Makalah Hipoglikemia
description
Transcript of Makalah Hipoglikemia
I. ANAMNESIS
Telah dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis kepada anak pasien pada
tanggal 17 Januari 2015 jam 09.00 WIB diruang 503.
Keluhan Utama
Pasien datang dengan penurunan kesadaran sejak beberapa jam SMRS.
Keluhan Tambahan
Pasien demam, tampak sesak, batuk berdahak yang sulit dikeluarkan sejak 3
hari SMRS, pusing. Nafsu makan pasien menurun sejak awal Desember 2014. Sejak
7 hari SMRS, pasien mengeluhkan badannya lemas, mual dan muntah.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang diantar oleh keluarga setelah mengalami penurunan kesadaran
beberapa jam SMRS. Saat itu pasien baru saja datang dari kampung halamannya dan
setiba dirumah, pasien tertidur dan pada tengah malam ketika dibangunkan oleh
anaknya, pasien berkeringat dingin dan sulit untuk dibangunkan. Saat dibangunkan
dengan diguncang-guncangkan, pasien terbangun sesaat tetapi kemudian kembali
tertidur. Pasien segera dibawa ke IGD RSUD Budhi Asih. Saat tiba di IGD RSUD
Budhi Asih, pasien demam dan tampak sesak. Pasien diketahui demam naik turun
beberapa hari SMRS dan demam turun setelah minum obat penurun demam. Pasien
mengeluhkan batuk berdahak yang sulit dikeluarkan sejak 3 hari SMRS. Selain itu,
pasien mengeluhkan sering merasa pusing dan matanya gelap, kadang berkunang-
kunang.
Keluarga pasien menyatakan bahwa nafsu makan pasien menurun sejak awal
Desember 2014. Pasien tidak pernah menghabiskan makanannya dan hanya makan
beberapa sendok karena setiap makan pasien merasa mual dan mulut terasa pahit.
Pasien terakhir makan pada sore hari sebelum masuk rumah sakit dan hanya 5
sendok karena tidak nafsu makan. Sejak 7 hari SMRS, pasien mengeluhkan
badannya lemas, mual dan muntah terutama saat makan, sekitar 3 kali/hari, muntah
berisi makanan yang dikonsumsi pasien. Buang air kecil normal, berwarna kuning
jernih dan buang air besar normal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat menderita kencing manis sejak + 10 tahun yang lalu
dan ada obat-obatan dari puskesmas yang rutin dikonsumsi. Pasien menyangkal
memiliki riwayat darah tinggi, penyakit paru dan jantung sebelumnya. Selain itu,
pasien menyatakan memiliki riwayat asma, riwayat maag dan memiliki alergi
terhadap ikan laut. Pasien memiliki riwayat menderita batu ginjal.
Riwayat Keluarga
Tidak terdapat keluarga yang menderita keluhan yang sama. Pasien
menyatakan bahwa keluarga tidak ada yang menderita darah tinggi. Ayah pasien
memiliki riwayat diabetes mellitus.
Riwayat Kebiasaan
Pasien mengaku tidak pernah mengkonsumsi alkohol dan tidak merokok.
Pasien jarang mengkonsumsi makanan yang berlemak bahkan menurut anak pasien,
pasien makan hanya sedikit dari dulu sebelum keluhan tidak nafsu makan pada awal
Desember 2014 muncul. Pasien jarang berolahraga dikarenakan sibuk mengurus
rumah tangga dan juga berdagang.
Riwayat Pengobatan
Pasien minum glibenclamide untuk kencing manis yang didapatkan dari
puskesmas. Pasien tidak ingat dosis yang diberikan tetapi mengaku masih meminum
glibenclamide dengan rutin.
Kondisi Lingkungan & Sosial Ekonomi
Pasien tinggal di rumah dengan ventilasi udara dan sanitasi yang cukup baik.
Tinjauan Sistem
Umum : Lemas, demam
Kulit : Tidak ada keluhan
Kepala : Pusing
Leher : Tidak ada keluhan
2
Thorax : Batuk (+) berdahak, sesak (+)
Abdomen : Mual (+), muntah (+)
Saluran kemih : BAK lancar, tidak ada keluhan
Genital : Tidak ada keluhan
Ekstremitas : Tidak ada keluhan
II. PEMERIKSAAN FISIK
- Keadaan Umum : tampak sakit sedang
- Kesadaran : compos mentis
- Status gizi : Kurang
BB : 43 kg
TB : 157 cm
BMI : 17.44 (gizi kurang)
- Tanda Vital :
Tekanan darah : 160/80 mmHg
Frekuensi nadi : 145x/menit
Pernapasan : 28x/menit
Suhu : 36,7oC
- Taksiran umur : Sesuai usia
- Cara berbaring : Aktif
- Cara berbicara : Baik
- Sikap : Kooperatif
- Penampilan : Baik
- Status mental :
Tingkah laku : wajar
Alam perasaan : biasa
Proses pikir : wajar.
- Status Generalis :
Kulit
Warna : sawo matang, pucat, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak ada
ruam dan tidak terdapat hipopigmentasi maupun hiperpigmentasi
3
Lesi : tidak terdapat lesi primer seperti makula, papul vesikuler,
pustul maupun lesi sekunder seperti jaringan parut atau keloid pada
bagian tubuh yang lain.
Rambut : rambut hitam, merata, mudah dicabut
Turgor : baik
Suhu raba : dingin
Mata
Bentuk : cekung, kedudukan bola mata simetris
Palpebra : normal, tidak ptosis, tidak lagoftalmus, tidak edema, tidak ada
perdarahan, tidak blefaritis, tidak xanthelasma
Gerakan : normal, tidak terdapat strabismus, nistagmus
Konjungtiva : anemis +/+
Sklera : ikterik -/-
Pupil : bulat isokor, diameter 3 mm, reflex cahaya langsung +/+,
reflex cahaya tidak langsung +/+
Eksoftalmus : tidak ditemukan
Endoftalmus : tidak ditemukan
Telinga
Inspeksi : Normotia, tidak hiperemis, tidak mikrotia, tidak cauliflower
ear, liang telinga lapang, serumen -/-, sekret -/-, kotor -/-.
Palpasi : Nyeri tarik tragus -/-, nyeri tekan tragus -/-
Hidung
Bagian luar : normal, tidak ada deformitas, tidak ada nafas cuping hidung,
tidak sianosis
Septum : di tengah, simetris
Mukosa hidung : tidak hiperemis, konka nasalis eutrofi
Cavum nasi : tidak ada perdarahan, tidak kotor, tidak ada sekret
Mulut dan tenggorok
Bibir : normal, pucat, tidak sianosis, tidak kering
Gigi-geligi : oral hygiene cukup
4
Mukosa mulut : normal, tidak hiperemis, berwarna merah muda
Lidah : normoglosia, tidak tremor, tidak kotor
Tonsil : ukuran T1/T1, tenang, tidak hiperemis, kripti tidak melebar tidak
ada detritus
Faring : tidak hiperemis, arcus faring simetris, uvula di tengah
Leher
Bendungan vena : tidak ada bendungan vena
Kelenjar tiroid : tidak membesar, mengikuti gerakan, simetris
Trakea : di tengah
Kelenjar getah bening
Leher : tidak terdapat pembesaran di KGB leher
Aksila : tidak terdapat pembesaran di KGB aksila
Paru-paru
Inspeksi : simetris, tidak ada hemithorax yang tertinggal
Palpasi : gerak simetris, vocal fremitus simetris
Perkusi : sonor pada kedua hemithorax, batas paru-hepar pada sela iga
VI pada linea midklavikularis dextra, dengan peranjakan 2 jari
pemeriksa, batas paru-lambung pada sela iga ke VIII pada linea axillaris
anterior sinistra.
