makalah hemel

41
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pencernaan dalam merupakan salah satu bagian penting di dalam tubuh manusia. Sistem pencernaan mengolah makanan atau asupan yang masuk untuk diubah menjadi zat-zat yang diperlukan oleh tubuh. Sistem pencernaan dari bagian atas hingga bawah terdiri dari organ-organ vital, misalnya esofagus, lambung, dan saluran intestinal. Oleh karena itu, sistem pencernaan yang terdiri dari organ-organ tersebut harus selalu terjaga agar tetap dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Walaupun sistem pencernaan harus selalu dipertahankan dalam kondisi baik tetapi terkadang muncul berbagai gangguan yang muncul pada sistem ini. Adanya hematemesis melena merupakan salah satu indikasi munculnya gangguan dalam sistem pencernaan. Hematemesis melena dapat disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya peptic ulcer atau ulkus peptikum. Mengenai hematemesis melena, peptic ulcer, dan patofisiologinya akan dibahas di bab selanjutnya. Sebagai perawat, kita harus mengetahui penyebab hematemesis melena, peptic ulcer, etiologi serta patofisiologinya. Hal ini diperlukan agar perawat dapat melakukan tindakan-tindakan yang sesuai untuk 1

Transcript of makalah hemel

Page 1: makalah hemel

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem pencernaan dalam merupakan salah satu bagian penting di

dalam tubuh manusia. Sistem pencernaan mengolah makanan atau asupan

yang masuk untuk diubah menjadi zat-zat yang diperlukan oleh tubuh. Sistem

pencernaan dari bagian atas hingga bawah terdiri dari organ-organ vital,

misalnya esofagus, lambung, dan saluran intestinal. Oleh karena itu, sistem

pencernaan yang terdiri dari organ-organ tersebut harus selalu terjaga agar

tetap dapat menjalankan fungsinya secara optimal.

Walaupun sistem pencernaan harus selalu dipertahankan dalam

kondisi baik tetapi terkadang muncul berbagai gangguan yang muncul pada

sistem ini. Adanya hematemesis melena merupakan salah satu indikasi

munculnya gangguan dalam sistem pencernaan. Hematemesis melena dapat

disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya peptic ulcer atau ulkus peptikum.

Mengenai hematemesis melena, peptic ulcer, dan patofisiologinya akan

dibahas di bab selanjutnya.

Sebagai perawat, kita harus mengetahui penyebab hematemesis

melena, peptic ulcer, etiologi serta patofisiologinya. Hal ini diperlukan agar

perawat dapat melakukan tindakan-tindakan yang sesuai untuk menolong atau

menangani klien. Perawat juga perlu mengetahui tindakan medis atau non

medis yang akan dilakukan terhadap klien. Selain itu perawat juga harus

mengkaji dan mengetahui tanda-tanda vital klien untuk merumuskan asuhan

keperawatan yang akan dilakukannya untuk meningkatkan status kesehatan

klien. Hal itulah yang melatarbelakangi kami dalam penyusunan makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang diambil dalam makalah ini antara lain:

1.2.1 Apakah pengertian hematemesis melena serta penyebabnya?

1.2.2 Bagaimana proses patofisiologi peptic ulcer?

1

Page 2: makalah hemel

1.2.3 Bagaimana penatalaksanaan medis dan non medis pada klien dengan

hematemesis melena ec. Peptic ulcer?

1.2.4 Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan hematemesis melenan

ec. Peptic ulcer?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini antara lain:

1.3.1 Memaparkan apakah hematemesis melena dan peptic ulcer dan proses

patofisiologinya.

1.3.2 Memaparkan penatalaksanaan medis dan non medis pada klien.

1.3.3 Memaparkan asuhan keperawatan yang akan dilakukan pada klien.

1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan yang kami pergunakan adalah telusur pustaka, yaitu

mengadakan tinjauan kepustakaan untuk memperoleh bahan-bahan yang

berhubungan dengan judul makalah ini. Kami pun menggunakan internet

sebagai sarana referensi yang lain serta dilengkapi dengan diskusi kelompok

yang bertujuan untuk saling memberi masukan terkait materi.

