Makalah Imun Biologi Transfusi

44
MAKALAH IMUNOLOGI Biologi Transfusi dan Reaksi Imun Oleh : Rudy Manibui David Tantry Pembimbing : Prof.Dr.Ny.Hj.E A Datau, SpPD-KAI PENDIDIKAN DASAR PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-I FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Transcript of Makalah Imun Biologi Transfusi

Page 1: Makalah Imun Biologi Transfusi

MAKALAH IMUNOLOGI

Biologi Transfusi dan Reaksi Imun

Oleh :Rudy ManibuiDavid Tantry

Pembimbing :Prof.Dr.Ny.Hj.E A Datau, SpPD-KAI

PENDIDIKAN DASARPROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-I

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO2011

Page 2: Makalah Imun Biologi Transfusi

BAB I PENDAHULUAN

Prosedur transfusi darah sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu.

Pengetahuan mengenai transfusi darah mulai berkembang sejak adanya teori sirkulasi darah

oleh dokter William Harvey pada tahun 1613. Sejak saat itu berbagai praktik transfusi darah

antar hewan mulai dicobakan. Namun pencobaan transfusi ke manusia selalu menemui hasil

yang fatal. Transfusi darah ke manusia pertama kali dilakukan oleh dr. Jean-Baptiste Denis,

dokter Raja Perancis Louis XIV, yang melakukan transfusi darah domba ke seorang anak 15

tahun yang sedang sakit pada tahun 1667.

Transfusi darah saat ini memegang peranan dalam terapi. . Transfusi pertama kali

dilakukan 200 tahun yang lalu oleh James Blundell pada tahun 1818. transfusi darah telah

banyak mengalami perbaikan. Transfusi telah menjadi metode medis yang mampu

menyelamatkan nyawa banyak orang.

Namun transfusi dapat pula menjadi pintu masuk utama transmisi berbagai penyakit,

seperti transmisi HIV, HBV, HCV, dan malaria. Infeksi melalui transfusi menjadi masalah di

semua negara, namun di negara-negara berkembang masalah ini terlihat lebih dominan.

Pada sebuah studi di India, 15% dari transmisi HIV didapatkan melalui transfusi oleh karena

metode screening yang kurang memadai mengingat mahalnya biaya pemeriksaan. Berbagai

rekomendasi coba untuk diterapkan, diantaranya dengan screening donor yang lebih ketat,

aplikasi rapid test untuk HIV, penggunaan transfusi hanya untuk kasus-kasus yang benar-

benar membutuhkan, penggunaan transfusi autolog, dan upaya penggalangan donasi.2,3

Seiring dengan menurunnya angka kejadian transmisi penyakit pada pemberian transfusi

alogenik, masalah lain muncul ke permukaan akibat terjadinya aloimunisasi dari transfusi,

salah satunya berupa transfusion-related acute lung injury (TRALI), pula masalah hemolytic

transfusion reaction (HTRs), dan sepsis yang mulai mendominasi risiko transfusi alogenik.

Sejak tahun 2004, berbagai upaya untuk pencegahan TRALI dan sepsis telah dilakukan,

namun belum cukup berhasil. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan metode

leukodeplesi yang ditengarai mampu mengurangi angka kematian akibat reaksi transfusi.4,5

Page 3: Makalah Imun Biologi Transfusi

Pada makalah ini akan dibicarakan mengenai faktor imunologi transfusi, berbagai bentuk

sediaan darah, reaksi transfusi, dan tatalaksana masing-masing reaksi transfusi yang timbul

berikut pencegahannya. Hal tersebut penting untuk membentuk pengertian yang holistik

mengenai transfusi, sehingga transfusi dapat dilaksanakan aman.

Page 4: Makalah Imun Biologi Transfusi

BAB II BIOLOGI TRANSFUSI DAN REAKSI IMUN

2.1. Definisi dan Indikasi Transfusi

Transfusi merupakan salah satu bentuk transplantasi dimana seluruh atau sebagian komponen darah

seseorang (donor) diberikan kepada orang lain (resipien). Transfusi dilakukan untuk

mempertahankan kemampuan darah membawa oksigen ke jaringan, mencegah deplesi cairan, dan

juga untuk mencegah terjadinya perdarahan akibat kekurangan satu atau beberapa komponen

darah. 6

Transfusi berdasarkan sumber darah donor dibedakan menjadi dua:6

1. Allotransfusi atau darah berasal dari orang lain.

2. Autotransfusi atau darah berasal dari resipien sendiri. Lebih lanjut mengenai hal ini akan

dibicarakan pada bab selanjutnya.

Indikasi transfusi darah adalah6:

a. Penggantian volume darah karena kehilangan darah akut.

b. Kekurangan eritrosit.

c. Kekurangan trombosit.

d. Kekurangan leukosit (jarang dilakukan).

e. Defisiensi faktor koagulasi.

f. Perioperatif dan critical care.

g. Transfusi tukar.

h. Sickle cell disease dan talasemia.

2.2. Biologi Darah

Darah adalah jaringan khusus yang mengandung sejumlah tipe sel hidup yang melayang pada cairan

yang disebut plasma. Darah terdiri atas plasma (90% air dan 10% zat terlarut) dan sisanya berupa sel

– sel darah, yaitu:7,8

1. Eritrosit ( sel darah merah, merupakan komponen sel darah yang paling banyak) dengan

masa hidup 4 bulan sebelum didaur ulang di limpa.

2. Leukosit ( termasuk neutrofil, eosinofil, basofil, monosit, limfosit B dan limfosit T). Masa

hidup leukosit adalah sekitar bervariasi 18 – 36 jam sampai satu tahun.

3. Trombosit, masa hidupnya 9 – 10 hari. 1,2

Page 5: Makalah Imun Biologi Transfusi

Plasma – cairan dalam darah yang mengandung garam, glukosa, asam amino, vitamin, urea, protein, dan lipid

Sel leukosit / buffy coat – berperan pada sistem imun

Trombosit – berperan pada pembekuan darah

Eritrosit – berperan pada transport oksigen

Gambar 1. Komposisi darah

Tabel 1. Beberapa zat yang penting yang ada di dalam darah. 1

Zat TempatKeterangan

Oksigen Eritrosit Ditransportkan dari paru-paru ke seluruh sel untuk

respirasi

Karbon dioksida Plasma Ditransportkan dari seluruh sel menuju paru-paru untuk

ekskresi

Protein (contohnya albumin) Plasma Persediaan asam amino

Faktor pembekuan darah Plasma Minimal 13 zat yang berbeda (terutama protein) yang

dibutuhkan untuk membuat pembekuan darah.

Antigen dan antibody Plasma Bagian sistem imun

Bakteri dan virus Plasma

Bila darah diambil melalui pungsi vena dan dibiarkan membentuk bekuan darah, bekuan

darah tersebut secara perlahan akan mengkerut dan mengeluarkan cairan jernih yang disebut

serum, yaitu plasma darah tanpa mengandung fibrinogen dan faktor pembekuan. 7

Pada permukaan eritrosit ditemukan beberapa ratus antigen golongan darah, namun tidak

semuanya penting secara klinis karena adanya ekspresi yang lemah, polimorfisme yang rendah, dan

imunogenisitasnya lemah. Beberapa antigen yang penting karena antibodi terhadapnya akan

mengurangi masa hidup sel yang mengandung antigen tersebut.8

Page 6: Makalah Imun Biologi Transfusi

2.3. Sistem Penggolongan Darah

2.3.1. Sistem Penggolongan Darah ABO

Sistem penggolongan darah yang pertama dikenal pada tahun 1900 adalah sistem ABO sebagai

penggolongan terpenting dalam transfusi. Penggolongan darah dari sistem ini adalah A, B, AB, dan O.

Pembagian ini didasarkan atas ada tidaknya antigen pada permukaan sel darah merah. Antigen-

antigen tersebut adalah molekul karbohidrat yang melekat pada rangka precursor, dapat ditemukan

pada membran sel sebagai glikosfingolipid atau glikoprotein, dan disekresi ke dalam plasma dan

cairan tubuh sebagai glikoprotein. Substansi H adalah precursor intermediate dimana antigen A dan

B ditambahkan. Substansi H ini dibentuk melalui penambahan fukosa ke glikolipid atau rangka

glikoprotein. Penambahan selanjutnya N-asetilgalaktosamin menciptakan antigen A, sedangkan

penambahan galaktosa menghasilkan antigen B.6

Gambar 2. Struktur kimia dari antigen A, B, dan H pada permukaan sel.