Auskultasi : suara napas vesikuler di kedua lapang paru, ronkhi +/+,
wheezing -/-.
Jantung
Inspkesi : tidak tampak pulsasi ictus cordis
Palpasi : teraba pulsasi ictus cordis pada ICS V, 1 cm medial linea
midklavikularis sinistra
Perkusi :
Batas jantung kanan : ICS III - V, linea sternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V, 2-3 cm dari linea midklavikularis sinistra
Batas atas jantung : ICS III linea sternalis sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I, II normal, regular, murmur (-), gallop (-)
5
Abdomen
Inspeksi : abdomen cekung, tidak ada sagging of the flanks, tidak smiling
umbilicus
Palpasi : teraba supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), nyeri
lepas (-), ballottement (-).
Perkusi : timpani pada keempat kuadran abdomen, tidak ada nyeri ketok
CVA.
Auskultasi : bising usus positif 2x/menit, normal
Ekstremitas
Tidak tampak deformitas, akral teraba dingin pada keempat ekstremitas,
edema (-)
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium Darah (17 Januari 2015)
Pemeriksaan Hasil NormalLeukosit 16.400 * 3,6–11 ribu/uLEritrosit 2,7 * 3,8-5,2 juta/uLHemoglobin 6,9 * 11,7-15,5g/dLHematokrit 21 * 35-47 %Trombosit 185.000 150-440 ribu/uLMCV 77 * 80-100 fLMCH 25,7 * 26-34 pgMCHC 33,4 32-36 g/dLRDW 13,5 * <14 %Na 112 * 135-155 mmol/LK 2,4 * 3,6-5,5 mmol/LCl 121 * 98-109 mmol/LSGOT 40 * <27 mU/dlSGPT 36 * <34 mU/dlUreum 28 13-43 mg/dLKreatinin 0,52 <1,1 mg/dLGula Darah Sewaktu
60 < 110 mg/dL
2. Rontgen Thorax
6
Jantung tidak
membesar,
CTR <50 %
Aorta dan
mediastinum
superior tidak
melebar
Trakhea di garis
tengah
Hilus tidak
menebal
Tulang-tulang intak
Kesimpulan: Gambaran radiologi thorax dalam batas normal.
IV. RINGKASAN
Perempuan, 48 tahun, datang dengan penurunan kesadaran sejak beberapa jam
SMRS. Pasien berkeringat dingin. Di IGD RSUD Budhi Asih, pasien demam dan
tampak sesak. Pasien batuk berdahak yang sulit dikeluarkan sejak 3 hari SMRS.
Selain itu, sering merasa pusing dan matanya gelap, kadang berkunang-kunang..
Nafsu makan pasien menurun sejak awal Desember 2014. Sejak 7 hari SMRS,
badannya lemas, mual dan muntah 3 kali/hari. Pasien memiliki riwayat diabetes
mellitus sejak + 10 tahun yang lalu, riwayat asma, riwayat maag, memiliki alergi
terhadap ikan laut dan memiliki riwayat menderita batu ginjal. Pasien minum
glibenclamide secara rutin. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan status gizi
kurang, tekanan darah 160/80 mmHg, nadi 145x/menit, RR 28x/menit, dan suhu
36,7oC. Kulit pucat, rambut mudah dicabut, mata cekung dan konjungtiva anemis
+/+, dan bibir pucat. Pemeriksaan auskultasi paru didapatkan ronkhi +/+. Abdomen
tampak cekung dan ekstremitas teraba akral dingin. Dari hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan leukositosis, anemia hipokromik mikrositer, penurunan nilai
hematokrit, hipoglikemia, hiponatremia, hipokalemia.
V. DAFTAR MASALAH DAN PENGKAJIAN MASALAH
1. Hipoglikemia dengan penurunan kesadaran
7
o Anamnesis : Pasien mengalami penurunan kesadaran yang tiba-tiba dan
berkeringat dingin. Pasien memiliki riwayat menderita diabetes mellitus
dan rutin meminum glibenclamide. Pasien tidak nafsu makan sejak
Desember 2014.
o Pemeriksaan penunjang : GDS : 60 mg/dL
o Rencana terapi :
- Bolus IV Dextrose 40% 2 flakon
- IVFD Dextrose 10%/ 6 jam
- Cek GDS
2. Anemia Mikrositik Hipokrom Suspek Anemia Defisiensi Besi
o Anamnesis : pasien mengeluhkan sering merasa pusing dan matanya gelap,
kadang berkunang-kunang.
o Pemeriksaan fisik : Kulit pucat; konjungtiva anemis +/+; bibir pucat.
o Pemeriksaan penunjang : Eritrosit : 2.7 juta/uL; Hb : 6.9 g/dL; Ht : 21%;
MCV: 77 fL; MCH : 25.7 pg.
o Rencana diagnostik : SADT, serum iron, TIBC, saturasi transferrin,
ferritin serum.
o Rencana terapi : PRC 500 cc, sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari, vitamin C 2 x
50 mg/hari.
3. Hiponatremia dan hipokalemia
o Anamnesis : Pasien mengeluh badannya lemas, mual dan muntah terutama
saat makan, sekitar 3 kali/hari, muntah berisi yang dikonsumsi pasien sejak
7 hari SMRS
o Pemeriksaan penunjang : Natrium : 112 mmol/L; Kalium : 2,4 mmol/L
o Rencana terapi :
- NaCl 0,9 % + KCl 25 mEq / 12 jam
- NaCl 3 % / 24 jam
- KSR 2 x 1 tab
- Ondansentron 3 x 1
4. Infeksi Saluran Pernapasan Akut
o Anamnesis : Pasien batuk sejak 3 hari SMRS dan demam saat di rumah
dan ketika di IGD.
o Pemeriksaan fisik : Ronkhi +/+
8
o Pemeriksaan penunjang : Leukositosis (Leukosit : 16.400 /uL)
o Rencana diagnostik : Hitung jenis leukosit, Pewarnaan Gram.
o Rencana terapi : Ambroxol 3 x Cth 2, Ceftriaxone 1 x 2 gr
5. Diabetes mellitus tipe 2
o Anamnesis : Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus sejak + 10 tahun
yang lalu dan mengkonsumsi glibenclamide yang didapatkan rutin dari
puskesmas.
o Rencana diagnostik : Glukosa darah puasa, glukosa darah post prandial,
dan HbA1c
o Rencana terapi : Edukasi mengenai diabetes mellitus dan perlunya
pengendalian serta pemantauannya; penyulit DM; intervensi farmakologis
dan non-farmakologis; hipoglikemia; edukasi mengenai perencanaan
makan dimana kebutuhan kalori pasien 1720 kalori/hari, dan edukasi untuk
melakukan kegiatan jasmani sehari-hari dan teratur. Evaluasi setelah 2-4
minggu, bila sasaran (GDS < 200, mg/dl, GDP < 126 mg/dl) tidak
tercapai, dapat mulai memberikan obat hiperglikemi oral (OHO) seperti
metformin 2 x 850 mg.
