Makalah Intelegensi
description
Transcript of Makalah Intelegensi
MAKALAH
PEMAHAMAN INDIVIDU II
INTELEGENSI
Disusun Oleh : KELOMPOK I
1. DINA AYU PAMUNGKAS (3A/10121.015)
2. ERMITA DWI K. (3A/10121.026)
3. ARIES MAYA NINGRUM (3A/10121.029)
4. DUKUNG ARI ANDANA (3A/10121.031)
5. RITA SETYANINGSIH (3A/10121.033)
6. SULISTYORINI (3A/10121.034)
7. PURI TRESNAWATI (3A/10121.043)
8. TUTUT RESTI R. (3A/10121.228)
9. AYU RETNO (3A/10121.018)
10. TIKA NOVITA (3A/10121.011)
PROGRAM STUDY BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
IKIP PGRI MADIUN
2011
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah berkat limpahan rahmat dan hidayah dari Allah SWT. kami
menyelesaikan tugas menyusun Makalah Intelegensi selesai tepat pada waktunya. Berkenan
dengan ini pula penyusun mengangkat tema tentang intelegensi. Penyusun bermaksud ikut
menyumbangkan pengetahuan kami tentang pemahaman intelegensi dan menambah
wawasan pembaca pada umumnya.
Pada kesempatan ini penyusun juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dian Ratningtyas Afifah, M.Psi, Psi. selaku dosen profesi Pemahaman
Individu II dalam menyelesaikan tugas ini dengan penuh kesabaran.
2. Teman-teman yang turut membantu dalam menyelesaikan makalah intelegensi.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
kami berharap kritik dan saran dari pembaca.
Akhirnya semoga langkah dan usaha kami mendapat ridho dari Allah SWT. serta
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Madiun, 17 Desember 2011
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................. 1
B. Rumusan Masalah..........................................................................
C. Tujuan Penulisan............................................................................
D. Manfaat Penulisan..........................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Intelegensi........................................................................ 3
B. Pendekatan-pendekatan Intelegensi............................................... 3
C. Teori-teori Intelegensi....................................................................
D. Faktor-faktor yang mempengaruhi Intelegensi..............................
E. Latar Belakang Tes Intelegensi......................................................
F. Penggunaan Tes Intelegensi...........................................................
G. Keterbatasan Tes Intelegensi..........................................................
H. Jenis-jenis Tes Intelegensi..............................................................
I. Stanford Binet-Simon.....................................................................
J. The Coloured Progressive Matrices
(Tes Matriks Progresif Warna).......................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................... 18
B. Saran............................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat umum mengenal intelegensi sebagai istilah yang menggambarkan
kecerdasan, kepintaran ataupun kemampuan untuk memecahkan problem yan dihadapi.
Gambaran tentang anak yang berintelegensi tinggi adalah gambaran mengenai siswa
yang pintar, siswa yang selalu naik kelas dengan nilai baik, atau siswa yang jempolan
di kelasnya. Bahkan gambaran ini pada citra fisik, yaitu citra anak yang wajahnya
bersih, berpakaian rapi, matanya bersinar atau berkaca-kaca. Sebaliknya gambaran anak
yang berintelegensi rendah membawa citra seseorang yang lamban berfikir, sulit
berfikir, prestasi belajarnya rendah, dan mulut lebih banyak menganga disertai tatapan
mata yang binggung.
Pandangan awam sebagaimana digambarkan di atas, walaupun tdak
memberikan arti jelas tentang intelegensi namun pada umumnya tidak berbeda jauh
dari makna intelegensi sebagaimana yang dimaksudkan oleh para ahli. Apapu
definisinya, makna intelegensi memang mendikripsikan kepintaran dan kebodohan.
B. Rumusan Masalah
Makalah ini membahas tentang intelegensi. Pembahasan dalam makalah ini
memiliki beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian intelegensi?
2. Apa saja pendekatan-pendekatan dalam intelegensi?
3. Apa saja teori-teori dalam intelegensi?
4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi intelegensi?
5. Bagaimana latar belakang sebuah tes intelegensi?
6. Bagaimana penggunaan sebuah tes intelegensi?
7. Apa saja keterbatasan intelegensi?
8. Apa saja jenis-jenis tes intelegensi?
9. Bagaimana tes Stanford Binet-Simon?
10. Bagaimana tes Coloured Progressive Metrices (tes Matriks Progresif Warna)?
4
C. Tujuan Penulisan
Secara terperinci tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian intelegensi
2. Untuk mengetahui pendekatan-pendekatan dalam intelegensi
3. Untuk mengetahui teori-teori dalam intelegensi
4. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi
5. Untuk mengetahui latar belakang sebauha tes intelegensi
6. Untuk mengetahui penggunaan sebuah tes intelegensi
7. Untuk mengetahui keterbatasan intelegensi
8. Untuk mengetahui jenis-jenis tes intelegensi
9. Untuk mengetahui tes Stanford Binet-Simon
10. Untuk mengetahui tes Coloured Progressive Metrices (tes Matriks Progresif
Warna)
D. Manfaat Penulisan
Pembahasan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai :
1. Bahan diskusi pada mata kuliah Pembahasan Individu II
2. Bahan informasi dan telah yang berguna bagi pengembangan pengetahuan dan
wawasan tentang intelegensi
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Intelegensi daalam Definisi
Intelegensi berasal dari bahasa Inggris yaitu Intelligence. Intelligence sendiri
adalah terjemahaan dari bahasa Latin yaitu intellectus dan intelligentia. Teori tentang
intelegensi pertama kali dikemukakan oleh Spearman dan Wynn Jones Pol pada tahun
1951 Spearman dan Wynn mengemukakan adanya konsep lama mengenai suatu
kekuatan (power) yang dapat melengkapi akal pikiran manusia tunggal pengetahuan
sejati. Kekuatan tersebut dalam bahasa Yunani disebut Nous, sedangkan penggunaan
kekuatan disebut Noesis.
Andrew Crider (Saifudin Azwar, 2002:3) mengatakan bahwa intelegensi itu
bagaikan listrik, gampang untuk diukur tapi hampir mustahil untuk didefiniskan.
Alfred Binet, seorang tokoh utama perintis pengukuran intelegensi yang hidup
antara tahuan 1857-1911, bernama Theodore Simon mendefiniskan intelegensi terdiri
atas tiga komponen, yaitu: kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau mengarahkan
tindakan, kemampuan untuk mengkritik diri sendiri.
Di tahun 1916 Lewis Madison Terman mendefinisikan Intelegensi sebagai
kemampuan seseorang untuk berfikir secara abstrak, sedangkan H.H. Goddard pada
tahun 1946 mendefinisikan intelegensi sebagai tingkat kemampuan pengalaman
seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang langsung dihadapi untuk
mengantisipasi masalah-masalah yang akan datang (Saifudin Azwar, 2002:5).
Kemampuan intelektual merupakan ekpresi dari apa yang disebut intelegensi
dan kepada kemampuan intelek ini juga kita bersandar dalam menguasai dan
memperlakukan perubahan kebudayaan serta pembaruan teknologi ini di masyarakat.
Setiap individu secara alamiah memiliki kemampuan kreatif, namun masih
bersifat potensial. Potensi kreatif individu akan bersifat laten bila tidak dikembangkan
dan dibentuk (Stenberg, 2003; Stenberg & Lubart, 1995; 2002; Deetje Josephine
Solang, 2008:35).
Faktor-faktor dasar dalam konsepsi awam dan konsepsi ahli mengenai intelegensi
(menurut Sternberg Azwar, 2002:8)
6
Menurut orang awam:
1. Kemampuan Praktis untuk Pemecahan Masalah :
1. Nalar yang baik
2. Melihat hubungan diantara berbagai hal
3. Melihat aspek permasalahan secara menyeluruh
4. Fikiran terbuka
2. Kemampuan Verbal :
1. Berbicara dengan artikulasi yang baik dan fasih
2. Berbicara lancar
3. Punya pengetahuan di bidang tertentu
3. Kompetensi Sosial :
1. Menerima orang lain seperti adanya
2. Mengakui kesalahan
3. Tertari pada masalah sosial
4. Tepat waktu bila berjanji
Menurut para ahli:
1. Kemampuan Memecahkan Masalah:
1. Mampu menunjukkan pengetahuan mengenai masalah yang dihadapi
2. Mengambil keputusan tepat
3. Menyelesaikan masalah secara optimal
4. Menunjukkan pikiran secara jernih
2. Intelegensi Verbal :
1. Kosakata baik
2. Membaca dengan penuh pemahaman
3. Ingin tahu secara intelekstual
4. Menunjukkan keingintahuan
3. Intelegensi Praktis :
1. Tau situasi
2. Tahu cara mencapai tujuan
3. Sadar terhadap dunia sekeliling
4. Menunjukkan minat terhadap dunia luar
7
Dari temuan Sternberg, terlihat bahwa orang awampun tidak saja menekankan
makna intelegensi pada aspek kemampuan intelektual (kognitif) semata akan tetapi
mementingkan pula aspek kemampuan sosial yang bersifat nonkognitif. Selanjutnya
disimpulkan pula oleh penelitian tersebut bahwa orang cenderung lebih mengutamakan
faktor kognitif daripada faktor-faktor nonkognitif dalam menilai intelegensi orang lain
maupun intelegensi dirinya sendiri (Sternberg, 1981 dalam Saifudin Anwar, 2002:9).
Untuk menstimulasi potensi berfikir kreatif individu diperlukan sejumlah
elemen yang saling mendukung yang dapat menstimulasi potensi kreatif individu.
