Makalah Hemostasis

74
Makalah Hemostasis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam keadaan normal darah senantiasa berada di dalam pembuluh darah dan berbentuk cair. Keadaan ini dapat diperoleh bila terdapat keseimbangan antara aktivitas koagulasi dengan aktivitasfibrinolisis pada sistem hemostasis yang melibatkan endotel pembuluh darah, trombosit, protein pembekuan, protein antikoagulan dan enzim fibrinolisis. Terjadinya efek pada salah satu atau beberapa komponen ini akan menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan hemostasis dan menimbulkan komplikasi perdarahan atau trombosis. Pembuluh darah yang normal dilapisi oleh sel endotel. Dalam keadaan yang utuh sel endotel bersifat antikoagulan dengan menghasilkan inhibitor trombosit (nitrogen oksida, prostasiklin, ADPase), inhibitor bekuan darah/lisis (heparan, tissue plasminogen activator, urokinase plasminogen aktivator, trombomodulin, inhibitor jalur faktor jaringan). Sel endotel ini dapat terkelupas oleh berbagai rangsangan seperti asidosis, hipoksia, endotoksin, oksidan, sitokin dan shear stress. Endotel pembuluh darah yang tidak utuh akan menyebabkan vasokonstriksi lokal, menghasilkan faktor koagulasi (tromboplastin, faktor von Willebrand, aktivator dan inhibitor protein C, inhibitor aktivator plasminogen tipe 1), terbukanya jaringan ikat subendotel (serat kolagen, serat elastin dan membran basalis) yang menyebabkan aktivasidan adhesi trombosit serta mengaktifkan faktor XI dan XII. Trombosit dalam proses hemostasis berperan sebagai penambal kebocoran dalam sistem sirkulasi dengan membentuk sumbat trombosit pada daerah yang mengalami kerusakan. Agar dapat membentuk suatu sumbat trombosit maka trombosit harus mengalami beberapa tahap reaksi yaitu aktivasi trombosit, adhesi trombosit pada daerah yang mengalami kerusakan, aggregasi trombosit dan reaksi degranulasi. Trombosit akan teraktivasi jika terpapar dengan berbagai protein

description

Makalah Hemostasis

Transcript of Makalah Hemostasis

Page 1: Makalah Hemostasis

Makalah Hemostasis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam keadaan normal darah senantiasa berada di dalam pembuluh darah dan berbentuk cair. Keadaan ini dapat diperoleh bila terdapat keseimbangan antara aktivitas koagulasi dengan aktivitasfibrinolisis pada sistem hemostasis yang melibatkan endotel pembuluh darah, trombosit, protein pembekuan, protein antikoagulan dan enzim fibrinolisis. Terjadinya efek pada salah satu atau beberapa komponen ini akan menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan hemostasis dan menimbulkan komplikasi perdarahan atau trombosis.

Pembuluh darah yang normal dilapisi oleh sel endotel. Dalam keadaan yang utuh sel endotel bersifat antikoagulan dengan menghasilkan inhibitor trombosit (nitrogen oksida, prostasiklin, ADPase), inhibitor bekuan darah/lisis (heparan, tissue plasminogen activator, urokinase plasminogen aktivator, trombomodulin, inhibitor jalur faktor jaringan). Sel endotel ini dapat terkelupas oleh berbagai rangsangan seperti asidosis, hipoksia, endotoksin, oksidan, sitokin dan shear stress. Endotel pembuluh darah yang tidak utuh akan menyebabkan vasokonstriksi lokal, menghasilkan faktor koagulasi (tromboplastin, faktor von Willebrand, aktivator dan inhibitor protein C, inhibitor aktivator plasminogen tipe 1), terbukanya jaringan ikat subendotel (serat kolagen, serat elastin dan membran basalis) yang menyebabkan aktivasidan adhesi trombosit serta mengaktifkan faktor XI dan XII.

Trombosit dalam proses hemostasis berperan sebagai penambal kebocoran dalam sistem sirkulasi dengan membentuk sumbat trombosit pada daerah yang mengalami kerusakan. Agar dapat membentuk suatu sumbat trombosit maka trombosit harus mengalami beberapa tahap reaksi yaitu aktivasi trombosit, adhesi trombosit pada daerah yang mengalami kerusakan, aggregasi trombosit dan reaksi degranulasi. Trombosit akan teraktivasi jika terpapar dengan berbagai protein prokoagulan yang dihasilkan oleh sel endotel yang rusak. Adhesi trombosit pada jaringan ikat subendotel terjadi melalui interaksi antara reseptor glikoprotein membran trombosit dengan protein subendotel terutama faktor von Willebrand sedangkan aggregasi trombosit terjadi melalui interaksi antar reseptor trombosit dengan fibrinogen sebagai mediator.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, maka kami sebagai penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan yakni sebagai berikut :

1.2.1 Apa pengertian dari Hemostasis?

1.2.2 Bagaimana proses Hemostasis ?

1.2.3 Faktor-faktor terjadinya pembekuan darah ?

Page 2: Makalah Hemostasis

1.2.4 Bagaimana mekanisme Hemostasis.?

1.2.5 Bagaimana cara pemeriksaan Hemostasis.

1.3 Tujuan

Mengacu pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penyusunan makalah ini yaitu :

1.3.1 Untuk dapat mengetahui pengertian dari Hemostasis

1.3.2 Untuk dapat menjelaskan bagaimana proses Hemostasis.

1.3.3 Dapat mengetahui factor-faktor terjadinyapembekuan darah.

1.3.4 Untuk dapat mengetahui Mekanisme Hemostasis.

1.3.5 Untuk dapat mengetahui bagaimana cara pemeriksaan Hemostasis.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Hemostasis atau haemostasis berasal dari bahasa Yunani: aimóstasis (αιμόστασις), yang terdiri dari dua kata yaitu aíma (αίμα) yang berarti “darah" dan stásis (στάσις) yang berarti "stagnasi".

Hemostasis adalah mekanisme menghentikan dan mencegah perdarahan. Bilamana terdapat luka pada pembuluh darah, segara akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah sehingga aliran darah ke pembuluh darah yang terluka berkurang. untuk Kemudian trombosit akan berkumpul dan melekat pada bagian pembuluh darah yang terluka untuk membentuk sumbat trombosit. Faktor pembekuan darah yang diaktifkan akan membentuk benang-benang fibrin yang akan membuat sumbat trombosit menjadi non permeabel sehingga perdarahan dapat dihentikan.

Jadi dalam proses hemosatasis terjadi 3 reaksi yaitu reaksi vascular berupa vasokontriksi pembuluh darah, reaksi selular yaitu pembentukan sumbat trombosit, dan reaksi biokimiawi yaitu pembentukan fibrin. Faktor-faktor yang memegang peranan dalam proses hemostasis adalah pembuluh darah, trombosit, dan faktor pembekuan darah. Selain itu faktor lain yang juga mempengaruhi hemostasis adalah faktor ekstravascular, yaitu jaringan ikat disekitar pembuluh darah dan keadaan otot.Pedarahan mungkin diakibatkan oleh kelainan pembuluh darah, trombosit, ataupun sistem pembekuan darah. Bila gejala perdarahan merupakan kalainan bawaan, hampir selalu penyebabnya adalah salah satu dari ketiga faktor tersebut diatas kecuali penyakit Von Willebrand. Sedangkan pada kelainan perdarahan yang didapat, penyebabnya mungkin bersifat multipel. Oleh karena itu pemeriksaan penyaring hemostasis harus meliputi pemeriksaan vasculer, treombosit, dan koagulasi.Biasanya pemeriksaan hemostasis dilakukan sebelum operasi. Beberapa klinisi membutuhkan pemerikasaan hemostasis untuk semua penderita praoperasi, tetapi ada juga membatasi hanya pada penderita dengan gangguan hemostasis. Yang paling penting adalah anamnesis riwayat perdarahan. Walaupun hasil pemeriksaan penyaring normal, pemeriksaan hemostasis yang lengkap perlu dikerjakan jika ada riwayat perdarahan.

Page 3: Makalah Hemostasis

2.2 Proses Hemostasis

Proses hemostasis terjadi melalui tiga proses yaitu :

2.2.1 Fase vascular

Karena akibat dari adanya trauma pada pembuluh darah maka respon yang pertama kali adalah respon dari vaskuler/kapiler yaitu terjadinya kontraksi dari kapiler disertai dengan extra-vasasi dari pembuluh darah, akibat dari extra vasasi ini akan memberikan tekanan pada kapiler tersebut (adanya timbunan darah disekitar kapiler).

2.2.2 Fase Platelet/trombosit

Pada saat terjadinya pengecilan lumen kapiler (vasokontriksi) dan extra vasasi ada darah yang melalui permukaan asar (jaringan kolagen) dengan akibatnya trombosit. Akibat dari bertemunya trombosit dengan permukaan kasar maka trombosit tersebut akan mengalami adhesi serta agregasi.Setelah terjadinya adhesi maka dengan pengaruh ATP akan terjadilah agregasi yaitu saling melekat dan desintegrasi sehingga terbentuklah suatu massa yang melekat.

Peristiwa trombosit yang mulai pecah/lepas- lepas hingga menjadi suatu massa yang melekat disebut Viscous metamorphosis. Akibat dari terjadinya semua proses ini maka terjadilah gumpalan plug (sumbatan) baru kemudian terjadi fase yang ketiga.

2.2.3 Fase koagulasi

Fase ini terdiri dari tiga tahapan yaitu : a. Pembentukan prothrombinase/prothrombin activator b. Perubahan prothrombine menjadi trombone c. Perubahan fibrinogen menjadi fibrin

Ada kontak dan adanya cairan jaringan yang masuk, cairan jaringan ini mengandung thromboplastin proses pembekuan darah terjadi karena adanya factor intrinsic dan factor ekstrinsik. Factor intrinsic baru terjadi bila ada kontak aktivasi. Apabila kontak aktivasi tidak ada, kebanyakan factor intrinsic berada dalam keadaan tidak aktiv (cascade theory dari clotting factor.waktu pembuluh darah terputus.

Jaringan thromboplastin adalah factor yang berasal dari jaringan. Factor ekstrinsik reaksinya adalah berjalan dengan cepat (10 – 11 detik), sedngkan factor intrinsic berjalan selama 8 menit Pada.

2.3 Faktor-Faktor Pembekuan Darah

2.3.1 Faktor I = fibrinogen 2.3.2 Faktor II = Prhotrombine 2.3.3 Faktor III = Fakotr jaringan 2.3.4 Faktor IV = Ion kalsium 2.3.5 Faktor V = Proaccelerine 2.3.6 Faktor VI = Accelerine 2.3.7 Faktor VIII = A.H.G (Anti Haemphilly Globulin)

Page 4: Makalah Hemostasis

2.3.8 Faktor IX = Christmas factor 2.3.9 Faktor X = Stuart factor 2.3.10 Faktor XI = Plasma thromboplastin antecedent 2.3.11 Faktor XII = Hagemen factor 2.3.12 Faktor XIII = Fibrine stabilizing factor (fibrinase)

2.4 Mekanisme Hemostasis

2.4.1 Primer

Mekanisme vasokonstriksi pembuluh darah pada luka yang kecil.

2.4.2 Sekunder

Mekanisme yang melibatkan faktor-faktor koagulasi dalam plasma dan trombosit dengan tujuan akhir pembentukan jala-jala fibrin, terjadi pada luka yang besar.

2.4.3 Tersier

Mekanisme kontrol yang menjaga agar hemostasis tidak berlebihan melaku sistem fibrinolitik.

2.5 Hemostasis (Hemofilia)

Hemofilia merupakan salah satu gangguan dari hemostasis.Hemofilia berasal dari bahasa Yunani Kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu haima yang berarti darah dan philia yang berarti cinta atu kasih sayang.Jadi dapat diartikan bahwa hemofilia merupakan penyakit yang diturunkan dari ibu kepada anaknya pada saat anak tersebut dilahirkan.

Adapun pengertian lain dari hemofilia adalah penyakit kelainan perdarahan yang disebabkan adanya kekurangan faktor pembekuan darah atau trombosit (penyakit gangguan pembekuan darah). Hal ini disebabkan karena darah pada penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya secar normal. Proses pembekuan darah pada seorang penderita hemofilia tidak secepat atau sebanyak orang yang normal. Penderita hemofilia akan lebih banyak membutuhkan waktu untuk proses pembekuan darahnya.

Penderita hemofilia ini kebanyakan mengalami gangguan perdarahan di bawah kulit : seperti luka memar jika sedikit mengalami benturan, atau luka memar timbul dengan sendirinya jika si penderita telah melakukan aktifitas yang berat sepertai pembengkakkan pada persendian ; seperti lutut, pergelanagn tangan atau siku tangan. Hemofilia bisa membahayakan jiwa jika terjadi perdarahan di organ vital seperti perdarahan pada otak.

Hemofilia lebih sering dijumpai pada anak-anak. Bila pria penderita hemofilia bertahan hidup dan bertahan sampai perkawinan, maka dia akan menurunkan anak- anak wanita yang normal pembawa ( carier ). Dan ank wanita keturunannya ini akan menurunkan kepada sebagian anak laki – lakinya, sehingga anak laki – lakinya ada yang menderita hemofilia.

2.5.1 Jenis – Jenis Hemofilia

a. Hemofilia A

Page 5: Makalah Hemostasis

Hemofilia A dikenal juga dengan nama :

· Hemofilia Klasik ; karena jenis hemofilia ini adalah yang paling banyak kekurangan faktor pembekuan pada darah ( FAH = Factor Anti Hemophilia )

· Hemofilia FVIII : yaitu penyakit hemofilia yang terjadi karena kekurangan faktor 8 (FVIII) protein pada darah yag menyebabkan masalah pada proses pembekuan darah.

b. Hemofilia B

Hemofilia B terjadi karena penderita tidak mempunyai faktor KPT ( Komponen Plasma Tromboplastin ). Hemofilia B juga dikenal dengan nama :

· Faktor 9 ( FIX ) protein pada darah yang menyebabkan masalah pada proses pembekuan Christmas Desease ; ditemukan pertama kali pada seorang yang bernama Steven Christmas yang berasal dari Kanada. Penyakit hemofilia yang dideritanya diwariskan dari ibunya yaitu Ratu Victoria.

· Hemophilia kekurangan faktor IX ; merupakan penyakit hemofilia yang terjadi karena kekurangan darah.

2.6 Tingkatan Hemofilia

Pada dasarnya penyakit hemofilia mempunyai tinkatan yang berbeda – beda.

Hemofilia A dan B dapat digolongkan dalam 3 tingkatan yaitu :

Klasifikasi Kadar Faktor VIII dan Faktor IX di Dalam Darah

Berat Kurang dari 1 % dari jumlah normalnya

Sedang 1 % - 5 % dari jumlah normalnya

Ringan 5 % - 30 % dari jumlah normalnya

Berikut adalah penjabaran mengenai pembagian tingkatan dalam hemofilia A dan Hemofilia B :

2.6.1 Hemofilia Parah / Berat

Penderita hemofilia pada tinkatan ini hanya memiliki faktor VIII dan faktor IX kurang dari 1 % dari jumlah normal di dalam darahnya. Dalam artian bahwa penderita hemofilia pada tingkatan ini akan megalami beberapa kali perdarahan dalam sebulan. Kadang – kadang perdarahan terjadi begitu saja tanpa ada sebab yang jelas.

2.6.2 Hemofilia Sedang

Seseorang yang menderita hemofilia tingkat sedang lebih jarang mengalami perdarahan dibanding hemofilia tingkat berat. Perdarahan kadang terjadi akibat dari aktivitas tubuh yang terlalu berat, seperti olah raga yang berlebihan.

2.6.3 Hemofilia Ringan

Page 6: Makalah Hemostasis

Penderita hemofilia tingkat ringan ini lebih jarang sekali mengalami perdarahan dibandingkan dengan hemofilia tingkat berat dan hemofilia tingkat sednag. Yang menderita hemofilia tingkat ringan mengalami masalah perdarahan hanya dalam situasi tertentu, seperti operasi, cabut gigi, atau mengalami luka yang serius. Jika wanita mengalami hemofilia tingkat ringan kemungkinan akan mengalami perdarahan lebih pada saat wanita tersebut mengalami menstruasi.

Pada hemofilia berat, perdarahan dapat terjadi spontan tanpa trauma. Sedangkan yang sedang, biasanya perdarahan didahului trauma ringan. Hemofilia ringan umumnya tanpa gejala atau dapat terjadi perdarahan akibat trauma berat.

2.7 Pemeriksaan Hemostasis

Pemeriksaan faal hemosatasis adalah suatu pemeriksaan yang bertujuan untuk mengetahui faal hemostatis serta kelainan yang terjadi. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari riwayat perdarahan abnormal, mencari kelainan yang mengganggu faal hemostatis, riwayat pemakaian obat, riwayat perdarahan dalam keluarga. Pemeriksaan faal hemostatis sangat penting dalam mendiagnosis diatesis hemoragik. Pemeriksaan ini terdiri atas:

2.7.1 Tes penyaring meliputi :

a. Percobaan Pembendungan

Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan dinding kapiler darah dengan cara mengenakan pembendungan pada vena, sehingga tekanan darah di dalam kapiler meningkat. Dinding kapiler yang kurang kuat akan menyebabkan darah keluar dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya sehingga nampak titik-titik merah kecil pada permukaan kulit, titk itu disebut dengan petekia.

Untuk melakukan percobaan ini mula-mula dilakukan pembendungan pada lengan atas dengan memasang tensimeter pada pertengahan antara tekanan sistolik dan tekanan diastolik. Tekanan itu dipertahankan selama 10 menit. Jika percobaan ini dilakukan sebagai lanjutan masa perdarahan, cukup dipertahankan selama 5 menit. Setelah waktunya tercapai bendungan dilepaskan dan ditunggu sampai tanda-tanda stasis darah lenyap. Kemudian diperiksa adanya petekia di kulit lengan bawah bagian voler, pada daerah garis tengah 5 cm kira-kira 4 cm dari lipat siku.

Pada orang normal tidak atau tidak sama sekali didapatkan petekia. Hasil positif bila terdapat lebih dari 10 petekia. Seandainya di daerah tersebut tidak ada petekia tetapi jauh di distal ada, hasil percobaan ini positif juga.

Jika pada waktu dilakukan pemeriksaan masa perdarahan sudah terjadi petekie, berarti percobaan pembendungan sudah positif hasilnya dan tidak perlu dilakukan sendiri. Pada penderita yang telah terjadi purpura secara spontan, percobaan ini juga tidak perlu dilakukan.

Walaupun percobaan pembendungan ini dimaksudkan unntuk mmengukur ketahanan kapiler, hasil tes ini ikut dipengaruhi juga oleh jumlah dan fungsi trombosit. Trombositopenia sendiri dapat menyebabkan percobaan ini barhasil positif.

b. Masa Perdarahan

Page 7: Makalah Hemostasis

Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai kemampuan vascular dan trombosit untuk menghentikan perdarahan.Prinsip pemeriksaan ini adalah menentukan lamanya perdarahan pada luka yang mengenai kapiler.

Terdapat 2 macam cara yaitu :cara Ivy dan Duke.

Pada cara Ivy, mula-mula dipasang tensimeter dengan tekanan 40 mmHg pada lengan atas. Setalah dilakukan tindakan antisepsis dengan kapas alkohol, kulit lengan bawah bagian voler diregangkan lalu dilakukan tusukan denagn lancet sedalam 3mm. Stopwatch dijalankan waktu darah keluar. Setiap 30 detik darah dihisap dengan kertas saring. Setelah darah tidak keluar lagi, stopwatch dihentikan. Nilai normal berkisar antara 1-6 menit.

Pada cara duke, mula-mula dilakukan tindakan antisepsis pada anak daun telinga. Dengan lancet, dilakukan tususkan pada tepi anak daun telinga. Stopwatch dijalankan waktu darah keluar. Setiap 30 detik, darah dapat dihisap dengan kertas saring. Setelah darah tidak keluar lagi, stopwatch dihentikan. Nilai normal berkiasar antara 1-3 menit. Cara Duke sebaiknya dipakai untuk bayi dan anak kecil dimana sukar atau tidak mungkin dilakukan pembendungan.

Pemeriksaan masa perdarahan merupakan suatu tes yang kurang memuaskan karena tidak dapat dilakukan standarisasi tusukan baik mengenai dalamnya, panjangnya, lokalisasinya maupun arahnya sehingga korelasi antara hasil tes ini dan keadaan klinik tidak begitu baik. Perbedaan suhu kulit juga dapat mempengaruhi hasil tes ini.

Pada pemeriksaan ini tusukan harus cukup dalam, sehingga salah satu bercak darah pada kertas saring mempunyai diameter 5 mm atau lebih. Masa perdarahan yang kurang dari 1 menit juga disebabkan tusukan yang kurang dalam. Dalam hal seperti ini, percobaan dianggap batal dan perlu diulang.