6. Gizi kurang
o Anamnesis : Nafsu makan pasien menurun sejak awal Desember 2014.
Menurut anak pasien, pasien makan hanya sedikit dari dulu sebelum
keluhan tidak nafsu makan pada awal Desember 2014 muncul
o Pemeriksaan fisik : Gizi kurang (IMT : 17,44); rambut mudah dicabut;
mata cekung +/+.
o Rencana terapi : Edukasi mengenai gizi seimbang sesuai dengan diit untuk
diabetes mellitus, seperti komposisi karbohidrat 60-70%, protein 10-15%,
dan lemak 20-25% dari 1720 kalori/hari.
VI. TATA LAKSANA
1. Pro rawat inap
2. Pemberian O2 3 liter/menit
3. IVFD D40% 2 fl
4. IVFD D10%/8 jam
5. Injeksi Ranitidine
9
6. Injeksi Ondancentron
7. Paracetamol tab 1
VII. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad sannationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
VIII. FOLLOW UP HARIAN
TANGGAL FOLLOW UP17/1/15 S : Pusing (+), mual (+) terutama saat makan dan minum, batuk (+)
O : TD : 160/80 mmHg; Suhu : 36,7C; Nadi : 145x/menit; RR : 28x/menitMata cekung +/+, CA +/+, SI -/- ; Bibir kering; C/P dbn; Abd : cekung, BU (+), NT (-); Ekstremitas: Oedem -/-
Glukosa Darah
A : Anemia, hiponatremia, hipokalemia, leukositosis
P :- NaCl 3%/24 jam (2 kolf) – Tangan kiri- NaCl 0,9% + KCl 40 meq/12 jam (2 kolf) – Tangan kanan- D10%/12 jam (2 kolf) – Tangan kiri- PRC 500 cc- Ceftriaxone 1 x 2 gr- Pumpicel 1 x 1- Cendantron 2 x 1- Episan syr 3 x 2 C
18/1/15 S:-
10
Waktu Glukosa darah
Waktu Glukosa darah
01.00 60 15.00 6702.00 189 16.00 8903.00 230 17.00 5410.00 75 18.00 9811.00 99 19.00 9612.00 91 20.00 8613.00 83 21.00 5514.00 80
O:HematologiLeukosit : 12.200/uL; Eritrosit : 3 juta/uL; Hb : 8 g/dL; Ht : 24%; Trombosit : 170 ribu/uL; MCV : 80 fL; MCH : 26.4 pg; MCHC : 33 g/dL; RDW : 14.6%.
Glukosa DarahWaktu Glukosa
darahWaktu Glukosa
darah00.00 73 09.00 8401.00 63 10.00 9302.00 61 11.00 14303.00 76 12.00 13504.00 97 13.00 17805.00 101 14.00 17406.00 122 18.00 16407.00 117 22.00 16708.00 91 23.00 150
A: Anemia, hiponatremia, hipokalemia, hiperklorida, leukositosis
P:- NaCl 3%/24 jam – Tangan kiri- D10%/6 jam – Tangan kiri- PRC 400 cc- Ceftriaxone 1 x 2 gr- Pumpicel 1 x 1- Cendantron 2 x 1- Episan syr 3 x 2 C
19/1/15 S : Batuk (+) kering, belum BAB sejak 2 hari yang lalu
O : TD : 130/70 mmHg; Suhu : 36,5C; Nadi : 84x/menit; RR : 32x/menit
HematologiLeukosit : 5900/uL; Eritrosit : 4.9 juta/uL; Hb : 12 g/dL; Ht : 37%; Trombosit : 169 ribu/uL; MCV : 74,5 fL; MCH : 24.5 pg;MCHC : 32.8 g/dL; RDW : 14.7 %.
Fungsi GinjalUreum : 21 mg/dL; Kreatinin : 0.51 mg/dL.
Glukosa DarahWaktu Glukosa
darahWaktu Glukosa
darah02.00 200 14.00 14406.00 259 18.00 10410.00 227 22.00 107
A : Hiponatremia, hipokalemia
11
P :- RL/8 jam- Ceftriaxone 1 x 2 gr- Pumpicel 1 x 1- Cendantron 2 x 1- Episan syr 3 x 2 C- GDS/hari
20/1/15 S : Batuk (+) kering, belum BAB sejak 3 hari yang lalu
O : TD : 140/80 mmHg; Suhu : 36,6C; Nadi : 80x/menit; RR : 28x/menit
HematologiLeukosit : 7700/uL; Eritrosit : 4.5 juta/uL; Hb : 11.9 g/dL; Ht : 34 %; Trombosit : 162 ribu/uL; MCV : 74.3 fL; MCH : 26.2 pg; MCHC : 35.3 g/dL; RDW : 14.7 %.
GDP : 87 mg/dL
ElektrolitNa : 142 mmol/L; K : 2.8 mmol/L; Cl : 105 mmol/L.
Fungsi GinjalUreum : 18 mg/dL; Kreatinin : 0.54 mg/dL
Anti HIV : Non Reaktif
A : Hipokalemia
P :- RD/8 jam- Ceftriaxone 1 x 2 gr- Omeprazole 2 x 1- Cendantron 2 x 1- Episan syr 3 x 2 C- OBH syr 3 x 1- GDS/hari
21/1/15 S : Batuk (+), belum BAB sejak 4 hari yang lalu, dada terasa sakit, pusing (+), sulit tidur (+)
O : TD : 130/80 mmHg; Suhu : 36,7C; Nadi : 84x/menit; RR : 24x/menit
GDP : 186 mg/dL
ElektrolitNa : 140 mmol/L; K : 3.0 mmol/L; Cl : 102 mmol/L
A : Hipokalemia
P :
12
- NaCl 0,9% + KCL 25 meq /8 jam- Ceftriaxone 1 x 2 gr- Cendantron 2 x 1- Omeprazole 2 x 1 tab- Episan syr 3 x 2 Cth- OBH syr 3 x 1- KSR 3 x 1 tab
22/1/15 S : Batuk (+), belum BAB selama 5 hari, dada terasa sakit, pusing (+), sulit tidur.
