Makalah Industri Gula Semut Revisi
-
Upload
uyun-husna-utami -
Category
Documents
-
view
1.364 -
download
73
Transcript of Makalah Industri Gula Semut Revisi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara tropis memiliki lahan perkebunan kelapa yang cukup luas.
Luas perkebunan kelapa di Indonesia saat ini mencapai 3,8 juta hektar (Ha).Tumbuhan kelapa
ini dapat ditemukan di hampir seluruh wilayah Indonesia, dari pulau Sumatra hingga Papua.
Hal ini ditunjukkan dengan sebaran terbanyak berada di Sumatera mencapai 34,5%, Jawa
23,2%, Sulawesi 19,6%, Bali, NTB dan NTT 8,0%, Kalimantan 7,2%, Maluku dan Papua
7,5% (Anonim, 2010).
Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan komoditas komersial dan strategis bagi
kehidupan masyarakat Indonesia. Tidak saja terletak pada daging buahnya yang dapat diolah
menjadi santan, kopra, dan minyak kelapa, tetapi seluruh bagian tumbuhan kelapa mempunyai
manfaat yang besar (Ardiawan, 2011). Salah satu bagian dari tumbuhan kelapa yang sangat
bermanfaat adalah nira. Nira dari pohon kelapa dapat diolah menjadi gula kelapa, gula jawa,
atau gula merah (gula palma). Gula ini banyak dikonsumsi oleh segenap lapisan masyarakat
sebagai bahan tambahan dalam makanan dan minuman karena memiliki aroma dan rasa khas.
(Purwaningsih, 2009).
Berdasarkan data Badan Urusan Logistik tahun 2001, konsumsi gula nasional
mencapai 3,3 juta ton per tahun. Hal tersebut tidak diimbangi dengan kemampuan kita dalam
memproduksi gula yang kurang dari setengahnya atau sekitar 1,6 juta ton per tahun saja. Pada
kesempatan seperti ini, gula palma dapat memasuki peluang pasar sebagai pengisi kekurangan
konsumsi gula. Kelemahan produk gula palma yang terdapat di pasaran antara lain adalah
memiliki daya simpan yang tidak lama (sekitar tiga bulan), belum dikemas dengan baik, serta
kurang praktis dalam hal penyajian. Perkembangan masyarakat modern menginginkan
penyajian produk yang praktis, higienis, dan bermutu tinggi. Kemudahan pengemasan serta
daya simpan yang lama akan menunjang dalam proses pemasaran ke luar negeri. Oleh karena
itu perubahan bentuk gula kelapa dari cetak menjadi butiran (gula semut) diharapkan dapat
memenuhi keinginan pasar. Bentuk gula semut yang serbuk menyebabkan mudah larut
1
sehingga praktis dalam penyajian, mudah dikemas dan dibawa, serta daya simpan yang lama
karena memiliki kadar air yang rendah (Sri, 2010).
Pada umumnya gula semut dibuat dengan menggunakan bahan baku nira kelapa.
Permasalahan yang timbul dari penggunaan bahan baku tersebut adalah sifat nira kelapa yang
mudah rusak akibat terkontaminasi mikroorganisme. Pengumpulan nira dalam skala yang
besar untuk industri sulit untuk dilakukan karena sebagian besar para petani kelapa tidak
menjual nira tetapi memproduksinya menjadi gula kelapa, karena memiliki nilai ekonomis
yang lebih tinggi. Masalah pengangkutan nira kelapa dalam skala besar juga sulit dilakukan
karena letak perkebunan kelapa rakyat yang terpencar dan sulit dilalui kendaraan. Dengan
menerapkan sistem reprosesing gula kelapa cetak menjadi gula semut diharapkan tidak akan
mematikan industri gula kelapa yang telah ada di pedesaan (Febrianto, 2011).
Namun, tidak banyak orang yang mengetahui proses produksi gula semut dari nira
kelapa maupun melalui sistem reprosesing. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan
dipaparkan mengenai kedua proses produksi gula semut tersebut dalam skala industri rumah
tangga (home industri).
1.2. Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah gambaran umum mengenai produk gula semut?
b. Apa sajakah bahan dan alat yang digunakan untuk memproduksi gula semut?
c. Bagaimana proses produksi gula semut dalam skala home industri?
1.3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui gambaran umum mengenai produk gula semut
b. Untuk mengetahui bahan dan alat yang digunakan untuk memproduksi gula semut.
c. Untuk mengetahui proses produksi gula semut dalam skala home industri.
1.4. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah:
1. Memberi informasi mengenai gambaran umum produk gula semut.
2. Memberi informasi tentang bahan dan alat yang digunakan untuk memproduksi gula
semut .
3. Memberi informasi dan pengetahuan tentang proses produksi gula semut dalam skala
home industri.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Gambaran Umum Tentang Gula Semut
Gula semut merupakan gula merah versi bubuk dan sering pula disebut orang sebagai
gula kristal. Dinamakan gula semut karena bentuk gula ini mirip rumah semut yangg
bersarang di tanah. Bahan baku untuk membuat gula semut adalah nira dari pohon kelapa atau
pohon aren (enau). Karena kedua pohon ini masuk jenis tumbuhan palmae maka dalam bahasa
asing, secara umum gula semut hanya disebut sebagai palm sugar atau palm zuiker (Sri,
2010).