1.5 Sistematika Penulisan

Makalah ini terdiri dari sampul/cover, kata pengantar, daftar isi, tiga

bab, dan daftar pustaka. Bab pertama adalah pendahuluan, terdiri dari latar

belakang, tujuan penulisan, rumusan masalah, metode penulisan, dan

sistematika penulisan. Bab kedua berisi tinjauan pustaka yang membahas isi

dari makalah. Bab ketiga berisi kesimpulan dan saran. Terakhir adalah daftar

pustaka.

2

Page 3: makalah hemel

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Saluran percernaan merupakan rangkaian organ-organ yang berfungsi

dalam mengelola bahan makanan menjadi nutrien-nutrien yang dapat diserap oleh

tubuh yang akan digunakan dalam proses metabolisme. Namun dalam prosesnya,

beberapa organ dalam saluran percernaan mengalami trauma ataupun gangguan

yang menimbulkan beberapa kelainan. Salah satu kelainan dalam saluran

pencernaan adalah hematemesis melena ec peptic ulcer.

2.1 Hematemesis Melena

Hematemesis adalah muntah darah. Hematemesis terjadi sebagai

akibat trauma ataupun pembentukan lesi pada saluran percernaan bagian atas

(esophagus, lambung, usus halus) sampai duodenum (proksimal ligamentum

Treitz) yang menghasilkan perdarahan pada saluran cerna tersebut. Hasil

perdarahan ini, akan memasuki lambung dan akan menghasilkan berbagai

warna sesuai dengan kadar asam lambung saat itu. Jika hasil perdarahan

langsung dimuntahkan, akan terlihat vomitus kemerahan, jika sudah lama

bercampur dengan asam lambung maka akan berwarna merah tua, abu-abu,

atau hitam dan terkadang berbentuk seperti ampas kopi. Sedangkan jika

terjadi perdarahan pada bagian bawah duodenum seperti kolon (perdarahan

saluran percernaan bagian bawah/hematokezia), hasil perdarahan tidak dapat

memasuki lambung.

Hematemesis terkadang diikuti oleh melena. Namun, melena tidak

selalu diikuti oleh hematemesis. Melena adalah hasil defekasi (feses) yang

berwarna hitam akibat hasil perdarahan yang bercampur dengan asam

lambung yang membentuk hematin. Etiologi dari melena tidak hanya terjadi

pada saluran percernaan bagian atas, namun dapat pula terjadi gangguan pada

saluran perncernaan bagian bawah. Melena terjadi jika darah hasil perdarahan

berjumlah 60 ml dan berada di usus selama 8 jam.

3

Page 4: makalah hemel

Pada rentang dewasa muda, etiologi dari hematesis maupun melena

adalah ulkus peptikum (peptic ulcer disease/ PUD), lesi kongenital, dan

varises. Sedangkan pada dewasa akhir (lansia), diakibatkan oleh tumor, PUD,

dan angiodisplasia. Penyebab lain perdarahan saluran percernaan bagian atas

adalah robekan Mallory-weiss (robekan pada kerongkongan) dan karsinoma

lambung. Tanda-tanda yang ditemukan pada pemeriksaan fisik seperti syok

hipovolemik akibat banyaknya darah yang keluar dari tubuh, sehingga terjadi

ketidakseimbangan sistem sirkulasi yang dapat dikaji dari frekuensi denyut

jantung, tekanan darah, dan suhu tubuh. Penyakit hati kronis (CLD), dan

koagulopati yaitu muncul purpura dan memar.

2.2 Syok Hipovolemik

Syok adalah ketidakseimbangan cairan dalam ruang intravaskuler.

Syok berdasarkan etiologinya dibedakan menjadi:

a. Syok hipovolemik akibat perdarahan yang masif, trauma, atau luka

bakar.

b. Syok kardiogenik akibat infark miokard atau emboli paru.

c. Syok septik akibat pertumbuhan bakteri yang tak terkontrol.

d. Syok neurogenik akibat dari tonus vasomotor yang tidak adekuat.

e. Syok anafilaktik akibat dari respon imun.

Syok hipovolemik terjadi jika volume plasma atau darah tidak

adekuat, jika cairan yang berkurang mencapai 45% dari volume cairan total.

