KH Ahmad Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922

dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat

tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian

memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian

berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah

menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.

B. PEMBAHASAN

1. Kepribadian, Intelektualitas dan Religiositas KH. Ahmad Dahlan

a. Kepribadian

K.H.Ahmad Dahlan adalah seorang tokoh pembaharu dan pendiri

persyarikatan Muhammadiyah pada tahun 1912 M/1330 H di Kauman Yogyakarta.

Gerakannya adalah memperbaiki arah kiblat masjid, Melakukan dakwah amar

ma’ruf nahi munkar, memberantas bid’ah, takhayul dan khurafat. Mendirikan

pesantren sebagai tempat mendidik para santri. Cita-cita yang digagas K.H.Ahmad

Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai ulama

intelek atau intelek ulama, yaitu seorang muslim yang memiliki keteguhan iman dan

ilmu yang luas, kuat jasmani dan ruhani melalui dua tindakan sekaligus, yaitu

memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan

sekolah-sekolah sendiri dimana agama dan pengetahuan umum bersama-sama

diajarkan.

3

Sekolah-sekolah dan madrasah yang didirikan oleh K.H.Ahmad Dahlan dan

persyarikatan Muhammadiyah sampai saat ini telah berjumlah 5701 buah mulai dari

tingkat sekolah dasar/madrasah Ibtidiyah sampai perguruan tinggi. Dilihat dari segi

kepribadiannya, K.H.Ahmad Dahlan termasuk seorang ulama dan da’i yang

memiliki komitmen pada cita-cita kemajuan bangsa (khususnya umat Islam) dan

Negara Republik Indonesia, dengan berdasarkan pada upaya mewujudkan cita-cita

ajaran Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam. (Nugraha,2009)

K.H.Ahmad Dahlan adalah pribadi yang bertanggung jawab pada keluarga.

Dia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dalam bisnis

batik. Sebagai orang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai

gagasan-gagasan cemerlang, Ahmad Dahlan juga dengan mudah diterima dan

dihormati di tengah-tengah masyarakat. Hasilnya, dia cepat mendapatkan tempat di

organisasi Jam’iyatul Khair, Boedi Oetomo, Sarekat Islam, dan Comite Pembela

Kanjeng Nabi Muhammad saw.(Suja,1989)

Menurut Suja ,1989 Kyai Ahmad Dahlan merupakan tokoh yang sangat

legendaris karena dia adalah pendiri organisasi Muhammadiyah dan salah satu

tokoh yang mmapu melahirkan generasi produktif dan berdaya kreatif. Kyai Ahmad

Dahlan merupakan aset budaya bangsa, karena kemampuannya mencerdaskan anak

bangsa dan dia juga salah satu ulama yang mampu mengelola sebuah perkumpulan.

berikut ini sisi lain dari kepribadian Kyai Ahmad Dahlan;

1. Kemampuan menyampaikan pesan dari inti surat al-Maun mengelolah

masyarakat agar peduli dengan kemiskinan, kesengsaraan, kesejahteraan dan

kesehatan.

2. Muslim toleran tapi tegas dan santun tapi cerdas

3. Orang sabar dan ikhlas, ini terbukti ketika mushallahnya dirobohkan

4. Kyai Dahlan sangat menghargai perbedaan pendapat

5. Istiqomah melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruh Islam di tanah air

tanpa memaksa orang yang berbeda pendapat untuk mengikutinya.

b. Intelektualitas dan Religiositas

4

Secara formal K.H. Ahmad Dahlan bisa dikatakan tidak pernah memperoleh

pendidikan. Pengetahuannya sebagaimana diperoleh dari otodidaknya. Sementara

kemampuan dasar baca tulis ia peroleh dari ayahnya sendiri, sahabat dan saudara

iparnya. Namun demikian, menjelang dewasa, K.H. Ahmad Dahlan belajar ilmu

Fiqih kepada Kyai Haji Mahmud Saleh, dan ilmu Nahu kepada Kyai Haki Muhsin.

Seorang gurunya yang lain adalah Kyai Haji Abdul Hamid. Pengetahuan Kyai

dalam ilmu Falaq, diperoleh dari gurunyayaitu Kyai Haji Raden Dahlan salah

seorang ptra Kyai Termas. Selanjutnya ilmu Hadist  dipelajarinya dari Kyai Mahfud

dan Syech Khyyat. (Mulkhan, 1990)

Disamping pengetahuannya di atas, Kyai Dahlan belajar qiro'atul qur'an pada

Syech Amin dan Sayid Bakri Satock. Selanjutnya Kyai juga belajar ilmu

pengobatan dan racun binatang dari Syech Hasan. Sangatlah banyak orang cerdik

pandai pada masa itu yang dijadikan Kyai sebagai guru. Mereka itu antara lain

adalah R. Ng. Sosro Soegondo, R. Wedana Dwijosewojo dan Syech M Yamin

Jambek dari Bukittinggi.

Pengetahuan K.H. Ahmad Dahlan yang luas dan mencakup berbagai disiplin

ilmu, menjaadikan K.H. Ahmad Dahlan tumbuh sebagai orang yang arif dan tajam

pemikirannya serta memiliki pandangan yang jauh ke depan.

Rasa ingin tahu yang besar, mendorong Kyai memamfaatkan setiap

kesempatan untuk belajar. Demikian pula ketika ia naik haji  ketika dewasa berusia

22 tahun yaitu pada tahun 1890, waktu yang ada digunakannya untuk belajar pada

Imam Syafi'I Sayyid Bakir Syantha selama sekitar 2 tahun. Demikian pula ketika

beliau sempat naik haji 13 tahun kemudian (1903) bersama putranya Siraj Dahlan

yang berusia 13 tahun. Kyai kemudian selama 1,5 tahun bermukim di Mekkah untuk

memperdalam ilmu Fiqih dan ilmu Hadist.

Disamping itu cintanya akan ilmu ditunjukkan oleh peristiwa yang terjadi

pada tahun 1892. Pada tahun tersebut seseorang memberi uang sebesar 500 gulden

dengan maksud untuk modal berniaga, namun demikian, uang yang mestinya untuk

modal kerja itu beliau belikan buku-buku dan kitab.

Sebagaimana pernah disebut, dalam ilmu Fiqih, beliau berguru kepada Kyai

Mahfud Termas, dan ilmu Hadist kepada Sayyid Baabussijjil dan Mufti Syafi'i,

5

selain Kyai belajar kepada guru-guru tersebut, Kyai juga mempelajari dan

memperdalam ilmu Falaq dan Qiro'ah pada gurunya Kyai asy'ari Baceyan dan

Syech Ali Mishri Makkah.

Pada saat Kyai mukim yang kedua di Mekkah pada tahun 1896 pada saat

menjabat khatib , beliau bertemu dan bertukar pikiran dengan ulama Indonesia yang

bermukim di Mekkah, seperti : Syech  Muhammad Khatib dari Minangkabau, Kyai

Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, Kyai Faqih Kumambang

dari Gresik.

Buku yang banyak dibaca disamping ketekunannya berguru telah

memperkaya pengetahuan Kyai dalam berrbagai hal. Buku yang Kyai baca antara

lain ilmu kalam dari buku Ahlus Sunnah Wal Jamma'ah yang mengandung

pemikiran filosofis, buku fiqihnya Imam syafi'I, kitab tasaufnya imam Al-Ghazali,

dan kitab-kitab yang ditulis oleh Syech Muhammad Abduh dan Ibnu Tamiyah.

Semboyan pendidikan yang dikembangkan Kiai Ahmad Dahlan “jadilah

guru sekaligus murid”ternyata mampu menggerakkan pengikut Muhammadiyah

sehingga gerakan ini berkembang cepat dan meluas ke seluruh lapisan

masyarakat.dengan menjadi guru, pengikut Muhammadiyah bertugas menyebarkan

gagasan perbaikan hidup berdasar islam kepada semua orang dan kelompok orang.

Sementara dengan menjadi murid, pengikut Muhammadiyah harus membuka diri

belajar kepada siapa dan dimanapun untuk menambah ilmu.

            Dengan semboyan 'jadilah guru sekaligus murid' masyarakat digerakkan untuk

saling belajar dan terbuka terhadap dunia luar. Karena itu semua kegiatannya

disebut “amal-usaha” yang mengandung arti sebagai ikhtiar (usaha) sehingga semua

kegiatan rital islam berfungsi langsung bagi perbaikan hidup warga masyarakat

(Alfian, 1989; Mulkhan, 1990;2000)

Usaha dan Jasa-Jasa Besar K.H. Ahmad Dahlan Di antara jasa-jasa besar

KH. Ahmad Dahlan dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Mengubah dan membetulkan arah kiblat yang tidak tepat menurut semestinya.

Umumnya Masjid-masjid dan langgar-langgar di Yogyakarta menghadap

ke timur dan orang-orang shalat menghadap ke arah barat lurus. Pada hal kiblat

6

yang sebenarnya menuju Ka’bah dari tanah Jawa miring ke utara kurang lebih

24 derajat dari sebelah barat. Berdasarkan ilmu pengetahuan tentang ilmu falaq

itu, orang tidak boleh menghadap kiblat menuju barat lurus, melainkan harus

miring ke utara 24 derajat. Oleh sebab itu K.H. Ahmad Dahlan mengubah

bangunan pesantrennya sendiri, supaya menuju kearah kiblat yang betul.

Perubahan yang diadakan oleh K.H. Ahmad Dahlan itu mendapat tantangan

keras dari pembesar-pembesar masjid dan kekuasaan kerajaan (Abuddin Nata,

2004: 106-107).

2. Mengajarkan dan menyiarkan agama Islam dengan popular, bukan saja di

pesantren, melainkan ia pergi ke tempat-tempat lain dan mendatangi berbagai

golongan. Bahkan dapat dikatakan bahwa K.H. Ahmad Dahlan adalah bapak

muballigh Islam di Jawa Tengah, sebagaimana Syekh M. Jamil Jambek sebagai

bapak muballigh di Sumatera Tengah.

3. Memberantas bid’ah-bid’ah dan khurafat serta adat istiadat yang bertentangan

dengan ajaran agama Islam.

4. Mendirikan perkumpulan/persyarikatan Muhammadiyah pada tahun 1912 M yang

tersebar di seluruh Indonesia sampai sekarang.

Pada permulaan berdirinya, Muhammadiyah mendapat halangan dan

rintangan yang sangat hebatnya, bahkan K.H.Ahmad Dahlan dikatakan telah

keluar dari mazhab, meninggalkan ahli sunnah wal jama’ah. Bermacam-macam

tuduhan dan fitnahan yang dilemparkan kepadanya, tetapi semuanya itu

diterimanya dengan sabar dan tawakal, sehingga Muhammadiyah menjadi satu

perkumpulan yang terbesar di Indonesia serta berjasa kepada rakyat dengan

mendirikan sekolah-sekolah, sejak dari taman kanak-kanak hingga perguruan

tinggi.

Pada umur 15 tahun, Kyai pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima

tahun. Pada periode ini, Muhammad Darwisy mulai berinteraksi dengan pemikiran-

pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid

Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia

berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.

7

Pada tahun 1903, Kyai bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua

tahun. Pada masa ini, Kyai sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga

guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, Kyai mendirikan

Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.

K.H.Ahmad Dahlan menggerakkan pengikutnya bersama masyarakat sekitar

untuk membentuk kelompok-kelompok yang disebut gerakan jamaah dan dakwah

jamaah. Kegiatan utama dari jamaah ini ialah melakukan pendidikan bagi dirinya

sendiri sekaligus mencukupi kebutuhan sendri dengan menggerakkan pengelolaan

zakat, zakat fitrah, infak dan sodaqoh melalui apa yang disebut dengan pengajian.

Dimasa kiai haji ahmad dahlan kegiatan inilah yang disebut pendidikan desa dengan

guru keliling.dikemudian hari, kegiatan semacam ini dikenal dengan tabligh atau

pengajian, selanjutnya menjadi tradisi pemeluk islam terutama yang tergolong kaum

santri (Hefner,2008).

Selain hari jum'at dan pengajian rutin, dihari besar-besar islam, seperti

maulid atau kelahiran nabi, isra'-mi'raj, hijrah, puasa ramadhan, bulan haji,

diselenggarakan pengajian dengan peserta yang lebih besar dari kelompok jamaah. 

