Makalah Kejang Sepsis
description
Transcript of Makalah Kejang Sepsis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejang pada neonatus (neonatal fit) merupakan suatu tanda penyakit
yang menyerang susunan saraf pusat (SSP), kelainan metabolik dan penyakit
lain yang menyebabkan kerusakan otak. Kejang pada neonatus sukar
diklasifikasikan, dikenali maupun diobati. Pada neonatus cukup bulan (NCB)
maupun neonatus kurang bulan (NKB) kejang dapat menyebabkan kerusakan
saraf yang permanen dan menimbulkan gangguan neurologis di masa datang
seperti gangguan kognitif yang berkepanjangan serta meningkatkan resiko
kejadian epilepsi.
Kejang pada masa neonatus dibandingkan dengan anak besar
frekuensinya relatif tinggi. Di samping hal tersebut diagnosis kejang pada
neonatus juga lebih sulit karena kejang subtle yang menyerupai gerakan-
gerakan normal. Angka kejadian kejang yang sebenarnya tidak diketahui
karena manifestasi klinis kejang sangat bervariasi dan sering sulit dibedakan
dengan gerakan normal. Di bangsal Perinatologi Neonatal Intensive Care Unit
(NICU) dan Pediatric Intensive Care Unit (PICU) Departemen IKA FKUI RSCM
didapatkan kejadian kejang selama tahun 2003 sebanyak 17 neonatus.
Meskipun angka kejadian kejang pada neonatus kecil akan tetapi mengenali
bentuk (tipe) kejang neonatus menjadi satu hal penting karena kejang pada
neonatus mungkin merupakan satu-satunya tanda adanya gangguan SSP,
selain itu manifestasi kejang juga berguna untuk menentukan prognosis.
1
2
Etiologi kejang pada neonatus ada beberapa macam, pada sebagian
besar disebabkan oleh Hipoksik Iskemik Ensefalopati (HIE), perdarahan
intrakranial, infeksi intrakranial, gangguan metabolik dan kelainan bawaan.
Sepsis neonatal adalah sindrom klinik penyakit sistemik, disertai
bakteremia yang terjadi pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan.
Angka kejadian sepsis neonatal adalah 1-10 per 1000 kelahiran hidup, dan
mencapai 13-27 per 1000 kelahiran hidup pada bayi dengan berat <1500
gram. Angka kematian 13-50%, terutama pada bayi prematur (5-10 kali
kejadian pada neonatus cukup bulan) dan neonatus dengan penyakit berat
dini. Infeksi nosokomial pada bayi berat lahir sangat rendah, merupakan
penyebab utama tingginya kematian pada umur setelah 5 hari kehidupan
(Pusponegoro, 2000; h. 96).
Sepsis neonatal dapat terjadi secara dini, yaitu pada 5-7 hari pertama
dengan organisme penyebab didapat dari intrapartum atau melalui saluran
genital ibu. Sepsis neonatal dapat terjadi setelah bayi berumur 7 hari atau
lebih yang disebut sepsis lambat, yang mudah menjadi berat dan sering
menjadi meningitis. Sepsis nosokomial terutama terjadi pada bayi berat lahir
sangat rendah atau bayi kurang bulan dengan angka kematian yang sangat
tinggi. Karena masih tingginya angka kematian sepsis neonatal, tatalaksana
yang utama adalah upaya pencegahan dengan pemakaian proteksi di setiap
tindakan terhadap neonatus, termasuk pemakaian sarung tangan, masker,
baju dan kacamata debu serta mencuci segera tangan dan kulit yang terkena
darah atau cairan tubuh lainnya (Pusponegoro, 200; h. 96).
Berdasarkan uraian di atas penulis menyusun makalah yang berjudul
“Kejang Sepsis pada Neonatus”. Dengan penyusunan makalah ini
3
diharapakan penulis maupun pembaca dapat memahami tentang kejang dan
sepsis pada neonatus sehingga dapat memberikan asuhan kebidanan pada
kasus kejang dan sepsis neonatus yang bermutu serta dapat meningkatkan
upaya preventif terjadinya kejang dan sepsis pada neoantus sehingga dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas bayi baru lahir.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari peyusunan makalah ini adalah agar mahasiswa mengerti
dan memahami tentang kasus kegawatdaruratan pada neonatal khususnya
kejang dan sepsis pada neonatus.
C. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah mahasiswa dapat
meningkatkan pengetahuan dan pemahamannya dalam kasus
kegawatdaruratan neonatal khususnya kasus kejang dan sepsis pada
neonatus.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Kejang Neonatus
1. Definisi Kejang Neonatus
Kejang pada bayi baru lahir manifestasinya dapat berupa tremor,
hiperaktif, tiba-tiba menangis melengking, tonus otot hilang serta bisa disertai
hilangnya kesadaran maupun tidak, gerakan vokal ujung tangan, bola mata,
menghisap-hisap terus, mengunyah, gerakan otot muka, dll (Sudarti dan
Afroh, 2013).
Kejang adalah suatu perubahan fungsi pada otak secara mendadak
atau singkat atau sementara yang dapat disebabkan oleh aktivitas yang
abnormal serta adanya pelepasan listrik serebral yang sangat berlebihan.
Terjadinya kejang dapat disebabkan oleh malformasi otak kongenital, faktor
genetis atau adanya penyakit seperti meningitis, ensefalitis serta demam
yang tinggi atau dapat dikenal dengan istilah kejang demam, gangguan
metabolisme, trauma dan lainnya sebagainya. Apabila kejangnya bersifat
kronis dapat dikatakan sebagai epilepsi yang terjadi secara berulang-ulang
dengan sendirinya (Maryanti, dkk. 2011).
Kejang adalah perubahan secara tiba-tiba fungsi neurologi, baik fungsi
motorik maupun fungsi atonomik karena kelebihan pancaran listrik pada
otak. Kejang merupakan keadaan kegawatdaruratan atau tanda bahaya
yang sering terjadi pada neonatus, karena kejang yang berkepanjangan
dapat menyebabkan hipoksia otak yang cukup berbahaya bagi
kelangsungan hidup bayi atau dapat mengakibatkan gejala sisa di kemudian
4
5
hari. Kejang pada bayi baru lahir sering disebut neonatal fit. Kejang pada
bayi baru lahir adalah kejang yang terjadinya dalam usia bayi sampai 28 hari
setelah lahir. Kejang pada bayi baru lahir bukanlah suatu penyakit,
melainkan merupakan gejala dari gangguan syaraf pusat, lokal atau sistemik
(Maryunani dan Nurhayati, 2009; h. 197-198).