Syok semakin berbahaya jika terjadi kehilangan cairan dengan penurunan

asupan oleh sebab apapun, seperti mual, dan tidak dilakukan intervensi yang

tepat. Syok hpovolemik dapat disebabkan oleh perdarahan, luka bakar,

diabetes, muntah, diare, dehidrasi, dan sebagainya. Manifestasi klinis yang

terjadi yaitu hipotensi, denyut nadi lemah dan cepat, takipnea, kulit yang

dingin, lembab, dan sianosis. Salah satu penyebab syok hipovolemik adalah

perdarahan yang terlalu hebat (hemoragi).

Patofisiologi terjadinya syok hipovolemik hemoragi berawal dari

proses inflamasi atau trauma yang terjadi akan menghasilkan bradikinin dan

histamine. Efeknya terjadi kebocoran pembuluh darah pada jaringan yang

4

Page 5: makalah hemel

mengalami inflamasi. Bradikinin dan histamin berfungsi sebagai vasodilator

pembuluh darah. Darah keluar menuju ruang ekstravasikuler akibat trauma

atau pembentukan lesi seperti karsinoma, Peptic ulcer, robekan pada saluran

pencernaan. “Terkumpulnya cairan di dalam ruang non-ECF dan non-ICF

membuat cairan terperangkap dan tidak dapat dipakai oleh tubuh karena

tempat berkumpulnya cairan berada ruang tertentu yang tidak mudah terjadi

pertukaran dengan ECF” (Sylvia, 2003).

Darah yang seharusnya didistribusikan dengan normal namun

berkurang dan berpindah ke ruangan tertentu, membuat curah jantung

menurun. Penurunan curah jantung ini diikuti oleh aliran balik vena yang juga

menurun, tekanan arteri rerata juga menurun menyebabkan tekanan darah ikut

menurun. “Penurunan tekanan darah dideteksi oleh baroreseptor di arcus

caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal lalu

diteruskan ke pusat vasomotor di batang otak, yang kemudian menginduksi

respon simpatis terjadi pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar

tonus nervus vagus. Respon yang terjadi berupa vasokontriksi perifer, heart

rate meningkat, serta peningkatan kontraktilitas jantung” (Sylvia, 2003).

Segala respon ini bertujuan untuk mengembalikan curah jantung dan

pendistribusian darah yang adekuat sehingga perfusi ke jantung, otak, dan

pembuluh paru normal.

Respon simpatis juga terjadi pada ginjal, pembuluh darah yang

menuju ginjal mengalami vasokontriksi yang mengakibatkan perfusi ginjal

menurun. “Penurunan perfusi ginjal mengaktifkan mekanisme rennin-

angiotensin-aldosteron” (Sylvia, 2003). Renin akan mengubah

angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi

menjadi angiotensin II di paru-paru dan hati. Angiotensin II membantu

perbaikan akibat syok hipovolemik dengan melakukan vasokontriksi pada

arteriol otot polos dan mengaktifkan hormone aldosteron. Hormone

aldosteron berfungsi meningkatkan reabsorpsi natrium dan air oleh ginjal.

“Perubahan ini meningkatkan curah jantung dengan memulihkan volume dan

tekanan darah efektif ke nilai normal” (Sylvia, 2003).

5

Page 6: makalah hemel

Jika volume cairan yang berkurang tidak banyak (500 ml),

kompensasi yang dilakukan dapat membantu mengembalikan curah jantung

dan tekanan darah, walaupun denyut jantung masih cepat. Namun, jika cairan

yang keluar banyak (1000 ml), maka vasokontriksi simpatis dan yang

diperantai oleh Angiotensin II akan meningkat. Hal ini menyebabkan perfusi

jaringan ke organ-organ kecuali jantung dan otak akan menurun, dan aliran

darah ke jantung dan otak relative dpertahankan. Pendistribusian darah yang

tidak adekuat akibat dari penurunan jumlah volume darah yang diikuti dengan

tekanan darah yang menurun, membuat ketidakafektifannya perfusi jaringan

ke seluruh sistem tubuh.

