Makalah Jurnal.doc

36
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ruangan kranial merupakan struktur yang kaku dengan total volume yang tetap, meliputi otak (80%), darah (12%), dan CSS (8%). Tengkorak dan kanalis vertebralis membentuk perlindungan yang kuat terhadap otak, medulla spinalis, cairan serebrospinal (LCS), dan darah. Semua kompartemen intrakranial ini tidak dapat dimampatkan, hal ini dikarenakan volume intrakranial adalah sangat konstan (Hukum Monro-Kellie). Penambahan volume dari suatu kompartemen hanya dapat terjadi jika terdapat penekanan (kompresi) pada kompartemen yang lain. Satu-satunya bagian yang memilik kapasitas dalam mengimbangi (buffer capacity) adalah terjadinya kompresi terhadap sinus venosus dan terjadi perpindahan LCS ke arah aksis lumbosakral. Ketika manifestasi di atas sudah maksimal maka terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan volume pada kompartemen (seperti pada massa di otak) akan menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial (ICP/TIK). Peningkatan tekanan intra kranial (TIK) akan menurunkan perfusi serebral dan menyebabkan komplikasi iskemia sekunder. Selain mempengaruhi Cerebral Perfusion Pressure (CPP), peningkatan tekanan intra kranial dapat menyebabkan terjadinya herniasi. Meskipun batasan yang pasti tidak ditemukan, tetapi peningkatan TIK > 30 mmHg berkaitan dengan peningkatan resiko herniasi trantentorial atau herniasi batang otak. Maka monitoring dengan pengukuran dan penanganan TIK adalah hal yang penting. Banyak Faktor yang dapat mempengaruhi tekanan intra kranial diantaranya adalah peningkatan volume jaringan didalammnya, peningkatan aliran darah ke otak, kelainan dari aliran cairan, dan penambahan efek massa. 1

Transcript of Makalah Jurnal.doc

Page 1: Makalah Jurnal.doc

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ruangan kranial merupakan struktur yang kaku dengan total volume yang tetap,

meliputi otak (80%), darah (12%), dan CSS (8%). Tengkorak dan kanalis vertebralis

membentuk perlindungan yang kuat terhadap otak, medulla spinalis, cairan serebrospinal

(LCS), dan darah. Semua kompartemen intrakranial ini tidak dapat dimampatkan, hal ini

dikarenakan volume intrakranial adalah sangat konstan (Hukum Monro-Kellie). Penambahan

volume dari suatu kompartemen hanya dapat terjadi jika terdapat penekanan (kompresi)

pada kompartemen yang lain. Satu-satunya bagian yang memilik kapasitas dalam

mengimbangi (buffer capacity) adalah terjadinya kompresi terhadap sinus venosus dan

terjadi perpindahan LCS ke arah aksis lumbosakral. Ketika manifestasi di atas sudah

maksimal maka terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan volume pada kompartemen

(seperti pada massa di otak) akan menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial

(ICP/TIK).

Peningkatan tekanan intra kranial (TIK) akan menurunkan perfusi serebral dan

menyebabkan komplikasi iskemia sekunder. Selain mempengaruhi Cerebral Perfusion

Pressure (CPP), peningkatan tekanan intra kranial dapat menyebabkan terjadinya herniasi.

Meskipun batasan yang pasti tidak ditemukan, tetapi peningkatan TIK > 30 mmHg berkaitan

dengan peningkatan resiko herniasi trantentorial atau herniasi batang otak. Maka monitoring

dengan pengukuran dan penanganan TIK adalah hal yang penting. Banyak Faktor yang

dapat mempengaruhi tekanan intra kranial diantaranya adalah peningkatan volume jaringan

didalammnya, peningkatan aliran darah ke otak, kelainan dari aliran cairan, dan

penambahan efek massa.

Dalam kasus ICP tinggi atau hipotensi peredaran darah, tekanan perfusi serebral

(CPP) akan menurun. CPP dihitung dengan mengurangi ICP dari tekanan arteri rata-rata

(MAP), yang didefinisikan sebagai jumlah dari tekanan diastolik ditambahkan dengan

sepertiga dari perbedaan antara tekanan sistolik dan tekanan diastolik. Dalam kondisi

fisiologis normal, otak autoregulasi mempertahankan aliran konstan darah ke otak dengan

melebarkan atau konstriksi arteriol. Namun, autoregulasi ini hanya efektif dengan MAP

antara 50 dan 150mmHg. Tekanan di atas batas akan menyebabkan edema hiperemia dan

otak. Tekanan bawah batas menyebabkan aliran darah tidak cukup dan otak iskemia, dan

menyebabkan edema atau lesi. Setiap lesi otak dapat menyebabkan keadaan vasomotoric

kelumpuhan, oleh karena itu aliran darah otak sepenuhnya tergantung pada CPP.

1

Page 2: Makalah Jurnal.doc

Pengobatan yang dirancang untuk menurunkan ICP harus dimulai pada tekanan di atas 15-

20 mmHg dan tergantung pada penyebab meninggikan tekanan.

Menurut Yayasan Otak Trauma Amerika, ICP monitoring diindikasikan pada semua

kasus trauma cedera otak dengan skor Glasgow Coma Scale (GCS) antara 3-8 dan CT

Scan normal, yaitu, satu menunjukkan hematoma, memar, bengkak, herniasi, atau

terkompresi basal. Pasien harus dipantau jika dua atau lebih hal berikut muncul, yaitu: usia

di atas 40, uni-atau motor bi-lateral sikap, atau tekanan darah sistolik dibawah 90mmHg.

Penyebab ICP tinggi sangat banyak, dan pemantauan ICP digunakan pada pasien dengan

bedah saraf neurologis dan bahkan kondisi medis seperti encephalopathy.

Pengukuran dan Pemantauan ICP sangatlah bervariasi setiap negara dan rumah

sakit. Oleh karena itu dalam makalah ini dibahas tentang metode yang sesuai dan dapat

diaplikasikan di Indonesia.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:

a. Mengetahui metode-metode pengukuran dan pemantauan ICP.

b. Mengetahui kelebihan dan kekurangan masing-masing metode pengukuran dan

pemantauan ICP.

c. Mengetahui metode yang sesuai dan dapat diaplikasikan di Indonesia.

1.3 Manfaat

Adapun manfaat dari penulisan makalah ini antara lain:

a. Sebagai tinjauan pengetahuan mengenai pengukuran dan pemantauan ICP

b. Menambah wawasan mengenai pengukuran dan pemantauan ICP yang nantinya dapat

diaplikasikan di masyarakat.

2

Page 3: Makalah Jurnal.doc

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tekanan Intrakranial (TIK)

Tekanan intrakranial (TIK) didefiniskan sebagai tekanan dalam rongga kranial dan

biasanya diukur sebagai tekanan dalam ventrikel lateral otak (Joanna Beeckler, 2006).

Menurut Morton, et.al tahun 2005, tekanan intrakranial normal adalah 0-15 mmHg. Nilai

diatas 15 mmHg dipertimbangkan sebagai hipertensi intrakranial atau peningkatan tekanan

intrakranial. Tekanan intrakranial dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu otak (sekitar 80% dari

volume total), cairan serebrospinal (sekitar 10%) dan darah (sekitar 10%) (Joanna Beeckler,

2006). Monro–Kellie menjelaskan tentang kemampuan regulasi otak yang berdasarkan

volume yang tetap (Morton, et.al, 2005). Selama total volume intrakranial sama, maka TIK

akan konstan. Peningkatan volume salah satu faktor harus diikuti kompensasi dengan

penurunan faktor lainnya supaya volume tetap konstan. Perubahan salah satu volume

tanpa diikuti respon kompensasi dari faktor yang lain akan menimbulkan perubahan TIK

(Morton, et.al, 2005). Beberapa mekanisme kompensasi yang mungkin antara lain cairan

serebrospinal diabsorpsi dengan lebih cepat atau arteri serebral berkonstriksi menurunkan

aliran darah otak (Joanna Beeckler, 2006) .

Salah satu hal yang penting dalam TIK adalah tekanan perfusi serebral/cerebral

perfusion pressure (CPP). CPP adalah jumlah aliran darah dari sirkulasi sistemik yang

diperlukan untuk memberi oksigen dan glukosa yang adekuat untuk metabolisme otak

(Black&Hawks, 2005). CPP dihasilkan dari tekanan arteri sistemik rata-rata dikurangi

tekanan intrakranial, dengan rumus CPP = MAP – ICP. CPP normal berada pada rentang

60-100 mmHg. MAP adalah rata-rata tekanan selama siklus kardiak. MAP = Tekanan

Sistolik + 2X tekanan diastolik dibagi 3. Jika CPP diatas 100 mmHg, maka potensial terjadi

peningkatan TIK. Jika kurang dari 60 mmHg, aliran darah ke otak tidak adekuat sehingga

hipoksia dan kematian sel otak dapat terjadi (Morton et.al, 2005). Jika MAP dan ICP sama,

berarti tidak ada CPP dan perfusi serebral berhenti, sehingga penting untuk

mempertahankan kontrol ICP dan MAP (Black&Hawks, 2005).