Hasil pemeriksaan menurut cara Ivy lebih dapat dipercaya daripada cara Duke, karena pada cara Duke tidak dilakukan pembendungan sehingga mekanisme hemostatis kurang dapat dinilai. Apabila pada cara Ivy perdarahan berlangsung lebih dari 10 menit dan hal ini diduga karena tertusuknya vena, perlu dilakukan pemeriksaan ulang pada lengan yang lain. Kalau hasilnya tetap lebih dari 10 menit, hal ini membuktikan adanya suatu kelainan dalam mekanisme hemostatis. Tindakan selanjutnya adalah mencari letak kelainan hemostatis dengan mengerjakan pemeriksaan-pemeriksaan lain.

c. Hitung Trombosit

Hitung trombosit dapat dilakukan dengan cara langsung dan tak langsung. Cara langsung dapat dilakukan dengan cara manual, semi otomatik, dan otomatik.Pada cara manual, mula-mula darah diencerkan dengan larutan pengencer lalu diidikan ke dalam kamar hitung dan jumlah trombosit dihitung dibawah mikroskop. Untuk larutan pengencer yang dipakai larutan Rees Ecker atau larutan amonium oksalat 1%. Cara manula mempunyai ketelitian dan ketepatan yang kurang baik, karena trombosit kecil sekali sehingga sukar dibedakan dari kotoran kecil. Lagi pula trombosit mudah pecah dan cenderung saling melekat membentuk gumpalan serta mudah melekat pada permukaan asing. Oleh karena itu alat-alat yang dipakai harus betul-betul bersih dan larutan pengencer harus disaring terlebih dahulu. Sebagai bahan pemeriksaan d ipakai darah dengan anticoagulant sodium

Page 8: Makalah Hemostasis

ethylendiamine tetraacetate yang masih dalam batas waktu yang diijinkan artinya tidak lebih dari 3 jam setelah pengambilan darah.

Pada cara semi otomatik dan otomatik dipakai alat electronic particle counter sehingga ketelitiannya lebih baik daripada cara manual. Akan tetapi cara ini masih mempunyai kelemahan, karena trombosit yang besar (giant trombocyte) atau beberapa trombosit yang menggumpal tidak ikut terhitung, sehingga jumlah trombosit yang dihitung menjadi lebih rendah.

Pada cara tak langsung, jumlah trombosit pada sediaan hapus dibandingkan jumlah trombosit dengan jumlah eritrosit kemudian jumlah mutlaknya dapat diperhitungkan dari jumlah mutlak eritrosit.

Karena sukarnya dihitung, penilaian semi kuantitatif tentang jumlah trombosit dalam sediaan hapus darah sangat besar artinya sebagai pemeriksaan penyaringan. Pada sediaan hapus darah tepi, selain dapat dilakukan penilaian semi kuantitatif, juga dapat diperiksa morfologi trombosit serta kelainan hematologi lain. Bila sediaan hapus dibuat langsung dari darah tanpa antikoagulan, maka trombosit cenderung membentuk gumpalan. Jika berarti membentuk gumpalan berarti tedapat gangguan fungsi trombosit.

Dalam keadaan normal jumlah trombosit sangat dipengaruhi oleh cara menghitungnya dan berkisar antar 150.000 – 400.000 per µl darah.

Pada umumnya, jika morfologi dan fungsi trombosit normal, perdarahan tidak terjadi jika jumlah lebih dari 100.00/µl. Jika fungsi trombosit normal, pasien dengan jumlah trombosit diatas 50.000/µl tidak mengalami perdarahan kecualai terjadi trauma atau operasi. Jumlah trombosit kurang dari 50.000/µl digolongkan trombositopenia berat dan perdarahan spontan akan terjadi jika jumlah trombosit kurang dari 20.000/µl.

d. Masa Protrombin Plasma (protrombin time PT)

Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji pembekuan darah melalui jalur ekstrinsik dan jalur bersama yaitu faktor pembekuan VII, X, V, protrombin dan fibrinogen. Selain itu juga dapat dipakai untuk memantau efek antikoagulan oral karena golongan obat tersebut menghambat pembentukan faktor pembekuan protrombin, VII, IX, dan X.

Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur lamanya terbentuk bekuan bila ke dalam plasma yang diinkubasi pada suhu 37ºC, ditambahkan reagens tromboplastin jaringan dan ion kalsium.

Hasil pemeriksaan ini dipengaruhi oleh kepekaan tromboplastin yangh dipakai oleh teknik pemeriksaan. Karena itu pemeriksaan ini harus dilakukan duplo dan disertai kontrol dengan plasma normal.

Nilai normal tergantung dari reagen, cara pemeriksaan dan alat, dan alat yang digunakan. Sebaiknya tiap laboratorium mempunyai nilai normal yang ditetapkan sendiri dan berlaku untuk laboratorium tersebut.

Jika hasil PT memanjang maka penyebabnya mungkin kekurangan faktor-faktor pembekuan di jalur ekstrinsik dan bersama atau adnya inhibitor. Untuk membedakan hal ini, pemeriksaan diulang sekali

Page 9: Makalah Hemostasis

lagi dengan menggunakan campuran plasma penderita dan plasma kiontrol dengan perbandingan 1:1. Bila ada inhibitor, masa protombin plasma tetap memanjang.

Selain dilaporkan dalam detik, hasil PT juga dilaporkan dalam rasio, aktivitas protombin dan indeks. Rasio yaitu perbandingan antara PT penderita dengan PT kontrol. Aktivitas protombin dapat ditentukan dengan menentukan dengan menggunakan kurva standart dan dinyatakan dalam %.Pemeriksaan PT juga sering dipakai untuk memantau efek pemberian antikoagulan oral. Pemberian kepekaan reagen tromboplastin yang dipakai dan perbedaan cara pelaporan menimbulkan kesulitan bila pemantauan dikerjakan di laboratorium yang berbeda-beda. Untuk mengatasi masalah tersebut ICTH (International Comittee on Thrombosis and Haemostasis) dan ICSH (International Comitte for Standardization in Haematology) menganjurkan agar tromboplastin jaringan yang akan digunakan harus dikalibrasi terlebih dahulu terhadap tromboplastin rujukan untuk mendapatkan ISI (International Sensitivity Index). Juga dianjurkan agar hasil pemeriksaan PT dilaporkansecara seragam dengan menggunakan INR (International Normalized Ratio), yaitu rasio yang dipangkatkan dengan ISI dari reagens tromboplastin yang digunakan.

e. Masa Tromboplastin Parsial Teraktivasi (activated parsial thromboplastin time APTT)

Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji pembekuan darah melaui jalur intrinsik dan jalur bersama yaitu faktor pembekuan XII, prekalikrein, kininogen, XI, IX, VIII, X, V, protombin dan fibrinogen.

Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur lamanya terbentuk bekuan bila ke dalam plasma ditambahkan reagens tromboplastin parsial dan aktivator serta ion kalsium pada suhu 370C. reagen tromboplastin parsial adalah fosfolipid sebagai pengganti platelet factor 3.

Nilai normal tergantung dari reagens, cara pemeriksaan dan alat yang dipakai. Juga dianjurkan agar tiap laboratorium menentukan nilai normalnya sendiri. Hasilnya memanjang bila terdapat kekurangan faktor pembekuan dijalur intrinsik dan bersama atau bila terdapat inhibitor. Sama seperti PT, untuk membedakan hal ini dilakukan pemeriksaan ulang terhadap campuran plasma penderita dan plasma kontrol dengan perbandinagn 1:1. Bila hasilnya tetap memanjang, berarti ada inhibitor. Pada hemofilia A maupun hemofilia B, APTT akan memanjang, tetapi pemeriksaan ini tidak dapat membedakan kedua kelainan tersebut.

Pemeriksaan ini juga dipakai untuk memnatau pemberian heparin. Dosis heparin diatur sampai APTT mencapai 1,5-2,5 kali nilai kontrol.

f. Masa Trombin (thrombin time TT)

Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji perubahan fibrinogen menjadi fibrin. Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur lamanya terbentuk bekuan pada suhu 37C bila ke dalam plasma ditambahkan reagens thrombin.

Nilai normal tergantung dari kadar thrombin yang dipakai. Hasil TT dipengaruhi oleh kadar dan fungsi fibrinogen serta ada tidaknya inhibitor. Hasilnya memanjang bila kadar fibrinogen kurang dari 100 mg/dl atau fungsi fibrinogen abnormal atau bila terdapat inhibitor thrombin seperti heparin atau FDP (Fibrinogen degradation product).

Page 10: Makalah Hemostasis

Bila TT memanjang, pemeriksaan diulang sekali lagi dengan menggunakan campuran plasma penderita dan plasma control dengan perbandingan 1:1 untuk mengetahui adanya tidaknya inhibitor.Untuk membedakan apakah TT yang memanjang karena adanya heparin, fibrinogen abnormal atau FDP, dilakukan pemeriksaan masa reptilase. Reptilase berasal dari bisa ular Aneistrodon Rhodostoma. Apabila TT yang memanjang disebabkan oleh heparin maka masa reptilase akan memberikan hasil normal, sedangkan fibrinogen abnormal atau FDP akan menyebabkan masa reptilase memanjang.

g. Pemeriksaan Penyaring Untuk Faktor XIII

Pemeriksaan ini dimasukkan dalam pemeriksaan penyaring, karena baik PT, APTT, maupun TT tidak menguji factor XIII, sehingga adanya defisiensi F XIII tidak dapat di deteksi dengan PT, APTT, maupun TT.

Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai kemampuan factor XIII dalam menstabilkan fibrin.

Prinsipnya F XIII mengubah fibrin soluble menjadi fibrin stabil karena terbentuknya ikatan cross link. Bila tidak ada F XIII, ikatan dalam molekul fibrin akan dihancurkan oleh urea 5M atau monokhlorasetat 1%. Cara pemeriksaannya adalah dengan memasukkan bekuan fibrin ke dalam larutan urea 5M atau asam monokhloroasetat 1%, kemudian setelah 24 jam stabilitas bekuan dinilai. Bila factor XIII cukup, setelah 24 jam bekuan fibrin tetap stabil dalam larutan urea 5M. jika terdapat defisiensi factor XIII bekuan akan larut kembali dalam waktu 2-3 jam.

2.7.2 Tes khusus meliputi :

a. Tes faal trombosit

b. Tes Ristocetin

c. Pengukuran faktor spesifik (faktor pembekuan)

d. Pengukuran alpha-2 antiplasmin

2.8 Hal - hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan Hemostasis

2.8.1 Antikoagulan

Untuk pemeriksaan koagulasi antikoagulan yang dipakai adalah natrium sitrat 0,109 M dengan perbandingan 9 bagian darah dan 1 bagian natrium sitrat.Untuk hitung trombosit antikoagulan yang dipakai adalah Na2EDTA.Jika dipakai darah kapiler, maka tetes darah pertama harus dibuang.

2.8.2 Penampung

Untuk mencegah terjadinya aktivasi factor pembekuan, dianjurkan memakai penampung dari plastic atau gelas yang telah dilapisi silicon.

2.8.3 Semprit dan Jarum

Dianjurkan memakai semprit plastic dan jarum yang cukup besar. Paling kecil nomor 20.

2.8.4 Cara pengambilan darah

Page 11: Makalah Hemostasis

Pada waktu pengambilan darah, harus dihindari masuknya tromboplastin jaringan. Yang dianjurkan adalah pengambilan darah dengan memakai 2 semprit. Setelah darah dihisap dengan semprit pertama, tanpa mencabut jarum, semprit pertama dilepas lalu pasang semprit kedua. Darah semprit pertama tidak dipakai untuk pemeriksaan koagulasi, sebab dikhawatirkan sudah tercemar oleh tromboplastin jaringan.

2.8.5 Kontrol

Setiap kali mengerjakan pemeriksaan koagulasi, sebaiknya diperiksa juga satu kontrol normal dan satu kontrol abnormal. Selain tersedia secara komersial, kontrol normal juga dapat dibuat sendiri dengan mencampurkan plasma yang berasal dari 10 sampai 20 orang sehat, yang terdiri atas pria dan wanita yang tidak memakai kontrasepsi hormonal. Plasma yang dipakai sebagai kontrol tidak boleh ikterik, lipemik, maupun hemolisis.

2.8.6 Penyimpangan dan pegiriman bahan

Pemeriksaan koagulasi sebaiknya segara dikerjakan, karena beberapa faktor pembekuan bersifat labil. Bila tidak dapat diselesaikan dalam waktu 4 jam setelah pengambilan darah, plasma disimpan dalam tempat plastik tertutup dan dalam keadaan beku. Untuk pemeriksaan APTT danassay faktor VIII atau IX, bahan yang dikirim adalah plasma citrat dalam tempat plastik bertutup dan diberi pendingin, tetapi untuk PT dan agregasi trombosit jangan diberi pendingin karena suhu dingin dapat mengaktifkan F VII tetapi menghambat agregasi trombosit.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah di jelaskan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa :

Hemostasis adalah mekanisme menghentikan dan mencegah perdarahan. Bilamana terdapat luka pada pembuluh darah, segara akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah sehingga aliran darah ke pembuluh darah yang terluka berkurang. untuk Kemudian trombosit akan berkumpul dan melekat pada bagian pembuluh darah yang terluka untuk membentuk sumbat trombosit

3.2 Saran

3.2.1 Penulis berharap agar Pembaca dapat mengerti tentang Hemostasis mulai dari Definisi sampai dengan hala apa saja yang perlu diperhatikan dalam Hemostasis.

3.2.2 Mahasiswa selaku calon perawat dapat lebih mengenal tentang pembahasan ini, dan dapat mensosialisasikan kepada masyarakat luas disekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Guyton, Arthur C., dan John E Hall.1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Page 12: Makalah Hemostasis

Murray Robert K., dkk. 2009. Biokimia Harper Edisi 27. Jakarta: EGC.

Sadikin, Mohamad. 2001. Biokimia Darah. Jakarta: Widya Medika.

Price, Sylvia Anderson dan Lorraine M.Wilson. 2005. Patofisologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi6. Jakarta:EGC

www.google.com. Proses Pembekuan Darah. http://cimobi.blogspot.com/2009/11/proses-pembekuan-darah.html

http://wwwselapunya-syella.blogspot.com/2011/06/pembekuan-darah.html

Page 13: Makalah Hemostasis

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Hemostasis adalah mekanisme tubuh untuk menghentikan perdarahan secara spontan. Ada beberapa system yang berperan dalam hemostasis aitu sitem vaskuker, trombosit dan pembekuan darah. Peran system vaskuler dalam mencegah perdarahan meliputi proses kontraksi pembuluh darah (vasokonstriksi) serta aktivasi trombosit dan pembekuan darah. (Setiabudy, 2009)

Apabila pembuluh darah mengalami luka, maka akan terjadi vesokonstriksi yang mula-mula secara reflektoris dan kemudian akan dipertahankan oleh faktor local seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT, serotonin), dan epinefrin. Vasokonstriksi ini akan menyebabkan pengurangan aliran darah pada daerah yang luka. Pada pembuluh darah kecil hal ini mungkin dapat menghentikan perdarahan, sedangkan pada pembuluh darah besar masih diperlukan system lain seperti trombosit dan pembekuan darah. (Setiabudy, 2009)

Seperti kita ketahui, pembuluh darah dilapisi oleh sel endotel. Apabil laisan endotel rusak maka jaringan ikatdi bawah endotel seperti serat kolagen, serat elastin dan membrana basalis terbuka sehingga tejadi aktivasi trombosit yang menyababkan adhesi trombosit dan pembentukan sumbat trombosit. (Setiabudy, 2009)

I.2. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Mengetahui dan memahami tentang kelainan hemostasis dan koagulasi.

2. Tujuan Khusus

Mempelajari lebih dalam mengenai fisiologi hemostasis dan koagulasi beserta kelainan-kelainannya.

I.3. MANFAAT

1. Untuk bahan pustaka bagi institusi.

2. Untuk menambahan wawasan keilmuan tentang hemostasis dan koagulasi disordersbagi penulis.

Page 14: Makalah Hemostasis

3. Sebagai sumber bacaan bagi pembaca untuk membuat karya tulis serupa.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Hemostasis dan Koagualasi

Hemostasis adalah istilah kolektif untuk semua mekanisme faal yang digunakan oleh tubuh untuk melindungi diri dari kehilangan darah. Hemostasis adalah proses tubuh yang secara simultan menghentikan perdarahan dari tempat yang cedera, sekaligus mempertahankan darah dalam keadaan cair di dalam kompartemen vaskular. Hemostasis melibatkan kerja sama terpadu antara beberapa sistem fisiologik yang saling berkaitan. (Sacher, 2004)

Kegagalan hemostatis menimbulkan perdarahan; kegagalan mempertahankan darah dalam keadaan cair menyebabkan thrombosis. Baik perdarahan maupun thrombosis sangat sering terjadi dan merupakan masalah klinis yang berbahaya. Menentukan gangguan/defek yang menyebabkan perdarahan, saat ini, lebih mudah daripada menentukan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya thrombosis. (Sacher, 2004)

Mekanisme hemostatik normal terdiri dari empat sistem utama: (1) sistem pembuluh darah (vascular), (2) trombosit, (3) sistem pembekuan, dan (4) sistem fibrinolitik. (Sacher, 2004)

A. Sistem Pembuluh Darah (Vascular)

Pembentukan sumbat hemostatik dimulai dengan kerusakan pembuluh darah, kerusakan darah, atau keduannya, yang menyebabkan terjadinya suatu proses yang berantai. Cedera vascular biasanya berkaitan dengan kontraksi pembuluh darah (vasokontriksi), aktivasi kontak trombosit diikuti oleh agregasi trombosit, dan pengaktifan jenjang koagulasi. Pada keadaan normal, lapisan endotel pembuluh darah bersifat halus/mulus dan tidak terputus. Kerusakan terhadap lapisan endotel ini menyebabkan kolagen di bawahnya terpajan, tempat trombosit dalam sirkulas melekat (adhesi trombosit). Hal ini, pada gilirannya, memicu rekrutmen lebih banyak trombosit untuk “menyumbat” pembuluh yang cedera (agregasi trombosit). Dinding pembuluh juga merupakan sumber faktor von Willebrand dan zat antiagregasi trombosit prostasiklin. (Sacher, 2004)

B. Trombosit

Trombosit bukan merupakan sel, tetapi merupakan fragmen-fragmen sel granular, berbentuk cakram, tidak berinti; trombosit ini merupakan unsur selular sumsum tulang terkecil dan penting untuk homeostasis dan koagulasi. Trombosit berasal dari sel induk pluripoten yang tidak terikat (noncommitted pluripotent stem cell), yang jika ada permintaan dan dalam keadaan adanya

Page 15: Makalah Hemostasis

factor perangsang trombosit (MK-CSF [factor perangsang koloni megakariosit]), interleukin dan TPO (factor pertumbuhan dan perkembangan megakariosit), berdiferensiasi menjadi kelompok sel induk yang terikat (commited stem cell pool) untuk membentuk megakarioblas. Sel ini, melalui serangkaian proses maturasi, menjadi megakariosit raksasa. Tidak seperti unsure sel lainnya, megakariosit mengalami endomitosis, terjadi pembelahan inti di dalam sel tetapi sel itu sendiri tidak membelah. Sel dapat membesar karena sintesis DNA yang meningkat. Sitoplasma sel akhirnya memisahkan diri menjadi trombosit-trombosit. (Sacher, 2004)

Trombosit berdiameter 1 sampai 4 µm dan memiliki siklus hidup kira-kira 10 hari. Kira-kira sepertiga berada di dalam lien sebagai sumber cadangan, dan sisanya berada dalam sirkulasi, berjumlah antara 150.000 dan 400.000/mm3. Jika apusan darah perifer menggunakan pewarnaan Wright, maka sel-sel ini terlihat biru muda denga granula berwarna merah-ungu. Yang diabsorpsi oleh membrane trombosit adalah faktor V, VIII, dan IX, protein kontraktil aktomiosin, atau trombostenin, dan berbagai protein serta enzim lain. Granula mengandung serotonin vasokontriktor yang kuat, faktor agregasi adenosin difosfat (ADP), fibrinogen, faktor von Willebrand, faktor-faktor 3 dan 4 trombosit (faktor penetralisir-heparin), dan kalsium serta enzim-enzim. Semua faktor ini dilepaskan dan diaktifkan akibat respons terhadap cedera. (Sacher, 2004)

C. Sistem Pembekuan (Koagulasi)

Pembekuan darah (Koagulasi) adalah suatu proses kimiawi yang protein-protein plasmanya berinteraksi untuk mengubah molekul protein plasma besar yang larut, yaitu fibrinogen menjadi gel stabil yang tidak larut yang disebut fibrin. (Sacher, 2004)

Adapun faktor-faktor yang berperan dalam proses pembekuan darah, antara lain:

Faktor-faktor pembekuan, kecuali faktor III (tromboplastin jaringan) dan faktor IV (ion kalsium), merupakan protein plasma yang berada dalam sirkulasi darah sebagai molekul inaktif. Tabel 1 menunjukkan faktor-faktor koagulasi dengan menggunakan angka Romawi yang baku dan diterima secara internasional, memberikan sinonimnya, dan meringkas fungsi-fungsinya. Prakalikrein dan kininogen dengan berat-molekul-tinggi (HMWK), bersama faktor XII dan XI, disebutfaktor-faktor kontak dan diaktivasi pada saat cedera dengan berkontak dengan permukaan jaringan; faktor-faktor tersebut berperan dalam pemecahan bekuan-bekuan pada saat terbentuk. (Price, 2006)