2. Penyebab
Menurut Sudarti dan Afroh (2013), penyebab dari kejang pada
neonatus antara lain:
a. Komplikasi perinatal
1) Pasca asfiksia;
2) Hipoksi-iskemik enchepalopati (biasanya kejang timbul 24 jam pertama
setelah lahir );
3) Trauma pada kepala (panggul sempit, persalinan presbo, VE).
4) Perdarahan intrakranial (epidural, subdural, subarachnoid,
intraventrikuler, pasca hipoksia).
b. Kelainan metabolik
1) Hipoglikemia (kadar gula darah <40 mg/dl)
Gejala: letargi, hipotoni, apnea, sianosis, refleks hisap lemah, kejang,
biasanya terjadi pada bayi kurang bulan, ibu DM, bayi KMK.
2) Hipokaselmia (kadar kalsium darah <7 mg/dl atau <2,2 mmol/lt)
Terjadi pada bayi KMK, ibu dengan hipoparatiroid.
3) Hipo/hipertermia (kadar natrium <130 mEq/L atau 150 Me/lt.
4) Hiperbilirubinea (kern ikterik)
5) Kekurangan Vitamin B6
6
6) Infeksi
a) Tetanus neonatorum (kejang otot mulut, bayi tidak mau menyusu,
kejang tengkuk, dinding perut, kejang dengan rangsangan);
b) Meningitis (virus, kuman,parasit).
7) Kelainan bawaan: anensefali, hidrocephalus, meningo ensefalokel
Menurut Maryunani dan Nurhayati (2009; h. 200-202), penyebab paling
sering terjadinya kejang pada neonatus (80-85%) adalah:
a. Hipoksik Iskemik Ensefalopati (HIE)
Menurut Ronen, dkk. kasus kejang pada neonatus dengan HIE
merupakan kejang yang terbanyak pada bayi baru lahir, yaitu sekitar 40%.
Kejang terjadi dalam 24 jam pertama. HIE terjadi sekunder akibat asfiksia
perinatal. Asfiksia menyebabkan kerusakan langsung susunan syaraf
pusat. Semua tipe kejang dapat dijumpai pada HIE.
b. Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesemia,
gangguan metabolik lainnya)
Kejang pada neonatus sering disebabkan oleh gangguan metabolisme
glukosa, kalsium, magnesium dan gangguan metabolik lainnya. Beberapa
gangguan metabolik tersebut adalah:
1) Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan masalah metabolik yang bersifat sementara
akibat kekurangan produksi glukosa karena kurangnya depot glikogen
di hati atau menurunnya glukoneogenesis lemak dan asam amino.
Hipoglikemia sering terjadi pada neonatus kurang bulan (NKB),
neoantus kecil masa kehamilan (KMK), neonatus besar masa
kehamilan (BMK) dan neoantus dengan ibu penderita Diabetes Melitus
7
yang tidak terkontrol. Pada bayi baru lahir dikatakan hipoglikemia
apabila kadar gula darahanya kurang dari 40 mg/dl (ada beberapa unit
yang membatasi kurang dari 47 mg/dl). Kelainan neurologis berupa
kejang sering dijumpai pada neonatus yang kecil masa kehamilan
(KMK). Kejang biasanya pada hari kedua setelah lahir.
2) Hipokalsemia
Hipokalsemia adalah kadar kalsium darah kurang dari 7 mg%.
Hipokalsemia pada bayi baru lahir dapat menyebabkan kejang sekitar
3%, yang dapat terjadi bersamaan dengan gangguan metabolik
lainnya. Hipokalsemia dapat terjadi pada neonatus kecil masa
kehamilan, neonatus kurang bulan, neonatus yang lahir dari ibu
penderita Diabetes Melitus dan neonatus dengan enselofalopati
hipoksik iskemik (HIE), yang biasanya terjadi pada hari ke-2 atau ke-3
setelah lahir. Ini disebut hipokalsemia awitan dini. Apabila
hipokalsemia terjadi pada minggu pertama atau minggu kedua
dikatakan bayi mengalami hipokalsemia awitan lambat, yang dapat
terjadi pada neonatus besar masa kehamilan, neonatus cukup bulan,
neonatus yang mendapat susu sapi dengan kadar fosfat, kalsium dan
magnesium yang tidak tepat.
3) Hipomagnesia
Hipomagnesia adalah kadar magnesium kurang dari 1,2 mg/dl yang
sering terjadi bersamaan dengan hipokalsemia.
8
c. Perdarahan intrakranial (subaraknoid primer, subdural, intraventrikuler-
periventrakuler)
1) Perdarahan intrakranial yang dapat menyebabkan kejang dapat terjadi
pada daerah subarakhnoid, subdural, intraventrikuler-periventrakuler);
2) Perdarahan subarakhnoid dapat terjadi akibat trauma langsung,
misalnya partus lama yang menyebabkan robekan vena superfisial.
Kejang biasanya timbul pada hari kedua setelah lahir;
3) Perdarahan subdural, dapat terjadi akibat trauma langsung karena
tindakan ekstrasi forcep pada neonatus cukup bulan dan neonatus
besar masa kehamilan atau akibat presentasi bokong dan partus
precipitatus. Perdarahan terjadi karena adanya robekan tentorium
dekat false serebri yang menyebabkan penekanan batang otak
sehingga terjadi kejang. Kejang biasanya timbul pada hari pertama
setelah lahir;
4) Perdarahan intraventrikuler-periventrikuler, dapat terjadi akibat adanya
perdarahan dari pembuluh darah kecil pada subependimal matriks
germinalis atau akibat adanya lesi pada daerah tersebut. Perdarahan
ini sering terjadi pada neonatus kurang bulan. Kejang biasanya terjadi
dalam beberapa jam setelah lahir.
d. Infeksi intrakranial
Infeksi pada bayi baru lahir yang dapat menyebabkan kejang dapat terjadi
di dalam rahim atau intrauterine atau sebelum lahir, seperti disebabkan
karena toksoplasma, rubella, herpes, sitomegalovirus. Sementara itu,
infeksi pada bayi baru lahir yang terjadi selama persalinan atau segera
setelah lahir disebabkan oleh infeksi bakteri atau nonbakteri.