2.3 Penyebab Tekanan Intrakranial (TIK)

Dua peneliti Monro 1783 dan Kellie 1825 menguraikan konsep reciprocal volume.

Konsep ini kemudian dimodifikasi dengan yang lain dan menghasilkan suatu hypotesis.

Hypotesis ini mengungkapkan isi intracranial harus berkompensasi untuk meningkatkan

dalam volume salah satu kompartemen otak (otak, darah, atau CSF) dengan menurunkan

3

Page 4: Makalah Jurnal.doc

volum salah satunya sehingga total seluruh volume otak =CSF + volume darah + volume

otak =1700 sampai 1900ml.

Penyebab Peningkatan Tekanan Intra Kranial

Intrakranial (primer) Tumor, Trauma (SDH,EDH,kontusio)

Perdarahan intraserebral non trauma

Stroke iskhemik, hidrosephalus

Idiopatik/benigna hipertensi intracranial

Lain-lain ( pseudomotor, pneumoencehpalus,

abses)

Ekstrakranial

(sekunder)

Obstruksi airway, hipoksia, hiperkarbia

Hipertensi, batuk, nyeri, hipotensi

Postur tubuh, hiperpireksia, kejang, obat-

obatan

Pasca operasi Mass lesion (hematoma, edema)

Vasodilatasi, gangguan aliran LCS

Tabel 2.1 Penyebab Peningkatan Tekanan Intrakranial

2.3 Patofisiologi

Jika massa intrakranial membesar, kompensasi awal adalah pemindahan cairan

serebrospinal ke kanal spinal. Kemampuan otak beradaptasi terhadap meningkatnya

tekanan tanpa peningkatan TIK dinamakan compliance. Perpindahan cairan serebrospinal

keluar dari kranial adalah mekanisme kompensasi pertama dan utama, tapi lengkung kranial

dapat mengakomodasi peningkatan volume intrakranial hanya pada satu titik. Ketika

compliance otak berlebihan, TIK meningkat, timbul gejala klinis, dan usaha kompensasi lain

untuk mengurangi tekananpun dimulai (Black&Hawks, 2005).

Kompensasi kedua adalah menurunkan volume darah dalam otak. Ketika volume

darah diturunkan sampai 40% jaringan otak menjadi asidosis. Ketika 60% darah otak hilang,

gambaran EEG mulai berubah. Kompensasi ini mengubah metabolisme otak, sering

mengarah pada hipoksia jaringan otak dan iskemia (Black&Hawks, 2005). Kompensasi

tahap akhir dan paling berbahaya adalah pemindahan jaringan otak melintasi tentorium

dibawah falx serebri, atau melalui foramen magnum ke dalam kanal spinal. Proses ini

dinamakan herniasi dan sering menimbulkan kematian dari kompresi batang otak. Otak

4

Page 5: Makalah Jurnal.doc

disokong dalam berbagai kompartemen intrakranial. Kompartemen supratentorial berisi

semua jaringan otak mulai dari atas otak tengah ke bawah. Bagian ini terbagi dua, kiri dan

kanan yang dipisahkan oleh falx serebri. Supratentorial dan infratentorial (berisi batang otak

dan serebellum) oleh tentorium serebri. Otak dapat bergerak dalam semua kompartemen

itu. Tekanan yang meningkat pada satu kompartemen akan mempengaruhi area sekeliling

yang tekanannya lebih rendah (Black&Hawks, 2005).

Autoregulasi juga bentuk kompensasi berupa perubahan diameter pembuluh darah

intrakranial dalam mepertahankan aliran darah selama perubahan tekana perfusi serebral.

Autoregulasi hilang dengan meningkatnya TIK. Peningkatan volume otak sedikit saja dapat

menyebabkan kenaikan TIK yang drastis dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk

kembali ke batas normal (Black&Hawks, 2005).

Peningkatan tekanan intracranial dikarakteristikkan dengan penambahan volume

pada isi tengkorak. Peningkatan ini dipacu dengan adanya kerusakan atau kematian otak

oleh 2 mekanisme :

a) Global hypoxic-ischemic injury sebagai konsekuen dari pengurangan cerebral

perfusion pressure dan cerebral blood flow.

b) Mekanisme distorsi dan kompresi jaringan otak sebagai akibat efek dari massa

intrakranial.

Manifestasi klinik dari peningkatan TIK disebabkan oleh tarikan pembuluh darah dari

jaringan yang merenggang dan karena tekanan pada duramater yang sensitif dan berbagai

struktur dalam otak. Indikasi peningkatan TIK berhubungan dengan lokasi dan penyebab

naiknya tekanan dan kecepatan serta perluasannya. Manifestasi klinis dari peningkatan TIK

meliputi beberapa perubahan dalam kesadaran seperti kelelahan, iritabel, confusion,

penurunan GCS, perubahan dalam berbicara, reaktifias pupil, kemampuan sensorik/motorik

dan ritme/denyut jantung. Sakit kepala, mual, muntah, penglihatan kabur sering terjadi.

Papiledema juga tanda terjadinya peningkatan TIK. Cushing triad yaitu peningkatan tekanan

sistolik, baradikardi dan melebarnya tekanan pulsasi adalah respon lanjutan dan

menunjukkan peningkatan TIK yang berat dengan hilangnya aoturegulasi (Black&Hawks,

2005). Perubahan pola nafas dari cheyne-stokes ke hiperventilasi neurogenik pusat ke

pernafasan apnuestik dan pernafasan ataksik menunjukkan kenaikan TIK. Pembuktian

adanya kenaikan TIK dibuktikan dengan pemeriksaan diagnostik seperti radiografi

tengkorak, CT scan, MRI. Lumbal pungsi tidak direkomendasikan karena berisiko terjadinya

herniasi batang otak ketika tekanan cairan serebrsopinal di spinal lebih rendah daripada di

kranial. Lagipula tekanan cairan serebrospinal di lumbal tidak selalu menggambarkan

keakuratan tekanan cairan serebrospinal intracranial (Black&Hawks, 2005).

5

Page 6: Makalah Jurnal.doc

2.4 Gambaran Klinis Peningkatan Tekanan Intrskranial (TIK)

Kenaikan tekanan intra cranial sering memberikan gejala klinis yang dapat dilihat

sebagai berikut:

a. Nyeri Kepala

Nyeri kepala pada tumor otak terutama ditemukan pada orang dewasa dan kurang

sering pada anak-anak. Nyeri kepala terutama terjadi pada waktu bangun tidur, karena

selama tidur PCO2 arteri serebral meningkat sehingga mengakibatkan peningkatan dari

serebral blood flow dan dengan demikian mempertinggi lagi tekanan intrakranial. Juga

lonjakan tekanan intrakranial sejenak karena batuk, mengejan atau berbangkis akan

memperberat nyeri kepala. Pada anak kurang dari 10-12 tahun, nyeri kepala dapat

hilang sementara dan biasanya nyeri kepala terasa didaerah bifrontal serta jarang

didaerah yang sesuai dengan lokasi tumor. Pada tumor didaerah fossa posterior, nyeri

kepala terasa dibagian belakang dan leher.

b. Muntah

Muntah dijumpai pada 1/3 penderita dengan gejala tumor otak dan biasanya disertai

dengan nyeri kepala. Muntah tersering adalah akibat tumor di fossa posterior. Muntah

tersebut dapat bersifat proyektil atau tidak dan sering tidak disertai dengan perasaan

mual serta dapat hilang untuk sementara waktu.

c. Kejang

Kejang umum/fokal dapat terjadi pada 20-50% kasus tumor otak, dan merupakan gejala

permulaan pada lesi supratentorial pada anak sebanyak 15%. Frekwensi kejang akan

meningkat sesuai dengan pertumbuhan tumor. Pada tumor di fossa posterior kejang

hanya terlihat pada stadium yang lebih lanjut. Schmidt dan Wilder (1968)

mengemukakan bahwa gejala kejang lebih sering pada tumor yang letaknya dekat

korteks serebri dan jarang ditemukan bila tumor terletak dibagian yang lebih dalam dari

himisfer, batang otak dan difossa posterior.

d. Papil edema

Papil edem juga merupakan salah satu gejala dari tekanan tinggi intrakranial. Karena

tekanan tinggi intrakranial akan menyebabkan oklusi vena sentralis retina, sehingga

terjadilah edem papil. Barley dan kawan-kawan, mengemukakan bahwa papil edem

ditemukan pada 80% anak dengan tumor otak.

e. Gejala lain yang ditemukan:

False localizing sign: yaitu parese N.VI bilateral/unilateral, respons ekstensor yang

bilateral, kelainann mental dan gangguan endokrin.