Aktivasi faktor-faktor koagulasi diyakini terjadi karena enzim-enzim memecahkan fragmen bentuk precursor yang tidak aktif, oleh karena itu disebut prokoagulan. Tiap faktor yang diaktivasi, kecuali faktor V, VIII, XIII, dan I (fibrinogen), merupakan enzim pemecah-protein (protease serin), yang mengaktivasi prokuagulasi berikutnya. (Price, 2006)

Tabel 1. Faktor-Faktor Pembekuan Darah (Price, 2006)

Page 16: Makalah Hemostasis

Hati merupakan tempat sintesis semua faktor koagulasi kecuali faktor VIII dan mungkin faktor XI dan XIII. Vitamin K penting untuk sintesis faktor-faktor protrombim II, VII, IX, dan X. Bukti-bukti yang ada memberi kesan bahwa faktor VIII benar-benar merupakan molekul kompleks yang terdiri atas tiga subunit yang berbeda: (1) bagian prokoagulan, yang mengandung faktor antihemofilia, VIIIAHG, yang tidak dijumpai pada pasien-pasien hemophilia klasik; (2) subunit lain yang mengandung tempat antigenik; dan (3) faktor von Willebrand, VIIIVWF, yang diperlukan untuk adhesi trombosit pada dinding pembuluh darah. (Price, 2006)

Fase-Fase Koagulasi

Koagulasi diawali dalam keadaan homeostasis dengan adanya cedera vaskular. Vasokontriksi merupakan respons segera terhadap cedera, yang diikuti dengan adhesi trombosit pada kolagen pada dinding pembuluh yang terpajan dengan cedera. ADP dilepas oleh trombosit, menyebabkan agregasi trombosit. Sejumlah kecil trombin juga merangsang agregasi trombosit, dari membran trombosit, juga mempercepat pembekuan plasma. Dengan cara ini, terbentuklah sumbatan trombosit, kemudian segera diperkuat oleh protein filamentosa yang dikenal sebagai fibrin. (Price, 2006)

Produksi fibrin dimulai dengan perubahan faktor X menjadi Xa, seiring dengan terbentuknya bentuk aktif suatu faktor. Faktor X dapat diaktivasi melalui dua rangkaian reaksi. Rangkaian pertama memerlukan faktor jaringan, atau tromboplastin jaringan, yang dilepaskan oleh endotel pembuluh darah pada saat cedera. Karena faktor jaringan tidak terdapat di dalam darah, maka faktor ini merupakan faktor ekstrinsik koagulasi, dengan demikian disebut jalur ekstrinsik untuk rangkaian ini. (Price, 2006)

Rangkaian lainnya yang menyebabkan aktivasi faktor X adalahjalur intrinsik, disebut demikian karena rangkaian ini menggunakan faktor-faktor yang terdapat di dalam sistem vaskular plasma. Dalam rangkaian ini, terjadi reaksi “kaskade”, aktivasi satu prokoagulan menyebabkan aktivasi bentuk pengganti. Jalur intrinsik diawali dengan plasma yang keluar terpajan dengan kulit atau kolagen di dalam pembuluh darah yang rusak. Faktor jaringan tidak diperlukan, tetapi trombosit yang melekat pada kolagen, sekali lagi berperan. Faktor-faktor XII, XI, dan IX harus diaktivasi secara berurutan, dan faktor VIII harus dilibatkan sebelum faktor X dapat diaktivasi. Zat-zat prakalikrein dan HMWK juga turut berpartisipasi, dan diperlukan ion kalsium. (Price, 2006)

Dari hal ini, koagulasi terjadi di sepanjang apa yang dinamakanjalur bersama. Seperti yang diperlihatkan oleh gambar, aktivasi faktor X terjadi sebagai akibat reaksi jalur ekstrinsik dan intrinsik. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa kedua jalur tersebut berperan dalam hemostasis. (Price, 2006)

Langkah berikutnya pada pembentukan fibrin berlangsung jika faktor Xa, dibantu oleh fosfolipid dari trombosit yang diaktivasi, memecah protombin, membentuk thrombin. Selanjutnya trombin memecahkan fibrinogen membentuk fibrin. Sejumlah kecil trombin tampaknya dicadangkan untuk memperkuat agregasi trombosit. Fibrin ini, awalnya merupakan jeli yang dapat larut, distabilkan oleh faktor XIIIa dan mengalami polimerasi menjadi jalinan fibrin yang kuat, trombosit, dan memerangkap sel-sel darah. Untaian fibrin kemudian memendek (retraksi bekuan), mendekatkan tepi-tepi dinding pembuluh darah yang cedera dan menutup daerah tersebut. (Price, 2006)

Page 17: Makalah Hemostasis

Gambar 1. Fase Koagulasi (Price, 2006)

Faktor penghambat koagulasi

Faktor penghambat koagulasi ini menghambat kaskade koagulasi dan memastikan bahwa kerja trombin terbatas di tempat cedera:

· Antitrombin menginaktivasi protease serin, terutama faktor Xa dan trombin. Heparin mengaktivasi antitrombin.

· Makroglobulin α2, antiplasmin α2, antitripsin α2, dan kofaktor II heparin juga menghambat protease serin dalam sirkulasi.

· Protein C dan S adalah protein tergantung vitamin k yang dibuat dalam hati. Protein C diaktivasi melalui kompleks trombintrombomodulin dan , seperti protein protein S, menghambat koagulasi dengan menginaktivasi faktor Va dan VIIIa, protein Cjuga meningkatkan fibrinolisis dengan menginaktivasi inhibitor aktivator plasmogen jaringan.

· Inhibitor jalur faktor jaringan menghambat jalur koagulasi in vivoutama dengan menghambat faktor VIIa dan Xa.

D. Sistem Fibrinolitik

Page 18: Makalah Hemostasis

Sistem fibrinolitik merupakan rangkaian yang fibrinnya dipecahkan oleh plasmin (disebut juga fibrinolisin) menjadi produk-produk degradasi fibrin, menyebabkan hancurnya bekuan. Diperlukan beberapa interaksi untuk mengubah protein plasma spesifik inaktif di dalam sirkulasi menjadi enzim fibrinolitik plasmin aktif. Protein dalam bersirkulasi, yang dikenal sebagai proaktivator plasminogen, dengan adanya (enzim-enzim) kinase seperti streptokinase, stafilokinase, kinase jaringan jaringan, serta faktor XIIa, dikatalisasi menjadi activator plasminogen. Dengan adanya enzim-enzim tambahan seperti urokinase, maka aktivator-aktivator mengubah plasminogen, suatu protein plasma yang sudah bergabung dalam bekuan fibrin, menjadi plasmin. Kemudian plasmin memecahkan fibrin dan fibrinogen menjadi fragmen-fragmen (produk degradasi fibrin-fibrinogen), yang mengganggu aktivitas trombin, fungsi trombosit, dan polimerisasi fibrin, menyebabkan hancurnya bekuan. Makrofag dan neutrofil juga berperan dalam fibrinolisis melalui aktivitas fagositiknya. (Price, 2006)

Gambar 2. Sistem Fibrinolitik (Price, 2006)

II.2. Pendekatan diagnosisi klinik kelainan hemostasis

Dalam keadaan normal daraha berada dalam pembuluh darah dan berbentuk cair. Keadaan ini dapat dipertahankan bila hemostasis dalam batas normal. Tapi perlu diketahui hemostasis yang adekuat adalah relatif, karena meskipun pembuluh darah, trombosit dan faktor pembekuan dalam keadaan normal dapat terjadi perdarahan, akibat proses patologis setempat. Semua perdarahan spontan merupakan suatu keadaan patologis, kecuali perdarahan yang terjadi selama menstruasi. (Rahajuningsih, 2009)

Perdarahan yang terjadi akibat kerusakan pembuluh darah dan trombosit disebut kelainan hemostasis primer, sedang bila gangguan pada faktor koagulasi disebut kelainan hemostasis sekunder. Gejala klinik yang terlihat pada umumnya berbeda akibat kelainan hemostasis primer dan sekunder. Untuk menentukan letak kelainan hemostasis ini diperlukan anamnesis yang baik dan teliti, pemeriksaan dan evaluasi manifestasi klinik perdarahan yang cermat serta pemeriksaan laboratorium yang tepat. (Rahajuningsih, 2009)

Anamnesis yang baik sering dapat memberi petunjuk yang berharga dalam menentukan sebab perdarahan. Perdarahan yang terjadi sejak anak-anak akan mengingatkan kemungkinan karena bawaan seperti hemofilia. Riwayat perdarahan yang tidak normal pada keluarga sering menyokong kearah kelainan hemostasis kongenital. Bahkan keterangan terperinci apakah ada masalah perdarahan pada waktu ada luka atau operasi pada masa lalu perlu ditanyakan. (Rahajuningsih, 2009)

Orangtua penderita juga perlu ditanyakan apakah waktu tali pusat dipotong terjadi perdarahan yang menimbulkan permasalahan. Bila ini terjadi maka kemungkinan faktor XII, afibrinogenemia atau defisiensi faktor VII perlu dipikirkan. Pada penderita penyakit jantung atau yang pernah trombosis perlu ditanyakan apakah mendapat obat antikoagulan. Selain untuk menentukan kelainan hemostasis bawaan atau tidak juga dapat memberikan petunjuk kelainan hemostasis primer atau sekunder. (Rahajuningsih, 2009)

Page 19: Makalah Hemostasis

Gejala dan evaluasi klinis

Manifestasi kelainan hemostasis bisa berupa perdarahan ke dalam kulit atau jaringan dan juga dapat dengan gejala darah keluar dari tubuh. Perdarahan ke dalam kulit atau jaringan, dapat terliaht sebagai ptekia, ekimosis, purpura, hematoma dan hemartrosis. Sedang perdarahan yang disertai keluarnya darah dari tubuh bisa berupa epistaksi, perdarahan gusi, hemoptisi, hematemesis, melena, hematuria, metroragia. (Rahajuningsih, 2009)

Ada kalanya kelainan hemostasis primer maupun sekunder tidak memperlihatkan gejala klinis perdarahan, sehingga sering seorang penderita baru diketahui mengidap kelainan hemostasis setelah tubuh komplikasi perdarahan akibat trauma atau suatu tindakan atau setelah suatu pemeriksaan penyaring hemostasis. Pada umumnya gejala klinik, perdarahan erat hubungannya dengan jenis dan derajat kelainan uji biologik hemostasis. Misalnya ptekie terjadi karena kelainan trombosit atau pembuluh darah, sedang hematoma terjadi karena faktor koagualasi. (Rahajuningsih, 2009)

Evaluasi klinik perdarahan sangat penting dan jangan terlalu perdarahan tapi sebaliknya jangan terlalu dilebihkan, bila evaluasi dilakukan dengan sangat teliti sering dapat mendapat memberi petunjuk yang berharga dalam menentukan kelainan terletak pada trombosit. Pembuluh darah atau faktor pembekuan. Pada ekstaksi gigi pada bisa terjadi perdarahan berhenti sempurna tapi seteleh beberapa waktu timbul perdarahan kembali, ini disebut perdarahan yang terlambat (delayed bleeding). Hal ini dapat diterangkan pada permulaan gumpalan trombosit dapat menghentikan perdarahan tetapi karena koagulasi tidak efektif perdarahan timbul kembali. Sebaliknya pada trombositiopenia, bila terjadi trauma atau operasi maka perdarahan akan terjadi segera. (Rahajuningsih, 2009)

Bila pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi yang karaktersistik pada kulit hal ini akan dapat menerangkan masalah perdarahan sebelumnya, misalnya perdarahan telangeiktasi herediter. Dan bila anamnesa, pemeriksaan fisik dan evaluasi klini dilakukan dengan cermat maka seharusnya sudah dapat memberikan laboratorium hanya menjadi tambahan dan ini menguntungkan dari segi waktu dan biaya. Seperti sudah dikatakan terlebih dahulu gejala klinik perdarahan ini sering dapat membedakan apakah kelainan hemostasis primer atau sekunder. Petekia misalnya adalah perdarahan spontan ke dalam kulit, “merupakan ciri” khas kelainan trombosit atau pembuluh darah, dan tidak ditemukan pada kelainan faktor koagulasi. “Petekia” berwarna merah dengan ukuran seberar jarum pentul. Permukaannya datar dan tidak hilang kalau ditekan. Pada scurvy atau defisiensi vitamin C petekia dapat tersebar di sekitar folikel rambut pada daerah paha, bokong dan tempat duduk. Beberapa petekie dapat bergabung dan mermbentuk perdarahan dengan ukuran yang lebih besar yang disebut purpura. Biasanya purpura disertai ekimosis yaitu perdarahan kedalam jaringan superfisial dan jarang menyebar ke njaringan yang lebih dalam. Bila ekimosis besar, soliter dan menyebar sampai jaringan yang lebih dalam sehingga bengkak seperti tumor disebut hematoma. Biasanya bukan karena kelainan hemostrasis primer tetapi karena kelainan hem ostasis sekunder. Perdarahan pada sendi atau ruang sinovium disebut hemartrosis, biasanya disebabkan kelainan faktor koagulasi herediter yang berat. Hemartrosis sendi lutu khas pada hemofilia sering dikacaukan dengan embengkakan sendi lutut karena demam rematik. (Rahajuningsih, 2009)

Epistaksis juga bisa terjadi oleh karena sejumlah penyaki perdarahan terutama bisa disertai trombositopenia, perdaahan telangietasi herediter, penyakit von Wilerand. Pada penyakit von

Page 20: Makalah Hemostasis

Willbrand bukan tidak jarang didapat riwayat epitaksis yang berat, berulang pada anak-anak dan menjadi lebih baik pada masa puberits. Epistaksis bisa timbul kembali sesudah menopause. Epistaksis juga bisa terjadi pada orang normal terutama pada anak-anak pada musim dingin bila udara kering. Bila perdarahan hanya pada satu sisi maka kelainan lokal harus dicurigai. (Rahajuningsih, 2009)

Perdarahan gusi biasanya terlihat ada trombositopenia, uremia, deisiensi vit C dan disproteinemia. Hematuria bisa terjadi pada trombositopenia, hemofilia dan pemakaian obat antiokoagulan oral. Apapun kelainan hemostasis yang didapat pada pasien dengan hematuria harus selalu dicari kemungkinan suatu lesi yang mendasari seperti neoplasma, batu dalam saliran kemih, atau tuberkulosis ginjal. Pada pasien dengqan hemofilia bisa terjadi episode hematuria yang berulang tapi tidak perlu untuk mengul;angi kembali pemeriksaan hemostasis. (Rahajuningsih, 2009)

Hematemesis atau melena biasaanya karena pada saluran cerna bisa karena kelainan lokal atau karena trombositopenia, perdarahan telangiektasi herediter, obat antikoagulan, pseudoxanthoma elasticum, penyakit von Willbrand dan uremia. Hal yang bertentangan yaitu pada trombositopenia esensial, sering terjadi perdarahan pada saluran cerna sehingga dalam situasi seperti ini sulit menduga kelainan hemostasis karena trombosis meningkat. Hal yang dapat menolong yaitu bila disertai dengan spleenomegali ini merupakan petunjuk karena sering ditemukan pada trombositemia esensial. Harus diingat penderita dengan perdarahan saluran cerna perlu dicari kelainan lokal misalnya dengan endoskopi. (Rahajuningsih, 2009)

Metroragia bisa merupakan gejala trombositopenia, penyakit von Willbrand atau defisiensi faktor koagulasi. Perdarahan yang lebih dari 80 ml per hari pada masa menstruasi dianggap tidak normal. Darah yang keluar dapat diohitung dari beapa kali harus gantu pembalut satu hari. Satu pembalut bviasanya dapat menyeratp 50 mL atau lebih darah. (Rahajuningsih, 2009)

Evaluasi klinik ini selain penting untuk menetukan asal dan luasnya perdarahan juga dapat mengantisipasi perdarahan yang dihadapi, karena pada beberpa pada kondisi tertentu juga disertai kelainan hemostasis tertentu pula. Misalnya pada penyakit hati kelainan hemostasis kompleks karena merupakan kombinasi dari \berbagai gangguan seperti sintsis faktror koagulasi berkurang, trombositopenia, difibrinogenemia, DIC, dan fibrinolisis. (Rahajuningsih, 2009)

Pada penderita gagal ginjal fungisi trombosit terganggu (trombopati) sedang penderita dengan sistemik lupus eritematosis sering disertai dengancirculating antikoagulant. Perdarahan pada kematian janin dalam kandungan umumnya karena DIC, sedang perdarahan pada tumor atau operasi prostat, biasanya karena fibrinolisi primer. Pasien dengan obstruksi biliaris atau yang mendapat antibiotik broad sprectrum biasanya mengalami defisiensi vitamin K. (Rahajuningsih, 2009)

Pemeriksaan laboratorium seharusanya akan menyokong kesimpulan yang didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik, dan evaluasi klinik. Sehingga pemeriksaan hemostasis yang akan dilakukan didasarkan atas kesimpulan klinik. Seperti telah disinggung sebelumnya manifestasi klinik erat hubungannya dengan kelainan hemostasis. (Rahajuningsih, 2009)

Pemeriksaan hemostasis ini dibagi 2 golongan yaitu pemeriksaan penyaring dan pemeriksaan khusus. Pilihan tergantung dari tujuan pemeriksaan hemostasis yang diinginkan sesuai dengan

Page 21: Makalah Hemostasis

kondisi dan tindakan yang akan deilakukan pada pasien. Pemeriksaan penyaring biasanya dilakukan pada pasien yang akan menjalani operasi, sedang bila sudah ada perdarahan maka permintaan pemeriksaan hemostasis didasarkan atas diagnosa klinis. (Rahajuningsih, 2009)

Tabel 3.Hubungan gejala klinik dengan kelainnan hemostasis (Rahajuningsih, 2009)

Gejala klinik Hemostasis primer pembuluh darah/trombosit

Hemostasis sekunder faktor koagulasi

Petekia Ciri khas -

Hematoma Jarang Ciri khas

Ekimosis superfisial Ciri khas, kecil dan banyak Biasanya besar dan soliter

Hemartrosis Jarang Ciri khas

Perdarahan terlambat Jarang Umumnya ada

Perdarahan luka superfisial atau garukan

Persisten, sering profus Sedikit

II.3. Pemeriksaan Penyaringan Pada Kelainan Hemostasis

Pemeriksaan hemostasis pemeriksaan penyaringan terdiri dari:

1. Percobaan pembendungan (Rumpel Leede)

Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan dinding kapiler darah dengan cara mengenakan pembendungan kepala vena, sehinnga tekanan darah didalam kapiler meningkat. Dinding kapiler yang kurang kuat akan menyebabkan darah keluar dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya sehingga tampak titik merah kecil pada permukaan kulit, titik itu disebut petekia. (Rahajuningsih, 2009)

Untuk melakukan percobaan ini mula-mula dilakukan pembendungan pada lengan atas dengan memasang tensimeter pada pertengahan antara tekanan sistolik dan tekanan diastolik. Tekanan itu dipertahankan selam 10 menit. Jika percobaan ini dilakukan sebagai lanjutan masa perdarahan, cukup dipertahankan selama 5 menit. Setelah waktunya tercapai bendungan dilepaskan dan ditunggu sampai tanda-tanda stasis darah lenyap. Kemudian diperiksa adanya petekia di kulit lengan bawah bagian voler, pada daerah dengan garis tengah 5 cm kira-kira 4 cm dari lipat siku. (Rahajuningsih, 2009)

Pada orang normal, tidak atau sedikit sekali didapatkan petekia. Hasil positif bila terdapat lebih dari 10 petekia. Seandainya di daerah tersebut tidak ada petekia tetapi jauh di distal ada, hasil percobaan ini positif juga. Jika pada waktu dilakukan pemeriksaan masa perdarahan sudah terjadi petekia, berarti percobaan pembendungan sudah positif hasilnya dan tidak perlu dilakukan tersendiri. Pada penderita yang telah mempunyai purpura secara spontan, percobaan ini juga tidak

Page 22: Makalah Hemostasis

perlu dilakukan. Walaupun percobaan pembendungan ini dimaksudkan untuk mengukur ketahanan kapiler, hasil tes ini ikut dipengaruhi juga oleh jumlah dan fungsi trombosit. Trombositopenia sendiri dapat menyebabkan percobaan ini berhasil positif. (Rahajuningsih, 2009)

2. Masa perdarahan

Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai kemampuan vaskular dan trombosit untuk menghentikan pendarahan. Prinsip pemeriksaan ini adalah menentukan lamanya perdarahan pada luka yang mengenai kapiler. Terdapat 2 macam cara yaitu cara Ivy dan Duke. (Rahajuningsih, 2009)

