Makalah Individu Oral Biology 6

23
MAKALAH INDIVIDU ORAL BIOLOGY 6 PENGARUH AGENESIS TERHADAP MALOKLUSI DISUSUN OLEH : NAMA : PRATIWI RAMADHAN NIM : 04101004054 Dosen Pembimbing : drg. Shanty Chairani, M.Si PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Transcript of Makalah Individu Oral Biology 6

Page 1: Makalah Individu Oral Biology 6

MAKALAH INDIVIDU ORAL BIOLOGY 6

PENGARUH AGENESIS TERHADAP

MALOKLUSI

DISUSUN OLEH :

NAMA : PRATIWI RAMADHAN

NIM : 04101004054

Dosen Pembimbing : drg. Shanty Chairani, M.Si

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2013

Page 2: Makalah Individu Oral Biology 6

PENGARUH AGENESIS TERHADAP

MALOKLUSI GIGI

PENDAHULUAN

ABSTRAK

Agenesi gigi adalah tidak adanya (absen) kongenital dari gigi. Agenesis

merupakan gigi yang benihnya tidak berkembang dengan baik untuk terjadinya

diferensiasi jaringan gigi sehingga tidak erupsi. Hilangnya benih gigi adalah salah satu

ganguan perkembangan gigi yang paling umum terjadi.

Agenesis dapat mempengaruhi baik gigi primer dan permanen. Pada gigi

permanen, molar ketiga merupakan gigi yang paling sering agenisi, kemudian diikuti

oleh gigi I2 RA dan gigi P2 RB. Gigi lain yang juga sering mengalami agenisi adalah

gigi I1 RB dan gigi P2 RA. Agenesi gigi kongenital lebih sering terjadi anak perempuan

daripada anak laki-laki dan lebih sering di mandibula daripada di rahang.

Agenisi gigi permanen adalah tidak adanya perkembangan pada satu atau lebih

elemen gigi permanen karena tidak terbentuknya atau mungkin pula karena tidak

tumbuhnya benih gigi permanen.

Agenisi gigi dapat menyebabkan gangguan pada fungsi dan estetik dentofasial,

berbicara dengan jelas, mengunyah makanan, dapat mempengaruhi perkembangan

emosi dan psikis pasien. Selain itu juga dapat menyebabkan kelainan oklusal

(maloklusi) seperti: posteroclusion, deep oklusi crossbite.

Variasi timbulnya maloklusi tergantung pada banyaknya jumlah gigi yang

agenisi. Seringkali jika satu atau dua gigi yang mengalami agenesis, efeknya minimal

terutama jika terdapat berdesakan (berjejal) pada rahang. Jika beberapa gigi permanen

yang agenisi, susunan gigi menjadi renggang dan gigi yang masih ada menjadi

malposisi.

Makalah ini akan memaparkan beberapa agenesis yang terjadi pada gigi

permanen terhadap timbulnya maloklusi klas I, II dan III Angle.

Keyword: agenesi, gigi permanen , maloklusi klas angle

Page 3: Makalah Individu Oral Biology 6

A. MALOKLUSI

Definisi

Maloklusi adalah kondisi oklusi intercuspal dalam pertumbuhan gigi

diasumsikan sebagai kondisi yang tidak reguler. [9]

Maloklusi adalah oklusi abnormal yang ditandai dengan tidak benarnya

hubungan antar lengkung di setiap bidang spasial atau anomali abnormal dalam posisi

gigi. Maloklusi adalah kondisi oklusi intercuspal dalam pertumbuhan gigi diasumsikan

sebagai kondisi yang tidak reguler. Keadaan ini dikenal dengan istilah maloklusi tetapi

batas antara oklusi normal dengan tidak normal sebenarnya cukup tipis. Maloklusi

sering pula tidak mengganggu fungsi gigi secara signifikan dan termodifikasi

pemakaian gigi. [9]

Maloklusi terjadi pada kondisi-kondisi berikut ini [9] :

1. Ketika ada kebutuhan bagi subjek untuk melakukan posisi postural adaptif dari

mandibula.

2. Jika ada gerak menutup translokasi dari mandibula, dari posisi istirahat atau dari

posisi postural adaptif ke posisi interkuspal.