Gejala neurologis fokal, dapat ditemukan sesuai dengan lokalisasi tumor.

6

Page 7: Makalah Jurnal.doc

2.5 Bentuk Gelombang Tekanan Intrakranial

Bentuk gelombang ICP yang normal adalah pulsatil dan sejalan dengan irama

jantung. Tetapi nilai dasar akan naik turun sesuai dengan siklus pernapasan (seperti yang

terjadi pada semua bentuk gelombang yang fisiologis). Fluktuasi normal gelombang ICP

dikarakteristikan mempunyai tiga puncak tekanan. Yang pertama, merupaakn puncak paling

tinggi (P1) terjadi akibat pulsasi arteri yang ditransmisikan menuju parenkim otak dan CSF.

Puncak yang kedua (P2) diterjemahkan sebagai gelombang tidal atau rebound dan komplien

reflek intrakranial. Puncak ketiga (P3) yang hamper selalu lebih rendah dari P2, dan disebut

gelombang dikrotik mewakili pulsasi vena yang ditransmisikan menuju otak. Pada kondisi

komplien otak normal besarnya gelombang adalah kecil, sedangkan pada otak yang ketat,

perubahan tekanan yang diikuti dengan perubahan volume adalah besar. Selain mempunyai

karakter tiga puncak, gelombang ICP yang terjadi sesuai siklus jantung, perubahan

tambahan pada semua nilai dasar yang terjadi akan mengubah komplien intrakranial. Lebih

lanjut lagi, perubahan dasar terkait ventilasi adalah sebagai berikut: pada napas spontan,

inhalasi menurunkan tekanan intrathorakal dan menaikkan drainase vena (menurunkan

ICP). Dimana ekshalasi menyebabkan penurunan outflow vena dari cranium sehingga ICP

meningkat. Sebaliknya akan terjadi bila digunakan ventilasi tekanan positif. Bila ICP

meningkat dan komplien serebral menurun (dengan berbagai penyebab), komponen vena

menghilang dan pulsasi arteri menjadi lebih jelas.

Pada tahun 1960, lundberg melaporkan hasil monitoring ICP secara langsung

dengan menggunakan ventrilkulotomi pada 143 pasien. Dia menyebutkan patofisiologi dan

tanda klinis yang bermakna dari tiga gelomang patologis ICP yang ditandai dengan

gelombang A, gelombang B, dan gelombang C.

Gelombang Lundberg A, juga dikenal dengan gelombang plateu dicirikan dengan

elevasi tajam ICP samapi >50 mmHg, setidaknya untuk 2 menit dampai 20 menit diikuti

penurunan mendadak ke level ICP awal. Biasanya nilai dasar baru akabn sedikit lebih tinggi

setelah timbul gelombang A. Gelombang A ini akan muncul lagi dengan meningkatkan

frekuensi, durasi, dan amplitude dan sering terjadi pada peningkatan simultan dari tekanan

arteri rerata. Lundberg mengenali gelombang ini sebagai pertanda ICP tidak terkontrol, yang

mungkin dihasilkan dari sebuah kelelahan kapasitas buffering dan komplien intracranial.

Gelombang Lundberg B juga dikenal pulsasi tekanan, dicirikan dengan peningkatan

ICP 10 sampai 20 mmdalam waktu 30 detik sampai 2 menit. Gelombang ini bervariasi

sesuai tipe periode napas dan lebih sering terlihat pada kondisi peningkatan ICP dan

penurunan komplien intracranial. Sebagai catatan bahwa hubunan ini tidak semuanya

konsisten dan mewakili temuan kualitatif selama peningkatan ICP.

7

Page 8: Makalah Jurnal.doc

Gelombang Lundberg C, merefleksikan gelombang arteri Traube-Hering yang

ditandai peningkatan ICP berbagai variasi dengan frekuensi empat sampai delapan kali per

menit. Gelombang ini mungkin saja mewakili status preterminal dan kadang terlihat pada

puncak gelombang plateu. Sama seperti gelombang B, mereka bersifat sugesti tapi bukan

patognominis akan peningkatan ICP.

Akhir-akhir ini ditekankan pada pengenalan dini serta pengobatan yang berhasil

akan peningkatan ICP. Oleh karena itu, gelombang patologis Lundberg (A, B, C) jarang

terlihat. Namun ketika mereka terlihat pada pasien yang telah diintervensi terapeutik, maka

mereka diramalkan mempunyai outcome yang buruk.9

Gambar 2.1 Gelombang Lundberg A disebut gelombang plateu, Gelombang Lundberg B disebut pulsasi tekanan, Gelombang Lundberg C disebut gelombang arteri Traube-Hering

2.6 Manajemen Peningkatan Intrakranial

Hipertensi intrakranial adalah besarnya TIK>15 mmHg. Sedangkan literatur lain

hipertensi intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan TIK>20 mmHg dan menetap lebih

dari 20 menit. Peningkatan progresif dari batas ini atau TIK yang terus menerus >20 mmHg,

disarankan untuk melakukan pemeriksaan dan penanganan. Peningkatan progresif dari TIK

dapat mengindikasikan memburuknya hemoragik/hematoma, edema, hidrosefalus, atau

kombinasinya dan merupakan indikasi diakukannya pemeriksaan CT-scan. Peningkatan

terus menerus TIK akan memperparah resiko terjadinya cedera sekunder (komplikasi)

berupa iskemik dan/atau herniasi.

Tabel 2.2 Penanganan Konvensional Peningkatan TIK

8

Page 9: Makalah Jurnal.doc

Penanganan konvensional

1. Elevasi kepala dan mencegah terjadinya obstruksi vena

2. Peningkatan MAP (jika perlu)

3. Pa CO2 30−35 mmHg, atau 25−30 mmHg jika terdapat tanda-

tanda herniasi

4. Manitol 0,5−1,0 g/kg tiap 6 jam (jika perlu) dan furosemide 20

mg (jika perlu). Pertahankan osmolalitas serum <320.

5. Mempertahankan kondisi hipovolemia, awasi CVP jika

memungkinkan.

6. Ventrikulostomi untuk drainase LCS, jika memungkinkan.

7. Pamberian obat sedasi dengan opiate, benzodiazepine

dan/atau propofol

8. Penyesuaian kadar PEEP, jika memungkinkan

9. Mempertahankan normovolemia.

Penanganan agresif (pada pasien yang gagal dengan

penanganan konvensional)

1. Induksi hipotermi pada 33-34 °C

2. Supresi EEG maksimal dengan induksi koma propofol atau

barbiturate

3. Hiperventilasi Pa CO2 20-25 mmHg (monitor SjvO2 atau

PbrO2)

4. Pemberian larutan salin hipertonik (3% atau 7,5% 25-50

ml/jam); monitor kadar natrium serum

Penanganan ekstrim

1. Kraniektomi dekompresi

2. Eksisi jaringan infark ± lobektomi

2.6.1 Penurunan Volume Darah Serebral

a. Elevasi Kepala

Elevasi kepala pada tempat tidur dengan membentuk sudut 20−30°

menurunkan ICP dengan mengoptimalkan aliran balik vena (venous return). Akan

tetapi, pada pasien hipovolemik, elevasi kepala dapat menyebabkan penurunan dari

CPP. Jika keadaan normovolemi dipertahankan, elevasi sampai 30° telah terbukti

menurunkan TIK tanpa mempengaruhi CPP atau CBF pada pasien cedera kepala.