Gen yang menentukan fenotip A dan B ditemukan pada kromosom 9p dan diekspresikan

melalui prilaku Mendel. Produk gen ini adalah glikosil transferase, yang memiliki kemampuan untuk

melekat pada antigen karbohidrat yang spesifik. Individu yang tidak memiliki transferase A dan B,

secara fenotip menghasilkan tipe O, sedangkan yang memiliki keduanya adalah tipe AB. Sedikit

indvidu tidak memiliki gen H, yang mengkode fukosa transferase dan tidak dapat membentuk

substansi H. Individu demikian adalah homozigot untuk alel h (hh) dan memiliki fenotip Oh atau

fenotip Bombay.6,7

Page 7: Makalah Imun Biologi Transfusi

Sistem penggolongan darah ABO adalah penting karena semua individu membentuk

antibody terhadap karbodirat ABH yang tidak mereka miliki. Anti-A dan anti-B yang terbentuk secara

alami dikenal dengan isoaglutinin. Demikian, individu dengan tipe A membentuk anti-B, dan individu

tipe B membentuk anti-A. Kedua isoaglutinin ini tidak ditemukan pada individu dengan tipe AB, oleh

karenanya individu dengan tipe ini dikenal dengan resipien universal karena mereka tidak memiliki

antibody terhadap fenotip ABO. Sedangkan individu dengan tipe O dapat menjadi donor untuk

semua penerima darah, karena mereka tidak memiliki antigen A dan B sehingga tidak dapat dikenal

oleh isoaglutinin. Pada fenotip Bombay, mereka memproduksi antibody terhadap substansi H (yang

ada pada semua SDM kecuali mereka dengan fenotip hh), sehingga hanya cocok dengan donor dari

individu dengan fenotip serupa.7,8

Alel orang tua

A B O

A AA AB AO

Gambar 3. Sistem Penggolongan Darah ABO

Page 8: Makalah Imun Biologi Transfusi

(A) (AB) (A)

BAB

(AB)BB(B)

BO(B)

OAO(A)

BO(B)

OO(O)

Tabel 4. Penurunan Mendelian3

Baik alel A dan B bersifat dominant terhadap O. Individu yang memiliki genotipe AO akan

memiliki fenotipe A, dan individu yang memiliki fenotipe O memiliki genotipe OO. Sedangkan alel A

dan B kodominan, sehingga bila individu memiliki genotipe AB maka individu tersebut juga memiliki

fenotipe yang sama dan tes aglutinasi akan menunjukkan individu tersebut memiliki kedua

karakteristik golongan darah A dan B.8

2.3.2. Sistem Penggolongan Darah Rhesus (Rh)

Sistem Rh adalah penggolongan darah ke-2 terpenting pada tes pretransfusi. Antigen Rh ditemukan

pada 30-32-kDa membrane SDM dan tidak memiliki fungsi yang jelas. Meskipun lebih dari 40 antigen

berbeda telah ditemukan pada sistem Rh, namun hanya 5 diantaranya yang penting dalam

penentuan fenotip. Keberadaan antigen D menandakan Rh positif, sedangkan individu dengan

sedikit antigen D dinyatakan sebagai Rh negative. Pasangan alel antigen, E/e dan C/c juga ditemukan

pada protein Rh. Tiga gen tersebut, E/e, D, dan C/c tersusun secara tandem pada kromosom 1 dan

diwariskan secara haplotype, seperti cDE atau Cde. Dua buah haplotype dapat menghasilkan

ekspresi fenotip pada 2 dari 5 antigen Rh. Ekspresinya gen tersebut terdapat pada sel eritroid dan

megakariosit awal.6,7

Antigen D adalah alloantigen yang poten. Sekitar 15% individu tidak memiliki antigen ini.

Pajanan sel Rh positif pada individu dengan Rh negatif bahkan untuk kadar yang sangat minimal

sekalipun, seperti pada transfusi dan kehamilan, dapat berakibat pada dihasilkannya aloantibodi

anti-D.6

Tabel . Antigen dan Sistem Penggolongan Darah

Antigen SystemFrequency Among All

Detected Alloantibodies

Frequency of Antigen(Whites)

Frequency of Antigen(Blacks)

Potency*

E Rh 16-40% 30% 2% 4%Kell (Kl) Kell 5-40% 9% 3% 9%

Page 9: Makalah Imun Biologi Transfusi

D Rh 8-33% 85% 92% 70%c Rh 4-15% 80% 99% 4%Jk(a) Kidd 2-13% 77% 91% 0.14%Fy(a) Duffy 4-12% 63% 10% 0.46%C Rh 2-10% 70% 32% 0.22%e Rh 2-3% 98% 98% 1%Jk(b) Kidd 2% 72% 43% 0.06%S MNSs 1-2% 55% 31% 0.08%s MNSs <1% 89% 97% 0.06%*Persentase antigen-negative recipients yang terinduksi aloimunisasi jika ditransfusi dengan unit yang mengandung antigen.

2.3.3. Sistem penggolongan darah lainnya dan aloantibodi.

Lebih dari 100 penggolongan darah telah diketahui, mencapkup lebih dari 500 antigen. Keberadaan

atau ketiadaan antigen tertentu telah diasosiasikan dengan berbagai macam penyakit dan kelainan;

antigen juga berperan sebagai reseptor untuk agen infeksius.7

Antibodi terhadap sistem Lewis, antigen karbohidrat adalah penyebab utama inkompabilitas

pretransfusi. Produk dari gen Lewis ini adalah transferase fukosil yang dikode pada kromosom 19.

Antigen ini bukan merupakan bagian integral dari membrane sel, namun diadsorbsi dari plasma ke

membrane SDM. Antibodi terhadap antigen ini biasanya Ig M dan tidak dapat melalui plasenta.

Antigen Lewis dapat diadsorbsi ke sel tumor dan menjadi target untuk terapi.8

Sistem antigen I juga merupakan oligosakarida yang berhubungan dengan H, A, B, dan Le. I

dan I bukan merupakan pasangan alel, tetapi merupakan antigen karbohidrat yang hanya berbeda

pada kepanjangan cabangnya. Antigen I adalah rantai yang tidak bercabang, yang diubah oleh

produk gen I, glikosiltransferase, menjadi rantai yang bercabang. Proses percabangan ini

mempengaruhi semua antigen ABH, yang menjadi lebih bercabgan pada 2 tahun pertama

kehidupan. Beberapa pasien dengan cold agglutinin disease atau limfoma dapat memproduksi anti-I

autoantibody yang menyebabkan pengrusakan SDM. Beberapa pasien dengan infeksi mononucleosis

atau Mycoplasma pneumonia dapat mengalami cold agglutinins, baik anti-I atau anti-i spesifik.