3. Jika posisi gigi adalah sedemikian rupa sehingga terbentuk mekanisme refleks

yang merugikan selama fungsi pengunyahan dari mandibula.

4. Jika gigi-gigi menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak mulut.

5. Jika ada gigi berjejal atau tidak teratur, yang bias merupakan pemicu bagi

terjadinya penyakit periodontal dan gigi.

6. Jika ada penampilan pribadi yang kurang baik akibat posisi gigi.

7. Jika ada posisi gigi yang menghalangi bicara yang normal.

Etiologi Maloklusi

Secara garis besar, etiologi atau factor penyebab suatu maloklusi dapat

digolongkan dalam 2 faktor, yakni faktor herediter (genetik) dan faktor lokal. [9]

Page 4: Makalah Individu Oral Biology 6

A. Faktor Herediter

Pengaruh herediter dapat bermanifestasi dalam dua hal, antara lain :

1. Ketidaksesuaian ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan maloklusi

berupa gigi berdesakan atau maloklusi berupa diastema. Contohnya : kelainan

gigi seperti kekurangan gigi dan kelebihan gigi.

Kekurangan Jumlah Gigi

Kelainan kekurangan jumlah gigi dapat berupa agenesi atau tidak ada

pembentukan gigi. Apabila gigi sulung agenesi maka gigi permanennya juga

agenesi, tetapi meskipun gigi sulung ada bisa saja gigi permanennya agenesi.

Gigi yang agenesi biasanya adalah gigi yang letaknya lebih ke distal, yang

sering agenesi adalah molar ketiga, premolar kedua, dan insisivus lateral.

Kelebihan Jumlah Gigi

Kelebihan jumlah gigi yang paling sering ditemukan adalah gigi yang terletak

digaris median rahang atas yang biasa disebut mesiodens. Jenis gigi kelebihan

lainnya  adalah yang terletak di sekitar insisivus lateral sehingga ada yang

menyebut laterodens, premolar tambahan bisa sampai dua premolar tambahan

pada satu sisi sehingga pasien mempunyai empat premolar pada satu sisi.

Adanya gigi-geligi kelebihan dapat menyebabkan maloklusi.

2. Ketidaksesuain ukuran, posisi, dan bentuk rahang atas dan rahang bawah yang

menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis. Beberapa dampak yang terjadi

akibat faktor herediter, yaitu:

Disharmoni Dentomaksiler

Disharmoni dentomaksiler adalah suatu keadaan ketidaksesuaian antara

besar gigi dan rahang. Menurut Anggraini (1975) etiologi disharmoni

dentomaksiler adalah factor herediter. Karena tidak adanya harmoni antara

besar gigi dan lengkung gigi maka keadaan klinis yang dapat dilihat adalah

adanya lengkung geligi dengan diastema yang menyeluruh pada lengkung geligi

bila gigi-geligi kecil dan lengkung geligi normal, meskipun hal ini jarang

dijumpai. Keadaanyang sering dijumpai adalah gigi-geligi yang besar pada

lengkung geligi yang normal atau gigi yang normal pada lengkung geligi

yang kecil sehingga menyebabkan letak gigi berdesakan atau crowded.

Meskipun pada disharmoni dentomaksiler didapatkan gigi-geligi berdesakan

Page 5: Makalah Individu Oral Biology 6

tetapi tidak semua gigi yang berdesakan disebabkan karena disharmoni

dentomaksiler. Disharmoni dentomaksiler mempunyai tanda-tanda klinis yang

khas. Maloklusi seperti ini bisa terjadi di rahang atas maupun di rahang bawah.

B. Faktor Lokal

1. Gigi Sulung Tanggal Prematur 

Gigi sulung yang tanggal prematur dapat berdampak pada susunan gigi

permanen. Semakin muda umur pasien pada saat terjadi tanggal premature gigi

desidui, semakin besar akibatnya pada gigi permanen.

2. Persistensi Gigi Sulung

Persistensi gigi sulung atau disebut juga over retained deciduous teeth berarti

gigi sulung yang sudah melewati waktu nya tanggal tetapi tidak tanggal. Perlu

diingat bahwa waktu tanggal gigi sulung sangat bervariasi. Keadaan yang jelas

menunjukkan persistensi gigi sulung adalah apabila gigi permanen pengganti

telah erupsi tetapi gigi sulungnya tidak tanggal. Bila diduga terjadi persistensi

gigi sulung tetapi gigi sulungnya tidak ada di rongga mulut, perlu diketahui

anamnesis pasien, dengan melakukan wawancara medis kepada orang tua pasien

apakah dahulu pernah terdapat gigi yang bertumpuk di regio tersebut.