Kompensasi yang dilakukan oleh sistem kardiovaskuler, sistem

renalis, serta sistem hematologi yang kurang akan mengakibatkan komplikasi

pada gangguan elekrolit. Gangguan ini tergambar dari konsentrasi pada hasil

perdarahan yang banyak mengandung natrium dan air, membuat alkalosis

metabolik atau asidosis metabolik. Jika hal ini diikuti oleh sekresi asam

lambung yang mengandung ion kalium dan hidrogen dalam jumlah besar,

maka kekurangan volume pada kondisi di atas disertai dengan alkalosis

metabolik dan hipokalemia. Namun, jika saluran cerna bagian bawah

mensekresi bikarbonat dalam jumlah yang besar, serta natrium dan kalium,

maka defisit volume cairan akan disertai dengan asidosis metabolik dan

hipokalemia. “Jika mampu bertahan lebih lama dari kompensasi awal, klien

akan memasuki tahap kedua yang didominasi oleh insufiensi renal dan

ditandai dengan penurunan pengeluaran urin secara progresif sehingga terjadi

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang berat (Sylvia, 2003)”

2.3 Penatalaksanaan Medis Klien Peptic Ulcer

2.3.1 Terapi Obat

Tujuan dari penatalaksaan medis yang diberikan kepada

klien dengan peptic ulcer yaitu untuk menetralisir asam, menghambat

sekresi asam, mengurangi aktivitas pepsin dan HCl, membasmi H.

Pylory dari saluran pencernaan, dan untuk melindungi barier mukosa.

Kriteria keberhasilan dari terapi medis yang diberikan yaitu penurunan

6

Page 7: makalah hemel

rasa sakit, klien mengkonsumsi makanan yang telah disarankan dan

melaporkan intoleransi terhadap beberapa makanan, mengikuti jadwal

pengobatan, dan dapat mengidentifikasi stressor dan memiliki cara

untuk mengatasinya.

Terdapat beberapa penatalaksanaan medis yang dapat

diberikan kepada pasien dengan peptic ulcer, yaitu obat antibacterial,

agen hyposecretory, mucosal barrier fortifiers, manajemen diet.

Berikut penjelasan dari masing-masing terapi medis yang akan

dilakukan.

a. Obat Antibacterial

Obat ini berfungsi untuk membunuh H.pylory dari saluran

pencernaan yang menggunakan regimen. Regimen tersebut

mengandung clarithromycin 250 mg, metronidazole 250 mg, dan

omeprazole 20 mg. Obat ini digunakan dalam jangka waktu 1

mingggu, namun terdapat beberapa orang yang menggunakannya

lebih dari 1 minggu.

b. Agen Hyposecretory

(1) Antagonis reseptor histamin (antagonis reseptor H2)

Antagonis reseptor histamin (antagonis reseptor H2)

menutup rangsangan sekresi lambung sehingga hal tersebut

efektif terhadap pengendalian penyakit ulkus. Klien biasanya

diberikan antagonis reseptor histamin setiap 6 jam untuk

pengobatan jangka pendek sampai ulkus sembuh dan setelah

mereda, kemudian diberikan sekali sehari pada waktu

sebelum tidur. Ulkus dapat kambuh setelah pengobatan

dihentikan, meskipun peningkatan hiperasiditas tidak terjadi

ketika klien menghentikan pengobatan. Antagonis reseptor

histamin memiliki empat tipe, yaitu simetidein (tagamet),

ranitidin (zantac), famotidin (pepcid), dan nizatidin (axid).

Tipe pertama antagonis reseptor histamin adalah

simetidein. Simetidein (tagamet) digunakan untuk

pengurangan penyebab dan pencegahan komplikasi ulkus

7

Page 8: makalah hemel

peptikum. Kerja utama dari simetidein adalah menghambat

sekresi asam dengan menutup kerja histamin pada reseptor

histamin dari sel pariteal di lambung. Kisaran dosis

simetidein yang digunakan pada klien dewasa adalah 800 mg

sebelum tidur atau 4 kali sehari sebanyak 300 mg setelah

makan dan sebelum tidur selama 4 sampai 6 minggu

(gangguan usus) atau 8 minggu (gangguan lambung). Apabila

terpasang intravena maka dosisnya tidak melebihi dari 2400

mg/d.