Gambar 2.1 Gula Semut
Gula semut merupakan hasil pengentalan nira palma (aren, kelapa, siwalan) berbentuk
serbuk dan lebih dikenal dengan nama palm sugar, berwarna kuning sampai coklat tua (Balai
Informasi Pertanian, 2000). Gula semut dikenal sebagai bahan pemanis, penyedap, memberikan
tekstur dan warna coklat pada berbagai jenis makanan. Pembuatan gula semut sebetulnya hampir
sama dengan pembuatan gula kelapa cetak yakni dalam hal penyediaan bahan baku nira dan
pemasakan sampai nira mengental. Perbedaannya, yakni pada pengolahan gula kelapa cetak,
nira yang mengental dimasukkan ke wadah cetakan sampai mengering. Sedangkan pada
pengolahan gula semut, saat nira yang dimasak mengental, panas pemasakkan secara perlahan
dikurangi secara bertahap dan pengadukan dilanjutkan sampai gula mengkristal (Saloko dan
Lalu, 2009).
Gula semut dapat dikatakan produk turunan dari gula kelapa biasa. Jika dibandingkan
dengan gula kelapa biasa, bisa dikatakan gula semut memiliki bentuk yang lebih praktis dan
3
lebih awet. Pada umumnya, gula kelapa hanya mampu bertahan sekitar sebulan bila disimpan
dalam suhu ruang. Namun, jika disimpan lebih lama lagi, biasanya gula akan lumer dan
tengik. Sementara untuk gula semut, usia simpannya bisa mencapai lebih dari satu tahun. Dari
sisi kandungan gizi, gula semut dapat disebut ”jawaranya”. Dibandingkan dengan gula pasir
biasa, gula yang berwarna coklat muda ini lebih banyak memiliki kadar protein, lemak,
kalsium, fosfor, dan zat besi (Handayani, 2008).
Tabel 2.1 Perbandingan Gula Semut dengan Gula Pasir
Gula Semut Gula Putih
Rasa : manis dan beraroma khas Rasa : manis saja
Mengandung garam mineral Tidak mengandung garam mineral
Kandungan gula jauh lebih kecil Kandungan gula lebih tinggi
Mengndung thiamine, riboflavin, nicotinic acid,
ascorbic acid, protein, dan vitamin C.
Kurang/ tidak mengandung nutrisi
Untuk terapi asma, kurang darah/anemia,
lepra/kusta, dapat mempercepat pertumbuhan
anak, membantu pertumbuhan gigi kuat
mengurangi panas pankreas, dan menguatkan
jantung
Kurang mengandung unsur terapi
kesehatan
Bagus untuk mengobati batuk demam Dapat memicu batuk demam bila
menkomsumsi berlebihan
Bagus untuk makanan awal bagi orang yang
terkena penyakit typhus
Terkadang gula tebu membuat efek
sakit dalam kesehatan
Mempunyai khasiat seperti madu Sebagai pemanis saja
Gula semut memang masih kalah populer dengan gula pasir, tetapi di sisi lain bisnis gula
semut cukup menguntungkan. Bukan saja harganya yang lebih mahal daripada gula pasir, namun
permintaan pasar terutama ekspor masih belum terpenuhi. Harga gula kelapa sedikit lebih murah
dibanding dengan gula pasir kualitas rendah. Sebaliknya harga gula semut justru lebih tinggi
dibanding gula pasir kualitas paling baik. Sebagai perbandingan, ketika harga gula pasir
Rp7.000 per kg, harga gula merah hanya sekitar Rp5.000 per kg, dan gula semut Rp 9.000 per
kg. Hingga agroindustri gula semut bisa lebih menguntungkan petani. Terlebih lagi, gula
4
semut berpotensi untuk diekspor. Meskipun produksi gula semut untuk diekspor, memerlukan
kontrol kualitas secara ketat, agar bisa memenuhi standar. Hal ini tidak terlalu sulit diadopsi
perajin gula, sebab proses paling sulit dalam agroindustri ini justru pada penyadapan niranya.
2.2. Bahan-Bahan Produksi Gula Semut
2.2.1 Bahan Baku Produksi Gula Semut
Nira kelapa merupakan bahan baku pembuatan gula semut. Nira ini berupa cairan
bening yang keluar dari bunga (mayang) kelapa yang pucuknya belum membuka. Dalam
keadaan segar, nira mempunyai rasa manis (mengandung gula pada konsentrasi 7,5
sampai 20,0 %), berbau harum, dan tidak berwarna. Pada umumnya, masyarakat
memanfaatkan air nira ini sebagai minuman segar baik dari niranya langsung maupun
nira yang dibuat sirup, selain itu juga untuk pembuatan gula merah dan gula semut
(Dyanti, 2002).
Nira kelapa diperoleh dengan cara penyadapan cairan yang keluar dari tongkol
bunga kelapa. Penyadapan nira kelapa biasanya dilakukan pada pagi hari atau sore hari.
Bila penyadapan dilakukan pada pagi hari, maka pada sore harinya nira yang dihasilkan
sudah dapat diambil. Sedangkan bila penyadapan dilakukan pada sore hari, maka pada
pagi harinya nira hasil sadapan sudah dapat diambil. Satu buah mayang dapat disadap
selama 10-35 hari bergantung kondisi pohon kelapa, namun produksi optimal hanya
selama 15 hari. Hasil yang diperoleh sekitar 0,5-1 L nira setiap mayang, atau sekitar 2-4
L nira per pohon setiap harinya (Santoso, 1995).
