Makalah ilmu kalam final!

16
KEMAJUAN DAN KEMUNDURAN AL-‘ASY’ARIYAH MAKALAH Diajukan untuk Memenuhi Tugas Individu dalam Mata Pelajaran Ilmu Kalam Disusun oleh: ALIEF AINURRAFIEQ AKHYAR NIS: 1314. 10.004 PESANTREN PERSATUAN ISLAM 84 Jl. CIGANITRI NO.2 BANDUNG 2014M/ 1435H

Transcript of Makalah ilmu kalam final!

KEMAJUAN DAN KEMUNDURAN AL-‘ASY’ARIYAH

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Individu dalam Mata Pelajaran Ilmu Kalam

Disusun oleh:

ALIEF AINURRAFIEQ AKHYAR

NIS: 1314. 10.004

PESANTREN PERSATUAN ISLAM 84

Jl. CIGANITRI NO.2

BANDUNG

2014M/ 1435H

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanyalah milik Allah Swt Tuhan semesta alam yang dengan qudrah dan

inayah-Nya kita dapat memahami segala syarat ilmu pengetahuan yang ditujukan oleh-Nya kepada

kita. Serta dengan qudrah dan inayah-Nya pula kita dikaruniai akal sebagai alat untuk memahami

segala ayat-ayat tentang kekuasaan-Nya yang semata-mata digunakan untuk ketaatan kita kepada-

Nya.

Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabiyyina wa Habibina Muhammad

Saw. Sebagai khatamun nabiyyin dan usawah hasanah bagi kita.

Alhamdulillah, penulis telah menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Setelah

menempuh berbagai kesulitan khususnya dalam menemukan sumber dan referensi materi mengenai

Al-‘Asy’ariyah. Makalah ini berisi penjelasan dan pembahasan mengenai Al-‘Asy’ariyah yang

didasarkan atas berbagai sumber-sumber berupa buku-buku yang penulis temukan di perpustakaan

dan media internet.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis

mengharapkan kritikan dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Serta penulis

berharap pula mudah-mudahan makalah ini bermanfaat baik bagi penulis dan umumnya bagi pembaca

di lingkungan Pesantren Persatuan Islam 84 Ciganitri.

Bandung, 23 September 2014

Alief Ainurrafieq A.

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii

BAB I PEMBAHASAN ....................................................................................................... 1

A. Sejarah Berdirinya Asy’ariyah .................................................................................. 1

B. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah ........................................................... 6

C. Tokoh-tokoh Dan Ajaran-ajaranya ............................................................................ 8

D. Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari .......................................................................... 9

BAB II PENUTUP .............................................................................................................. 12

A. Kesimpulan ................................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 13

1

BAB I PEMBAHASAN

A. Sejarah Berdirinya Asy’ariyah

Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah

dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi

penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia

Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-

argumen yang bisa dicerna akal.

Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab

argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau

kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli. Munculnya kelompok

Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah

yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa

mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak

Tuhan dikompromikan.1[1]

Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-

Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim

bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari,

seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga

dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.2[2]

Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan

meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-

Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu

kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.

Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah

seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan

kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata

baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.

Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli

Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah

1[1] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran, Sejarah dan Analisa Perbandingan, Jakarta; Universitas Indones ia Press , 2002.

2[2]http://andaleh.blogsome.com/2006/03/17/p4/

2

mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari

Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya

dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).

Sejak kecil ia berguru pada syech Al-Jubba’i seorang tokoh mu’tazilah yang sangat

terkenal. Ia adalah murid yang cerdas dan ia menjadi kebanggaan gurunya dan seringkali ia

mewakili gurunya untuk acara bedah ilmu dan diskusi. Dengan ilmu ke-mu’tazilahannya, ia

gencar menyebar luaskan paham mu’tazilah dengan karya-karya tulisnya. Karena tidak

sepaham dengan gurunya dan ketidak puasannya terhadap aliran Mu’tazilah, walaupun ia

sudah menganut paham Mu’tazilah selama 40 tahun, maka ia membentuk aliran yang dikenal

dengan namanya sendiri pada tahun 300 Hijriyah.3[3]

Ketidak-puasan Al-Asy’ari terhadap aliran Mu’tazilah diantaranya adalah :

1. Karena adanya keragu-raguan dalam diri Al-Asy’ari yang mendorongnya untuk keluar

dari paham Mu’tazilah. Menurut Ahmad Mahmud Subhi, keraguan itu timbul karena ia

menganut madzhab Syafi’i yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mu’tazilah,

misalnya syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan

bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Sedangkan menurut paham Mu’tazilah, bahwa

Al-Qur’an itu bukan qadim akan tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan dan

Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat dilihat dengan mata.