Simetidein memiliki kontraindikasi terhadap klien yang

mana hipersensitifitas terhadap obat dan ibu hamil.

Simetidein harus digunakan hati-hati pada klien dengan

kerusakan ginjal karena obat ini di metabolis oleh hati dan di

eksresikan oleh ginjal. Simetidein dapat menyebabkan

bingung, agitasi, pucat, sakit kepala, diare, dan ginekomastia

sementara (apabila digunakan lebih dari 1 bulan).

Pertimbangan keperawatan pada klien yang menggunakan

simetidein, yaitu:

o Jangan memberikan antasida dalam waktu satu jam dari

waktu pemberian simetidein.

o Simetidein diberikan setelah makan atau sebelum tidur.

o Simetidein bereaksi terhadap ophylline, phenytoin,

warfarin.

o Pengobatan lanjutan tidak lebih dari 8 minggu untuk

memastikan penyembuhan.

Tipe kedua antagonis reseptor histamin adalah

ranitidin (zantac). Ranitidin (zantac) memiliki dua indikasi

yaitu pemeliharaan erosif esofagitis dan mencegah kerusakan

lambung. Kerja utama dari ranitidin (zantac) adalah

menghambat sekresi asam dengan menutup kerja histamin

pada reseptor histamin dari sel pariteal di lambung.

8

Page 9: makalah hemel

Kisaran dosis ranitidin yang digunakan klien dewasa

adalah 2 kali sehari sebanyak 150 mg atau 300 mg sebelum

tidur dalam jangka pendek pada ulkus yang aktif. Efek

samping dari ranitidin berupa sakit kepala, konstipasi, mual,

bradicardia, dan peningkatan enzim liver. Pertimbangan

keperawatan pada klien yang menggunakan ranitidin

(zantac), yaitu: berikan antasida setidaknya 1 jam atau 2 jam

setelah ranitidin, dapat diberikan dalam dosis tunggal

sebelum tidur, memiliki interaksi rendah terhadap obat lain,

dan ranitidin harus digunakan hati-hati pada klien dengan

gangguan ginjal.

Tipe ketiga antagonis reseptor histamin adalah

famotidin (pepcid). Kerja utama dari famotidin (pepcid)

adalah menghambat sekresi asam dengan menutup kerja

histamin pada reseptor histamin dari sel pariteal di lambung.

Kisaran dosis famotidin (pepcid) pada klien dewasa adalah

40 mg/d sebelum tidur atau 2 kali sehari sebanyak 20 mg

selama 6 sampai 8 minggu. Efek samping dari famotidin

(pepcid) adalah sakit kepala, diare, konstipasi, mual, BUN

dan kreatinin meningkat. Pertimbangan keperawatan pada

klien yang menggunakan famotidin (pepcid), yaitu: jangan

diberikan lebih dari 8 minggu, boleh diberikan bersamaan

dengan antasida, tidak ada interaksi terhadap obat lain, dan

dapat diberikan dalam dosis tunggal sebelum tidur.

Tipe keempat antagonis reseptor histamin adalah

nizatidin (axid). Kerja utama obat sama dengan tipe 1

sampai 3. Kisaran dosis pada klien dewasa dengan ulkus aktif

adalah 300 mg sekali dalam sehari sebelum tidur atau 150 mg

2 kali sehari. Efek samping dari nizatidin (axid) adalah diare,

ruam bronkospasme, somnolence, nyeri sendi, dan

berkeringat. Pertimbangan keperawatan pada klien yang

menggunkan nizatidine (axid), yaitu: kaji kantuk yang

9

Page 10: makalah hemel

berlebihan, jangan berikan antasida dalam waktu satu jam

dari pemberian nizatidin (axid), harus diberikan selama 4

sampai 8 minggu untuk penyembuhan ulkus, beritahu dokter

apabila somnolence meningkat.

(2) Prostaglandin Analog

Prostaglandin merupakan hormon jaringan lokal yang mana

di formulasikan dari asam lemak esensial. hormon ini tampak

dalam berbagai bentuk di hampir setiap jaringan tubuh. Dua

jenis prostaglandin E1 dan E2, mengahalangi sekresi asam

lambung. Kategori yang termasuk prostaglandin jenis tersebut

adalah misoprostol.

