Makalah Infeksius UAS Kapang

23
MAKALAH PENYAKIT INFEKSIUS I ISOLASI DAN IDENTIFIKASI KAPANG Oleh: Sheila B04070070 Daud Abdullah N. B04070081 Juliper Silalahi B04070084

Transcript of Makalah Infeksius UAS Kapang

Page 1: Makalah Infeksius UAS Kapang

MAKALAH PENYAKIT INFEKSIUS I

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI KAPANG

Oleh:

Sheila B04070070

Daud Abdullah N. B04070081

Juliper Silalahi B04070084

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

Page 2: Makalah Infeksius UAS Kapang

PENDAHULUAN

TINJAUAN PUSTAKA

Kapang (mould/filamentous fungi) merupakan mikroorganisme anggota

kingdom fungi yang membentuk hifa (Carlile & Watkinson 1994). Kapang bukan

merupakan kelompok taksonomi yang resmi, sehingga anggota-anggota dari kapang

tersebar ke dalam filum Glomeromycota, Ascomycota, dan Basidiomycota (Hibbett et

al. 2007).

Carlile & Watkinson (1994) menyatakan bahwa jumlah spesies fungi yang

telah teridentifikasi hingga tahun 1994 mencapai 70.000 spesies, dengan perkiraan

penambahan 600 spesies setiap tahun. Dari jumlah tersebut, sekitar 10.000 spesies

merupakan kapang. Menurut Moncalvo (1997) dan Kuhn & Ghannoum (2003),

sebagian besar spesies fungi terdapat di daerah tropis disebabkan karena kondisi iklim

daerah torpis yang hangat dan lembab yang mendukung pertumbuhannya. Habitat

kapang sangat beragam, namun pada umumnya kapang dapat tumbuh pada substrat

yang mengandung sumber karbon organik (Carlile & Watkinson 1994).

Kapang yang tumbuh dan mengkolonisasi bagian-bagian di dalam ruangan telah

banyak diteliti. Kapang tersebut mudah dijumpai pada bagian-bagian ruangan yang

lembab, seperti langit-langit bekas bocor, dinding yang dirembesi air, atau pada

perabotan lembab yang jarang terkena sinar matahari. Genus kapang yang sering

dijumpai tumbuh di dalam ruangan adalah Cladosporium, Penicillium, Alternaria,

dan Aspergillus (Mazur et. al. 2006). Penelitian lain yang dilakukan oleh Brasel et al.

(2005) menunjukkan bahwa kapang dari genus Stachybotrys juga ditemukan tumbuh

di dalam ruangan.

Kapang melakukan reproduksi dan penyebaran menggunakan spora. Spora

kapang terdiri dari dua jenis, yaitu spora seksual dan spora aseksual (Carlile &

Watkinson 1994). Menurut Champe et al. (1981) dan Carlile & Watkinson (1994),

spora aseksual dihasilkan lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak

dibandingkan spora seksual. Spora aseksual memiliki ukuran yang kecil (diameter 1 –

10 μm) dan ringan, sehingga penyebarannya umumnya secara pasif menggunakan

aliran udara (Carlile & Watkinson 1994). Apabila spora tersebut terhirup oleh

Page 3: Makalah Infeksius UAS Kapang

manusia dalam jumlah tertentu akan mengakibatkan gangguan kesehatan (Curtis et al.

2004).

Gangguan kesehatan yang diakibatkan spora kapang terutama akan

menyerang saluran pernapasan. Asma, alergi rinitis, dan sinusitis merupakan

gangguan kesehatan yang paling umum dijumpai sebagai hasil kerja sistem imun

tubuh yang menyerang spora yang terhirup (Curtis et al. 2004; Mazur et al. 2006).

Penyakit lain adalah infeksi kapang pada saluran pernapasan, atau disebut mikosis.

Salah satu penyakit mikosis yang umum adalah Aspergillosis, yaitu tumbuhnya

kapang dari genus Aspergillus pada saluran pernapasan (Soubani & Chandrasekar

2002). Selain genus Aspergillus, beberapa spesies dari genus Curvularia dan

Penicillium juga dapat menginfeksi saluran pernapasan dan menunjukkan gejala

mirip seperti Aspergillosis (Mazur et al. 2006).