Muhammadiyah menggerakkan seluruh pemeluk islam (pria-wanita) keluar ke

tempat-tempat terbuka di dua hari raya (Fitrah dan Haji) untuk menunaikan shalat

hari raya.tujuannya adalah untuk mengembirakan umat islam sebagai kesatuan

kolektif dalam menjalankan ibadah, selain menganjurkan tidak melakukan

pemborosan dalam berhari raya dengan membeli pakaian baru dan membuat jajanan

yang kurang perlu. Sebaliknya gerakan ini menggerakkan masyarakat untuk

membayar zakat fitrah bagi yang memiliki sisa makanan dan menyembeli korban

(jika perlu secara berjamaah). Zakat fitrah dan daging korban yang dikelola oleh

lembaga amil (panitia) kemudian dibagikan pada fakir-miskin. Seluruh pemeluk

islam tidak penting apakah pengikut Muhammadiyah atau bukan, kini terbiasa

membentuk panitia zakat fitrah dan korban kemudian membagi-bagikannya kepada

fakir-miskin (Mulkhan, 1990).

Beberapa bulan setelah menikah, Ahmad Dahlan berangkat ke Mekah untuk

berhaji karena desakan orang tuanya. Di Mekah Ahmad Dahlan menambah

pengetahuan yang lebih luas dan mendalam, karena Mekah adalah tempat lahirnya

8

agama Islam dan memiliki riwayat perjuangan agama sejak masa Nabi Ibrahim

hingga Nabi Muhammad saw. Ahmad Dahlan memperdalam Qira’at, Fiqih,

Tasawuf, Ilmu Mantik, Ilmu Falaq, Aqidah, dan Tafsir. Kemudian mulai

berinteraksi dengan pemikiran para pembaru Islam seperti Muhammad Abduh,

Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah (Dody

S.Truna dan Ismatu Ropi, 2002: 254).

2. Realitas Sosio Agama di Indonesia ketika itu

1. Realitas Keberadaan Umat Muslim di Indonesia

Islam adalah agama yang di turunkan Allah SWT untuk umat manusia yang

mempunyai tujuan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat islam memuat

ketetapan ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya baik berupa larangan maupun

suruhan meliputi seluruh aspek hidup manusia (Ali, 2000 : 41)

Realitas yang di maksud di sini adalah segala yang ada di sekitar kehidupan

manusia dan mempunyai pengaruh baik positif maupun negative (al-Qaradhawi,

1997 : 292 ). Pergeseran zaman yang cepat di barengi dengan bergesernya pula anak

zamannya, sehingga hal hal yang berlaku pada zaman terdahulu cendurung berubah

dan di tinggalkan dan di anggap sudah kadaluarsa. Dengan demikian hukum hukum

islam yang bersandarkan pada realitasa masalalu juga mengalami pergeseran

sehingga hal itu menuntut ada nya hukum baru yang bergerak seiring perjalanan

sejarah kehidupan.

Pendidikan Islam dan eksistensinya sebagai komponen pembangunan

bangsa, khususnya di Indonesia, memainkan peran yang sangat besar dan ini

berlangsung sejak jauh sebelum kemerdekaan Bangsa Indonesia. Hal ini dapat

dilihat praktik pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam melalui

lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti majelis taklim. Forum pengajian,

surau, masjid dan pesantren-pesantren yang berkembang subur dan eksis hingga

sekarang. Bahkan setelah kemerdekaan penyelenggaraan pendidikan Islam semakin

memperoleh pengakuan dan payung yuridisnya dengan adanya berbagai produk

perundang-undangan tentang pendidikan nasional.

9

Di Indonesia hidup dan berkembang agama-agama besar dunia. Agama

Islam berkembang dengan merata di Nusantara sebagai panutan mayoritas rakyat

Indonesia. Agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan, datang secara lebih

terorganisasi yang sekaligus memperkenalkan sistem organisasi modern kepada

masyarakat Indonesia. Agama Hindu yang pertama kali datang memperkenalkan

kehidupan berpemerintahan melalui sistem kerajaan yang melampaui batas-batas

lokal. Agama Budha meninggalkan berbagai warisan monumental antara lain candi

Borobudur dan lainnya. Kedatangan orang-orang Cina juga membawa agama Kong

Hu Cu, yang dianut oleh masyarakat Tionghoa maupun penduduk lokal. Tidak

sebatas agama-agama besar yang berasal dari luar saja, masih ada juga agama-

agama asli/suku yang berkembang seiring dengan perkembangan agama-agama

besar, walaupun tidak sehebat perkembangan agama-agama besar.

Semua hal yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa betapa pluralisme

merupakan tantangan bersama.

Oleh karena pluralisme merupakan sebuah fakta, dengan demikian tantangan

yang dihadapi oleh masyarakat harus dihadapi secara bersama pula. Dan untuk

menghadapi tantangan bersama itu, maka yang dibutuhkan adalah prinsip untuk

saling menghargai, bahkan prinsip untuk selalu membangun hubungan (dialog)

dengan orang lain. Dengan demikian, jika pluralisme adalah adanya hubungan

saling bergantung antar berbagai hal yang berbeda, maka dalam pluralisme

mengharuskan adanya dialog antar berbagai komponen masyarakat, entah itu

agama, budaya dan sebagainya. Di dalamnya, keutuhan dan kebersamaan dijadikan

sebagai acuan dalam membangun sebuah hubungan yang saling bergantung itu.

Ketergantungan itu adalah prinsip hidup saling menghargai, tanpa harus melihat

latar belakang apapun; saling menghargai perbedaan dan bukannya saling

menyerang.

Tanggung Jawab Sosial Umat Islam

Bentuk tanggung jawab sosial ummat islam meliputi berbagai aspek

kehidupan di antaranya adalah:

1. Menjalin silaturahmi dengan tetangga.

2. Memberi bantuan kepada masyarakat bila ada yang memerlukan bantuan,

10

Sebagai amar ma’ruf nahi mungkar, Amar ma’ruf dan nahi mungkar

artinya memerintahkan orang lain untuk berbuat baik dan mencegah perbuatan

jahat. Bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar yang bersistem diantaranya adalah:

Mendirikkan mesjid, Menyelenggarkan pengajian, dll

2. Realitas Umat Non Muslim Di Indonesia

Hubungan antar umat berbeda agama merupakan hal yang paling peka di

antara segala hubungan sosial antar kelompok manusia di dalam masyarakat.

Sedangkan Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan

masyarakat.

Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam,

Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)”.

1. Islam. Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia,

dengan 88% dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam. Mayoritas

Muslim dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia seperti di Jawa dan Sumatera.

Masuknya agama islam ke Indonesia melalui perdagangan.

2. Hindu : Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama

Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian

menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan

Majapahit.

3. Budha : Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar

abad keenam masehi. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan

sejarah Hindu.

4. Kristen Katolik : Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada

bagian pertama abad ketujuh di Sumatera Utara. Dan pada abad ke-14 dan ke-15

telah ada umat Katolik di Sumatera Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat

kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian diikuti bangsa Spanyol yang

berdagang rempah-rempah.

5. Kristen Protestan : Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa

kolonial Belanda (VOC), pada sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang

mengutuk paham Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut

11

paham Protestan di Indonesia.Agama ini berkembang dengan sangat pesat di abad

ke-20, yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eopa ke beberapa

wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan

Sunda.

6. Konghucu : Agama Konghucu berasal dari Cina daratan dan yang dibawa oleh

para pedagang Tionghoa dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi,

orang Tionghoa tiba di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama yang lain,

Konghucu lebih menitik beratkan pada kepercayaan dan praktik yang individual. 

Melihat realita ganda agama-agama dalam masyarakat , yang menjadi

objek pengamatan dalam tulisan ini adalah sekelompok masyarakat yang tinggal di

Jalan Baru.Dalam kehidupan masyarakat ini , ada beberapa agama yang dianut

yakni Kristen Katolik , Kristen Protestan , Islam , dan Hindu.Melihat kenyataan

kehidupan dalam berbagai agama yang dianut , masyarakat ini kurang menunjukkan

kekompakan dalam kehidupan kebersamaannya.

Masyarakat ini terkesan hidup secara individual. Kecuali ada beberapa

saja yang masih memperlihatkan kebersamaannya. Sebagai umat yang beragama ,

seharusnya kita dengan keragaman agama harus saling menunjukkan kekompakkan

dan keharmonisan dalam kehidupan ini karena kita semua adalah sama di mata

Tuhan.

3. Realitas Sosio Kultural dan Pendidikan Masyarakat

Sebelum Islam datang, terlebih dahulu di Indonesia sudah bercorak Agama

Hindu dan Budha yang cukup berpengaruh dalam mewarnai keruhanian penduduk

Indonesia. Kehidupan keagamaan yang tampak ketika itu ialah sinkretisme, yaitu

campuran antara kepercayaan tradisional yang telah menjelma menjdi adat kebiasaan

yang yang bersifat agamis dengan bentuk mistik yang dijiwai oleh Agama Hindu atau

Budha.

12

Kemudian Islam datang pada abad VII atau VIII Masehi, maka sinkretisme itu

bertambah dengan unsur Islam. Inilah faktor internal yang melatar belakangi berdirinya

Muhammadiyah. 

Sebelum Muhammadiyah berdiri, pendidikan di Indonesia terpecah menjadi

dua yaitu pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan ajaran-ajaran agama dan

pendidikan Barat. Kondisi ini menjadi jurang pemisah antara golongan yang mendapat

pendidikan agama dengan golongan yang mendapatkan pendidikan sekuler.

Kesenjangan ini termanifestasi dalam bentuk berbusana, berbicara, hidup dan berpikir.

Ahmad Dahlan mengkaji secara mendalam dua sistem pendidikan yang sangat kontras

ini. 

Dualisme sistem pendidikan diatas membuat prihatin Ahmad Dahlan, oleh

karena itu cita-cita pendidikan Ahmad Dahlan ialah melahirkan manusia yang

berpandangan luas dan memiliki pengetahuan umum, sekaligus yang bersedia untuk

kemajuan masyarakatnya. Cita-cita ini dilakukan dengan mendirikan lembaga

pendidikan dengan kurikulum yang menggabungkan antara Imtak dan Iptek. 

Pendidikan pesantren mengajarkan studi islam tradisional seperti ilmu kalam,

ilmu fikih, tasawuf, bahasa arab, ilmu hadist, ilmu tafsir. Menurut Ahmad Dahlan ada

masalah yang mendasar yang berkaitan dengan lembaga pendidikan di kalangan umat

islam, khususnya lembaga pendidikan pesantren. Masalah itu berkaitan dengan proses

belajar mengajar, kurikulum dan materi pendidikan. Pada sistem belajar mengajar,

guru dianggap sebagai sumber kebenaran yang tidak boleh dikritisi. Dengan keadaan

seperti ini membuat sistem belajar mengajar tidak demokratis. Ahmad Dahlan

mempunyai pandangan bahwa tidak hanya ilmu – ilmu islam klasik saja yang harus

dipelajari, ilmu modern juga perlu dipelajari meskipun tidak wajib.

Disebut pendidikan Barat karena hanya mengajarkan ilmu – ilmu yang

diajarkan di dunia Barat. Metode pengajarannya sudah menggunakan metode yang

modern. Pendidikan Barat ini tidak mengajarkan ilmu – ilmu yang diajarkan di

pesantren. Pendidikan Belanda dikelola pemerintah kolonial di Jawa. Pemerintah

kolonial Belanda mendirikan pendidikan sekolah umum pertama di Batavia tahun 1617

namun khusus untuk anak – anak Belanda. Sedangkan untuk anak – anak orang Jawa

1849. Orang jawa yang ingin masuk ke sekolah tersebut diberi persyaratan antara lain :

13

1. Latar belakang keluarga calon murid

2. Status sosial orang tua murid dalam masyarakat

3. Keadaan lingkungan keluarga calon murid

4. Keadaan lingkungan keluarga calon murid

5. Uang sekolah dan penguasaan bahasa Belanda

Sekolah – sekolah yang didirikan oleh kolonial Belanda diselenggarakan sangat

sekuler dalam arti pelajaran agama atau semangat agama tidak diberikan. Sekolah –

sekolah ini melahirkan golongan baru yang disebut golongan intelek. Golongan ini

uumumnya berpandangan negatif terhadap islam, dan alam pikirannya tercabut dari

bangsanya sendiri.