3. Trauma

Trauma yang mengenai gigi sulung dapat menggeser benih gigi permanen. Bila

terjadi trauma pada saat mahkota gigi permanen sedang terbentuk dapat terjadi

gangguan pembentukan enamel, sedangkan bila mahkota gigi permanen telah

terbentuk dapat terjadi dilaserasi, yaitu akar gigi yang mengalami distorsi

bentuk (biasanya bengkok). Gigi yang mengalami dilaserasi biasanya tidak

dapat mencapai oklusi yang normal bahkan kalau parah tidak dapat dirawat

ortodontik dan tidak ada pilihan lain kecuali dicabut.

4. Kebiasaan Buruk (bad habit)

Suatu kebiasaan yang berdurasi sedikitnya 6 jam sehari, berfrekuensi cukup

tinggi dengan intensitas yang cukup dapat menyebabkan maloklusi. Kebiasaan

mengisap jari atau benda lain dalam waktu yang berkepanjangan dapat

menyebabkan maloklusi. Faktor yang paling berpengaruh adalah durasi atau

lama kebiasaan berlangsung dan frekuensi. Beberapa kebiasan buruk yang dapat

menyebabkan maloklusi, yaitu:

Page 6: Makalah Individu Oral Biology 6

Kebiasaan mengisap jari pada fase geligi sulung tidak mempunyai dampak.

Pada gigi permanen bila kebiasaan tersebut telah berhenti sebelum gigi

permanen erupsi. Bila kebiasaan ini terus berlanjut sampai gigi permanen

erupsi akan terdapat maloklusi dengan tanda-tanda berupa insisivus atas

proklinasi dan terdapat diastema, gigitan terbuka, lengkung atas sempit, serta

retroklinasi insisivus bawah. Maloklusi yang terjadi ditentukan oleh jari

mana yang diisap dan bagaimana pasien meletakkan jarinya pada waktu

mengisap.

Kebiasaan menopang dagu dapat mengakibatkan pertumbuhan mandibula

tidak sempurna, tidak simetrisnya antara tulang rahang kanan dan kiri karena

dalam kebiasaannya hal itu dilakukan pada sebagian sisi saja sehingga hanya

sebagian rahang yang mendapatkan tekanan dan menyebabkan pertumbuhan

rahang yang tidak sempurna.

Kebiasaan mengisap bibir bawah dapat menyebabkan proklinasi insisivus

atas disertai jarak gigit yang bertambah dan retroklinasi insisivus bawah.

Kebiasaan mendorong lidah, sebetulnya bukan merupakan kebiasaan

tetapilebih berupa adaptasi terhadap adanya gigitan terbuka misalnya karena

mengisap jari. Dorongan lidah pada saat menelan tidak lebih besar daripada

yang tidak mendorongkan lidahnya sehingga kurang tepat untuk mengatakan

bahwa gigitan terbuka anterior terjadi karena adanya dorongan lidah pada

saat menelan.

Kebiasaan menggigit kuku juga dapat menyebabkan maloklusi tetapi

biasanya dampaknya hanya pada satu gigi

Klasifikasi maloklusi

Menurut Edward Angle dibagi dalam tiga kelas, yaitu [9]:

1. Klas I angle (Netroklusi)

Pada maloklusi ini patokannya diambil dari hubungan molar pertama atas dengan

molar pertama rahang bawah. Puncak  bonjol mesiobukal  gigi molar pertama rahang

atas berada pada garit bukal (buccal groove) dari molar pertama bawah. Gigi  molar

hubungannya  normal, dengan satu atau  lebih  gigi anterior malposisi. Crowding atau

spacing mungkin  terlihat. Ketidak teraturan gigi paling sering ditemukan di regio

Page 7: Makalah Individu Oral Biology 6

rahang bawah anterior, erupsi bukal dari kaninus atas, rotasi insisif  dan pergeseran gigi

akibat kehilangan gigi. [9]

Bila molar pertama atas atau molar pertama bawah tidak ada, maka kadang-kadang

dilihat dari hubungan kaninus rahang atas dan rahang bawah. [9]

Lima tipe maloklusi angle klas 1 Dewey [9]:

1. Tipe 1 : Gigi anterior berjejal (crowding) dengan kaninus terletak lebih ke labial

(ektopik).