Aspergillosis adalah sekelompok penyakit yang dapat disebabkan oleh infeksi

aspergillus dan termasuk aspergillosis invasif , ABPA , BPA dan aspergilloma .

Beberapa pasien asma dengan asma parah sangat mungkin juga peka terhadap jamur

seperti aspergillus (SAFS). Aspergillosis dapat mempengaruhi sistem kekebalan

tubuh pasien yang dapat mempengaruhi - termasuk orang-orang dengan leukemia

pasien kemoterapi, atau mereka pada steroid, transplantasi pasien, fibrosis kista, HIV

atau AIDS, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), penyakit granulomatosa kronis

(CGD), asma parah dengan sensitivitas jamur (SAFS) dan banyak lainnya.

(www.aspergillus.org.uk)

Aspergillus flavus adalah agen yang paling umum dari genus Aspergillus,

spesies yang lain adalah Aspergillus fumigatus. A. dapat menyerang arteri paru-paru

atau otak dan menyebabkan infark . Neutropenia menjadi predisposisi terhadap

infeksi Aspergillus. Aspergillus flavus juga memproduksi toksin ( aflatoksin ) yang

merupakan salah satu agen etiologi untuk karsinoma hepatoseluler (wikipedia.org).

Page 4: Makalah Infeksius UAS Kapang

Gambar 1 A.flavus,dari kiri ke kanan: (1)biakan A.flavus pada media agar; (2) A.flavus dengan

media pengamatan KOH 10%; (3) A.flavus dengan media pengamatan LPCB; (4) gambaran

A.flavus pad mikroskop elektron.

Aflatoksin masih diakui sebagai mikotoksin yang paling penting. Mereka

disintesis oleh A. flavus dan A. parasiticus yang paling bermasalah. Ekspresi

penyakit aflatoksin ini adalah dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti umur, nutrisi,

jenis kelamin, spesies dan kemungkinan eksposur merangkap racun lainnya. Organ

sasaran utama pada mamalia adalah hati sehingga aflatoxicosis terutama penyakit

hati. Kondisi meningkatkan kemungkinan aflatoxicosis pada manusia termasuk

terbatas ketersediaan makanan, kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan

jamur pada bahan makanan, dan kurangnya sistem peraturan untuk pemantauan dan

pengendalian aflatoksin.

A. flavus dan A. parasiticus adalah cetakan kurus yang tumbuh pada

sejumlah besar substrat, khususnya dalam kondisi kelembaban tinggi. Aflatoksin

telah diisolasi dari semua tanaman sereal utama, dan dari sumber yang beragam

seperti selai kacang dan ganja. Komoditas pokok secara teratur terkontaminasi

dengan aflatoksin meliputi ubi kayu, cabe, jagung, biji kapas, millet, kacang, padi,

sorgum, biji bunga matahari, kacang-kacangan pohon, gandum, dan berbagai rempah-

rempah yang ditujukan untuk penggunaan makanan manusia atau hewan. Ketika

diproses, aflatoksin masuk ke pasokan makanan secara umum di mana mereka telah

ditemukan di kedua makanan hewan peliharaan dan manusia serta bahan baku untuk

hewan pertanian. Aflatoksin transformasi produk kadang-kadang ditemukan dalam

telur, produk susu dan daging saat hewan diberi makan biji-bijian yang

terkontaminasi.

1 2 3 4

Page 5: Makalah Infeksius UAS Kapang

Setidaknya 13 jenis berbeda aflatoksin diproduksi di alam. Aflatoksin B 1

dianggap paling beracun dan diproduksi oleh Aspergillus flavus dan parasiticus

Aspergillus . Aflatoksin G 1 dan G 2 diproduksi secara eksklusif oleh A. parasiticus.

Sementara keberadaan Aspergillus dalam produk makanan tidak selalu menunjukkan

tingkat berbahaya dari aflatoksin juga ada, itu menunjukan risiko yang signifikan

dalam konsumsi

Aflatoksin M 1, M 2 pada awalnya ditemukan di susu sapi yang diberi gandum

berjamur. Senyawa ini adalah hasil dari proses konversi dalam hati hewan. Namun,

aflatoksin M 1 adalah hadir dalam kaldu fermentasi Aspergillus parasiticus.