Elemen intelektual merupakan elemen kunci (Sternberg, 1999b; 2001; 2003 dalam
Deetje Josephine Solang, 2008:35). Dalam penelitiannya fokus ditunjukkan pada
komponen performansi sebagai bagian dari subteori komponensial untuk
mengembangkan model keterampilan berfikir. Komponen performansi dikategorikan
sebagai keterampilan berfikir yang bertumpu pada keterampilan berfikir analitik,
keterampilan berfikir sinetik, dan keterampilan berfikir praktikal. Keterampilan berfikir
analitik merupakan kemampuan seseorang dalam performansi berfikir kritis mengenai
suatu ide, menganalisis ide, mengevaluasi ide, dan mengenai adanya ide baru yang
berkualitas. Keterampilan berfikir sinetik merupakan kemampuan seseorang
menggunakan informasi lama kesituasi atau tugas baru, melihat problem dalam cara
baru dan melahirkan ide baru yang diekspresikan dengan cara yang berbeda dari cara
yang digunakan sebelumnya. Keterampilan berfikir praktikal merupakan kemampuan
seseorang menyampaikan ide berfikir secara efektif dan menjual ide secara
menyakinkan kepada orang lain, menerima kritik dan umpan balik terhadap kualitas ide
sendiri, serta menerjemahkan teori dan ide-ide abstrak ke penyelesaian praktis
(Sternberg, 1999a dalam Deetje Josephine Solang, 2008:36). Individu yang kreatif
menggunakan kemampuan praktikal untuk memadukan gagasan yang bernilai, serta
mampu mereaksi secara produktif terhadap umpan balik yang diperolehanya melalui
ide dan karya yang dihasilkan. Dalam hal ini seseorang dapat menonol pada salah satu
atau dua dari ketiga kemampuan tersebut kemungkinan tidak muncul secara utuh pada
indivdu, ketiga kemampuan tersebut dapat dilatih dan diajarkan secara integral dalam
berbagai domain seperti bahasa, seni, sains, dana matematika untuk mewujudkan
potensi kreatifnya dalam satu atau lebih domain. Individu yang kreatif selalu beroperasi
menonjol dalam satu atau dua domain, bukan dalam semua domain (Gardner, 1999
dalam Deetje Josephine Solang, 2008:36).
8
Dari definisi di atas, kita dapat mengambil kesimpulan yang akan menjelaskan
ciri-ciri intelegensi:
1. Intelegensi merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses
berfikir secara rasional. Oleg karena itu, intelegensi tidak dapat diamati secara
langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang
merupakan manifestasi dari proses berfikir rasional.
2. Intelegensi tercermin dari tindakan yang terarah pada penyesuaian diri
terhadap lingkungan dan pemecahan masalah yang timbul padanya.
B. Beberapa Pendekatan Intelegensi
Dalam memahami hakikat intelegensi, Maloney dan Ward (dalam Saifudin
Azwar, 2002:11) mengemukakan empat umum, yaitu: (a) pendekatan teori belajar
(learning theory), (b) pendekatan neurobiologis, (c) pendekatan teori-teori psikometri,
dan (d) pendekatan teori-teori perkembangan. Keempat cara pendekatan tersebut tidak
terpisah secara eksklusif, akan tetapi saling tumpah tindih sampai taraf tertentu. Berikut
ulasan pendekatan-pendekatan tersebut :
1. Pendekatan Teori Belajar
Inti belajar mengenai masalah hakikat intelegensi terletak pada pemahaman
mengenai hukum-hukum dan prisip umum yang dipergunakan oleh individu untuk
memperoleh bentuk-bentuk perilaku baru. Oleh karena itu, dalam pendekatan ini
para ahli lebih memusatkan perhatian pada perlikau yang tampak dan bukan pada
pengertian mengenai konsep mental dari intelegensi itu sendiri. Inilah bedanya
dengan pendekatan umum yang biasanya yang menganggap intelegensi sebagai
suatu struktur dalam atau sifat kepribadian yang dimilki oleh individu.
Bagi para ahli teori belajar, suatu perilaku intelegensi adalah perilaku yang
berisi proses belajar (learning process) pada level fungsional tingkat tinggi dan
merupakan respon khusus terhadap tuntutan dari luar. Hal itu berarti adanya
interaksi antara individu dengan lingkungannya dimana intelegensi dinilai dari
kelayakan perilakunya dibandingkan dengan suatu kriteria yang berlaku sebagai
norma relatif.
Dalam pendekatan ini perlu ditekankan bahwa hampir semua ahli teori
belajar, intelegensi bukanlah sifat kepribadian (trait) akan tetapi merupakan
kualitas hasil belajar yang telah terjadi. Lingkungan belajar sendiri menentukan
9
kualitas dan keluasan cadangan perilaku seseorang dan karenanya dianggap
menetukan relativitas intelegensi individu.
2. Pendekatan Neurobiologis
Pendekatan ini beranggapan bahwa intelegensi memiliki dasar anatomis dan
biologis. Perilaku intelegen, menurut pendekatan ini dapat ditelusuri dasar-dasar
neuro-anatomis dan proses neurofisiologisnya. Oleh karena itu dalam berbagai
riset, selalu dipentingkan untuk melihat korelasikorelasi intelegensi pada aspek-
aspek anatomi, elektokimia, atau fisiologi.
Pendekatan ini menimbulkan berbagai teori intelegensi yang mengaitkan
perilaku intelegensi serta ciri-cirinya dengan aspek-aspek biologis.
3. Pendekatan Psikometris
Ciri utama pendekatan ini adalah adanya anggapan bahwa intelegensi
merupakan suatu konstrak (construct) atau sifat (trait) psikologis yang berbeda-
beda kadarnya bagi setiap orang. Namun dikarenakan para ahli psikometri biasanya
lebih tertarik pada masalah pengukuran psikologis, maka mereka lebih
mengutamakan perhatian mereka pada cara praktis untuk melakukan klasifikasi
dan prediksi berdasarkan hasil pengukuran intelegensi daripada meneliti hakikat
intelegensi itu sendiri.
Sigel (dalam Saifudin Azwar. 2002:13) mengatakan bahwa suatu, kritik
terhadap pendekatan psikometris adalah penekanan berlebihan dari pihak
perancang tes pada aspek kuantitatif intelegensi dan kurangnya perhatian pada
aspek kualitatif. Penekanan tersebut tampak dalam arah perhatian pendekatan
psikometris yang lebih ditunjukan pada skor individu yang dilihat secara kuantitatif
dari banyaknya jawaban yang benar pada suatu tes intelegensi.
Dalam pendekatan ini terdapat dua arah studi, yaitu pertama yang bersifat
praktis dan lebih menekankan pada pemecahan masalah dan kedua adalah yang
lebih menekankan pada konsep dan penyusunan teori. Pendekatan psikometris
inilah yang melahirkan berbagai skala-skala pengukuran intelegensi yang menjadi
awal skala yang banyak dikenal sekarang.
4. Pendekatan Teori Perkembangan
Dipusatkan pada masalah perkembangan intelegensi secara kualitatif dalam
kaitannya dengan tahap-tahap perkembangan biologis individu. Sebagai contoh,
Jean Piaget (Ginsburg & Opper, 1989; Saifudin Azwar, 2002:14) mengawali
konsepsi mengenai tes intelegensi dengan melihat pada respon-respon yang salah
10
yang dilakukan oleh anak-anak dalam tes intelegensi. Tampak oleh Piaget bahwa
terdapat pola respon tertentu yang ada kaitannya dengan tingkatan usia tertentu
pula. Studi selanjutnya meyakinkannya bahwa memang terdapat perbedaan
kualitatif dalam cara berfikir anak pada masing-masing kelompok usia.
C. Terori-teori Intelegensi
Menurut sudut pandang mengenai faktor-faktor yang menjadi elemen
intelegensi, maka teori-teori intelegensi dapat digolongkan dalam tiga golongan.
Pengolongan pertama adalah teori-teori yang berorientasi pada faktor tunggal, yang
adalah teori-teori yang berorientasi pada dua faktor, dan yang ketiga adalah teori yang
berorientasi pada faktor ganda. Walaupun demikian, uraian ringkas teori-teori
intelegensi berikut tidak akan mengutamakan pengelompokkan tersebut. Berikut
beberapa teori-teori di bawah nama tokohnya masing-masing.
1. Louis Leon Thrurstone & Thelma Gwinn Thurstone (Primary Mental Ability)
Menurut L.L. Thurstone (dalam Saifudin Azwar, 2002:22) intelegensi dapat
digambarkan terdiri atas sejumlah kemampuan mental primer. Kemarnpuan mental
dapat dikelompokan kedalam enam faktor dan inteligensi dapat diukur dengan
melihat sampel perilaku seseorang dalam keenam bidang termaksud. Suatu
perilaku inteligen, adalah hasil dari bekerjanya kemampuan mental tertentu yang
menjadi dasar perfomansi dalam tugas tertentu pula.
Gambar 1. Model Teori Intelegensi Thurstone
Thurstone menyusun Tes Kemampuan Primer Chicago dan menguraikan
keenam faktor kemampuan sebagai berikut:
V : (Verbal), yaitu pemahaman akan hubungan kata, kosa-kata, dan penguasaan
11
Faktor Umum (g)
Perfomansi (p)Verbal (v)
Kosakata Angka Pemahaman Pandang Ruang
Melengkapi Gambar
Lorong Sesat
komunikasi lisan.
N : (Number), yaitu kecermatan dan kecepatan dalam penggunaan fungsi-
fungsi hitung besar.
S : (Spatial), yaitu kemampuan untuk mengenali berbagai hubungan dalam
bentuk visual.
W : (Word fluency), yaitu kemampuan mengingat gambar-gambar,
pesan-pesan, angka-angka, kata-kata, dan bentuk-bentuk pola.
R : (Reasoning), yaitu kemampuan untuk mengambil kesimpulan dari beberapa
contoh, aturan, atau prinsip. Dapat juga diartikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah.
2. Alfred Binet
Menurut Binet (dalam Saifudin Azwar, 2002:15) Intelegensi merupakan sisi
tunggal dari karakteristik yang terus berkembang sejalan dengan proses
kematangan seseorang. Binet menggambarkan intelegensi sebagai sesuatu yang
fungsional sehingga memungkinkan orang lain untuk mengamati dan menilai
tingkat perkembangan individu berdasar suatu kriteria tertentu. Jadi untuk melihat
apakah seseorang cukup intelegen atau tidak, dapat diamati dari cara dan
kemampuannya untuk melakukan suatu tinakan dan kemampuannya untuk
mengubah arah tindakannya itu apabila perlu. Inilah yang dimaksudkan dengan
komponen dua arah, adaptasi, dan kritik dalam definisi intelegensi.
3. Edward Lee Thomd (Multiple Factor Theory)
Teori Thorndike yang biasa disebut dengan teori Multifaktor (multiple
factor theory) (dalam Saifudi Anwar, 2002:16) menyatakan bahwa terdiri atas
berbagai kemampuan spesifik yang ditampakan dalam wujud perilaku intelegen.
Oleh karena itu, teorinya dikategorikan kedalam teori intelegensi factor ganda.