O : TD : 140/70 mmHg; N : 80x/menit; RR : 28x/menit; S : 36,8 C
GDP : 290 mg/dL
ElektrolitNa : 140 mmol/LK : 2.9 mmol/LCl : 101 mmol/L
A : Diabetes mellitus tipe 2, hipokalemia
P :- NaCl 0,9% + KCL 25 meq /8 jam- Ceftriaxone 1 x 2 gr- Omeprazole 2 x 1 tab- Episan syr 3 x 2 Cth- OBH syr 3 x 1- KSR 3 x 1 tab- Cendantron 2 x 1- Novorapid 3 x 6 U
23/1/15 S : Mual (+), dada terasa sakit (+), pusing (+) tapi agak membaik dibanding hari sebelumnya
O : TD : 140/70 mmHg; N : 80x/menit; RR : 20x/menit; S : 36,8 C
A : Diabetes mellitus tipe 2, hipokalemia
P :- Asering + KCL 40 meq /8 jam (2 kali)- Lefofloxacin drip 1 x 500 mg- Omeprazole 2 x 1 tab- Episan syr 3 x 2 Cth- OBH syr 3 x 1- KSR 3 x 1 tab- Cendantron 2 x 1- Novorapid 3 x 10 U
24/1/15 S : Mual (+), dada terasa sakit (+), pusing jika dalam posisi duduk.
O :TD : 140/60 mmHg; N : 80x/menit; RR : 20x/menit; S : 36,7 C
13
GDP : 90 mg/dL
A : Diabetes mellitus tipe 2, hipokalemia
P : Acc rawat jalan- Episan syr 3 x 2 Cth- OBH syr 3 x 1- Omeprazole 2 x 1- KSR 3 x 1- Lefofloxacin 1 x 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DIABETES MELLITUS
2.1.1 Definisi
Diabetes Mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai
dengan hiperglikemia akibat defek pada:
1. Kerja insulin (resistensi insulin) di hati (peningkatan produksi glukosa hepatik)
dan jaringan di jaringan perifer (otot dan lemak)
2. Sekresi insulin oleh sel beta pankreas
3. atau keduanya
2.1.2 Klasifikasi
Diabetes Mellitus diklasifikasikan berdasarkan proses patogenik yang
menyebabkan hiperglikemia yaitu DM tipe 1 dan tipe 2. DM tipe I disebabkan
defisiensi insulin total atau absolut sedangkan DM tipe 2 merupakan suatu kelompok
14
kelainan yang karakteristiknya dipengaruhi derajat variabel dari resistensi insulin,
gangguan sekresi insulin, dan peningkatan produksi glukosa. Diabetes dapat
diklasifikasikan ke dalam 4 kategori klinis
1. Diabetes Mellitus Tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut)
a. Melalui proses imunologik
b. Idiopatik
2. Diabetes Mellitus Tipe 2 (Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relative sampai yang predominan gangguan sekresi
insulin bersama resitensi insulin)
3. Diabetes Mellitus tipe lain
a. Defek genetik fungsi sel beta
i. Kromosom 12, HNF-α (dahulu MODY 3)
ii. Kromosom 7, glukosinase (dahulu MODY 2)
iii. Kromosom 20, HNF α (dahulu MODY 1)
iv. Kromosom 13, insulin promoter factor α ( IPF dahulu MODY 4)
v. Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)
vi. Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6) DNA Mitokondria
vii. Lainnya
b. Defek genetik kerja insulin: resistensi tipe A, leprechaunism, sindrom
Rabson Mendenhall diabetes lipoatrofik, lainnya
c. Penyakit Eksokrin Pankreas: pancreatitis, trauma/pankreaktomi, neoplasma,
fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati, fibro kalkulus, lainnya
d. Endokrinopati: akromegali, sindrom cushing, feokromsitoma,
hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya
e. Karena obat/zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid,
hormone tiroid, diazoxid, aldosteronoma, lainnya
f. Infeksi: rubella congenital, CMV, lainnya
g. Imunologi (jarang): sindrom “Stiffman”, antibodi antireseptor insulin,
lainnya
h. Sindroma genetic lain: sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom
Turner, sindrom Wolfram’s, ataksia Friedreich’s, chorea Huntington,
sindrom Laurence Moon Biedl distrofi miotonil, porfiria, sindrom Prader
Willi, lainnya.
15
4. Diabetes Kehamilan
Beberapa pasien tidak dapat secara jelas diklasifikasikan sebagai DM tipe 1 atau
DM tipe 2. Manifestasi klinis dan perjalanan penyakitnya sangat bervariasi pada kedua
tipe diabetes tersebut. Pasien yang didiagnosa dengan DM tipe 2 dapat disertai
ketoasidosis, meskipun jarang. Anak-anak dengan diabetes tipe 1 biasanya
menunjukkan gejala khas, yaitu poliuria atau polidipsia dan kadang disertai
ketoasidosis. Kesulitan alam mendiagnosis mungkin terjadi pada anak-anak, remaja,
dan dewasa muda, namun diagnosis yang tepat akan semakin jelas seiring berjalannya
waktu
2.1.3 Epidemiologi
Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi
Diabetes Mellitus sebesar 2,1%. Berdasarkan data tersebut prevalensinya meningkat
seiring bertambahnya umur namun menurun setelah usia di atas 65 tahun. Prevalensi
DM cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikkan tinggi dan
dengan kuintil indeks kepemilikan tinggi. Dari tahun 2007 hingga tahun 2013 terjadi
peningkatan prevalensi, pada tahun 2007 prevalensinya dari 1,1%.
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah.
Dalam menentukkan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil
dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan darah seyogyanya dilakukan di
laboratorium klinik yang melakukan program pemantauan kendali mutu secara teratur.
Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah
utuh (whole blood), vena atau kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil
pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM,
sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak
bergejala, yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan
16
kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk
memastikan diagnosis definitif.
PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan
ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia,
polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas
DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur,
disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita).
Menurut Standar of Medical Care In Diabetes 2014 oleh ADA, Diabetes
didiagnosis berdasarkan kriteria kadar glukosa plasma, yaitu glukosa plasma puasa
atau kadar glukosa 2 jam pasca pembebanan (tes toleransi glukosa oral). Kriteria A1C
(≥ 6,5%) juga dimasukkan sebagai pilihan ketiga untuk mendiagnosis diabetes.
No
.
Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus
1. Kadar A1C ≥ 6,5%. Uji kadar A1C harus dilakukan pada laboratorium yang
menggunakan metode yang sudah tersetifikasi NGSP dan dan terstandarisasi
DCCT assay.*
Atau
2. Glukosa Plasma Puasa ≥ 126g/dl (7,0 mmol/L). Puasa diartikan pasien tidak
mendapat kalori tambahan setidaknya 8 jam.*
Atau
3. Glukosa plasma 2 jam ≥ 200mg/dL (11,1 mmol/L) pada TTGO. TTGO dilakukan
dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram
glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.*
Atau
4. Gejala klasik DM (hiperglikemia atau krisis hiperglikemik) + glukosa plasma
sewaktu ≥ 200g/dL (11,1 mmol/L).
*Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang, apabila tidak terdapat
gejala khas hiperglikemia
17
Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1994):
3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari hari
(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti
biasa.
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum permeriksaa, minum air
putih tanpa gula tetap diperbolehkan
Diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250mL dan diminum dalam waktu 5 menit
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai
Diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Normal : <140mg/dL
2. Toleransi Glukosa Terganggu: 140-199mg/dL
3. Diabetes Mellitus: ≥200mg/dL
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan Indeks
Massa Tubuh (IMT) > 25kg/m2 dengan faktor risiko lain sebagai berikut: 1) Aktivitas
fisik kurang, 2) riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first degree
relative), 3) masuk kelompok etnik risiko tinggi (African American, Latino, Native
American, Asian American, Pacific Islander), 4) Wanita dengan riwayat melahirkan
bayi dengan berat >4.000 gram atau riwayat Diabetes Mellitus Gestational (DMG), 5)
Hipertensi (tekanan darah >140/90mmHg atau sedang dalam terapi obat anti
hipertensi), 6) Kolesterol HDL <35mg/dL dan atau trigliserida >250mg/dL, 7) Wanita
dengan sindrom polikistik ovarium, 8) riwayat Toleransi glukosa terganggu (TGT)
atau Glukosa darah puasa terganggu (GDPT), 9) keadaan lain yang berhubungan
dengan resistensi insulin (obesitas, akantosis nigrikans) dan 10) riwayat penyakit
kardiovaskular.
18
Pada penapisan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa atau sewaktu
atau TTGO. Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya
negatif, pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka
yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan
setiap 3 tahun atau lebih cepat tergantung dari klinis masing-masing pasien.
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa
terganggu (TGT), sehingga dapat ditentukkan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien
dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10
tahun kemudian 1/3 kelompok TGT dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT
sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko terjadinya
aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan
dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia. Peran aktif para
pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapar ditegakkan sedini
mungkin dan pencegahan primer dan sekunder dapat segera diterapkan.
2.1.5 Patogenesis
Pada DM tipe 1 atau yang disebut IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus)
terjadi ketiadaan insulin yang mutlak, sehingga penderita membutuhkan pasokan
insulin dari luar. Kondisi ini disebabkan karena adanya lesi pada sel beta pankreas.
Pembentukan lesi ini disebabkan karena mekanisme gangguan autoimun dan infeksi
virus yang terlibat dalam kerusakan sel-sel beta. Adanya antibodi atau autoimun yang
menyerang sel beta biasanya dideteksi beberapa tahun sebelum timbulnya penyakit.
DM tipe 1 dapat berkembang secara tiba-tiba, dengan tiga gejala pokok: (1)
meningkatnya glukosa darah, (2) peningkatan penggunaan lemak untuk energi dan
pembentukan kolesterol oleh hati, dan (3) penipisan protein tubuh.
Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang progresif, dimulai
dengan resistensi insulin yang mengarah ke peningkatan produksi glukosa hepatik dan
berakhir dengan kerusakan sel beta. Resistensi insulin didefinisikan sebagai
ketidakmampuan jaringan target seperti otot dan jaringan adiposa untuk merespon
sekresi insulin endogen dalam tubuh. Lipotoksisitas dapat berkontribusi terhadap
resistensi insulin. Lipotoksisitas mengacu kepada tingginya konsentrasi asam lemak
bebas yang terjadi sebagai akibat tekanan hambatan hormone sensitive lipase (HSL).
19
Normalnya insulin menghambat lipolisis dengan menghambat HSL, namun pada
resistensi insulin tidak terjadi secara efisien. Hasil dari peningkatan lipolisis adalah
peningkatan asam lemak bebas, dan inilah yang menyebabkan obesitas dan
peningkatan adiposa. Asam lemak bebas menyebabkan resistensi insulin dengan
mempromosikan fosforilasi serin pada reseptor insulin yang dapat mengurangi
aktivitas insulin signalling pathway. Fosforilasi reseptor insulin pada asam amino
tirosin penting untuk mengaktifkan insulin signalling pathway, jika tidak, maka
GLUT-4 akan gagal untuk translocate, dan penyerapan glukosa ke jaringan akan
berkurang, menyebabkan hiperglikemia. Pada individu non-diabetik sel beta mampu
menangkal resistensi insulin dengan meningkatkan produksi dan sekresi insulin. Pada
penderita DM apabila keadaan resistensi insulin bertambah berat disertai tingginya
glukosa yang terus terjadi, sel beta pankreas dalam jangka waktu yang tidak lama tidak
mampu mensekresikan insulin dalam jumlah cukup untuk menurunkan kadar gula
darah, disertai dengan peningkatan glukosa hepatik dan penurunan penggunaan
glukosa oleh otot dan lemak akan mempengaruhi kadar gula dara puasa dan
postpandrial. Akhirnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas akan menurun dan terjadi
hiperglikemia berat.
Hiperglikemia dan hiperinsulinemia yang terjadi pada DM-2 menyebabkan
resistensi adiponektin melalui penurunan regulasi ekspresi reseptor AdipoR1. Hal ini
menyebabkan C-terminal globular domain (gAd), produk gen adiponektin yang
memilik efek metabolik yang poten terutama pada otot skeletal, mengalami resistensi
sehingga kemampuan gAd untuk meningkatkan translokasi GLUT-4, penyerapan
glukosa, penyerapan asam lemak dan oksidasi, serta fosforilasi AMP-activated protein
kinase (AMPK) dan asetil-CoA karboksilase (ACC) mengalami penurunan.
Menariknya, hiperinsulinemia menyebabkan peningkatan sensitivitas full-length
adiponectin (fAd) melalui peningkatan eskpresi reseptor AdipoR2. Hiperinsulinemia
menginduksi kemampuan fAd untuk meningkatkan penyerapan asam lemak dan
meningkatkan oksidasi 11 asam lemak sebagai respon dari fAd sehingga meningkatkan
resiko komplikasi vaskular pada DM-2.
2.1.6 Penatalaksanaan
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau
20
suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal
atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik
berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan
adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
a. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan
motivasi. Perilaku yang diharapkan adalah seperti pola makan sehat, meningkatkan
kegiatan jasmani, menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus
secara aman dan teratur, melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
dan memanfaatkan data yang ada, melakukan perawatan kaki secara berkala,
memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut dengan
tepat, dan mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat
awal dan materi edukasi tingkat lanjutan. Materi edukasi tingkat awal antara lain
mengenai perjalanan penyakit DM, penyulit DM dan risikonya hingga cara
mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan. Materi edukasi pada tingkat lanjut
menjelaskan mengenai pengenala dan pencegahan penyulit akut DM, rencana untuk
kegiatan khusus hingga pemeliharaan/perawatan kaki.
Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan
kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan
khusus.