Pada cara Ivy, mula-mula dipasang tensimeter denga tekanan 40 mmHg pada lengan atas. Setelah dilakukan tindakan antisepsis dengan kapas alkohol , kulit lengan bawah bagian voler diregangkan lalu dilakukan tususkan dengan lanset sedalam 3 mm. Stopwatch dijalankan waktu drah keluar. Setiap 30 detik darah dihisap dengan kertas saring. Setelah darah tidak keluar lagi, stopwatch dihentikan. Nilai normal berkisar antara 1-6 menit. (Rahajuningsih, 2009)

Pada cara Duke, mula-mula dilakukan tindakan antisepsis pada anak daun telinga. Dengan lanset, dilakukan tusukan pada tepi anak daun telinga. Stopwatch dijalankan waktu darah keluar. Setiap 30 detik, darah dihisap dengan kertas saring. Setelah darah tidak keluar lagi, stopwatch dihentikan. Nilai normal berkisar antara 1-3 menit. Cara Duke sebaiknya hanya dipakai untuk bayi dan anak kecil dimana sukar atau tidak mungkin dilakukan pembendungan. (Rahajuningsih, 2009)

Pemeriksaan masa perdarahan merupakan suatu tes yangkuarng memuaskan karena tidak dapat dilakukan standardisasi tusukan baik mengenai dalamnya, panjangnya, lokalisasinya maupun arahnya sehingga korelasi antara tesini dan keadaan klinik tidak begitu baik. Perbedaan suhu kulit juga dapat mempengaruhi hasil tes ini. Pada pemerikssan ini tusukan harus cukup dalam, sehingga salah satu bercak darah pada kertas saring mempunyai diameter 5 mmatau lebih. Masa perdarahan yang kurang dari 1 menit juga disebabkan tusukan yang kurang dalam. Dalam hal seperti ini, percobaan dianggap batl dan perlu di ulang. (Rahajuningsih, 2009)

Hasil pemeriksaan menurut cara Ivy lebih dapat dipercaya dari pada cara Duke, karena pada cara Duke tidak diadakan pembendungan sehingga mekanisme hemostasis kurang dapat dinilai. Apabila pada cara Ivy perdarah berlangsung lebih dari 10 menit dan hal ini diduga karena tertusuknya vena, perlu dilakukan pemeriksaan ulang pada lengan yang lain. Kalau hasilnya tetap lebih dari 10 menit, hal ini membuktikan adanya suatu kelainan dalam mekanisme hemostasis. Tindakan selanjutnya adalah mencari letak kelainan hemostasis dengan mengerjakan pemeriksaan –pemeriksaan lain. (Rahajuningsih, 2009)

3. Hitung trombosit

Hitung trombosit dapat dilakukan dengan cara langsung dan tidak langsung. Cara langsung dapat dilakukan dengan cara manual, semi otomatik dan otomatik. Pada cara manual, mula-mula darah diencerkan dengan larutan pengencer lalu diisikan ke dalam kamar hitung dan jumlah trombosit dihitung di bawah mikroskop. Untuk larutan pengencer dapat dipakai larutan Rees Ecker atau larutan amonium oksalat 1%. Cara manual mempunyai ketelitian dan ketetapan yang kurang baik, karena trombosit kecil sekali sehingga sukar dibedakan dari kotoran kecil. Lagi pula trombosit mudah pecah dan cenderung saling melekat membentuk gumpalan serta mudah melekat pada permukaan asing. Oleh karena itu alat-alat yang dipakai harus betul-betul bersih dan larutan pengencer harus

Page 23: Makalah Hemostasis

disaring lebih dahulu. Sebagai bahan pemeriksaan dipakai darah dengan antikoagulan sodium ethylendiamineyang masih dalam batas waktu yang diijinkan artinya tidak lebih dari 3 jam setelah pengambilan darah. (Rahajuningsih, 2009)

Pada cara tidak langsung, jumlah trombosit pada sediaan hapus dibandingkan dengan jumlah eritrosit kemudian jumlah mutlaknya dapat diperhitungkan dari jumlah mutlak eritrosit. Karena sukarnya dihitung, penilaian semi kuantitatif tentang jumlah trombosit dalam sediaan hapus darah sangat besar artinya sebagai pemeriksaan penyaring. Pada sediaan hapus darah tepi, selain dapat dilakukan penilaian semi kuantitatif, juga dapat diperiksa morfologi trombosit serta kelainan hematologi lain. Bila sediaan hapus dibuat langsung dari darah tanpa antikoagulan, maka trombosit cenderung membentuk gumpalan. Jika tidak membentuk gumpalan berarti terdapat gangguan fungsi trombosit. (Rahajuningsih, 2009)

Dalam keadaan normal jumlah trombosit sangat dipengaruhi oleh cara menghitungnya dan berkisar antara 150.000 – 400.000 per µl darah. Pada umumnya, jika morfologi dan fungsi trombosit normal, perdarahan tidak terjadi jika jumlah trombosit lebih dari 100.000/µl. Jika fungsi trombosit normal, pasien dengan jumlah trombosit di atas 50.000/µl tidak mengalami perdarahan kecuali terjadi trauma atau operasi. Jumlah trombosit kurang dari 50.000/µl digolongkan trombositpenia berat dan perdarahan spontan akan terjadi jika jumlah trombosit kurang dari 20.000/µl. (Rahajuningsih, 2009)

Masa Protrombin Plasma (prothrombin time PT)

Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji pembekuan darah melalui jalur ekstrinsik dan jalur bersama faktor pembekuan VII, X, V, protrombin dan fibrinogen. Selain itu juga dapat dipakai untuk memantau efek antikoagulan oral karena golongan obat tertentu menghambat pembentukan faktor pembekuan protrombin, VII, IX, dan X. (Rahajuningsih, 2009)

Prinsip pemeriksaan ini dalah mengukur lamanya terbentuk bekuan bila ke dalam plasma yang diinkubasi pada suhu 37°C, ditambahkan reagens tromboplastin jaringan dan ion kalsium. Hasil pemeriksaan ini dipengaruhi oleh kepekaan tromboplastin yang dipakai dan oleh teknik pemeriksaan. Karena itu pemeriksaan ini selalu harus dilakukan duplo dan disertai kontrol dengan plasma normal. (Rahajuningsih, 2009)

Nilai normal tergantung dari reagens, cara pemeriksaan dan alat yang digunakan. Sebaiknya tiap laboratorium mempunyai nilai normal yang ditetapkan sendiri dan berlaku untuk laboratorium tersebut. Jika hasil PT memanjang maka penyebabnya mungkin kekurangan faktor-faktor pembekuan di jalur ekstrinsik dan bersama atau adanya inhibitor. Untuk membedakan hal ini, pemeriksaan diulang sekali lagi dengan menggunakan campuran plasma penderita dan plasma kontrol dengan perbandingan 1 : 1. Bila ada inhibitor, masa protrombin plasma tetap memanjang. (Rahajuningsih, 2009)

Selain dilaporkan dalam detik, hasil PT juga dapat dilaporkan dalam rasio, aktivitas protrombin dan indeks. Rasio yaitu perbandingan antara PT penderita dengan PT kontrol. Aktivitas protrombin dapat ditentukan dengan menggunakan kurva standard dan dinyatakan dalam %. Indeks yaitu perbandingan antara PT kontrol dengan PT penderita dan dinyatakan dalam %. (Rahajuningsih, 2009)

Pemeriksaan PT juga sering dipakai untuk memantau efek pemberian antikoagulan ora. Perbedaan kepekaan reagens tromboplastin yang dipakai dan perbedaan cara pelaporan menimbulkan

Page 24: Makalah Hemostasis

kesulitan bila pemantauan dikerjakan di laboratorium yang berbeda-beda. Untuk mengatasi masalah tersebut ICTH (International Committee on Thrombosis and Haemostasis) dan ICSH (International Committee for Standardization in Haematology) menganjurkan agar tromboplastin jaringan yang akan digunakan harus dikalibrasi terlebih dahulu terhadap tromboplastin rujukan untuk mendapatkan ISI (International Sensitivity Ratio). Juga dianjurkan agar hasil pemeriksaan PT dilaporkan secara seragam dengan menggunakan INR (International Normalized Ratio), yaitu rasio yang dipangkatkan dengan ISI dari reagens tromboplastin yang digunakan. (Rahajuningsih, 2009)

Masa Tromboplastin Parsial Teraktivasi (activated parsial thromboplastin time APTT)

Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji pembekuan darah melalui jalur intrinsik dan jalur bersama yaitu faktor pembekuan XII, prekalikren, kininogen, XI, IX, VIII, V, protrombin dan fibrinogen. Prinsip pemeriksaan ini adalah menguur lamanya terbentuk bekuan bila ke dalam plasma ditambahkan reagens tromboplastin parsial dan aktivator serta ion kalsium pada suhu 37°C. Reagens tromboplastin parsial adalah fosfolipid sebagai pengganti Platelet factor 3. (Rahajuningsih, 2009)

Nilai normal tergantung dari reagens, cara pemeriksaan dan alat yang dipakai. Juga dianjurkan agar tiap laboratorium menentukan nilai normalnya sendiri. Hasilnya memanjang bila terdapat kekurangan faktor pemberkuan di jalur intrinsik dan bersama atau bila terdapat inhibitor. Sama seperti PT, untuk membedakan hal ini dilakukan pemeriksaan ulang terhadap campuran plasma penderita dan plasma kontrol dengan perbandingan 1 : 1. Bila hasilnya tetap memanjang, berarti ada inhibitor. Pada hemofilia A maupun hemofilia B, APTT akan memanjang, tetapi pemeriksaan ini tidak dapat membedakan kedua kelainan tersebut. Pemeriksaan ini juga dipakai untuk memantau pemberian heparin. Dosis heparin diatur sampai APTT mencapai 1,5 – 2,5 kali nilai kontrol. (Rahajuningsih, 2009)

Masa Trombin (thrombin time TT)

Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji perubahan fibrinogen menjadi fibrin. Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur lamanya terbentuk bekuan pada suhu 37°C bila ke dalam plasma ditambahkan reagens trombin. (Rahajuningsih, 2009)

Nilai normal tergantung dari kadar trombin yang dipakai. Hasil TT dipengaruhi oleh kadar dan fungsi fibrinogen serta ada tidaknya inhibitor. Hasilnya memanjang bila kadar fibrinogen kurang dari 100 mg/dl atau fungsi fibrinogen abnormal atau bila terdapat inhibitor trombin seperti heparin atau FDP (Fibrinogen degradation product). (Rahajuningsih, 2009)

Bila TT memanjang, pemeriksaan diulangi sekali lagi dengan menggunakan campuran plasma penderita dan plasma kontrol dengan perbandingan 1 : 1 untuk mengetahui ada tidaknya inhibitor. (Rahajuningsih, 2009)

Untuk membedakan apakah TT yang memanjang karena adanya heparin, fibrinogen abnormal atau FDP, dilakukan pemeriksaan masa reptilase. Reptilase berasal dari bisa ular Ancistrodon Rhodostoma.Apabila TT yang memanjang disebabkan oleh heparin maka asa reptilase akan memberikan hasil normal, sedangkan fibrinogen abnormal atau FDP akan menyebabkan masa reptilase memanjang. (Rahajuningsih, 2009)

Pemeriksaan Penyaring Untuk Faktor XIII

Page 25: Makalah Hemostasis

Pemeriksaan ini dimasukkan dalam pemeriksaan penyaring, karena baik PT, APTT, maupun TT tidak menguji faktor XIII, sehingga adanya defisiensi F XIII tidak dapat dideteksi dengan PT, APTT, maupun TT. Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai kemampuan faktor XIII dalam menstabilkan fibrin. (Rahajuningsih, 2009)

Prinsipnya F XIIIa mengubah fibrin soluble menjadi fibrin stabil karena terbentuknya ikatan cross link. Bila tidak ada F XIII, ikatan dalam molekul fibrin akan dihancurkan oleh urea 5 M atau monokhlorasetat 1 %. Cara pemeriksaannya adalah dengan memasukkan bekuan fibrin ke dalama larutan urea 5M atau asam monokhloroasetat 1%. Kemudian setelah 24 jam stabilitas bekuan dinilai. Bila faktor XIII cukup, setelah 24 jam bekuan fibrin tetap stabil dalam larutan urea 5M. Jika terdapat defisiensi faktor XIII bekuan akan larut kembali dalam waktu 2 -3 jam. (Rahajuningsih, 2009)

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Pada Pemeriksaan Hemostasis

1. Antikoagulan

Untuk pemeriksaan koagulasi antikoagulan yang dipakai adalah natrium sitrat 0,109 M dengan perbandingan 9 bagian darah dan 1 bagian natrium sitrat. Untuk trombosit antikoagulan yang dipakai adalah Na2EDTA. Jika dipakai darah kapiler, maka tetes darah pertama harus dibuang. (Rahajuningsih, 2009)

2. Penampung

Untuk mencegah terjadinya aktivasi faktor pembekuan, dianjurkan memakai penampung dari plastik atau gelas yang telah dilapisi silikon. (Rahajuningsih, 2009)

3. Semprit atau Jarum

Dianjurkan memakai semprit plastik dan jarum yang cukup besar, paling kecil nomor 20. (Rahajuningsih, 2009)

4. Cara Pengambilan Darah

Pada waktu pengambolan darah, harus dihindarkan masuknya tromboplastin jaringan. Yang dianjurkan adalah pengambilan darah dengan memakai 2 semprit. Setelah darah dihisap dengan semprit pertama, tanpa mencabut jarum, semprit pertama dilepas lalu dipasang semprit kedua. Darah semprit pertama tidak dipakai untuk pemeriksaan koagulasi, sebab dikhawatirkan sudah tercemar oleh tromboplastin jaringan. (Rahajuningsih, 2009)

Tabel 3. Pemeriksaan Laboratorium Sementara Untuk Membedakan Penyebab Perdarahan (FKUI, 2005)

Gangguan Masa Perdarahan

Masa Pembekuan

Rumpel Leede Retraksi Bekuan

Vaskulus Normal Normal Positif Normal

Page 26: Makalah Hemostasis

Trombosit Memanjang Normal Positif Abnormal

Pembekuan Normal Memanjang Negativ Normal

II.4. Gangguan Perdarahan (Diatesis Hemoragik)

Ganguan ini secara klinis ditandai dengan perdarahan abnormal, yang mungkin spontan atau terjadi setelah suatu kejadian pemicu (missal, trauma atau pembedahan). Perdarahan abnormal dapat disebabkan oleh (1) kelainan di dinding pembuluh darah, (2) defisiensi atau disfungsi trombosit, atau (3) gangguan faktor pembekuan. Seperti akan tampak pathogenesis bagian penyakit yang menyebabkan peningkatan perdarahan ini melibatkan pengaktifan sistemik dan konsumsi trombosit dan/atau faktor pembekuan. Pada koagulopati konsumtif ini, perdarahan abnormal mungkin disertai kelainan pembekuan darah. Berbagai tes yang digunakan dalam evaluasi awal pasien dengan gangguan perdarahan adalah sebagai berikut : (Aster jon, 2007)

1. Waktu perdarahan (bleeding time). Ini mencerminkan waktu yang diperlukan pada pungsi kulit (yang telah di standarisasi) untuk menghenikan perdarahan. Prosedur ini, diukur dalam menit, merupakan perkiraan in vivo respon trombosit terhadap cedera vascular terbatas. Rentang acuan bergantung pada metode yang digunakan dan bervariasi dari 2 sampai 9 menit. Uji ini abnormal bila terdapat defek pada jumlah atau fungsi trombosit.

2. Hitung trombosit. Ini diperoleh dengan memeriksa darah yang telah diberi antikoagulan

menggunakan penghitung partikel electron. Rentang acuan adalah 150 sampai 450x /mm3. Jumlah diluar kisaran ini harus diknfirmasi dengan persepsi visual apusan darah tepi.

3. Waktu protrombin (protrombin time, PT). prosedur ini, yang diukur dalam detik, menguji keadekuatan ekstrinsik dan umum. Uji ini mencerminkan waktu yang dibutuhkan oleh plasma untuk membeku apabila diberi tromboplastin jaringan (misal, ekstrak otak) dan ion Ca++dari luar. PT yang memanjang terjadi pada defisiensi faktor V, VII, atau X; protrombin; atau fibrinogen.

4. Waktu tromboplastin parsial (partial tromboplastin time, PTT). Uji ini dirancang untuk menilai integritas jalur pembekuan intrinsic dan umum. Pada uji ini, waktu (dalam detik) yang dibutuhkan plasma untuk membeku dengan keberadan kaolin, sefalin, dan kalsium diukur. Kaolin berfungsi mengaktifkan faktor XII dependen-kontak, dan sefalin menggantikan fosfolipid trombosit. Memanjangnya PTT dapat terjadi akibat defisiensi faktor V, VIII, IX, X, XI, atau XI, atau protrombin atau fibrinogen atau inhibitor didapat (biasanya suatu antibody) yang mengganggu jalur intrinsic. (Aster jon, 2007)

Kelainan pembuluh darah dapat menyebabka perdarahan melalui beberapa cara. Meningkatnya fragilitas pembuluh disebabkan oleh defisiensi vitamin C, amiloidosis sistemik, pemakaian glukortikoid jangka-panjang, penyakit herediter yang jarang mengenai jaringan ikat, dan sejumlah besar vaskulitis hipersensitivitas dan infeksiosa. Yang infektif, penyakit riketsia, tifoid, dan purpura

Page 27: Makalah Hemostasis

Henochshonlein. Diatesis hemoragik yang murni disebabkan oleh fragilitas vaskulaer ditandai dengan (1) ptekie dan ekimosis yang tampaknya muncul spontan di kulit dan selaput lendir (mungkin akibat trauma ringan), (2) hitung trombosit dan uji koagulasi (PT, PTT) yang normal, dan (3) waktu perdarahan yang biasanya normal. Selain itu, seperti akan terlihatm koagulopati konsumtif kadang-kadang berakar pada penyakit sistemik yang menyebabkan permukaan sel endotel memudahkan terjadinya trombosis. (Aster jon, 2007)

Defisiensi trombosis (trombositopenia) merupakan penyebab penting perdarahan. Defisiensi trombosit dapat terjadi pada berbagai kondisi klinis. Terdapat gangguan dengan fungsi trombosit terganggu walaupun jumlahnya normal. Cacat kualitatif tersebut mungkin didapat, seperti pada uremia, setelah ingestif aspirin, atau diwarisi, seperti pada penyakit von Willebrand dan penyakit kongenital jarang lainnya. Trombositopenia dan disfungsi trombosit serupa dengan peningkatan fragilitas vaskular, yaitu terdapat ptekie dan ekimosis, serta mudah memar, mimisan, perdarahan berlebihan akibat trauma ringan, dan menoragia. Demikian juga PT, dan PTT normal, tetapi berbeda dengan gangguan vaskular, waktu perdarahan selalu memanjang. (Aster jon, 2007)

Diatesis perdarahan yang semata-mata disebabkan oleh gangguan pembekuan darah berbeda dalam beberapa aspek yang disebab oleh kelainan dinding di pembuluh atau trombosit. PT, PTT, atau keduanya memanjang, sedangkan waktu perdarahan normal. Ptekie dan tanda lain perdarahan akibat trauma ringan biasanya tidak ditemukan. Namun, dapat terjadi perdarahan masif setelah prosedur operatif atau gigi atau trauma berat. Selain itu, yang khas adalah perdarahan ke bagian tubuh yang terkena trauma, seperti sendi ekstremitas bawah. Sekelompok gangguan koagulasi kongenital masuk dalam kategori tersebut. (Aster jon, 2007)

Salah satu diatesis perdarahan yang paling kompleks, koagulasi intravaskular diseminata (DIC), terjadi akibat terpakainya trombosit dan faktor pembekuan sehingga memberikan gambaran klinis dan laboratorium trombositopenia dan gangguan pembekuan darah. Penyakit von willedrand juga melibatkan gangguan kedua modalitas tersebut. (Aster jon, 2007)

A. Kelainan Di Dinding Pembuluh Darah

Perdarahan abnormal yang tidak disebabkan oleh kelainan trombosit dan kelainan mekanisme pembekuan darah digolongkan ke dalam perdarhan karena gangguan vaskulus. (FKUI, 2005)

Faktor yang dapat menimbulkan kelemahan vaskulus umumnya dapat dibagi menjadi:

1. Faktor Kongenital

a. Telangiektasia hemoragik herediter (Osler-Weber-Rendu)

Gambaran yang tersering tampak ialah epistaksis. Dapat pula terjadi perdarahan usus yang menahun dan kadang-kadang terjadi eksaserbasi mendadak. Perdarahan ini biasanya diatasi dengan penekanan, es, atau obat topical dan bila perlu untuk anemia yang menahun diberikan preparat besi atau transfuse darah pada keadaan mendadak. (FKUI, 2005)

Page 28: Makalah Hemostasis

b. Hiperelastika kutis (Ehler-Danlos)

Pada keadaan ini luka yang kecil sukar senbuh dan dapat terbuka kembali. Perdarahan yang cukup hebat dapat terjadi karena suatu kecelakaan atau tindakan operasi. Keadaan ini umumnya diatasi dengan operasi yang berhati-hati dan dalam masa penyembuhan luka yang telah ditutup dijaga dengan baik. Transfuse diberikan beli perlu. (FKUI, 2005)