Pada awal abad ke 20 M dikalangan muslim Indonesia terpelajar mulai muncul

kesadaran baru untuk mengatasi kondisi pendidikan islam di Indonesia yang

mengalami keterbelakangan akibat tidak mampu bersaing dengan lembaga pendidikan

yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang mencetak tenaga kerja

terampil tetapi mengabaikan pendidikan moral peserta didik. Oleh karena itu, mereka

mengupayakan mendirikan lembaga pendidikan islam yang bercorak modern.

Salah satu lembaga pendidikan islam yang bercorak modern adalah lembaga

islam Muhammadiyah. Lembaga ini didirikan oleh Ahmad Dahlan dengan tujuan

mencerdaskan umat islam melalui pendidikan. Karena Ahmad Dahlan termasuk

anggota organisasi Budi Utomo maka sebelum mendirikan lembaga pendidikan islam

Muhammadiyah, beliau meminta restu kepada Budi Utomo. Setelah itu, beliau

membuka sekolah agama di rumahnya dengan nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah

Islamiah.

Awal lembaga pendidikan islam ini berdiri hanya memiliki delapan orang

murid. Karena penyampaian materi dari Ahmad Dahlan yang menarik, setiap bulan

muridnya bertambah tiga orang. Melihat kemajuan pendidikan lembaga tersebut maka

Budi Utomo memberikan bantuan berupa pengajar dan mulai saat itu ridak hanya ilmu

agama tetapi ilmu pengetahuan pun diajarkan. Lembaga ini diresmikan pada tanggal 1

Desember 1991.

Melihat perkembangan lembaga pendidikan islam Muhammadiyah yang sangat

baik, banyak yang menyarankan agar Ahmad Dahlan mendirikan suatu organisasi yang

14

kelak akan menjadi penerus setelah Ahmad Dahlan tiada. Setelah direnungkan dan

mendapatkan orang-orang yang siap membantu, maka pada tanggal 18 Dzulhijah 1331

H atau 18 Desember 1912 M didirikanlah oraganisasi yang bernama Muhammadiyah

oleh Ahmad Dahlan.

Dalam usaha mendapatkan pengakuan kepala pemerintah sebagai badan

hukum, pada tanggal 20 Desember 1912, Muhammadiyah dibantu oleh Budi Utomo

mengajukan surat permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar

Muhammadiyah diberi izin resmi dan diakui sebagai suatu badan hukum. Untuk itu

Gubernur Jenderal mengirimkan surat permintaan pertimbangan kepada Direktur Van

Justitie, Adviseur Voor Inlandsche Zaken, Residen Yogyakarta dan Sri Sultan

Hamengku Buwono VI.

Setelah melalui proses yang cukup lama, akhirnya pemerintah Hindia Belanda

mengakui Muhammadiyah sebagai badan hukum yang tertua dalam Gouvernement

Besluit tanggal 22 Agustus 1914, Nomor 81, beserta lampiran statutennya dan berlaku

mulai 22/23 Januari 1915.

4. Realitas Polotik dan Sosial Muslim Hindia Belanda

a. Kondisi Politik

Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan puncak abad imperealisme

yang ditandai dengan masa keemasan bagi bangsa-bangsa yang bernafsu membentuk

kekaisaran. Pada masa itu kekuasaan Prancis dan Inggris sudah mulai mengancam

wilayah Afrika dan Asia. Mereka menguasai daerah tersebut untuk dijadikan sebuah

wilayah kekuasaan Eropa. Belanda di Indonesia sudah memulai politik ekspansinya

jauh sebelum itu.

Memasuki abad ke-19, VOC dibubarkan dan Indonesia berada di bawah

pemerintahan Kerajaan Belanda. Meskipun gagal dalam perdangan, perusahaan dagang

Belanda ini berhasil dalam bidang politik. Semua Negara kesultanan, kecuali Aceh,

telah jatuh dalam pengaruh kolonial Belanda. Berbeda dengan pendahulunya, VOC

yang telah menguasai berbagai sumber dan pusat perdagangan telah mendorong

pemerintah Belanda untuk menguasai secara politis, menjajah wilayah yang telah

15

dikuasainya secara ekononomis untuk dijadikan sebagai bagian wilayah Belanda, Pax

Neerlandica.

Di Indonesia, Belanda menghadapi kenyataan bahwa sebagian besar penduduk

yang dijajahnya di kepulauan Nusantara ini adalah beragama Islam. Belanda pada

waktu itu belum mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai Islam, sehingga mula-

mula tidak berani mencampuri masalah agama ini secara langsung. Belanda khawatir

akan timbulnya pemberontakan orang-orang Islam fanatic, sementara di pihak lain

Belanda yakin bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera menyelesaikan semua

persoalan. Pemerintah Belanda belum berani mencampuri masalah Islam dan juga

belum mempunyai kebijakan yang jelas mengenai masalah ini. Keengganan

mencampuri masalah Islam ini tercermin dalam undang-undang Hindia Belanda ayat

119 RR (Regeerig Reglemet / Peraturan Pemerintah) yang berisi mengenai kebebasan

dalam menganut agama dan perlindungan terhadap masyarakat.

Kebijakan untuk tidak mencampuri agama ini tampak tidak konsisten sebab

tidak ada peraturan yang jelas mengenai persoalaan ini. Dalam masalah haji,

pemerintah kolonial ikut campur tangan, para haji sering dicurigai dan dianggap fanatic

serta sering memberontak terhadap pemerintah Belanda.

Timbulnya aneka perlawanan terhadap pemerintah Belanda seperti Perang

Paderi (1821-1827), Perang Diponegoro (1825-1830), dan Perang Aceh (1873-1903)

tidak bisa dilepaskan dari ajaran agama Islam. Perlawanan ini dipelopori oleh para

ulama yang telah kembali dari Makkah atau setidaknya dari mereka yang telah

mendapat pengaruh dari para haji. Tahun 1859, Gubernur Jendral dibenarkan

mencampuri masalah agam Islam bahkan harus mengawasi setiap gerak-gerik para

ulama, bila dipandang perlu demi kepentingan ketertiban keamanan.

Para ulama merencanakan pemberontakan karena mereka memandang bahwa

penguasa Belanda sebagai kafir dan penguasa pribumi yang bekerja sama dengan

Belanda juga telah kafir. Oleh karena itu, beberapa pegawai pribumi yang ditangkap

tidak dibunuh setelah disuruh membaca dua kalimat syahadat sebagai pertanda telah

diislamkan kembali. Para ulama ini juga menggunakan symbol-simbol keagamaan

untuk mobilisasi kekuatan.

16

Meskipun demikian, elite agama pada abad ke-19 ini belum menggunakan

Islam sebagai suatu ideology politik untuk mencapai tujuan dan menata kekuasaan

politik. Mereka masih memandang pemerintah penjajah dengan pendekatan syariah

atau fiqih, sehingga mereka memandang pemerintah Belanda sebagai pemerintah yang

kafir.

Situasi ini erat kaitannya dengan sikap curiga dan kekhawatiran pemerintah

Belanda yang berlebihan terhadap perhajian di Indonesia. Masalah Islam yang semakin

kuat dan mendominasi setiap aspek, merupakan konsekuensi bagi Belanda. Kondisi

inilah yang menyebabkan pemerintah Belanda mengirimkan konsulnya di Jeddah

untuk mengatur dan mengawasi warga jajahannya di tanah suci.

Sejak kedatangan Snouck Hurgonje pada tahun 1889, pemerintah Belanda

mempunyai beberapa kebijakan yang jelas mengenai Islam. Menurutnya, di dalam

Islam tidak mengenal lapisan kependetaan seperti dalam agama Kristen. Kyai tidak

apriori fanatic dan penghulu merupakan bawahan pemerintah pribumi. Ulama

indepeden bukanlah komplotan pemberontak, sebab mereka hanya menginginkan

ibadah saja. Pergi menunaikan ibadah haji bukanlah berarti fanatic dan berjiwa

pemberontak.

Snouck menegaskan bahwa pada hakekatnya orang Islam di Indonesia itu

penuh damai, namun dia pun tidak buta terhadap kemampuan politik fanatisme Islam.

Bagi Snouck, musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam

sebagai doktrin politik.

Walaupun Islam di Indonesia banyak bercampur dengan unsure animism dan

Hindu namun Snouck mengetahui bahwa muslim di negeri ini memandang bahwa

agamanya merupakan pengikat kuat yang membedakan dirinya dari orang lain. Dalam

hal ini Snouck membedakan Islam dalam arti “ibadah” dengan Islam sebagai

“kekuatan sosial politik”. Ia membagi Islam dalam tiga kategori, yakni:

1. Bidang agama murni atau ibadah;

2. Bidang sosial kemasyarakatan;

3. Bidang politik.

Dalam bidang agama murni atau ibadah, pemerintah kolonial pada dasarnya

memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya,

17

asalkan tidak mengganggu kekuasaan kolonial Belanda. Mengenai bidang ini

pemerintah tidak boleh menyinggung dogma atau ibadah murni. Dogma ini tidak

berbahaya bagi pemerintah kolonial, menurut Snouck di kalangan umat Islam akan

segera terjadi perubahan secara perlahan untuk meninggalkan ajaran agama Islam.

Setiap campur tangan dari pemerintah dalam bidang ini justru akan memperlambat

evolusi tersebut, lagi pula campur tangan pemerintah dalam hal ini sangat berlawanan

dengan asas kemerdekaan beragama.

Snouck melihat bahwa ketaatan sepenuhnya dalam melaksanakan rukun

Islam, mengerjakan shalat lima waktu dan melakukan ibadah puasa, merupakan beban

berat bagi orang Islam pada abad ini. Beban berat tersebut dinilainya akan

menyebabkan mereka semakin menjauhi ikatan yang dinilainya sempit dan kolot.

Dalam pemikiran Snouck, melarang sesuatu yang akan hilang dengan sendirinya itu

hanya akan berakibat membangkitkan minat dan perhatian orang terhadap sesuatu yang

dilarang tersebut. Hal ini berarti akan meningkatkan harganya, dan akan menghambat

proses evolusinya.

Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan

yang berlaku dengan cara menggalakan rakyat agar mendekati pemerintah Belanda.

Pemerintah mempunyai tujuan untuk mempererat ikatan antara negeri jajahan dengan

negara penjajah melalui kebudayaan dan bidang pendidikan merupakan sorotan utama

dalam hal ini. Dengan adanya asosiasi ini maka Indonesia bisa memanfaatkan

kebudayaan Belanda tanpa harus menghilangkan kebudayaannya sendiri.

Dalam mengabulkan berbagai keingininan penduduk Indonesia memperoleh

pendidikan, menurut Snouck mampu menjamin kekalnya loyalitas mereka terhadap

pemerintah kolonial. Mendekatkan masyarakat dengan kebudayaan akan berdampak

menghilangkan cita-cita Pan Islam dari segala kekuatannya. Secara tidak langsung juga

akan bermanfaat bagi penyebaran agama Kristen, sebab penduduk pribumi yang telah

berasosiasi akan lebih mudah menerima panggilan missi.

Mengenai perkawinan dan waris yang dalam pandangan Eropa termasuk

bidang hukum, ditegaskan oleh Snouck bahwa hal itu mempunyai hak yang sama

seperti halnya bidang agama. Pemeritah harus menghormati hukum Islam yang

mengatur perkawinan, keluarga, keturunan, dan status pribadi karena termasuk bagian

18

dari ajaran agama. Hukum Islam seperti itu sesuai dengan hak asasi sehingga diberikan

kebebasan kepada umat Islam untuk menaati agamanya.

Kodifikasi hukum Islam tidak diperlukan karena hanya akan menghalangi

perkembangan hukum yang pasti akan terjadi. Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah

administrasi pengadilan agama agar ditata dengan baik sehingga meningkatkan

pelayanan dan mencegah korupsi oleh aparatnya.