Perawatan seharusnya dilakukan untuk mencegah obstruksi pada venous

return serebral dengan cervical collars atau memasang endotrakeal tube (ET) dan 9

Page 10: Makalah Jurnal.doc

menjaga kepala tetap berada pada posisi netral. Pada pasien dengan autoregulasi

serebralnya terjaga (stabil), peningkatan MAP akan menyebabkan vasokonstriksi

kompensatorik dengan disertai penurunan ICP. Hal ini dapat dicapai dengan

mempertahankan kondisi normovolemia dan infus phenylephrine 1-10 g/kg/menit,

atau norepineprine 0,05-0,22 g/kg/menit.

b. Hiperventilasi

Karena sensitivitas yang tinggi dari CBF terhadap PaCO2, hiperventilasi

dapat menurunkan CBF dan disertai penurunan volume darah serebral (CBV),

menyebabkan penurunan mendadak (akut) dari TIK. Meskipun penurunan mendadak

TIK dan perbaikan CPP secara teoritis diharapkan, dan hiperventilasi telah dipakai

sejak dahulu sebagai modalitas terapi, tetapi pada beberapa tahun terakhir ini

kekhawatiran akan terjadinya iskemik serebral telah berkurang dengan penggunaan

metode ini. Penelitian tentang CBF telah menunjukkan bahwa meskipun

“hiperventilasi sedang” dapat meningkat pada regio otak dengan CBF dibawah

ambang batas iskemik. Penurunan konsentrasi oksigen vena jugularis (SjvO2) dan

jaringan otak PO2 (PbrO2) yang telah berulang kali dibuktikan pada penelitian

terhadap pasien dengan cedera kepala. Terlebih lagi, satu-satunya penelitian kontrol

random tentang modalitas terapi, hiperventilasi profilatik telah ditunjukkan berkaitan

dengan efek merugikan yang ada. Maka Petunjuk Badan Trauma Kepala (Brain

Trauma Foundation Guidelines) menyatakan bahwa hiperventilasi seharusnya tidak

dipakai sebagai managemen pada pasien dengan cedera kepala, kecuali jika

terdapat monitor yang mampu mendeteksi adanya iskemik serebral tersedia (CBF,

SjvO2 or PbrO2). Sebagai tambahan, karena normalisasi pH dari cairan

serebrospinal, efikasi dari hiperventilasi pada CBF, CBV, dan TIK mengalami

penurunan setelah 24 jam. Akan tetapi, selain penelitian ini, pendapat tentang

hiperventilasi masih kontroversial. Di sini jelas terlihat bahwa PaCO2 yang rendah

dapat menyebabkan penurunan CBF, menyebabkan CBF berada pada batas atau di

bawah anbang batas iskemik, bukti pasti tentang iskemik masih kurang. Dengan

memakai positron emission tomography, Diringer et al. tidak dapat

mendemonstrasikan adanya penurunan metabolisme serebral atau perubahan pada

rasio piruvat-laktat dengan hiperventilasi akut, menyatakan bahwa rendahnya kadar

metabolism basal (basal metabolic rate) pada pasien cedera kepala secara

bertentangan melindungi pasien ini dari rendahnya CBF. Maka selama kita

menunggu bukti yang pasti dari hiperventilasi, PaCO2 dipertahankan pada 35-40

mmHg. Pada situasi akut dimana terdapat ancaman atau terjadinya herniasi otak,

hiperventilasi PaCO2 dipertahankan pada kisaran 20–30 mmHg. Akan tetapi, hal ini

10

Page 11: Makalah Jurnal.doc

seharusnya dilihat sebagai penanganan sementara sambil menunggu penanganan

definitif. Untuk maintenance, PaCO2 harus dijaga pada 30-35 mmHg. CT Xenon dan

SPECT (single-proton emission computed tomography) dapat berguna untuk

mengukur respon CBF terhadap hiperventilasi.

c. Kenaikan Tekanan Darah

Pada pasien dengan autoregulasi yang intak dan penurunan compliance

intrakranial, penurunan tekanan darah sistemik akan menyebabkan vasodilatasi

kompensatorik dan peningkatan CBV. Hal ini akan semakin menurunkan CPP,

dengan efek “spiraling downhill” dan penurunan progresif perfusi serebral. Hal

sebaliknya, pasien dengan autoregulasi serebral yang terganggu dapat menunjukkan

peningkatan TIK dengan peningkatan tekanan darah. Karena itulah tidak mungkin

memprediksi ada atau tidaknya autoregulasi, tetapi penting untuk mendapat

gambaran tentang respon TIK.

d. Reduksi Massa pada Otak

Karena adaya sawar darah otak (blood-brain barrier), yang relatif impermiabel

terhadap ion natrium dan klorida, perpindahan air keluar dan masuk sel otak

terutama tergantung pada gradien osmotik. Obat diuretik osmotik yang efektif dipakai

untuk mengatasi peningkatan TIK adalah manitol 20%. Diberikan bolus 0,5-1.0 g/kg,

bekerja dengan onset yang cepat, tetapi puncaknya didapat dalam 30 menit dan

berakhir setelah 90 menit. Sedangkan diuretik ‘loop’ yaitu furosemide akan

meningkatkan kerja manitol, juga dapat memberikan efek langsung menurunkan TIK

dan sering digunakan sebagai terapi adjuvant (tambahan). Efek manitol terhadap

hemodinamik adalah kompleks dengan mereduksi resistensi vaskuler sistemik, lalu

diikuti dengan ekspansi volume intravaskuler yang dapat disertai hipertensi sistemik.

Pasien dengan fungsi jantung yang jelek dapat terjadi edema pulmo akut pada

pemberian infus manitol. Dengan onset diuresis, penyusutan volume intravaskuler

yang terjadi akan meyebabkan hipotensi jika pemberian cairan penggantinya tidak

adekuat. Komplikasi dari terapi manitol adalah overload cairan, dehidrasi dan gagal

ginjal. Selama pemberian terapi manitol, elektrolit, dan osmolalitas cairan harus

diawasi secara berkala, osmolalitas serum tidak boleh lebih dari 320 mOsm.

Meskipun mekanisme utama dari mannitol berdasarkan gradien osmotik, hal ini juga

menyebabkan refleks vasokonstriksi dan menurunkan produksi LCS. Pasien yang

tidak bisa ditangani dengan manitol sering memberi respon terhadap pemberian

infus salin hipertonik (3% atau 7,5%). Meskipun beberapa penelitian membuktikan

efikasi infus salin hipertonik, tetapi belum ada penelitian randomized tentang

11

Page 12: Makalah Jurnal.doc

penggunaan salin hipertonik dan adanya komplikasi hipertensi intrakranial “rebound”

(munculnya hipertensi intrakranial setelah efek terapi ini habis). 2

Pada pasien edema vasogenik yang sering terjadi pada pasien dengan

tumor, efektif jika diberikan steroid dan dexamethasone 10 mg yang diberikan setiap

6 jam. Secara umum pemberian steroid merupakan kontraindikasi pada pasien

dengan cedera kepala dan tidak efektif pada pasien dengan perdarahan subaraknoid

atau stroke iskemik. Pada pasien dengan cedera medulla spinalis, pemberian

methylprednisolon dosis tinggi telah terbukti memperbaiki fungsinya jika diberikan

dalam 8 jam. Pada beberapa pusat, dikatakan bahwa dalam 3 jam, pasien ini

diberikan methylprednisolon 30 mg/kg bolus, lalu dilanjutkan 5,4 g/kg selama 24 jam

dan selama 48 jam jika terjadi dalam 3-8jam (NACIS III). Meskipun kemajuan yang

terjadi sedikit dan beberapa keraguan apakah keuntungannya lebih besar daripada

resiko pneumonia dan infeksi. Akan tetapi, gambaran efikasi pemberian steroid pada

cedera medulla spinalis, pemakaian methylprednisolon dosis tinggi pada cedera

kepala harus diteliti lebih lanjut dan dilakukan penelitian randomized yang melibatkan

20.000 pasien dengan metode ini.

e. Reduksi Volume LCS

Dua puluh lima persen pasien dengan perdarahan subaraknoid yang berasal

dari rupture aneurisma akan berkembang menjadi hidrosefalus akut dengan

peningkatan TIK. Insersi ventrikulostomi dengan drainase kontrol LCS merupakan

terapi efektif peningkatan TIK. Beberapa pasien ini terkadang membutuhkan shunt

ventrikulo-peritoneal (VP-shunt). Pemasangan drainase pada daerah subaraknoid

lumbal juga dapat menurunkan LCS, tetapi dapat meningkatkan resiko herniasi otak.

Hal ini kurang berguna pada pasien cedera kepala, karena ventrikel sering tertekan

sehingga membuat drainase sulit masuk ke ventrikel dan menjadi kurang efektif.2

f. Anestesi inhalasi :

Isoflurane

Banyak digunakan dalam neuroanestesi, dapat meningkatkan aliran darah otak

(ADO) namun tidak terlalu besar, MAC 1 tidak mempengaruhi tekanan LCS,

menurunkan metabolism otak (CMRO2), efek meningkatkan TIK dapat

dikompensasi dengan hiperventilasi.

Sevoflurane

Pada MAC 1 tidak mempengaruhi tekanan intracranial, namum akan

menurunkan tekanan darah. Secara umum efek ADO dan CMRO2 sama dengan

isoflurane.

g. Anestesi intravena

12

Page 13: Makalah Jurnal.doc

Sedasi dan Paralisis

Sedasi yang adekuat adalah penting bagi semua pasien dengan peningkatan

TIK untuk mengurangi agitasi (kondisi gelisah) dan gerakan-gerakan pasien

serta untuk mempermudah toleransi terhadap ET (endotrakeal tube). Batuk atau

sumbatan pada ET atau selama trakeobronkial suction dapat meningkatkan TIK.