2. Faktor Didapat

a. Skorbut

Merupakan penyakit akibat kekurangan vitamin C. pengobatannya ialah dengan memberikan vitamin C 200 mg/hari selama 1 minggu kemudian dikurangi perlahan-lahan sampai 1 bulan. (FKUI, 2005)

b. Panvaskulitis

Misalnya oleh karena sepsis seperti meningokoksemia, endokarditis bakterialis subakuta atau dapat disebabkan penyakit autoimun. Pengobatan ditujukkan terhadap penyakit primernya. (FKUI, 2005)

c. Purpura anafilaktoid (purpura Henoch-Schönlein)

Kelainan ini timbul atas dasar alergi (hipersensitifitas). Umumnya terjadi karena alergi terhadap makanan (coklat, susu, telur, kacang-kacangan), obat (beladona, atropin, fenasetin, salisilat, penisilin), gigitan serangga atau setelah suatu penyakit infeksi (rubella, rubeola, dan lain-lain), kadang-kadang dapat terjadi setelah pencacaran. Pengobatan dilakukan dengan pemberian kortikosteroid, antibiotik (untuk infeksi) dan bila perlu hemostatika. Disamping itu menghindarkan diri dari bahan penyebab allergen. (FKUI, 2005)

d. Lain-lain, misalnya uremia

Pengobatan ditujukkan pada penyakit primernya. (FKUI, 2005)

Perlu ditekankan dalam hal ini bahwa diagnosis kelainan/gangguan pembuluh darah murni baru dapat ditegakkan bila telah dibuktikan bahwa mekanisme pembekuan dan jumlah serta fungsi trombosit dalam keadaan baik. (FKUI, 2005)

B. Defisiensi atau Disfungsi Trombosit

1. Trombositopenia

a) Purpura Trombositopenik Imun (Purpura Trombosit Idiopatik/ITP)

Etilogi dan Patogenesis

Purpura trombositopenik idiopatik merupakan gangguan yang lazim terjadi pada masa anak-anak, dengan antibody terhadap glikoprotein trombosit yang lazim, terkait pada membrane trombosit, sehingga menyebabkan sel dibuang melalui reseptor Fc pada makrofag jaringan di limpa. Kadang-

Page 29: Makalah Hemostasis

kadang hati juga merupakan tempat pembuatan trombosit, terutama pada kasus berat dan setelah splenektomi. ITP biasanya terjadi setelah penyakit virus yang umum pada masa kanak-kanak, termasuk varicela, rubella, rubeola, dan infeksi saluran nafas. Konsentrasi IgM atau IgG yang meningkat dapat dideteksi pada membrane trombosit dengan menggunakan teknik imunofluoresen. Kadar imnuglobulin terkait trombosit yang meningkat ringan sampai sedang tidak spesifik untuk suatu etiologi autoimundan juga ditemukan pada setiap keadaan yang berkaitan dengan meningkatnya destruksi trombosit. Terdapatnya peningkatan konsentrasi IgM atau IgG pengikat trombosit di dalam serum lebih spesifik untuk ITP. ITP pada masa kanak-minggu dan 90 % kasus pulih dalam 6 bulan. Meskipun demikian, trombositopenia bisa menetap selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun, sehingga membatasi aktivasi dan memperlama risiko perdarahan. Sampai saat ini, golongan Ig (M atau G) atau glikoprotein trombosit target (GPIIb, GPIIa, atau GPIb) Memprediksikan gangguan ini. Kelainan imunologik ringan terutama hipoglobulinemia dan disgamaglobulinemia ditemukan pada anggota keluarga pada 10% dari anak dengan ITP, sedangkan pada mayoritas anak tidak ditemukan bukti adanya disfungsi imun. (Rudolph, 2007)

Manisfestasi klinis

ITP mengenai anak laki-laki dan perempuan dengan rata. Meskipun gangguan ini dapat timbul pada 2 bulan setelah lahir dan sampai dewasa, rata-rata usia timbulnya awitan adalah 6 tahun. Tampilan gangguan ini biasanya akut, dengan perdarahan ke dalam kulit baik spontan atau setelah trauma ringan. Lesi berkisar dari peteki pin-point sampai ekimosis yang besar. Distribusi lesi dapat acak, tetapi sering meningkat pada titik-titik tekanan, seperti sekitar leher dan tenggorokan ketika batuk, pada wajah ketika menangis, atau di bawah ikat pinggang elastik. Perdarahan hidung dan perdarahan dari selaput lendir tidak jarang terjadi dan sering mengakibatkan kehilangan darah yang berat. Perdarahan sistem saraf pusat terjadi pada 0,5% kasus dan menyebabkan sebagian besar kematian pada penyakit ini. Perdarahan intrakranial dapat terjadi kapan pun selama perjalanan penyakit dan dikaitkan dengan hitung trombosit kurang dari 10.000/mm3. Pada anamnesis riwayat penyakit sering mendukung adanya insfeksi virus selama 4 minggu sebelum tampilan klinis dan dapat menampakan meningkatnya memar dan perdarahan. Anamnesis yang teliti harus dilakukan untuk mendapatkan bukti adanya gangguan autoimun lain pada anak atau pada pada anggota keluarga yang lain, termasuk anemia hemolitik autoimun atau neutropenia, antikoagulan lupus dengan atau tanpa trombosis, lupus eritematosus sistemik, atau artritis reumatoid. (Rudolph, 2007)

Pemeriksaan fisik normal selain tanda perdarahan. Secara spesifik, anak dengan ITP tidak menunjukan bukti adanya splenomegali, hepatomegali, limfadenopati, massa, ruam (selain ekimosis), atau pembengkakan sendi. (Rudolph, 2007)

Temuan Laboratorium

Trombositopenia, dengan hitung trombosit biasanya di bawah 50.000/mm3, merupakan temuan yang paling bermakna biasanya berkaitan dengan hitung trombosit kurang dari 20.000/mm3. Hitung darah lengkap normal kecuali anemia dan leukositosis timbul setelah perdarahan yang bermakna. Apusan darah tepi memastikan adanya penurunan jumlah trombosit, morfologi, jumlah eritrosit serta sel darah putih normal, dan dapat menunjukan populasi trombosit besar. Uji penapisan koagulasi termasuk APTT, PT, TT, fibrinogen, dan FSP normal dan menyingkirkan keadaan komsumtif yang difus. Pemeriksaan sumsum tulang biasanya menunjukan jumlah dan morfologi megakriosit yang normal saat itu, dengan kompensasi yang timbul kemudian berupa meningkatnya jumlah

Page 30: Makalah Hemostasis

megakariosit dan megakariosit yang lebih imatur, ditemukan populasi progenitor sel darah putih dan eritrosit normal. Imun globulin yang terkait trombosit biasanya meningkat. Hanya anamnesis, pemeriksaan fisik, hitung darah lengkap, dan uji penapisan koagulasi yang penting untuk mendiagnosis penyebab lazim ITP. (Rudolph, 2007)

Perjalanan penyakit dan prognosis

ITP merupakan gangguan akut yang swasirna pada 90% anak dengan gangguan ini. Kekambuhan dapat terjadi selama beberapa bulan pertama sampai beberapa tahun pertama setelah diagnosis, dan sering dikaitkan dengan infeksi akut. Pada 10 % anak, ITP merupakan gangguan kronis yang menetap hingga di atas 6 bulan. Bahkan pada ITP kronis, remisi spontan dapat terjadi setelah berminggu-minggu atau bertahun-tahun, sehingga membenarkan penatalaksanaan konservatif yang beralasan. (Rudolph, 2007)

Terapi ITP

Karena angka pemulihan spontan yang tinggi, observatif tanpa terapi yang spesifik diindikasikan pada mayoritas anak. Orang tua harus diperingatkan untuk menghindari obat penghambat trombosit, terutama aspirin. Ketika hitung trombosit kurang dari 50.000/mm3, orang tua harus cermat mendorong penggunaan seatbelt dan helm sepeda, dan penghindaran sport kontak serta ketinggian. Aktivitas yang meningkatkan risiko cedera kepala, seperti ice skate, rollerblade, ski, menyelam, harus dilarang. Karena sangat rendahnya angka perdarahan fatal yang menjadi komplikasi ITP, pembuktian menurunnya kematian dengan terapi menjadi sangat sulit. Terdapat dua pendekatan utama, tidak ada satu pun terbukti menurunkan lama penyakit, tetapi keduanya dapat memperpendek lamanya trombositopenia berat. Kedua pendekatan ini biasanya dicadangkan untuk anak dengan trombositopenia persisten yang kurang dari 20.000/mm3, terutama pada anak dengan perdarahan hidung dan selaput lendir yang bermakna. (Rudolph, 2007)

Gama globulin intravena (IVIG) diberikan dengan dosis 1 g/kg selama dua hari berturut-turut atau 400 mg/kg/hari selama 5 hari. Peningkatan hitung trombosit lebih besar dari 30.000 biasanya didapatkan dalam 48 jam. Infus dapat diulang per bulan. Pembatas utama adalah biaya, kebutuhan jalur vena untuk pemberian terapi, dan risiko minimal kontaminasi virus pada produk. Mekanisme kerja yang utama dianggap blokade retikuloendotel pada reseptor Fc di limpa, dengan peranan minor diberikan antibodi anti-idiotipik pada IVIG dan modulasi langsung respons imun yang menghasilkan antibodi antitrombosit. (Rudolph, 2007)

Alternatif lain, prednison dengan dosis 2 mg/kg/hari sela 2 sampai 4 minggu diikuti dengan dosis yang diturunkan bertahap akan menghasilkan peningkatan hitung trombosit dalam seminggu sampai 10 hari. Prednison lebih murah dari pada IVIG dan umumnya dapat ditoleransi dengan baik untuk pemberian singkat. Meskipun demikian, prednison dapat menyembunyikan leukemia yang samar dan penurunan bertahap prognosis terapi leukemia. Dengan demikian, terapi prednison tidak boleh diberikan untuk ITP tanpa pemeriksaan sumsum tulang sebelumnya. (Rudolph, 2007)

Episode perdarahan akut pada anak dengan ITP ditangani dengan transfusi transfusi packed red cell¸jika diindikasikan secara klinis. Perdarahan yang mengancam nyawa, termasuk perdarahan intrakranial, dapat ditangani dengan IVIG dan splenektomi darurat. Transfusi trombosit

Page 31: Makalah Hemostasis

jarang diindikasikan, karena diperkirakan memiliki ketahannan hidup yang memendek secara radikal. (Rudolph, 2007)

Splenektomi efektif pada hampir 70% anak dengan ITP kronis. Hitung trombosit biasanya meningkat segara setelah pembedahan, tetapi kemudian dapat menurunkan hitung trombosit baik ringan sampai berat. Splenektomi bekerja dengan mengeksisi tempat pembuangan trombosit yang diselubungi-Ig. Setelah splenektom, trombosit akan tetap mengandung Ig permukaan yang meningkat tetapi akan menunjukan ketahanan hidup plasma yang lebih lama dan hemostasis klinis yang membaik. Splenektomi biasanya dipertimbangkan pada anak yang menderita pembatasan besar dalam aktivitas akibat trombositopenia berat. Sebelum splenektomi, anak dengan ITP kronis harus dievaluasi untuk bukti penyakit autoimun lain dengan panel laboratorium mencakup hitung darah lengkap, evaluasi untuk antikoagulan lupus. Uji Coomb, antibodi antikardiolipin, profil ANA, dan antibodi tiroid. Laki-laki harus dievaluasi untuk bukti adanya sindrom Wiskott-Aldrich, trombositopenia kongenital harus disingkirkan dengan hati-hati, terutama pada anak yang datang dengan trombositopenia selama 2 tahun pertama setelah kelahiran. (Rudolph, 2007)

Terdapat resiko yang bermakna bahwa splenektomi akan tidak efektif pada anak yang tidak menunjukan peningkatan trombosit dengan IVIG atau prednison. Kadang-kadang hati akan memainkan peranan yang dominan di dalam pembuangan trombosit pasca splenektomi,sehingga menyebabkan kegagalan terapeutik. Setelah splenektomi, sejumlah anak dengan ITP refraktif akan berespon terhadap IVIG, atau obat yang mencakup vinkristin, dan vinblastin. (Rudolph, 2007)

b) Purpura Obat Imunologik

Berbagai obat dapat menyentisisasi individu tertentu sehingga pemajanan selanjutnya terhadap obat dapat menyebabkan trombositopenia akut. Antibodi yang dibentuk dapat bereaksi dengan spesifik, dan absorbsi selanjutnya kompleks antigen antibodi ini pada permukaan trombosit dapat menyebabkan kehancurannya, lisisn trombosit dapat ditunjukan in vitro dan memerlukan obat spesifik, serum dari penderita sensitif obat , trombosit dari semua donor, dan komplemen. Obat yang dapat merangsang terjadinya respons ini pada individu yang rentan adalah kuinidin, kuinin, digitoksin, derivat klorotiazid, klorpropamid, meprobamit, fenilbutazon, sulfonamid, dan antihistamin. Trombositopenia yang diinduksi heparin dapat muncul dengan trombositopenia berat dan trombosis paradoksikal, khususnya arteri. Trombositopenia akibat dari proses ini biasanya sembuh secara spontan bila obat yang mengganggu dilenyapkan. Penderita dewasa akhirnya menyusun semua kasus yang telah dilaporkan. (Rudolph, 2007)

C. Infeksi Akut dan Gangguan lain

Trombositopenia ringan sampai berat dapat muncul dengan sepsis bakteri akibat penyebab apa pun. Trombositopenia telah dihubungkan dengan tuberkulosis, demam tifoid, campak, rubela, varisela, demam skarlet, endokarditis, mononukleosus infeksiosa, dan penyakit infeksi lain. Trombositopenia juga merupakan manifestasi lazim lupus eritematosus. Kadang-kadang, penurunan trombosit ditemukan pada hipotiroidisme. Bila trombositopenia menyertai anemia hemolitik autoimun didapat, disebut sebagai sindrom evan. (Rudolph, 2007)

Page 32: Makalah Hemostasis

D. Sindrom Uremik-Hemolitik dan Purpura Trombositopenik Trombik

Gangguan yang sangat terkait dan tumpang tindih ini merupakan dua ekspresi utama penyakit mikroangiopati. Gangguan ini ditandai dengan anemia hemolitik dan trombositopenia, agaknya karena pengaruh koagulasi ekstra vaskuler yang berlokasi pada kapiler dan arteriola yang berdekatan. Sindrom uremik hemolitik (HUS,hemolytic uremic syndrome) terutama mengenai bayi dan anak kecil. Purpura trombositopenik trombotik (TTP, trombotic trombositopenic purpura) terutama merupakan ganggua pada orang dewasa. HUS biasanya merupakan penyakit akut dan swasirna, sedangkan TTP bersifat kronis dan sering kambuh. Pada sebagian pasien TTP, diantara episodenya terdeteksi multimer vWF yang besar secara abnormal dan ditemukan pola vWF tipe II didapat selama eksaserbasi. Pola multimer vWF tipe II yang serupa telah terdeteksi pada sejumlah anak dengan HUS. Pada kedua gangguan tersebut, ketahanan hidup trombosit sangat berkurang, sedangkan kecepatan degradasi fibrinogen biasanya normal. Morfologi eritrosit memiliki cirri mikrosefarosit dan bentuk-bentuk aneh yang terfragmentasi (disebut sel helm) yang menjadi dasar penegakkan diagnosis. (Rudolph, 2007)

Istilah sindrom uremik hemolitik biasanya dipakai pada keadaan bayi dan anak kecil yang secara khas mengikuti episode diare berdarah dan dengan manifestasi ginjal, hematuria, oliguria, atau gagal ginjal akut, dan uremia yang menonjol. Trombositopeni dan anemia hemolitik sering timbul setelah beberapa hari diare dan setelah awitan gagal fungsi ginjal. Manifestasi neurologi mencakup iritabilitas dan menurunnya kesiagaan lazim terjadi tetapi biasanya bukan akibat thrombosis. Sebagian besar penderita sembuh sempurna dengan penatalaksanaan gagal ginjal akut yang sangat cermat. Hasil biposi ginjal deposisi fibrin saat fase akut penyakit menimbulkan ujin coba heparin, fibrinolitik, dan inhibitor trombosit; dari semua terapi ini tidak ada yang tampaknya mengubah hasil HUS. Penggunaan inhibitor thrombosis dikaitkan dengan lebih tingginya hitung trombosit dan mungkin lebih sedikitnya transfusi trombosit. Anak dengan HUS sangant mudah mengalami hiperkoagulasi saat fase akut penyakit. Terjadi thrombosis yang terkait kateter vaskular; infark jemari, sistem saraf pusat, atau hati yang kadang terjadi, juga telah dilaporkan. Sekuele jangka panjang mencakup 5-10% insiden perburukan sampai stadium akhir gagal ginjal. Yang jarang adalah timbulnya episode berulang. Ketika seorang anak menunjukkan episode multiple HUS dengan awitan masa bayi, defak metaboliisme vaskuler yang mendasari, seperti metabolisme prostasiklin, harus dicurigai.(Rudolph, 2007)

TTP biasanya muncul pada orang dewasa dan otak serta hati sebagai target utama penyakit mikroangiopati lokalisata. TTP cenderung menjadi kronis dan kambuh dengan angka morbiditas serta mortalitas yang lebih tinggi. Kejang dan koma lazim terjadi. Plasmeferesis dan infuse plasma telah dikaitkan dengan perbaikan gejala dan penurunan mortalitas. Terapi lain yang mungkin membantu termasuk kortikosteroid, splenektomi, aspirin dosis rendah, dan dipiridamol. (Rudolph, 2007)

E. Hemangioma Raksasa dan Tumor Vaskular Jinak Lain

Page 33: Makalah Hemostasis

Sekuestrasi trombosit, menyebabkan trombositopeni berat dan perdarahan, dapat terjadi akibat hemangioma raksasa pada bayi. Kelainan ini biasanya dikenal sebagai sindrom Kasabach-Merritt. Peningkatan konsumsi faktor koagualasi terjadi pada beberapa penderita. Ukuran hemangioma sering meningkat dengan cepat setelah lahir dan mulai regresi secara spontan sekitar usia 1 tahun. Bayi dapat memperlihatkan gagal jantung kongestif. Defisiensi berat zat besi dapat timbul akibat kehilangan darah GI. Penyembuhan terjadi setelah eksisi secara bedah atau regresi spontan. Beberapa lesi akan regresi setelah terapi dengan kortikosteroid atau inhibitor fibrinolitik. Lesi dengan hemangioma kapiler yang menonjol dapat berespons dengan infus interveron alfa-2a. (Rudolph, 2007)

F. Penyakit Jantung Kongenital Sianonik

Trombositopeni dapat terjadi dengan anak dengan polisitemia berat yang disertai dengan penyakit jantung sianotik. Derajat defisiensi trombosit sebanding dengan keparahan hipoksia. Penilitian ketahanan hidup trombosit menunjukkan detruksi perifer. (Rudolph, 2007)

G. Purpura Trombositopenik Neonatus

Dua penyebab trombositopenia imun pada neonatus adalah trombositopenia aloimun neonatus (NAIT, neonatal allimmune trombocitopenia) dan trombositopenia autoimun maternal. (Rudolph, 2007)

NAIT terjadi pada 1 dalam 2000 sampai 1 dalam 5000 kelahiran dan disebabkan oleh imunisasi aktif pada sistem imun ibu oleh antigen trombosit janin yang bersala dari ayah. Antibodi maternal terhadap PL-Al homozigot dan memiliki risiko sensitisasi. Penyebab NAIT lain yang lebih jarang mencakup antigen trombosit Pen (yuk) dan Bak (lek). NAIT mengenai bayi pertama dalam 50% kasus. Insiden perdarahan intrakranial janin atau neonatus kira-kira sekitar 20%. Pada saat ini, uji prenatal rutin untuk menentukan ibu yang berisiko, belum dilakukakan, karena keterbatasan biaya. Diagnosisnya sulit dilakukan sebelum lahir, tetapi harus dipertimbangkan pada setiap janin dengan perdarahan intrakranial atau pada setipa saudara kandung bayi sebelumnya yang menderita NAIT. Tampilan klinis yang biasanya adalah petekie difus dan purpura saat lahir atau sesaat setelah lahir. IgG ibu yang dapat mengikat trombosit serum meningkat tetapi IgG yang terkait trombosit langsung, normal. Penentuan tipe trombosit orangtua memastikan inkopatibilitas. Pada saudara kandung berikutnya dapat dilakukan penapisan untuk trombositopenia dengan menggunakan sample darah dari umbilikus. Trombositopenia janin berespon terhadapa terapi maternal dengan IVIG atau korikosteroid. Hitung trombosit janin berespon infus trombosit maternal yang telah dicuci, IVIG, atau kortikosteroid. Janin-janin yang diketahui menderita NAIT harus dilahirkan dengan bedah sesar. (Rudolph, 2007)

ITP maternal dapat mengakibatkan transfer pasif autoantibodi yang menimbulkan trombositopenia janin atau neonatus. Hitung trombosit ering menurun 1 sampai 2 hari setelah lahir. Walaupun bayi dari ibu dengan ITP cenderung mengalami trombositopenia yang lebih ringan daripada bayi dengan