Beberapa faktor yang mempengaruhi banyaknya nira yang diperoleh, sebagai
berikut : (Handayani, 2008)
a) Iklim
Penyadapan yang dilakukan pada musim penghujan akan mendapatkan nira lebih
banyak daripada penyadapan pada musin kemarau. Menurut pengakuan penyadap,
bahwa hasil penyadapan dua mayang pada musim penghujan sama dengan tiga
mayang pada musim kemarau.
b) Umur Tanaman
5
Penyadapan mayang dari pohon kelapa yang muda akan di dapatkan nira yang lebih
banyak daripada penyadapan mayang dari pohon kelapa yang sudah tua. Hal tersebut
diperkirakan karena perbedaan proses pertumbuhan tanaman.
c) Keterampilan Menyadap
Sekilas penyadapan cukup mudah, akan tetapi pelaksanaannya tidak semudah yang
dibayangkan. Penyadapan memerlukan keterampilan dalam memanjat pohon kelapa,
teknik memotong mayang, dan meletakkan bumbung bambu penampung nira.
d) Frekuensi Penyadapan
Pohon kelapa tidak selamanya secara terus-menerus disadap. Frekuensi penyadapan
dapat berupa setahun menyadap, 3-4 tahun kemudian tidak disadap dan dibiarkan
menghasilkan buah kelapa, tahun berikutnya disadap lagi, dan seterusnya.
Komposisi nira dari suatu jenis tanaman kelapa dipengaruhi beberapa faktor yaitu
antara lain varietas tanaman, umur tanaman, kesehatan tanaman, keadaan tanah, iklim,
pemupukan, dan pengairan. Demikian pula setiap jenis tanaman mempunyai komposisi
nira yang berlainan dan umumnya terdiri dari air, sukrosa, gula reduksi, bahan organik
lain, dan bahan anorganik. Air dalam nira merupakan bagian yang terbesar yaitu antara 75
– 90 %. Sukrosa merupakan bagian zat padat yang terbesar berkisar antara 12,30 – 17,40
%. Gula reduksi antara 0,50 – 1,00 % dan sisanya merupakan senyawa organik serta
anorganik. Gula reduksi dapat terdiri dari heksosa, glukosa, dan fruktosa, serta mannosa
dalam jumlah yang rendah sekali. Bahan organik terdiri dari karbohidrat (tidak termasuk
gula), protein, asam organik, asam amino, zat warna, dan lemak. Bahan anorganik terdiri
dari garam mineral.
Tabel 2.2 Komposisi Nira Tanaman Kelapa, Aren, dan Lontar
Komposisi Kelapa Aren Lontar
Total Padatan (%) 15,2 - 19,7 - -
Sukrosa (%) 12.03 - 14,85 13,9 - 14,9 -
Kadar Air (%) 88,4 - -
Karbohidrat (%) 14,35 11,28 13,2
Protein (%) 0,23 - 0,32 0,2 0,3
6
Lemak (%) 0,17 0,02 0,04
Abu (gr) 0,11 - 0,41 0,04 0,24
Asam Askorbat (g/100mL) 16,0 - 30,0 - -
Yang penting diketahui bahwa, nira kelapa ini mudah mengalami fermentasi karena
mengandung ragi liar yang amat aktif. Bila nira terlambat dimasak, biasanya warnanya
berubah menjadi keruh dan kekuning-kuningan, rasanya masam, dan baunya menyengat.
Hal ini disebabkan oleh terjadinya pemecahan sukrosa menjadi gula reduksi. Proses
perubahan ini terjadi karena rendahnya derajat keasaman (pH) nira. Oleh karena itu, nira
yang digunakan untuk memproduksi gula semut harus memiliki pH 5,5-7,0. Nira dalam
keadaan segar biasanya memiliki pH 6,0-7,0. Selain itu, nira yang digunakan harus
memiliki kadar gula reduksi (glukosa dan fruktosa) yang relatif rendah (Santoso, 1995).
2.2.2.Bahan Tambahan Produksi Gula Semut
Pembuatan gula semut pada dasarnya sama dengan pembuatan gula kelapa. Maka,
bahan tambahan yang umum dalam proses pembuatan gula kelapa juga ditambahkan pada
pembuatan gula semut, yakni yang terdiri atas bahan tambahan alami dan kimia.
pemberian bahan tambahan tersebut umumnya ditambahkan pada tahap pra pengolahan
dengan maksud mencegah rusaknya nira kelapa. Bahan pengawet alami yang sekarang
sudah digunakan adalah tatal kayu nangka, daun sirih, dan kulit buah manggis (Mustaufik
dan Hidayah, 2007). Bahan pengawet kimia yang sering digunakan adalah kapur, natrium
benzoat dan natrium sulfat (Rumokoi, 2004). Penambahan natrium metabisulfit bertujuan
agar warnanya lebih baik (kuning cerah), dan terhindar dari kerusakan nira akibat dari
fermentasi sehingga dapat mencegah terjadinya kegagalan pencetakan gula jawa atau gula
kelapa (Tjahjaningsih, 1996).