2. Menurut Hammudah Ghurabah, ajaran-ajaran yang diperoleh dari Al-Juba’i,

menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan,

misalnya tentang mukmin, kafir dan anak kecil.4[4]

Puncak perselisihan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah dalam masalah keadilan Tuhan

adalah ketika Mu’tazilah tidak mampu menjawab kritik yang dilontarkan Asy’ariyah, bahwa

jika keadilan mencakup iktiar, baik dan buruk logistik serta keterikatan tindakan Tuhan

dengan tujuan-tujuan semua tindakan-Nya, maka pendapat ini akan bertentangan dengan ke-

Esaan tindakan Tuhan (Tauhid fil Af’al) bahkan bertentang dengan ke-Esaan Tuhan itu

sendiri. Karena ikhtiar menurut Mu’tazilah merupakan bentuk penyerahan ikhtiar yang

ekstrim dan juga menafikan ikhtiar dari Dzat-Nya. Dalam pandangan Asy’ariyah, Tuhan itu

adil, sedangkan pandangan Mu’tazilah standar adil dan tidak adil dalam pandangan manusia

untuk menghukumi Tuhan, sebab segala sesuatu yang bekenaan dengan kebaikan manusia

3[3] Montgomery Watt, 1999. Studi Islam Klasik; Wacana Kritik Sejarah, Yokyakarta: Tiara Wacana,

4[4] Rozak, Abdul . 2009. Filsafat Ilmu Kalam (Study Ilmu Pemikiran Dalam Islam). Surakarta: Annual Conference

3

hukumnya wajib bagi Allah. Tetapi bagaimanapun Al-Asy’ari meninggalkan paham

Mu’tazilah ketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan.

Setelah Al-Mutawakkil membatalkan putusan Al-Ma’mun tentang penerimaan aliran

Mu’tazilah sebagai madzhab Negara, kedudukan kaum Mu’tazilah mulai menurun, apalagi

setelah Al-Mutawakkil mengunjukan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ibn

Hanbal, lawan Mu’tazilah terbesar waktu itu.

Dalam suasana demikianlah Al-Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan menyusun

teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada hadits. Disini timbul

pertanyaan, apakah tidak mungkin bahwa Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah

karena melihat bahwa aliran Mu’tazilah tidak dapat diterima umumnya umat Islam yang

bersifat sederhana dalam pemikiran-pemikiran ? Dan pada waktu itu tidak ada aliran teologi

lain yang teratur sebagai gantinya untuk menjadi pegangan mereka. Dengan kata lain,

tidaklah mungkin bahwa Al-Asy’ari melihat bahayanya bagi umat Islam kalau mereka

ditinggalkan tidak mempunyai pegangan teologi yang teratur. Rasanya hal inilah, ditambah

dengan perasaan syak tersebut diatas yang mendorong Al-Asy’ari untuk meninggalkan

ajaran-ajaran Mu’tazilah dan membentuk teologi baru setelah puluhan tahun ia menjadi

penganut setia aliran Mu’tazilah.

Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi

melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang

mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali,

yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari

yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam

mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia

keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.

Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan

salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada

pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada

madzhab Ahmad bin Hambal. Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian

Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia

berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat,

tabi’in, serta imam ahli hadits.