Page 34: Makalah Hemostasis

NAIT, hitung trombosit janin tidak dapat diperiksa dengan hitung trombosit maternal. Walaupun secara teknik menantang, pengambilan sample kulit kepala janin yang berasal dapat membantu memandu jalur optimal persalinan. Terapi maternal dengan kostikosteroid selama 10 -14 hari sebelum persalinan dapat menghasilkan hitung trombosit maternal yang lebih tinggi. Bayi dapat diterapi dengan IVIG, kortikosteroid atau transfudi tukar yang diikuti dengan trombosit dengan donor acak. (Rudolph, 2007)

Trombositopenia pada periode neonatus dapat juga akibat penyakit sistemik, termasuk eritroblastosis fetalis berat, sepsis, penyakit inklusi sitomegalik, toksoplasmosis, rubela, dan leukemia. (Rudolph, 2007)

Tipe trombositopenia kongenital yang jarang disertai dengan tidak adanya radius bilateral (sindrom TAR). Megakariosit menurun pada sumsum tulang dan gambaran darah leukemoid sementara dapat menunjukkan leukemia kongenital. Walaupun ada trombositopenia menetap bayi-bayi ini cenderung menjadi baik jika mereka mengatasi perdarahan mematikan selama masa neonatus. (Rudolph, 2007)

H. Purpura trmobositopenia sekunder (PTS)

Trombositopenia yang terjadi akibat pengaruh imun, yang menybebabkan umur trombosit memendek dan kelainnan ini mempunyai hubungan dengan jumlah megakarosit normal atau meningkat maupun megakarosit kurang sampai tidak ada dalam sumsum tulang. (IDAI, 2005)

Purpura tanpa kelainan koagulasi dapat dibagi ke dalam tiga kategori:

1. Purpura trombositopenia dengan jumlah trombosit < 150 x /L

2. Purpura dengan jumlah trombosit normal, termasuk kelainan kualitas trombosit dan kelainan pembuluh darah

3. Purpura dengan trombositosis (jumlah trombosit < 150 x /L

Penyebab purpura trmobositopenia sekunder akibat pengaruh imun :

1. Dipicu proses infeksi, misalnya :

a. Infeksi virus (HIV, CMV, EBV, Varicella, Rubella, Rubeola, Mumps, Parvovirus )

b. Infeksi bakteri (Tuberkulosis, Tifoid)

2. Dipicu obat-obatan

3. Purpura pasca transfuse

4. Anemia hemolitik autoimun (sindrom Evan)

5. Lupus eritematosus sistemik

6. Hipertiroidism

7. Kelainan limfoproliperatif

Page 35: Makalah Hemostasis

8. Alergi, anafilaksis

Purpura trmobositopenia berhubungan dengan infeksi

Trombositopenia akibat infeksi pada beberapa keadaan mempunyai hubungan dengan produksi berkurang dan meningkatnya penghancuran trmobosit. Trombositopenia yang terjadi akibat peningkatan penghancuran trombosit pada penyakit infeksi, secara keseluruhan tergantung penyebabnya dan diketahui akibat pengaruh imun dengan mekanisme hyang belum jelas tetapi kemungkinan mekanisme imun sangat berperan karena adanya peningkatan jumlah platelet-sdherent IgG pada infeksi bakteri dan virus. (IDAI, 2005)

a) Trombositopenia – HIV

Trombositopenia relative sering ditemukan akibat komplikasi nfeksi HIV-1. Merupakan kelainan imun yang secara klinis tidak dapat dibedakan dari PTI akut atau kronis, terjadi pada individu yang terinfeksi dengan virus HIV. (IDAI, 2005)

Pada awal fase infeksi HIV, trombositopenia hanya merupakan manifestasi infeksi HIV dan imunologik (HIV-PTI). Pasien yang terinfeksi HIV stadium lanjut (AIDS) umumnya terdapat kelainan hematologis lainnya seperti anemia, leucopenia, trombositopenia disebabkan penekanan sumsum tulang sehingga trombosit berkurang. (IDAI, 2005)

Pengobatan trombositopenia pada infeksi HIV terdiri dari bermacam-macam terapi. Pengobatan

antiviral dipilih jika jumlah > 0,4-0,5 x /L. Dikatakan AZT dapat meningkatkan jumlah trombisit. Pasien yang tidak respon dengan terapi antiviral, akan bermanfaat dengan pemberian komponen immunoglobulin iv (IVIG) yang dapay menyabkan kenaikan trombosit secara cepat tapi bersifat sementara, dan kelihatan kurang efektif bagi PTI klasik pada anak. (IDAI, 2005)

b) Rubella

Trombositopenia akut yang terjadi dapat sembuh sendiri, dengan gejala klinis yang jelas atau tersamar. Pernah dilaporkan menyebabkan keadaan yang fatal. Insidenya tidak diketahui tetapi jarang ditemukan. (IDAI, 2005)

c) Varicela

Infeksi varisela lebiih sering dihubungkan dengan PTI akut seperti trombositopenia akibat imun. Masalah umumnya muncul pada masa viremia atau masa penyembuhan. Pengobatan steroid selama masa viremis secara teori berbahaya dan tidak berguna. Pada banyak kasus akan sembuh dalam waktu 2 minggu. Pemberian steroid harus hati-hati untuk kondisi PTI akut. (IDAI, 2005)

d) Infeksi TORCH congenital

Infeksi TORCH (toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes simpleks) merupakan kelompok infeksi congenital (termasuk sifilis congenital) yang mempunyai gambaran klinis yang umum dan salah satunya trombositopenia. Neonatus yang menderita infeksi TORCH akan tampak sakit berat,

Page 36: Makalah Hemostasis

kuning, pucat, purpura, hepatosplenimegali. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan tanda-tanda hemolitik, jumlah trombosit rendah, bersama dengan disfungsi hati dan kelainan koagulasi. Mekanisme trombositopenia terjadi secara kompleks dan kemungkinan mekanisme imun sebagai penyebab umur trombosit pendek. (IDAI, 2005)

e) Malaria

Trombositopenia sering merupakan akibat infeksi malaria (di luar DIC pada penyakit fulminant akibat plasmodium falciparum), hal ini terjadi akibat trombosit berikatan dengan antigen malaria yang mengikat antibody anti malaria. (IDAI, 2005)

Purpura trombositopenia yang dipicu obat-obatan

Obat-obatan dapat menyebabkan trombositopenia melalui dua mekanisme berbeda, yaitu:

1. Penekanan sumsum tulang

Obat-oabatn yang digolongkan mengakibatkan depresi sumsum tulang seperti obaat sitostatika (6-merkaptopurin, metotreksat, siklofosfamid) dan mempunyai efek idiosinkrasi seperti kloramfenikol. (IDAI, 2005)

2. Penigkatan penghancuran trombosit

Hal ini terjadi melalui mekanisme imun (drug hapten disease). Obat dengan berat molekul 500-1000 tidak dapat memulai proses imunitas kecuali berikatan dengan protein yang disebut hapten. Protein tersebut merupakan komponen trombosit dan antibody yang spesifik terhadpa komponen trobosit untuk membentuk hapten. Terdapat beberapa obat yang dapat menyebabkan trombositopenia melalui mekanisme proses imun. (IDAI, 2005)

Melalui imun penghancuran trombosit secara dini oleh obat-obatan dapat melalui3 (tiga) jalan, yaitu:

1. Membentuk kompleks imun-antibodi-obat yang larut dan melekat secara longgar pada permukaan trombosit, melekat kuat pada komplemen dan merusak (detruksi) sel.

2. Melekat pada permukaan sel dan bekerja sebagai hapten.

3. Dengan merangsang proses produksi antibody yang akan bereaksi silang dengan antibody permukaan sel yang menimbulkan trombositopenia autoimun,

Obat-obatan yangs sering digunakan pada anak dan menyebabkan trombositopenia akibat imun lain, adalah sodium valproat, fenitoin, karbamazepin, kotrimoksazol, rifampisin, asetazolamid, simetidin, aspirin, dan heparin trombositopenia akibat penggunaan obat-obatan, dapat bersifat sementara di mana jumlah rombosit kembali normal jika obat tersebut dihentikan penggunaannya. Pemeriksaan

Page 37: Makalah Hemostasis

sumsum tulang dapat membedakan anatara trombositopenia yang disebabkan penenkanan-toksisk jika megakarosit sedikit atau tidak ada dan trombositopenia akibat penghancuran di perifer dengan jumlah megakarosit normal atau meningkat. (IDAI, 2005)

Purpura trombositopeia pasca transfusi

Merupakan sindrom yang sangat jarang dengan jumlah trombosit kurang dari 10.000/mL dengan manifestasi perdarahan dan terjadi kira-kira 1 minggu setelah pemberian transfuse yang rutin dengan reaksi silang yang cocok. Pathogenesis kompleks kerusakan trmobost autologus diduga akibat dari:

1. Kompleks destruksi trmobosit imun

2. Konversi antigen trombosit negatf dengan transfer PIA-1 antigen yang larut

3. Produksi alloantibody

4. Produksi autoantibody trombosit yang temporer.

Kondisi ini mirip dengan trombositopenia neonatal alloimun dan dapat diobati dengan gamma globulin intravena (GGIV) dan tranfusi tukar. (IDAI, 2005)

b) Trombositopenia neonatal

Trombositopenia neonatal terjadi bila jumlah trombosit < 100.000 / ml, umumnya ditemukan pada distress neonatal pada bayi prematur yang sakit atau menderita penyakit seperti bakteriemia dan koagulasi intravaskular diseminata (DIC). Keadaan ini ditemukan pada 20 – 40 % neonatus yang dirawat di unit rawat intensif. (IDAI, 2005)

Insidens trombositopenia neonatal yang dilaporkan umumnya di bawah perkiraan yang sebenarnya karena sering terlambat diketahui maupun gambaran klinisnya tidak jelas. Insidens diperkirakan 0,12% bila jumlah trombosit dari tali pusat < 50.000 / ml, sedangkan insidens trombositopenia neonatal berat adalah 0.04% bila jumlah trombosit < 20.000 / ml. Perdarahan intrakranial maupun kematian dapat ditemukan pada trombositopenia neonatal yang berat. (IDAI, 2005)

Faktor penyebab yang mempengaruhi timbulnya trombositopenia sangat banyak. Sebagian besar akibat penyakit primer pada sistem hematopoitik maupun akibat transfer faktor abnormal dari si ibu. (IDAI, 2005)

Patogenesis

Trombositopenia dapat disebabkan akibat: (a) penurunan produksi trombosit, (b) peningkatan penghancuran trombosit, trombosit terperangkap dalam limpa, atau (c) kombinasi antara penghancuran dan produksi atau gabungan dengan patogenesis yang tidak diketahui. (IDAI, 2005)

Trombositopenia neonatal merupakan penyakit yang didapat atau diturunkan dan kemungkinan primer akibat peningkatan penghancuran trombosit dan gangguan produksi. Hal ini penting diketahui karena dengan timbulnya risiko perdarahan dan penatalaksanaan. (IDAI, 2005)

a. Penurunan produksi trombosit

Page 38: Makalah Hemostasis

Trombositopenia neonatal yang disebabkan penurunan produksi diperkirakan terdapat pada < 5 % dari seluruh kasusu trombositopenia neonatal. Yang termasuk dalam golongan ini adalah kelainan pada sumsum tulang seperti leukemia kongenital, reaksi leukemoid kongenital pada bayi dengan sindrom down, neuroblastoma, histiosit, infeksi virus terutama sitomegalovirus dan osteoporosis. Apabila sumsum tulang termasuk sindrom TAR (trombositopenia dengan tidak adanya radius) dan amegakariositik trombositopenia. (IDAI, 2005)

b. Peningkatan penghancuran trombosit

Trombositopenia yang timbul akibat peningkatan penghancuran trombosit dapat dibagi 2 golongan yaitu dipengaruhi faktor imun dan faktor non-imun. Trombositopenia yang dipengaruihi faktor imun mempunyai hubungan Platelet associated IgG (PAIgG) ataupun komplemen. (IDAI, 2005)

Lebih kurang 50% neonatus dengan jumlah trombosit < 100.000 / ml menunjukkan adanya peningkatan kadar IgG dan penyebab peningkatan tersebut tidak diketahui. Peningkatan kadar PAIgG juga dapat ditemukan pada sepsis neonatus dan bayi yang lahir dari ibu pre-eklampsi. (IDAI, 2005)

Penyebab trombositopenia neonatal non-imun paling sering ditemukan pada koagulasi intravaskular diseminita (KID) dan terjadi sekunder akibat transfusi tukar. (IDAI, 2005)

Penyakit yang dihubungkan dengan pemakaian trombosit

Trombositopenia yang ditemukan umumnya lebih berat dengan jumlah trombosit kurang dari 50.000 / ml. Mekanisme timbulnya trombositopenia dapat ditemukan antara lain pada sepsis neonatal karena bakteri, sekunder akibat KID, kerusakan endotel karena bakteri atau produk bakteri yang menyebabkan adhesi trombosit, agrergasi trombosit akibat imun dan penurunan produksi akibat infeksi pada sumsum tulang. Trombositopenia neonatal dapat ditemukan dan mempunyai hubungan dengan kondisi penyakit. (IDAI, 2005)

Penyebab

Penyebab trombositopenia yang umumnya dijumpai adalah faktor imunologis, infeksi termasuk sepsis, tindakan pengobatan (foto terapi, transfusi tukar) KID dengan segala faktor penyebab. Ada beberapa faktor penyebab trombositopenia neonatal yang dihubungkan produksi trombosit. (IDAI, 2005)

Gambaran klinis dan laboratorium

Gambaran klinis trombositopenia neonatal bervariasi tergantung apakah bayi lahir sehat atau sakit. Riwayat kelahiran yang mempunyai seperti hipoksia, infeksi, penyakit ibu perlu diketahui, karena sebagian besar trombositopenia yang terjadi adalah sekunder dari suatu proses. Selain hal di atas riwayat keluarga perlu perhatian bila ditemukan trombositopenia maternal, obat yang dikonsumsi ibu, sitopenia, kelainan tulang, trombositopenia pada neonatus sebelumnya. (IDAI, 2005)

Pemeriksaan fisik yang diteliti perlu dilakukan untuk menemukan kelainan pada tungkai atas dan bawah, mikrosefali, hepatosplenomegali, hemangioma dan tanda klinis neonatus dengan sangkaan infeksi kongenital. (IDAI, 2005)

Page 39: Makalah Hemostasis

Pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah lengkap, volumer trombosit rata-rata (mean platelet volume = MPV), pemeriksaan darah tepi dengan menemukan trombosit besar dan inklusi leukosit (leucocyte inclusion), jumlah trombosit dan test koagulasi. (IDAI, 2005)

Jika ditemukan trombositopenia berat pada neonatus perlu dilakukan pemeriksaan trombosit spesifik (specific platelet typing) dari bayi, ibu dan bapak untuk menentukan tipe HPA (Human Platelet Antigen) trombosit dan menentukan antibodi anti trombosit spesifik dalam sirkulasi yang mempunyai hubungan dengan immune mediated thrombocytopenia. (IDAI, 2005)

Perdarahan lebih banyak terjadi bila keadaan trombositopenia disertai gangguan fungsi trombosit. Penentuan jumlah trombosit merupakan pendekatan diagnosa yang paling sederhana untuk menetapkan pedoman terapi. (IDAI, 2005)

Jika jumlah trombositik < 30.000 – 50.000 / ml pada bayi lahir yang cukup bulan dan sehat akan mempunyai risiko perdarahan serius seperti perdarahan intrakranial, sedangkan bila jumlah trombosit > 50.000 / mL bayi cukup bulan yang sehat, risiko perdarahan sangat kecil. (IDAI, 2005)

Yang penting diperhatikan pada trombositopenia sedang yaitu bila jumlah trombosit 50.000 – 10.000 / mL terjadi bayi prematur yang sakit, risiko perdarahan tidak dapt dipastikan, tapi mempunyai hubungan dengan komplikasi perdarahan. (IDAI, 2005)

Waktu perdarahan (Bleeding time) menggambarkan jumlah dan fungsi trombositopenia sedang. Waktu perdarahan akan memendek jika jumlah trombosit meningkat > 100.000 / mL dan setelah transfusi trombosit. (IDAI, 2005)

Penatalaksanaan

Karena sebagian besar trombositopenia neonatal sekunder akibat penyakit yang mendasarinya, maka kontrol terhadapa faktor penyebab merupakan langkah utama. Pengobatan diberi berdasarkan jumlah trombosit yang rendah dengan risiko perdarahan.

Beberapa peneliti menganjurkan segera melakukan intervensi langsung bila jumlah trombosit > 30.000 . mL pada 48 jam pertama kehidupan atau jika akan dilakukan pembedahan perlu diberikan transfusi trombosit dan pemberian intravenus immunoglobulin (IVIgG) dan obat-obatan. (IDAI, 2005)

2. Trombositosis

Trombosit yang melekat pada kolagen yang terpajan pada pembuluh yang cedera, mengerut dan melepaskan ADP serta faktor 3 trombosit, penting untuk mengawali system pembekuan. Kelainan jumlah atau fungsi trombosit (atau keduanya) dapat mengganggu koagulasi darah. Trombosit yang terlalu banyak atau terlalu sedikit menganggu koagulasi darah. Keadaan yang ditandai dengan trombosit berlebihan dinamakan trombositosis atau trombositemia. Trombositosis umumnya didefinisikan sebagai peningkatan jumlah trombosit lebih dari 400.000/mm3 dan dapat primer atau sekunder. Trombositosis primer timbul dalam bentuk trombositemia primer, yang terjadi proliferasi abnormal megakariosit, bersama dengan jenis sel-sel lain, di dalam sumsum tulang. Untuk menyingkirkan gangguan-gangguan ini diperlukan pemeriksaan sitogenik. Dapat terjadi perdarahan

Page 40: Makalah Hemostasis

dan thrombosis. Patofisiologinya masih belum jelas tetapi diyakini berkaitan dengan kelainan kualitatif intrinsic fungsi trombosit, serta akibat peningkatan massa trombosit. Waktu perdarahan biasanya memanjang. (Price, 2006)

Jika jumlah trombosit melebihi 1 juta atau pasien simtomatik, pengobatan dimulai dan ditujukan untuk mengurangi aktivitas sumsum tulang melalui penggunaan agen-agen sitotoksik seperti hidroksiurea, yang secara dramatis menurunkan jumlah semua jenis sel. Anogrelid hidroklorida (Agrylin) ditambahkan untuk spesifitasnya dalam mengurangi produksi trombosit. Dalam keadaan terjadinya perdarahan atau thrombosis akut, tromboferesis sementara waktu dapat menyembuhkan. Agen-agen antitrombosit seperti aspirin dan antikoagulan juga digunakan. (Price, 2006)

Trombositosis sekunder terjadi sebagai akibat adanya penyebab-penyebab lain, baik secara sementara setelah stres atau olahraga dengan pelepasan trombosit dari sumber cadangan (dari lien), atau dapat menyertai keadaan meningkatnya permintaan sumsum tulang seperti pada perdarahan, anemia hemolitik, atau anemia defisiensi besi. Peningkatan tajam jumlah trombosit terjadi pada pasien-pasien yang liennya sudah dibuang secara pembedahan. Karena lien merupakan tempat primer penyimpanan dan penghancuran trombosit, maka pengangkatan (splenektomi) tanpa disertai pengurangan produksi di dalam sumsum tulang akan mengakibatkan trombositosis, yang sering melebihi 1 juta/mm3. Pengobatan trombositosis sekunder atau reaktif umumnya tidak diindikasikan (Price, 2006)

C. Gangguan Faktor Pembekuan

1. Hemofilia

Hemofilia adalah sindrom klinis yang ditandai dengan perdarahan yang berlebihan dan sering, disebabkan oleh defisiensi genetic atau disfungsi salah satu protein koagulasi. Hemofilia yang paling lazim adalah hemofilia A, yang disebabkan oleh defisiensi faktor VII. Sedangkan hemofilia B disebabkan oleh defisiensi faktor IX dan kira-kira jumlahnya seperempat dari penderita hemofilia A. (Rudolph, 2007)

Hemofilia (A dan B) diturunkan secara sex(X)-linked recessivedan gen untuk faktor VIII dan IX terletak pada ujung lengan panjang (q) kromosom X. oleh karena itu, perempuan biasanya sebagai pembawa sifat sedangkan laki-laki sebagai penderita. Perempuan pembawa sifat hemofilia yang menikah dengan laki-laki normal dapat menurunkan satu atau lebih anak lelaki penderita hemofilia atau satu

Page 41: Makalah Hemostasis

atau lebih anak perempuan pembawa sifat. Sedangkan anak laki-laki penderita hemofilia yang menikah dengan perempuan normal akan menurunkan anak lelaki yang normal atau anak perempuan pembawa sifat. (IDAI, 2005)