Kebanyakan orang dewasa tidak memiliki ekspresi i, demikian, menemukan donor untuk pasien

dengan anti-i tidaklah sulit. Meskipun kebanyakan dewasa mengekspresikan antigen I, ikatan sangat

jarang terjadi pada suhu tubuh, sehingga pemberian darah dengan suhu yang hangat dapat

mencegah isoaglutinasi.6

Page 10: Makalah Imun Biologi Transfusi

Sistem P adalah bentuk penggolongan darah yang lain dengan antigen karbohidrat yang

dikendalikan oleh glikosiltransferase yang spesifik. Kepentingan klinisnya ditemukan pada kasus-

kasus yang jarang, seperti sifilis dan infeksi virus yang menyebabkan paroxysmal cold

hemoglobinuria. Pada kasus-kasus ini, autoantibody P diproduksi sehingga berikatan dengan SDM

dalam keadaan dingin dan memfiksasi komplen pada keadaan hangat. Antibodi dengan kondisi

bifasik ini dikenal dengan Donath-Landsteiner antibodies. Antigen P adlaah reseptor selular dari

parvovirus B19 dan mungkin pula merupakan reseptor untuk E. coli yang melekat pada sel urotelial.6

Sistem MNSsU diregulasi oleh kromosom 4. M dan N adalah determinan pada glikoforin A,

protein membrane SDM, sedangkan S dan s adalah determinan pada glikoforin B. Antibodi Ig G anti-

S dan anti-s dapat muncul setelah kehamilan atau transfuse dan berujung pada hemolisis. Antibodi

anti-U jarang ditemukan, namun banyak menimbulkan masalah; dimana hampir semua orang

inkompatibel karena mengekspresikan U.6,9,10

Protein Kell sangat besar (720 asam amino) dan struktur sekundernya mengandung banyak

epitop antigen. Imunogenisitas antigen ini berada di urutan ke-3 setelah ABO dan Rh. Ketiadaan

precursor protein Kell (diatur oleh gen dalam kromosom X) berhubungan akantositosis,

berkurangnya usia SDM, dan bentuk distrofi muscular yang progresif yang mencakup pula defek

jantung. Kondisi jarang ini disebut dengan fenotip McLeod. Gen Kx dihubungkan dengan komponen

91 kDa NADPH oksidase pada kromosm X, delesi atau mutasi gen ini tercatat sebanyak 60% kasus

dengan chronic granulomatous disease.6,10

Antigen Duffy adalah alel kodominan, Fya dan Fyb, yang juga berperan sebagai reseptor

terhadap Plasmodium vivax. Lebih dari 70% penduduk di area endemis tidak memiliki antigen ini,

kemungkinan karena pengaruh selektif dari infeksi pada populasi.6,10

Antigen Kidd, Jka dan Jkb , dapat menginduksi terbentuknya antibody sementara. Delayed

hemolytic transfusion reaction (DHTR) yang terjadi dengan darah kompatibel dengan tes, seringkali

berhungan dengan kemunculan lambat dari anti-Jka.6,10

Sebelum darah diberikan kepada resipien, dilakukan dulu serangkaian prosedur untuk

memeriksa kompatibilitas darah donor dengan darah resipien untuk memastikan sedapat mungkin

menekan terjadinya reaksi transfusi pada pasien serta eritrosit dapat mencapai masa hidup

maksimum setelah diberikan.6

2.4. Tes Kompabilitas Pratransfusi

Page 11: Makalah Imun Biologi Transfusi

Tes kompabilitas pratransfusi dari resipien mencakup tipe dan pemilahan. Tipe forward menentukan

fenotip ABO dan Rh dari SDM resipien dengan menggunakan antisera yang ditujukan untuk antigen

A,B, dan D. Tipe reverse mendeteksi isoaglutinin pada serum pasien dan harus berhubungan dengan

fenotip ABO atau tipe forward.6,7

Pemilahan aloantibodi mengidentifikasi antibodi terhadap antigen SDM lain. Pemilahan

aloantibodi dilakukan dengan mencampur serum pasien dengan SDM tipe O yang mengandung

antigen mayor dari kebanyakan sistem penggolongan darah dimana fenotip diketahui. Spesifisitas

dari aloantibodi diktehui dengan menghubungkan keberadaan atau ketiadaan dari antigen yang

menghasilkan aglutinasi.6

Cross-matching dilakukan ketika dikteahui adanya kemungkinan yang besar bahwa pasien

membutuhkan transfusi packed red blood cell (PRBC). Darah diseleksi untuk cross-matching harus

ABO kompatibel dan baru dapat ditransfusikan apabila tidak memiliki antigen dimana pasien

memiliki aloantibodi. Hasil non-reaktif mengkonfirmasi ketiadaan inkompatibilitas mayor dan

menyimpan unit darah tersebut untuk digunakan.6

Pada kasus pasien dengan Rh negatif, segala usaha harus dilakukan untuk mendapatkan

komponen darah Rh negatif untuk menghindari aloimunisasi terhadap antigen D. Pada kasus

kegawatan, darah Rh-positif dapat diberikan secara aman pada pasien Rh-negatif yang tidak memiliki

anti D, tetapi resipien sangat mungkin menjadi alloimmunized dan memproduksi anti-D. Wanita Rh-

negatif yang telah melahirkan dan harus menerima komponen darah dengan Rh-positif harus

diberikan imunisasi pasif dengan anti-D (RhoGam atau WinRho) untuk mereduksi atau mencegah

sensitisasi.6

Secara ringkas, tes kompatibilitas yang biasa dilakukan adalah:6,11

o Memeriksa catatan pasien : golongan darah, riwayat dan alasan transfusi darah bila ada.

o Melakukan penggolongan darah ABO pada sampel darah pasien.

o Melakukan penggolongan darah Rh pada sampel darah pasien.

o Melakukan uji kecocokan terakhir :

Major matching : mencocokkan serum pasien dengan eritrosit donor.

Minor matching : mencocokkan eritrosit pasien dengan serum donor.

o Pemeriksaan DAT dan IAT

DAT/ Direct Antiglobulin Test

Page 12: Makalah Imun Biologi Transfusi

Mendeteksi antibodi atau komplemen yang menyelubungi permukaan eritrosit. Sebelum

dilakukan tes eritrosit dicuci dengan garam fisiologis untuk menghilangkan antibodi dan

komplemen yang tidak terikat, kemudian ditambahkan AHG (anti human serum globulin).

Bila pada eritrosit terdapat antibodi, kaki Fab dari AHG berikatan pada kakai Fc antibodi

yang terikat pada eritrosit.

IAT/ Indirect Antiglobulin Test

Mendeteksi antibodi pada serum. Serum atau plasma yang diperiksa diinkubasi dengan

eritrosit sehingga bila ada antibodi maka akan berikatan dengan eritrosit. Eritrosit kemudian

dicuci untuk menyingkirkan globulin yang tidak terikat kemudian ditambahkan AHG. Bila

terjadi aglutinasi berarti terdapat antibodi terhadap antigen eritrosit.

Gambar 5. Direct Antiglobulin Test Gambar 6. Indirect Antiglobulin Test

Uji kecocokan ini dilakukan untuk memastikan tidak ditemuinya antibodi dalam darah pasien yang akan beraksi dengan donor.

2.5. Komponen-komponen Darah pada Transfusi

Produk darah yang dimaksudkan untuk transfusi diperoleh secara rutin sebagai whole blood (WB)

sebanyak 450 ml dengan antikoagulan yang bervariasi. Kebanyakan darah yang didonorkan diproses

menjadi komponen: PRBC, trombosit, dan fresh-frozen plasma (FFP) atau cryoprecipitate (CP). WB

pertama kali dipisahkan menjadi PRBC dan plasma kaya trombosit dengan sentrifugasi lambat.

Plasma kaya platelet kemudian disentrifugasi cepat untuk menghasilkan satu unit trombosit random

donor (RD) dan satu unit FFP. CP diproduksi dengan mencairkan FFP untuk mempresipitasi protein

plasma, dan kemudian dipisahkan dengan sentrifugasi.6,9

Teknologi aferesis digunakan untuk pengumpulan multipel unit trombosit dari donor

tunggal. Single donor apheresis platelets (SDAP) menghasilkan jumlah yang setara dengan 6 unit

trombosit RD dan memiliki kontaminasi leukosit yang lebih sedikit daripada platelet RD.6

Page 13: Makalah Imun Biologi Transfusi

Plasma juga dapat dikumpulkan dengan aferesis. Turunan plasma seperti albumin,

intravenous immunoglobulin, antitrombin, dan konsentrat faktor koagulasi dihasilkan dari pooled

plasma dari banyak donor dan diberikan intervensi untuk menghilangkan agen infeksius.6

Gambar 7. Komponen Whole blood.8

1. Whole Blood

Whole blood merupakan darah secara keseluruhan yang mengandung plasma dan sel secara

lengkap, biasanya digunakan untuk pasien yang kehilangan banyak darah (>25%) dan diberikan

untuk memperbaiki volume darah dan memberikan kapasitas transport oksigen bila komponen

darah yang lain tidak tersedia. Untuk mempertahankan viabilitas eritrosit, whole blood disimpan

pada suhu 4°C, namun terjadi disfungsi trombosit dan degradasi beberapa faktor koagulasi.