Formulasi teori Thorndike didasari oleh bukti-bukti riset. la
mengklasifikasikan intelegensi kedalam tiga bentuk kemampuan, yaitu:
a. Kemampuan abstraksi, yakni suatu kemampuan untuk bekerja dengan
menggunakan gagasan dan simbol-simbol
b. Kemampuan mekanik, yaitu suatu kemampuan untuk bekerja dengan
menggunakan alat-alat mekanis dan kemapuan untuk melakukan pekerjaan
yang memerlukan aktifitas indera-gerak (sensory motor), dan
c. Kemampuan sosial, yaitu suatu kemampuan untuk menghadapi orang lain
12
disekitar diri sendiri dengan cara-cara yang efektif.
Ketiga bentuk kernampuan ini tidak terpisah secara eksklusif dan juga tidak
selalu berkorelasi satu sama lain dalam diri seseorang. Ada kelompok orang-orang
yang sangat cakap dalam kemampuan abstraksi, seperti halnya para akademis, akan
tetapi belum tentu semuanya memiliki kecakapan dalam bidang mekanik. Kadang-
kadang ada juga orang yang memiliki kecakapan tinggi dalam ketiga bentuk
kemampuan tersebut.
Gambar 2. Tiga Komponen Intelegensi
Thorndike percaya bahwa tingkat intelegensi tergantung pada banyaknya
neural connection atau ikatan syaraf antara rangkaian stimulus dan respon
dikarenakan adanya penguatan (reinforcement) yang dialami seseorang. Orang-
orang yang telah memiliki banyak ikatan pada bidang intelegensi mekanik akan
meningkat keakapannya pada bidang tersebut. Begitu juga pada bidang abstraksi
dan sosial.
4. Charles E. Spearman (The Two-factor Theory)
Pandangan Spearman (1927) mengenai intelegensi ditunjukan dalam
teorinya mengenai kemampuan mental yang popular dengan nama teori dua faktor
(two factor theory). Awal penjelasannya mengenai teori ini berangka dari analisis
korelasional yang dilakukannya terhadap skor seperangkat tes yang mempunyai
tujuan dan fungsi ukur yang berlainan. Hasil analisisnya memperlihatkan adanya
korelasi positif diantara berbagai tes tersebut. Menurut Spearman, interkorelasi
positif itu terjadi dikarenakan masing-masing tes tersebut memang mengukur suatu
faktor umum yang sama, yang dinamanya factor-g. Namun demikian korelsi-
korelasi itu tidaklah sempurna disebabkan setiap tes, disamping mengukur faktor
umum yang sama, mengukur pula komponen tertentu yang spesifik bagi tes
13
Abstraksi
Mekanik
Sosial
Intelegensi
masing-masing. Faktor yang spesifik dan hanya diungkap oleh tes tertentu saja ini
disebut factor-s.
Gambar 3. Ilustrasi Model Teori Spearman
Gambar 2 memberikan model ilustrasi teori Spearman mengenai
kemampuan mental. Dalam model dua tes akan berkorelasi tinggi satu sama lain,
hanya bila masing-masing mengandung factor-g dalam proporsi besar. Tes 3 dan
tes 1 dalam gambar tersebut akan mempunyai korelasi yang lebih tinggi daripada
korelasi tes 3 dan tes 2 serta lebih tinggi daripada tes 1 dan tes 2, dikarenakan tes 2
hanya mengandung sedikit factor-g. Semakin besar korelasi suatu tes dengan g
maka akan semakin besar pula korelasinya dengan tes lain yang juga mengandung
g. Korelasi antara dua tes dapat diprediksikan dari korelasi masing-masing dengan
factor-g. Bila korelasi tes 1 dengan g sebesar r1g = 0,60 sedangkan korelasi tes 3
dengan g sebesar r3g - = 0,80 maka prediksi terhadap korelasi antara tes 1 dan tes 2
adalah sebesar r13 = (r1g) (r3g) = (0,60) (0,80) = 0,48.
Namun beberapa tes dapat saja berkorelasi melebihi korelasi masing-
masing dengan g apabila terdapat satu kemampuan khusus yang sama-sama diukur
oleh tes-tes tersebut atau apabila terjadi kemiripan pada aitem dalam tes-tes
tersebut. Interkoarelasi yang melibihi korelasi tes dengan g ini oleh Spearman
dikatakan sebagai petunjuk adanya faktor kelompok.
Definisi intelegensi mengandung dua komponen kualitatif yang penting,
yaitu education of relation dan education of correlates. Education of relation
adalah kemampuan untuk menemukan suatu hubungan dasar yang berlaku diantara
dua hal. Sedangkan education of correlates adalah kemampuan untuk menerapkan
hubungan dasar yang telah ditemukan dalam proses edukasi relasi sebelumnya ke
dalam situasi baru.
14
g
1
23
Edukasi hubungan (r) antara Edukasi korelasi (f2) daridua hal (f1 dan f2) hal (f1) dan hubungan (r)
Gambar 4.Diagram Edukasi Relasi dan Edukasi Korelasi
(Spearman, 1927 dalam Saifudin Anwar, 2002)
Spearman mengemukakan lima prinsip kuantitatif dalam kognisi, yaitu:
a. Energi mental. Setiap fikiran cenderung untuk menjaga total output kognitif
silmutannya dalam kuantitas yang tetap walau bagaimanapun variasi
kualitatifnya.
b. Kekuatan. Menyimpan (retenvity). Tejadinya peristiwa kogntif menimbulkan
kecenderungan untuk terulang kembali.
c. Kelelahan. Terjadinya peristiwa kognitif menimbulkan kecenderungan untuk
melawan terulangnya peristiwa tersebut.
d. Kontrol Konatif. Intensitas kognisi dapat dikendalikan oleh konasi (motivasi).
e. Potensi Promordial. Setiap menifestasi dari keempat prinsip kuantitatif
terdahulu akan ditimbun diatas potensi awal individu yang bervariasi.
5. Jean Piaget
Teori ini menekankan pada aspek perkembangan kognitif, tidak merupakan
teori yang mengenai struktur intelegensi semata-mata.
Piaget tidak melihat intelegensi sebagai suatu yang dapat didefinisikan
secara kuantitatif sebagaimana umumnya dicerminkan oleh banyaknya
jawabanyang benar pada suatu tes akan tetapi ia menyimpulkan dalam prinsip
teorinya bahwa daya fikir atau kekuatan mental anak yang herbeda usia akan
berbeda pula secara kualitatif (Ginsburg & Opper, 1969; Saifudin Anwar,
2002:35). Oleh karena itu, masalah utama dalam membahas intelegensi adalah
masalah cara mengungkap berbagai metode berfikir yang digunakan oleh anak-
anak dari berbagai tingkatan usia.
15
r
F1 F2
r
F1 F2
Beberapa konsepnya mengenai intelegensi menyebutkan bahwa intelegensi
merupakan contoh khusus adaptasi. Konsep yan lainnya menyebutkan bahwa
intelegensi merupakan suatu bentuk keseimbangan yang dituju oleh semua struktur
kognitif. Masih definisinya yang lain menyebutkan bahwa intelegensi adalah satu
sistem operasi kehidupan dan tindakan (Saifudin Anwar, 2002:36).
Jadi pada dasarnya, Piaget lebih melihat intelegensi pada aspek isi, struktur,
dan fungsinya. Dalam menjelaskan intelegensi sesuai dengan aspek isi, strktur dan
fungsi tersebut Piaget mengaitkannya pada periodesasi perkembangan biologis
anak. Periodesasi ini dibagi atas periode perkembangan tahap sensory-motor, tahap
preoperation (praoperasi), dan tahap formal operation (Operasi formal). Periode-
periode ini dimaksudkan sebagai periode perkembangan kognitif dan intelektual
yang didalamnya mengndung konsepsi intelegensi masing-masing.
a. Intelegensi Praktis (pratical intelligence)
Periode ini dimulai pada usia 0 sampai 2 tahun dan merupakan dasar dari
semua intelegensi yang berkembang kemudian. Dengan intelegensi praktis
seorang anak dapat belajar untuk berbuat sesuatu sekalipun ia belum
memikirkan perbuatan itu. Dalam hal ini intelegensinya tidak lebih daripada
kemampuan untuk belajar berbuat semata-mata. la tahu bagaimana era
mengerjakan sesuatu akan tetapi ia tidak dapat memahami apa sebenarnya
yang dikerjakannya itu, apalagi untuk mengerti akibat perbuatan tersebut
b. Intelegensi Praoperasional (preoperational intelligence)
Periode ini dimulai usia 2 tahun sampai 7 tahun, perkembangan
kognitifnya memasuki tahap intelegensi praoperasional yang terdiri adanya
cara berfikir intuitif. Cara berfiir ini memungkinkan anak memahami berbagai
tugas dan situasi yang kompleks. Walaupun tahap ini merupakan kemajuan
besar dari tahap pemikiran motor-indera yang praktis akan tetapi masih
terdapat berbagai keterbatasan didalamnya. Keterbatasan itu antara lain berupa
ketidak mampuan anak untuk menggunakan logika sebagaimana telah
dilakukan oleh anak yang lebih dewasa.
Cara berfikir pada periode ini bersifat egosentris, yaitu berupa
pandangan yang sempit dan mengaca pada diri sendiri serta tidak mampu
melihat masalah dari sudut pandang orang lain.
Di samping bersifat egosentris, periode ini memiliki ciri yang kedua,
yaitu adanya cara berfikir kopleksif, yaitu berfikir tidak dengan jalan
16
menyatukan beberapa pemikiran ke dalam satu konsep gagasan ke gagasan
yang baru. Gagasan lain masih ada kaitannya dengan gagasan semula akan
tetapi tidak terpadu dengan baik satu sama lain.
Ciri yang ketiga, terdapat kecenderungan yang kuat pada diri anak untuk
menemptkan sifat-sifat manusia pada benda mati. Cara bertikir ini sering kali
tampak sewaktu kita memperhatikan anak-anak berbicara dengan benda atau
menganggap benda mempunyai sifat tertentu.
Ciri keempat, yang lebih memeperlihatkan keterbatasan intelegensi pada
tahap ini adalah ketidakmampuan anak untuk melakukan tugas-tugas yang
menuntut pengarahan dan koordinasi fikiran.
c. Intelegensi Operasional (operational intelligence)
Dimulai sekitar 5 tahun sampai 7 tahun, anak memasuki tahap
perkembangan dasar intelegensi operasional dengan mulainya anak memahami
apa yang disebut sebagai operasi nyata, bentuk-bentuknya adalah konversi dan
klasifikasi.