Hemofilia diklasifikasikan sebagai (1) berat, dengan kadar aktivitas faktor kurang dari 1%, (2) sedang, dengan kadar aktivitas di antara 1% dan 5%, serta (3) ringan, jika 5% atau lebih. Perdarahan spontan dapat terjadi jika kadar aktivitas faktor kurang dari 1%. Akan tetapi, pada kadar 5% atau lebih, perdarahan umumnya tejadi berkaitan dengan trauma atau prosedur pembedahan. (Price, 2006)

Epidemiologi

Penyakit ini bermanifestasi klinik pada laki-laki. Angka kejadian hemofilia A sekitar 1: 10.000 orang dan hemofilia B sekitar 1 : 25.000 – 30.000 orang. Belum ada data mengenai angka kekerapan di Indonesia, namun diperkirakan sekitar 20.000 kasus dari 200 juta penduduk Indonesia saat ini. Kasus hemofilia A lebih sering dijumpai dibandingkan hemofilia B, yaitu berturut-turut mencapai 80-85% dan 10-15% tanpa memandang ras, geografi dan keadaan sosial ekonomi. Mutasi gen secara spontan diperkirakan mencapai 20-30 % yang terjadi pada pasien tanpa riwayat. (Sudoyo A W, 2009)

a) Hemofilia A (Kekurangan Faktor VIII)

Kejadian hemofilia A di seluruh dunia adalah sekitar 1 kasus per 5000 individu laki-laki dengan sekitar sepertiga dari individu yang terkena tidak memiliki riwayat keluarga. Prevalensi hemofilia A bervariasi dengan negara pelapor, dengan kisaran 5,4-14,5 kasus per 100.000 orang laki-laki. Di Amerika Serikat, prevalensi hemofilia A adalah 20,6 kasus per 100.000 orang laki-laki, dengan 60% dari mereka memiliki penyakit yang berat. Diperkirakan 17.000 orang terkena dengan hemofilia A di Amerika Serikat pada tahun 2003. Hemofilia A terjadi pada semua ras dan kelompok etnis. Secara umum, demografi hemofilia mengikuti distribusi rasial dalam populasi tertentu, misalnya, tingkat hemofilia di antara kulit putih, dan Afrika Amerika di AS serupa. (Zaiden, 2012)

Wanita mungkin mengalami perdarahan klinis karena hemofilia jika 1 dari 3 kondisi ini ditemukan: (1) lyonization ekstrim (yaitu, inaktivasi alel FVIII yang normal di salah satu kromosom X), (2) homozigositas untuk gen hemofilia (yaitu, ayah hemofilia dan ibu yang merupakan pembawa), atau (3) sindrom Turner (XO) terkait dengan gen hemofilia yang terkena. (Zaiden, 2012)

Dahulu hemofilia A sering dikacaukan dengan penyakit von Willebrand, karena pada keduanya ditemukan kekurangan faktor VII, tetapi pada penyakit von Willebrand didapatkan pula kekurangan faktor von Willebrand yaitu faktor yang dibutuhkan untuk agregasi trombosit. (IDAI, 2005)

Manifestasi Klinis

Perdarahan merupakan gejala dan tanda klinis khas yang sering dijumpai pada kasus hemofilia. Perdarahan dapat timbul spontan autau akibat trauma ringan sampai sedang serta dapat timbul saat bayi mulai belajar merangkak. Manifestasi klinis tersebut tergantung pada beratnya hemofilia (aktivatas faktor pembekuan). Tanda perdarahan yang sering dijumpai yaitu berupa hemartrosis, hematom subkutan/intramuskular, perdarahan mukosa mulut, perdarahan intrakranial, episktaksis dan hematuria. Sering pula dijumpai perdarahan yang berkelanjutan pascaoperasi kecil (sirkumsisi, ekstraksi gigi). (Sudoyo A W, 2009)

Page 42: Makalah Hemostasis

Karena faktor VIII tidak menembus plasenta, kecenderungan berdarah mungkin tampak nyata pada periode neonates. Hematoma setelah suntikan dan perdarahan dari sirkumsisi adalah lazim, tetapi bayi yang terkena tidak menunjukkan abnormalitas klinis. Sewaktu mulai rawat jalan, kemudahan berdarah terjadi. Hematom intramuscular timbul karena trauma kecil. Trauma luka robek yang relative kecil, seperti pada lidah atau bibir, yang berdarah terus-menerus selama berjam-jam atau berhari-hari, merupakan kejadian yang sering menuntun ke diagnosis. Dari penderita dengan tingkat penyakit yang parah, 90% telah menunjukkan bukti klinis nyata peningkatan perdarahan pada umur 1 tahun. (Nelson, 2000)

Ciri khas hemofilia adalah hemartosis. Perdarahan ke dalam sendi siku, lutut, dan pergelangan kaki menyebabkan rasa nyeri dan pembengkakan dan pembatasan gerak sendi; ini mungkin diimbas oleh trauma yang relative kecil tetapi tampak seperti pedarahan spontan. Perdarahan berulang dapat menyebabkan perdarahan degenerative, dengan osteoporosis, atrofi otot dan akhirnya sendi tidak dapat digunakan, tidak dapat digerakkan. Hematuria spontan sangat mengganggu biasanya bukan merupakan komplikasi yang serius. Perdarahan intracranial dan perdarahan ke dalam leher merupakan gawat darurat yang mengancam-nyawa. (Nelson, 2000)

Penderita dengan aktivitas faktor VIII lebih dari 6% (6 unit/dL) tidak mempunyai gejala spontan. Penderita ini, dengan “hemofilia ringan”, mungkin hanya mengalami perdarahan yang memanjang setelah ekstraksi atau manipulasi gigi, pembedahan, atau luka. (Nelson, 2000)

Temuan Laboratorium

Pasien yang dicurigai menderita hemofilia harus menjalani uji skrinning untuk hemostasis, mencakup jumlah trombosit, waktu perdarahan, PT, dan PTT. Biasanya pasien memperlihatkan pemanjangan PTT dengan semua uji lain menunjukkan nilai normal. Karena defisiensi faktor VIII secara klinis mirip dengan defisiensi IX, maka setiap laki-laki yang memiliki riwayat perdarahan dan pemanjangan PTT harus menjalani pemeriksaan spesifik untuk faktor VIII dan IX. (Harrison, 2000)

Terapi

Terapi untuk hemophilia berat adalah penggantian faktor pembekuan yang defisien. Dosis dan frekuensi dosis ditentukan oleh konsentrasi faktor yang dibutuhkan untuk hemostasis, volume distribusi faktor pembekuan yang dibutuhkan dan waktu menghilangnya plasma. Faktor VIII memiliki volume distribusi yang sama dengan volume vascular. Satu unit faktor koagulasi didefinisikan sebagai jumlah yang terdapat di dalam 1 mL plasma normal yang dikumpulkan. Dengan demikian, 1 U/kg faktor VIII akan meningkatkan konsentrasi plasma sebesar 2%. Waktu-paruh plasma kira-kira 12 jam. (Rudolph, 2006)

Perdarahan sendi berulang telah dicegah pada anak dengan hemophilia A berat dengan memulai infuse penggantian rutin faktor VIII pada sekitar usia 2 tahun, atau pada saat perdarahan sendi yang pertama. Dosis awal minimal faktor VIII untuk profilaksis primer perdarahan sendi adalah 25 U/kg tiap selang sehari. Sebagian anak kecil membutuhkan pemasangan jalur inravena, yang dapat meningkatkan risiko infeksi. Kepatuhan terhadap regimen profilaktik cukup sulit, karena biaya terapi ini mahal, dan stress yang ditimbulkan akibat seringnya pemasangan jalur intravena. (Rudolph, 2006)

Penggantian faktor VIII sampai minimum 50% konsentrasi plasma (25 U/kg) diperlukan untuk semua perdarahan sendi pada anak. Karena bersihan faktor VIII yang diinfuskan terjadi sedikit lebih cepat

Page 43: Makalah Hemostasis

pada anak-anak, infuse berulang pada hari 1,3, dan 5 setelah infuse awal dikaitkan dengan meningkatnya pemulihan. Terapi ajuvan mencakup istirahat, kompres es, penekanan, dan meninggikan bagian tubuh yang terlibat, dan juga sangat penting untuk memfasilitasi penyembuhan setelah hemartosis. Terapi fisik mungkin diperlukan jika kelainan dalam cara berjalan, fungsi, atau kekuatan terjadi setelah perbaikan perdarahan akut. Prednison dengan dosis 1 sampai 2 mg/kg/hari selama 3 sampai 5 hari tampak membantu pada hemartosis yang sulit, terutama jika terdapat bukti peradangan atau sinovitis setelah episode perdarahan awal telah membaik. (Rudolph, 2006)

Perdarahan jaringan lunak dapat ditangani dengan penggantian 40% faktor VIII (20 U/kg). penggantian delapan puluh sampai 100% diperlukan untuk bedah mayor juga untuk perdarahan intracranial, gastrointestinal, atau retroperitoneal. Berdasarkan waktu pelenyapan-separuhnya di dalam plasma yaitu 12 jam, penggantian faktor VIII harus diberikan setiap 12-24 jam untuk perdarahan berat, dan setiap 24-48 jam untuk mencegah perdarahan kembali menjadi perdarahan yang terkendali. Untuk pembedahan atau perdarahan berat, kadar faktor VIII harus dipertahankan di dekat kisaran normal selama 7-14 hari. Faktor VIII dapat diberikan dengan tetesan intravena; metoda ini sering membantu melestarikan faktor yang dinginkan. Individu dengan laserasi yang membutuhkan penjahitan akan membutukan infuse faktor VIII pada saat pengangkatan jahitan. Walaupun pengendalian perdarahan pada pemebedahan akan tampak adekuat, luka akan pecah pada 50% kasus kecuali jika infuse diberikan pada kedua prosedur tersebut,. Anak dengan fraktur akan membutuhkan penggantian faktor pada saat reduksi dan pemasangan gips pada fraktur. Selain itu, dukungan eksternal akan mendukung kuat untuk mencegah perdarahan. Meskipun demikian, saat gips diangkat, ekstremitas yang atrofi secara khas tidak mampu menahan perdarahan akibat trauma yang tidak bermakna. Infuse faktor pembekuan saat pengangkatan gips bersama dengan terapi fisik akan mencegah perdarahan setelah pengangkatan gips. (Rudolph, 2006)

Produk faktor VIII yang paling tepat adalah yang telah terbukti aman dari virus hepatitis A, B, dan C, serta HIV dan virus lain yang diketahui menular lewat darah. Saat ini, faktor VIII yang diproduksi dengan teknologi rekombinan, secara teoritis merupakan yang paling kecil kemungkinannya untuk menularkan virus yang patogenik pada manusia. Konsetrat faktor VIII yang berasal dari manusia dan sangat dimurnikan yang telah dipisahkan menjadi >100 unit/mg protein dengan antibody monoclonal atau teknik kromatografi lain dan selanjutnya dilakukan penginaktifan virus, secara klinis dianggap aman dari virus. Banyak konsetrat faktor VIII yang berasal dari plasma dengan kemurnian intermediate, telah mengalami metode penginaktifan virus yang melenyapkan HIV, hepatitis B, dan hepatitis C; meskipun demikian, produk-produk ini membawa kerugian berupa besarnya muatan protein yang berasal dari luar yang dapat mengubah system tubuh resipien. Produk donor-tunggal, termasuk plasma beku segar dan kriopresipitat yang belum mengalami prosedur penginaktifan virus, tidak lagi memenuhi standar penanganan untuk orang yang membutuhkan pajanan terhadap sejumlah besar produk penggantian darah. (Rudolph, 2006)

Desmopresin asetat (DDAVP) adalah vasopressin arginin sintetik yang melepas simpanan faktor VIII dan faktor von Willebrand dari sel endotel. Secara khas, konsentrasi faktor VIII akan meningkat tiga kali lipat setelah DDAVP, individu dengan nilai konsentrasi dasar faktor VIII sampai 20% dapat sering menggunakan DDAVP direkomendasikan sebelum penggunaan produk ini saja di dalam lingkup bedah. Individu dengan devisiensi ringan faktor VIII mungkin bisa menggunakan DDAVP dan faktor VIII secara bergantian setelah bedah mayor untuk mengurangi pajanan terhadap produk darah. Preparat standar DDAVP diberikan dengan dosis 0,3 µg/kg secara intravena dalam 30 mL salin

Page 44: Makalah Hemostasis

isotonic selama 30 menit. Formulasi baru semprot hidung DDAVP dosis tinggi akan mempermudah terapi di rumah; meskipun demikian, penting untuk memastikan efektivitas klinisnya dengan assay faktor VIII sebelum memulai penggunaan di rumah. (Rudolph, 2006)

Inhibitor fibrinolitik, asam aminokaproat dan asam traneksamat, berguna sebagai terapi adjuvant untuk perdarahan selaput lender yang meliputi gigi, lidah, dan gusi. Koagulan topical, termasuk konsentrat thrombin dan gel fibrin, berguna untuk mengendalikan permukaan yang menetes secara difus. Penggantian vitamin K tambahan pada anak yang sehat tanpa faktor resiko defisiensi vitamin K tidak membantu. (Rudolph, 2006)

Penderita hemophilia, keluargannya, dan penyedia kesehaan berharap bahwa ”penyembuhan” dengan rekonstitusi genetic dapat tersedia di masa mendatang yang dapat diduga. (Rudolph, 2006)

· Inhibitor Faktor VIII

Antibody penetral yang bersirkulasi terhadap faktor VIII terdapat pada sekitar 25% orang dengan defisiensi genetic faktor VIII. Sebagaan besar inhibitor yang timbul pada anak-anak dengan defisiensi

berat faktor VIII, adalah subtype , dan membutuhkan pajanan terhadap faktor VIII dahulu sebelumnya. Inhibitor diukur melalui kemampuannya untuk menghancurkan faktor VIII dalam pengenceran serial plasma standar yang dikumpulkan. Klasifikasi standar untuk inhibitor di Amerika Serikat adalah dengan assay Bethesda. Inhibitor diklasifikasikan sebagai titer tinggi (>10 Bethesda unit/mL) versus titer rendah (<2 data-blogger-escaped-2006="" data-blogger-escaped-bethesda="" data-blogger-escaped-dan="" data-blogger-escaped-dengan="" data-blogger-escaped-faktor="" data-blogger-escaped-inhibitor="" data-blogger-escaped-ml="" data-blogger-escaped-nyata="" data-blogger-escaped-pada="" data-blogger-escaped-pemajanan-ulang="" data-blogger-escaped-peningkatan="" data-blogger-escaped-respons-rendah="" data-blogger-escaped-respons-tinggi="" data-blogger-escaped-sedikit="" data-blogger-escaped-setelah="" data-blogger-escaped-span="" data-blogger-escaped-titer="" data-blogger-escaped-udolph="" data-blogger-escaped-unit="" data-blogger-escaped-versus="" data-blogger-escaped-viii="">

Sebagian besar bayi dan anak kecil dengan inhibitor awitan baru berespon terhadap pemajanan kontinu faktor VIII dengan titer inhibitor yang berkurang. Proses iniduksi imunotoleran dapat dilakukan pada kebanyakan anak kecil dengan menggunakan faktor VIII 50 U/kg jika perlu pada perdarahan akut untuk inhibitor titer rendah respons-rendah, dan dosis 50-100 U/kg/hari untuk titer tinggi respons-tinggi. Dengan pemajanan faktor VIII yang kontonue, titer Bethesda negative harus didapatkan rata-rata dalam 5 bulan. Peramal terbaik induksi toleransi imun yang berhadil adalah titer inhibitor rendah dan interval waktu yang singkat antara awitan inhibitor da inisiasi induksi toleransi imun. Inhibitor titer tinggi respons-tinggi dengan durasi lebih dari 5 tahun sulit untuk dilenyapkan. Regimen industry toleransi imun yang lebih agresif menggabungkan absorpsi imun atau plasmaferesis. Sitoksan, dan imun globulin intravena, tampak berguna di dalam penatalaksanaan banyak inhibitor refrakter. (Rudolph, 2006)

· Komplikasi terapi infuse

Sebelum tahun 1985, individu dengan pajanan tinggi terhadap produk yang berasal dari darah mendapatkan HIV, hepatitis B, dan hepatitis C dari konsentrat faktor. Saat ini, banyak terapi yang disetujui dan bersifat investigasi, untuk infeksi-infeksi ini, tetapi bukan penyembuhan. Pencegahan

Page 45: Makalah Hemostasis

infeksi yang ditularkan melalui darah merupakan hal yang paling penting. Pajanan pada prosuk darah harusdilakukan hanya dengan indikasi yang benar dan setiap terapi alternative yang beralasan untuk penginfusan faktor , harus dipertimbangkan. Produk yang berasal dari darah, jika digunakan harus harus dipilih berdasar pada keamanan-virusnya. Walaupun prosedur penginaktifan HIV, hepatitis B, dan hepatitis C yang adekuat digunakan secara umum, laporan hepatitis A atau parvovirus yang ditularkan melalui infuse berfungsi sebagai pengingat bahwa ancaman infeksi baru pada pasokan darah pernah ada dan tidak dapat diprediksikan. Riset untuk menghasilkan protein pembekuan yang direkayasa secara genetic dan untuk menydiakan terapi gen harus dilakukan secepat mungkin. (Rudolph, 2006)

· Perawatan umum untuk anak dengan hemophilia berat

Setelah membuat diagnose hemophilia, keluarga harus ditawarkan konseling segera dan sedang berlangsung untuk menyesuaikan diagnosis dan mulai membentuk pandangan yang sehat dan realistis mengenai kesejahteraan anak mereka. Semua bayi yang terkena harus memulai vaksinasi untuk hepatitis B sebelum pemajanan terhadap produk darah. Imunisasi rutin harus diberikan, baik dengan injeksi subkutan atau, jika intramuscular dengan menggunakan jarumdengan diameter terkecil yang tersedia. Perawatan gigi profilaktik sangat penting untuk menghindari bedah mulut reparasi. Latihan fisik harus ditekankan secara dini untuk menimbulkan kekuatan musculoskeletal yang optimal. Aktivitas prasekolah yang utuh dapat ditoleransi oleh sebgian besar anak dengan hemophilia berat. Pada tahun-tahun sekolah awal, edukasi mengenai fisik secara umum merupakan suatu kewajiban, dengan menghindari sama sekali olahraga-kontak. Berenang, bersepeda, dan berjalan-jalan disarankan pada anak. Baseball, tenis, dan basket dapat ditoleransi oleh sebagian besar anak kecil. Infuse profilaktik mungkin diperlukan untuk pemain sepakbola, pemain ski menurun bukit, dan olahraga serupa. Rugby, hoki es, dan lacrosse harus dihindari oleh semua anak penderita hemophilia. (Rudolph, 2006)

Infuse dirumah, dengan atau tanpa jalur intravena yang ditinggalkan, menyingkirkan banyak trauma berulang yang dihadapi di ruang gawat darurat dan membantu memungkinkan anak agar mengalami hemofiliasebagai gangguan yang dapat ditatalaksana.Meskipun demikian, penting untuk mempertahankan keamanan di dalam terapi di rumah. Transmisi rumah tangga virus yang ditularkan melalui darah selalu merupakan ancaman karena risiko penggunaan dan pembuangan produk darah serta pasokan yang tidak baik dalam lingkungan rumah. Orang tua membutuhkan edukasi awal yang mendasar dan membutuhkan dukungan serta edukasi yang kontinu untuk mempertahankan terapi infuse di rumah secara adekuat. (Rudolph, 2006)

b) Hemofilia B (Kekurangan Faktor IX)

Insiden hemofilia B diperkirakan sekitar 1 kasus per 25,000-30,000 kelahiran laki-laki. Prevalensi hemofilia B adalah 5,3 kasus per 100.000 orang laki-laki, dengan 44% dari mereka yang memiliki penyakit parah. Dari semua kasus hemofilia, 80-85% adalah hemofilia A, 14% adalah hemofilia B, dan sisanya adalah berbagai kelainan pembekuan lainnya. (Zaiden, 2012)

Manifestasi Klinis

Page 46: Makalah Hemostasis

Penyakit ini klinis tidak dapat dibedakan dengan defisiensi faktor VIII (hemofilia A); perdarahan sendi dan otot adalah khas. Ia diwariskan sebagai ciri resesif terikat-X, dan tingkat keparahannya adalah terkait dengan kadar faktor aktivitas koagulan dalam plasma.