Aflatoksin B 1 & B 2: diproduksi oleh Aspergillus flavus dan A. parasiticus.

Aflatoksin G 1 & G 2: diproduksi oleh Aspergillus parasiticus.

Aflatoksin M 1: metabolit aflatoksin B 1 pada manusia dan hewan (eksposur

dapat berasal dari susu ibu).

Aflatoksin M 2: metabolit aflatoksin B 2 dalam susu sapi diberi makanan yang

terkontaminasi.

Aflatoxicol.

(en.wikipedia.org)

Page 6: Makalah Infeksius UAS Kapang

Gambar 2 Struktur Aflatoksin B1, kiri:gambaran dua dimensi; kanan:gambaran tiga dimensi

TUJUAN

Tujuan dari pelaksanaan praktikum aspergillosis adalah untuk melatih

mahasiswa melakukan nekropsi bahan asal hewan yang terinfeksi oleh Aspergillus

fumigates dengan melihat perubahan patologi anatominya untuk kemudian

melakukan pemeriksaan mikroskopik langsung asal sampel organ yang menunjukkan

perubahan. Setelah itu mahasiswa diharapkan dapat melakukan isolasi agen penyebab

Aspergillosis.

Tujuan dari pelaksanaan praktikum dermatofitosis adalah melatih mahasiswa

untuk melakukan diagnose berdasar atas perubahan patologi anatomi dan penemuan

agen melalui pemeriksaan langsung denga pemeriksaan kultur asal organ yang

dicurigai utnuk kemudia melakukan diagnose langsung penyebab dermatofitosis

dengan cara menemukan makrokonidia pada kerokan kulit.

Aspergilosis

METODOLOGI

Alat dan Bahan Praktikum Aspergillosis

Peralatan yang digunakan pada praktikum aspergilosis adalah gelas objek,

gelas penutup, ose, peralatan nekropsi (gunting, pinset, skalpel), isolasi, lap,

mikroskop, dan spiritus. Bahan yang digunakan adalah ayam yang diinfeksi

Aspergillus fumingatus, KOH 10%, SDA Agar yang ditambah antobiotik,

disinfektan, alkohol 70%, xylol, dan LPCB (Lacto Phenol Cotton Blue).

Prosedur Praktikum Aspergillosis

Meja yang akan digunakan dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan

disinfektan. Cuci tangan dengan menggunakan sabun dan setelah dibilas dengan air,

Page 7: Makalah Infeksius UAS Kapang

bilas lagi dengan alkohol 70%. Basahi bulu ayam dengan air agar mudah dinekropsi.

Untuk melakukan nekropsi gunting lipatan paha dan kulit bagian atas. Kemudian

kulit bagian atas anus digunting lalu ditarik kearah atas sampai daerah dada. Bagian

bawah sternum dipotong dan digunting kesisi kiri dan kanan di bawah costae untuk

memudahkan melihat kantung hawa. Amati perubahan patologis yang terjadi.

Kemudian potong bagian dada yang sudah dilakukan pemeriksaan. Setelah itu

saluran pernapasan bagian atas diperiksa dengan jalan menggunting dari arah mulut

ke bawah, perubahan pada trakhea, percabangan bronkus, paru-paru dan bagian

lainnya diamati perubahannya. Dari organ yang mengalami perubahan dibuat

preparat natif ataupun sentuhnya dengan cara menempelkan organ yang sudah

dihapushamakan dengan menggunakan gelas objek dan diamati dibawah mikroskop.

Cara lainnya adalah organ yang menunjukkan perubahan dipotong sedikit dan

diletakkan di atas gelas objek kemudian ditetesi dengan KOH 10%, lalu diamati di

bawah mikroskop. Terakhir, organ yang mengalami perubahan ditempelkan di tiga

titik pada pelat SDA untuk dibiakkan.

Alat dan Bahan Pada Praktikum Dermatofitosis

Alat-alat yang digunakan pada praktikum dermatofitosis adalah gelas objek,

gelas penutup, ose, lap,mikroskop, dan spiritus. Bahan yang digunakan adalah

kerokan kulit, KOH 10%, DSA (Dermatofite Selective Agar), disinfektan, alkohol

70%, xylol, dan LPCB (Lacto Phenol Cotton Blue).