Al-Hafiz Ibn `Asakir meriwayatkan di dalam kitabnya Tabyin Kadzib al-Muftari dan

al- Hakim meriwayatkan dalam kitabnya al-Mustadrak sebab turun QS. al-Ma’idah: 54, lalu

Rasulullah saw bersabda: “Mereka kaummu wahai Abu Musa”, dan Rasulullah saw

4

menunjukkan dengan tangan baginda kepada Abu Musa al Asy`ari”. Al-Hakim

menghukumkan hadis di atas sebagai hadis sahih `ala shahih Muslim. Hadis di atas juga

diriwayatkan oleh al-Tabari dalam kitab tafsirnya, Ibn Abi Hatim, Ibn Sa`d dalam kitabnya

al-Tabaqat al-Kubra dan al-Tabrani dalam kitab al-Mu`jam al-Kabir. Al-Hafiz al-Haythami

berkata di dalam kitabnya Majmu` al-Zawa’id bahawa rijal hadis tersebut adalah rijal al-

sahih. Al-Imam al-Qurtubi berkata di dalam kitab tafsirnya (al-Tafsir al-Qurtubi) jilid. VI,

halaman. 220: “Al-Qushayri berkata: “Maka para pengikut Abu al-Hasan al-Asy`ari adalah

termasuk kaumnya kerana setiap tempat yang disandarkan di dalamnya oleh suatu kaum

kepada seseorang nabi maka maksudnya ialah para pengikut”.5[5]

Berkaitan dengan hadis yang mempunyai maksud yang sama dengan hadis di atas

yaitu dengan lafaz yang mafhumnya: “Mereka adalah kaum lelaki ini” sambil Nabi

sallallahu`alaihi wasallam mengisyarat tangannya kepada Abu Musa al-Asy`ari.” Rasulullah

sallallahu`alaihi wa sallam bersabda: Maksudnya:“Mereka adalah kaum orang

ini.”[Diriwayatkan oleh Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak]. Apabila negara Islam

berkembang luas, berlaku perbincangan antara saudara-saudara baru mengenai agama. Antara

topik yang terpenting adalah membicarakan masalah akidah. Hasil daripada beberapa

perbincangan, lahir berbagai-bagai fahaman yang berpandukan logik. Akibatnya, ada yang

terpesong dalam memahami teks al-Quran yang sebenar. Walau apapun berlaku, Allah

berjanji memelihara agamanya dengan melahirkan sarjana yang mempertahankan akidah

yang tulen. Antara sarjana-sarjana itu adalah Imam Abu Hasan al-Asy’ari.

Abu Hasan al-Asy’ari dilahirkan di Basrah pada tahun 260 Hijrah. Beliau pernah

berpegang pada fahaman Muktazilah dan berguru kepada ayah tirinya Abu Ali aljubbai.

Selepas berusia 40 tahun, beliau berfikiran matang dan tekun mengkaji secara mendalam.

Pada suatu hari, beliau berdebat dengan ayah tirinya dalam mengenai kehidupan selepas mati.

Selepas berdebat dengan ayah tiri beliau, Abu Hasan al-Asy” ari bangun berucap di Masjid

Basrah lalu mengisytiharkan dirinya keluar daripada fahaman Muktazilah dan berpegang

pada Ahli Sunnah wal Jamaah. Abu Hasan al-Asy’ari membuat pembaharuan dalam aliran

Ahli Sunnah dengan mengemukakan hujah-hujah logik akal serta teks-teks al-Quran dan

hadis yang ada. Hujah-hujah yang dikumpulkan cukup kuat bagi mematahkan hujah

Muktazilah yang pesat berkembang pada masa itu. Beliau berjaya mengumpulkan ramai

murid dan pengikut. Kemudian, lahir golongan Ahli Sunnah wal Jamaah dikenali sebagai

Asya’irah iaitu golongan pengikut fahaman Abu Hasan al Asy’ari.

5[5] Ros ihan Anwar, Abdul Rozak. 2003. Ilmu Kalam. Bandung : CV Pustaka Setia

5

Antara teori Abu Hasan al-Asy’ari adalah mengemukakan 13 sifat yang wajib bagi

Allah secara terperinci yaitu:

1. Ada

2. Bersedia

3. Kekal

4. Berlawanan dengan sesuatu yang baru

5. Berdiri dengan sendirinya

6. Satu

7. Berkuasa

8. Berkehendak

9. Mengetahui

10. Hidup

11. Mendengar

12. Melihat

13.Berkata-kata

Beliau juga menguraikan perkara taklid yaitu mengambil pendapat orang lain tanpa

hujah yang menguatkannya ataupun tidak dalam perkara yang berkaitan dengan sifat-sifat itu.