9
e. Kelainan bawaan
Kejang pada bayi baru lahir dapat terjadi pada bayi yang mengalami
gangguan perkembangan otak, seperti mikrogria, pakigria atau heteropia.
Kejang dapat timbul setiap saat.
f. Hiperbilirubinemia (kern ikterus)
Hiperbilirubinemia sebagai penyebab kejang saat ini jarang ditemukan
setelah keberhasilan tindakan transfusi tukar terhadap hiperbilirubinemia.
g. Idiopatik
Kejang idiopatik merupakan kejang yang tidak diketahui penyebabnya
yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat keluarga atau adanya status
epileptikus pada bayi.
3. Patofisiologi
Kejang adalah depolarisasi berlebihan dari sel-sel neuron otak yang
mengakibatkan perubahan yang bersifat paroksimal fungsi sel-sel neuron
(perilaku, fungsi motorik dan otonom) dengan satu atau tanpa perubahan
kesadaran. Kejang pada neonatus berbeda dari kejang pada bayi, anak
maupun dewasa dan manifestasi kejang pada bayi prematur dibandingkan
cukup bulan juga berbeda. Kejang neonatus lebih bersifat fragmenter,
kurang terorganisir dan hampir tidak pernah bersifat kejang umum tonik
klonik. Kejang pada bayi prematur lebih tidak terorganisir dibandingkan bayi
cukup bulan. Hal ini berkaitan dengan perkembangan neuroanatomi dan
neurofisiologi pada masa perinatal (Handryastuti, 2012).
Organisasi korteks serebri pada neonatus belum sempurna, selain itu
pembentukan dendrit, akson, sinaptogenesis dan proses mielinisasi dalam
sistem eferen korteks belum selesai. Hal ini mengakibatkan kejang yang
10
terjadi tidak dapat menyebar ke bagian otak yang lain sehingga tidak
menyebabkan kejang umum. Sedangkan daerah subkorteks seperti sistem
limbik berkembang lebih dahulu dibandingkan daerah korteks dan bagian ini
sudah terhubung dengan diensefalon dan batang otak sehingga kejang pada
neonatus lebih banyak bermanifestasi gerakan-gerakan seperti oral-buccal-
lingual movements seperti menghisap, mengunyah, drooling, gerakan bola
mata dan apnea (Handryastuti, 2012).
Hubungan antara sinaps eksitasi dan inhibisi merupakan factor apakah
kejang yang terjadi akan menyebar ke daerah lain. Ternyata kecepatan
perkembangan aktivitas sinaps eksitasi dan inhibisi di otak manusia berbeda-
beda. Sinaps eksitasi berkembang lebih dahulu dibandingkan sinaps inhibisi
di daerah limbik dan korteks. Selain itu daerah hipokampus dan neuron
korteks yang masih imatur lebih mudah terjadi kejang dibandingkan yang
telah matur. Belum berkembangnya sistem inhibisi di substansia nigra juga
mempermudah timbulnya kejang (Handryastuti, 2012).
4. Klasifikasi
Menurut Volpe (1989) dalam maryunani dan Nurhayati (2009; h. 198-
199), kejang pada bayi baru lahir yang diklasifikasikan berdasarkan
gambaran klinis adalah sebagai berikut:
a. Kejang subtle
Kejang subtle meliputi:
1) Gerakan stereotip berulang pada ekstremitas seperti gerakan
mengayuh sepeda atau berenang;
2) Deviasi atau kejut pada bola mata secara horizontal (mata seperti
matahari setengah terbenam di mana pupil masih terlihat pada waktu
11
bayi tidur) tanpa gerakan cepat; mata mengedip berulang; kelopak
mata bergetar berulang-ulang;
3) Gerakan pada wajah berulang seperti ngiler, gerakan menghisap atau
mengunyah atau gerakan lain pada pipi dan lidah;
4) Apnea atau perubahan tiba-tiba pada pola pernapasan (bila apnea saja
terutama pada bayi kurang bulan bukan kkejang, tetapi bila apnea
disertai gerakan lainnya, misalnya gerakan kelopak mata atau lainnya
kemungkinan adalah kejang);
5) Bisa terjadi pada bayi baru lahir cukup bulan atau bayi kurang bulan
(prematur).
b. Kejang klonik
Kejang klonik meliputi:
1) Terdiri dari gerakan kejut pada ekstremitas yang perlahan dan
berirama (1-3 detik/menit);
2) Perubahan posisi atau memegang ekstremitas yang bergerak tidak
akan menghambat gerakan tersebut;
3) Penyebabnya bisa fokal maupun multifokal;
4) Tiak terjadi hilang kesadaran dan berkaitan dengan trauma fokal, infark
metabolisme atau gangguan;
5) Biasaya terjadi pada bayi baru lahir cukup bulan.
c. Kejang tonik
Kejang tonik meliputi kejang tonik fokal atau umum.
1) Kejang tonik fokal, gambarannya adalah:
a) Kejang yang tampak dari salah satu ekstremitas atau batang tubuh
atau deviasi tonik kepala atau mata;
12
b) Sebagian besar kejang tonik terjadi bersamaan dengan penyakit
sistem syaraf pusat yang difus dan perdarahan intraventikulaer;
c) Tampak lebih sering pada bayi prematur.