2. Tipe 2 : Gigi anterior terutama pada gigi rahang atas terlihat labioversi atau

protrusif.

3. Tipe 3 : Terdapat gigitan bersilang anterior (crossbite anterior) karena inklinasi

gigi atas ke  palatinal.

4. Tipe 4 : Terdapat gigitan bersilang posterior.

5. Tipe 5 : Gigi posterior mengalami pergeseran ke mesial (mesial drifting).

2. Klas II Angle

Molar pertama atas terletak lebih ke mesial daripada molar pertama bawah atau

puncak bonjol mesiobukal gigi molar  tetap pertama atas letaknya lebih ke anterior

daripada garit bukal (buccal groove) gigi molar tetap pertama bawah. Kelas II ini

mempunyai 2 divisi yang didasarkan atas posisi dari  insisif rahang atas. [9]

Pada maloklusi ini hubungan kaninusnya bervariasi yaitu kaninus bisa terletak

diantara insisif lateral dan kaninus bawah.pada umumnya kelainan ini disbabkan karena

kelainan pada tulang rahang atau maloklusi tipe skeletal. [9]

Page 8: Makalah Individu Oral Biology 6

Menurut Dewey, klas II Angle ini dibagi dalam dua divisi, yaitu:

a. Divisi I : hubungan antara molar pertama bawah dan molar pertama atas

disoklusi dan gigi anterior adalah protusif. Kadang-kadang disebabkan karena

kecilnya rahang bawah sehingga profil pasien terlihat seperti paruh burung. [9]

b. Divisi 2 : hubungan antara molar pertama bawah dan molar pertama atas

disoklusi dan gigi anterior seolah-olah normal tetapi terjadi deep bite dan profil

pasien seolah-olah normal. [9]

3. Klas III Angle (mesioklusi)

Gigi  molar pertama rahang atas terletak lebih  ke  distal dari  gigi molar pertama

bawah atau puncak bonjol mesiobukal gigi  molar pertama rahang atas letaknya lebih

ke  posterior dari garit bukal (buccal groove) gigi molar  pertama  bawah. Sedangkan

kedudukan kaninus biasanya terletak diantara premolar pertama dan kedua bawah. Klas

III ini disebut juga tipe skeletal. [9]

Seperti klas II lainnya, ketidakteraturan gigi mungkin ditemukan pada  kelas III

Angle ini. Ciri khas kelas  III  Angle adalah  gigi insisif rahang atas lebih ke  lingual

daripada gigi insisif rahang bawah. [9]

Page 9: Makalah Individu Oral Biology 6

B. AGENESI GIGI

Definisi

Agenesi gigi adalah tidak adanya (absen) kongenital dari gigi. Agenesis

merupakan gigi yang benihnya tidak berkembang dengan baik untuk terjadinya

diferensiasi jaringan gigi sehingga tidak erupsi. Hilangnya benih gigi adalah salah satu

ganguan perkembangan gigi yang paling umum terjadi. Prevalensinya gigi agenesi

sebesar 2-10%.[1,2,6,8]

Pada dasar jumlah benih gigi yang hilang disebut hipo-, oligo-dan anodontia.

Hipodonsia adalah kurang/ hilangnya satu atau beberapa gigi. Hal ini sering disertai

dengan perkembangan gigi yang tertunda dan kelainan struktural, misalnya taurodontic

atau conical teeth. Oligodontia adalah kurang/ hilangnya lebih dari 4, pendapat lain

mengatakan 6 gigi. Beberapa peneliti membedakan moderat oligodontia –

kurang/hilangnya 6-9 gigi, dan severe oligodontia – kurang/hilangnya lebih dari 10

benih gigi. Anodontia yang mengacu pada kurang/ hilangnya seluruh benih gigi. [1,2,6,8]