Bahan-bahan tambahan yang digunakan untuk membuat gula semut di tingkat home
industri, antara lain sebagai berikut:
a) Bahan pengawet, seperti kapur sirih, tatal nangka, atau kulit manggis yang diisikan ke
dalam tempat penampung nira sebelum tempat tersebut dipasang di pohon kelapa.
Pengawet lainnya yang dapat digunakan adalah natrium metabisulfit dengan dosis
0,025-0,10 % atau natrium benzoat dengan dosis 0,05-0,20 %. Pada tahapan pra
7
pengolahan, digunakan 1,5 gram kapur atau 20 ml natrium metabisulfit per liter (L)
nira. Adapun tujuannya untuk menetralkan nira sampai derajat keasaman (pH) berkisar
6,0-7,0 sehingga fermentasi terhambat (Sardjono dan Dahlan, 1988).
b) Kelapa parut, kemiri, santan, atau minyak goreng digunakan untuk menjaga atau
menekan buih yang terbentuk atau meluap ketika pemasakan berlangsung. Pada
biasanya, dilakukan penambahan 1 sendok minyak kelapa untuk 25 L nira (Soetanto,
1998).
c) Kayu bakar, digunakan untuk proses pemasakan. Penggunaan kayu bakar berkisar 0,25
m3 untuk pemasakaan nira sebanyak 100 L nira, dengan menghasilkan gula sekitar 10-
12 kg (Lay, et.al., 2004).
2.4. Alat-alat Produksi Gula Semut
Peralatan-peralatan yang digunakan untuk memproduksi gula semut secara home industri
disebutkan beserta kegunaanya melalui tabel berikut ini : (Soetanto, 1998)
Tabel 2.3 Alat-alat Produksi Gula Semut Beserta KegunaanyaAlat Kegunaan
Pisau atau sabit Memotong mayang kelapa
Bumbung bambu atau
jerigen
Sebagai tempat menampung nira
hasil sadapan
Tali raffia Mengikat bumbung bamboo atau
jeringen dengan mayang yang
disadap
Kain Saring Menyaring nira
Baskom plastic Menadah nira hasil penyaringan
Wajan besar Tempat memasak nira
Kompor atau tungku Sebagai Pemanas
Ayakan ukuran 20 mesh Mengayak gula kristal
Tampah Tempat hasil pengayakan
Pengaduk kayu Mengaduk nira menjadi gula
Garpu kayu Mengaduk nira yang mengkristal
Kertas lakmus Mengontrol pH nira
8
Serok Mengambil buih atau kotoran saat
nira mendidih
Sealer Alat untuk mengemas produk gula
semut
Saringan 40 mesh menyaring kotoran pada gula kelapa
cetak yang telah dilarutkan
Timbangan menimbang produk gula semut
Gambar 2.2 Alat Pengemas Sealer
2.4. Proses Produksi Gula Semut
Proses pembuatan gula semut dapat dilakukan dua cara yaitu gula kelapa semut yang
dibuat dari nira kelapa dan yang dibuat dari gula kelapa cetak yang sudah jadi (reprosesing).
Pembuatan gula semut yang dibuat dari gula kelapa cetak dikarenakan banyaknya permintaan
dari konsumen, sehingga produsen menarik atau bahkan membeli gula kelapa cetak yang ada
dipasaran untuk diolah menjadi gula semut. Hal ini karena keuntungan yang nantinya
didapatkan akan jauh lebih tinggi, dan selain itu juga untuk memanfaatkan (rekondisi) produk
gula kelapa cetak (Mustaufik dan Haryanti, 2006).
9
Gambar 2.3 Skema Alur Pembuatan Gula Semut
2.4.1.Persiapan Bahan Baku
Produksi Gula Semut yang dibuat dari Nira Kelapa
Pada proses produksi gula semut ini yang harus diperhatikan adalah kualitas nira
(jangan sampai nira menjadi asam). Tahap awal dalam produksi gula semut dari nira
kelapa adalah mengambil nira kelapa dengan cara penyadapan. Namun, sebelum
dilakukan penyadapan nira dari mayang kelapa, terlebih dahulu dipersiapkan cairan kapur
(20-25 gr untuk penampungan nira 7-10 L).
Dilaporkan Lay dan Karouw (2006) bahwa pengawetan terhadap nira hasil sadapan
sebelum dilakukan pengolahan, dapat ditambahkan dengan pemberian kapur 2 g/L nira.
Cara ini, dapat mempertahankan keawetan nira cukup lama, ditandai pH dan kadar gula
10
Reprosesing
nira aren cukup stabil selama 8 jam. Aplikasi metode ini, lebih sesuai dilakukan pada
penyediaan jumlah nira yang cukup banyak yang akan diangkut ke unit pengolahan yang
cukup jauh. Cairan kapur tersebut juga bisa ditambahkan dengan bahan pengawet natrium
bisulfit 50 ppm (mg/L). Campuran tersebut kemudian dimasukkan ke dalam bumbung
bambu atau jerigen yang sebelumnya sudah dicuci bersih. Hal ini dilakukan untuk
mencegah kerusakan nira menjadi asam. Jika nira yang telah menjadi asam diolah
menjadi gula, maka tidak menghasilkan gula yang mengkristal. Setelah persiapan ini
selesai, barulah dilakukan penyadapan nira kelapa.