2) Kejag tonik umum, gambarannya adalah:
a) Fleksi atau eksistensi tonik pada ekstremitas bagian atas, leher atau
batang tubuh yang berkaitan dengan eksistensi tonus pada
ekstremitas bagian bawah;
b) Pada 85% kasus kejang tonik tidak berkaitan dengan perubahan
otonomis seperti meningkatnya detak jantung, tekanan darah atau
kulit memerah;
c) Biasanya terjadi pada bayi kurang bulan (prematur).
d. Mioklonik
Kejang miokloik meliputi:
1) Kejang mioklonik fokal, multifokal atau umum;
2) Kejang mioklonik fokal tampak melibatkan otot fleksor pada
ekstremitas;
3) Kejang mioklonik multifokal tampak sebagia gerakan kejutan yang
tidak sinkron pada beberapa bagian tubuh;
4) Kejang mioklonik umum tampak sangat jelas berupa feksi massif pada
kepala dan batang tubuh dengan ekstensi atau fleksi pada ekstremitas;
5) Sering mengindikasikan etiologi metabolik;
6) Kejang mioklonik paling jarang terjadi bila dibandingkan dengan kejang
lainnya.
13
5. Manifestasi Klinik
Menururt Maryunani dan Nurhayati (2009; h. 203-204), manifestasi
klinik dari kejang pada bayi baru lahir telah dijelaskan pada klasifikasi kejang.
Namun, ada istilah-istilah berikut ini yang perlu dipahami untuk
membedakannya dari kejang pada bayi baru lahir, yaitu:
a. Jitteriness pada bayi baru lahir merupakan:
1) Gerakan seperti menggigil, yang sering dikaburkan dengan kejang
pada neonatus bagi yang belum berpengalaman;
2) Gerakan berulang pada ekstremitas yang bisa terlihat disertai dengan
menangis, bisa terjadi dengan perubahan keadaan tidur atau bisa
terjadi apabila dirangsang/distimulasi;
3) Relatif umum terjadi pada neoantus, dimana satu studi diketahui
mengenai 44% neonatus sehat yang cukup bulan (Parker, et al, 1990)
dan pada tingkat ringan dapat dianggap normal selama 4 hari pertama
dalam kehidupan bayi;
4) Jitteriness dapat dibedakan dari kejang oleh beberapa karakteristik,
yaitu: jitteriness tidak disertai gerakan ocuar mata seperti pada kejang;
gerakan dominan dari jitterinesss adalah jerking klonik yang tidak
dapat ia hentikan dengan fleksi anggota tubuhnya yang terkena dan
jitteriness sangat sensitif terhadap stimulasi sedangkan kejang tidak.
b. Tremor didefinisikan sebagai gerakan berulang pada kedua tangan
(dengan atau tanpa gerakan pada kaki atau rahang) dengan frekuensi 2-5
detik dan berlangsung lebih dari 10 menit. Ini merupakan gejala umum
pada bayi baru lahir yang mempunyai berbagai penyebab termasuk
kerusakan neurologis, hipoglikemia dan hipokalsemia.
14
6. Prognosis
Kejang neonatus sebanyak 25-30% berhubungan dengan gangguan
perkembangan. Faktor penentu utama dari prognosis adalah etiologi,
neonatus dengan disgenesis serebral serta hipoksik-iskemik sedang dan
berat mempunyai prognosis yang buruk. Gangguan metabolik akut dan
perdarahan subarakhnoid mempunyai prognosis yang baik, sedangkan
infeksi intrakranial dan IEM mempunyai prognosis yang bervariasi.
Karakteristik kejang juga mempengaruhi prognosis, kejang onset dini,
kejang berulang dan berkepanjangan yang resisten terhadap pengobatan
mempunyai prognosis yang buruk.
Kejang tonik berhubungan dengan palsi serebral, retardasi mental dan
epilepsi. Sedangkan kejang mioklonik berkaitan dengan retardasi mental.
Penelitian Brunquell menunjukkan bahwa dibandingkan dengan tipe kejang
yang lain kejang subtle dan tonik umum mempunyai komplikasi epilepsi,
retardasi mental. Gambaran EEG juga merupakan faktor prognosis, EEG
interiktal yang normal 85% mempunyai prognosis yang baik, sedangkan
gambaran EEG yang isoelektrik, voltase rendah atau paroksimal burst-
suppression mempunyai prognosis buruk (Handryastuti, 2012).
7. Penatalaksanaan
Menurut Sudarti dan Afroh (2013), penatalaksanaan kejang pada
neonatus adalah:
a. Cari penyebab;
b. Oksigen;
c. Infus dengan dextrose;
15
d. Anti kejang;
1) Luminal/fenobarbital 15 mg/kg BB IV/IM ditunggu 1 jam, bila masih
kejang diberi lagi 10 mg/kg BB/satu kali pemberian.
2) Jika berhasil dilanjutkan dengan dosis rumatan 5-8 mg/kg BB/hari, bila
tidak berhasil diberi fenitoin 15 mg/kg BB IV pelan dilanjutkan 5-8
mg/kg BB/hari.
e. Kalsium glukonas 1-2 ml/kg/hari dilarutkan dalam dextrose drip
f. vit B6 50 mg/kg BB/satu kali pemberian;
g. Antibiotik;
h. Pantau tanda vital;
i. Jaga suhu tubuh tetap stabil.
B. Sepsis Neonatorum
1. Definisi
Sepsis merupakan infeksi sistemik pada neonatus. Penyebabnya
bakteri, jamur dan virus. Insidennya 1-10/1000 kelahiran hidup. Angka
kematian akibat sepsis 13-50%. Sepsis merupakan penyebab kematian
utama disamping asfiksia, hipotermi dan BBLR (Sudarti dan Afroh, 2013).
Sepsis neonatorum atau septicemia neonatorum merupakan keadaan
dimana terdapat infeksi oleh bakteri dalam darah di seluruh tubuh. Sepsis
merupakan respon tubuh terhadap infeksi yang menyebar melalui darah dan
jaringan lain. Sepsis bakterial pada neonatus adalah sindrom klinis dengan
gejala infeksi sistemik dan diikuti dengan bakterimia pada bulan pertama
kehidupan (WHO, 1996). Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan
mulai dari infeksi, SIRS (Systeic Inflamatory Response Syndrome), sepsis,
16
sepsis berat, syok septic, disfungsi multiorgan dan akhirnya kematian
(Maryunani dan Nurhayati, 2009; h. 119).
Sepsis neonatal adalah sindrom klinik penyakit sistemik, disertai
bakteremia yang terjadi pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan.