Prosedur Praktikum Dermatofitosis

Meja yang akan digunakan dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan

disinfektan. Cuci tangan dengan menggunakan sabun dan setelah dibilas dengan air,

bilas lagi dengan alkohol 70%. Gelas objek diteteskan KOH 10% sebanyak 1 tetes.

Kerokan kulit yang telah diambil diletakkan diatas tetesan KOH. Kerokan kulit

ditutup dengan gelas penutup. Kemudian diamati di bawah mikroskop dengan

pembesaran 10x dan 40x. Terakhir, amati kerokan kulit tersebut. Selain mengamati

kerokan kulit, diamati pula media DSA yang telah ditumbuhi kapang secara

makroskopik dan mikroskopik. Pengamatan mikroskopik dilakukan dengan

meneteskan LPCB sebanyak 1 tetes di atas gelas objek. Biakan kapang diambil

Page 8: Makalah Infeksius UAS Kapang

dengan menggunakan ose dan diletakkan tepat di atas gelas objek yang telah

diteteskan oleh LPCB. Kemudian tutup dengan menggunakan gelas penutup dan

diamati dengan mikroskop.

Alat dan Bahan Praktikum Aflatoksikosis

Peralatan yang digunakan pada praktikum ini adalah gelas objek, gelas

penutup, ose, peralatan nekropsi (gunting, pinset, skalpel), mikroskop, lap, dan

spiritus. Bahan yang digunakan adalah tikus yang diinfeksi dengan aflatoksin, tikus

normal, disinfektan, alkohol 70%, dan xylol.

Prosedur Praktikum Aflatoksikosis

Meja yang akan digunakan dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan

disinfektan. Cuci tangan dengan menggunakan sabun dan setelah dibilas dengan air,

bilas lagi dengan alkohol 70%. Tikus yang telah mati dinekropsi untuk diamati

perubahan yang terjadi pada organ-organnya. Tikus dibedah di daerah abdominal dan

dibuka rongga perut untuk melihat hati. Amati perubahan yang terjadi pada hati dan

organ-organ lain yang mengalami perubahan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengamatan

1. Hasil pengamatan mikroskopik isolat Aspergillus sp.

Gambar 3 Pemeriksaan mikroskopis isolat Gambar 4 Biakan Aspergillus sp.

Page 9: Makalah Infeksius UAS Kapang

2. Hasil pemeriksaan hewan pascamati yang menderita Aspergillosis

a. Gambaran mikroskopis pada organ ayam terinfeksi

Kantong hawa Paru-paru Bronchus

Pembesaran: 40×Pewarnaan: LCB

Pembesaran: 40×Pewarnaan: LCB

Pembesaran: 40×Pewarnaan: LCB

3. Hasil pengamatan metode slide culture

Pembesaran: 40×Pewarnaan: LCB

4. Hasil pemeriksaan kerokan kulit 5. Hasil Pemeriksaan Biakan Kerokan Kulit

Tidak ditemukan

Tidak ditemukan

Page 10: Makalah Infeksius UAS Kapang

Pembesaran: 40×KOH 10%

6. Hasil pengamatan terhadap perubahan Patologi-Anatomi terhadap

mencitterinfeksi mikotoksin

IndikatorPerubahan Pada Organ Hati

Kelompok I(Kontrol)

Kelompok II Kelompok III Kelompok VI

Apakah ada pembesaran organ

hati?Tidak Ada Ada Ada

Apakah ada perbedaan ukuran

organ hati?Normal Lebih besar Lebih besar Lebih besar

Apakah terbentuk tumor di organ

hati?Tidak Ya Ya Ya

Pembahasan

Aspergilosis

Spesies Aspergillus merupakan jamur yang umum ditemukan di materi

organik. Meskipun terdapat lebih dari 100 spesies, jenis yang dapat menimbulkan

penyakit pada manusia ialah Aspergillus fumigatus dan Aspergillus niger, kadang

kadang bisa juga akibat Aspergillus flavus dan Aspergillus clavatus yang semuanya

menular dengan transmisi inhalasi.