Kegagalan pengendalian glikemia pada Diabetes Mellitus (DM) setelah
melakukan perubahan gaya hidup memerlukan intervensi farmakoterapi agar dapat
mencegah terjadinya komplikasi diabetes atau paling sedikit dapat menghambatnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut sangat diperlukan peran serta para pengelola
kesehatan di tingkat pelayanan primer.
21
Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes melitus tipe 2, yang
ditandai adanya gangguan sekresi insulin ataupun gangguan kerja insulin (resistensi
insulin) pada organ target terutama hati dan otot. Selain pada otot, resistensi insulin
juga dapat terjadi pada jaringan adiposa, sehingga merangsang proses lipolisis dan
meningkatkan asam lemak bebas. Hal ini juga mengakibatkan gangguan proses
ambilan glukosa oleh sel otot dan mengganggu sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Fenomena ini yang disebut dengan lipotoksisitas.
b. Terapi Nutrisi Medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada
penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum
yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi
masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama
pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
- Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
1. Karbohidrat
o Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
o Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
o Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
o Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain
o Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
o Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted-Daily Intake)
o Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau
makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
2. Lemak
22
o Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori.
o Tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
o Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
o Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
o Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh
(whole milk).
o Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
3. Protein
o Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.
o Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang,cumi,dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu, dan tempe.
o Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi
0,8g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya
bernilai biologik tinggi.
4. Natrium
o Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan
6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur.
o Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400mg.
o Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
5. Serat
Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral,
serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan. Anjuran konsumsi serat
adalah ± 25 g/hari.
6. Pemanis Alternatif
23
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa. Gula
alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol.
Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari. Fruktosa tidak
dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek samping pada
lemak darah. Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain
aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame. Pemanis
aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily
Intake/ADI).
- Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah
atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur,
aktivitas, berat badan, dll. Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan
rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sbb:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah
150cm, rumus dimodifikasi menjadi: Berat badan ideal (BBI) = (TB
dalam cm - 100) x 1kg.
BB Normal : BB ideal ± 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks
massa tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/ TB(m2)
Klasifikasi IMT*
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih ≥ 23,0
Dengan risiko : 23,0-24,9
Obesitas I : 25,0-29,9
Obesitas II : >30
24
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :
Jenis Kelamin
o Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan
kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/
kg BB.
Umur
o Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5%
untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade
antara 60 dan 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.
Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
o Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas
fisik.
o Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada
kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30%
dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.
Berat Badan
o Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada
tingkat kegemukan
o Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan
untuk meningkatkan BB.
o Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan
paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600
kkal perhari untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi
dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta
2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan
kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan
kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain, pola
pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.
- Pilihan Makanan
Pilihan makanan untuk penyandang diabetes dapat dijelaskan melalui piramida
makanan untuk penyandang diabetes
25
c. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan
kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif
sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat
komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalas-malasan.
d. Terapi Farmakologis
Dengan dasar pengetahuan ini maka dapatlah diperkirakan bahwa dalam
mengelola diabetes tipe 2, pemilihan penggunan intervensi farmakologik sangat
bergantung pada fase mana diagnosis diabtes ditergakkan yaitu sesuai dengan
kelainan dasar yang terjadi pada saat tersebut:
1. Resistensi Insulin pada jaringan lemak, otot dan hati
2. Kenaikan produksi glukosa oleh hati
3. Kekurangan sekresi insulin oleh pankreas.
Pilar penatalakasanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi, yaitu
berupa pemberian edukasi, perencanaan makan/terapi nutrisi medik, kegiatan
jasmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila
dengan langkah-langkah pendekatan non farmakologik tersebut belum mampu
mencapai sasaran pengendalian DM belum tercapai, maka dilanjutkan dengan
penggunan perlu penambahan terapi medikamentosa atau intervensi farmakologi di
samping tetap melakukan pengaturan makan dan aktivitas fisik yang sesuai. Dalam
melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat
sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia.
Pada beberapa kondisi saat kebutuhan insulin sangat meningkat akibatnya adanya
infeksi, stress akut (gagal jantung, iskemi jantung akut), tanda-tanda defisiensi
26
insulin yang berat (penurunan berat badan yang cepat, ketosis, ketoasidosis) atau
pada kehamilan yang kendali glikemiknya tidak terkontrol dengan perencanaan
makan, maka pengelolaan farmakologis umumnya memerlukan terapi insulin.
Keadaan seperti ini memerlukan perawatan di rumah sakit.
27
Macam-Macam Obat Anti Hiperglikemik Oral
o Golongan Insulin Sentizing
1. Biguanid
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin
terdapat konsentrasi yang tinggi di dalam usus dan hati, tidak dimetabolisme
tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Proses tersebut berjalan cepat
sehingga metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali sehari kecuali
dalam bentuk extended relase. Kadar tertinggi dicapai setelah 2 jam
pemberian oral dan diekskresikan lewat urin dalam keadaan utuh dengan
waktu paruh 2 – 5 jam. Metformin menurunkan glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular, distal reseptor insulin
dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan penggunaan
glukosa oleh jaringan perifer yang dipengaruhi AMP acticated protein kinase
(AMPK), yang merupakan regulator selular utama bagi metabolisme lipid dan
glukosa. Aktivasi AMPK pada hepatosit akan mengurangi aktivitas Acetyl Co-
A karboksilase (ACC) dengan induksi oksidasi asam lemak dan menekan
28
ekspresi enzim lipogenik. Metformin juga dapat menstimulasi produksi
glukagon like peptide-1 (GLP-1) dari gastrointestinal yang dapat menekan
fungsi sel alfa pankreas sehingga menurunkan glukagon serum dan
mengurangi hiperglikemia saat puasa. Metformin tidak memiliki efek
stimulasi pada sel beta pankreas sehingga tidak mengakibatkan hipoglikemia
dan penambahan berat badan. Metformin merupakan antihiperglikemik, dapat
digunakan sebagai monoterapi dan sebagai terapi kombinasi. Penelitian klinik
memberikan hasil monoterapi bermakna dalam penurunan glukosa darah
puasa (60-70mg/dL) dan HbA1C (1-2%). Kombinasi sulfonilurea dengan
metformin saat ini merupakan kombinasi yang rasional karena mempunyai
cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat menurunkan glukosa darah
lebih banyak daripada pengobatan tunggal masing-masing. Metformin adalah
monoterapi pilhan utama pada awal pengelolaan diabtes pada orang gemuk
dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat. Efek samping gastrointestinal
tidak jarang didapatkan pada pemakaian awal metformin dan ini dapat
dikurangi dengan memberian obat dimulai dengan dosis rendah dan diberikan
bersamaan dengan makanan. Efek samping lain yang dapat terjadi adalah
asidosis laktat, meskipun jarang namun dapat berakibat fatal. Pada gangguan
fungsi ginjal yang berat, metformin dosis tinggi akan terakumulasi di
mitokondria dan menghambat proses fosforilasi oksidatif sehingga
mengakibatkan asidosis laktat (yang dapat diperberat dengan alkohol). Untuk
menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal (kreatinin >1,3 mg/dL pada perempuan dan >1,5 mg/dL pada laki
-laki. Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi hati, infeksi berat,
penggunaan alkohol berlebihan serta penyandang gagal jantung yang
memerlukan terapi.