Dalam bidang politik, pemerintah Belanda dengan tegas menolak setiap usaha

yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islamisme. Unsur politik dalam

Islam harus diwaspadai dan kalau perlu ditindak tegas. Akan tetapi, khalifah adalah

kepala negara, bukan kepala agama untuk seluruh umat Islam. Islam tidak mengenal

sistem kepausan ataupun konsili. Berbagai pengaruh asing yang menjurus ke politik

harus diwaspadai. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah menghindari

segala tindakan yang berkesan menentang kebebasan beragama.

Pemerintah kolonial selalu waspada terhadap segala kemungkinan yang dapat

membahayakan kekuasaannya. Dalam hal ini para haji menduduki posisi sangat

penting sebagai faktor pembawa pengaruh Pan Islam dari luar, sehingga mereka pun

sering dicurigai dan selalu diawasi oleh pemerintah.

b. Kondisi Sosial

Kondisi sosial masyarakat Indonesia pada masa kolonial Hindia Belanda

masih terbelakang, dikarenakan sistem kolonialisme yang diterapkan bagi bangsa

Indonesia terlalu ketat, dominasi dalam bidang politik, eksploitasi ekonomi,

diskriminasi sosial, westernisasi kebudayaan, dan kristenisasi penduduk maka bangsa

Indonesia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya mengalami kemerosotan

dalam segala aspek kehidupannya, material maupun spiritual.

Dalam lingkungan desa di mana kehidupan rakyat terutama masih pada

tingkat substansi serta ekonominya belum sepenuhnya terbuka, hubungan masyarakat

masih bersifat komunal, solidaritasnya terutama berdasarkan perasaan bersifat

emosional. Diferensiasi dan spesialisasi masih rendah, warga desa pada umumnya

adalah petani, maka dalam homogenitas seperti itu berkembanglah sistem tukar-

menukar tenaga dan jasa berdasarkan prinsip timbal balik, suatu sistemsumbangan

19

rewang, tolong menolong, punjungan, atau apa yang lazim secara umum disebut

gotong royong. Berdasarkan ikatan tersebut untuk melakukan banyak kegiatan tidak

memerlukan uang sebagai upah atas pekerjaan, tenaga dapat dikerahkan menurut

prinsip pertukaran. Dengan demikian tenaga sebagai modal belum lepas dari

keterikatan tradisi di desa.

Sejak zaman kuno telah ada hubungan antara desa dengan lingkungan di atas

desa, yaitu secara teritorial negara dan secara sosial para pengusaha termasuk golongan

bangsawan. Sudah menjadi gejala umum bahwa dalam masyarakat agraris penguasaan

dan pemilikan tanah merupakan dasar bagi struktur sosial dan struktur kekuasaannya.

Hubungan tuan tanah dan penggarap tanah menimbulkan saling ketergantungan dan

keterikatan.

Sistem feodal dengan sistem produksi prekapitalis menjamin bahwa

pertukaran antara tuan dan pengikut atau abdi akan menimbulkan aliran hasil bumi,

barang dan jasa kepada tuannya. Dalam struktur sosial feodalistis, raja, keluarga dan

para bangsawan lainnya para elite birokrasi serta pengusaha daerah kesemuanya

berkedudukan sebagai tuan, sedangkan rakyat golongan bawah sebagai abdi. Melalui

jalur feodal ini para bangsawan mempergunakan ikatan desa dan tradisional untuk

mengerahkan rakyat agar mereka memberikan jasa besar kepada tuannya. Tidak dapat

disangsikan lagi bahwa aliran jasa besar dan hasil bumi ke atas jauh lebih besar

daripada aliran jasa dari atas ke bawah. Dapat dibayangkan bahwa sistem ini memberi

beban yang sangat berat bagi rakyat kecil.

Belanda sangat aktif dalam pendirian sekolah-sekolah baru bagi bangsa

Indonesia. Pendidikan Belanda atas bangsa Indonesia bermula sejak  awal abad ke-19

ketika kalangan aristokrat Indonesia belajar di rumah-rumah pemukim Belanda.

Sekolah Belanda pertama untuk melatih warga Indonesia untuk beberapa pekerjaan

pamong praja didirikan tahun 1848.

Pada tahun 1900 prestise, kekuasaan dan kepercayaan diri kaum elite

bangsawan Jawa mencapai titik yang rendah. Banyak generasi muda yang

meninggalkan jabatan dalam pemerintahan dan mencari karir di bidang hukum ataupun

kedokteran. Para bangsawan lainnya menciptakan gerakan-gerakan intelektual yang

nyata-nyata bersifat anti Islam dan yang berkaitan erat dengan teosofi.

20

Gerakan-gerakan semacam itu menghubung-hubungkan buruknya keadaan di

Jawa dengan penyebaran agama Islam dan berusaha mengembalikan kebudayaan Jawa

dengan cara menyatukan budaya asli dengan pemikiran Barat (Belanda). Pada saat itu

juga, kalangan-kalangan Islam juga mulai menyimpulkan tentang perlunya kembali

semangat dalam pemurnian Islam.

Pada masa ini sebagian besar bangsawan telah memeluk Islam, namun

meskipun telah memeluk Islam mereka tetap melangsungkan kebudayaan

aristokrasinya sendiri, yang bertentangan dengan kebudayaan para santri. Dalam

kenyataannya Islam di  Indonesia berkembang menjadi dua cabang yang kurang lebih

berbeda satu sama lain. Yang pertama yaitu cabang resmi dan administratif, demikian

bisa dikatakan sebagai pembantu pemerintahan sekuler. Mereka berpusat di sekitar

pengadilan agama ataupun masjid. Kedua, yaitu mereka berpusat di sekitar ulama atau

kyai independen yang memperoleh kesuciannya bukan dari pemerintahan sekuler

namun karena pengetahuannya tentang agama Islam. Antara bangsawan dan ulama

sering terjadi permusuhan dan saling curiga, mereka juga bersaing untuk mendapatkan

kesetiaan dari mayoritas rakyat kecil. Di dalam persaingan ini, para ulama hampir

selalu menjadi pihak yang kalah.

5. Proses pendirian Muhammadiyah dan Tujuan Muhammadiyah dari awal berdiri

hingga sekarang

Pendidikan barat yang diperkenalkan kepada penduduk pribumi sejak paruh

kedua abad XIX sebagai upaya penguasa kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja,

misalnya, sampai akhir abad XIX pada satu sisi mampu menimbulkan restratifikasi

masyarakat melalui mobilitas sosial kelompok intelektual, priyayi, dan profesional.

Pada sisi lain, hal ini menimbulkan sikap antipati terhadap pendidikan Barat

itu sendiri, yang diidentifikasi sebagai produk kolonial sekaligus produk orang kafir.

Sememara itu, adanya pengenalan agama Kristen dan perluasan kristenisasi

yang terjadi bersamaan dengan perluasan kekuasaan kolonial ke dalam masyarakat

pribumi yang telah terlebih dahulu terpengaruh oleh agama Islam, mengaburkan

identitas politik yang melekat pada penguasa kolonial dan identitas sosial -keagamaan

pada usaha kristenisasi di mata masyarakat umum.

21

Bagi sebagian besar penduduk pribumi, tekanan politis, ekonomis, sosial,

maupun kultural yang dialami oleh masyarakat secara umum sebagai sesuatu yang

identik dengan kemunculan orang Islam dan kekuasaan kolonial yang menjadi

penyebab kondisi tersebut tidak dapat dipisahkan dari agama Kristen itu sendiri. Hal

ini semakin diperburuk oleh struktur yuridis formal masyarakat kolonial, yang secara

tegas membedakan kelompok masyarakat berdasarkan suku bangsa. Dalam stratifikasi

masyarakat kolonial; penduduk pribumi menempati posisi yang paling rendah,

sedangkan lapisan atas diduduki orang Eropa, kemudian orang Timur Asing, seperti:

orang Cina, Jepang, Arab, dan India.

Tidak mengherankan jika kebijakan pemerintah kolonial ini tetap dianggap

sebagai upaya untuk menempatkan orang Islam pada posisi sosial yang paling rendah

walaupun dalam lapisan sosial yang lebih tinggi terdapat juga orang Arab yang

beragama Islam. Di samping itu, akhir abad XIX juga ditandai oleh terjadinya proses

peng-urbanan yang cepat sebagai akibat dari perkemhangan ekonomi, politik, dan

sosial.

Kota-kota baru yang memiliki ciri masing-masing sesuai dengan faktor

pendukungnya muncul di banyak wilayah. Perluasan komunikasi dan ransportasi

mempermudah mobilitas penduduk. Sementara itu pembukaan suatu wilayah sebagai

pusat pemerintahan, pendidikan, industri, dan perdagangan telah menarik banyak orang

untuk datang ke tempat tersebut. Sementara itu pula, tekanan ekonomi, politik, maupun

sosial yang terjadi di daerah pedesaan telah mendorong mereka datang ke kota-kota

tersebut.

Memasuki awal abad XX sebagian besar kondisi yang telah terbentuk

sepanjang abad XIX terus berlangsung. Dalam konteks ekonomi, perluasan aktivitas

ekonomi sebagai dampak perluasan penanaman modal swasta asing maupun perluasan

pertanian rakyat belum mampu menimbulkan perubahan ekonomi secara struktural

sehingga kondisi hidup sebagian besar penduduk masih tetap rendah. Di beberapa

tempat penduduk pribumi memang berhasil mengembangkan pertanian tanaman ekspor

dlan mendapat keuntungan yang besar, akan tetapi ekonomi mereka masih sangat labil

terhadap perubahan pasar.

22

Sementara itu perluasan aktivitas ekonomi menimbulkan persaingan yang

semakin besar sehingga para pengusaha industri pribumi harus bersaing dengan produk

impor yang lebih berkualitas dan lebih murah di pasar lokal, sedangkan para peclagang

pribumi juga harus bersaing ketat dengan pedagang asing yang terus mendominasi

perdagangan lokal, regional, maupun internasional. Dalam perkembangan selanjutnya

persaingan ini di beberapa tempat tidak lagi hanya terbatas pada masalah ekonomi,

melainkan juga telah berkembang menjadi persoalan sosial, kultural, ataupun politik.

Walaupun dalam bidang politik terjadi pergeseran dari kekuasan administratif yang

tersentralisasi ke arah desentralisasi pada tingka t lokal, kontrol yang ketat pejabat

Belanda terhadap pejabat pribumi masih tetap berlangsung.

Sementara itu, kebijakan Politik Balas Budi atau Politik Etis yang difokuskan

pada bidang edukasi, irigasi, dan kolonisasi yang dilaksanakan sejak dekade pertama

abad XX, telah memberikan kesempatan yang lebih luas kepada penduduk pribumi

mengikuti pendidikan Barat dibandingkan dengan masa sebelumnya melalui

pembentukan beberapa lembaga pendidikan khusus bagi penduduk pribumi sampai

tingkat desa. Akan tetapi, kesempatan ini tetap saja masih sangat terbatas jika

dibandingkan dengan jumlah penduduk pribumi secara keseluruhan.

Kesempatan itu masih tetap diprioritaskan bagi kelompok elit penduduk

pribumi, atau kesempatan yang ada hanya terbuka untuk pendidikan rendah, sedangkan

kesempatan untuk mengikuti pendidikan menengah dan tinggi masih sangat terbatas.

Seperti pada masa sebelumnya, kondisi seperti ini terbentuk selain disebabkan oleh

kebijakan pemerintah kolonial, juga dilatarbelakangi sikap antipati dari kelompok

Islam, yang menjadi pendukung utama masyarakat pribumi terhadap pendidikan Barat

itu sendiri.

Secara umum mereka lebih suka mengirimkan anak-anak mereka ke

pesantren, atau hanya sekedar ke lembaga pendidikan informal lain yang mengajarkan

pengetahuan dasar agama Islam. Akan tetapi, sebenarnya ada dualisme cara

memandang pendidikan Barat ini. Di samping dianggap sebagai perwujudan dari

pengaruh Barat atau Kristen terhadap lingkungan sosial dan budaya lokal maupun

Islam, pendidikan Barat juga dilihat secara objektif sebagai faktor penting untuk

mendinamisasi masyarakat pribumi yang mayoritas beragama Islam.