Adapun beberapa langkah yang dilakukan untuk mendapatkan nira kelapa segar
adalah sebagai berikut : (Santoso, 1995)
a. Memilih Mayang
Pohon kelapa baru bisa disadap bila telah menghasilkan 3 tandan bunga yang baru
membuka dan tandan yang termuda sudah mencapai 20 cm panjangnya. Pilihlah
mayang kelapa yang belum membuka pucuknya pada stadium umur tertentu, utuh, dan
bebas dari serangan hama dan penyakit. Setelah itu, mayang diikat agar tidak mekar.
Selanjutnya, mayang dimemarkan dengan cara memukulkan perlahan-lahan
menggunakan sepotong kayu sekitar 5-8 menit mulai dari pangkal ke ujung. Bila
menjumpai mayang dengan posisi agak tegak, sebaiknya ditarik ke bawah saat
melakukan pememaran untuk mempermudah penampungan nira.
b. Pemotongan Pucuk Mayang
Untuk mengeluarkan nira, pucuk mayang dipotong beberapa kali. Kalau pada hari
pertama dilakukan pememaran, maka untuk hari kedua dilakukan pemotongan pucuk
mayang ± 0,5 cm, dan setelah itu dimemarkan lagi. Keesokan harinya dipotong ± 0,5
cm lagi, dan seterusnya hingga hari ke-10, sampai akhirnya mayang mulai
mengeluarkan nira.
c. Penyadapan
Setelah mayang mengeluarkan nira, penyadapan dapat dilakukan setiap pagi dan
sore hari secara rutin. Para penyadap biasanya melakukan penyadapan dua kali sehari,
yakni dari pukul 06.00-16.00 dan dari pukul 16.00-06.00. Mula-mula hasil nira sedikit
namun lama-kelamaan makin bertambah dan setelah hari ke-15 biasanya hasil nira
menurun sampai hari ke-35.
11
Gambar 2.5 Cara Pengambilan Nira (Cara Penyadapan)
Hasil sadapan pada pagi hari dikumpul, dipanaskan sampai mendidih dan
digabungkan dengan hasil sadapan sore hari, dimasak bersama pada malam hari. Setiap
pohon kelapa dalam sehari semalam dapat menghasilkan 8-10 L nira. Setelah diolah akan
menghasilkan 0,8-1 kg gula semut (Lay et al., 2004).
Produksi Gula Semut Melalui Reprosesing
Pada produksi gula semut ini, bahan baku yang disiapkan adalah gula kelapa cetak.
Gula kelapa yang akan dibuat menjadi gula kelapa kristal harus bermutu baik. Gula
kelapa tersebut Gula kelapa cetak terlebih dahulu harus mengalami penyesuaian bentuk
dengan cara dipotong-potong kecil atau diiris halus. Hal ini dilakukan untuk memudahkan
pelarutan yang akan dilakukan pada tahap selanjutnya, yakni tahap pengolahan bahan
baku (Hanik, 2002).
12
Gambar 2.4 Teknik Penyadapan
2.4.2.Pengolahan Bahan Baku
a) Produksi Gula Semut yang Dibuat dari Nira Kelapa
Pengolahan gula semut hampir sama dengan pengolahan gula cetak, yakni dalam
hal penyediaan bahan baku nira dan pemasakan sampai nira mengental. Perbedaannya
yakni pada pengolahan gula cetak, nira yang mengental dimasukkan ke wadah cetakan
sampai mengering. Sedangkan pada pengolahan gula semut, saat nira yang dimasak
mengental, panas pemasakkan secara perlahan dikurangi secara bertahap dan pengadukan
dilanjutkan sampai gula mengkristal (Handayani, 2008).
Nira yang telah diperoleh selanjutnya disaring dengan menggunakan kain penyaring
untuk membuang kotoran-kotoran, seperti lebah, daun kering, dan serangga lainnya. Nira
hasil saringan secepatnya dimasukkan ke dalam wajan dan kemudian dimasak sampai
suhu 110-120°C. Perlu diperhatikan, bila nira hasil saringan ditunda memasaknya, maka
nira tersebut cepat berubah menjadi masam. Pada proses pemanasan dengan suhu tinggi
ini kotoran-kotoran halus akan terapung di permukaan bersama-sama busa nira. Kotoran
tersebut sebaiknya dibuang dengan menggunakan serok. Pada pemanasan ini pula, akan
timbul busa nira yang meluap-luap berwarna kuning hingga cokelat. Untuk menjaga agar
busa nira tidak meluap dari wajan, maka harus selalu diaduk dan ditambahkan minyak
kelapa (1 sendok minyak kelapa untuk 25 L nira). Semula cairan ini berwarna putih
kekuningan, lambat laun akan jadi tua, dan pada suatu saat buih-buih nira turun. Hal ini
berarti, mendidihnya makin perlahan karena nira sudah mulai pekat (Santoso, 1995).
Pada saat ini harus dihindari terjadinya pemasakan nira yang melewati titik end
point yakni berkisar 110°C. End point merupakan suhu akhir pemasakan, dimana nira
sudah mulai kental dan meletup letup. Penentuan end point diketahui secara visual, yaitu
nira yang dipanaskan akan menggumpal (memadat dan mengeras) dan tidak bercampur
dengan air jika dituang ke dalam air dingin (Pragita, 2010).