Paralisis neuromuskular secara efektif dapat dicegah dengan cara pemberian

obat ini tetapi ini dapat menghambat pemeriksaan neurologik yang dilakukan

untuk memonitor kondisi pasien. Sebagai tambahan, blokade farmakologi yang

dilakukan terus menerus dapat menyebabkan miopati dan paralisis persisten.

Pemberian obat penghambat neuromuscular (NBMs) hanya dipakai pada pasien

yang mendapat sedasi adekuat dengan tujuan untuk mencegah paralisis saat

pasien yang sadar. Dosis intermiten dan pemberian secara periodik, disertai

dengan monitoring seksama terhadap derajat blokade neuromuskuler, sebaiknya

dilakukan untuk memungkinkan penilaian neurologic secara teratur. Pelumpuh

otot non depolarisasi pankuronium dan vekuronium tidak mempengaruhi juga

ADO, laju metabolism terhadap oksigen dan tekanan tekanan intracranial.

Pankuronium meningkatkan laju nadi dan tekanan darah sehingga tidak

menguntungkan pada hipertensi cranial, sebaliknya vekuronium tidak

menyebabkan histamine release, tidak menyebabkan peningkatan laju nadi dan

tekanan darah. Sedang atracurarium mempunyai efek ADO, CMRO2, TIK dan

hasil metabolismenya laudanosine akan melewati sawar otak dan dapat

menyebabkan kejang.

Propofol

Obat sedasi yang menurunkan TIK melalui efek terhadap metabolisme serebral

dan CBF seperti pada sebagian besar obat anestesi intravena lainnya kecuali

ketamine. Semuanya memiliki efek depresan susunan saraf pusat,

menyebabkan dosis ini berkaitan dengan penurunan tingkat kesadaran dan

tingkat metabolisme. Propofol memiliki profil metabolik dan vaskuler yang mirip

dengan barbiturate, menyebabkan dosis yang berkaitan dengan penurunan

metabolisme serebral dan disertai penurunan CBF, menyebabkan penurunan

TIK pada pasien melalui aktivitas metabolisme serebral. Akan tetapi, pada

beberapa penelitian tentang penurunan CBF sebanding dengan penurunan

metabolisme. Profil farmakokinetiknya dengan waktu paruh yang pendek,

membuat obat ini cocok dipakai sebagai obat sedatif pada pasien neurosurgical,

memungkinkan penilaian neurologis yang cepat dalam waktu 2-3 jam setelah

penghentian pemberian obat ini melalui infus dengan dosis biasa (50-150

13

Page 14: Makalah Jurnal.doc

µg/kg/menit). Beberapa penelitian mengatakan bahwa propofol sangat baik

dipakai dalam menurunkan TIK meskipun beberapa penelitian gagal

menunjukkan perbaikan outcome neurologiknya. Pada pemberian dosis tinggi

(>300 µg/kg/menit), dapat dipakai untuk menginduksi koma farmakologik dengan

burst-supresi pada electroencephalogram untuk mendapatkan supresi

metabolisme maksimal untuk mengontrol TIK. Pada anak-anak, ketika dipakai

infus kontinyu dalam periode lama, dilaporkan bahwa propofol sering

menyebabkan sindrom metabolik yang ditandai dengan asidosis, rhabdomiolisis,

gagal jantung, dan tingginya angka kematian. Saat ini, sidrom serupa juga

dilaporkan terjadi pada pasien dewasa yang mengalami cedera kepala dengan

terapi propofol >5 mg/kg/jam. Baik pada anak-anak maupun dewasa, insidensi

sebenarnya pada sindrom ini belum diketahui dan patofisiologinya masih belum

jelas. Akan tetapi, menyebabkan angka kematian yang tinggi pada anak-anak,

dan data yang didapat dari penelitian klinik (saat ini belum dipublikasikan),

sehingga saat ini pemberian infus propofol tidak direkomendasikan. Pada

dewasa, jika terdapat indikasi bahwa keuntungan pemakaian propofol lebih

besar dari pada resikonya dan sebaiknya tetap diberikan pada pasien di ruang

neurointensive care unit. Akan tetapi, pemakaian infus berkepanjangan lebih dari

satu minggu dengan dosis lebih dari 5 mg/kg/jam, tidak diperbolehkan dan harus

segera dihentikan untuk mencegah resiko terjadinya asidosis atau disfungsi

jantung. Sebagai tambahan, propofol dosis tinggi akan menyebabkan hipotensi,

sehingga sering mengharuskan pemakaian vasopressor untuk membantu

memperbaiki tekanan darah.

Etomidate

Meskipun etomidate dulunya dipakai sebagai obat sedatif, tidak boleh diberikan

melalui infus karena akan menghambat sintesis kortikosteroid yang diproduksi

oleh kelenjar adrenal. Hal ini menyebabkan depresi kardiovaskuler yang lebih

rendah dibandingkan propofol atau barbiturate dan dan telah dipakai sebagai

dosis intermiten pada pasien yang kurang stabil. Obat ini dapat mereduksi TIK

dengan efeknya pada CBF dan CBV.

Dexmedetomidine

Dexmedetomidine adalah obat golongan agonis selektif reseptor alpha-2 dan

telah terbukti dapat dipakai obat sedative pada pasien jantung di ICU. Meskipun

belum diteliti pada pasien neurosurgical, profil farmakologikalnya menunjukkan

bahwa obat ini mungkin berguna sebagai sedatif pada kelompok pasien ini.

Ketika dipakai dalam bentuk infus 0,6 mg/kg/jam, sebagian besar pasien akan

14

Page 15: Makalah Jurnal.doc

tersedasi dengan baik tetapi terstimulasi dengan depresi nafas yang minimal.

Hal ini menyebabkan vasokonstriksi serebral dan akan menurunkan TIK,

meskipun penurunan CBF tidak sesuai dengan penurunan metabolism serebral.

Penelitian kami menunjukkan bahwa autoregulasi dan reaktivitas CO2 tidak

mempengaruhi dosis sedative dexmedetomidine (data tidak dipublikasikan).

Pada iskemik eksperimental menunjukkan penurunan jumlah neuron yang rusak

pada iskemik global sementara (transient) pada gerbil (tikus mencit) dan

menyebabkan iskemik serebral pada tikus. Mekanisme kerja diperkirakan

melalui penurunan release (pelepasan) norepinephrine. Serta tampaknya

memacu pemecahan glutamine melalui proses metabolism oksidatif pada

astrosit, maka penurunan availabilitas glutamine sebagai prekursor neurotoksik

glutamate. Sampai saat ini belum ada penelitian yang meneliti tentang

pemakaian obat sedatif pada unit perawatan neurointensif, tetapi kekurangan

signifikan yaitu depresi pernafasan membuatnya terjadi pada pemberian sedatif

yang tepat pada pasien yang bisa bernafas spontan dengan compliance

intrakranial yang jelek.

Barbiturate

Barbiturate menurunkan TIK dengan cara menekan metabolisme cerebral dan

CBF. Keduanya dilakukan secara langsung dan dengan cara mengurangi

aktivitas kejang. Baik pentobarbital dan thiopental, keduanya telah digunakan

untuk menginduksi koma barbiturate. Barbiturate biasanya digunakan untuk

pasien hipertensi intrakranial yang sukar disembuhkan. Sama halnya dengan

sedatif lainnya, penggunaan thiopental berhubungan dengan hipotensi sistemik

dan sebaiknya hanya digunakan pada pasien normovolemik. Dua percobaan

randomized controlled telah menilai manfaat thiopentone untuk mengobati

kenaikan TIK pada pasien cedera kepala. Percobaan yang pertama

menunjukkan bahwa penurunan TIK secara signifikan lebih besar terjadi pada

grup yang diobati dengan barbiturate, namun tanpa perbaikan outcome dalam

jangka panjang. Percobaan kedua menemukan bahwa TIK terkontrol pada kira-

kira sepertiga grup yang diobati, dan pada pasien yang berespons, terdapat

perbaikan outcome dalam jangka panjang. Hal ini mungkin akibat pelepasan dari

cerebral metabolic rate terhadap konsumsi oksigen dari CBF dan merupakan

sebuah indikator prognosis yang buruk. Pada kepustakaan lain disebutkan

tiopental menurunkan ADO dan CMRO2 yang setara pada isolektrik pada EEG,

efek lain membuang radikal bebas, stabilisasi membrane, menurunkan CPP dan

antikonvulsan.