2. Glitazone (Thiazolidones)
Merupakan agonis peroxisome proliferator-activated receptor gamma (PPAR-
y) yang sangat selektif dan poten. Glitazon merupakan regulator homeostasis
lipid, diferensiasi adiposit, dan kerja insulin. Sama seperti metformin,
glitazone tidak menstimulasi produksi insulin oleh sel beta pankreas bahkan
menurunkan konsentrasi insulin lebih besar daripada metformin.
Glitazone dapat meningkatkan berat badan dan edema pada 3-5% pasien
akibat beberapa mekanisme, antara lain; penumpukan lemak subkutan di
29
perifer dengan pengurangan lemak viseral; meningkatnya volume plasma
akibat aktivasi reseptor PPAR-y di ginjal; penurunan ekskresi natrium di ginjal
sehingga terjadi peningkatan natrium dan retensi cairan.
Selain penambahan berat badan dan edema terdapat keluhan infeksi saluran
nafas atas (16%), sakit kepala (7,1%) dan anemia dilusional (penurunan
hemoglobin sekitar 1 gr/dL). Pemakaian glitazone dihentikan bila terdapat
kenaikan enzim hati (ALT dan AST) lebih dari tiga kali batas atas normal.
Pemakaiannya harus hati-hati pada pasien dengan riwayat penyakit hati
sebelumnya, gagal jantung NYHA kelas 3 dan 4. Berdasarkan hasil
metaanalisis, dilaporkan risiko kematian akibat kardiovaskular meningkat 43%
dan infark miokard 43%.
o Golongan Sekretagok Insulin
Sekretagok Insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara menstimulasi
sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini meliputi SU dan non SU
(glinid).
1. Sulfonilurea
Telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950an. Obat ini
digunakan sebagai terapi farmakologis pada pengobatan diabetes dimulai,
terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada
sekresi insulin. Sulfonilurea sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena
kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin.
Efek akut obat golongan sulfonilurea berbeda dengan efek pada pemakaian
jangka lama. Glibenklamid misalnya mempunyai masa paruh 4 jam pada
pemakaian akut, tetapi pada pemakaian jangka lama >12 minggu, masa
paruhnya memanjang sampai 12 jam, bahkan sampai >20 jam pada pemakaian
kronik dengan dosis maksimal, karena itu dianjurkan untuk glibenklamid
sehari sekali.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk
melepaskan insulin yang tersimpan, sehingga hanya bermanfaat pada pasien
yang masih mampu mensekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai
pada diabetes melitus tipe 1. Efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan
merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila
sulfonilurea terikat pada reseptor (SUR) channel tersebut maka akan terjadi
30
penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya penurunan
permeabilitas K pada membran sel beta, terjadi depolarisasi membran dan
membuka channel Ca tergantung voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca
intrasel. Ca akan terikat pada Calmodulin, dan menyebabkan eksositosis
granul yang mengandung insulin.
Berdasarkan lama kerjanya Sulfonilurea dibagi menjadi 3 golongan yaitu
generai pertama pertama, generasi kedua, dan ketiga. SU generasi pertama
adalah acetohexamide, tolbutamide, dan chlorpropamide. SU generasi kedua
alahah glibenclamide, glipizide dan gliclazide. SU generasi ketiga adalah
glimepiride.
Dosis permulaan SU tergantung pada beratnya hiperglikemia. Bila konsentrasi
glukosa puasa <200mg/dL, SU sebaiknya dimulai dosis kecil dan titrasi secara
bertahap setelah 1 – 2 minggu sehingga tercapai glukosa darah 90-130mg/dL.
Bila glukosa plasma puasa >200mg/dL dapat diberikan dosis awal yang lebih
besar. Obat sebaikanya diberikan setengah jam sebelum makan karena diserap
dengan lebih baik. Pada obat yang diberikan satu kali sehari, sebaiknya
diberikan pada waktu makan pagi atau pada saat makan makanan porsi
terbesar.
Hipoglikemia merupakan efek samping terpenting dari SU terutama bila
asupan pasien tidak adekuat, apalagi pada orang tua dipilih obat yang masa
kerjanya paling singkat. Obat SU dengan masa kerja panjang sebaiknya tidak
dipakai pada usia lanjut. Selain pada orang tua, hipoglikemia juga lebih sering
terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, gangguan fungsi hati berat dan pasien
dengan masukkan makan yang kurang dan jika dipakai bersama obat sulfa
dapat menimbulkan kenaikan berat badan sekitaar 4-6 kg, gangguan
pencernaan, fotosensitifitas, gangguan enzim hati dan flushing. Kontraindikasi
pada DM tipe 1, hipersensitifitas terhadap sulfa, hamil, dan menyusui.
2. Glinid
Mekanisme kerja glinid juga melalui reseptor SU (SUR) dan mempunyai
struktur yang mirip dengan sulfonilurea, perbedaanya dengan SU adalah pada
masa kerjanya yang lebih pendek. Mengingat lama kerjanya yang pendek
maka glinid digunakan sebagai obat prandial. Repaglinid dan nateglinid
kedua-duanya diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat
dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan dua sampai
31
tiga kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun
mempunyai masa paruh yang singkat karena lama menempel pada kompleks
SUR sehingga menurunkan ekuivalen HbA1C pada SU.
Sedangkan Nateglinid mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak
menurunkan glukosa darah puasa, sehingga keduanya merupakan sekretagok
yang khusus menunrunkan glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik
yang minimal. Mengingat efeknya terhadap glukosa puasa tidak begitu baik
maka glinid tidak begitu kuat menurunkan HbA1C.
3. Penghambat Alfa Glukosidase
Acarbose hampir tidak diabsorpsi dan bekerja lokal pada saluran pencernaan.
Acarbose mengalami metabolisme di dalam saluran pencernaan, metabolisme
terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktivitas enzim
pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira-kira 2 jam pada orang sehat
dan sebagian besar diekskresi melalui feses. Obat ini bekerja secara kompetitif
menghambat kerja enzim alfa glukosidase yang terdapat pada dinding
enterosit yang terletak pada bagian proksimal usus halus. Secara klinis akan
menghambat pembentukan monosakarida intraluminal, menghambat dan
memperpanjang peningkatan glukosa darah postprandial dan mempengaruhi
respons insulin plasma. Hasil akhirnya adalah penurunan glukosa darah post
prandial. Untuk efek maksimal, obat ini harus diberikan segera pada saat
makanan utama. Dengan memberikannya 15 menit sebelum atau sesudah
makan akan mengurangi dampak pengobatan terhadap glukosa post prandial.