Misoprostol (cytotec) merupakan suatu prostaglandin

sintetis yang melindungi mukosa lambung dari agen

ulserogenik dan meningkatkan produksi mukus sitoprotektif

dan kadar bikarbonat. Efek samping dari penggunaan obat ini

adlah diare dan kram (termasuk kram uterus). Pertimbangan

keperawatan berupa: tidak bisa digunakan pada ibu hamil

karena obat ini menstimulasi kontraksi uterus, di sarankan

untuk klien dengan terapi obat anti inflamsi dan penggunaan

jangka panjang aspirin.

(3) Antikolinergis

Jenis antikolinergis yang dapat digunakan untuk

pengobatan ulkus peptikum adalah dicyclomine

hydrochloride (bentyl). Cara kerja obat ini adalah

menghambat kerja aserilkolin (yang merangsang sel-sel

parietal lambung untuk mensekresikan asam) dan karenanya

mengurangi sekresi asam. Antikolinergis baik diberikan satu

jam setelah makan.

Efek dari obat ini akan terasa setalah 4 sampai 5 jam.

Pertimbangan keperawatan: obat ini jangan diberikan untuk

klien yang mengalami perdarahan karena perutnya dapat

menjadi distensi, jangan di berikan pada klien dengan

10

Page 11: makalah hemel

obstruksi uropati, obstruksi GI, dan megakolon. Efek

samping dari obat ini dapat menyebabkan pusing,

kebingungan, konstipasi, retensi urin, dan mulut kering.

(4) Inhibitor Pompa Proton (asam lambung)

Jenis dari inhibitor pompa proton (asam lambung) adalah

omeprazol. Cara kerja dari obat ini adalah menurunkan

sekressi asam lambung dengan memperlambat pompa

hidrogen: kalsium adenosin trifosfat (H+, K+, -ATpase) pada

permukaan sel-sel pariteal. Dosis standar yang digunakan

adalah 20 mg dalam satu kali sehari selama 4 sampai 8 minggu

sebelum sarapan. Efek samping dari obat ini dalam

penggunaan jangka waktu yang lama dapat menyebabkan

tumor lambung dan invasi bakteri.

(5) Antasida

Antasida digunakan untuk mengurangi keasaman.

Antasida efektif digunakan untuk waktu yang panjang. Obat

ini diminum secara oral 1 jam setelah makan, dan sebelum

tidur dengan tujuan menjaga pH lambung antara 3-3,5. Saat

meminm antasida, disarankan untuk dihansurkan dengan air

untuk memastikan antasida masuk kedalam lambung dan

tidak mudah larut saat di kerongkongan. Terdapat beberpa

jenis dari antasida, yaitu:

Alumunium hidrosida: berfungsi sebagai penetralisir

asam di saluran pencernaan. Efek samping yang ditimbulkan

yaitu konstipasi, anorexia, obstruksi usus halus, dan

hypophosphatemia. Berikan alumunium hydroxida 1 jam atau

2 jam setelah makan dan jangan berikan H2 reseptor

antagonis dalam jangka waktu 1-2 jam setelah konsumsi

alumunium hidroksida atau tertracy cline. Kocok suspensi

sebelum diminum, dan jika berbentuk tablet minum dengan

air. Kontraindikasinya yaitu digunakan dalam jumlah yang

11

Page 12: makalah hemel

besar pada pasien dengan sodium restricted diets karena

mengandung garam.

Magnesium oksida: berfungsi untuk meningkatkan pH

lambung untuk mengurangi aktivitas pepsin, serta

memperkuat barier mukosa lambung dan esophageal

sphyncter tone. Efek samping yang ditimbulkan dari obat ini

yaitu diare, mual, dan hypermagnesema. Kontra indikasi dari

obat ini yaitu kepada pasien dengan gangguan ginjal. Jika

terjadi diare, hentikan pengobatan dengan obat ini, dan ganti

dengan alumunium atau produk kombinasinya. Selama 1-2

jam, pasien tidak boleh mengkonsumsi H2-reseptor

antagonis, tetracycline, dan enteric coated tablets.