15

Page 16: Makalah Jurnal.doc

h. Hipotermi

Hipotermi menurunkan metabolisme cerebral dan CBF, dengan

menghasilkan penurunan CBV dan TIK. Hal itu dapat juga menjadi neuroprotektif

dengan mengurangi pelepasan eksitotoksik asam amino. Walaupun pada awalnya

dilaporkan secara antusias bahwa pengobatan dengan moderat hipotermi pada

suatu percobaan single-center, sebuah multi-center, percobaan randomized

controlled tidak dapat menunjukkan beberapa efek yang menguntungkan , walaupun

sejumlah pasien berumur kurang 45 tahun, yang diakui hipotermi dan secara

randomized hipotermi, mempunyai hasil yang lebih baik daripada mereka yang

dibuat normotermi . Sebuah percobaan difokuskan pada pasien yang lebih muda dan

dimulai pada tahun 2003. Walaupun kekurangan bukti akan keuntungan yang

definitif, kebanyakan penelitian menunjukan suatu respons TIK yang baik terhadap

hipotermi. Lebih jauh lagi, efek menguntungkan dari pengobatan hipotermi pada

neurological outcome, baru-baru ini didemonstrasikan pada pasien yang menderita

cardiac arrest dari fibrilasi ventrikel secara tiba-tiba. Untuk saat ini, pengobatan

hipotermi sebaiknya digunakan sebagai tambahan yang efektif dan berguna untuk

mengontrol TIK.

i. Pencegahan kejang

Kejang terjadi pada sekitar 15-20% penderita cedera otak dan berkorelasi

dengan beratnya cedera. Kejang akan meningkatkan CMRO2 dan TIK, namun tidak

ada hubungannya dengan kemunculan kejang dini dengan keluaran defisit

neurologis. Suatu penelitian menyatakan bahwa fenitoin efektif untuk mencegah

kejang dalam satu minggu pertama pasca cedera, sehingga terapi profilaksisnya

hanya diberikan sampai hari ke tujuh.

j. Nyeri

Pada keadaan nyeri pasca trauma ataupun pada keadaan lainnya ini akan

meningkatkan TIK, oleh karena itu perhatian terhadap nyeri dan kenyamanan

penderita sangatlah perlu untuk diperhatikan. Narkotik salah satu anti nyeri yang

kuattidak mempunyai efek terhadap CMRO2 dan ADO, namun pada beberapa

penderita dapat menyebabkan peningkatan TIK.

k. Kraniektomi Dekompresi

Kraniektomi dekompresi (decompressive craniectomy) diindikasikan untuk

pasien yang mempunyai peningkatan TIK dan sulit disembuhkan dengan

pengobatan medikal. Pada pasien dengan pembengkakan unilateral yang mengikuti

evakuasi hematoma atau reseksi tumor, hemikraniektomi atau pemindahan sejumlah

16

Page 17: Makalah Jurnal.doc

besar flap cranial dengan penambalan duramater, telah sukses menurunkan ICP.

Pada pasien dengan edema cerebral pada kedua himisfer, mungkin memerlukan

bilateral kraniektomi. Jarang sekali, pengangkatan jaringan yang telah rusak atau

lobektomi mungkin dilakukan sebagai usaha akhir untuk mengurangi isi intrakranial

pada kebanyakan kasus berat hipertensi intrakranial. Prosedur ini tampak efektif

untuk trauma cedera kepala, sebaik untuk pembengkakan sekunder pada stroke

atau subarachnoid hemoragik. Sebuah percobaan multicenter dalam rangka menilai

keuntungan kraniektomi dekompresi sebagai pengobatan awal untuk trauma cedera

kepala akan menetapkan peran kraniektomi dekompresi di masa depan sebagai

pengobatan definitif untuk hipertensi intrakranial.

l. Penggunaan Positive End-expiratory Pressure pada pasien dengan

peningkatan TIK

Penderita pada peningkatan tekanan intracranial sampai terjadinya hipertensi

intracranial sering jatuh pada keadaan gagal nafas sampai pada penggunaan

ventilator mekanik. Tiga puluh enam persen penderita dengan cedera otak yang

disertai koma, datang dalam keadaan hipoksia dan gagal nafas yang membutuhkan

ventilator mekanik.

Positive end-expiratory pressure (PEEP) berulang kali digunakan untuk

meningkatkan oksigenasi pada pasien dengan respiratory distress syndrome atau

kehilangan volume paru akibat berbagai penyakit paru. Secara teori, hal ini dapat

meningkatkan tekanan intratoraks, yang mana akan menghalangi aliran vena dari

kepala yang menyebabkan peningkatan TIK. Bagaimanapun juga, hal ini hanya

nampak relevan secara klinis jika pasien mempunyai compliance intratoraks yang

baik dan compliance intrakranial yang buruk. Keamanannya baru-baru ini

didemonstrasikan pada pasien stroke akut. Dalam praktek, ketika diindikasikan

dengan tepat, PEEP sampai dengan 10 mmHg jarang menyebabkan peningkatan

TIK yang signifikan. Bagaimanapun juga, tetaplah bijaksana untuk memonitor

respons TIK terhadap PEEP pada pasien, khususnya ketika menggunakan PEEP >

10 mmHg.

2.7 Indikasi Montoring Peningkatan Tekanan Intrakranial

Otak yang normal memiliki kemampuan autoregulasi, yaitu kemampuan organ

mempertahankan aliran darah meskipun terjadi perubahan sirkulasi arteri dan tekanan

perfusi (Morton, et.al, 2005). Autoregulasi menjamin aliran darah yang konstan melalui

pembuluh darah serebral diatas rentang tekanan perfusi dengan mengubah diameter

pembuluh darah dalam merespon perubahan tekanan arteri. Pada klien dengan gangguan

17

Page 18: Makalah Jurnal.doc

autoregulasi, beberapa aktivitas yang dapat meningkatkan tekanan darah seperti batuk,

suctioning, dapat meningkatkan aliran darah otak sehingga juga meningkatkan tekanan TIK.

Monitoring TIK paling sering dilakukan pada trauma kepala dengan situasi

(Thamburaj, Vincent, 2006):

Pasien dengan suspek resiko peningkatan tekanan intracranial

Pasien koma dengan GCS kurang 8

Mengantuk/drowsy dengan hasil temuan CT scan

Post op evakuasi hematoma

Prognosis adanya agresive perawatan ICU

Klien risiko tinggi seperti usia diatas 40 tahun, tekanan darah rendah, klien

dengan bantuan ventilasi.

Tidak ada yang dapat dicapai jika monitoring dilakukan pada klien dengan GCS

kurang dari 3

Untuk mengetahui dan memonitor tekanan intrakranial, dapat digunakan metode non

invasif atau metode invasive (Thamburaj, Vincent, 2006):

a. Metode non Invasive

Metode non invasive dapat meliputi:

Penurunan status neurologi klinis dipertimbangkan sebagai tanda peningkatan

TIK. Bradikardi, peningkatan tekanan pulsasi, dilatasi pupil normalnya dianggap

tanda peningkatan TIK.

Transkranial dopler, pemindahan membran timpani, teknik ultrasound “time of

flight” sedang dianjurkan. Beberapa peralatan digunakan untuk mengukur TIK

melalui fontanel terbuka. Sistem serat optik digunakan ekstra kutaneus.

Dengan manual merasakan pada tepi kraniotomi atau defek tengkorak jika ada,

dapat juga memberi tanda.

Intracranial monitoring devices yang dapat digunakan, yaitu :

1) Transcranial Doppler

TCD mengukur velocity aliran darah pada arteri intracranial basal dan sering

digunakan untuk mendeteksi pendekatan ke pembuluh darah. Hal ini

dikarakteristikkan dengan perubahan pada bentuk gelombang aliran darah

akibat peningkatan tekanan intracranial.

2) Tympanic membrane displacement

CSF dan perilymph mungkin saling berhubungan melalui cochlear secara

adekuat dan meningkatkan TIK akan menyebabkan peningkatan pada oval

window.Tekanan ini kemudian ditranmisi ke membrane timopani melalui

18

Page 19: Makalah Jurnal.doc

osscles dari telinga tengah.Impedance audiometer ditempatkan pada kanal

telinga luar dengan memancarkan dan mendeteksi gelombang suara.

3) Transcranial ultrasound propagation

Dengan menggunakan bitemporal acoustic probes, gelombang ultrasonic

ditransmisikan melalui kepala.Diasumsikan dengan peningkatan TIK dan

merubah dalam jaringan intracranial elastance akan merubah velositas dari

gelombang suara.

4) Jugular bulb monitoring

Pengukuran ini dengan memasukkan secara retrograde kateter oximeter

tipped ke dalam jugular bulb. Dengan pendekatan infrared spectroskopi.

b. Metode invasive

Metode invasif dapat meliputi:

Monitoring intraventrikular menjadi teknik yang popular, terutama pada klien

dengan ventrikulomegali. Keuntungan tambahan adalah dapat juga

mengalirkan cairan serebrospinal. Cara ini tidak mudah dan dapat

menimbulkan perdarahan dan infeksi (5%).

Sekrup dan palang dan kateter subdural. Sekrup Richmond dan palang Becker

digunakan ekstradural. Cairan dimasukkan oleh kateter ke dalam ruang

subdural, kemudian dihubungkan ke system monitoring tekanan arteri. Cara ini

hemat biaya dan berguna secara adekuat.