Aspergillus dapat menyebabkan spektrum penyakit pada manusia, bisa jadi

akibat reaksi hipersensitivitas hingga bisa karena angioinvasi langsung. Umumnya

Pembesaran 40 xKOH 10%

Page 11: Makalah Infeksius UAS Kapang

Aspergillus akan menginfeksi paru-paru, yang menyebabkan empat sindrom penyakit,

yakni Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis (ABPA), Chronic Necrotizing

Pneumonia Aspergillosis (CNPA), Aspergiloma, dan Aspergilosis invasif. Pada

pasien yang imunokompromais aspergilosis juga dapat menyebar ke berbagai organ

menyebabkan endoftalmitis, endokarditis, dan abses miokardium, ginjal, hepar,

limpa, jaringan lunak, hingga tulang.

          Setelah mengamati hasil yang dilakukan pada ayam terinfeksi aspergilosis.

Hasilnya positif terkena aspergillus, hal ini dapat dibuktikan dibawah mikroskop

terlihat aspergillus. Pengambilan sampel ini dilakukan pada kantung hawa, karena

pencemaran infeksi aspergillus ini dilakukan dengan cara penyemprotan ke kandang.

Nekropsi terhadap ayam yang terkena infeksi dilakukan se aseptis mungkin. Hal ini

untuk menjaga kita sebagai praktikan agar tidak tercemar dan hasil yang diberikan

bagus.     

Aspergillus membutuhkan lingkungan tumbuh yang memenuhi persyaratan,

antara lain  memiliki kelembaban relatif (Rh) minimum sebesar 80%. Aspergillus

flavus maupun Aspergillus parasiticus membutuhkan suhu sebesar 25 – 40oC guna

pembentukan aflatoksin. Derajat keasaman (pH) medium yang dibutuhkan untuk

pembentukan aflatoksin adalah pH 5,5-7,0. Selain persyaratan lingkungan, maka

pembentukan aflatoksin sangat ditentukan pula oleh faktor potensial genetik fungi

dan lama kontak antara fungi dengan substrat. Potensial genetik fungi ditentukan oleh

strain fungi, misalnya terdapat fungi yang khusus menghasilkan aflatoksin B1.

            Pertumbuhan Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus ditentukan oleh

jenis dan kadar karbohidrat. Jenis karbohidrat yang paling baik untuk media fungi

antara lain : glukosa, galaktosa dan sukrosa. Kemampuan tumbuh fungi pada media

maltosa dan laktosa akan lebih rendah daripada glukosa, galaktosa dan sukrosa.

Lebih-lebih pada media sorbitol dan mannitol, maka kemampuan tumbuh fungi akan

lebih rendah lagi. Keberadaan garam NaCl antara 1 – 3% sangat mendukung

pembentukan aflatoksin. Pada NaCl 8% dengan suhu 24°C pembentukan aflatoksin

akan dihambat, sedangkan pada suhu 28oC dan 35oC tetap terjadi pembentukan

aflatoksin. Pada NaCl berkadar 14% tidak terjadi pembentukan aflatoksin.

Page 12: Makalah Infeksius UAS Kapang

Dermatofitosis

Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan genus

dermatofita, yang dapat mengenai kulit, rambut dan kuku. Manifestasi klinis

bervariasi dapat menyerupai penyakit kulit lain sehingga selalu menimbulkan

diagnosis yang keliru dan kegagalan dalam penataklaksanaannya. Diagnosis dapat

ditegakkan secara klinis dan identifikasi laboratorik. Pengobatan dapat dilakukan

secara topikal dan sistemik. Pada masa kini banyak pilihan obat untuk mengatasi

dermatofitosis, baik dari golongan antifungal konvensional atau antifungal terbaru.

Pengobatan yang efektif ada kaitannya dengan daya tahan seseorang, faktor

lingkungan dan agen penyebab (1).

Dermatofita dibagi menjadi genera Microsporum, Trichophyton dan

Epidermophyton. Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Hingga

kini dikenal sekitar 40 spesies dermatofita, masing-masing dua spesies

Epidermophyton, 17 spesies Microsporum dan 21 spesies Trichophyton (1)

Sampel yang kami dapatkan berupa kerokan kulit pada kulit telinga kucing

yang diduga terkena infeksi dermatofit. Setelah dilakukan prosedur mewarnai hingga

melihat dibawah mikroskop dan hasilnya negative. Ternyata sampel yang kami bawa

yaitu scabies. Hal ini merupakan ketidaktahuan kami dalam memilih sampel.