Beliau menghuraikan perkara-perkara lain yang berkaitan dengan kepercayaan pada rukun-

rukun iman. Aliran Asya’irah ini berkembang dengan pesatnya di Iraq. Kemudian, ia

berkembang di Mesir pada zaman Salahuddin al- Ayubi, di Syiria dengan sokongan Nuruddin

Zanki, di Maghribi dengan sokongan Abdullah bin Muhammad, di Turki dengan sokongan

Uthmaniah dan di daerah-daerah yang lain. Ideologi ini juga didokong oleh sarjana-sarjana di

kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafie dan Hanbali. Antara mereka adalah al-Asfaraini, al -

Qafal, aljarjani dan lain-lain sehingga sekarang. Pembaharuan yang dibawa oleh Abu Hasan

al-Asy’ ari adalah dengan mengemukakan hujah logik dengan disertakan hujah teks al-Quran

dan hadis Nabi Muhammad. Hujah-hujah ini membawa kekuatan kepada Ahli Sunnah wal

Jamaah bagi menghadapi hujah golongan Muktazilah yang pesat berkembang dan mendapat

sokongan daripada pemerintah-pemerintah kerajaan Abbasiah. Akhirnya, golongan

Muktazilah bukan sahaja dibendung dengan hujah, tetapi kerajaan yang ditubuh kemudiannya

memberi sumbangan politik yang besar bagi mempertahankan dan mengembangkan fahaman

Asya’ irah. Di samping itu, lahir tokoh sarjana Islam yang menyambung aliran fahaman ini

seperti Abu Abdullah bin Mujahid, Abu Hasan al-Bahili, Abu Bakar bin al-Taib al Bakilani,

Abu Bakar bin Furak, Abu Ishak al-Asfiraini, Abu Muhammad aljuwaini, Abu Mazfir al-

6

Asfaraini, Imam al-Haramain aljuwaini, Hujah Islam Imam al-Ghazali, dan Imam Fakruddin

al-Razi.6[6]

Imam Abu Hasan al-Asy’ari juga meninggalkan beberapa buku yang dikarangnya dan

yang masih ada pada zaman sekarang antaranya Al-Ibanah Min Uslul Diniati. Dalam buku

ini, beliau menyokong dengan tegas kepada Imam Ahmad bin Hanbal yang dipenjara dan

didera oleh kerajaan Abbasiah yang menyokong Muktazilah pada zamannya. Begitu juga

dalam buku AJ-Luma ‘ Fir Raddi ‘Ala Ahlil Zaighi wal Bid ‘i beliau mendedahkan hujah

logik dan teks. Buku Maqalatul Islamiyiin mendedahkan fahaman-fahaman yang timbul

dalam ilmu Kalam dan menjadi rujukan penting dalam pengajian fahaman-fahaman akidah.

Buku Istihsan al-Khaudhi Fil Ilmu Kalam pula adalah risalah kecil bagi menolak hujah

mereka yang mengharamkan ilmu Kalam. Walaupun ada di kalangan sarjana Islam

terutamanya di kalangan mazhab Hanbali yang menyanggah beberapa hujah dan kaedah yang

dibawa oleh Abu Hasan Asy’ ari, ia tidak menafikan jasanya mempertahankan fahaman Ahli

Sunnah Wal Jamaah. Fahaman beliau berjaya mematikan hujah-hujah Muktazilah yang

terpesong jauh iaitu membicarakan al-Quran sebagai kata-kata Allah yang kekal, isu melihat

Allah pada hari Kiamat, membetulkan perkara yang berhubung dengan Qadak dan Qadar dan

lain-lain dan menjadi golongan pertama yang menamakan Ahli Sunnah Wal Jamaah di

tengah-tengah kelahiran pelbagai fahaman pada zamannya. Imam Abu Hasan Asy’ari

meninggal dunia pada tahun 324 Hijrah dengan meninggalkan pusaka ilmu yang terdiri

daripada buku-buku karangan beliau serta murid-murid yang meneruskan perjuangannya.

Akhirnya, ia meninggalkan aliran pengajian akidah yang dianuti oleh sebahagian besar umat

Islam hari ini dalam melanda cabaran-cabaran baru yang tidak ada pada zamannya.