Konversi merupakan sistem pengertian bahwa suatu transformasi atau
perubahan dapat terjadi secara bolak-balik. Operasi ini dapat dilakukan
anakyang telah memasuki tahap intelegensi operasional.
Sistem operasi lain adalah klasiflkasi. Melalui sistem klasifikasi dalam
tahap intelegensi operasional anak mampu melihat bennacam-macam
hubungan yang terjadi diantara berbagai benda sehingga ia dapat mengadakan
penggolongan atau klasifikasi dengan bermacam cara.
d. Intelegensi Operasional Formal (formal operational intelligence)
Perkembangan intelegensi ini remaja. Anak menjadi mampu berfikir
hipotetik dan dapat menguji secara sistematik berbagai penjelasan mengenai
kejadian-kejadian tertentu, dikarenakan anak telah mulai dapat menemukan
penyelesaian suatu masalah. Dalam penyelesaian masalah anak mamapu
menyisihkan berbagai penyebab kejadian yang tidak relevan dan
mengkombinasi berbagai kemungkinan di luar fakta-fakta yang nyata.
Kemampuan lain adalah kemempuan untuk berfikir secara abstrak. Anak
mulai mamapu memahami prinsip-prinsip abstrak yang berlaku dan hal itu
merupakan suatu kemampuan yang sangat penting dalam mempelajari
berbagai informasi yang harus diterimanya dari lingkungan.
17
5. Philip Ewart Vernon (Teori Hirearkis)
Teori ini berusaha mengungkap skema organisasi faktor-faktor kecakapan
intelektual dan memberikan gambaran secara hirearkis hubungan antara faktor-
faktor intelek mulai dari yang bersifat umum sampai ke yang spesifik. Teori ini
memadukan adanya faktor umum (factor “g”) dan faktor spesifik (factor “s”), juga
factor “c” yaitu terletak diantara factor “g” dan factor “s”.
Gambar 5. Model Organisasi Hirearkis Kemampuan-kemampuan
(Philip Ewart Vernon dalam Dewa Ketut Sukardi, 2009)
D. Faktor-faktor yang mempengaruhi Intelegensi
Intelegensi memiliki beberapa faktor yang mempengaruhinya diantaranya
adalah :
1. Faktor Pembawaan
Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50.
Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi sekitar
0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar
0,40 - 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 - 0,20 dengan
ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan
secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin
mereka tidak pernah saling kenal.
2. Kematangan
Kecerdasan tidak tetap atau statis, tetapi dapat tumbuh dan berkembang. Tiap
organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap
organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai
18
Umum (g)
Verbal Education (v.ed) Praktis (k.m)
Verbal Angka InformasiMekanik
Special
Psikomotor
kesanggupan menjalankan fungsinya.
3. Faktor Lingkungan
Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata
lingkungan menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Intelegensi tentunya
tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat gizi yang dikonsumsi.
Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari
lingkungan juga memegang peranan yang amat penting
4. Stabilitas Intelegensi dan IQ
Intelegensi bukanlah IQ. Intelegensi merupakan suatu konsep umum tentang
kemampuan individu, sedang IQ hanyalah hasil dari suatu tes intelegensi itu
notabene hanya mengukur sebagai kelompok dari intelegensi). Stabilitas
invelegensi tergantung perkembangan organik otak.
5. Minat dan Pembawaan yang Khas
Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi
perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif) yang
mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar.
6. Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu
dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih
metode, juga bebas dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya.
Sernua faktor tersebut di atas bersangkutan satu sama lain. Untuk
menentukan intelegensi atau tidaknya seorang anak, kita tidak dapat hanya
berpedoman kepada salah satu faktor tersebut, karena intelegensi adalah faktor total.
Keseluruhan pribadi turut serta menentukan dalam perbuatan intelegensi seseorang.
E. Latar Belakang Tes Intelegensi
Pada awalnya telah dipraktekan oleh negara cina sejak sebelum dinasti Han,
yang dilakukan oleh jenderal cina, untuk menguji rakyat sipil yang ingin menja
legislatif berdasarkan pengetahuan menulis klasik, persoalan administratif dan
manajerial (Dalam Dewa Ketut Sukardi, 2009:13).
Kemudian dilanjutkan sampai pada masa dinasti Han (200 SM-200 M), namun
seleksi ini tidak lagi untuk legislatif saja, tetapi mulai merambah pada bidang militer,
perpajakan, pertanian, dan geografi. Meskipun diawali dengan sedikit mencontoh pada
seleksi militer Perancis dan Inggris. Sistem ujian telah disusun dan berisi aktivitas yang
19
berbeda, seperti tinggal dalam sehari semalam dalam kabin untuk menulis artikel atau
puisi, hanya 1% sampai dengan 7 % yang diijinkan ikut ambil bagian pada ujian tahap
kedua yang berakhir dalam tiga hari tiga malam. Menurut Gregory (1992), seleksi ini
keras namun dapat memilih orang yang mewakili karakter orang Cina yang kompleks.
Tugas-tugas militer yang berat cukup dapat dilakukan dengan baik oleh para pegawai
yang diterima dalam seleksi fisik dan psikologi yang intensif.
Tokoh-tokoh yang berperan antara lain adalah Wundt. Beliau merupakan
psikolog pertama yang menggunakan laboratorium dengan penelitiannya mengukur
kecepatan berpikir. Wundt mengembangkan sebuah alat untuk menilai perbedaan
dalam kecepatan berpikir. Sedangkan Cattel (1890) menemukan tes mental pertama
kali. Yang memfokuskan pada tidak dapatnya membedakan antara energi mental dan
energi jasmani. Meskipun Pada dasarnya tes mental temuan Cattel ini hampir sama
dengan temuan Galton.
Tokoh yang tak kalah pentingnya adalah Alfred Binet. Selain kontribusi nyata
pribadi beliau dengan menciptakan tes intelegensi, beliau juga bekerja sama dengan
Simon (1904) untuk membuat instrumen pengukur intelegensi dengan skala
pengukuran level umum pada soal-soal mengenai kehidupan sehari-hari. Perkembangan
selanjutnya dua tokoh ini mengembangkan penggunaan tes intelegensi dengan tiga
puluh items berfungsi mengidentifikasikan kemampuan sekolah anak. Tahun 1912,
Stres membagi mental age dengan cronological age sehingga muncul konsep IQ.
Tokoh selanjutnya yang cukup berperan adalah Spearman dan Persun, dengan
menemukan perhitungan korelasi statistik. Perkembangan selanjutnya dibuatlah suatu
standar internasional yang dibuat di Amerika Serikat berjudul “Standards for
Psychological and Educational Test” yang digunakan sampai sekarang. Kini tes
psikologi semakin mudah, praktis, dan matematis dengan berbagai macam variasinya
namun tanpa meninggalkan pedoman klasiknya. Psikodiagnostik adalah sejarah utama
dari tes psikologi atau yang juga disebut psikometri.
E. seguin, (1812-1880) disebut sebagai Pionir dalam bidang tes intelegensi yang
mengembangkan sebuah papan yang berbentuk sederhana, untuk menegakkan
diagnosis keterbelakangan mental (Dalam Dewa Ketut Sukardi, 2009:13). Kemudian
usaha ini distandarisasikan oleh Henry H. Goddard, (1906). E. seguin dapat
digolongkan kepada salah seorang yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak
keterbelakangan, dan dia juga disebut sebagai Bapak dari Tes Performasi.
Francis Galstron, (1882), membuka pusat testing pertama di dunia. Salah satu
20
dari pemikirannya menjadi dasar dikembangkannya pengukuran individul. Bahwa pada
kenyataanya individu tidaklah sama antara satu dengan yang lainnya, tetapi memiliki
perbedaan individual.
Alfred Binet dan Victor Henri, yang kemudian terknal dengan skala Binet--
Simon (Binet-Simon Scale). Ebbinghaus menciptakan Completion Test (suatu tes yang
berupa kalimat yang masih terbuka bagian belakang, dan harus dilanjutkan). Hal ini
merupakan suatu validasi dari pengukuran atau pemeriksaan psikologis dan secara
langsung dapat memberikan diferensiasi antara yang bodoh, rata-rata dan cemerlang
(bright).
Joseph Jasrow, (1863-1944), adalah salah satu dari beberapa orang yang
pertama kali mengembankan daftar norma-norma dalam pengukuran psikologis.
G.C. Ferrari, (1896), mempublikasikan tes yang biasa dipakai untuk
mendiagnosis keterbelakangan mental.
August Oehr, mengadakan penelitian interrelasi antara berbagai fungsi
psikologis.
E.Kraepelin, seorang psikiater yang menyongkong usaha ini, empat macam tes
yang dikembangkan, diantaranya, yaitu: koordinasi motorik, asosiasi kata-kata, fungsi
persepsi, dan ingatan.
E.Kraepelin (1895) sendiri mengembangkan tes intelegensi yang berkaitan
dengan tes penalaran aritmatik dan kalkulasi sederhana.
Skala Binet-Simon (1905), baru terdiri dari tiga puluh soal, pada tahun 1908
diadakan revisi, dan kemudian diarahkan untuk anak-anak normal, dan tidak berfungsi
primer apabila dipergunakan untuk membedakan yang terbelakang dari yang normal.
Binet-Simon Scale (1911) digunakan untuk anak-anak yang berumur 3 tahun hingga
dewasa. Untuk tiap-tiap tingkat usia ada 5 soal. Dan seluruh tes ini terdiri dari 81 soal.
Setelah itu skala Binet-Simon dikembangkan lagi oleh orang lain menjadi lebih luas.
Tahun 1916 melalui revisi Terman atau Stanford untuk pertama kalinya
diperkenalkan penggunaan konsep IQs. Wilhelm Stern, menyarankan penggunaan rasio
MA (Mental Age) dan CA (Chronological Age) sebagai indeks dari taraf intelegensi.
David Weshsler (1939), mempublikasikan tes intelegensi individual yang
pertama kali, kemudian dikenal dengan nama W.B. test. 10 tahun kemudian
diterbitkannya WISC (Wechsler Intellegence Scale for Children), suatu skala untuk tes
intelegensi anak.
Di samping itu, berkembang pula tes yang dipakai untuk kelompok (group). Hal
21
ini diawali dengan tes verbal untuk seleksi tentara (wajin militer) yang disebut dengan
nama Army Beta. Sekitar tahun 1917-1918 tes ini dipakai hampir 2 juta orang.