Angka kejadian sepsis neonatal adalah 1-10 per 1000 kelahiran hidup, dan
mencapai 13-27 per 1000 kelahiran hidup pada bayi dengan berat <1500
gram. Angka kematian 13-50%, terutama pada bayi prematur (5-10 kali
kejadian pada neonatus cukup bulan) dan neonatus dengan penyakit berat
dini. Infeksi nosokomial pada bayi berat lahir sangat rendah, merupakan
penyebab utama tingginya kematian pada umur setelah 5 hari kehidupan
(Pusponegoro, 2000; h. 96).
2. Klasifikasi
Menurut Maryunani dan Nurhayati (2009; h. 120), berdasarkan waktu
terjadinya sepsis neonatorum dapat ibagi menjadi dua:
a. Sepsis dini atau sepsis awitan lanjut
Merupakan infeksi peerinatal yang terjadi segera dalam periode setelah
lahir (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses
kelahiran atau in utero. Karakteristiknya sumber organisme pada pada
saluran genitalia ibu atau cairan amnion, biasanya fulminan dengan
angka mortalitas tinggi. Jenis kuman yang sering diteukan adalah
Streptokokus grup B, E. coli, Haemophilus influenza, Listeria
monocytogenesis, batang gram negatif.
b. Sepsis lanjut atau sepsis nosokomial atau sepsis awitan lanjut (SAL)
Merupakan infeksi setelah lahir (lebih dari 72 jam) yang diperoleh dari
lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Didapat dari
17
bentuk langsung atau tidak langsung dengan organisme yang ditemukan
dari lingkungan tempat perawatan bayi, sering mengalami komplikasi.
3. Etiologi
Organisme penyebab sepsis primer berbeda dengan sepsis
nosokomial. Sepsis primer biasanya disebabkan: Streptokokus Grup B
(GBS), kuman usus Gram negatif, terutama Escherisia coli, Listeria
monocytogenes, Stafilokokus, Streptokokus lainnya (termasuk Enterokokus),
kuman anaerob, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan penyebab sepsis
nosokomial adalah Stafilokokus (terutama Staphylococcus epidermidis),
kuman Gram negatif (Pseudomonas, Klebsiella, Serratia, dan Proteus), dan
jamur (Pusponegoro, 2000; h. 97).
Penyebab sepsis neonatorum adalah berbagai macam kuman seperti
bakteri, virus, parasit atau jamur. Sepsis pada bayi hampir selalu disebabkan
oleh bakteri, seperti Acinetobacter sp, Anterobacter sp, Pseudomonas sp,
Serratia sp, Escherichia coli, grup B Streptococcus, Listeria sp, dll
(Maryunani dan Nurhayati, 2009; h. 121).
Menurut Maryunani dan Nurhayati (2009; h. 121), beberapa komplikasi
kehamilan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya sepsis pada neonatus
adalah:
a. Perdarahan;
b. Demam yang terjadi pada ibu;
c. Infeksi pada uterus atau plasenta;
d. Ketuban pecah dini (sebelum usia kehamilan 37 minggu);
e. Ketuban pecah terlalu cepat saat persalinan (18 jam atau lebih sebelum
melahirkan);
18
f. Proses kelahiran yang lama dan sulit.
4. Patofisiologi
Sesuai dengan patogenesis, secara klinik sepsis neonatal dapat
dikategorikan dalam: Sepsis dini, terjadi pada 5-7 hari pertama, tandanya
yaitu distres pernapasan lebih mencolok, organisme penyebab penyakit
didapat dari intrapartum, atau melalui saluran genital ibu. Pada keadaan ini
kolonisasi patogen terjadi pada periode perinatal. Beberapa mikroorganisme
penyebab, seperti treponema, virus, listeria dan candida, transmisi ke janin
melalui plasenta secara hematogenik. Cara lain masuknya mikroorganisme,
dapat melalui proses persalinan. Dengan pecahnya selaput ketuban, mikro-
organisme dalam flora vagina atau bakteri pathogen lainnya secara asenden
dapat mencapai cairan amnion dan janin. Hal ini memungkinkan terjadinya
khorioamnionitis atau cairan amnion yang telah terinfeksi teraspirasi oleh
janin atau neonatus, yang kemudian berperan sebagai penyebab kelainan
pernapasan. Adanya verniks atau mekoneum merusak peran alami
bakteriostatik cairan amnion. Akhirnya bayi dapat terpapar flora vagina waktu
melalui jalan lahir. Kolonisasi terutama terjadi pada kulit, nasofaring,
orofaring, konjungtiva, dan tali pusat. Trauma pada permukaan ini
mempercepat proses infeksi. Penyakit dini ditandai dengan kejadian yang
mendadak dan berat, yang berkembang dengan cepat menjadi syok sepsis
dengan angka kematian tinggi. Insidens syok septik 0,1-0,4% dengan
mortalitas 15-45% dan morbiditas kecacatan saraf. Umumnya terjadi setelah
bayi berumur 7 hari atau lebih (Pusonegoro, 2000; h. 97).
Sepsis lambat mudah menjadi berat, tersering menjadi meningitis.
Bakteri penyebab sepsis dan meningitis, termasuk yang timbul sesudah lahir
19
yang berasal dari saluran genital ibu, kontak antar manusia atau dari alat-alat
yang terkontaminasi. Di sini transmisi horisontal memegang peran. Insiden
sepsis lambat sekitar 5-25%, sedangkan mortalitas 10-20% namun pada
bayi kurang bulan mempunyai risiko lebih mudah terinfeksi, disebabkan
penyakit utama dan imunitas yang imatur (Pusponegoro, 2000; h. 97).
Menurut Maryunani dan Nurhayati (Maryunani dan Nurhayati, 2009; h.