23

Pendidikan Barat yang telah diperkenalkan kepada penduduk pribumi secara

terbatas ini ternyata telah menciptakan kelompok intelektual dan profesional yang

mampu melakukan perubahan-perubahan maupun memunculkan ide-ide baru di dalam

masyarakat maupun sikap terhadap kekuasaan kolonial. Perubahan dan pencetusan ide-

ide baru itu pada masa awal hanya terbatas pada bidang sosial, kultural, dan ekonomi,

akan tetapi kemudian mencakup juga permasalahan politik. Walaupun feodalisme

dalam sikap maupun struktur yang lebih makro di dalam masyarakat, khususnya di

Jawa masih tetap berlangsung, pembentukan "organisasi modern" merupakan salah

satu realisasi yang penting dari upaya perubahan dengan ide-ide baru tersebut.

Pada tahun 1908 organisasi Budi Utomo didirikan oleh para mahasiswa

sekolah kedokteran di Jakarta. Walaupun dasar, tujuan, dan aktivitas Budi Utomo

sebagai suatu organisasi masih terikat pada unsur-unsur primordial dan terbatas,

keberadaan Budi Utomo secara langsung maupun tidak berpengaruh terhadap bentuk

baru dari perjuangan kebangsaan melawan kondisi yang diciptakan oleh kolonialisme

Belanda. Berbagai organisasi baru kemudian didirikan, dan perjuangan perlawanan

terhadap kekuasaan kolonial yang dulu terkosentrasi di kawasan pedesaan mulai

beralih terpusat di daerah perkotaan.

Dunia Islam dan Masyarakat Muslim Indonesia Secara makro perkembangan

dunia Islam pada akhir abad XIX dan awal abad XX ditandai oleh usaha untuk

melawan dominasi Barat setelah sebagian besar negara yang penduduknya beragama

Islam secara politik, sosial, ekonomi, maupun budaya telah kehilangan kemerdekaan

dan berada di bawah kekuasaan kolonialisme dan imprialisme Barat sejak beberapa

abad sebelumnya. Dalam masyarakat Muslim sendiri muncul usaha untuk mengatasi

krisis internal dalam proses sosialisasi ajaran Islam, akidah, maupun pemikiran pada

sebagian besar masyarakat, baik yang disebabkan oleh dominasi kolonialisme dan

imperialisme Barat, maupun sebab-sebab lain yang ada dalam masyarakat Muslim itu

sendiri.

Dalam kehidupan beragama ini terjadi kemerosotan ruhul Ishmi, jika dilihat

dari ajaran Islam yang bersumber pada Quran dan Sunnah Rasulullah. Pengamalan

ajaran Islam bercampur dengan bid'ah, khurafat, dan syi'ah. Di samping itu, pemikiran

umat Islam juga terbelenggu oleh otoritas mazhab dan taqlid kepada para ulama

24

sehingga ijtihad tidak dilakukan lagi. Dalam pengajaran agama Islam, secara umum

Qur'an yang menjadi sumber ajaran hanya diajarkan pada tingkat bacaan, sedangkan

terjamahan dan tafsir hanya boleh dipelajari oleh orang-orang tertentu saja. Sementara

itu, pertentangan yang bersumber pada masalah khilafiyah dan firu'iyah sering muncul

dalam masyarakat Muslim, akibatnya muncul berbagai firqah dan pertentangan yang

bersifat laten.

Di tengah-tengah kemerosotan itu, sejak pertengahan abad XIX muncul ide-

ide pemurnian ajaran dan kesadaran politik di kalangan umat Islam melalui pemikiran

dan aktivitas tokoh-tokoh seperti: Jamaludin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid

Ridha, dan para pendukung Muhammad bin Abdul Wahab. Jamaludin Al-Afgani

banyak bergerak dalam bidang politik, yang diarahkan pada ide persaudaraan umat

Islam sedunia dan gerakan perjuangan pembebasan tanah air umat Islam dari

kolonialisme Barat.

Sementara itu, Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, berusaha

memerangi kestatisan, syirik, bid'ah, khurafat, taqlid, dan membuka pintu ijtihad di

kalangan umat Islam. Restrukturisasi lembaga pendidikan Islam dan mewujudkan ide-

ide ke dalam berbagai penerbitan merupakan wujud usaha pemurnian dan

pembaharuan yang dilakukan oleh dua orang ulama dari Mesir ini. Rasyid Ridha,

misalnya, menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir, yang kemudian disebarkan dan

dikenal secara luas di seluruh dunia Islam. Sementara itu, ide-ide pembaharuan yang

dikembangkan oleh pendukung Muhammad bin Abdlul Wahab dalam gerakan Al

Muwahhidin telah mendapat dukungan politis dari penguasa Arab Saudi sehingga

gerakan yang dikenal oleh para orientalis sebagai Wahabiyah itu berkembang menjadi

besar dan kuat.

Seperti yang terjadi di dalam dunia Islam secara umum, Islam di Indonesia

pada abad XIX juga mengalami krisis kemurnian ajaran, kestatisan pemikiran maupun

aktivitas, dan pertentangan internal. Perjalanan historis penyebaran agama Islam di

Indonesia sejak masa awal melalui proses akulturasi dan sinkretisme, pada satu sisi

telah berhasil meningkatkan kuantitas umat Islam. Akan tetapi secara kualitas muncul

kristalisasi ajaran Islam yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni.

25

Di Pulau Jawa, misalnya, persoalan kemurnian ajaran Islam ini sangat terasa

karena unsur-unsur lokal sangat berpengaruh dalam proses sosialisasi ajaran di dalam

masyarakat seperti yang terlihat pada: sekaten, kenduri, tahlilan, dan wayang. Kondisi

seperti ini dapat dilihat pada laporan T.S. Raffles tentang Islam di Jawa pada awal abad

XIX, yang menyatakan bahwa orang Jawa yang berpengetahuan cukup tentang Islam

dan berprilaku sesuai dengan ajaran Islam hanya beberapa orang saja.

Selain itu, K.H. Ahmad Rifa'i, salah seorang ulama di Jawa yang sangat

disegani oleh pemerintah kolonial, pada pertengahan abad XIX menyatakan bahwa

pengamalan agama Islam orang Jawa banyak menyimpang dari aqidah Islalamiyah dan

harus diluruskan. Interaksi reguler antara sekelompok masyarakat Muslim Indonesia

dengan dunia Islam memberi kesempatan kepada mereka untuk mempelajari dan

memahami lebih dalam ajaran Islam sehingga tidak mengherankan kemudian muncul

ide-ide atau wawasan baru dalam kehidupan beragama di dalam masyarakat Indonesia.

Mereka mulai mempertanyakan kemurnian dan implementasi ajaran Islam di dalam

masyarakat. Oleh sebab itu, di samping unsur-unsur lama yang terus bertahan seperti

pemahaman dan pengamalan ajar-an Islam yang sinkretik dan sikap taqlid terhadap

ulama, di dalam masyarakat Muslim Indonesia pada akhir abad XIX dan awal abad XX

juga berkembang kesadaran yang sangat kuat untuk melakukan pembaharuan dalam

banyak hal yang berhubungan dengan agama Islam yang telah berkembang di tengah-

tengah masyarakat.

Hal ini tentu saja menimbulkan konflik antarkelompok, yang terpolarisasi

dalam bentuk gerakan yang dikenal sebagai "kaum tua" berhadapan dengan "kaum

muda" atau antara kelompok "pembaharuan" berhadapan dengan "antipembaharuan".

Sementara itu, krisis yang terjadi di dalam Islam di Indonesia, selain disebabkan oleh

dinamika internal juga tidak dapat dipisahkan dengan perluasan kekuasaan pemerintah

kolonial Belanda. Islam sejak awal muncul sebagai kekuatan di balik perlawanan

terhadap kolonialisme, baik dalam pengertian idiologis maupun peran langsung para

ulama dan umat Islam secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat berbagai perlawanan

yang terjadi sepanjang abad XIX dan awal abad XX, seperti: Perang Diponegoro,

Perang Bonjol, Perang Aceh, dan protes-protes petani, yang semuanya diwarnai oleh

unsur Islam yang sangat kental.

26

Akibatnya, pemerintah kolonial cenderung melihat Islam sebagai ancaman

langsung dari eksistensi kekuasaan kolonial ini. Setiap aktivitas yang berhubungan

dengan Islam selalu dicurigai dan dianggap sebagai langkah untuk melawan penguasa.

Oleh sebab itu, berdasarkan konsep yang dikembangkan oleh C. Snouck Hurgronje

pada akhir abad XIX pemerintah kolonial secara tegas memisahkan Islam dari politik,

akan tetapi Islam sebagai ajaran agama dan kegiatan sosial dibiarkan berkembang

walaupun tetap berada dalam pengawasan yang ketat. Kecurigaan pemerintah kolonial

yang berlebihan terhadap Islam ini membatasi kreativitas umat, baik dalam pengertian

ajaran, pemikiran, maupun penyesuaian diri dengan dinamika dan perubahan yang

terjadi dalam masyarakat secara umum.

Hal ini semakin diperburuk oleh munculnya sikap taqlid kepada para ulama

tertentu pada sebagian besar umat Islam di Indonesia pada waktu itu.  Pemerintah

kolonial juga berusaha mengeksploitasi perbedaan yang ada dalam masyarakat yang

berhubungan dengan Islam, seperti perbedaan sosio-antropologis antara kelompok

santri dan abangan yang menjadi konflik sosial berkepanjangan. Selain itu, aktivitas

kristenisasi yang dilakukan oleh missi Katholik maupun zending Protestan terhadap

penduduk pribumi yang telah beragama Islam terus berlangsung tanpa halangan dari

penguasa kolonial. Lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah, panti

asuhan, dan rumah sakit yang didirikan oleh missi dan zending sebagai pendukung

utama dalam proses kristenisasi, secara reguler mendapat bantuan dana yang besar dari

pemerintah.

Ahmad Dahlan dan Pembentukan Muhammmadiyah di tengah-tengah kondisi

tidak menentu seperti yang digambarkan di atas, Ahmad Dahlan muncul sebagai salah

seorang yang perduli terhadap kondisi yang sedang dihadapi masyarakat pribumi

secara umum maupun masyarakat Muslim secara khusus. Ahmad Dahlan lahir di

Kampung Kauman Yogyakarta pacla tahun 1868 dengan nama Muhammad Darwis.

Ayahnya K.H. Abu Bakar adalah imam dan khatib Masjid Besar Kauman Yogyakarta,

sementara ibunya Siti Aminah adalah anak K.H. Ibrahim, penghulu besar di

Yogyakarta. Menurut salah satu silsilah, keluarga Muhammad Darwis dapat

dihubungkan dengan Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali penyebar agama

Islam yang dikenal di Pulau Jawa.

27

Sebagai anak keempat dari keluarga K.H. Abubakar, Muhammad Darwis

mempunyai 5 orang saudara perempuan dan I orang saudara laki-laki. Seperti layaknya

anak-anak di Kampung Kauman pada waktu itu yang diarahkan pada pendidikan

informal agama Islam, sejak kecil Muhammad Darwis sudah belajar membaca Quran

di kampung sendiri atau di tempat lain. Ia belajar membaca Quran dan pengetahuan

agama Islam pertama kali dari ayahnya sendiri dan pada usia delapan tahun ia sudah

lancar dan tamat membaca Quran. Menurut cerita, sejak kecil Muhammad Darwis

sudah menunjukkan beberapa kelebihan dalam penguasaan ilmu, sikap, dan pergaulan

sehari-hari dibandingkan teman-temannya yang sebaya.

Ia juga mempunyai keahlian membuat barang-barang kerajinan dan mainan. 

Seperti anak laki-laki yang lain, Muhammad Darwis juga sangat senang bermain

layang-layang dan gasing. Seiring dengan perkembangan usia yang semakin

bertambah, Muhammad Dalwis yang sudah tumbuh remaja mulai belajar ilmu agama

Islam tingkat lanjut, tidak hanya sekedar membaca Quran. Ia belajar fiqh dari K.H.

Muhammad Saleh dan belajar nahwu dari K.H. Muhsin. Selain belajar dari dua guru di

atas yang juga adalah kakak iparnya, Muhammad Darwis belajar ilmu agama lslam

lebih lanjut dari K.H. Abdul Hamid di Lempuyangan dan KH. Muhammad Nur.