Temuan Laboratorium

Waktu tromboplastin parsial (PTT) biasanya abnormal memanjang. Waktu perdarahan dan PPT normal. Pengukuran faktor IX spesifik perlu untuk membedakan dengan hemofilia A dan untuk menentukan tingkat keparahan defek ini. (Nelson, 2000)

Terapi

Volume distribusi faktor IX kira-kira dua kali volume plasma. Dengan demikian, 1 U/kg konsentrasi faktor IX akan meningkatkan konsentrasi plasma hanya sebesar 1%. Perdarahan rutin ditangani dengan 30-40 U/kg. Sejumlah anak dengan defisiensi faktor IX tampaknya berespon secara klinis untuk dosis penggantian yang lebih rendah. Fase beta, atau eliminasi pada pelepasan faktor IX plasma adalah sekitar 30 jam. Infus faktor IX dapat diberikan sekali sehari untuk pembedahan dan 2-3 kali seminggu untuk penggantian atau profilaksis. (Rudolph, 2007)

Saat ini tidak ada produk rekombinan faktor IX yang tersedia, meskipun demikian, terdapat beberapa konsentrat yang mengalami penginaktifan virus dan sangat dimurnikan. Kemurnian intermedial konsentrat faktor IX mengandung faktor II, VII, IX, dan X yang bergantung vitamin K. Sejumlah kecil faktor VII dan IX yang diaktifkan mungkin dimasukkan sebagai kontaminan dan menyebabkan potensi trombotik dari produk ini, terutama jika diberikan dengan dosis tinggi untuk waktu yang lama. Hanya konsentrat faktor IX yang sangat dimurnikan, tepat untuk pembedahan atau terapi perdarahan intrakranial dan perdarahan berat lain. (Rudolph, 2007)

c) Hemofilia C (Kekurangan Faktor XI)

Defisiensi faktor XI diturunkan sebagai ciri bawaan autosom paling sering dilaporkan pada individu yang memiliki leluhur Yahudi. Defisiensi homozigot yang berkaitan dengan perdarahan spontan dan yang disebabkan trauma yang umumnya lebih ringan daripada yang ditemukan pada defisiensi faktor VIII atau IX. Heterozigot memiliki kemungkinan perdarahan sekitar 50%, terutama pada pembedahan dan trauma yang bermakna. Saat ini, tersedia konsentrat faktor IX dari Inggris untuk penggunaan jika perlu. Penggantian faktor IX dengan plasma beku segar akan meningkatkan plasma sebesar 1% untuk setiap 1mL/kg. (Rudolph, 2007)

2. Penyakit von Willebrand

Penyakit von Willebrand adalah kelainan perdarahan herediter yang disebabkan oleh defisiensi faktor von Willebrand. Faktor von Willebrand membantu trombosit melekat pada dinding pembuluh darah dan antara sesamanya, yang diperlukan untuk pembekuan darah yang normal. (Sudoyo, 2009)

Penyakit ini ditemukan oleh seorang alih pediatric bernama Erik von Willebrand dari Finlandia di sebuah Kepulauan bernama Aland. (Mannuci, 2004)

Penyakit ini tidak sesering hemofilia A tetapi mungkin lebih sering dari hemofilia B. penyakit von Willebrand terjadi pada kedua jenis kelamin dan diwariskan sebagai trait autosom dominan. Beberapa keluarga dengan penyakit berat telah dideskripsikan dimana pewarisnya adalah autosom

Page 47: Makalah Hemostasis

resesif. Penyakit itu disebabkan oleh kurangnya produksi protein von Willebrand, atau pada beberapa keluarga, oleh karena sintesis protein yang disfungsi. (Nelson, 2000)

Klasifikasi

· Kelainan kuantitatif FVW

Tipe 1 dan 3 ditandai dengan kelainan kuantitatif faktor von Willebrand. Identifikasi kelainan gen adalah sulit pada tipe 1 dan 3 penyakit von Willebrand. Tipe 1 merupakan kelainan yang ringan, den menjadi kasus terbanyak. Pada penyakit von Willebrand tipe 1, 40% anggota keluarga kelompok ini membawa allele penyakit von Willebrand namun dengan kadar faktor von Willebrand normal. Tipe 3 adalah bentuk yang berat. Bentuk ini jarang terjadi. (Sudoyo, 2009)

· Kelainan kualitatif FVW

Tipe 2 yang terdiri dari subtype 2A, 2B, 2M dan 2N, meliputi pasien dengan kelainan kualitatif faktor von Willebrand. Tipe 2 meliputi kelainan yang ringan sampai sedang, ditandai dengan penurunan fungsi faktor von Willebrand yang terkait trombosit dan termasuk subtipe IIA dan IIC. Tipe 2B, ditetapkan dengan meningkatnya afinitas faktor von Willebrand terhadap GP 1b trombosit. Tipe 2N, ditandai oleh kelainan ikatan faktor von Willebrand pada faktor VIII. (Sudoyo, 2009)

Manifestasi Klinis

Penyakit ini meliputi perdarahan hidung, gusi, menoragia, perdarahan luka merembes lama, dan perdarahan yang meningkat setelah trauma atau bedah. Hemartrosis spontan sangat jarang. (Nelson, 2000)

Temuan Laboratorium

Pemeriksaan diagnostic untuk penyakit von Willebrand meliputi asai untuk faktor von Willebrand, menunjukkan kadar yang subabnormal. Waktu perdarahan yang memanjang dalam keadaan adanya defisiensi faktor VIII dan kelainan agregasi trombosit jika diberikan ristotesin (suatu antibiotik yang menyebabkan agregasi trombosit) bersifat diagnostic untuk penyakit von Willebrand. (Price, 2006)

Pengobatan

Pengobatan penyakit von Willebrand bervariasi bergantung pada tipe dan derajat perdarahan. Pilihan pengobatan meliputi kriopresipitat, konsentrat faktor VIII, desmopresin (DDAVP), plama beku segar, dan estrogen. Tujuan pengobatan adalah untuk meningkatkan ketersediaan faktor von Willebrand. Jika digunakan kriopresipitat, sebaiknya diperoleh dari donor yang telah diseleksi secara seksama dan diperiksa secara berulang menurut Medical and Scientific Council of America. (Price, 2006)

DDAVP digunakan dalam pengobatan penyakit von Willebrand tipe I dan IIA. Pada sebagian besar kasus, DDAVP dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan ringan, secara profilaktik digunakan sebelum prosedur pembedahan. Sekarang tersedia dalam bentuk semprot hidung, DDAVP berperan dalam pelepasan faktor von Willebrand dari tempat penyimpanan cadangan. Untuk penggantian faktor von Willebrand digunakan generasi yang lebih baru yaitu faktor VIIIs yang diinaktifkan virus, yang diketahui mengandung faktor von Willebrand. Pasien-pasien yang dijadwalkan untuk menjalani

Page 48: Makalah Hemostasis

prosedur pembedahan harus dievaluasi dan dipersiapkan oleh ahli hematologi selama dan setelah menjalani prosedur pembedahan. (Price, 2006)

3. Koagulasi Intravaskular Diseminata

Koagulasi intravascular diseminata (DIC) adalah suatu sindrom kompleks yang terdiri atas banyak segi, yang sistem homeostatic dan fisiologik normalnya mempertahankan darah tetap cair berubah menjadi suatu sistem patologik yang menyebabkan terbentuknya trombi fibrin difus, yang menyumbat mikrovaskular tubuh. Sistem fibrinolitik diaktivasi oleh thrombin di dalam sirkulasi, yang mencegah fibrinogen menjadi monomer fibrin. Sistem fibrinolitik diaktivasi oleh trombin di dalam sirkulasi, yang memecah fibrinogen menjadi monomer fibrin. Trombin juga merangsang agregasi trombosit, mengaktivasi faktor V dan VIII, serta melepas aktivator plasminogen, yang membentuk produk-produk degradasi-fibrin, dan selanjutnya menginaktivasi faktor V dan VIII. Aktivitas thrombin yang berlebihan mengakibatkan berkurangnya fibrinogen, trombositopenia, faktor-faktor koagulasi, dan fibrinolisis, yang mengakibatkan perdarahan difus. DIC bukan merupakan penyakit, tetapi akibat proses penyakit yang mendasarinya. Perubahan pada segala komponen sistem vaskular, yaitu, dinding pembuluh darah, protein plasma, dan trombosit, dapat menyebabkan suatu gangguan konsumtif.masuknya zat atau aktivitas prokoagulan ke dalam sirkulasi darah mengawali sindrom tersebut dan dapat terjadi pada segala kondisi yang tromboplastin jaringannya dibebaskan akibat destruksi jaringan, dengan inisiasi jalur pembekuan ekstrinsik. Karena plasenta merupakan sumber yang kaya akan tromboplastin jaringan, maka salah satu penyebab tersering DIC adalah solusio plasenta (solusio plasenta, plasenta lepas secara dini). Keadaan ini menyebabkan retensi produk-produk konsepsi (plasenta, janin) yang menyebabkan nekrosis dan kerusakan jaringan lebih lanjut. Produk-produk tumor, luka bakar, cedera remuk menyebabkan pelepasan tromboplastin. Pada leukemia promielositik, promielosit granular mengeluarkan aktivitas seperti tromboplastin yang sering pada saat dimulainya kemoterapi dan dilepasnya granula. Selama proses koagulasi, trombosit beragregasi, dan bersama dengan faktor-faktor koagulasi, akan digunakan dan jumlahnya berkurang. Hasil thrombus fibrin dapat atau tidak menyumbat mikrovaskular. Bersamaan dengan ini, sistem fibrinolitik diaktivasi untuk pemecahan trombi fibrin, menghasilkan banyak fibrin dan produk degradasi fibrinogen yang mengganggu polimerisasi fibrin dan fungsi trombosit. Aksi ini menyebabkan perdarahan difus yang khas pada DIC. (Price, 2006)

Koagulasi intravaskular diseminata ditandai dengan aktivasi koagulasi luas, yang menghasilkan pembentukan fibrin intravaskular danoklusi trombotik koagulasi dari pembuluh darah. Koagulasi intravaskular diseminata dapat mengganggu suplai darah ke organ dan memicu gangguan hemodinamik dan metabolik, sehingga dapat menyebabkankegagalan beberapa organ. (Levi, 1999)

Manifestasi Klinis

Gambaran klinis bervariasi sesuai stadium dan keparahan sindroma. Sebagian besar pasien mengalami perdarahan kulit dan membrana mukosa yang luas dan perdarahan dari berbagai tempat, biasanya dari insisi bedah atau tempat masuknya selang infus. Manifestasi yang lebih jarang adalah akrosianosis perifer, trombosis, dan perubhan pragangrenosa di jari, genitalia, dan hidung, tepat aliran darah sangat melambat akibat vasospasme dan mikrotrombus. Beberapa pasien,

Page 49: Makalah Hemostasis

terutama dengan KID kronik akibat keganasan, memperlihatkan kelainan laboratorium tanpa bukti trombosis atau perdarahan.` (Harrison, 2000)

Temuan Laboratorium

Manifestasi laboratorium mencakup trombositopenia dan adanya skistosit atau sel darah merah berfragmen yang berasal dari sel yang terperangkap dan rusak di dalam trombus fibrin, pemanjangan PT dan PTT serta waktu trombin, dan penurunan kadar fibrinogen akibat deplesi protein pembekuan, peningkatan produk pecahan fibrin (fibrin degradation products, FDP) akibat fibrinolisis sekunder yang intensif. Manifestasi utama KID, yang berkaitan paling erat dengan perdarahan adalah kadar fibrinogen plasma. (Harrison, 2000)

Pengobatan

Penanganan ditujukan pada perbaikan mekanisme yang mendasarinya, yang mungkin memerlukan penggunaan antibiotik, agen-agen kemoterapeutik, dukungan kardiovaskular, serta pada keadaan retensio plasenta, isi uterus dikeluarkan. Penggantian faktor-faktor plasma dengan plasma dan kriopresipitat, serta transfusi trombosit dan sel darah merah, mungkin diperlukan. Bila terjadi perdarahan yang hebat, peran heparin, yang merupakan suatu antikoagulan antitrombin yang kuat, masih sangat kontroversial. Heparin menetralkan aktivitas thrombin, dan dengan demikian menghambat penggunaan faktor-faktor pembekuan dan pengendapan fibrin. Meningkatkan konsentrasi faktor-faktor pembekuan dan trombosit dengan memberikan infus plasma dan trombsit seharusnya menghambat diatesis perdarahan. Heparin diindikasi kapan pun jika terjadi kegagalan terapi penggantian untuk meningkatkan faktor-faktor koagulasi dan perdarahan tetap ada. Heparin juga diindikasikan pada keadaan adanya pengendapan fibrin yang menyebabkan nekrosis dermal. Heparin dosis rendah telah berhasil digunakan bersama dengan agen kemoterapeutik pada pengobatan leukemia promielositik, untuk mencegah DIC akibat pelepasan tromboplastin oleh granula leukosit. (Price, 2006)

4. Gangguan Pembekuan Pada Penyakit Hati

Karena hati berperan penting dalam pembentukan dan metabolisme protein pembekuan, maka disfungsi hati sering disertai oleh gangguan hemostasis. Perlu diketahui bahwa perdarahan biasanya disebabkan oleh lesi anatomik, yang kemudian dapat kambuh akibat gangguan hemostatik. Sebagian besar pasein mengalami perdarahan akibat komplikasi hipertensi portal seperti varises esofagus atau akibat gastritis dan tukak peptik saluran makanan. Hipertensi portal juga menimbulkan splenomegali, disertai sekuestrasi trombosit dan trombositopenia, yang berperan menambah gangguan hemostatik. (Harrison, 2000)

Pasien penyakit hati hepatoseluler tidak dapat menyimpan vitamin K secara optimal dan mungkin sedikit banyak menderita defisiensi vitamin K. Kolestasiss yang sering terjadi pada penyakit hati, mengganggu penyerapan vitamin K dan semakin menurunkan simpanan vitamin K di hati. Kelainan pada karboksilasi gama protein kompleks protrombin yang independen vitamin K dan pembentukan protein abnormal juga pernah dilaporkan. Pasien juga mungkin mengalami penurunan pembentukan protein pembekuan lain, termasuk fibrinogen dan faktor V. Hati juga menghasilkan inhibitor

Page 50: Makalah Hemostasis

pembekuan misalnya antitrombin II dan protein C dan S dan merupakan tempat pembersihan untuk faktor pembekuan aktif dan enzim fibrinolitik. Dengan demikian, pasien yang berpenyakit hati juga mengalami hiperkoagulasi dan berpredisposisi mengalami KID atau fibrinolisis sistemik. Karena itu, gangguan pembekuan pada penyakit hati stadium lanjut sering sulit dibedakan dengan gangguan pembekuan pada KID. (Harrison, 2000)

Setiap pasien dengan perdarahan dan penyakit hati harus menjalani pemeriksaan PT, PTT, jumlah trombosit, dan fibrinogen, namun dari satu rangkaian hasil pemeriksaan laboratorium tidak selalu dapat ditentukan kelainan hemostatik yang paling berperan. Pada pasien penyakit kronik yang mengalami komplikasi akut, data laboratorium sebelumnya sangat membantu. Terdapat kolerasi erat antara derajat pemanjangan PT dan risiko perdarahan. Sebagian besar pasien memperlihatkan pemanjangan sedang PT dan PTT, trombositopenia ringan, dan kadar fibrinogen yang normal. Namun, mereka juga mungkin mengalami gangguan yang lebih kompleks berupa gabungan gangguan sintesis, kelainan pembersihan, dan komsumtif aktif protein pembekuan. Karena defisiensi vitamin K sangat sering terjadi, maka dianjurkan pemberian vitamin K parenteral, sekali dosis, setelah pemeriksaan laboratorium pertama dilakukan, walau hal ini mungkin hanya memperbaiki kelainan laboratorium secara parsial. Adanya trombositopenia berat atau kadar fibrinogen yang rendah mengisyaratkan komplikasi KID dan mungkin memerlukan pemeriksaan dan terapi lebih lanjut. (Harrison, 2000)

Terapi penggantian yang paling aman untuk pasien penyakit hati adalah plasma beku segar, karena mengandung semua faktor pembekuan yang diketahui. Namun, terapi bentuk ini pun memiliki kelemahan, karena plasma dalam jumlah besar dapat mencetuskan enselopati hepatika dan memberikan beban cairan dan natrium. Konsentrat kompleks protrombin harus dihindari karena hanya mengganti faktor yang tergantung vitamin K, mungkin tercemar oleh virus hepatitis dan AIDS, dan mengandung sejumlah kecil protein pembkuan aktif. Demikian pula, konsentrat fibrinogen (atau kriopresipitat) yang kaya akan faktor VIII dan fibrinogen jangan digunakan tanpa tambahan plasma beku segar. Antikoagulan hearin pernah dianjurkan untuk mengontrol KID, tetapi terapi ini berbahaya dan tidak dianjurkan untuk sirosis karena heparin dimetabolisasi secara tidakk teratur dan mungkin dapat menyebabkan perdarahan hebat. (Harrison, 2000)

5. Gangguan Fibrinolitik

Perdarahan juga dapat terjadi akibat gangguan pada sistem fibrinolitik. Pasien dengan defisiensi ih\nhibitor plamin alfa2 atau inhibitor aktivator plasminogen (PAI-1) cepat mengalami fibrinolisis setelah pengendapan fibrin pada pembedahan atau trauma sehingga dapat mengalami perdarahan berulang. Demikian juga, pasien sirosis mengalami gangguan klirens aktivator plasminogen jaringan dan fibrinolisis sistemik yang mungkin ikut berperan menimbulkan gangguan perdarahan. Walaupun jarang, pasien tumor seperti karsinoma prostat metastatik dapat mengalami perdarahan difus akibat fibrinolisis primer dan bukan akibat KID. Petunjuk diagnosis adalah kadar fibrinogen yang terlalu rendah dengan PT dan PTT yang relatif normal serta hitung trombosit yang normal atau hampir normal. Walaupun terdapat beberapa pengecualian, pasien fibrinolisis primer akan memperlihatkan peningkatan produk pecahan fibrin (FDP) tetapi kadar dimer D normal. Namun, kadang-kadang fibrinolisis primer sulit atau tidak mungkin dibedakan dengan fibrinolisis sekunder yang menyertai

Page 51: Makalah Hemostasis

KID. Pasien dengan finolisis primer yang telah berkembang penuh jangan diberi heparin, pasien memang memerlukan terapi plasma dan kadang-kadang inhibitor fibrinolitik misalnya EACA. Namun, EACA jangan diberikan kepada pasien yang dicurigai menderita KID kecuali jika mereka juga mendapat heparin, karena EACA dapat menyebabkan trombosis masif, yang sering faal, pada pasien KID. (Harrison, 2000)

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

III.1 Simpulan

Hemostasis adalah istilah kolektif untuk semua mekanisme faal yang digunakan oleh tubuh untuk melindungi diri dari kehilangan darah, yang terdiri dari empat sistem utama yaitu sistem pembuluh darah (vascular), trombosit, sistem pembekuan, dan sistem fibrinolitik dimana mekanisme tersebut ditunjang dengan adanya faktor-faktor pembekuan darah.

Kegagalan hemostatis menimbulkan perdarahan; kegagalan mempertahankan darah dalam keadaan cair menyebabkan thrombosis. Baik perdarahan maupun thrombosis sangat sering terjadi dan merupakan masalah klinis yang berbahaya. Dan untuk menentukan letak kelainan hemostasis ini diperlukan anamnesis yang baik dan teliti, pemeriksaan dan evaluasi manifestasi klinik perdarahan yang cermat serta pemeriksaan laboratorium yang tepat.Tes yang digunakan dalam evaluasi awal pasien dengan gangguan perdarahan meliputi waktu perdarahan (bleeding time), hitung trombosit, waktu protrombin (protrombin time, PT), waktu tromboplastin parsial (partial tromboplastin time, PTT).

Ganguan perdarahan secara klinis ditandai dengan perdarahan abnormal, yang mungkin spontan atau terjadi setelah suatu kejadian pemicu (missal, trauma atau pembedahan). Perdarahan abnormal dapat disebabkan oleh (1) kelainan di dinding pembuluh darah, (2) defisiensi atau disfungsi trombosit, atau (3) gangguan faktor pembekuan.

III.2 Saran

Agar dapat lebih memahami tentang mekanisme hemostasis dan kelainannya, seorang dokter disarankan banyak membaca dari berbagai sumber.

REFERENSI

Page 52: Makalah Hemostasis

Hassan, Rusepno. Dkk. 2005. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1.Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI.

IDAI. 2005. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Balai Penerbit IDAI:Jakarta.

Isselbacher. Kurt J.2000. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3. Jakarta:EGC.

Kumar, Vinary. dkk. 2007. Buku Ajar Patologis Ed 7. Jakarta. EGC.

Nelson W E, dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak edisi 15 volume 2. Jakarta: EGC.

Pollak, S E. 2012. von Willebrand disease. Online at http://emedicine.medscape.com/article/206996-overview diakses 5 oktober 2012.

Price, Sylvia. dkk. 2005. Patofisiologi Volume 2 Edisi 6. Jakarta: EGC.

Rudolph, Abraham M. dkk. 2006. Buku Ajar Pediatri RUDOLPH Volume 2 Edisi 20. Jakarta:EGC.

Sacher, Ronald A. dkk. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 11. Jakarta:EGC.

Setiabudy, Rahajuningsih D. 2009. Hemostasis dan Trombosis Edisi Keempat. Jakarta:Balai Penerbit FKUI.

Sudoyo A.W. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam edisi V jilid III. Jakarta: FKUI.

Zaiden, R A. 2012. Haemophilia B Treatment & Management. Online athttp://emedicine.medscape.com/article/779434-treatment diakses 5 oktober 2012.

Zaiden, R A. 2012. Haemophlia A Treatment & Management. Online athttp://emedicine.medscape.com/article/779322-treatment diakses 5 oktober 2012.