121-122), patofisiologi sepsis neonatorum yaitu:
a. Selama dalam kandungan
Oleh karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta,
selaput amnion, khorion dan beberapa factor anti infeksi pada cairan
amnion. Janin selama dalam kandungan sebenarnya relative aman
terhadap kontaminasi. Namun, terdapat beberapa kemungkinan
kontaminasi kuman melalui:
1) Infeksi kuman yang diderita ibu yang dapat mencapai janin melalui
aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin;
2) Prosedur tindakan obstetric yang kurang memperhatikan factor
ntiseptik misalnya pada saat pengambilan contoh darah janin;
3) Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina
akan berperan dalam infeksi janin.
b. Setelah lahir
Kontaminasi kuman dapat terjadi dari lingkungan bayi antara lain:
1) Infeksi silang;
2) Alat-alat yang digunakan bayi kurang bersih atau steril;
3) Prosedur invasive seperti kateterisasi umbilicus;
4) Kurang memperhatikan tindakan aseptic;
20
5) Rawat inap terlalu lama;
6) Bayi yang dirawat terlalu banyak atau padat.
5. Faktor resiko
Menurut Maryunani dan Nurhayati (2009; h. 122-123), faktor resiko sepsis
neonatorum yaitu:
a. Faktor resiko dilihat dari:
1) Sepsis awitan dini (SAD), meliputi:
a) Kolonisasi maternal dalam GBS, infeksi fekal;
b) Malnutrisi pada ibu;
c) Prematuritas, BBLR;
2) Sepsis awitan lanjut (SAL), meliputi:
a) BBLR, pertumbuhan janin terhambat (IUGR);
b) Nutrisi parenteral totalis, pemberian makan melalui selang;
c) Pemberian antibiotic.
b. Faktor resiko dilihat dari faktor resiko ibu dan bayi
1) Faktor resiko ibu
a) Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lama > 18 jam;
b) Infeksi dan demam > 380C pada masa peripartum karena
korioamnionitis, infeksi saluran kemih, kolonisasi kuman
Streptococcus grup B di vagina, kolonisasi kuman E. coli di
perineum;
c) Cairan ketuban hijau dan keruh;
d) Kehamilan kembar;
e) Faktor social ekonomi dan gizi buruk pada ibu.
21
2) Faktor resiko bayi
a) Bayi premature dan berat lahir rendah;
b) Bayi dengan cacat bawaan;
c) Bayi dirawat di rumah sakit;
d) Bayi dilakukan tindakan resusuitasi pada saat lahir;
e) Bayi dilakukan prosedur invasive, seperti pemasangan infuse,
kateter, intubasi ETT, pemakaian ventilator, akses vena sentral,
pembedahan;
f) Bayi dengan asfiksia neonatorum;
g) Bayi yang tidak diberi ASI;
h) Bayi dengan pemberian nutrisi parenteral;
i) Bayi yang dirawat terlalu lama di ruang intensif bayi;
j) Bayi yang dirawat di ruang rawat bayi baru lahir terlalu padat;
k) Kebersihan ruang bayi atau ruang intensif bayi yang buruk;
l) Prosedur cuci tangan yang tidak benat pada tenaga kesehatan
maupun anggota keluuarga pasien (bayi).
6. Manifestasi klinis
Menurut Sudarti dan Afroh (2013), diagnosis timbul bila ada 1 gejala
atau tanda minimal pda 4 kelompok gejala sbb:
a. Gejala Umum: tampak sakit
1) Tidak mau minum
2) Suhu naik turun
3) Sklerema
22
b. Gejala gastrointestinal
1) Muntah
2) Diare
3) Hepatomegali
4) Perut kembung
c. Gejala Saluran nafas
1) Dispneu
2) Takipneu
3) Sianosis
d. Gejala kardiovaskuler
1) Takikardi
2) Edema
3) Dehidrasi
e. Gejala saraf pusat
1) Letargi
2) Iritabilitas
3) Kejang
f. Gejala Hematologi
1) Ikterus
2) Splenomegali
3) Pteki/perdarahan
4) Lekopenia
23
Menurut Mansjoer (2000; h. 509), manifestasi klinis dari sepsis pada
neonatus yaitu:
a. Umum: panas, hipotermi, tampak tidak sehat, malas minum, letargi,
sklerema;
b. Saluran cerna: distensi abdomen, anoreksia, muntah, diare,
hepatomegali;
c. Saluran napas: apnea, dispnea, takipnea, retraksi, napas cuping hidung,
merintih, sianosis;
d. Sistem kardiovaskular: pucat, sianosis, kutis marmorata, kulit lembab,
hipotensi, takikardia, bradikardia;
e. Sistem saraf pusat: iritabilitas, tremor, kejang, hiporefleksi, malas minum,
pernapasan tidak teratur, ubun-ubun menonjol, high-pitched cry;
f. Hematologi: ikterus, splenomegali, pucat, petekie, purpura, perdarahan.
7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut maryunani dan Nurhayati (2009; h. 124), pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakan diagnosa sepsis yaitu:
a. Pemeriksaan kuman dengan kultur darah dan pewarnaan Gram;
b. Pemeriksaan hematologi
1) Trombosit < 100.000/µL;
2) Leukosit: dapat meningkat atau menurun;
3) Pemeriksaan kadar D-Dimer.
c. Permeriksaan C-Reactive Protein (CRP)
Merupakan pemeriksaan protein yang disintesis di hepatosit dan muncul
pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan.
24
Onset Dini Onset Lambat NosokomialOnset < 5 hari >4 hari 5 hari s.d. saat
dipulangkanFaktor resiko obstetri
Kolonisasi kuman, amnionitis, prematuritas
Jarang Prematuritas, intervensi medis, reseksi perut
Gejala klinis Gawat napas, pneumonia, syok
Demam, SSP, gejala fokal
Apnea, bradikardi, letargi, instabilitas suhu
Meningitis 30% 75% 10-20%Keterlibatan sistem lain
Jarang Pyelonefritis, osteomyelitis, artritis septik, selulitis
Pneumonia, pyelonefritis, endoftalmitis, trombus septik, flebitis, infeksi kulit
Kuman patogen
Streptokokus grup B, Klebsiela, Listeria, Enterokokus, H. Influenza, S. Pneumoniae
Streptokokus grup B, E. Coli, Listeria, Herpes simpleks
S. epidermidis, S.aureus, C. Albicans, Klebsiela, pseudomonas, E. Coli, herpes simpleks, serrtia
Terapi kausal Ampisilin dan Gentamisin
Ampisilin dan Gentamisin
Tergantung kuman nosokomial di ruangan; Vankomisin atau Nafsilin dan Gentamisin
8. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2000; h. 510) penatalaksanaan sepsis pada
neonatus yaitu:
a. Pengobatan suportif
Lakukan monitoring cairan, elektrolit dan glukosa; berikan koreksi jika
terjadi hipovolemia, hiponatremia, hipokalsemia dan hipoglikemia. Bila
terjadi SIADH (syndrome of inappropriate antidiuretic hormnoe), batasi
cairan. Atasi syok, hipoksia dan asidosis metabolik. Awsi adanya
25
hiperbilirubinemia, lakukan transfusi tukar bila perlu. Pertimbangkan
nutrisi parenteral bila pasien tidak dapat menerima nutrisi enteral.