F. Penggunaan Tes Intelegensi
Tes-tes inteligensi umum yang dirancang untuk digunakan anak-anak usia
sekolah atau orang dewasa biasanya untuk mengukur kemampuan verbal untuk kadar
lebih rendah, tes-tes ini mencakup kemampuan-kemampuan yang berhubungan dengan
simbol numerik dan simbol-simbol abstrak lainnya. Kemampuan-kemampuan ini
dianggap dominan dalam proses belajar di sekolah.
Kebanyak tes inteligensi dapar dipandang sebagai ukuran kemampuan belajar
atau inteligensi akademik. IQ adalah cerminan dari prestasi pendidikan sebelumnya dan
alat prediksi kinerja pendidikan selanjutnya.
Karena fungsi-fungsi yang diajarkan dalam sistem pendidikan merupakan hal
yang penting yang mendasar dalam budaya yang modern dan maju secara teknologis,
skor pada tes intelegensi akademik juga merupakan alat prediksi kinerja yang efektif
dalam banyak bidang pekerjaan serta aktivitas-aktivitas lain dalam hidup sehari-hari.
Ada banyak fungsi psikologis yang tidak pernah diukur oleh tes-tes intelegensi.
Contohnya kemampuan mekanik, motorik, musik, artistik, dll. Variabel-variabel
motivasi, emosi, dan sikap adalah penentu penting prestasi di semua bidang.
G. Keterbatasan Intelegensi
Skor tes IQ sering dijadikan sebagai ukuran kecerdasan seorang anak di
Indonesia. Padahal skor tersebut tidak berdiri sendiri melainkan saling berhubungan
dengan pola asuh, interaksi antara anak dengan orang tua, pola belajar, dan faktor
lingkungan. Intelegensi menurut para ahli adalah kemampuan mental alam berfikir
logis dengan melibatkan rasio.
Pengukuran mental tidaklah dapat dilakukan secermat pengukuran terhadap
aspek fisik atau terhadap materi konkret. Seperti yang kita pahami, intelegensi tidak
dapat diamati secara langsung, namun intelegensi dapat diketahui dengan skor-skor
tertentu, dan untuk memperoleh skor ini kemudian diadakan tes-tes yang berupa sample
perilaku yang merupakan manisfetasi dari proses mental. Tes Intelegensi adalah alat
ukur kecerdasan yang hasilnya berupa skor. Tetapi skor tersebut hanya merupakan
bagian kecil mengenai tingkat kecerdasan seseorang dan merupakan gambaran
kecerdasan secara keseluruhan.
22
Skor bukan satu-satunya hal mutlak untuk memutuskan tingkat kecerdasan
seseorang. Howard Gardner, psikolog pendidikan asal Amerika yang terkenal dengan
teori multiple inttelligencenya menyatakan bahwa kecerdasan intelektual merupakan
satu dari beberapa kecerdasan yang dimiliki seseorang. Kecerdasan-kecerdasan itu
antara lain bahasa, matematis, berpikir logis, musik, visual, dan gerak. Namun alat ukur
kecerdasan ganda tersebut masih dikembangkan oleh Gardner.
Yang patut dicemaskan saat ini adalah banyak lembaga pendidikan yang
mewajibkan calon siswanya untuk mengikuti tes IQ terlebih dahulu sebagai persyaratan
mutlak penerimaan siswa baru. Bahkan ada beberapa sekolah yang mensyaratkan tes IQ
minimal 120 skala Weschler. Bahkan ada beberapa anak yang disarankan untuk masuk
ke Sekolah Luar Biasa karena skor mereka kurang dari 120 skala Weschler tanpa
mempertimbangkan latar belakang anak terlebih dahulu.
Setidaknya ada tiga faktor yang berhubungan dengan tes IQ :
1. Reliabilitas, yaitu sejauh mana hasil tes tersebut dapat dipercaya.
2. Validitas, yaitu sejauh mana alat ini mampu mengukur apa yang hendak diukur.
3. Standarisasi, yaitu apakah alat yang dipakai sesuai dengan norma masyarakat
sekitar.
Oleh karena itu penggunaan tes IQ harus dilakukan dengan bijaksana. Tes IQ
jangan dijadikan sebagai tolak ukur satu-satunya dalam menentukan potensi seseorang.
Hasil tes inteligensi yang tinggi sebenarnya tidak menjanjikan apa-apa selama tidak
ditopang oleh faktor-faktor lain yang kondusif, begitu juga sebaliknya.
H. Jenis-Jenis Tes Intelegensi
Berdasarkan penataannya ada beberapa jenis tes intelegensi (Dalam Dewa Ketut
Sukardi, 2009:20), yaitu :
a. Tes Intelegensi Individual, beberapa diantaranya:
1. Stanford-Binet Intelligence Scale
2. Wechsler-Bellevue Intelligence Scale (WBIS)
3. Wechsler-Intelligence Scale for Chidren (WISC)
4. Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS)
5. Wechsler Preshool and Primary Seal ol Intelligence (WPPSI)
b. Tes Intelegensi Kelompok, beberapa diantaranya, yaitu:
1. Pintner Cunningham Primary Test
2. The California Test of Mental Maturity
23
3. Otis-Lennon Mental ability Test
4. Standard Progressive Matrices
c. Tes Intelegensi dengan Tindakan Perbuatan
Untuk tujuan program layanan bimbingan disekolah yang akan dibahas
selanjutnya adalah Tes Intelegensi Kelompok, berupa:
1. The California Test of Mental Maturity (CTMM)
2. The Henmon-Nelson Test Mental Ability
3. Otis-Lennon Mental ability Test
4. The Coloured Progressive Matrices
I. Stanford-Binet Intelligence Scale
Skala Kecerdasan Stanford-Binet adalah keturunan dari skala Binet-Simon yang
dikembangkan pada tahun 1905 dan menjadi tes kecerdasan yang pertama. Skala
Kecerdasan Stanford-Binet dikembangkan pada 1916 dan direvisi pada tahun 1937,,
1960 dan 1986.
Administrasi Skala Kecerdasan Stanford-Binet biasanya membutuhkan waktu
antara 45 sampai 90 menit, namun dapat berlangsung selama dua jam, 30 menit.
Semakin tua anak dan subyek yang lebih diberikan, semakin lama tes biasanya
memerlukan waktu untuk menyelesaikan. Skala Kecerdasan Stanford-Binet ini terdiri
dari empat nilai wilayah kognitif yang bersama-sama menentukan skor komposit dan
skor faktor. Nilai ini meliputi wilayah: Penalaran Verbal, Penalaran Abstrak / Visual,
Penalaran Kuantitatif, dan Memori Jangka Pendek. Komposit.
Aspek yang diungkap:
1. Penalaran verbal
a. Perbendaharaan kata (vocabulary): Mengidentifikasi kata, seperti "uang" dan
"amplop".
b. Pemahaman (Comprehension): Menjawab pertanyaan, seperti "kemana orang
membeli makanan?" dan "mengapa orang menyisir rambutnya?".
c. Keganjilan (absurdities): Mengenali bagian "lucu" dari sebuah gambar, seperti;
anak perempuan mengendarai sepeda di atas danau" atau "pria botak menyisir
rambutnya".
d. Hubungan verbal (verbal relation): Mengatakan bagaiman tiga kata pertama di
dalam urutan adalah mirip satu sama lain, dan bagaimana mereka berbeda dari
24
kata keempat; syal, dasi, selendang, baju.
2. Penalaran Kuantitatif
a. Kuantitatif
Melakukan hitungan aritmatika sederhana, seperti memilih mata dadu dengan
enam bintik, karena jumlah bintik sama dengan kombinasi mata dadu dua bintik
dan empat bintik.
b. Urutan angka
Mengisi dua angka selanjutnya dalam urutan, seperi 20 16 12 8….
c. Membentuk persamaan (equation building)
Bentuklah suatu persamaan dari susunan berikut: 3 5 + = jawaban yang benar
adalah 2+3=5
3. Penalaran Abstrak/visual
a. Analisi pola
Mencontoh bangun sederhana dengan balok.
b. Mencontoh gambar
Mencontoh gambar geometris yang ditunjukan oleh penguji, seperti persegi yang
di potong oleh dua diagonal.
4. Memori jangka pendek
a. Mengingat bentuk
Tunjukan gambar beberapa bentuk manic-manik yang berbeda yang disusun di
sebuah kayu. Buatlah urutan yang sama dengan berdasarkan ingatan saja.
b. Mengingat kalimat
Ulangi kalimat yang di ucapkan oleh penguji, seperti "sekarang waktunya tidur"
dan "ken membuat gambar untuk hadiah ulang tahun ibunya".
c. Mengingat angka
Ulangi urutan angka yang di ucapkan oleh penguji, seperti; 5 – 7 – 8 – 3, maju
atau mundur.
d. Mengingat benda
Tunjukkan gambar suatu benda, seperi jam dan dajah, satu persatu. Kenali benda
tersebut dalam urutan penampilannya yang tepat dan gambar yang juga
mencakup benda lain; sebagai contohnya; bis, badut, gajah, telur, jam.
Dalam Wayan Nurkancana dkk, (1986:185). Tes Binet Simon inteligensi yang
pertama telah dikemukakan pula bahwa tes Binet-Simon dibagi-bagi menurut tingkatan
umur. Jadi ada tes untuk anak umur 3 tahun, ada tes untuk anak umur 4 tahun dan
25
seterusnya. Item-item yang digunakan pada setiap tingkat umur antara lain adalah
sebagai berikut:
a. Untuk anak umur 3 tahun antara lain terdiri dari pengenalan bagian badan sendiri,
misalnya: coba tunjukkan hidungmu !
b. Untuk anak umur 4 tahun antara lain terdiri dari pengenalan terhadap bendabenda
sekitarnya, misalnya: apakah nama benda ini? (sambil menunjukkan sebuah sendok
makan).
c. Untuk anak umur 5 tahun antara lain terdiri dari menirukn suatu bentuk tertentu,
misalnya: coba kamu membual gambar seperti ini! (sambil menunjukkan sebuah
gambar segitiga).
d. Untuk anak umur 6 tahun antara lain terdiri dari pengenalan terhadap waktu,
misalnya pada waktu matahari baru terbit disebut . . .
e. Untuk anak umur 7 tahun antara lain terdiri dari pengenaln kiri-kanan, misalnya:
coba pegang telinga kirimu!
f. Untuk anak umur 8 tahun antara lain terdiri dari kemampuan membedakan dua
benda, misalnya: apakah perbedaan antara lalat dengan kupu-kupu?
g. Untuk anak umur 9 tahun antara lain terdiri dari kemampuan untuk memahami
situasi (comprehension), misalnya: apa yang harus kamu lakukan kalau kamu
ketinggalan kereta api?
h. Untuk anak umur 10 tahun antara lain terdiri dari kemampuan untuk mengkritik
kemustahilan, misalnya: coba kamu perhatikan. Adakah yang janggal dalam
gambar ini? (sambil menunjukkngambar kapal laut yang benderanya berkibar ke
depan).
i. Untuk anak umur 11 tahun antara lain terdiri dari kemampuan untuk membuat
analogi, misalnya: rumput hujau, laut.
j. Untuk anak umur 12 tahun antara lain terdiri dari kemampuan untuk merakit
pecahan-pecahan benda, misalnya: cobalah kamu rakit kepingan-kepingan ini
supaya menjadi sebuah benda yang utuh! (sambil memberikan kepingankepingan
dari sebuah gambar muka).