Berkurangnya benih gigi dapat muncul sebagai cacat terisolasi atau dapat

disertai dengan patologis sindrom. Oligodontia adalah salah satu gejala di lebih dari 60

perkembangan sindrom, misalnya dalam berbagai bentuk ectodermal dysplasia, Down

syndrome, Laurence-Moon-Biedl-Bardet syndrome, Van der Woude sindrom, Ellis-van

Crevald sindrom. Penundaan dan perubahan urutan erupsi gigi, tidak protusi alveolar

ridge di tempat di mana erupsi gigi harus terjadi, lebar celah antara gigi, beberapa gigi

sulung yang masih bertahan di atas usia 12thn – adalah gejala yang menunjukkan

kemungkinan perkembangan oligodontia. [1,2]

Page 10: Makalah Individu Oral Biology 6

Menurut seorang peneliti, frekuensi dari hipodonsia adalah 1-10% dan 0,1-0,9%

oligodontia. Anodontia terjadi sangat jarang (17 kasus yang dijelaskan selama 50 tahun

terakhir). Jika diamati pada gigi desidui yang hilang (0,4-0,9%), kemungkinan pasti

akan terjadi agenesi pada gigi permanennya.

Agenesis dapat mempengaruhi baik gigi primer dan permanen. Pada gigi

permanen, molar ketiga merupakan gigi yang paling sering agenisi, kemudian diikuti

oleh gigi I2 RA dan gigi P2 RB. Gigi lain yang juga sering mengalami agenisi adalah

gigi I1 RB dan gigi P2 RA. Agenesi gigi kongenital lebih sering terjadi anak perempuan

daripada anak laki-laki dan lebih sering di mandibula daripada di rahang [1,2].

Diagnosis gigi agenesi ditetapkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan

interpretasi radiografi. Untuk melihat ada/ tidaknya seluruh gigi kecuali molar tiga

dapat menggunakan foto panoramik pada pasien usia 4,5 atau 5 tahun.

Etiologi

Ada banyak faktor yang menyebabkan hipodonsia seperti:

1. Perubahan genetik

Hal ini dikonfirmasikan oleh fakta bahwa terjadi hipodonsia lebih sering pada

anak kembar dan bahwa agenesi pada keturunannya. Lebih dari 100 gen

diidentifikasi, mutasi yang menyebabkan peningkatan perkembangan dan

mungkin berkontribusi dalalm agenesi. Gen tersebut adalah MSX1, TGFA,

PAX9, AXIN2, EDA atau EDAR gen.

2. Herediter.

3. Adanya kondisi sistemik seperti rickets, syphilis dan gangguan intra uterine

yang parah juga menyebabkan kerusakan pembentukan benih gigi sehingga gigi

tidak erupsi.

4. Inflamasi atau infeksi lokal,

5. Perubahan evolusi pada gigi geligi (anomali perkembangan simphisis mandibua

yang berpengruh terhadap pembentukan lengkung rahang)

6. Faktor lingkungan seperti iradiasi, trauma, hormonal, tumor, rubella dan

thalidomide.

7. Idiopatik [3,6,8]

Page 11: Makalah Individu Oral Biology 6

Agenesi gigi congenital sering terjadi dengan bibir sumbing dan langit-langit.

Ada bukti yang menghubungkan celah dan beberapa sindrom turun-temurun, misalnya

Wolf-Hirschhorn sindrom, Williams sindrom dengan agenesi gigi dengan mutasi dari

salah satu gen (MSX1) [2].

Agenisi Gigi Permanen

Agenisi gigi permanen adalah tidak adanya perkembangan pada satu atau lebih

elemen gigi permanen karena tidak terbentuknya atau mungkin pula karena tidak

tumbuhnya benih gigi permanen. Agenisi gigi permanen dapat berupa oligodonsia, yaitu

ditandai dengan tidak adanya beberapa gigi -geligi, dan anodonsia, yaitu tidak adanya

seluruh gigi–geligi. [1]

Istilah anodonsia parsial seringkali digunakan sebagai sinonim oligodonsia.

Hipodonsia digunakan untuk mengindikasikan kesatuan yang lebih kompleks, yang

tidak hanya meliputi kelainan pada jumlah, ukuran, dan bentuk gigi, namun juga

abnormalitas pada keseluruhan perkembangan gigi dan waktu erupsinya

(Vastardis,2000). Agenisi satu atau lebih elemen gigi merupakan anomali

perkembangan gigi yang paling sering terjadi pada manusia. [1,2]

Jika hanya ada satu atau beberapa elemen gigi yang mengalami agenisi, maka

gigi yang agenisi tersebut merupakan gigi yang paling distal dari tipe gigi manapun.