Muhammad Darwis yang sudah dewasa terus belajar ilmu agama Islam

maupun ilmu yang lain dari guru-guru yang lain, termasuk para ulama di Arab Saudi

ketika ia sedang menunaikan ibadah haji. Ia pernah belajar ilmu hadist kepada Kyai

Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar ilmu qiraah kepada Syekh Amien dan

Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada K.H. Dahlan Semarang, dan ia juga pernah

belajar pada Syekh Hasan tentang mengatasi racun binatang.  Menurut beberapa

catatan, kemampuan intelektual Muhammad Darwis ini semakin berkembang cepat dia

menunaikan ibadah haji pertama pada tahun 1890, beberapa bulan setelah

perkawinannya dengan Siti Walidah pada tahun 1889.

Proses sosialisasi dengan berbagai ulama yang berasal dari Indonesia seperti:

Kyai Mahfudh dari Termas, Syekh Akhmad Khatib dan Syekh Jamil Jambek dari

Minangkabau, Kyai Najrowi dari Banyumas, dan Kyai Nawawi dari Banten, maupun

para ulama dari Arab, serta pemikiran baru yang ia pelajari selama bermukim di Mekah

kurang lebih delapan bulan, telah membuka cakrawala baru dalam diri Muhammad

28

Darwis, yang telah berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Perkembangan ini dapat

dilihat dari semakin, luas dan bervariasinya jenis kitab yang dibaca Ahmad Dahlan.

Sebelum menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan lebih banyak mempelajari kitab-

kitab, dari Ahlussunnah waljamaah dalam ilmu aqaid, dari madzab Syafii dalam ilmu

Fiqh dari Imam Ghozali dan ilmu tasawuf.

Sesudah pulang dari menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan mulai membaca

kitah-kitab lain yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Semangat membaca Ahmad

Dahlan yang besar ini dapat dilihat pada kejadian ketika ia membeli buku

menggunakan sebagian dari modal sebesar 1500 setelah ia pulang dari menunaikan

ibadah haji yang pertama, yang sebenarnya diberikan oleh keluarganya untuk

berdagang. Sementara itu, keinginan untuk memperdalam ilmu agama Islam terus

muncul pada diri Ahmad Dahlan. Dalam upaya untuk mewujudkan cita-citanya itu, ia

menunaikan ibadah haji kedua pada tahun 1903, dan bermukim di Mekah selama

hampir dua tahun. Kesempatan ini digunakan Ahmad Dahlan untuk belajar ilmu agama

Islam baik dari para guru ketika ia menunaikan ibadah haji pertama maupun dari guru-

guru yang lain.

Ia belajar fiqh pada Syekh Saleh Bafadal, Syekh Sa'id Yamani, dan Syekh Sa'

id Babusyel. Ahmad Dahlan belajar ilmu hadist pada Mufti Syafi'i, sementara itu ilmu

falaq dipelajari pada Kyai Asy'ari Bawean. Dalam bidang ilmu qiruat, Ahmad Dahlan

belajar dari Syekh Ali Misri Makkah. Selain itu, selama bermukim di Mekah ini

Ahmad Dahlan juga secara reguler mengadakan hubungan dan membicarakan berbagai

masalah sosial-keagamaan, termasuk masalah yang terjadi di Indonesia dengan para

Ulama Indonesia yang telah lama bermukim di Arab Saudi, seperti: Syekh Ahmad

Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari

Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang.

Berdasarkan koleksi buku-buku yang ditinggalkan oleh Ahmad Dahlan,

sebagian besar adalah buku yang dipengaruhi ide-ide pembaharuan. Di antara buku-

buku yang sering dibaca Ahmad Dahlan antara lain: Kosalatul Tauhid karangan

Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma karangan Muhammad Abduh, Kanz AL-Ulum,

Dairah Al Ma'arif karangan Farid Wajdi, Fi Al -Bid'ah karangan Ibn Taimiyah, Al

Tawassul wa-al-Wasilah karangan Ibn Taimiyah, Al-Islam wa-l-Nashraniyah karangan

29

Muhammad Abduh, Izhar al-Haq karangan Rahmah al Hindi, Tafsshil al-Nasyatain

Tashil al Sa'adatain, Matan al-Hikmah karangan Atha Allah, dan Al-Qashaid al-

Aththasiyvah karangan Abd al Aththas.

Pengalaman Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di dalam masyarakat

dimulai setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji pertama. Ahmad Dahlan mulai

dengan membantu ayahnya mengajar para murid yang masih kanak-kanak dan remaja.

Dia mengajar pada siang hari sesudah dzuhur, dan malam hari, antara maghrib sampai

isya. Sementara itu, sesudah ashar Ahmad Dahlan mengikuti ayahnya yang mengajar

agama Islam kepada orang-orang tua. Apabila ayahnya berhalangan, Ahmad Dahlan

menggantikan ayahnya memberikan pelajaran sehingga akhirnya ia mendapat sebutan

kyai, sebagai pengakuan terhadap kemampuan dan pengalamannya yang luas dalam

memberikan pelajaran agama Islam.

Sebagai Khatib Amin, Ahmad Dahlan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan

agama Islam yang dimiliki, pengalaman berinteraksi dengan berbagai kelompok dalam 

dunia Islam, serta pengalamannya memberi pelajaran agama Islam selama ini sehingga

sering muncul ide dan aktivitas baru. Berbeda dengan para khatib lain yang cenderung

menghabiskan waktu begitu saja ketika sedang bertugas piket di serambi masjid besar

Kauman, Ahmad Dahlan secara rutin memberikan pelajaran agama Islam kepada

orang-orang yang datang ke masjid besar ketika ia sedang melakukan piket.

Ahmad Dahlan juga mulai menyampaikan ide-ide baru yang lebih mendasar,

seperti persoalan arah kiblat salat yang sebenarnya. Akan tetapi, ide baru ini tidak

begitu saja bisa dilaksanakan seperti yang diajarkan di serambi masjid besar karena

mempersoalkan arah kiblat salat merupakan suatu hal yang sangat peka pada waktu itu.

Ahmad Dahlan memerlukan waktu hampir satu tahun untuk menyampaikan masalah

ini. Itu pun hanya terbatas pada para ulama yang sudah dikenal dan dianggap sepaham

di sekitar Kampung Kauman. Pada satu malam pada tahun 1898, Ahmad Dahlan

mengundang 17 orang ulama yang ada di sekitar kota Yogyakarta untuk melakukan

musyawarah tentang arah kiblat di surau milik keluarganya di Kauman.

Diskusi antara para ulama yang telah mempersiapkan diri dengan berbagai

kitab acuan ini berlangsung sampai waktu subuh, tanpa menghasilkan kesepakatan.

Akan tetapi, dua orang yang secara diam-diam mendengar pembicaraan itu beberapa

30

hari kemudian membuat tiga garis putih setebal 5 cm di depan pengimaman masjid

besar Kauman untuk mengubah arah kiblat sehingga mengejutkan para jemaah salat

dzuhur waktu itu. Akibatnya, Kanjeng Kyai Penghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat

memerintahkan untuk menghapus tanda tersebut dan mencari orang yang melakukan

itu.

Sebagai realisasi dari ide pembenahan arah kiblat tersebut, Ahmad Dahlan

yang merenovasi surau milik keluarganya pada tahun 1899 mengarahkan surau tersebut

ke arah kiblat yang sebenarnya, yang tentu saja secara arsitektural berbeda dengan arah

masjid besar Kauman. Setelah dipergunakan beberapa hari untuk kegiatan Ramadhan,

Ahmad Dahlan mendapat perintah dari Kanjeng Penghulu untuk membongkar surau

tersebut, yang tentu saja ditolak. Akhirnya, surau tersebut dibongkar secara paksa pada

malam hari itu juga. Walaupun diliputi perasaan kecewa, Ahmad Dahlan membangun

kembali surau tersebut sesuai dengan arah masjid besar Kauman setelah berhasil

dibujuk oleh saudaranya, sementara arah kiblat yang sebenarnya ditandai dengan

membuat garis petunjuk di bagian dalam masjid.

Setelah pulang dari menunaikan ibadah haji kedua, aktivitas sosial-keagamaan

Ahmad Dahlan di dalam masyarakat di samping sebagai Khatib Amin semakin

berkembang. Ia membangun pondok untuk menampung para murid yang ingin belajar

ilmu agama Islam secara umum maupun ilmu lain seperti: ilmu falaq, tauhid, dan tafsir.

Para murid itu tidak hanya berasal dari wilayah Residensi Yogyakarta, melainkan juga

dari daerah lain di Jawa Tengah.  Walaupun begitu, pengajaran agama Islam melalui

pengajian kelompok bagi anak- anak, remaja, dan orang tua yang telah lama

berlangsung masih terus dilaksanakan. Di samping itu, di rumahnya Ahmad Dahlan

mengadakan pengajian rutin satu minggu atau satu bulan sekali bagi kelompok-

kelompok tertentu, seperti pengajian untuk para guru dan pamong praja yang

berlangsung setiap malam Jum`at.

Pembentukan ide-ide dan aktivitas baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat

dipisahkan dari proses sosialisasi dirinya sebagai pedagang dan ulama serta dengan

alur pergerakan sosial- keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang sedang berlangsung

di Indonesia pada awal abad XX. Sebagai seorang pedagang sekaligus ulama, Ahmad

Dahlan sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Residensi Yogyakarta

31

maupun daerah lain seperti: Periangan, Jakarta, Jombang, Banyuwangi, Pasuruan,

Surabaya, Gresik, Rembang, Semarang, Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan

Surakarta. Di tempat-tempat itu ia bertemu dengan para ulama, pemimpin lokal,

maupun kaum cerdik cendekia lain, yang sama-sama menjadi pedagang atau bukan.

Dalam pertemuan-pertemuan itu mereka berbicara tentang masalah agama

Islam maupun masalah umum yang terjadi dalam masyarakat, terutama yang secara

langsung berhubungan dengan kemunculan, kestatisan, atau keterbelakangan penduduk

Muslim pribumi di tengah- tengah masyarakat kolonial. Dalam konteks pergerakan

sosial keagamaan, budaya, dan kebangsaan, hal ini dapat diungkapkan dengan adanya

interaksi personal maupun formal antara Ahmad Dahlan dengan organisasi seperti :

Budi Utomo, Sarikat Islam, dan Jamiat Khair, maupun hubungan formal antara

organisasi yang ia cirikan kemudian, terutama dengan Budi Utomo.

Secara personal Ahmad Dahlan mengenal organisasi Budi Utomo melalui

pembicaraan atau diskusi dengan Joyosumarto, seorang anggota Budi Utomo di

Yogyakarta yang mempunyai hubungan dekat dengan dr. Wahidin Sudirohusodo, salah

seorang pimpinan Budi Utomo yang tinggal di Ketandan Yogyakarta. Melalui

Joyosumarto ini kemudian Ahmad Dahlan berkenalan dengan dr. Wahidin

Sudirohusodo secara pribadi dan sering menghadiri rapat anggota maupun pengurus

yang diselenggarakan oleh Budi Utomo di Yogyakarta walaupun secara resmi ia belum

menjadi anggota organisasi ini. Setelah banyak mendengar tentang aktivitas dan tujuan

organisasi Budi Utomo melalui pembicaraan pribadi dan kehadirannya dalam

pertemuan -pertemuan resmi, Ahmad Dahlan kemudian secara resmi menjadi anggota

Budi Utomo pada tahun 1909.

Dalam perkembangan selanjutnya, Ahmad Dahlan tidak hanya menjadi

anggota biasa, melainkan ia menjadi pengurus kring Kauman dan salah seorang

komisaris dalam kepengurusan Budi Utomo Cabang Yogyakarta. Sementara itu, pada

sekitar tahun 1910 Ahmad Dahlan juga menjadi anggota Jamiat Khair, organisasi Islam

yang banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah

orang-orang Arab. Keterlibatan secara langsung di dalam Budi Utomo memberi

pengetahuan yang banyak kepada Ahmad Dahlan tentang cara berorganisasi dan

mengatur organisasi secara modern.

32

Sementara itu, walaupun Ahmad Dahlan tidak terlibat secara aktif di dalam

Jamiat Khair, selain belajar berorganisasi secara modern di kalangan orang Islam, ia

juga mendapat pengetahuan tentang kegiatan sosial, terutama yang berhubungan

dengan pendirian dan pengelolaan lembaga pendidikan model sekolah. Semua ini tentu

saja merupakan suatu hal yang baru dan sangat berpengaruh bagi langkah-langkah

yang dilakukan Ahmad Dahlan pada masa selanjutnya, seperti pendirian sekolah model

Barat maupun pembentukan satu organisasi.