“Ladd device” digunakan secara luas. Cara ini memerlukan sistem serat optik

untuk mendeteksi adanya distorsi pada cermin kecil dalam sistem balon, dapat

digunakan subdural, ekstra dural dan ekstra kutaneus.

“Cardio Serach monitoring sensor” digunakan subdural atau ekstradural.

Sistem ini jarang digunakan.

Peralatan elektronik (Camino dan Galtesh) popular di dunia.

Peralatan yang ditanam secara penuh diperlukan oleh klien yang memerlukan

monitoring TIK jangka panjang, seperti pada tumor otak, hidrocephalus, atau

penyakit otak kronik lainnya. Cosmon telesensor dapat ditanam sebagai bagian

dari sistem shunt.

Lumbal pungsi dan pengukuran tekanan cairan serebrospinal tidak

direkomendasikan.

Ada 4 jenis intracranial monitoring devices yang dapat digunakan, yaitu :

1) Intraventrikular kateter

19

Page 20: Makalah Jurnal.doc

Dapat monitor TIK secara langsung, dokter memasukkan polietilen kecil atau

silicon karet kedalam ventrikel lateral melalui burr hole.Dapat mengukur secara

akut dan mengalirkan cairan cerebrospinal namun dapat menibulkan resiko

infeksi.Kontraindikasi jika ada cerebral ventrikel stenosis, aneurisma cerebral

dan suspek lesi vaskuler.

2) Subarachnoid bolt

Insersi melalui subarachnoid melalui twist-drill burr hole dimana posisinya

didepan tengkorak dibelakang hairline.Lebih mudah dari intraventrikuler

kateter,khususnya jika CT scan menyatakan bahwa cerebrum bergeser atau

kollaps ventrikel. Resiko infeksi dan kerusakan parenkim sedikit karena bolt nya

tidak masuk dalam cerebrum.

3) Epidural atau subdural transducer

Untuk monitor epidural, sensor fiber optic dimasukkan kedalam epidural melalui

burr hole.Hal ini perlu dipertanyakan karena TIK tidak diukur secara langsung

dari tempat pengisian cairan serebrospinal. Untuk subdural monitor kateter

transducer fiber optic dipasang melalui burr hole dan titempatkan pada jaringan

otak dibawah duramater.Metode ini tidak adekuat untuk mengalirkan CSF.

4) Intraparenkim transducer

Dokter memasukkan kateter melalui subarachnoid bolt dan setelah ke dura

kateter dikembangkan beberapa centimeter masuk kedalam brain’s white

matter.Pengukuran ini akurat karena tekanan jaringan otak berhubungan baik

dengan tekanan ventrikel.Digunakan pada pasien dengan kompresi atau

dislokasi ventrikel.

Masing-masing cara memilki keuntungan dan kerugian/kelemahan. Monitor TIK yang

digunakan sebaiknya memiliki kapabilitas 0 – 100 mmHg, akurasi dalam 1-20 mmHg + 2

mmHg, dan kesalahan maksimum 10% dalam rentang 10-100 mmHg (Morton, et.al, 2005).

Klien dengan kenikan TIK perlahan seperti klien dengan tumor otak lebih toleran terhadap

kenaikan TIK daripada klien dengan kenaikan TIK mendadak, seperti klien dengan

hematoma subdural akut (Morton, et.al, 2005).

Valsava maneuver adalah usaha ekshalasi melawan glotis yang tertutup atau mulut

dan hidung yang tertutup. Pada awalnya dimaksudkan sebagai metode mengeluarkan pus

dari telinga tengah (www.valsava.org, 2006). Pada beberapa literatur, valsava maneuver

sering disamakan/digandengkan dengan pengikatan. Valsava maneuver dilakukan dengan

melawan glotis yang tertutup menghasilkan peningkatan tekanan yang drastis dalam rongga

toraks, bagian udara sempit dari torso yang membungkus jantung dan paru. Pada ekshalasi

normal, diafragma berkontraksi, menekan keluar dan ke rongga toraks. Hal ini meningkatkan

20

Page 21: Makalah Jurnal.doc

tekanan dalam rongga dan mendorong udara keluar dari paru. Sehingga, ketika udara tidak

dapat keluar, ketika glotis tertutup dalam valsava maneuver, tekanan terus mengisi rongga

toraks sampai diafragma rileks atau udara dilepas keluar.

Hal ini menurunkan jumlah aliran darah ke dalam rongga toraks terutama dalam

vena yang menuju ke atrium kanan jantung. Aktivitas ini juga meningkatkan tekanan

intrakranial sehingga sebaiknya dihindari untuk mencegah terjadinya peningkatan TIK.

Valsava maneuver biasanya digunakan penumpang pesawat untuk mencegah barotrauma

dan ketidaknyamanan dalam telinga ketika bergerak ke lingkungan dengan tekanan

bernafas yang lebih tinggi. Juga sering digunakan untuk membantu mengeluarkan feses dari

rektum selama pergerakan bowel.

Cara melakukannya dengan menutup/menjepit hidung, menutup mulut dan berusaha

untuk ekshalasi. Teknik ini bekerja dengan meningkatkan tekanan dalam kerongkongan

sehingga sejumlah kecil udara bergerak dari kerongkongan ke telinga melalui tuba eustachia

yang menghubungkannya. Valsava maneuver meningkatkan tonus vagal (parasimpatis)

sementara. Ini digunakan untuk mengkoreksi denyut jantung pada klien dengan

supraventrikular takikardia karena efek peningkatan tonus vagal pada AV node jantung.

Valsava maneuver kadang-kadang digunakan untuk menentukan adanya hernia inguinal

pada pria.

Untuk mengurangi risiko terjadinya valsava maneuver, klien cedera kepala dengan

peningkatan/risiko peningkatan TIK sering diberi obat pelunak feses, dan posisi kepala yang

lebih tinggi. Klien juga dilarang mengedan saat buang air besar. Klien cedera kepala dengan

risiko atau sudah mengalami peningkatan TIK biasanya mendapat perhatian atau

pengawasan yang lebih ketat dari perawat dan dokter. Klien ini juga ditempatkan pada

ruangan atau kamar yang lebih dekat dengan nurse station. Beberapa klien dengan cedera

kepala berat atau post op kraniotomi dengan peningkatan TIK yang berat dirawat di ICU.

BAB 3

PEMBAHASAN

21

Page 22: Makalah Jurnal.doc

3.1 Pembahasan Jurnal

Jurnal ini merupakan tinjauan pustaka yang berjudul “Intracranial Pressure

Monitoring: Invasive versus Non-Invasive Methods – A Review” yang dipublikasikan oleh

Critical Care Research and Practice volum 2012. Pada jurnal ini, kami menekankan

pembahasan pada pemantauan tekanan intrakranial metode non invasif.

Pada pendahuluan disebutkan bahwa tekanan intrakranial terdiri dari beberapa

komponen, yakni intak tengkorak, volum otak, darah dan cairan serebrospinal. Keempat

komponen ini bernilai konstan. Adanya kenaikan dari salah satu komponen akan

mengakibatkan penurunan salah satu atau dua dari komponen-komponen tersebut

(Cushing, 1926 dalam Raboel et al., 2012).

Pada jurnal ini pembahasan dibedakan pada teknik pemantauan tekanan intrakranial

secara invasif dan noninvasif. Pada teknik invasif terbagi menjadi dua, yakni External

Ventricular Drainage (EVD) dan Microtranducer ICP Monitoring Devices. Sedangkan pada

teknik non invasif dibedakan menjadi 5 yaitu 1) Transcranial Doppler (TCD)

Ultrasonography, 2) Tympanic Membrane Displacement (TMD), 3) Optic Nerve Sheath

Diameter (ONSD), 4) Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan CT scan, dan 5) funduskopi

dan papilledema (Raboel et al., 2012).

Teknik monitoring ICP bermacam-macam dan beragam. Sebelum memilih teknik

untuk diterapkan dalam perawatan kritis, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan,

diantaranya ketepatan pengukuran, biaya alat medis yang ada kemungkinannya terjadi

komplikasi dan masalah mekanis terkait dengan kemampuan individu (Raboel et al., 2012).