Dalam memberikan tes terhadap seorang anak, biasanya dimulai dari umur tes
yang sesuai dengan umur anak bersangkutan. Apabila anak masih membuat kesalahan
dalam tingkatan tersebut, maka diberikan tes pada tingkat umur dibawahnya, sampai
anak itu betul untuk seluruh seri tes umur tertentu. Setelah itu selajnutnya pada seri-seri
tes dalam umur yang lebih tinggi, sampai anak itu gagal menjawab semua pertanyaan
26
dalam umur tes tertentu.
Apabila anak dapat menjawab suatu seri tes dengan betul semua, maka anak itu
diberikan skor umur mental sesuai dengan umur tes yang dapat dijawab dengan betul.
Kemudian setiap satu pertanyaan yang dapat dijawab dengan betul pada seri diatasnya
diberikan skor umur mental sebaya 1 tahun dibagi dengan jumlah pertanyaan dalam seri
tersebut.
Misalnya kita akan memberi tes kepada seorang anak yang berukur 8 tahun 4
bulan. Maka anak tersebut mulai kitaberikan tes ufnur 8 tahun. Misalkan saja dari 6
buah pertanyaan dia hanya dapat menjawab 4 buah pertanyaan. Oleh karena dalam tes
umur 8 tahun ini dia masih membuat kesalahan, maka kita berikan tes umur 7 tahun.
Misalnya dari 6 pertanyaan umur 7 tahun, dapat dijawab betul semua. Karena dia betul
menjawab semua pertanyaan maka anak tersebut diberi skor umur mental 7 tahun.
Sekarang kita lanjutkan memberikan tes pada umur diatasnya. Tes umur 8 tahun telah
kita berikan tadi. Karena diantara 6 pertanyaan dia hanya dapat menjawab 4 pertanyaan
maka dia dapat tambahan umur mental 4/6 tahun.
Sekarang kita lanjutkan memberikan tes umur 9 tahun. Misalkan dari 6
pertanyaan dia dapat menjawab 3 pertanyaan. Maka dia mendapatkan tambahan skor
umur mental sebanyak 3/6 tahun. Kita lanjutkan lagi pada tes umur 10 tahun. Misalkan
dari 6 pertanyaan dia salah semua. Jadi dia tidak mendapatkan tambahan skor umur
mental. Kita tidak perlu melanjutkan memberikan tes umur 11 tahun karena tes umur
10 tahun saja anak tersebut sudah salah semua, jelas bahwa dalam umur 11 tahun yang
lebih sukar anak itu tidak akan bisa menjawab.
Dari contoh yang diuraikan diatas, maka kita dapat menghitung umur mental
anak sebagai berikut :
a. Betul semua peranyaan umur 7 tahun ...............: 7 tahun.
b. Betul 4 dari 6 pertanyaan umur 8 tahun ............: 4/6 tahun.
c. Betul 3 dari 6 pertanyaan umur 9 tahun ............: 3/6 tahun.
d. Salah semua pertanyaan umur 10 tahun............: 0 tahun.
Total : 8 1/6 tahun.
Jadi umur mental anak tersebut ialah 8 1/6 tahun. Berdasar umur mental atau
mental age (MA) dan umur kronologis atau cronogical age (CA) anak tersebut maka
kita dapat menghitung Intelegensi Quotion (IQ) anak tersebut dengan rumus:
27
Untuk mengetahui status seorang anak yang mempunyai IQ tertentu maka perlu
kita ketahui kriteria yang dipergunakan untuk mengklasifikasikan IQ. Adapun
klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut:
a. 140 ke atas : Genius
b. 130 ke 139 : Sangat superior
c. 120 ke 129 : Suprior
d. 110 ke 119 : Di atas normal
e. 90 ke 109 : Normal
f. 80 ke 89 : Di bawah normal
g. Di bawah 70 : Lemah jiwa
Dengan mempergunakan kriteria tersebut, maka anak dalam contoh diatas
mempunyai IQ = 98 adalah termasuk anak normal.
Ciri-ciri tiap Intelegensi hasil pengukuran
1. Cacat Mental (Mentally Deficient/Feeble Minded)
Mereka yang IQ-nya dibawah 70 disebut cacat mental atau lemah pikiran
(feeble minded). Mereka ini menderita amentia atau kurang pikiran. Yang
termasuk dalam kategori cacat mental atau lemah pikiran adalah tingkat-tingkat:
idiot, embisil, dan moron (debil).
Ciri-ciri umum dari orang yang cacat mental adalah :
a. Tidak dapat mengurus dan memenuhi kebutuhannya sendiri;
b. Kelambatan mental sejak lahir;
c. Kelambatan dalam kematangan;
d. Pada dasarnya tidak dapat diobati.
2. Idiot (IQ 0-19)
Idiot (idiocy) adalah suatu istilah yuridis dan paedagogis, yang
diperuntukkan bagi mereka yang lemah pikiran tingkat paling rendah.
Menurut para ahli, kira-kira sekali pada dua ribu kelahiran, terjadi idiocy.
Semua bentuk idiocy perlu dilembagakan , dirawat oleh para dokter dan pekerja-
pekerja sosial, sebab, apabila dipelihara dirumah ia merupakan beban yang tidak
ringan, baik bagi orang tuanya maupun bagi para anggota keluarga yang lain.
28
Ciri-ciri idiot antara lain:
a. Fisiknya lemah tidak tahan terhadap penyakit, dan tidak mengenal bahaya;
karena itu orang-orang seperti ini umurnya tidak panjang.
b. Beberapa idiot dapat belajar berjalan tetapi pada umumnya mereka tidak
mampu dan harus tetap tinggal berbaring selama hidupnya.
c. Tidak mengenal rasa senang dan sakit.
d. Tidak bisa berbicara dan hanya mengenal beberapa kata saja.
e. Ada yang garang dan bersifat destruktif, baik terhadap dirinya sendiri maupun
terhadap sekelilingnya.
3. Embicile (IQ 20-49)
Seperi halnya idiot, merka yang embicile juga perlu ditempatkan dalam
lembaga. Sebab, di lembaga inilah mereka akan belajar berbicara, makan sendiri,
dan berpakaian sendiri, menyapu memelihara kebun serta keterampilan sederhana
lainnya. Sebagian terbesar dari mereka ditempatkan di lembaga lewat pengadilan.
Itulah sebabnya para psikolog berpendapat bahwa anak-anak semacam itu
sebaiknya tidak ditempatkan di sekolah-sekolah, tetapi di lembaga-lembaga,
sebelum potensi kejahatannya berkembang.
Ciri-ciri embicile antara lain:
a. Tidak dapat di didik di sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak normal.
b. Walaupun dapat mengurus dirinya sendiri mereka masih memerlukan
pengawasan yang teliti dan memerlukan kesabaran.
c. Pada waktu bayi, mereka sangat tidak responsif dan apatis sekali.
d. Mereka umumnya baru bisa berjalan pada usia tiga atau empat tahun, dan pada
umur lima tahun mereka berbicara.
e. Kebiasaan makan dan keberhasilannya terbelakang tiga sampai empat tahun.
f. Mereka dapat diajari mengenal bahaya, seperti bahaya api, bahaya tenggelan di
air yang dalam dan sebagainya.
4. Moron (IQ 50-69)
Moron merupakan problem terbesar masyarakat. Pada masa dewasa,
moron dianggap memiliki kecerdasan yang sederajat dengan kecerdasan anak-
anak yang berusia 7-10 tahun. Tingkat intelegensinya bergerak antara 50-70.
Ciri-ciri Moron:
a. Di sekolah, mereka jarang bisa mencapai lebih dari kelas lima.
b. Sampai pada tingkat tertentu, mereka dapat belajar membaca menulis, dan
29
berhitung dalam perhitungan-perhitungan yang sederhana
c. Mereka dpat mempelajari pekerjaan rutin dan bisa terus menerus melakukan
pekerjaan itu selama tidak mengalami perubahan yang berarti.
d. Angka pelanggaran hukum adalah tertinggi diantara gadis-gadis yang moron:
para pencuri dan pelacur sering berasal dari golongan moron ini.
e. Mereka juga memiliki dorongan, keinginan dan emosi yang normal , tetapi
tidak mempunyai kecerdasan untuk mengontrol atau meramalkan akibat
perbuatannya.
5. Bodoh ( IQ 70-79)
Ini merupakan kelompok tersendiri dari individu terbelakang. Kecakapan
pada umumnya hampir sama dengan kelompok embicile, namun kelompok ini
mempunyai kecakapan tertentu yang melabihi kecerdasannya; misalnya dalam
bidang musik.
Mereka yang termasuk kelompok inferior memiliki tingkat kecerdasan di
bawah kelompok normal dan bodoh serta di atas kelompok terbelakang. Kelompok
ini bisa memelihara dirinya sendiri dan dengan susah payah mereka dapat
mengerjakan sejumlah kecil pekerjaan atau pelajaran sekolah lanjutan pertama,
tetapi jarang atau sukar untuk menyelesaikan kelas terakhir SLTP.
6. Inferior (IQ 80-89)
Pada umumnya kelompok mini ini agak lambat dalam mencerna
pelajaran di sekolah. Meskipun demikian mereka dapat menyelesaikan
pendidikannya pada tingkat SLTP,namun agak sulit untuk menyelesaikan
pendidikan SLTA.
7. Normal/Rata-rata (IQ 90-109)
Kelompok ini merupakan kelompok yang terbesar persentasenya diantara
populasi. Mereka mempunyai IQ yang sedang, normal, atau rata-rata.