Dengan berjalannya waktu kandungan 2,3-BPG semakin menurun yang membuat afinitas

hemoglobin terhadap oksigen dan kemampuan untuk mentransport oksigen menurun.6,9

Whole blood jarang diberikan kepada pasien karena banyak komponen yang terbuang dan

pada kondisi tertentu berbahaya bila memberikan komponen darah yang tidak diperlukan. Dan

juga jarang terdapat karena biasanya dibagi menjadi komponen-komponennya.6,9

2. Packed Red Blood Cells (PRBCs)

Page 14: Makalah Imun Biologi Transfusi

Produk ini meningkatkan kapasitas peningkatan oksigen pada pasien anemia. Oksigenasi

yang adekuat dapat dipertahankan dengan kadar Hb 7 g/dL pada pasien dengan normovolemik

tanpa penyakit jantung; tetapi faktor komorbid seringkali menyebabkan dibutuhkannya transfusi

pada kadar Hb yang lebih tinggi. Keputusan untuk melakukan transfuse harus disesuaikan

dengan situasi klinis dan bukan semata karena nilai laboratorium. Pada critical care setting,

penggunaan bebas transfuse untuk mempertahankan kadar Hb mendekati normal, dapat

memiliki efek negative pada kelangsungan hidup. Kebanyakan pasien yang membutuhkan

transfuse, target 10 g/dL biasanya cukup untuk menjaga masukan oksigen.9

PRBC dapat dimodifikasi untuk mencegah adverse reaction tertentu. Reduksi leukosit dari

produk sel darah saat ini sering dilakukan dan direkomendasikan. Filtrasi sebelum penyimpanan

lebih menguntungkan dari filtrasi sebelum komponen sel darah digunakan oleh karena lebih

kecilnya kadar sitokin yang dihasilkan. Unit PRBC mengandung kurang dari 5 x 106 sel darah putih

donor, dan penggunaan reduksi leukosit ini mampu mengurangi kejadian demam posttransfusi,

infeksi sitomegalovirus, dan aloimunisasi. Keuntungan lainnya berupa berkurangnya supresi

imun pada resispen dan rendahnya risiko infeksi. Plasma, yang dapat menimbulkan reaksi alergi,

dapat disingkirkan dari komponen darah dengan pencucian.9

Satu unit PRC mengandung sekitar 200 mL eritrosit, 100 mL cairan aditif dan setara dengan

30 mL plasma. Masa hidupnya tergantung pada zat aditif dan antikoagulan yang digunakan,

biasanya sekitar 42 hari. PRC harus disimpan pada suhu 1 - 6°C. Transfusi 1 unit PRC dapat

meningkatkan 1 g/dL dan hematokrit 2-3% pada orang dewasa dengan berat 70 kg. Komponen

darah ini dapat diberikan pada pasien anemia, gagal ginjal, keganasan, dan perdarahan

gastrointestinal.10 Keputusan pemberian transfusi sebaiknya berdasarkan situasi klinis dan

bukannya nilai laboratorik semata.9

3. Trombosit

Komponen ini berperan pada proses pembekuan darah. Komponen ini digunakan untuk

mencegah perdarahan masif pada trauma, dalam kondisi trombositopenia, dan pada pasien

dengan fungsi trombosit yang abnormal.9

Trombosit yang didapat dari seorang donor dikemas dalam 200-400 mL plasma dan

mengandung minimal 3.0 x 1011 trombosit atau setara dengan trombosit yang diperoleh dari 6-8

Page 15: Makalah Imun Biologi Transfusi

whole blood dan merupakan dosis yang adekuat untuk ukuran dewasa. TC dapat bertahan

selama 5-7 hari pada suhu penyimpanan 20-24°C.9

Pada pasien trombositopenia tanpa disertai peningkatan konsumsi trombosit (splenomegali,

demam, DIC), transfusi 6 – 8 unit trombosit (sekitar 1 unit per 10 kg BB) diharapkan dapat

meningkatkan jumlah trombosit 5000 – 10.000 /μL. Batas profilaksis perdarahan pada pasien

trombositopenia yang digunakan adalah 10.000/ μL dan pada pasien tanpa demam atau infeksi

dan 5000/ μL . Untuk pasien yang akan menjalani prosedur invasif digunakan batas 50.000/

μL.9,10

Pasien yang memperoleh transfusi berulang mungkin telah membentuk antibodi terhadap

HLA dan antigen trombosit sehingga peningkatan jumlah trombosit pascatransfusi tidak seperti

yang diharapkan. Untuk mengurangi risiko ini sebaiknya komponen trombosit melalui prosedur

tertentu untuk mengurangi kandungan leukositnya.9

4. Fresh Frozen Plasma (FFP)

FFP mengandung faktor koagulasi dan protein plasma : fibrinogen, antitrombin, albumin,

dan juga protein C dan S. FFP merupakan komponen aselular dan tidak menularkan infeksi

intraselular. Pasien yang mempunyai defisiensi IgA sebaiknya menerima FFP dari donor dengan

kondisi yang sama. Indikasi penggunaan FFP adalah koreksi koagulopati, memasok kekurangan

protein plasma, dan terapi thrombotic thrombosytopenic purpura (TTP). 9,10

Masa kadaluarsa komponen ini adalah 365 hari dan harus ditransfusikan dalam waktu 24

jam setelah dicairkan. FFP harus disimpan pada suhu ≤ -18°C sedangkan plasma yang telah

dicairkan harus disimpan dalam suhu 1-6°C. 9,10

Transfusi FFP diberikan untuk meningkatkan kandungan faktor pembekuan pada pasien yang

mengalami defisiensi. Tiap unit FFP meningkatkan kandungan faktor pembekuan 2-3% pada

orang dewasa. 9,10

5. Cryoprecipitate

Kriopresipitat adalah sumber fibrinogen (≥150 mg), faktor VIII (≥80 IU), faktor von

Willebrand (vWF), faktor XIII dan fibronektin. Tiap cryo mengandung 15 mL plasma. Masa

kadaluarsa komponen ini adalah 365 hari dan harus ditransfusikan dalam waktu 4 jam setelah

dicairkan. Kriopresipitat harus disimpan pada suhu ≤ -18°C sedangkan plasma yang telah

dicairkan harus disimpan dalam suhu ruangan. 9,10

Page 16: Makalah Imun Biologi Transfusi

6. Granulosit

Granulosit yang diperoleh melalui proses aferesis digunakan untuk pasien neutropenia

(<200/μL) dan yang terdeteksi terancam oleh infeksi bakteri atau jamur yang tidak respon

terhadap antibiotik. Juga dapat diberikan pada neonatus yang mengalami sepsis dan pasien

dengan infeksi yang memiliki defek pada fungsi neutrofil.10 Masa hidup granulosit adalah 24 jam

dan disimpan pada suhu 20-24°C.10

7. Komponen darah yang dimodifikasi6,9

a. Komponen leukosit dikurangi

b. Diradiasi

c. Washed

8. Fraksi plasma6,9

a. Albumin

b. Fraksi plasma protein

c. Gamma globulin

d. Derifat faktor pembekuan

2.6. Aloimunisasi dari transfusi

2.6.1. Manifestasi Klinis Aloimunisasi Transfusi

Transfusi darah alogenik adalah salah satu bentuk transplantasi temporer. Prosedur ini mengenalkan

tubuh terhadap beragam antigen asing dan sel hidup ke dalam tubuh resipien yang ada dalam jangka

waktu tertentu. Seorang resipien yang imunokompeten seringkali membentuk respon imun

terhadap antigen donor dan menghasilkan beragam konsekuensi klinis, bergantung pada sel darah

dan antigen spesifik yang terlibat. Antigen yang biasanya terlibat diklasifikasikan dalam kategori

berikut:6,10

1. Human leukocyte antigens (HLAs) kelas I pada leukosit dan trombosit dan kelas II pada

sebagian kecil leukosit.

2. Granulocyte specific antigens (GSA)

3. Platelet specific antigens (HPA)

4. RBC-specific antigens.

Manifestasi klinis yang dapat timbul adalah sebagai berikut:10

Page 17: Makalah Imun Biologi Transfusi

1. Aloimunisasi terhadap Sel darah merah

a. Reaksi transfuse hemolitik akut intravascular (biasanya disebabkan karena antibody

ABO, jarang karena aloimunisasi).

b. Delayed hemolytic transfusion reaction (DHTR) (hemolisis disebabkan oleh

aloantibodi terhadap SDM sedikitnya 24 jam setelah transfuse).

c. Hemolytic disease of the newborn/hydrop fetalis (HF) (aloimunisasi ibu terhadap

antigen fetus, diinduksi oleh kehamilan sebelumnya).