Peningkatan TIK atau ICP dan penurunan secara bertahap pada CPP terjadi ketika

cedera otak parah berakibat pada perubahan gelombang spektrum Doppler secara progresif

(Ducrorq et al., 1998, Segura et al., 2009 dalam Llompart-Pou et al., 2013). Ketika ICP sama

dengan tekanan darah diastolik, otak hanya tereperfusi oleh sistolik. Pada tahap ini,

velosititas diastolik akhir pada spektrum Doppler bernilai nol. Ketika ICP sama dengan mean

arterial pressure atau MAP, perfusi otak berhenti. Pada tahap ini, spektrum Doppler secara

khas menunjukkan aliran osilasi. Ketika ICP mencapai tekanan darah sistolik, muncul bentuk

sistolik yang tajam pada pemeriksaan transkranial sonografi. Pada saat itu, sinyal akustik

menghilang. Kesimpulannya, peningkatan pulsatilitas gelombang Doppler menunjukkan

adanya peningkatan ICP (Llompart-Pou et al., 2013).

Keunggulan TCD adalah mobilitasnya yang tinggi. Perubahan hemodinamik serebral

umum dijumpai pada pasien di ICU. TCD dilaporkan mampu mendeteksi vasospasme pasca

perdarahan subaraknoid dan peningkatan ICP pasca trauma kepala. Manfaatnya terutama

pada pasien di unit perawatan intensif yang memiliki resiko besar mengalami perubahan

22

Page 23: Makalah Jurnal.doc

hemodinamik, lagipula tindakan angiografi atau pencitraan seringkali tidak dapat dikerjakan

pada pasien dengan ventilator, tidak sadar dan kondisi umum jelek. Beberapa penelitian

terdahulu mengevaluasi peran TCD untuk deteksi perubahan hemodinamik serebral di ICU.

Penelitian penggunaan TCD di Indonesia masih sangat terbatas (Pinzon, 2011).

Dalam hal ketepatan mengukur nilai ICP yang akurat, EVD dianggap sebagai

standar emas dalam hal keakuratan dan kemudian diikuti oleh microtransducers. Teknik-

teknik noninvasif memiliki kekurangan dalam hal ini. Saat ini, tidak disebutkan teknik

noninvasif yang cukup akurat untuk digunakan dalam pengaturan (intensif) perawatan kritis.

Di sisi lain, teknik noninvasif memiliki keuntungan yaitu benar-benar menghindari komplikasi

seperti pendarahan dan infeksi, yang sering dikaitkan dengan teknik invasif (Raboel et al.,

2012).

Pendarahan dapat menyebabkan defisit neurologis atau memerlukan intervensi

bedah, yang terjadi sekitar 0,5% pada kasus dengan EVD dan persentase yang sama untuk

teknik microtransducer. Perdarahan klinis terkait teknik invasif tampaknya tidak banyak,

tetapi harus diingat bahwa ini berarti satu dari 200 pasien akan memiliki kondisi klinis yang

memburuk semata-mata karena penerapan teknik invasif dalam pemantauan ICP. Masalah

ini masih diperdebatkan, mengingat bahwa panduan umum untuk pemantauan ICP belum

diterima secara luas, sehingga terdapat variasi untuk aplikasi pemantauan ICP invasif antar

rumah sakit (Raboel et al., 2012).

Hal ini juga diterapkan kaitannya dengan frekuensi yang relatif tinggi terhadap infeksi

pasca operasi sampai dengan 27% sehubungan dengan teknik EVD. Sejumlah besar pasien

akan mengalami infeksi sistemik atau infeksi otak, dengan risiko kematian yang semakin

tinggi. Dapat pula terjadi cacat fisik seperti hidrosefalus, infark, epilepsi, atau kelumpuhan

saraf kranial. Satu-satunya cara untuk meminimalkan risiko infeksi pasca operasi adalah

mengikuti pedoman steril. Pasien dengan microtransducers umumnya memiliki tingkat

infeksi pasca operasi yang lebih rendah (0-8,5%) dibandingkan pasien dengan EVD karena

EVD yang ditempatkan pada intra-parenchymaly atau diblokir dengan potongan-potongan

materi otak dan pembekuan darah (Raboel et al., 2012).

Untuk teknik noninvasif, ada beberapa kategori pasien yang tidak dapat menerapkan

teknik pengukurannya dalam praktek perawatan kritis. Ada 10-15% dari pasien diselidiki

menggunakan Transcranial Doppler USG (TCD), dan pengukuran secara valid tidak dapat

dilakukan. Dalam pengukuran menggunakan Tympanic Membrane Displacement (TMD)

angkanya adalah 60% dan untuk Optic Nerve Sheath Diameter (ONSD) sebesar 10%

(Raboel et al., 2012).

Biaya untuk pemasangan EVD sekitar $200 atau sekitar Rp. 1.930.000,00.

Microtransducers lebih mahal, mengingat EVD juga membutuhkan monitor dengan total

23

Page 24: Makalah Jurnal.doc

biaya sekitar beberapa ribu dolar, dan harga transduser sendiri setidaknya sekitar $ 400-600

(Rp. 3.860.000,00 - Rp. 5.790.000,00). Selain biaya pemasangan, juga ada biaya

pemeliharaan dan penggantian. Pada teknik non-invasif hanya memerlukan biaya satu kali

pembelian perangkat, setelah itu perangkat dapat digunakan berkali-kali. Dalam hal biaya,

teknik non-invasif lebih disukai (Raboel et al., 2012).

Namun, mengingat tingginya jumlah pasien di mana teknik non-invasif tidak dapat

diterapkan dan akurasinya yang rendah, sehingga teknik ini kurang menguntungkan. Hal ini

membuat kita dengan pilihan antara EVD dan microtransducer. Tidak ada perbedaan besar

antara kedua teknik, meskipun fakta bahwa microtransducers paling tidak dapat dikalibrasi

ulang. Secara ekonomi, microtransducer lebih mahal, tapi dengan tingkat komplikasi pasca

operasi yang lebih rendah seperti infeksi. Di sisi lain, EVD memiliki kelebihan dapat

digunakan untuk drainase CSF dan administrasi dari obat intratekal. Drainase CSF telah

digunakan secara rutin pada praktek klinis untuk menurunkan ICP. Namun, hal ini belum

mampu menunjukkan perbaikan perfusi otak dari pasien atau meningkatkan hasil akhir klinis

pasien (Raboel et al., 2012).

Tapi kapan monitoring ICP diperlukan dalam perawatan kritis? Telah dilakukan kajian

yang luas pada artikel yang ada tentang hasil cedera otak traumatis yang parah

empat puluh tahun terakhir atau lebih, mengakibatkan 127 kasus, yang melibatkan lebih dari

125.000 pasien. Secara keseluruhan, pengobatan dengan intensitas tinggi dengan

penggunaan pemantauan ICP menunjukkan angka kematian 12% lebih rendah dan

kesempatan yang lebih baik. Enam persen lebih menguntungkan dibandingkan dengan

pasien yang tidak dilakukan pemantauan ICP (Raboel et al., 2012).

Sebagian besar bukti mendukung monitoring ICP berasal dari tahun 1970 akhir dan

awal tahun 1980. Terapi berbasis ICP dan CPP saat ini didasarkan pada asumsi yang

berbeda dari “peningkatan tekanan" dengan rekomendasi pada inisiasi pengobatan pada

tingkat ICP di atas 20-25mmHg. Hal ini jelas hari ini bahwa tambahan modalitas

neuromonitoring harus melengkapi ICP dalam pengaturan perawatan kritis, sehingga

meningkatkan keselamatan pasien dengan lebih mengikuti panduan penatalaksanaan

secara akurat dalam hal jenis, agresivitas dan durasi, termasuk controlled tapering atau

penyusutan yang terkontrol (Raboel et al., 2012).

Daftar Referensi

24

Page 25: Makalah Jurnal.doc

Brien Susan,MD. ( 2000 ). Head elevation reduces head rotation associated increased, ICP in patient with intracranial tumours. http://www.cja.csa.org/cgi/content/full/47/5/415. Diakses pada tanggal 14 Januari 2013 jam 22.17 WIB

Ellen Barker ( 2002 ).Neuroscience Nursing a spectrum of Care, edisi ke-2,Mosby,inc St Louis.Missouri.

Llompart-Pou, Juan Antonio. Abadal, Josep Maria. Guemther, Albrecht. Rayo, Luis. Rincon, Juan Pedro Martin. Homar, Javier et al. Transcranial Sonography and Cerebral Circulatory Arrest in Adults: A Comprehensive Review. ISRN Critical Care. Volume 2013.

Pinzon, Rizaldy. Transcranial Doppler untuk Deteksi Perubahan Hemodinamik Serebral pada Stroke Akut. CDK 2011: 185; volum 38 no.4: 253-6

Raboel, PH. Bartek Jr., J. Andresen, M. Bellander, BM. Romner, B. Intracranial Pressure Monitoring: Invasive versus Non-Invasive Methods - A Review. Critical Care Research and Practice. Volume 2012.

Ropper Allan H,MD ( 2002). What is the ideal head position for patients with large strokes. http://neurology.j.watch.org/cgi/content/full/2002/412/1. Diakses pada tanggal 14 Januari 2013 jam 22.00 WIB

25