Seterusnya aliran ini memerlukan pembaharuan lagi dalam mengemukakan hujah-hujah

kontemporari bagi mempertahankan akidah yang sebenar.7[7]

B. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan

ijtihadnya dalam masalah akidah.

a. Periode Pertama Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai

menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun.

6[6] http://andaleh.blogsome.com/2006/03/17/p4/

7[7] Harun Nasution, 2002 Teologi Islam; Aliran, Sejarah dan Analisa Perbandingan, Jakarta; Universitas Indonesia Press.

7

Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada

titik kelemahannya dan kelebihannya.

b. Periode Kedua

Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah

yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan

mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga

beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah

muktazilah.

Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah

lewat logika akal, yaitu:

•Al-Hayah (hidup)

•Al-Ilmu (ilmu)

•Al-Iradah (berkehendak)

•Al-Qudrah (berketetapan)

•As-Sama' (mendengar)

•Al-Bashar (melihat)

•Al-Kalam (berbicara)

Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah,

tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau

saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau

menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha

Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya8[8].

c. Periode Ketiga

Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah

yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa

takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.

Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan,

kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:

takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah

ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki

tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu

tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lainnya.

8[8] http://www.dakwatuna.com/2008/asy’ariyah/

8

Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di

dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku,

menurut satu sumber sekitar tiga ratus.9[9]

C. Tokoh-tokoh Dan Ajaran-ajaranya

1. Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani.

Ia adalah tokoh Asy’ariyah yang mendapat ajaran-ajaran Al-Asy’ari dari dua murid

Al-Asy’ari, yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan Al-Bahili.. beliau wafat di Bagdad pada

tahun 1013 Masehi.

Ajaran-ajaran yang disampaikannya tidak selalu selaras dengan ajaran Al-Asy’ari,

misalnya bahwa sifat Allah itu bukan sifat melainkan hal. Selanjutanya ia juga tidak sepaham

dengan Al-Asy’ari mengenai perbuatan manusia. Menurut Al-Asy’ari perbuatan manusia

adalah diciftakan Tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani, manusia mempunyai

sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah

gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan

oleh manusia itu sendiri.

Pernyataan-pernyataannya mengarah pada extrim, dalam mengikuti suatu pendapat

dan dalam memberikan dukungan dan pembelaan, sebab premis rasional tidak pernah

disebutkan dalam al-Qur’anmaupun sunnah, ruang geraknya luas dan pintunya terbuka lebar.

Metode yang ditempuhnya juga banyak. Boleh saja seseorang sampai kepada bukti-bukti dari

berbagai penalaran akal dan menghasilkan berbagai konklusi melalui berbagai eksperimen

yang tidaklah buruk selama tidak bertentangan dengan konklusi yang dicapainya dan

pemikiran yang dihasilkannya.

2. Abd al-Malik al-Juwaini Beliau lahir di Khurasan tahun 419 Hijriyah dan wafat pada tahun 478 Hijriyah.

Namanya aslinya tidak begitu dikenal malah ia terkenal dengan nama Iman Al-Haramain.

Hampir sama dengan Al-Baqillani, ajaran-ajaran yang disampaikannya banyak yang

bertentangan dengan ajaran Al-Asy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (ta’wil) kekuasaan

Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud Tuhan,

sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha

Tinggi.

9[9] Ros ihan Anwar, Abdul Rozak. 2003. Ilmu Kalam. Bandung : CV Pustaka Setia

9

Mengenai soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari Al-

Baqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan

efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada

daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud

sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah seterusnya hingga sampai

pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.

3. Abu Hamid al-Ghazali Beliau adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada tahu 1058-1111

Masehi. Paham teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan paham-paham Al-Asy’ari.

Dia mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan dzat

Tuhan dan mempunyai wujud diluar dzat. Juga Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak

diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang

menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat lebih menyerupai impotensi.10[10]

Selanjutnya ia-pun menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang

mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya adalah penolakan

tentang paham keadilan yang diajarkan oleh Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga

kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran

kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang

tidak mungkin dikerjakan manusia.

D. Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari. Formulasi pemikiran Al-Asy’ari secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis

antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Mu’tazilah disisi lain. Dari segi etosnya,

pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampak

sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya.

Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalh berikut ini: a. Tuhan dan sifat-sifatNya.

Perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat

dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa menesakan Allah adalah wajib. Al-Asy’ari

dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok

Mujassimah dan kelompok musyabihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai sifat

yang disebutkan dalam Al-qur’andan sunnah dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti

harfiahnya. Di lain pihak ia berhadapan dengan kelompok mu’tazilah yang berpendapat

10[10] http://www.dakwatuna.com/2008/asy’ariyah/

10

bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensiNya. Adapun tangan, kaik, telinga Allah atau

Arsy atau kursi tidak bisa diartikan secra harfiah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.

Menghadapi dua kelompok tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa allah memang

memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan, kakidan ini tidak bolwh diartikan secra

harfiah, melainkan secra simbolis. Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat

Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya

mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh menyangkut realitasnya

tidak terpisah dari esensiNya.

b. Kebebasan dalam berkehendak Dalam ghal apakah manusia memiliki kemampuan untuik memilih, menentukan, serta

mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yangb ekstrim, yakni Jabariyah yang

fatalistik dan menganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut

faham kebebasan mutlak dan berpendaat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.

Al-Asyari membedakan antaa khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khalik)

perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya

Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).

c. Akal dan wahyu dan ritria baik dan buruk

Walapun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan

wahyu, mereka berbrda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan

kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutanakan wahyu, sementara Mu’tazilah

megutamakan akal. Dala menentukan bak burukpun terjadi perbedaan pendapat diantara

mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasar pada wahyu,

sedangkan Mu’tazilah berdasar pada akal.

d. Qadimnya Al-Qur’an

Al-Asy’ari dihadapka pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya Al-

Rur’an mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan (mkhluk) sehingga tidak qadim

serta pandangan madzab hambali dan zahiriyah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah

kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua

huruf, kata, dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim. Dala rangka mendamaikan kedua pandangan

yang saling berama tentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Quran terdiri

atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya

tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-Asy’ari tidaklah diciptakan

sebab kalau ia diciptakan sesuai dengan ayat:

11

“ Sesungguhnya Perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami

hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia.”(Q.S. An-Nahl:40)

e. Melihat Allah

Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama zahiriyah,

yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah

bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan muktazilah yang mengingkari

ru’yatullah atau melihat Allah di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah yakin dapat dilihat di

akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan kemungkinan ru’yah dapat terjadi manakala Allah

sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atu bilaman ia menciptakan kemampuan penglihatan

manusia untuk melihatnya.

f. Keadilan Pada dasarnya Al-Asy’ari dan mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya

berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan mu’tazilah

yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan

memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki

keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak. Dengan demikian jelaslah bahwa

mu’tazilah mengartikan keadilan dari visimanusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-

Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.

g. Kedudukan orang berdosa. Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut mu’tazilah. Mengingat

kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu

diantaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa

mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin

hilang karena dosa selain kufr.11[11]

11[11] Rozak, Abdul. 2009. Filsafat Ilmu Kalam (Study Ilmu Pemikiran Dalam Islam). Surakarta: Annual Conference

12

BAB II PENUTUP

A. Kesimpulan

Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab

argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli. Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah

yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak

Tuhan dikompromikan. Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-

Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim

bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga

dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah

13

DAFTAR PUSTAKA

1. Harun,Nasution. 2002. Teologi Islam; Aliran, Sejarah dan Analisa Perbandingan,

Jakarta; Universitas Indonesia Press.

2. Http://Www.Dakwatuna.Com/2008/Asy’ariyah/ 3. Http://Andaleh.Blogsome.Com/2006/03/17/P4/

4. Montgomery,Watt. 1999. Studi Islam Klasik; Wacana Kritik Sejarah, Yokyakarta:

Tiara Wacana,

5. Rosihan Anwar, Abdul Rozak. 2003. Ilmu Kalam. Bandung : CV Pustaka Setia

6. Rozak, Abdul. 2009. Filsafat Ilmu Kalam (Study Ilmu Pemikiran Dalam Islam).

Surakarta: Annual Conference