2. Aloimunisasi terhadap trombosit (HPA atau HLA kelas I)

a. Refractoriness to platelet transfusion (RPT) (peningkatan jumlah trombosit setelah

transfuse trombosit yang lebih rendah secara bermakna dari harapan <kurang dari

30% dari prediksi setelah 10-60 menit atau kurang dari 20% pada 18-24 jam>)

b. Purpura post transfusi (trombositopenia setelah transfusi SDM atau produk yang

mengandung trombosit, berhubungan dengan aloantibodi terhadap trombosit).

c. Neonatal alloimmune thrombocytopenia (aloimunisasi ibu terhadap antigen fetus,

diinduksi oleh kehamilan sebelumnya).

3. Aloimunisasi terhadap granulosit (GSA atau HLA)

4. Refractoriness to granulocyte transfusion

a. Febrile nonhemolytic transfusion reaction

b. Transfusion-related acute lung injury (TRALI) (reaksi transfuse dimana antibody HLA

donor bereaksi terhadap antigen resipien).

5. Transplant rejection

a. Aloimunisasi terhadap antigen HLA.

b. Aloimunisasi terhadap antigen sel darah (pada transplantasi sumsum tulang).

Lebih lanjut mengenai masing-masing manifestasi aloimunisasi tersebut dapat dilihat pada

bagian reaksi transfusi.

2.6.2. Patofisiologi aloimunisasi transfusi

Mekanisme utama terjadinya aloimunisasi terhadap antigen yang ada pada sel yang ditransfusi

melibatkan pemajanan dari donor antigen presenting cells (APCs), seperti monosit, makrofag, sel

dendritik, dan sel B ke sel T resipien. Pengenalan alloantigen HLA kelas I oleh sel T CD4+ resipien dan

aktivasi imun berikutnya memerlukan ko-stimulasi dari APCs donor atau resipien. Aloimunisasi oleh

non-leukoreduced trombosit melibatkan peran antigen HLA donor dan APCs donor fungsional.

Turunan TH2 dari T Helper CD4+ mensekresi interleukin (IL)-4, IL-5, IL-6, dan IL-10, mengaktifkan sel B

dan memulai respon antibody.10

Page 18: Makalah Imun Biologi Transfusi

Leucoreduction trombosit secara signifikan mampu mengeliminir APCs donor, tetapi 20%

dari pasien masih mengalami aloimunisasi. Hal ini terjadi akibat keterlibatan alloantigen-presenting

recipient APCs yang mengenali alloantigen dan aktivasi sel T resipien. Proses ini juga melibatkan

pengenalan awal alloantigen oleh natural killer cell (sel NK) yang mensekresi interferon gama yang

berperan dalam aktivasi sel TH2 CD4+.10

Setelah aktivasi awal dan pembentukan respon imun primer, sel T menjadi sel memori. Sel T

memori tidak lagi memerlukan ko-stimulasi untuk mengaktivasi respon imun. Demikian, donor SDM,

trombosit, dan APCs yang tidak teraktivasi dapat mengindukti restimulasi dari respon imun. Transfusi

darah (terutama melalui turunan TH2) dapat pula menekat respon imun pejamu dan mengiduksi

toleransi terhadap antigen donor. Mekanisme imunosupresi lain melibatkan pula stimulasi dari sel T

supresor CD8+ yang dapat mengenali alloantigen HLA kelas I di trombosit dan juga APCs donor.

Imunisasi primer dengan transfusi menggambarkan keseimbangan terhadap ekspansi klonal dan

mekanisme toleransi. Respon sekunder bergantung pada restimulasi dari sel memori. Imunisasi

berulang seringkali menghasilkan ekspansi klonal yang menetap dan produksi antibody yang

signifikan.10

2.7. Reaksi Transfusi

aat ini transfusi darah sudah menjadi jauh lebih aman, namun masih terdapat beberapa efek

samping yang tetap terjadi meskipun dari pemeriksaan sebelumnya dinyatakan bahwa darah

tersebut cocok. Efek samping ini dibagi menjadi 11-15

2.7.1. Reaksi imunologi akut

Page 19: Makalah Imun Biologi Transfusi

Transfusi komponen darah dapat menstimulasi imunologi dan efek lain pada pasien. Terdapat

beberapa efek imuniologis dan efek lainnya termasuk stimulasi aloantibodi terhadap antigen

plasma sel dan protein plasma, transfer pasif antibodi terhadap antigen yang sama, transfer

pasif sel efektor imun (limfosit), dan transmisi agen infeksius yang mempengaruhi sistem imun

(contohnya HIV). Reaksi antigen-antibodi menyebabkan berbagai peristiwa yang dimediasi

imun, termasuk hemolisis, reaksi alergi, dan anafilaksis. Transfusi juga dapat menimbulkan

imunosupresi, meskipun mekanismenya masih kontroversial.10-15

Kecepatan pembersihan eritrosit yang ditransfusikan pada pasien dipengaruhi faktor

humoral, yaitu isoantibodi dan alloantibody atau karena kombinasi mekanisme imun humoral

dan selular. Meskipun faktor yang mempengaruhi proses ini kompleks, kecepatan pembersihan

eritrosit yang ditransfusikan dapat diperkirakan dengan pengetahuan tentang antigen yang

terlibat. Beberapa faktor yang menentukan kecepatan bersihan eritrosit dari sirkulasi pada

respon alloimun meliputi :15

Konsentrasi antibodi dalam plasma

Rentang suhu tertentu di mana antibodi bekerja secara efektif

Klas dan subklas antibodi

Densitas antigen eritrosit

Karakteristik biokimia antigen eritrosit

Aktivasi komplemen

Interaktivitas makrofag

Jumlah eritrosit inkompatibel yang ditransfusikan

Adanya komponen komplemen plasma

a. Immediate Hemolytic Transfusion Reactions/ Reaksi Hemolitik Intravascular

Penyebab yang paling sering adalah inkompatibilitas ABO. Reaksi ini terjadi karena

terbentuknya kompleks antigen yang mengaktifasi komplemen (reaksi hipersensitifitas

tipe 2). Dalam hal ini antibodui resepien (IgM) berikatan dengan antigen eritrosit donor

dan mengaktifkan komplemen dan membentuk membrane attack complex (C5-C9) dan

melisiskan eritrosit donor.. Aktivasi dan fiksasi komplemen menyebabkan destruksi

eritrosit dan melepaskan agen vasoaktif (C5a) dan materi prokoagulan, sejumlah besar

kompleks imun dibentuk.

Page 20: Makalah Imun Biologi Transfusi

Gambar 9. Kaskade Komplemen11

Gambar 8. Reaksi antibodi-antigen-aktifasi komplemen

Bila didapati gejala reaksi hemolitik (sianosis, tekanan substernal, nyeri abdomen,

hipotensi, perdarahan, hemoglobinuria, dan oliguria) maka transfusi harus segera

dihentikan, pasien diberikan cairan dan diuresis (dengan furosemid atau manitol). Pada

pasien tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar LDH, bilirubin indirek, PT, aPTT,

fibrinogen dan jumlah trombosit. Mayoritas reaksi hemolitik ini disebabkan kesalahan

pada label dan salah mengidentifikasi darah atau pasien.8,10

Page 21: Makalah Imun Biologi Transfusi

Gambar 10. Reaksi Hemolitik akut

b. Febril non haemolitic reaction / Demam tanpa hemolisis sel darah merah

Disebabkan oleh reaksi antara HLA sel darah putih donor bereaksi dengan antibody

resipien. Reaksi ini ditandai dengan demam dan menggigil disertai dengan peningkatan

suhu ≥1°C. Diagnosa ditegakkan bila semua kemungkinan demam pada pasien sudah

disingkirkan. Mekanismenya mungkin disebabkan oleh terbentuknya antibodi terhadap

leukosit dan antigen HLA . Pasien dengan riwayat transfusi berulang mempunyai risiko

yang lebih tinggi. Pencegahannya adalah penggunaan filter leukoreduksi pada

komponen darah. Insidennya dapat dikurangi dengan memberikan premedikasi

antipiretik.15

c. Reaksi alergi

Reaksi hipersensitivitas ini timbul karena adanya reaksi antibody terhadap komponen

protein plasma donor. Gejala yang timbul berupa timbulnya urtikaria. Reaksi ringan

dapat diatasi dengan menghentikan transfusi sementara dan memberikan antihistamin