b. Kausatif
Antibiotik diberikan sebelum kuman penyebab diketahui. Biasanya
digunakan golongan penisilin seperti ampisilin ditambah aminoglikosida
seperti gentamisin. Pada sepsis nosokomial antibiotik diberikan dengan
mempertimbangkan flora di ruang perawatan, namun sebagai terapi inisial
biasa diberikan vankomisin dan aminoglikosida atau sefalosporin generasi
ketiga. Setelah didapat hasil biakan dan uji sensitivitas, diberikan
antibiotik yang sesuai. Terapi dilakukan selama 10-14 hari. Bila terjadi
meningitis antibiotik diberikan selama 14-21 hari dengan dosis sesuai
untuk meningitis.
9. Komplikasi
a. Kelainan bawaan jantung, paru dan organ-organ yang lainnya;
b. Sepsis berat: sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ tunggal;
c. Syok sepsis: sepsis berat disertai hipotensi;
d. Sindroma disfungsi multiorgan (MODS).
10. Pencegahan
Menurut Maryunani dan Nurhayati (2009; h. 125-126), beberapa cara
pencegahan agar tidak terjadi sepsis neonatorum antara lain:
a. Pencegahan berdasarkan awitan sepsis
1) Pencegahan sepsis awitan dini
a) Perawatan antenatal yang baik;
b) Ibu seharusnya diimunisasi tetanus;
26
c) Semua infeksi seharusnya didiagnosa dan dilakukan tindakan yang
seksama pada ibu hamil;
d) Bayi seharusnya disusui sedini mungkin (IMD) dan diberikan ASI
eksklusif;
e) Tali pusat harus dijaga tetap bersih dan kering;
f) Hindari intervensi yang tidak penting.
2) Pencegahan sepsis awatan lanjut
a) Cuci tangan dengan benar dan peningkatan kepatuhan cuci tangan;
b) Ruang perawatan bayi harus bersih dan kering dengn ventilasi
dengan pencahayaan yang adekuat.
c) Membatasi ruangan terlalu penuh atau padat.
d) Semua prosedur dilakukan dengan menggunakan alat pelindung diri
(APD) seperti masker dan sarung tangan.
e) Perhatian terhadap penanganan atau intervensi invasive.
f) Setiap bayi harus menggunakan thermometer dan stetoskop sendiri
(jika memungkinkan).
g) Pemakaian obat yang rasional.
b. Pencegahan berdasarkan masa mulai didapatnya
1) Pada masa Antenatal
Perawatan antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara
berkala, imunisasi, pengobatan terhadap penyakit infeksi yang diderita
ibu, asupan gizi yang memadai, penanganan segera terhadap keadaan
yang dapat menurunkan kesehatan ibu dan janin. Rujuk ke pusat
kesehatan bila diperlukan.
27
2) Pada masa persalinan
Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik.
3) Pada masa pasca persalinan
Rawat gabung bila bayi normal, pemberian ASI secepatnya, jaga
lingkungan dan peralatan tetap bersih, perawatan luka umbilikus
secara steril.
c. Pencegahan dengan tindakan aseptik dalam merawat bayi baru lahir
Tindakan aseptic dalam merawat nbayi baru lahir dibagi menjadi tiga
golongan, yaitu:
1) Persiapan sebelum bayi lahir
a) Ruangan bayi dan kamar bersalin harus bersih, nyaman dan
tenang. Ruang bayi harus terpisah dari lingkungan jalan dan tidak
ada jendela yang terbuka ke daerah luar;
b) Semua jalan masuk ke ruang bayi harus ada wastafel dengan kran
yang bisa dibuka atau ditutup dengan siku atau kaki dan sabun cair
serta handuk sekali pakai untuk cuci tangan yang benar sebelum
masuk ruang bayi;
c) Terdapat berbagai cara institusi untuk membersihkan suatau
ruangan, ada yang menggunakan tenaga cleaning service, ada
yang menggunakan pembersihan/bongkar kecil dan
pembersihan/bongkar besar. Pembersihan atau bongkar kecil
adalah ruangan dibersihkan setiap hari, sedangkan pembersihan
atau bongkar besar adalah ruangan dibersihkan setiap minggu atau
tergantung keadaan pasien;
28
d) Incubator dan tempat tidur bayi dibersihkan setiap pagi dengan alat
bersih yang telah ditentukan. Perawatan incubator selain bersih juga
air aquades harus tetap terisi dan filter sering diganti.
e) Persiapan alat-alat bayi baru lahir normal:
(1) O2 outlet, suction dinding penghisap lendir disposable;
(2) Baby oil, obat tetes mata, thermometer, larutan antiseptic,
alcohol 70%, kassa steril, korentang, cairan steril, kapas lidi
steril;
(3) Pengikat tali puat steril, timbangan bayi, setimeter dan sisir
bayi;
(4) Stempel kaki, gelang bayi dan status bayi.
Apabila diperkirakan bayi lhir dari ibu dengan kehamilan resiko tinggi
atau lahir dengan tindakan maka persiapan alat-alat tersebut
memerlukan tambahan seperti resusitasi set, obat-obatan, spuit steril
dan umbilical set.
2) Cara (waktu) menolong bayi lahir
a) Penanganan bayi yaitu resusitasi dan pembersihan jalan napas
pada bayi baru lahir sedapatnya menggunakan ambu bag.
b) Jangan melakukan penghisapan lendir dengan mulut tetapi dengan
mesin penghisap lendir. Bila tidak tersedia dapat digunakan pipa
dengan balon karet.