8. Pandai (IQ 110-119)
Kelompok ini pada umumnya mampu menyelesaikan pendidikan tingkat
unuversitas atau perguruan tinggi. Jika bersatu dengan kelompok normal, mereka
biasanya merupakan "repid learner" atau "giveted", yaitu pemimpin dalm
kelasnya.
9. Superior (IQ 120-129)
Ciri-ciri kelompok superior ini, antara lain: lebih cakap dalam membaca,
berhitung; pembendaharaan bahasanya luas, cepat memahami pengertian yang
30
abstrak, dan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibanding dengan orang-
orang yang termasuk kelompok pandai. Demikian pula dengan kesehatannya dan
ketahanannya lebih baik dari pada orang-orang normal.
10. Sangat superior (IQ 130-139)
Kelompok ini termasuk kelompok superior yang berbeda pada tinggkat
tertinggi dalam kelompok tersebut. Umumnya, tidak ada perbedaan yang
mencolok dengan kelompok superior.
11. Gifted (IQ 140-179)
Yang termasuk dalm golongan ini adalah mereka yang tidak genius,
tetapi menonjol dan terkenal. Bakatnya sudak nampak sejak kecil dan prestasinya,
biasanya, melebihi teman sekelasnya. Jika dibandingkan dengan orang
normal,adjustment-nya terhadap berbagai problem hidup lebih baik. Sekitar 80
persen diantara mereka dapat menyelesaikan study di perguruan tinggi dengan
prestasi yang memuaskan. Jabatan yang di pegangnya pun banyak, dan jarang
sakit atau meninggal pada usia muda.
12. Genius (IQ 180 keatas)
Tahun mulai belajar membaca, dan pada umur 4 tahun belajar bahasa
asing. Kelompok ini mempunyai kecerdasan yang sangat luar biasa. Walaupun
tidak sekolah, mereka mampu menemukan dan memecahkan suatu masalah.
Jumlahnya sangat sedikit, namun terdapat pada pada semua ras bangsa dan
bangsa,semua jenis kelamin, serta dalam semua tingkatan ekonomi. Contoh orang-
orang jenius, antara lain: Jhon mill (IQ 200), Francis Galton (IQ 200), dan Goethe
(IQ 185). Para psikolog klinis umumnya berpendapat bahwa mereka akan
mengalami problem-problem khusus dalam perkambangan sosial dan emosinya.
J. The Coloured Progressive Metrices (Tes Matriks Progresif Warna)
Dalam Dewa Ketut Sukardi (2009:97) Tes Matriks Progresif warna meliputi :
1. Pengantar
Tes Matriks Progresif Warna dikembangkan oleh J. C. Raven, Director of
Psychological Research, The Crichton Royal, Dumfries. Tes ini dirancang untuk
digunakan bgi anak-anak dan sejumlah orangtua tertentu, serta untuk keperluan-
keperluan klinis.
Hasil tes CPM memungkinkan untuk menjelaskan kesenjangan yang
31
teramati antara kapasitas seseorang anak yang di tes untuk berfikir produktif dan
kemampuan mereka untuk me-recall informasi. Dibidang klinis, tes ini digunakan
sebagai tes individual ketika seseorang dewasa tertentu tidak mampu mengerjakan
tes Matriks Progresif Standar (SPM). Setiap set ada dua belas persoalan dalam
bentuk matriks berwama yang disusun untuk mengakses kemampuan anak dibawah
usia 11 tahun. Keseluruhan tes terdiri atas tiga set, yaitu set A, Ab, dan B. tiga
puluh enam permasalahan berbentuk metrics dimaksudkan untk mengakses secepat
mungkin perkembangan mental anak. Manual pelaksanaan Tes Matriks Progresif
Warna meliputi: 1) Petunjuk umum, 2) Petunjuk pengadministrasian, 3) scoring
Universitas Negeri Malang, ABKIN, Dirjen Dikdasmen, 2000). Untuk
mendapatkan gambaran yang lebih memadai tentang ketiga hal tersebut akan
diuraikan secara berturut-turut sebagai berikut.
2. Petunjuk Umum
Ketika tester akan mengadministrasikan tes CPM, ada sejumlah pokok
pikiran yang harus diperhatikan oleh tester. Hal-hal dimaksud antara lain :
a. Tes ini dikembangkan untuk anak-anak usia antara 5 samapai dengan 11 tahun.
Dengan demikian, norma yang tersedia terbatas pada usia-usia tersebut.
b. Tes CPM lebih banvak digunakan untuk keperluan tes secara individual.
c. Apabila tes CPM akan dipergunakan secara kelompok, maka tester harus
memperhatikan jumlah kelompok dalam batas perhatian penuh tester. Arinya,
masing-masing testee mampu diobservasi oleh tester. Oleh karena itu, setiap
kelompok biasanya terdiri atas 5 sampai 10 testee.
d. Dalam pengadministrasian tes, terutama untuk kelompok anak-anak yang
usianya relatif rendah, harus dibantu oleh pembantu tester.
3. Petunjuk Pengadministrasian
Setiap set ada duabelas persoalan dalam bentuk Matriks Berwarna yang
disusun untuk mengakses kemampuan anak dibawah usia 11 tahun. Dalam
mengadministrasi tes ikutilah langkah-langkah sebagai berikut:
1) Tester meliputi bahan-bahan yang dipergunakan dalam testing.
2) Tester mengatur tempat duduk anak.
3) Tester menjelaskan tata tertib selama mengikuti testing. Catatan: hati-hati
dalam menjelaskan tata tertib, terutama ketika menghadapi anaka-nak yang
relatif kecil (5, 6, atau 7), sebab bisa jadi penjelasan tata tertib membuat anak
takut, yang bisa mengganggu suasana rapport tester dan testee.
32
4) Tester membagi lembar jawaban dan buku tes CPM.
5) Tester menjelaskan cara mengerj akan tes.
Ketika tes ini akan dipergunakan dengan anak-anak, anak-anak harus benar-
benar slap untuk bekerja memilih pola-pola atau gambar-gambar yang dikehendaki
sesuai dengan persoalan. Untuk itu diperlukan bimbingan bagi anak-kanak untuk
benar-benar siap dan senang mengerjakan tes.
Pada awal kegiatan, isikan identitas anak pada lembar jawaban.
Selanjutnya:
Katakan : “Kamu (anak-anak) akan mengerjakan tes yang terdiri dari
gambargambar seperti teka-teki. Letakkan lembar jawabanmu di
samping buku tes seperti ini” (teter memperagakan cara meletakkan
buku tes disamping kiri lembar jawaban).
Katakan : “Sekarang saya aka menjelaskan bagamana cara mengerjakan tes.
Buka buku tes yang ada dihadapanmu. Buka halaman pertama yang
diatas ada tulisannya A1. “LIHAT INI” (tester menunjuk dengfan
jari telunjuknya). “Ada bagian pojok kanan bawah yang dipotong
sedikit. Selanjutnya, lihatlah gambar-gambar kecil dibawahnya
yang merupakan potongan dari gambar besar diatasnya. Nomor 1
ukurannya cocok, tapi bukan gambar yang benar. Nomor 3 pasti
salah. Hanya satu yang paling benar. Mana ya?” Jika testee tidak
bisa menyebut yang benar, tester menjelaskan lebih lanjut mana
yang paling benar diantara pilihan gambar 5 dan 4. “Ayo sekarang
kita buka halaman berikutnya, lihat gambar persoalan A2. (lihat
ini). Lihatlah pilihan pilihan gambaranya memiliki bentuk yang
sama, tetapi hanya satu yang paling benar. Gambar mana yang
paling benar?” Jika anak tidak bisa menjawab, tester harus
menjelaskan satu per satu mulai dari gambar-gambar yang kosong,
sebagai bukan pilihan jawaban yang benar. “Jadi mana yang
paling tepat diiskan?”
Jika masalah A2 sudah terpecahkan dengan baik, tester mengajak testee
untuk membuka persoalan A3. ikuti prosedur yang ditempuh sebelumnya
dipersoalan A2. “Mana pilihan gambar yang paling tepat diisikan?” Jika gagal
memilih, seperti pada persoalan A2, tester harus menjelaskan mulai dari gambar-
gambar yang kosong sebagai pilihan yang salah “Sekarang tinggal gambar 1 dan
33
3, mana yang paling tepat diisikan?”
Jika sudah bisa mengisi persoalaan A3, lanjutkan ke persoalan A4. katakan:
“Lihatlah baik-baik gambar itu”. Tertes menggerakan jari jarinya pada pilihan-
pilihan gambar dipersoalan A4 tersebut. “Hanya satu yang paling benar. Lihat
baik-baik, yang mana, ya?” Jika anak tidak menjawabmana yang benar, tester
menunjuk pada pilihan mulai dari pilihan 1, seraya menyatakan “Apakah yang
ini?” Jika anak menjawab “BUKAN”, lanjutkan dengan menunjuk pada pilihan 2
sambil mengatakan “Yang ii?” Jika anak menjawab benaar, katakana “Bagus!!!”
“Selanjutnya coba kerjakan sendiri, buka halaman berikutnya, kalau sudah
lanjutkan sampai gambar A12” (Waktu yang diberikan untuk mengerjakan 7
menit).
Pada Set Ab, tester menuntun anak untuk mengerjakan sebagaimana
dilakukan pada Set A. Katakan: “Ayo kita lihat gambar Abl, mana ya pilihan yang
paling tepat?” Bila jawaban anak sudah tepat lanjutkan contoh-contoh persoalan
Ab2, Ab3 dan Ab4. Bila sudah benar jawaban testee, katakan “Bagus!!!”
Selanjutnya, kerjakan sendiri mulai sekarang, semua persoalan mulai gambar Ab5
sampai dengan Ab12” (Waktu 10 menit). Untuk mengerjakan Set B lakukan cara
yang sama ketika mendemostrasikan untuk menjawab persoalan di Set Ab.
Perhatikan anak harus dibimbing untuk memperhatikan gambar dengan seksama
pada persoalan B1 sampai B4. Bila testee sudah tampak bisa, mintalah anak untuk
mengerjakan persoalan BS sampai B12. (Waktu 13 menit).