Pada pengolahan gula semut, setelah diperoleh nira kental dilanjutkan dengan
solidifikasi (pemadatan) dan granulasi/kristalisasi. Proses solidifikasi dilakukan dengan
cara pendinginan, yakni nira yang telah masak didinginkan dalam wajan sambil diaduk
secara perlahan-lahan, lama pendinginan 10-15 menit. Selanjutnya, proses kristalisasi
(pengkristalan) dilakukan dengan cara pengadukan menggunakan garpu kayu.
Pengadukan dilakukan secara perlahan-lahan, dimulai dari bagian pinggir ke bagian
13
tengah wajan. Bila mulai terbentuk butiran-butiran, pengadukan dipercepat dengan
menggunakan pengaduk kayu yang berbentuk garpu (Mustaufik dan Karseno, 2004).
Gambar 2.5 (a).Proses Pemasakan Nira dengan Tungku, (b).Proses Kristalisasi
Agar kualitas produksi tetap terjaga, perebusan nira sebaiknya menggunakan kayu
bakar berkalori tinggi yang sedikit mengeluarkan asap. Sebab aroma asap dari kayu bakar
akan terserap nira, hingga brown sugar yang dihasilkan akan beraroma asap. Aroma ini
sebenarnya justru akan menambah kualitas gula semut, apabila bahan bakarnya seragam,
yakni hanya satu jenis, misalnya hanya kayu akasia, rambutan, atau nangka. Limbah
pelepah daun, seludang bunga, atau kayu kelapa, aren dan lontar, juga cocok untuk bahan
bakar perebusan nira (Anonim, 2012).
Pemberian rasa dan aroma dilakukan dengan menambahkan bahan tambahan, antara
lain ekstrak jahe, ekstrak daun pandan, ekstrak kayu manis, cengkeh dan rempah-rempah
lainnya. Secara tradisional ekstrak jahe diperoleh dari hasil perasan jahe yang diparut
serta disaring dan diendapkan zat patinya. Untuk setiap 6 L nira diperlukan 400 gr jahe
segar. Pemberian bahan tambahan pada akhir pemasakan agar bahan-bahan tambahan
tersebut dapat menyatu dengan gula kelapa kristal dan tidak hilang dengan pemanasan
yang terlalu lama. Disamping bahan penambah cita rasa, dapat pula ditambahkan iodium
atau vitamin (Mustaufik dan Haryanti, 2006).
b) Produksi Gula Semut Melalui Reprosesing
Setelah bahan baku gula kelapa cetak telah diiris kemudian irisan gula kelapa
tersebut dilarutan dalam air dengan perbandingan 2 : 1 (2 bagian gula kelapa cetak : 1
bagian air), hingga larut. Larutan yang diperoleh, selanjutnya disaring dengan tujuan
untuk memisahkan kotoran dan bahan tambahan misalnya parutan kelapa, dan
14
sebagainya. Penyaringan menggunakan alat yang berupa saringan yang terbuat dari
bambu atau dengan kain saring yang bersih atau juga dengan alat penyaring tepung yang
berukuran 40 mesh (Hanik, 2002).
Tahap selanjutnya adalah proses pemasakan larutan gula. Tahapan ini merupakan
tahapan proses yang sangat menentukan mutu gula yang dihasilkan. Larutan hasil
penyaringan tersebut dimasukkan dalam mesin pengaduk untuk dimasak dan diaduk.
Suhu pemasakan diatur pada 100-110oC. Pemasakan dilakukan hingga mencapai
kekentalan 76o brix atau ditandai dengan mengerasnya larutan gula kelapa pekat tersebut
ketika jika diteteskan kedalam air dingin (20oC) atau terbentuknya helaian-helaian
(benang) gula apabila larutan gula kelapa pekat tersebut diteteskan (Hanik, 2002). Untuk
mendapatkan rasa tertentu dapat ditambahkan bumbu sesuai yang diinginkan, misalkan
ditambah ekstrak jahe atau kencur dan santan. Pemberian bumbu dilakukan dengan cara
dimasukkan kedalam larutan gula pada saat rebusan larutan gula tersebut mengeluarkan
buih. Pemanasan ditingkatkan hingga mencapai end point. Sardjono (1991) mengatakan,
bahwa proses pemasakan harus diakhiri pada saat yang tepat. Jika proses pemasakan
diakhiri sebelum waktunya, maka kadar air dalam gula yang dihasilkan masih tinggi dan
jika terlalu lewat maka gula tersebut cenderung menjadi karamel.
Hasil pemasakan kemudian dituang ke dalam mesin penggaru. Pekatan gula dalam
mesin penggaru dibiarkan atau didinginkan selama 10 menit tanpa diaduk hingga
mencapai suhu 45oC-55oC. Setelah itu dilakukan pengadukan dengan secara perlahan-
lahan dan setelah terjadi pengkristalan maka pengadukan dipercepat sehingga diperoleh
gula berbentuk serbuk (Sardjono, 1991).