Sebagai pengurus Budi Utomo, aktivitas Ahmad Dahlan tidak hanya terbatas

pada hal-hal yang berhubungan langsung dengan masalah organisasi. Ia sering

memanfaatkan forum pertemuan pengurus maupun anggota Budi Utomo sebagai

tempat untuk menyampaikan informasi tentang agama Islam, bidang yang sangat ia

kuasai. Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah acara resmi selesai. Kepiawaian

Ahmad Dahlan dalam menyampaikan informasi tentang agama Islam dalam berbagai

pertemuan informal itu telah menarik perhatian para pengurus maupun anggota Budi

Utomo yang sebagian besar terdiri dari pegawai pemerintah dan guru sehingga sering

terjadi diskusi yang menarik di antara mereka tentang agama Islam.

Di antara pengurus dan anggota Budi Utomo yang tertarik pada masalah

agama Islam adalah R. Budiharjo dan R. Sosrosugondo, yang pada saat itu menjabat

sebagai guru di Kweekschool Jetis. Melalui jalur dua orang guru ini Ahmad Dahlan

mendapat kesempatan mengajar agama Islam kepada para siswa Kweekschool Jetis,

setelah kepala sekolah setuju dan memberikan izin.  Pelajaran agama Islam di sekolah

guru milik pemerintah itu diberikan di luar jam pelajaran resmi, yang biasanya

dilakukan pada setiap hari Sabtu sore.

Dalam mengajarkan pengetahuan agama Islam secara umum maupun

membaca Quran, Ahmad Dahlan menerapkan metode pengajaran yang disesuaikan

dengan kemampuan siswa sehingga mampu menarik perhatian para siswa untuk

menekuninya. Tentu saja sebagian siswa merasa bahwa waktu pelajaran agama Is1am

pada hari Sabtu sore itu belum cukup. Oleh sebab itu, beberapa orang siswa, termasuk

mereka yang belum beragama Islam sering datang ke rumah Ahmad Dahlan di

Kauman pada hari Ahad untuk bertanya maupun melakukan diskusi lebih lanjut

tentang berbagai persoalan yang berhubungan dengan agama Islam.

33

Dalam perkembangan selanjutnya, pengalaman berorganisasi di Budi Utomo

dan Jamiat Khair memberikan pelajaran kepada siswa Kweekschool dan didukung oleh

perkembangan pendapat masyarakat umum pada waktu itu yang mulai menyadari

bahwa pendidikan merupakan salah satu sarana yang penting bagi kemajuan penduduk

pribumi. Oleh karena itu, Ahmad Dahlan secara pribadi mulai merintis pembentukan

sebuah sekolah yang memadukan pengajaran ilmu agama Islam dan ilmu umum.

Dalam berbagai kesempatan Ahmad Dahlan menyampaikan ide pendirian sekolah yang

mengacu pada metode pengajaran seperti yang berlaku pada sekolah milik pemerintah

kepada berbagai pihak, termasuk kepada para santri yang belajar di Kauman maupun

penduduk Kauman secara umum. Sebagian besar dari mereka bersikap acuh tak acuh,

bahkan ada yang secara tegas menolak ide pendidikan sistem sekolah tersebut karena

dianggap bertentangan dengan tradisi dalam agama Islam.

Akibatnya, para santri yang selama ini belajar kepada Ahmad Dahlan satu per-

satu berhenti. Walaupun belum mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya,

Ahmad Dahlan tetap berkeinginan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang

menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu

pengetahuan umum. Sekolah tersebut dimulai dengan 8 orang siswa, yang belajar di

ruang tamu rumah Ahmad Dahlan yang berukuran 2,5 m x 6 m dan ia bertindak sendiri

sebagai guru. Keperluan belajar dipersiapkan sendiri oleh Ahmad Dahlan dengan

memanfaatkan dua buah meja miliknya sendiri. Sementara itu, dua buah bangku

tempat duduk para siswa dibuat sendiri oleh Ahmad Dahlan dari papan bekas kotak

kain mori dan papan tulis dibuat dari kayu suren.

Delapan orang siswa pertama itu merupakan santrinya yang masih setia, serta

anak-anak yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ahmad Dahlan.

Pendirian sekolah tersebut ternyata tidak mendapat sambutan yang baik dari

masyarakat sekitarnya kecuali beberapa orang pemuda. Pada tahap awal proses belajar

mengajar belum berjalan dengan lancar. Selain ada penolakan dan pemboikotan

masyarakat sekitarnya, para siswa yang hanya berjumlah 8 orang itu juga sering tidak

masuk sekolah. Untuk mengatasi hal tersebut, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang

ke rumah para siswanya dan meminta mereka masuk sekolah kembali, di samping ia

terus mencari siswa baru. Seiring dengan pertambahan jumlah siswa, Ahmad Dahlan

34

juga menambah meja dan bangku satu per satu sehingga setelah berlangsung enam

bulan jumlah siswa menjadi 20 orang.

Ketika pendirian sekolah tersebut dibicarakan dengan anggota dan pengurus

Budi Utomo serta para siswa dan guru Kweekschool Jetis, Ahmad Dahlan mendapat

dukungan yang besar. Di antara para pendukung itu adalah : Mas Raji yang menjadi

siswa, R. Sosro Sugondo, dan R. Budiarjo yang menjadi guru di Kweekschool Jetis

sangat membantu Ahmad Dahlan mengembangkan sekolah tersebut sejak awal.

R. Budiharjo yang bersama-sama Ahmad Dahlan menjadi pengurus Budi

Utomo Yogyakarta banyak memberikan Saran tentang penyelenggaraan sebuah

sekolah sesuai dengan pengalamannya menjadi kepala sekolah di Kweekschool Jetis.

Ia juga menyarankan kepada Ahmad Dahlan untuk meminta subsidi kepada pemerintah

jika sekolah yang didirikan itu sudah teratur, dengan dukungan dari Budi Utomo.

Selain itu, pendirian sekolah itu juga mendapat dukungan dari kelompok terpelajar

yang berasal dari luar Kauman serta para siswa Kweekschool Jetis yang biasa datang

ke rumahnya pada setiap hari Ahad.

Sebagai realisasi dari dukungan Budi Utomo, organisasi ini menempatkan

Kholil, seorang guru di Gading untuk mengajar ilmu pengetahuan umum pada sore hari

di sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan. Oleh sebab itu, para siswa masuk dua kali

dalam satu hari karena Ahmad Dahlan mengajar ilmu pengetahuan agama Islam pada

pagi hari. Walaupun masih mendapat tantangan dari beberapa pihak, jumlah siswa

terus bertambah sehingga Ahmad Dahlan harus memindahkan ruang belajar ke tempat

yang lebih luas di serambi rumahnya.

Akhirnya setelah proses belajar mengajar semakin teratur, sekolah yang

didirikan oleh Ahmad Dahlan itu diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911 dan diberi

nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika diresmikan, sekolah itu

mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian dilaporkan bahwa terdapat 62

orang siswa yang belajar di sekolah itu. Sebagai lembaga pendidikan yang baru saja

terbentuk, sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan memerlukan perhatian lebih

lanjut agar dapat terus dikembangkan. Dalam kondisi seperti itu, pengalaman Ahmad

Dahlan berorganisasi dalam Budi Utomo dan Jamiat Khair menjadi suatu hal yang

sangat penting bagi munculnya ide dan pembentukan satu organisasi untuk mengelola

35

sekolah tersebut, di samping kondisi makro pada saat itu yang telah menimbulkan

kesadaran akan arti penting suatu organisasi modern maupun masukan yang didapat

dari para pendukung, termasuk dari para murid Kweekschool Jetis.

Salah seorang siswa kweekschool yang biasa datang ke rumah Ahmad Dahlan

pada hari Ahad, misalnya, menyarankan agar sekolah tersebut tidak hanya diurus oleh

Ahmad Dahlan sendiri melainkan dilakukan oleh suatu organisasi supaya sekolah itu

dapat terus berlangsung walaupun Ahmad Dahlan tidak lagi terlibat di dalamnya atau

setelah ia meninggal. Ide pembentukan organisasi itu kemudian didiskusikan lebih

lanjut dengan orang-orang yang selama ini telah mendukung pembentukan dan

pelaksanaan sekolah di Kauman, terutama para anggota dan pengurus Budi Utomo

serta guru dan murid Kweekschool Jetis.

Dalam satu kesempatan untuk mendapatkan dukungan dalam rangka

merealisasi ide pembentukan sebuah organisasi, Ahmad Dahlan melakukan

pembicaraan dengan Budiharjo yang menjadi kepala sekolah di Kweekschool Jetis dan

R. Dwijosewoyo, seorang aktivis Budi utomo yang sangat berpengaruh pada masa itu.

Pembicaraan tersebut tidak hanya terbatas pada upaya mencari dukungan, melainkan

juga sudah difokuskan pada persoalan nama, tujuan, tempat kedudukan, dan pengurus

organisasi yang akan dibentuk. Berdasarkan pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan

didapatkan beberapa ha1 yang berhubungan secara langsung dengan rencana

pembentukan sebuah organisasi.

Pertama, perlu didirikan sebuah organisasi baru di Yogyakarta. Kedua, para

siswa Kweekschool tetap akan mendukung Ahmad Dahlan, akan tetapi mereka tidak

akan menjadi pengurus organisasi yang akan didirikan karena adanya larangan dari

inspektur kepala dan anjuran agar pengurus supaya diambil dari orang-orang yang

sudah dewasa. Ketiga, Budi Utomo akan membantu pendirian perkumpulan baru

tersebut. Pada bulan-bulan akhir tahun 1912 persiapan pembentukan sebuah

perkumpulan baru itu dilakukan dengan lebih intensif, melalui pertemuan-pertemuan

yang secara ekplisit membicarakan dan merumuskan masalah seperti nama dan tujuan

perkumpulan, serta peran Budi Utomo dalam proses formalitas yang berhubungan

dengan pemerintah Hindia Belanda.

36

Walaupun secara praktis organisasi yang akan dibentuk bertujuan untuk

mengelola sekolah yang telah dibentuk lebih dahulu, akan tetapi dalam pembicaraan-

pembicaraan yang dilakukan selanjutnya tujuan pembentukan organisasi itu

berkembang lebih luas, mencakup penyebaran dan pengajaran agama Islam secara

umum serta aktivitas sosial lainnya. Anggaran dasar organisasi ini dirumuskan dalam

bahasa Belanda dan bahasa Melayu, yang dalam penyusunannya mendapat bantuan

dari R. Sosrosugondo, guru bahasa Melayu di Kweekscbool Jetis.

Organisasi yang akan dibentuk itu diberi nama "Muhammadiyah", nama yang

berhubungan dengan nama nabi terakhir Muhammad SAW."' Berdasarkan nama itu

diharapkan bahwa setiap anggota Muhammadiyah dalam kehidupan beragama dan

bermasyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pribadi Nabi Muhammad SAW dan

Muhammadiyah menjadi organisasi akhir zaman. Sementara itu, Ahmad Dahlan

berhasil mengumpulkan 6 orang dari Kampung Kauman, yaitu: Sarkawi, Abdulgani,

Syuja, M. Hisyam, M. Fakhruddin, dan M. Tamim untuk menjadi anggota Budi Utomo

dalam rangka mendapat dukungan formal Budi Utomo dalam proses permohonan

pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda terhadap pembentukan Muhammadiyah.

Setelah seluruh persiapan selesai, berdasarkan kesepakatan bersama dan

setelah melakukan shalat istikharah akhirnya pada tanggal 18 November 1912 M atau 8

Dzulhijjah 1330 H persyarikatan Muhammadiyah didirikan. Dalam kesepakatan itu

juga ditetapkan bahwa Budi Utomo Cabang Yogyakarta akan membantu mengajukan

permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar pembentukan Muhammadiyah

diakui secara resmi sebagai sebuah badan hukum. Pada hari Sabtu malam, tanggal 20

Desember 1912, pembentukan Muhammadiyah diumumkan secara resmi kepada

masyarakat dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat

pemerintah kolonial, maupun para pejabat dan kerabat Kraton Kasultanan Yogyakarta

maupun Kadipaten Pakualaman.