Catatan umum: Pada saat testee mengerjakan persoalan-persoalan mulai Set
A sampai Set B tidak boleh ada intruksi sedikitpun dari tester. Intruksi standar di
atas dirasa sudah cukup, memberikan petunjuk secara maksimum bagi testee untuk
mengerjakan persoalan-persoalan pada setiap set. Tidak ada bantuan tambahan,
tidak ada komentar pada semua keputusan testee. Tester hams bersifat Permisif,
agar testee bekerja denga tenang.
4. Penskoran
Skors dihitung dari jawaban anak pada CPM. Dalam hal ini, setiap butir
soal dijawab oleh anak bisa “benar” atau “salah”. Atas dasar jawaban benar atau
salah anak, untuk memperoleh skors mentah dari hasil ts digunakan kunci jawaban
yang telah disediakan.
5. Transfonnasi dari skors mentah ke percentile point
Skors yang diperoleh anak berdasarkan kereksi dengan mempergunakan
34
kunci jawaban tersebut, selanjutnya ditransformasi menjadi nilai-nilai persentil.
Atas dasar penelitian yang dilakukan terhadap 608 anak berusia antara 6,5 tahun
sampai 11 tahun (Universitas Negeri Malang, ABKIN, Dirjen Dikdasmen,
2007:07) diperoleh ukuran Percentile Point seperti pada tebel berikut.
Tabel 1.1
Tabel Konversi Usia dan Skors Mentah ke Percentile Point
(Dewa Ketut Sukardi, 2009:101)
Keterangan:
Makna perolehan Percentile point testi diperbandingkan dengan klasifikasi
inteligensi sebagaimana terbagi menjadi lima grade berikut:
Grade I : Anak yang memiliki kapasitas intelektual sangat baik (Superior)
apabila memiliki skors diatas percentile point 95 dari kelompok
anak seusianya.
Grade II : Anak yang memiliki kapasitas intelektual diatas rata-rata (above
avarege) apabila memiliki percentile point lebih dari atau sama
dengan 90 dari kelompok anak seusianya.
Grade III : Anak yang memiliki kapasitas intelektual rata-rata (avarege) bagi
mereka yang memiliki skors antara percentile point 25 - 75 dari
kelompok anak seusianya.
Grade III + : Anak memiliki kapasitas intelektual rata-rata (avarege) bagi mereka
35
P.Point
USIA KALENDER(Chronological Age in Years = CA)
5 ½ 6 6 ½ 7 7 ½ 8 8 ½ 9 9 ½ 10 10 ½ 11
95 19 21 23 24 25 26 28 30 32 33 33 35
90 17 20 21 22 23 24 26 28 31 31 31 34
75 15 17 18 19 20 21 23 26 28 28 29 31
50 14 15 15 16 17 18 20 22 24 24 26 28
25 12 13 14 14 15 16 17 19 21 22 22 24
10 - 12 12 13 14 14 15 16 18 20 20 21
5 - - - 12 12 13 14 15 16 17 17 17
yang memiliki percentile point lebih dari satu nama dengan 50 dari
kelompok anak seusianya.
Grad III : Anak memiliki kapasitas intelektual rata-rata (avarege) bagi mereka
yang memiliki percentile point kurang dari 50 dari kelompok anak
seusianya.
Grade IV :Anak yang memiliki kapasitas intelektual dibawah rata-rata (below
avarege), bagi mereka yang memiliki skors antara percentile point
1025 dari kelompok anak seusianya.
Grade IV- : Anak kapasitas intelektual dibawah rata-rata (below avarege), bagi
mereka yang memiliki percentile point kurang dari 10 darikelompok
anak seusianya.
Grade V : Anak yang meiliki kapasitas defektif scara intelektual (mental
difective), apabila mereka memiliki skors percentile 5 kebawah dari
kelompok anak seusianya.
6. Analisis hasil pengukuran kapasitas intelektual dengan tes matriks progresif warna
(the coloured progressive matrices = CPM).
Misalnya diukur sepuluh orang anak dengan menggunakan Tes Matriks
Progresif Warna. Dari tes yang diberikan kepada sepuluh orang anak tersebut diperoleh
data-data sebagi berikut:
Tabel 1.2
Tabel Hasil Pengukuran Tes Matriks Progresif Warna
(Dewa Ketut Sukardi, 2009:102)
NO Nama Usia (CA) Skor Mentah
1 Jembol 6 - 3 132 Rendeng 6 - 6 183 Pesut 8 - 5 184 Mah Deg 8 - 11 265 Elino 8 - 2 346 Teptep 9 - 6 247 Genjreng 10 - 6 228 Ijum 7 - 6 169 Markonah 10 - 0 2310 Siti Celeng 11 - 0 26
Berdasarkan data-data yang telah dimuat dalam table diatas (usia (CA) dan
skors mentah yang diperoleh masing-masing anak), maka dapatlah dihitung percentile
36
point, grade dan kapasitas intelektual masing-masing, dengan cara mentransformasikan
pada skors mentah dan usia (CA) dengan percentile point sesuai dengan table 1.1.
Misalnya Jembol berusia (CA) 6-3 (enarn tahun tiga bulan), dalam tes matriks
progresif warna, ia memperoleh skors mentah 13. Dengan usia (CA) 6-3, dan skors 13
kemudian dicocokan pada USIA Kalender (CA) diperoleh percentile points (kolom
sebelah kiri)=25, percentile points 25, termasuk grade IV, sehingga taraf inteligensi
Jembol below avarenge (dibawah rata-rata). Untuk jelasnya mencocokkan dari usia
(CA) dan skors mentah ke percentile points periksa tebel berikut:
Tebel 1.3
Tabel Cara Mengonversikan Usia dan Skors Mentah
ke Percentile Point
(Dewa Ketut Sukardi, 2009:103)
P. Point
Usia Kalender(Chronological Age in Years = CA)
5 ½ 6 6 ½ … … … … … … … … …
95 … … … … … … … … … … … …
… … … … … … … … … … … … …
… … … … … … … … … … … … …
… … … … … … … … … … … … …
25 … 13 … … … … … … … … … …
… … … … … … … … … … … … …
Demikian seterusnya untuk masing anak-anak yang lain. Kemudian cara
tersebut diperoleh hasil perhitungan seperti table 1.4 berikut.
Tabel 1.4Kapasitas Intelektual Hasil Tes Matriks Progresf Warna
(Dewa Ketut Sukardi, 2009:105)
NO NamaUsia(CA)
SkorMentah
PersentilPoint
GradeKapasitasIntelektual
1 Jembol 6-3 13 25 IV Di bawah rat-rata
2 Rendeng 6-6 18 75 11 Di atas rata-rata
3 Pesut 8-5 18 25-50 III Rata-rata
4 Mah Deg 8-11 26 90 II Di atas rata-rata
37
5 Elino 8-2 34 95 I Superior
6 Teptep 9-6 24 50 111+ Rata-rata
7 Genjreng 10-6 22 25 IV Di bawah rata-rata
8 Ijum 7-6 16 25-50 III Rata-rata
9 Markonah 10-0 23 25-50 III Rata-rata
10 Siti Celeng 11-0 26 5-50 III Rata-rata
38
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Intelegensi adalah faktor total, berbagai macam daya jiwa erat bersangkutan di
dalamnya seperti ingatan, fantasi, perasaan, perhatian, minat dan sebagainya juga
berpengaruh terhadapa intelegensi seseorang. Intelegensi adalah kemampuan untuk
menyesuaikan diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru serta perbuatan
yang disertai dengan pemahaman atau pengertian.
Ciri-ciri intelegensi yaitu: merupakan suatu kemampuan mental yang
melibatkan proses berpikir secara rasional, tercermin dari tindakan yang terarah pada
penyesuaian diri terhadap lingkungan dan pemecahan masalah yang tombul
daripadanya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi: pengaruh faktor bawaan,
pengaruh faktor lingkungan, stabilitas intelegensi dan IQ, pengaruh faktor kematangan,
pengaruh faktor pembentukan, minat dan pembawaan yang khas, kebebasan.
Menurut Nunnally (1987) bahwa ”pengukuran itu terdiri dari aturan-aturan
untuk mengenakan bilangan kepada objek sedemikian rupa guna menunjukkan
kuantitas atribut pada obyek itu”. Aturan itu harus secara eksplisit dirumuskan karena
dalam banyak hal aturan itu tidak secara intuitif dapat dimengerti. Dalam bidang
psikologi aturan untuk mengukur atribut-atribut psikologis boleh dikata semua tidak
dapat dimengerti secara intuitif. Penerapan aturan-aturan seperti tersebut di atas secara
langsung berkenaan dengan pembakuan. Pembakuan aturan ini perlu agar ilmuwan
yang berbeda yang bekerja terpisah menghasilkan hal yang sama atau sekurang-
kurangnya setara.
Oleh karena kehidupan psikologis dan ciri-ciri psikologis tidak dapat
diobservasi, maka dengan asumsi bahwa ada hubungan sistematik antara ciri-ciri dan
fungsi psikologis dengan ciri-ciri dan fungsi fisiologis orang mempelajari kehidupan
dan ciri-ciri psikologis melalui pengkajian fungsi dan ciri-ciri psikologis. Demikian
pula pengukuran psikologis.
Nilai tes memberikan perkiraan tingkat di mana seorang anak berfungsi
didasarkan pada kombinasi dari berbagai subyek atau tindakan keterampilan. Seorang
psikolog yang terlatih diperlukan untuk mengevaluasi dan menginterpretasikan hasil,
39
menentukan kekuatan dan kelemahan, dan membuat rekomendasi secara keseluruhan
berdasarkan temuan dan pengamatan perilaku diamati.
B. Saran
Dalam belajar haruslah diperhatikan faktor yang mempebaruhi siswa dalam
memperoleh dan mengingat pengetahuan. Oleh sebab itu, guru haruslah memperhatikan
hal tersebut dalam melakukan pembelajaran di kelas dengan memperhatikan hal
tersebut pengetahuan yang diberikan oleh guru akan menjadi ingatan yang setia dalam
memori siswa.
40
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Saifuddin. 2002. Pengantar Inteligensi Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
(Anggota IKAPI)
Deetje J. S. 2008. Jurnal Ilmu Pendidikan Jilid 15 Latihan Keterampilan Intelektual dan
Kemampuan Pemecahan Masalah Secara Kreatif. Universitas Negeri Manado
John W. Santrock. 2004. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group
Nurkancana, W. & Sumartana, P. 1996. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional
Sukardi, Dewa K dkk. 2009. Analisis Tes Psikologis Teori dan Praktik dalam
Penyelenggaraan Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka
Cipta
41