2.4.3.Tahap Finishing
a) Produksi Gula Semut yang Dibuat dari Nira Kelapa
Setelah diperoleh serbuk gula (gula semut). Langkah selanjutnya adalah
pengeringan gula semut. Pengeringan dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) pengeringan
dengan sinar matahari selama 3-4 jam dan (2) pengeringan dengan oven dengan suhu
pengeringan 45oC-50oC selama 1,5- 2,0 jam. Untuk keseragaman ukuran butiran,
dilakukan pengayakan I menggunakan ayakan stainless steel ukuran 18-20 mesh . Butiran
gula yang tidak lolos ayakan akan dikeringkan ulang dan dilanjutkan dengan penghalusan
15
butiran. Penghalusan ukuran butiran dengan blender, diikuti dengan pengayakan II. Gula
semut kering dikemas dalam kantong plastik dengan ukuran berat bervariasi,yaitu 250 g,
500 g dan 1000 g (1 kg).
(a) (b)Gambar 2.6 (a). Proses Pengayakan, dan (b). Proses Pengeringan dengan Sinar Matahari
b) Produksi Gula Semut Melalui Reprosesing
Gula semut yang diperoleh dari hasil kristalisasi, selanjutnya diayak dengan
menggunakan ayakan yang mempunyai ukuran 20 mesh sehingga diperoleh ukuran yang
seragam. Hasil ayakan selanjutnya dikeringkan dalam pengering kabinet dengan suhu
50oC selama 60 menit. Produk yang telah kering dikondisikan terlebih dahulu beberapa
saat, baru kemudian dikemas dalam kemasan plastik dengan menggunakan sealer.
Gambar 2.5. Produk Gula Semut Kemasan 250 gr
16
2.5 Kisaran Biaya Produksi dan Harga Jual
Tabel 2.3 Komponen Biaya Pembuatan Gula Semut dengan Bahan Bakar Kayu*
No Komponen Biaya** Jumlah (Rp/th)1 Total Investasi untuk peralatan (biaya tetap) 1.201.8202 Nira kelapa 4.116.0003 Natrium metabisulfit 1.225.0004 Kapur 87.5005 Parutan kelapa 350.0006 Bahan bakar kayu 7.000.000
Total 13.980.320Keterangan : * Diolah dari Daniati, 2005**Dihitung untuk pengolahan 120 liter nira per hari.**Komponen biaya tenaga kerja tidak dihitung karena tenaga kerja adalah
pemilik usaha sendiri sehingga tidak perlu dibayar.
Dari angka-angka di atas tampak bahwa biaya bahan bakar (Rp. 7.000.000/th) ternyata lebih
tinggi dari biaya bahan baku nira (Rp. 4.116.000/th). Bahkan biaya bahan bakar lebih tinggi
dari jumlah seluruh total biaya lainnya. Meskipun data biaya tersebut diambil pada tahun
2005, namun sampai saat ini persentase komponen biaya bahan bakar terhadap biaya lainnya
masih belum berubah.
Harga gula kelapa saat ini Rp 7000,- per Kg. Ongkos produksi gula kelapa tradisional Rp
5000,-/Kg. Penjualan ramai pada hari pasaran, yakni 5 hari sekali. Apabila produk dijual
dalam bentuk gula semut, maka harga jualnya meningkat menjadi sekitar Rp9.000-Rp
10.000,-/Kg(tergantung kualitas). Penjualan dalam bentuk tradisional sering mengalami
kerugian terutama karena kemasan yang tidak baik, yakni gula menjadi lembek karena sifat
higroskopisnya. Harga jual gula kelapa yang sudah menurun kualitasnya
Rp5000-Rp6000,-/Kg, Jika produsen rata-rata memproduksi 150-200 Kg/ 5 hari, rata-rata 30
% produk (45-60 Kg), mengalami penurunan kualitas, maka kerugian maksimum akan Rp
90.000,- sampai Rp 120.000,- per 5 hari, atau Rp 540.000,- sampai Rp 720.000,-/bulan. Oleh
karena itu, lebih menguntungkan bila menjual produk gula kelapa dalam bentuk bubuk atau
gula semut.
17
2.6 Penanganan Limbah Produksi
Pada dasarnya, proses pembuatan gula semut baik yang berasal dari nira kelapa maupun
melalui proses reprosesing tidak menghasilkan limbah yang berbahaya. Limbah padat yang
dihasilkan berupa berupa kotoran-kotoran yang berasal dari nira kelapa segar, seperti
dedaunan kering atau pun serangga. Kotoran-kotoran tersebut kemudian dipisahkan menurut
jenisnya dan dikumpulkan menjadi satu pada tempat sampah. Sisa dedaunan yang masih layak
dapat dikeringkan dan dimanfaatkan sebagai pupuk kompos. Selain itu, limbah cair yang
dihasilkan ketika proses pemasakan nira adalah kotoran-kotoran halus akan terapung di
permukaan bersama-sama busa nira. Kotoran tersebut sebaiknya dibuang dengan
menggunakan serok dan ditampung di tempat sampah khusus. Disamping itu pula, terdapat
limbah gas yang berasal dari asap hasil proses pemasakan nira kelapa. Penanganan yang dapat
dilakukan adalah dengan membuang asap tersebut ke udara melalui cerobong asap yang
terletak di atas atap ruangan tempat dilakukan proses pemasakan nira (Riesti, 2012).
18
BAB III
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan yang telah dipaparkan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Gula semut merupakan produk turunan dari gula kelapa yang berbentuk bubuk, lebih
praktis dikonsumsi, dan lebih tahan lama.