(difenhidramin 50 mg oral ataupun intramuskular). Pencegahan dengan premedikasi

antihistamin diberikan pada pasien dengan riwayat alergi pada transfusi sebelumnya dan

diberikan komponen darah yang telah dicuci.6,15 Reaksi ini biasanya tidak bersifat fatal.

d. Reaksi anafilaktik

Page 22: Makalah Imun Biologi Transfusi

Treaksi alergi yang hebat dapat terjadi pada resipien dengan defisiensi IgA sehingga

individu dengan defisiensi IgA sebaiknya menerima plasma dengan kondisi yang sama

atau komponen darah yang sudah dicuci. Gejalanya meliputi sesak, batuk, mual dan

muntah, hipotensi, bronkospasme, kehilangan kesadaran, gagal napas, dan syok. Bila

terjadi reaksi ini transfusi harus segera dihentikan dan pasien diberikan epinefrin. Pada

kasus berat diperlukan pemberian steroid.6,15

e. Transfusion-related acute lung injury

Reaksi ini disebabkan karena antibody donor bereaksi dengan granulosit resepien atau

sebaliknya. Terjadi bila pada plasma donor mengandung antibodi anti-HLA dalam titer

yang tinggi yang menyebabkan agregasi leukosit pada pembuluh darah pulmoner dan

melepaskan mediator vasodilatasi.4 Pada pasien timbul gejala demam, menggigil, batuk

kering, sesak, dan hipotensi 4-6 jam setelah transfusi. Ada foto roentgen thoraks

ditemukan edema pulmoner nonkardiogenik dan infiltrat interstisial bilateral.4 Terapinya

suportif dan prognosisnya bonam, pasien biasanya sembuh.6,15

2.7.2. Reaksi imunologi lambat

a. Delayed Hemolytic Transfusion Reactions/ Reaksi Hemolitik Ekstravaskular

Diperantarai oleh IgG yang diproduksi setelah paparan terhadap sel darah merah donor

melalui transfusi sebelumnya atau dalam kehamilan. Paling sering terjadi pada sistem

Rhesus dan beberapa antigen seperti Kell, Kidd, dan Duffy. Reaksi ini timbul 3-10 hari

sesudah transfusi. IgG dan komplemen yang berikatan dengan membran eritrosit donor

berikatan dengan reseptor spesifik pada makrofag dan kemudian difagositosis atau

dihancurkan oleh sel NK.10

Gejala yang timbul adalah demam, menggigil, nyeri punggung, pinggang, atau nyeri

abdomen. Pada pemeriksaan laboratorium terjdapat hemoglobinemia, hemoglobinuria,

hiperbilirubinemia, peningkatan LDH, dan pemeriksaan DAT positif.10

b. Hemolytic Disease of the Newborn

Gambar 11. Penghancuran eritrosit oleh NK sel

Page 23: Makalah Imun Biologi Transfusi

Inkompatibilitas antara ibu dan janin terjadi bila ibu memiliki Rh negatif sedangkan ayah

memiliki Rh positif, sehingga dapat dipastikan bahwa janin memiliki Rh positif. 6,7,8

Gambar 12. Pola penurunan Rhesus

Antibodi ibu dapat melewati plasenta dan menghancurkan sel darah merah.

Risikonya meningkat seiring dengan jumlah kehamilan. Pada populasi Eropa sekitar 13%

bayi mempunyai risiko terjadinya HDN. Jumlah ini dapat diturunkan dengan pencegahan.

Pada kehamilan pertama biasanya tidak ada masalah inkompatibilitas. Namun kehamilan

selanjutnya dapat mengalami masalah yang cukup fatal, risiko ini meningkat pada tiap

kelahiran. 6

Nutrisi dan antibodi ibu masuk melalui sawar darah plasenta ke fetus. Pada

kehamilan pertama biasanya tidak ada antibodi anti Rh+ kecuali ibu pernah kontak

dengan darah Rh+. Pada saat kelahiran terjadi rupture plasenta sehingga beberapa

eritrosit janin masuk ke dalam sistem sirkulasi ibu dan menstimulasi terbentuknya

antibodi terhadap antigen darah Rh+. 6,7

Pada kehamilan selanjutnya terjadi transfer antibodi, termasuk antibodi anti Rh+

yang bereaksi dengan darah fetus dan menyebabkan banyak eritrosit aglutinasi dan lisis.

Pada neonatus terjadi anemia yang dapat mengancam kelangsungan hidup karena

kurangnya oksigen dalam darah. Bayi tersebut biasanya ikterik, demam, edema,

Gambar 13. Inkompatibilitas ibu dan janin

Page 24: Makalah Imun Biologi Transfusi

terdapat hepatomegali dan splenomegali. Kondisi ini disebut eritroblastosis fetalis.

Terapi standarnya adalah memberikan transfusi tukar darah Rh+ sesegera mungkin

kepada bayi untuk menghilangkan antibodi anti Rh+.6 Antibodi anti-Rh juga dapat

diproduksi pada individu Rh- karena menerima transfusi yang tidak sesuai. 7,8,15

Inkompatibilitas antara ibu-janin dapat disebabkan golongan darah ABO namun

sangat jarang terjadi, kurang dari 1% kelahiran, dan biasanya gejalanya tidak berat.

Biasanya terjadi bila ibu dengan golongan darah O memiliki janin dengan golongan darah

A, B, atau AB. Gejala biasanya bayi ikterik, anemia ringan, dan peningkatan kadar

bilirubin.6

c. Destruksi trombosit

Mayoritas disebabkan oleh antibodi terhadap HLA pada leukosit dan beberapa kasus

disebabkan oleh antigen trombosit spesifik. Reaksi ini dapat dicegah dengan

penggunaan filter leukoreduksi. 10,15

Reaksi yang timbul berupa purpura pascatransfusi yang terjadi 5-12 hari setelah

transfusi. Mekanismenya masih belum dimengerti. Biasanya terjadi pada wanita yang

telah terimunisasi sewaktu hamil. Biasanya kondisi ini akam membaik dalam waktu 1

minggu – 1 bulan tanpa terapi. Pada kasus yang berat terapi yang efektif adalah

plasmaferesis dan gamma globulin.15

d. Graft-versus-Host Disease (GVHD)

GVHD adalah komplikasi yang sering dari transplantasi allogenic stem cell, dimana

limfosit dari donor menyerang dan tidak dapat dieliminasi oleh pejamu dalam kondisi

imunodefisien. Transfusion-related GVHD dimediasi oleh T limfosit donor yang

mengenali antigen HLA pejamu sebagai benda asing dan mencetuskan respon imun yang

bermanifestasi secara klinis melalui demam, erupsi kulit, diare, dan abnormalitas fungsi

hati. GVHD dapat pula terjadi ketika komponen darah yang mengandung T limfosit yang

viable ditransfusikan ke resipen imunodefisien. GVHD dikarakterisasi dengan aplasia

sumsum dan pansitopenia yang resisten terhadap terapi imunosupresi. Reaksi ini dapat

dicegah dengan iradiasi komponen selular (minimum 2500 cGy) sebelum transfuse ke

pasien 6,11-15

e. Purpura Posttransfusi

Page 25: Makalah Imun Biologi Transfusi

Reaksi ini terjadi setelah 7-10 hari transfuse trombosit dan terjadi pada umumnya pada

wanita. Antibody spesifik trombosit ditemukan pada serum resipien dan kebanyakan

antigen dikenal sebagai HPA-1a ditemukan pada reseptor trombosit glikoprotein IIIa.