3) Perawatan setelah bayi lahir
a) Cuci tangan sesuai prosedur dengan menggunakan sabun atau
larutan antiseptic selalu dilkukan pada saat akan dan sesudah
merawat bayi.
29
b) Alat-alat yang telah dipersiapkan ebelum bayi lahir digunakan
sesuai peruntukannya.
c) Kenakan sarung tangan pada saat melakukan tindakan.bayi yang
baru lahir tidak langsug dimandikan, tetapi ditunggu suhu bayi stabil.
d) Setelah beberapa saat dan diamati stabil, darah dan mekonium
dibersihkan dengan kapas steril dangan air hangat atau baby oil.
Kemudian keringkan dengan lembut dan jangan sampai bayi
kedinginan.
e) Popok bayi sebaiknya tidak lama disimpan, pakai yang baru saja
datang dari laundry.
f) Linen tercemar dikelola sesuai prosedur.
g) Hindarkan terlalu banyak orang di ruang bayi.
BAB III
PENUTUP
B. Kesimpulan
Kejang pada neonatus sering sulit dikenali, langkah pertama jika
menghadapi kasus tersebut adalah memastikan gejala yang tampak kejang atau
bukan. Setelah itu dengan melihat riwayat kehamilan, persalinan, faktor resiko,
tipe kejang, awitan dan evaluasi diagnostik dapat ditentukan etiologi. Tatalaksana
selain untuk memberantas kejang juga ditujukan untuk mengatasi etiologi. Obat
antikonvulsan harus aktif memberantas kejang dengan mempertimbangkan efek
samping obat. Pemberian obat dihentikan sesegera mungkin setelah kejang
terkontrol baik secara klinis maupun dari pemeriksaan EEG. Pemeriksaan EEG
sangat penting untuk diagnosis, menilai respon terapi, lama terapi serta
menentukan prognosis. Prognosis ditentukan oleh etiologi, tipe kejang serta
gambaran EEG.
Sepsis neonatorum atau septikemia neonatal didefinisi sebagai infeksi
bakteri pada aliran darah bayi selama empat minggu pertama kehidupan.
Penyebabnya dimulai pada infeksi antenatal, infeksi intranatal, infeksi postnatal.
Pemeriksaan untuk mendiagnosa adanya sepsis adalah hitung darah
lengkap (HDL), trombosit, kultur darah, pungsi lumbal dan sensitivitas cairan
serebrospinal (CSS), kultur urine, rontgen dada dilakukan bila ada gejala
respirasi.
30
31
C. Saran
Mahasiswa perlu terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya
dalam kasus kegawatdaruratan neonatal agar pada saat menjadi bidan di
lapangan dan menghadapi kasus kegawatdaruratan dapat melakukan tindakan
yang cepat dan tepat sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas neonatus.
DAFTAR PUSTAKA
Handryastuti, Setyo. Diagnosis dan Tatalaksana Kejang pada Neonatus. 2012. [Diakses tanggal 7 April 2013]. Didapat dari: http://pediatric-unhas.com/diagnosis-dan-tatalaksana-kejang-pada-neonatus-3/
Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: ; 2000. Maryanti, Dwi, Sujianti dan Tri Budiarti. Buku Ajar Kegawatdaruratan Neonatus.
Jakarta: Trans Info Media; 2011.
Maryunani, Anik dan Nurhayati. Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit pada Neonatus. Jakarta: Trans Info Media; 2009.
Pusponegoro, Titut S. Sepsis pada Neonatus (Sepsis Neonatal). Jakarta: Sari Pediatri; 2000.
Sudarti dan Afroh Fauziah. Asuhan Neonatus Resiko Tinggi dan Kegawatan. Yogyakarta: Nuha Medika; 2013.
32
PERTANYAAN
1. Penanya : Dian Festi Marsela
Pertanyaan : Apa perbedaan antara kejang neonatus dan kejang epilepsy?
Jawab : Kejang pada neonatus merupakan kejang yang terjadi pada bayi
baru lahir dari umur 0-28 hari. Kejang pada neonatus bukan kejang
yang disebabkan karena demam. Kejang ini biasanya terjadi pada
bayi yang saat lahir mengalami asfiksia atau karena infeksi
neonatus.
Kejang epilepsy biasanya muncul pada anak di atas usia 7 tahun.
Kejang epilepsy bukanlah kejang yang disebabkan karena demam.
Kejang epilepsy biasanya terjadi berulang. Anak yang sering
mengalami kejang demam beresiko lebih tinggi untuk mengalami
epilepsy.
Untuk menegakkan diagnosa apakah anak mengalami kejang
epilepsy atau tidak dapat dilakukan pemeriksaan EEG. Kejang
epileptik berasal dari saraf kortikal dan berkaitan dengan perubahan
EEG. Kejang non-epileptik berawal dari subkortikal dan biasanya
tidak terdapat kelainan pada EEG.
2. Penanya : Nur Azizah
Pertanyaan: Apakah kejang dan sepsis pada neonatus dapat diketahui sejak
kehamilan?
Jawab : Apabila pada saat kehamilan atau proses persalinan ibu mengalami
berbagai penyulit misalnya KPD, infeksi atau partus lama maka
33
34
akan meningkatkan resiko terjadinya kejang atau sepsis pada bayi
yang akan dilahirkannya. Jadi, dari penyulit ibu selama hamil
maupun proses persalinan tenaga kesehatan dapat memperkirakan
atau meramalkan kemungkinan kegawatan yang akan terjadi pada
neonatus, misalnya kejang atau sepsis neonatus.
3. Penanya : Siti Nur Zaenah
Pertanyaan: Jika ada bayi baru lahir kemudian kejang di BPM, apa yang akan
dilakukan bidan untuk menangani kasus tersebut?
Jawab : Jika ada bayi baru lahir yang kejang di BPM, pertolongan pertama
yang dapat dilakukan oleh bidan sesuai dengan kewenangannya
adalah adalah dengan memberikan inhalasi O2. Kemudian bidan
harus memotivasi keluarga agar bayinya segera dirujuk ke Rumah
Sakit untuk mendapatkan pertolongan segera.