Produksi gula semut menggunakan bahan pengawet alami dan kimia, seperti tatal kayu
nangka, daun sirih, atau kulit buah manggis(alami), dan kapur, natrium metabisulfit
(kimia). Diperlukan juga kelapa parut, kemiri, santan, atau minyak goreng untuk
menekan buih yang meluap ketika pemasakan berlangsung.
Produksi gula semut dapat dilakukan dengan dua cara, yakni melalui pengambilan nira
kelapa secara langsung dan melalui sistem reprosesing (penggunaan gula kelapa
cetak).
Pada prinsipnya proses produksi gula semut meliputi : proses pengambilan nira, atau
pemilihan gula cetak, pemasakan nira, proses kristalisasi, pengayakan, pengeringan,
dan pengemasan.
Limbah padat yang berupa dedaunan kering atau serangga yang berasal dari nira
kelapa segar dipisahkan menurut jenisnya dan dikumpulkan pada tempat sampah.
Limbah gas yang berasal dari asap hasil proses pemasakan nira kelapa dibuang ke
udara melalui cerobong asap yang terletak di atas atap ruangan tempat dilakukan
proses pemasakan nira.
19
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Perkebunan Kelapa : Potensi yang Belum Optimal . Diakses dari http://www.datacon.co.id/Sawit-2011Kelapa.html . Pada tanggal 13 September 2012, pukul 19.30 WITA.
Anonim. 2010. Bermusyawarah dan Berkoordinasi Bagi Perkelapaan Indonesia. Diakses dari http://www.dekindo.com/acara/seminar.php?content=latar. Pada tanggal 14 September 2012, pukul 16.45 WITA
Ardiawan, Arif. 2011.Prospek dan Manfaat Tanaman Kelapa di Indonesia. Diakses dari http://ardiawan-1990.blogspot.com/2011/11/prospek-dan-manfaat-tanaman-kelapa-di.html . Pada tanggal 13 September 19.00 WITA.
Febrianto, Arie. 2011. Mesin dan Peralatan Reprosesing Gula Semut. Diakses dari http://ariefm.lecture.ub.ac.id/2011/11/mesin-dan-peralatan-reprosesing-gula-semut/ .Pada tanggal 17 September 2012, pukul 20.15 WITA.
Handayani, Sri. 2008. Potensi Nira dari Kelapa. Yogyakarta : Tim PPM Jurdik Kimia FMIPA UNY.
Karouw, S. dan Lay Abner. 2006. Nira aren dan Teknik Pengendalian Produk Olahan. Buletin Palma (31) : 116 125.
Lay, Abner, et.al. 2004. Pengembangan Komoditas Aren di daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Aren di Tondano. Hlm. 83-106.
Mustaufik dan Karseno. 2004. Penerapan dan Pengembangan Teknologi Produksi Gula kelapa kristal Berstandar Mutu SNI untuk Meningkatkan Pendapatan Pengrajin Gula Kelapa di Kabupaten Banyumas. Laporan Pengabdian Masyarakat. Program Pengembangan Teknologi Tepat Guna. Jurusan Teknologi Pertanian UNSOED,Purwokerto.
20
Mustaufik dan P. Haryanti. 2006. Evaluasi Mutu Gula Kelapa Kristal yang Dibuat dari Bahan Baku Nira dan Gula Kelapa Cetak. Laporan Penelitian. Peneliti Muda Dikti Jakarta. Jurusan Teknologi Pertanian UNSOED,Purwokerto.
Pragita, Tegar Ega 2010. Evaluasi Keragaman dan Penyimpangan Mutu Gula Kelapa Kristal (Gula Semut) di Kawasan Home Industri Gula Kelapa Kabupaten Banyumas. Skripsi S1 Jurusan Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Jenderal Soedirman.
Purwaningsih, Dyah. 2009. Pemanfaatan Gula Semut Sebagai “Healthy Sweetener”. Didownload dari staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/makalah%2520gula%2520semut.pdf. Pada tanggal 16 Sepetember 2012, pukul 10.15 WITA.
Saloko, Satrijo dan Lalu Iskandar. 2009. Pembuatan Gula Semut Aren Menggunakan Teknik Penguapan Hampa. Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian ISSN 2081-7152 A180. Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Mataram.
Santoso, Budi Hieronymus. 1995. Pembuatan Gula Kelapa. Yogyakarta : Kanisius.
Sardjono dan M.A. Dahlan, 1988. Penelitian Pencegahan Fermentasi pada Penyadapan Nira Aren sebagai Bahan Baku Pembuatan Gula Merah. Warta Industri Hasil Pertanian Bogor Vol. 5 (2) : 55 - 58
Soetanto, E. N. 1998. Membuat Gula Kelapa Kristal (Gula Kelapa Kristal). Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Sri, Dewi. 2010. Gula Semut Cianjur. Diakses dari http://www.gulasemutcianjur.com/. Pada tanggal 16 September 10.15 WITA.
Tjahjaningsih, J., 1996. Evaluasi Daya Simpan dan Prevalensi Berbagai Macam Gula Merah Palma Tradisional dari Beberapa Daerah Potensi Produksi di Karesidenan Banyumas. Laporan Hasil Penelitian. Lembaga Penelitian UNSOED, Purwokerto.
21