Trombositopenia lambat ini dikarenakan oleh produksi antibody yang bereaksi baik ke

trombosit donor maupun resipien. Penambahan transfuse trombosit dapat

memperburuk trombositopenia dan harus dihindari. Perawatan dengan dengan

immunoglobulin intravena dapat menetralisir antibody efektor atau plasmaferesis dapat

digunakan untuk menyingkirkan antibody.6,15

2.7.3. Reaksi non imunologi akut

a. Kontaminasi produk darah dengan bakteri

Reaksi ini bersifat akut dan tidak diperantarai reaksi imunitas. Terjadi karena

kontaminasi produk transfuse dengan bakteri Yersinia enterocolitica atau Serratia

liquifaciens. Reaksi timbul secara cepat berupa demam, mual,muntah, shock, sepsis gagal

ginjal karena endotoxin. Transfusi segera dihentikan dan diberikan antibiotik yang sesuai.

b. Circulatory Overload

Terjadi bila trnsfusi diberikan terlalu cepat, sehingga terjadi kalebihan cairan terutama

transfuse pada kasus-kasus gagal ginjal kronik dan pasien jantung. 6

2.7.4. Reaksi non imunologi lambat 9

Toksisitas elektrolit

Kebocoran SDM selama penyimpanan meningkatkan konsentrasi kalium dalam unit.

Neonatus dan pasien dengan gagal ginjal memiliki risiko untuk hiperkalemia.

Pencegahan dilakukan dengan menggunakan SDM yang segar atau washed SDM

merupakan keharusan untuk transfuse neonates karena komplikasi dapat berakibat

fatal.6,13

Sitrat yang biasa digunakan sebagai antikoagulasi dapat pula mengkelasi kalsium dan

demikian menginhibisi jalur koagulasi. Hipokalsemia menyebabkan rasa baal pada

sirkumoral atau sensasi geli pada jari tangan dan ibu jari kaki, dapat disebabkan oleh

karena transfusi cepat multipel. Oleh karena sitrat cepat dimetabolisme menjadi

Page 26: Makalah Imun Biologi Transfusi

bikarbonat, infuse kalsium jarang diperlukan. Kalaupun diperlukan, maka kalsium

harus diberikan pada jalur infus yang berbeda.14

Reaksi hipotensi

Hipotensi sementara dapat ditemukan pada pasien yang menerima transfuse yang

juga mengkonsumsi penghambat ACE. Hal ini terjadi oelh karena beberapa produk

darah mengandung bradikinin yang secara normal didegradasi oleh ACE, sehingga

kadar bradikinin dapat meningkat. Biasanya keadaan ini akan kembali ke normal

dengan sendirinya.6

Imunomodulasi

Transfusi darah alogenik memiliki efek imunosupresif. Transfusi multipel pada

pasien dengan transplantasi ginjal memiliki kecenderungan penolakan graft yang

lebih kecil, dan transfuse dapat menghasilkan keluaran yang kurang baik pada pasien

kanker dan meningkatkan risiko infeksi. Transfusi komponen leukosit diduga

berperanan pada hal ini. Produk reduksi leukosit dapat mengurangi efek

imunosupresif ini.6

Overload Fe

Setiap unit PRBC mengandung 200-250 mg besi. Gejala dan tanda overload besi yang

mempengaruhi endokrin, fungsi hepar dan jantung timbul setelah transfusi 100 unit

PRC dengan total besi mencapai 20 g di dalam tubuh. Pada kasus demikian,

penggunaan pengobatan alternatif dengan eritropoetin dan pembatasan transfusi

sangat bermanfaat. Deferoxamin dan berbagai agen kelasi tersedia, namun respon

klinis seringkali sub-optimal.6

2.8. Tatalaksana Reaksi Transfusi

Page 27: Makalah Imun Biologi Transfusi

Gambar 14. Alur Tatalaksana Reaksi Transfusi

2.9. Transfusion Transmitted Disease (TTD)

2.9.1. Etiologi TTD

Transfusi dapat diikuti infeksi berbagai mikroorganisme, hanya sebagian dapat dideteksi dengan

metode skrining yang ada. Mikroorganisme yang didapati dalam komponen darah yaitu:16

o Virus :

Virus Hepatitis C, Virus Hepatitis B, Virus Hepatitis G, HIV , Cytomegalo virus, Human T

lymphotrophic virus, Parvovirus B-19.

o Bakteri : sifilis

o Parasit : malaria

Saat ini seluruh darah donor di PMI di Indonesia diperiksa virus hepatitis C, antigen virus

hepatitis B, HIV, dan sifilis.5,9

Tabel 5. Infeksi Menular Melalui Transfusi5

Infeksi Risiko/ Unit Transfusi

Hepatitis C 1 : 103.000

Page 28: Makalah Imun Biologi Transfusi

Hepatitis B 1 : 63.000

HTLV-I/ II 1 : 640.000

HIV-1 1 : 675.000

2.9.2. Pencegahan TTD

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi angka kejadian TTD melalui inaktivasi agen

infeksius melalui pengolahan komponen darah melalui metode inaktivasi, Metode inaktivasi yang

diinginkan adalah metode yang paling sedikit mempengaruhi fungsi dari komponen darah yang akan

ditransfusi dan efektif melawan agen infeksius. Beberapa metode akan diuraikan di bawah ini:16

1. Solvent detergent method

Metode ini digunakan untuk mengganggu membrane lipid virus tanpa mempengaruhi

kebanyakan plasma protein, kecuali protein S. Di samping itu, metode ini juga efektif dalam

menghancurkan virus HIV, HTLV, EBV, HBV, dan HCV, tetapi tidak efektif terhadap HAV dan

parvovirus. Metode ini digunakan pada sediaan faktor koagulasi.

2. Metilen biru

Metilen biru adalah zat pewarna elemen selular. Ketika terkena cahaya, zat ini menjadi aktif dan

mengganggu membran sel dimana ia melekat. Metode ini telah digunakan secara luas di Eropa

untuk menginaktivasi virus. Keterbatasan dari metode ini mencakup ketidakefektivan terhadap

pathogen intraselular dan berinteraksi dengan faktor koagulasi. Di samping itu, metilen blue juga

dapat memberikan pewarnaan pada kulit resipien yang menerima produk transfusi dalam

jumlah yang besar. Filter untuk zat ini telah tersedia untuk mengurangi efek samping tersebut.

3. Psoralen sintetis

Amotosafen, salah satu bentuk agen psoralen sintetis, beraksi setelah terpapar dengan sinar UV

untuk membentuk ikatan silang pada rantai asam nukleat dan menghentikan replikasi patogen.

Metode ini mampu mengeradikasi seluruh agen patogen, namun memiliki kekurangan karena

berpengaruh pada aktivitas trombosit.

4. Riboflavin

Riboflavin atau vitamin B2 digunakan untuk menginaktivasi patogen pada trombosit dan plasma

dan telah disetujui penggunaannya di Eropa. Riboflavin berikatan dengan DNA dan RNA untuk

membentuk ikatan silang ketika terfotoaktivasi.

5. Leukodeplesi

Page 29: Makalah Imun Biologi Transfusi

Beberapa agen infeksius diketahui tersembunyi pada komponen leukosit, dengan demikian

transmisi patogen tersebut dapat dikurangi dengan deplesi leukosit, salah satunya adalah virus

CMV yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada penerima transplantasi dan

pasien kanker yang imunokompromais.

2.10. Alternatif Transfusi Darah Alogenik

Oleh karena banyaknya risiko yang dihadapi terhadap komponen transfuse, maka alternatif lain yang

lebih aman terus dikembangkan. Metode operatif juga kian mengalami perkembangan untuk

mengurangi kehilangan darah pada saat operasi. Di samping itu, beberapa metode juga telah

dikembangkan, yaitu:18,19

1. Autologous (acute) normovolemic hemodilution

Teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan darah pasien (2-4 unit) ke dalam kantong darah

dengan antikoagulan di awal operasi, bersamaan dengan penggantian cairan dengan

kristaloid atau koloid untuk mempertahankan normovolemia. WB pasien kemudian dapat

ditransfusikan kembali apabila diperlukan. Metode ini masih banyak menimbulkan

kontroversi, namun memiliki manfaat untuk keamanan transfuse dan telah menjadi

prosedur rutin di negara-negara maju.18

2. Preoperative autologous donation

Secara umum, metode ini dapat membatasi komplikasi infeksi, imunologi, dan hemolisis dari

transfusi dari alogenik. Meskipun diterima oleh pasien dan banyak dokter bedah, metode ini

memiliki beberapa kerugian, mencakup ketidaknyamanan pasien dan biaya yang lebih besar

untuk memproses darah. Dari penelitian diketahui bahwa sepertiga dari darah tersebut juga

tidak digunakan. Pasien juga seringkali jatuh dalam keadaan anemia ketika operasi akan

dilakukan, sehingga meningkatkan kemungkinan diperlukannya transfuse. Komplikasi

imunologi seperti TRALI juga masih mungkin terjadi akibat proses penyimpanan.18

3. Intraoperative autotransfusion/cell salvage

Teknik ini memberikan keuntungan yang besar untuk mencegah transfusi darah alogenik.