Aflatoksin

Aflatoksin berasal dari singkatan Aspergillus flavus toxin. Toksin ini pertama

kali diketahui berasal dari kapang Aspergillus flavus yang berhasil diisolasi pada

tahun 1960. sedikitnya ada 13 tipe aflatoksin yang diproduksi di alam. Aflatoksin B1

diduga sebagai yang paling toksik, dan diproduksi oleh Aspergillus flavus dan A.

parasiticus. Aflatoksin G1 dan G2 diproduksi oleh A. parasiticus. Aspergillus flavus

dan A. parasiticus ini tumbuh pada kisaran suhu yang jauh, yaitu berkisar dari 10-

120C sampai 42-430C dengan suhu optimum 320-330C dan pH optimum 6

(Anonimus 2006c).

Di antara keempat jenis aflatoksin tersebut AFB1 memiliki efek toksik yang

paling tinggi. Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatatoksik dan mutagenik

Page 13: Makalah Infeksius UAS Kapang

sehingga menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO) dan dikategorikan sebagai

karsinogenik golongan 1A. Selain itu, aflatoksin juga bersifat immunosuppresif yang

dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.

Aflatoksin bersifat mutagenik (menimbulkan mutasi), toksikogenik

( menimbulkan keracunan), dan karsinogenik (menimbulkan kanker jaringan),

terutama pada hati, ginjal dan usus. Kerugian lain dari aflatoksin adalah bersifat

teratogenik (menyebabkan penghambatan pertumbuhan fetus) dan hepatotoksik

(keracunan pada hati) serta immunosupressif (hambatan perkembangan kekebalan),

yang berakibat meningkatkan kepekaan individu terhadap infeksi penyakit menular.

Pengaruh aflatoksin bisa bersifat akut maupun kronis, hal ini tergantung kepada dosis

dan frekuensi aflatoksin yang termakan.

            Jenis ternak unggas yang sensitif terhadap aflatoksin antara lain : itik, kalkun,

angsa, ayam dan puyuh. Pada mamalia secara urut dari yang peka sampai yang

resisten, adalah  anak babi, babi betina bunting, anak sapi, babi gemuk, sapi dewasa

dan domba. Toksisitas aflatoksin semakin meningkat pada hewan muda dan jantan

daripada dewasa dan betina.

                Diantara semua aflatoksin, maka aflatoksin B1 adalah yang paling

berbahaya dan banyak terdapat di alam. LD50 aflatoksin B1 untuk bebek tua adalah

0,36 mg/kg, pada M1 sebesar 0,33 mg/kg, pada G1 sebesar 0,78 mg/kg, pada B2

sebesar 1,7 mg/kg dan pada G2 sebesar 3,5 mg/kg. Aflatoksin B1 peka dalam

mempengaruhi proses biologis, termasuk mengikat RNA.

Aflatoksin merupakan salah satu mikotoksin yang cukup berbahaya, karena

bisa mengakibatkan antara lain  hepatotoksik, mutagenik, karsinogeniok dan immuno-

supressif. Aflatoksin bisa mencemari bahan pakan, seperti jagung, tepung biji kapas,

kacang, tepung kacang, beras, kedelai, gandum dan biji sorgum. Penyerangan jamur

pada umumnya saat pemanenan dan penyimpanan dalam kondisi lembab. Aflatoksin

bisa dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Kedua

jamur tersebut dapat menghasilkan bermacam-macam aflatoksin, diantaranya B1, B2,

G1, M1 dan M2. Diantara aflatoksin tersebut yang paling berbahaya adalah B1.  

Page 14: Makalah Infeksius UAS Kapang

Aflatoksin tidak menyebabkan keracunan secara akut, namun secara kronis

menimbulkan kelainan organ hati. Penyimpanan makanan dalam waktu lama dan cara

yang tidak benar, menyebabkan kerusakan pada bahan makanan tersebut oleh

mikroorganisme dan jamur yang dapat menghasilkan aflatoksin. Tidak ada spesies

hewan, termasuk juga manusia, yang kebal terhadap efek toksik akut dari aflatoksin.

Namun, manusia lebih mampu bertahan terhadap infeksi akut (Anonimus 2006c).