Jika gigi molar yang agenisi, maka hampir selalu gigi molar ketiga. Jika gigi insisif

yang agenisi, kondisi ini hampir selalu pada gigi insisif kedua, sedangkan jika pada gigi

premolar, hampir selalu pada gigi premolar kedua daripada yang pertama (Proffit dkk,

2007). Lebih lanjut dikatakan bahwa agenisi paling sering terjadi pada gigi molar

ketiga, gigi insisif kedua permanen rahang atas, gigi premolar rahang bawah, dan gigi

premolar kedua rahang atas, sementara gigi yang lain jarang mengalami agenisi .

Agenisi gigi insisif pertama permanen rahang bawah seringkali tidak diperhatikan .

(Gambar 1) (Frazier dkk, 2003). [1]

Page 12: Makalah Individu Oral Biology 6

Akibat Agenisi Gigi Permanen

Agenisi gigi menyebabkan kurangnya stimulasi untuk perkembangan rahang dan

akan terlihat seperti pada keadaan kehilangan gigi akibat pencabutan. Agenisi bisa

mengubah oklusi dan posisi gigi melalui kelainan terhadap bentuk gigi, posisi gigi dan

pertumbuhan rahang. [1]

Kelainan pada bentuk gigi terlihat pada gigi insisif dan gigi kaninus yang

berbentuk konus, tonjolan abnormal pada gigi premolar dan gigi molar, serta berbagai

bentuk malformasi lain. Malformasi bisa terjadi walaupun hanya ada satu gigi yang

agenisi. Kadang–kadang memiliki gigi yang lengkap tetapi terdapat malformasi dan ada

riwayat agenisi dalam keluarga. [1]

Efek agenisi tergantung pada banyaknya jumlah gigi yang agenisi. Seringkali

hanya satu atau dua gigi sehingga efeknya minimal terutama jika terdapat berdesakan

pada rahang. Jika beberapa gigi permanen agenisi, susunan gigi menjadi renggang dan

gigi yang masih ada menjadi malposisi. [1]

Agenesi secara kongenital dapat menyebabkan terjadinya celah di antara gigi,

tongue thrust, inklinasi atau lokasi gigi sebelahnya menjadi tilting, selain itu juga

menimbulkan masalah estetik terutama bila kehilangan gigi insisif lateral. Agenesi yang

sporadik diamati pada gigi taring dan biasanya merupakan cacat terisolasi. Yang paling

sering kasus agenesi diamati pada pasien dengan displasia ektodermal.

C. Pengaruh Agenesi terhadap Maloklusi

Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya maloklusi, salah satunya

adalah agenisi. Agenisi gigi dapat menyebabkan gangguan pada fungsi dan estetik

dentofasial, berbicara dengan jelas, mengunyah makanan, selain itu dapat

mempengaruhi perkembangan emosi dan psikis pasien. Pasien memiliki fitur wajah

yang kecil, alur labial-chin yang dalam, bibir atas yang lemah dan ukuran rahang

menurun. Hal ini disertai dengan kelainan oklusal seperti: posteroclusion, deep oklusi

crossbite. [2]

Dalam penanganannya, pasien memerlukan perawatan yang rumit. Keparahan

gangguan ini tergantung pada jumlah dan tipe gigi yang mengalami agenisi (Jimenez

dkk, 2005). Mayoritas dari penderita agenisi berniat untuk menjalani perawatan

ortodonsi karena agenisi menyebabkan maloklusi dan penampilan wajah yang secara

Page 13: Makalah Individu Oral Biology 6

sosial tidak dapat diterima (Vastardis, 2000). Perawatan ortodonsi untuk kelainan

jumlah gigi tidak dapat dianggap sama bagi setiap kasus. Ada banyak variasi kelainan

jumlah gigi, oleh karena itu harus dilakukan pertimbangan terhadap faktor seperti

macam kelainan, lokasi kelainan, kondisi jaringan lunak dan jaringan keras, dan

kesehatan serta kebersihan rongga mulut. Faktor lain yang juga harus dipertimbangkan

adalah manfaat estetik dan fungsi pada akhir perawatan. [1,2]

Telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu penyebab maloklusi adalah

agenesi. Variasi timbulnya maloklusi tergantung pada banyaknya jumlah gigi yang

agenisi. Seringkali jika satu atau dua gigi yangmengalami agenesis, efeknya minimal

terutama jika terdapat berdesakan (berjejal) pada rahang. Jika beberapa gigi permanen

yang agenisi, susunan gigi menjadi renggang dan gigi yang masih ada menjadi

malposisi. [3]

Tipe maloklusi yang timbul pada agenesi gigi permanen

Berdasarkan beberapa jurnal mengenai agenesi gigi yang mempengaruhi

timbulnya klasifikasi maloklusi, didapat data sebagai berikut:

a. Maloklusi klas I

- Dapat dilihat pada laporan kasus agenesis I2 RA, menujukkan berkurangnya

overjet dan overbite, pasien diindikasi cenderung open bite dan cross bite

pada region anterior. Lengkung RA triangular dan atresic, terdapat jaak

antara region anterior. Pada lengkung RB sempit dan mengikuti bentuk RA

yang ditandai inklinasi lingual dan crowding pada region anterior

manibulanya. [7]

b. Maloklusi klas II divisi 1

- Pada agenesi I2 RA yang terjadi pada sisi bilateral pada semua sampel

pasien [4]

- Agenesi gigi termasuk M3 yang diobservasi menunjukkan pengaruh yang

sama pada laki-laki dan perempuan. [4]

c. Maloklusi Klas II divisi 2

- Agenesi I2 RA unilateral dan bilateral (paling sering terjadi) yang

didiagnosis menggunakan ortopanthomogram dan riwayat gigi pasien. [6]

- Agenesis M3 yang terjadi pada satu atau beberapa gigi yang didiagnosis

menggunakan radiographi lateral [6]

Page 14: Makalah Individu Oral Biology 6

d. Maloklusi Klas III

- Pada sebuah penelitian disebutkan, agenesi pada I2 RA kejadian terjadinya

pada unilateral dan bilateral hampir sama [4]

- Dalam sebuah penelitian, agenesi gigi termasuk M3, distribusi maloklusi

klas III antara laki-laki dan perempuan hampir sama. [4]

- I2 terkadang dihubungkan dengan maloklusi ini (Endo et al, 2004; Endo et

al, 2006b) [6]

Page 15: Makalah Individu Oral Biology 6

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusdiana, Elly dkk. PERAWATAN ORTODONSI PADA PROBLEMA AGENISI

GIGI PERMANEN. Bagian ortodonsi Universitas Airlangga

2. Błaszczak, Maria Mielnik et al. 2012. Reviews Tooth Agenesi – a Review of

Literature and Own Case Studies. Dent. Med. Probl. 2012, 49, 2, 293–298 ISSN

1644-387X

3. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia [internet] .2009.

Penatalaksanaan kasus maloklusi sengan agenesis insisivus lateral dan

premolar dua rahang bawah pada periode gigi bercampur. Indonesian Journal

of Dentistry 2009; 16 (1):18-24 ISSN 1693-9697. [cited: http//www.fkg.ui.edu]

4. Basdra, Efthimia K, et al. 2001. Congenital tooth anomalies and malocclusions:

a genetic link?. European journal of orthodontics 23 (2001) 145-151

5. Nagaveni, N. B, et al. 2009. Congenital bilateral agenesi of permanen

mandibular incisors: case reports and literature review. Archive of orofacial

sciences (2009), 4 (2): 41-46

6. Basdra, Efthimia K, et al. 2000. The class II division 2 craniofacial type is

associated with numerous congnital tooth anomalies. European journal of

orthodontics 22 (2000) 529-535

7. Franco, Fernanda Catharino Menezes. 2011. BBO Case Report: Angle class 1

malocclusion and agenesis of lateral incisors. Dental Press J Orthodontic. 2011

Jul-Aug;16(4): 137-147

8. Vataidis, Heleni. 2000. Original article : the genetics of human tooth agenesis :

new discoveries for understanding dental anomalies. Newyork: American

Association of Ortodontics

9. BAB II TINJAUAN PUTAKA[internet]. [diakses : 17 maret 2013]. Available

from http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/127470-R22-PH-177-Hubungan

%20perilaku-Literatur.pdf