Darah dari lapangan operasi dikumpulkan dan diberikan antikoagulan. Kemudian darah ini

dikonstrasikan dan dicuci atau difiltrasi, dan dikembalikan ke pasien melalui transfusi

autolog. Kontaminan berbahaya, seperti kalium, lemak, dan hemoglobin bebas disingkirkan

dan darah yang telah dicuci dikembalikan melalui filter darah 40 mikro meter.

Kontra indikasi prosedur ini adalah tercemarnya lapangan operasi oleh agen

infeksius, keganasan, operasi sesar, dan sickle cell disease. Tetapi, perkembangan pada

Page 30: Makalah Imun Biologi Transfusi

proses filtrasi, khususnya dengan penggunaan filter leukosit, kontra indikasi di atas tidak lagi

menjadi ikatan.18

4. Eritropoetin

Penggunaan protein perangsang eritropoesis untuk tatalaksana anemia yang diinduksi oleh

kemoterapi telah ditetapkan secara resmi. Human recombinant erythropoietin (rHuEPO)

terbukti mampu meningkatkan Hb dan Ht dan menurunkan jumlah transfusi SDM pada

pasien yang dirawat di ICU. Namun harganya yang mahal membatasi penggunaannya,

meskipun beberapa penelitian mengungkapkan bahwa harga rHuEPO sebanding dengan

harga yang dikeluarkan untuk keperluan transfusi darah alogenik. Saat ini pasien dengan

kadar Hb suboptimal yang akan menjalani operasi dapat diterapi dengan obat ini dengan

angka efikasi yang memuaskan.18,19

5. Faktor VIIa rekombinan

Agen protrombotik ini merupakan perangsang produksi thrombin yang sangat poten.

Kemampuannya untuk mengaktivasi jalur pembekuan tanpa melalui tissue factor

mengakibatkan aktivasi thrombin yang berlipat. Namun, harganya yang mahal dan beratnya

komplikasi yang ditimbulkan membuat penggunaannya sangat terbatas.18,19

6. Antifibrinolisis

Saat ini beberapa antifibrinolisis telah beredar dengan cukup luas di kalangan praktisi

kesehatan, seperti asam traneksamat dan epsilon aminocaproic acid (EACA). Agen-agen ini

terbukti mampu mengurangi jumlah perdarahan selama periode operasi dan perdarahan

patologis lainnya.18,19

7. Oxygen-carrying blood substitute

Agen pengganti fungsi SDM ini dibagi menjadi 2 tipe, yaitu fluorocarbon-based synthetic

oxygen carriers dan stroma-free, cross-linked, atau polymerized human atau nonhuman

hemoglobin preparation. Komposisi ini dapat berguna pada keadaan kehilangan darah akut

yang massif, seperti trauma dan operasi mayor dan dapat pula berguna untuk pasien yang

atas dasar keagamaan menolak untuk ditransfusi.19

Page 31: Makalah Imun Biologi Transfusi

BAB III PENUTUP

1. Transfusi darah adalah tindakan memberikan darah atau komponen-komponen darah donor

kepada resipien. Dengan semakin berkembangnya pengetahuan tentang darah, maka

penggunaan transfusi pun semakin luas.

2. Pada komponen darah ditemukan antigen-antigen, beberapa di antaranya berperan dominan

dan digunakan dalam menentukan golongan darah yaitu Sistem Golongan Darah ABO dan Sistem

Golongan Darah Rhesus.

3. Darah transfusi dipisahkan menjadi komponen-komponen yang diberikan sesuai dengan

kebutuhan resipien untuk memaksimalkan efek dan mengurangi komplikasi.

4. Komplikasi yang dapat terjadi pada transfusi meliputi reaksi yang dicetuskan oleh sistem imun,

karena kandungan komponen darah dan infeksi yang ditularkan melalui komponen darah.

5. Pemberian transfusi darah harus memperhatikan indikasi yang tepat, penggunaan komponen

darah yang tepat dan kompatibel, adanya skrining yang teliti dan adekuat untuk mencegah

berbagai macam penularan infeksi.

Page 32: Makalah Imun Biologi Transfusi

DAFTAR PUSTAKA

1. Paul M. Transfusion medicine: an overview and update. Clinchem 2000; 46: 1270-1276.

2. Vamvakas EC, Blajchman MA. Transfusion-related mortality: the ongoing risks of allogeneic

blood transfusion and the available strategies for their prevention. Blood. 2009 Apr

9;113(15):3406-17. Epub 2009 Feb 2.

3. Spinella PC, Perkins JG, Grathwohl KW, Repine T, Beekley AC, Sebesta J, Jenkins D, Azarow K.

Risks associated with fresh whole blood and red blood cell transfusions in a combat support

hospital. Crit Care Med. 2007 Nov;35(11):2576-81.

4. Wake DJ, Cutting WA. Blood transfusion in developing countries: problems, priorities and

practicalities. Trop Doct. 1998 Jan;28(1):4-8.

5. Goodnough LT, Shander A, Brecher ME. Transfusion medicine: looking to the future. Lancet.

2003 Jan 11;361(9352):161-9.

6. Jeffrey, Dzieczkowski, Kenneth, dan Anderson. 2005. Transfusion Biology and Therapy in:

Harrison’s Principle of Internal Medicine. Edisi 16. Philadelphia: McGraw Hill.

7. Abbas, A, Lichtman, A, and Pilai, S. 2007. Transplantation Immunology in: Cellular and

Molecular Immunology. Edisi 6. Philadelphia: Saunders Elsevier. Halaman 392

8. Kuby. 2007. Immunology. Edisi 2. Philadelphia: Saunders Elsevier. Halaman 18-186

9. Richard C, et al. 2002. Practice Guidelines for Transfusion. Edisi 2. Washington : Ameerican

National Red Cross.

10. Jorge L, Eyal O. Alloimmunization from Transfusion. E medicine Jun 8, 2009.

www.emedicine.com. Diunduh pada 1 Maret 2009

11. Goodnough LT. Risks of blood transfusion. Crit Care Med. 2003 Dec;31(12 Suppl):S678-86.

12. Sandler SG, Yu H, Rassai N. Risks of blood transfusion and their prevention. Clin Adv Hematol

Oncol. 2003 May;1(5):307-13.

13. Goodnough LT. Risks of blood transfusion. Anesthesiol Clin North America. 2005

Jun;23(2):241-52, v.

14. Harris DJ. Immune complications associated with chronic transfusion. J Infus Nurs. 2002 Sep-

Oct;25(5):316-9.

15. Eric MK. Transfusion Reaction. E medicine Dec 10, 2009. www.emedicine.com. Diunduh pada

1 Maret 2009.

16. Mudassar Z, Hessam M. Transfusion Transmitted Disease. E medicine Nov 7, 2008.

www.emedicine.com. Diunduh pada 1 Maret 2009

Page 33: Makalah Imun Biologi Transfusi

17. Corash L. New technologies for the inactivation of infectious pathogens in cellular blood

components and the development of platelet substitutes. Baillieres Best Pract Res Clin

Haematol. 2000 Dec;13(4):549-63.

18. Lewis JK, Linda LM. Transfusion and Autotransfusion. E medicine Jun 26, 2008.

www.emedicine.com. Diunduh pada 1 Maret 2009

19. Kenneth K. Lineage-specific hematopoetic growth factor. NEJM 2006 May; 354: 2034-2045.