Efek samping berupa gejala gastrointestinal; meteorismus, flatulence (50%)
dan diare. Kontraindikasi pada kondisi irritable bowel syndrome, obstruksi
saluran cerna, dan sirosis hati dan gangguan fungsi ginjal.
o Golongan Incretin
1. Penghambat Dipeptidyl Peptidase IV (Penghambat DPP-IV)
Penghambat enzim DPP-IV diharapkan dapat memperpanjang masa kerja
GLP-1 sehingga membantu menurunkan hiperglikemia. Terdapat dua macam
penghambat DPP-IV yang ada pada saat ini yaitu sitagliptin dan vildagliptin.
Pada terapi tunggal, penghambat DPP-IV dapat menunrunkan HbA1C sebesar
0,79-0,94% dan memiliki efek pada glukosa puasa dan post prandial.
Penghambat DPP-IV dapat digunakan sebagai terapi alternatif bila terdapat
32
intoleransi pada pemakaian metformin atau pada usia lanjut. Penghambat
DPP-IV tidak mengakibatkan hipoglikemia maupun kenaikan berat badan.
Efek samping yang dapt ditemukan adalah nasofaringitis, peningkatan risiko
infeksi saluran kemih dan sakit kepala. Reaksi alergi yang berat jarang
ditemukan.
o Insulin
Saat ini tersedia berbagai jenis insulin, mulai dari human insulinsampai insulin
analog. Memahami farmakokinetik berbagai jenis insulin menjadi landasan dalam
penggunaan insulin sehingga pemakaiannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan
tubuh. Sebagai contoh, pada kebutuhan insulin basal dan prandial/setelah makan
terdapat perbedaan jenis insulin yang digunakan. Dengan demikian, pada
akhirnya, akan tercapai kendali kadar glukosa darah sesuai sasaran terapi. Seperti
telah diketahui, untuk memenuhi kebutuhan insulin basal dapat digunakan insulin
kerja menengah (intermediate acting insulin) atau kerja panjang (long-acting
insulin); sementara untuk memenuhi kebutuhan insulin prandial (setelah makan)
digunakan insulin kerja cepat (sering disebut insulin reguler/short-acting insulin)
atau insulin kerja sangat cepat (rapid- atau ultra-rapid acting insulin). Di pasaran,
selain tersedia insulin dengan komposisi tersendiri, juga ada sediaan yang sudah
dalam bentuk campuran antara insulin kerja cepat atau sangat cepat dengan
insulin kerja menengah (disebut juga pre mixed insulin).
33
Pada awalnya, terapi insulin hanya ditujukan bagi pasien diabetes melitus tipe
1 (DMT1). Namun demikian, pada kenyataannya, insulin lebih banyak digunakan
oleh pasien DMT2 karena prevalensi DMT2 jauh lebih banyak dibandingkan DMT1.
Terapi insulin pada pasien DMT2 dapat dimulai antara lain untuk pasien dengan
kegagalan terapi oral, kendali kadar glukosa darah yang buruk (A1c>7,5 % atau kadar
glukosa darah puasa >250 mg/dL), riwayat pankreatektomi, atau disfungsi pankreas,
riwayat fluktuasi kadar glukosa darah yang lebar, riwayat ketoasidosis, riwayat
penggunaan insulin lebih dari 5 tahun, dan penyandang DM lebih dari 10 tahun.
Pada pasien DMT1, pemberian insulin yang dianjurkan adalah injeksi harian
multipel dengan tujuan mencapai kendali kadar glukosa darah yang baik. Selain itu,
pemberian juga dapat dilakukan dengan menggunakan pompa insulin (continous
subcutaneous insulin infusion/CSII).
34
Pada DMT2 sesuai dengan algoritma PERKENI tahun 2011, terapi insulin
untuk pasien DMT2 dapat dimulai jika kadar glukosa darah tidak terkontrol dengan
baik (A1C>6,5%) dalam jangka waktu 3 bulan dengan 2 obat oral, dengan cara
dikombinasikan dengan obat antidiabetik oral.
Cara pemberian insulin yang umum dilakukan adalah dengan semprit dan
jarum, pen insulin, atau pompa insulin (CSII). Sampai saat ini, penggunaan CSII di
Indonesia masih sangat terbatas. Pemakaian semprit dan jarum cukup fleksibel serta
me-mungkinkan kita untuk mengatur dosis dan membuat berbagaiformula campuran
insulin untuk mengurangi jumlah injeksi per hari. Keterbatasannya adalah
memerlukan penglihatan yang baik dan ketrampilan yang cukup untuk menarik dosis
insulin yang tepat. Pen insulin kini lebih popular dibandingkan semprit dan jarum.
Cara penggunaannya lebih mudah dan nyaman, serta dapat dibawa kemana-mana.
Kelemahannya adalah kita tidak dapat mencampur dua jenis insulin menjadi berbagai
kombinasi, kecuali yang sudah tersedia dalam sediaan tetap (insulin premixed).
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan),
dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit. Pada keadaan
khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip. Lokasi
penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan dengan benar,
demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.
35
Kebutuhan insulin prandial dapat dipenuhi dengan insulin kerja cepat (insulin
regular atau rapid acting insulin analog). Insulin tersebut diberikan sebelum makan
atau setelah makan (hanya untuk penggunaan rapid acting insulin analog) apabila
jadwal dan jumlah asupan makanan tidak pasti.
Rekomendasi jenis dan dosis pemberian insulin subkutan pada pasien DMT1
dan DMT2 yang mendapatkan makanan secara oral dapat dilihat pada tabel di atas.
Selain berdasarkan algoritma, insulin diperlukan pada keadaan:
1. Penurunan berat badan yang cepat
2. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
3. Ketoasidosis diabetik
4. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
5. Hiperglikemia dengan asidosis laktat
6. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
7. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
8. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
9. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
10. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara
terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:
Pemeriksaan kadar glukosa darah
36
o Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai
sasaran terapi. Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa, glukosa 2 jam post
prandial, atau glukosa darah pada waktu yang lain secara
berkala sesuai dengan kebutuhan.
Pemeriksaan A1C
o Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai
glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai
A1C), merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan
terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk
menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C
dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun.
DAFTAR PUSTAKA
1. Harrison Internal Medicine. 18th Ed. Philladelphia: McGrawHill; 2010
2. Riskesdas 2013
3. PERKENI. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di
Indonesia 2011. Jakarta: PERKENI; 2011
4. Setiawi S, Alwi I, Sudoyo, Simadibatra MK, Setiyohadi B, Syam, FA. Buku Ajar : Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 6. Jakarta: Internal Publshing; 2014.
5. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes Care. Jan 2014;37 Suppl
1:S14-78.
6. International Expert Committee. International Expert Committee report on the role of
the A1C assay in the diagnosis of diabetes. Diabetes Care 2009;32: 1327–34.
7. Selvin E, Steffes MW, Zhu H, et al. Glycated hemoglobin, diabetes, and cardiovascular
risk in nondiabetic adults. N Engl J Med.2010; 362:800–11
37
8. Tim Konsensus Insulin. Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Pasien Diabetes Mellitus.
Jakarta; 2006.
38