Pada saat yang sama, Muhammadiyah yang dibantu oleh Budi Utomo secara

resmi mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengakui

Muhammadiyah sebagai suatu badan hukum. Menurut anggaran dasar yang diajukan

kepada pemerintah pada waktu pendirian, Muhammadiyah merupakan organisasi yang

bertujuan menyebarkan pengajaran agama Nabi Muhammad SAW kepada penduduk

37

bumiputra di Jawa dan Madura serta memajukan pengetahuan agama para anggotanya.

Pada waktu itu terdapat 9 orang pengurus inti, yaitu: Ahmad Dahlan sebagai kctua,

Abdullah Sirat sebagai sekretaris, Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad,

Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih sebagai anggota. Sementara itu, para anggota

hanya dibatasi pada penduduk Jawa dan Madura yang beragama Islam.

Perkembangan Muhammadiyah di Indonesia

1. Perkembanngan secara Vertikal.

Dari segi perkembangan secara vertikal, Muhammadiyah telah berkembang ke

seluruh penjuru tanah air. Akan tetapi, dibandingkan dengan perkembangan

organisasi NU, Muhammadiyah sedikit ketinggalan. Hal ini terlihat bahwa jamaah

NU lebih banyak dengan jamaah Muhammadiyah. Faktor utama dapat dilihat dari

segi usaha Muhammadiyah dalam mengikis adat-istiadat yang mendarah daging di

kalangan masyarakat, sehingga banyak menemui tantangan dari masyarakat.

2. Perkembangan secara Horizontal.

Dari segi perkembangan secara Horizontal, amal usaha Muhamadiyah telah banyak

berkembang, yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Perkembangan

Muhamadiyah dalam bidang keagamaan terlihat dalam upaya-upayanya, seperti

terbentukanya Majlis Tarjih (1927), yaitu lembaga yang menghimpun ulama-ulama

dalam Muhammadiyah yang secara tetap mengadakan permusyawaratan dan

memberi fatwa-fatwa dalam bidang keagamaan, serta memberi tuntunan mengenai

hukum. Majlis ini banyak telah bayak memberi manfaat bagi jamaah dengan usaha-

usahanya yang telah dilakukan:

a. Memberi tuntunan dan pedoman dalam bidang ubudiyah sesuai dengan

contoh yang telah diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

b. Memberi pedoman dalam penentuan ibadah puasa dan hari raya dengan

jalan perhitungan “hisab” atau “astronomi” sesuai dengan jalan

perkembangan ilmu pengetahuan modern.

c. Mendirikan mushalla khusus wanita, dan juga meluruskan arah kiblat yang

ada pada amasjid-masjid dan mushalla-mushalla sesuai dengan arah yang

benar menurut perhitungan garis lintang.

38

d. Melaksanakan dan menyeponsori pengeluaran zakat pertanian, perikanan,

peternakan, dan hasil perkebunan, serta amengatur pengumpulan dan

pembagian zakat fitrah.

e. Memberi fatwa dan tuntunan dalam bidang keluarga sejahtera dan keluarga

berencana.

f. Terbentuknya Departemen Agama Republik Indonesia juga termasuk peran

dari kepeloporan pemimpin Muhammadiyah.

g. Tersusunnya rumusan “Matan Keyakinan dan Cita-Cita hidup

Muhammadiyah”, yaitu suatu rumusan pokok-pokok agama Islam secara

sederhana, tetapi menyeluruh.

Dalam bidang pendidikan, usaha yang ditempuh Muhammadiyah meliputi:

a. Mendirikan sekolah-sekolah umum dengan memasukkan ke dalamnya ilmu-

ilmu keagamaan, dan

b. Mendirikan madrasah-madrasah yang juga diberi pendidikan pengajaran ilmu-

ilmu pengetahuan umum.

Dengan usaha perpaduan tersebut, tidak ada lagi pembedaan mana ilmu agama dan

ilmu umum. Semuanya adalah perintah dan dalam naungan agama. Dalam bidang

kemasyarakatan, usaha-usaha yang telah dilakukan Muhammadiyah meliputi:

a. Mendirikan rumah-rumah sakit modern, lengkap dengan segala peralatan,

membangun balai-balai pengobatan, rumah bersalin, apotek, dan sebagainya.

b. Mendirikan panti-panti asuhan anak yatim, baik putra maupun putri untuk

menyantuni mereka.

c. Mendirikan perusahaan percetakan, penerbitan, dan toko buku yang banyak

memublikasikan majalah-majalah, brosur dan buku-buku yang sangat

membantu penyebarluasan paham-paham keagamaan, ilmu, dan kebudayaan

Islam.

d. Pengusahaan dana bantuan hari tua, yaitu dana yang diberikan pada saat

seseorang tidak lagi bisa abekerja karena usia telah tua atau cacat jasmani.

e. Memberikan bimbingan dan penyuluhan keluarga mengenai hidup sepanjang

tuntunan Ilahi.

Dalam bidang politik, usaha-usaha Muhammadiyah meliputi:

39

a. Menentang pemerintah Hindia Belanda yang mewajibkan pajak atas ibadah

kurban. Hal ini berhasil dibebaskan.

b. Pengadilan agama di zaman kolonial berada dalam kekuasaan penjajah yang

tentu saja beragama Kristen. Agar urusan agama di Indonesia, yang sebagian

besar penduduknya beragama Islam, juga dipegang oleh orang Islam,

Muhammadiyah berjuang ke arah cita-cita itu.

c. Ikut memelopori berdirinya Partai Islam Indonesia. Pada tahun 1945 termasuk

menjadi pendukung utama berdirinya partai Islam Masyumi dengan gedung

Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah Yogyakarta sebagai tempat kelahirannya.

d. Ikut menanamkan rasa nasionalisme dan cinta tanah air Indonesia di kalangan

umat Islam Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam tabligh-

tablighnya, dalam khotbah ataupun tulisan-tulisannya.

e. Pada waktu Jepang berkuasa di Indonesia, pernah seluruh bangsa Indonesia

diperintahkan untuk menyembah dewa matahari, tuhan bangsa Jepang.

Muhammadiyah pun diperintah untuk melakukan Sei-kerei, membungkuk

sebagai tanda hormat kepada Tenno Heika, tiap-tiap pagi sesaat matahari

sedang terbit. Muhammadiyah menolak perintah itu.

f. Ikut aktif dalam keanggotaan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dan

menyokong sepenuhnya tuntutan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) agar

Indonesia mempunyai parlemen di zaman penjajahan. Begitu juga pada

kegiatan-kegiatan Islam Internasional, seperti Konferensi Islam Asia Afrika,

Muktamar Masjid se-Dunia, dan sebagainya, Muhammadiyah ikut aktif di

dalamnya.

g. Pada saat partai politik yang bisa amenyalurkan cita-cita perjuangan

Muhammadiyah tidak ada, Muhammadiyah tampil sebagai gerakan dakwah

Islam yang sekaligus mempunyai fungsi politik riil. Pada saat itu, tahun

1966/1967, Muhammadiyah dikenal sebagai ormaspol, yaitu organisasi

kemasyarakatan yang juga berfungsi sebagai partai politik.

Dengan semakin luasnya usaha-usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah,

dibentuklah kesatuan-kesatuan kerja yang berkedudukan sebagai badan pembantu

pemimpin persyarikatan. Kesatuan-kesatuan kerja tersebut berupa majelis-majelis dan

40

badan-badan. Selain majelis dan lembaga, terdapat organisasi otonom, yaitu organisasi

yang bernaung di bawah organisasi induk, dengan amasih tetap memiliki kewenangan

untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam persyarikatan Muhammadiyah,

organisasi otonom (Ortom) ini ada beberapa buah, yaitu:

1. ‘Aisyiyah

2. Nasyiatul ‘Aisyiyah

3. Pemuda Muhammadiyah

4. Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM)

5. Ikatan Mahasiswa Muhamadiyyah (IMM)

6. Tapak Suci Putra Muhamadiyah

7. Gerakan Kepanduan Hizbul-Wathan

Organisasi-organisasi otonom tersebut termasuk kelompok Angkatan Muda

Muhammadiyah (AMM). Keenam organisasi otonom ini berkewajiban mengemban fungsi

sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah.

Sebagaimana organisasi lainya, Muhammadiyah didirikan dengan membawa tujuan

misi tertentu. bila di cermati tujuan persyarikatan Muhammadiyah selalu nmengalami

perubahan. pada awal berdirinya th.1912 misalnya,rumusan tujuan Muhammadiyah

berbeda dengan rumusan tujuan Muhammadiyah pada th.1986

Stauten pertama kali adalah :

Menyebarkan pengajaran agama Kanjeng Nabi Muhammadiyah saw kepada

penduduk bumi putera dalam residensi Yogyakarta

Memajukan hal agama kepada anggota-anggota nya

Kemudian pada tahun 1921 berubah menjadi :

Memajukan dan menggembirakan pengajaran pengajaran agama islam di Hindia

Nederland

Memajukan dan menggenbirakan cara kehidupan sepanjang kemauan agama islam

kepada lid-lid nya (segala sekutunya)

Pada tahun 1950 mengalami perubahan lagi yaitu :

” Memajukan dan menjunjung tinggi agama islam,sehingga terwujud masyarakat islam yang

sebenarnya”

41

Perubahan terakhir terjadi di sebabkan oleh lahirnya UU No.8 thy 1985 yang menyesuaikan

nilai pancasila. Rumusan tujuanya di cantumkan dalam pasal.2 ayat 1 pada Muktamar ke-41 di

Solo di bawah judul Nama, identitas dan kedudukan , berbunyi ; adalah gerakan islam dan

dakwah amar ma’ruf nahi munkar, beraqidah islam dan bersumber al-Qur’an dan sunnah.

Sementara itu, Pasal3 tentang maksud dan tujuan Muhammadiyah adalah merupakan definisi

operasional dari asas pancasila dan dipahami sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa yang berinti

Tauhid : Keimanan kepada Allah swt, Adapun maksud dan tujuan Muhammadiyah hasil

keputusan Muktamar ke-41 Solo adalah : “Menengakkan dan menjunjung tinggi agama islam

sehingga terwujud masyarakat utama,adil dan makmur yang di ridhai Allah Subhanahu Wata ala.

C. KESIMPULAN

1. K.H. Ahmad Dahlan adalah pribadi yang bertanggung jawab dan mampu melahirkan

generasi produktif dan berdaya kreatif.

2. Pengetahuan K.H. Ahmad Dahlan mencakup berbagai disiplin ilmu, menjadikan K.H.

Ahmad Dahlan sebagai orang yang berfikir jauh ke depan.

3. K.H. Ahmad Dahlan mempunyai semboyan pendidikan “Jadilah guru sekaligus murid”

4. Kehidupan yang tampak ketika itu adalah sinkreatisme yaitu campuran antara

kepercayaan tradisional yang telah menjelma menjadi adat kebiasaan yang bersifat

agamis dengan bentuk mistik yang dijiwai oleh agama Hindu atau Budha.

5. Sebelum Muhammadiyah berdiri, pendidikan di Indonesia terpecah menjadi dua, yitu

pendidikan pesantren dan pendidikan barat.

42

DAFTAR PUSTAKA

Hamka. 1975. Sejarah Umat Islam Jilid IV. Jakarta : B ulan Bintang.

Hefner, R.W., Mulyadi Sukidi., Mulkhan, A.M (2008). Api Pembaharuan Kiai Ahmad

Dahlan. Yogyakarta : Multi Pressindo Yogyakarta

Hurgronje, Snouck. 1973. Islam di Hindia Belanda (terjemah oleh S. Gunawan). Jakarta:

Bahratara Karya Aksara.

Lapidus, Ira M. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Mulkhan, A.M. 1990. K.H.Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah. Jakarta : BUMI

AKSARA.

Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:

PT.Raja Grafindo Persada.

Nata, Abuddin. 2007. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta : Rajawali Press

Nugraha, Adi. 2009. Biografi Singkat K.H.Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Suja, H. 1989. Muhammadiyah dan Pendirinya. Yogyakarta: Majelis Pustaka.

Truna, Dody S, dan Ismatu Ropi. 2002. Pranata Islam di Indonesia Pergulatan Sosial,

Politik,