Hasil pemeriksaan kami pada mencit yang tercemar aflatoksin, setelah melihat

di bawah mikroskop telihat jelas. Hal ini dapat dibandingkan pada hati mencit yang

normal, warna telihat lebih pucat dan terdapat sirosis yaitu ditemukannya bungkul

putih disekitar hati, ukuran hati terlihat lebih besar dibandingkan hati normal. Ginjal

terlihat lebih besar dibandingkan ginjal normal. Tepi limpa berkelok-kelok dan terasa

lebih tumpul dibandingkan dengan dengan yang normal yaitu terlihat lurus dan

ramping dan dalam segi warna lebih merah yang normal.

PENUTUP

Simpulan

Aspergillosis adalah suatu penyakit infeksius yang menular melalui udara dan

menginfeksi saluran pernafasan dan semua makhluk hidup rentan akan infeksi kapang

ini. Aflatoksin adalah metabolit yang dihasilkan Aspergillus flavus yang bersifat

hepatotoksik yang dapat memicu terbentuknya tumor hati sampai kepada nekrosis.

Dermatofitosis adalah infeksi berbagai macam kapang pathogen pada kulit inang

yang gejalanya dapat diamati dari perubahan struktur khas kulit tiap spesies dan

pengamatan dapat dilakukan secara mikroskopik dan makroskopik.

Daftar Pustaka

Bartlett, K.H., S.M. Kennedy, M. Brauer, C. van Netten & B. Dill. 2004.

Evaluation and a predictive model of airborne fungal concentrations in school

classrooms. Ann. occup. Hyg., 48(6): 547 – 554.

Brassel, T.L., J.M. Martin, C.G. Carriker, S.C. Wilson & D.C. Straus. 2005.

Detection of airborne Stachybotrys chartarum macrocyclic trichothecene

Page 15: Makalah Infeksius UAS Kapang

mycotoxins in indoor environment. Applied and Enviromental Microbiology,

71(11): 7376 – 7388.

Carlile, M.J. & S.C. Watkinson. 1994. The fungi. Academic Press Ltd., London:

xiii + 482hlm.

Champe, S.P., M.B. Kurtz, L.N. Yager, N.J. Butnick & D.E. Axelrod. 1981. Spore

formation in Aspergillus nidulans: Competence and other developmental

processes. Dalam: Turian,G. & H.R. Hohl. (eds). 1981. The fungal spore:

Morphogenetics controls. Academic Press, London: 255 – 276.

Curtis, L., A. Lieberman, M. Stark, W. Rea & M. Vetter. 2004. Adverse healt

effect of indoor molds. Journal of Nutritional & Environment, 14(3): 261 – 274.

Dahlan, Z. 1998. Masalah asma di Indonesia dan penanggulangannya. Cermin

Dunia Kedokteran, 121: 5 – 9.

Gent, J.F., P. Ren, K.Belanger, E.Triche, M.B. Bracken,T.R. Holford,& B.P.

Leaderer. 2002. Levels of household mold associated with respiratory

symptoms in the first year of life in a cohort at risk for asthma. Environmental

Health Perspectives, 110(12): A781 – A786.

Hibbet, D.S., et al. 2007. A higher-level phylogenetic classification of the Fungi.

Mycological Research, 111: 509 – 547.

Kuhn, D.M. & M.A. Ghannoum. 2003. Indoor mold, toxigenic fungi, and

Stachybotrys chartarum: Infectious disease perspective. Clinical Microbiology

Reviews, 16(1): 144 – 172.

Mazur, L.J., J. Kim & the Commitee on Environmental Health. 2006. Spectrum of

noninfectious healt effects from molds. Pediatrics, 118: 1909 – 1926.

Moncalvo, J-M. 1997. Evaluation of fungi biological diversity in the tropics:

Systematics perspective. Dalam: Janardhanan, K.K., C. Rajendran, K. Natarajan

& D.L. Hawksworth. (eds). 1997. Tropical mycology. Science Publications

Inc., Enfield: 1 – 26.

Soubani, A.O. & P.H. Chandrasekar. 2002. The clinical spectrum of pulmonary

aspetgillosis. Chest, 121(6): 1988 – 1999. 13. Verhoeff, A.P., et al.1992.

Page 16: Makalah Infeksius UAS Kapang

Presence of viable mold propagules in air in relation to house damp and outdoor

air. Allergy 47: 83 – 91.