Kombinasi alumunium-magnesium: aksi yang

ditimbulkan sama dengan magnesium oksida. Efek

sampingnya yaitu konstipasi ringan atau diare. Kontra

indikasi dari obat ini yaitu kepada pasien dengan gangguan

ginjal. Jika terjadi diare, hentikan pengobatan dengan obat

ini, dan ganti dengan alumunium atau produk kombinasinya.

Selama 1-2 jam, pasien tidak boleh mengkonsumsi H2-

reseptor antagonis, tetracycline, dan enteric coated tablets.

Kalsium karbonat: fungsi yang dimilikinya sama dengan

magnesium oksida, dan kombinasi alumunium-magnesium.

Efek samping yang ditimbulkan yaitu konstipasi, distensi

lambung, peningkatan hyperacidity, hypercalsemia, dan

hypophosphatemia. Kontra indikasi dari obat ini yaitu kepada

pasien dengan gangguan ginjal. Jika terjadi diare, hentikan

pengobatan dengan obat ini, dan ganti dengan alumunium

atau produk kombinasinya. Selama 1-2 jam, pasien tidak

boleh mengkonsumsi H2-reseptor antagonis, tetracycline, dan

enteric coated tablets. Obat ini juga tidak boleh dikonsumsi

dengan susu.

12

Page 13: makalah hemel

c. Mucosa barrier fortifiers

Mucosa barrier berfungsi mencegah ion hidrigen

berdifusi kembali kedalam mukosa lambung. Selain itu,

mucosa barrier fortifiers juga akan menstimulasi sekresi

mukus ikut berperan dalam penyembuhan peptic ulcer.

mucosa barrier fortifiers akan membentuk kompleks

protein yang melapisi dan menjadi mantel pelindung.

Fungsinya yaitu untuk mneghalangi aksi dari asam dan

pepsin. mucosa barrier fortifiers dikonsumsi 1 jam sebelum

makan dan sebelum tidur. Dalam jangka waktu 30 menit

pasien tidak boleh mengkonsumsi antasida.

Contoh dari mucosa barrier fortifiers yaitu

sulfacrate. Efek samping yang ditimbulkan yaitu pusing,

konstipasi, mengantuk, mual, dan ketidaknyamanan

lambung. Sulfacrate paling baik dikonsumsi saat perut

masih kosong, yaitu 1 jam sebelum makan dan sebelum

tidur.

d. Manajemen Diet

Pada pasien dengan peptic ulcer dan menyebabkan

hematemesis melena, hindari makanan yang dapat

meningkatkan keasaman lambung. Keasaman lambung

dapat memperparah kondisi peptic ulcer yang dimiliki

pasien. Hindari makanan yang menyebabkan peningkatan

keasaman lambung, seperti kopi, alkohol, dan susu.

2.3.2 Intervensi Bedah

Intervensi pembedahan dianjurkan untuk klien dengan

ulkus yang tidak sembuh (yang gagal untuk sembuh setalah 12

sampai 16 minggu pengobatan medis), hemoragi yang mengancam,

perforasi atau obstruksi pyloric. Prosedur pembedahan mencakup

vagotomi, dan antroktomi billroth I atau II.

13

Page 14: makalah hemel

a. Vagotomi

Vagotomi adalah pemotongan saraf vagus, untuk

menurunkasn asma lambung dengan menguangi stimulasi

kolinergik pada sel parietal dan membuatnya kurang responsif

terhadap gastrin. Vagotomi dapat dilakukan untuk mengurangi

sekresi asam lambung. Vagotomi merupakan suatu tipe

prosedur drainase yang berfungsi untuk membantu

pengosongan lambung (bila ada denovasi total ke lambung).

Setelah melakukan vagotomi beberapa klien mengalami

masalah seperti sindrom dumping, perasaan penuh pada

lambung, diare serta gastritis. Ada beberapa tipe vagotomi

yaitu vagotomi trunkus, vagotomi selektif, vagotomi dengan

piloroplasti, dan vagotomi lambung proksimal tanpa

piloroplasti.

(1) Vagotomi Trunkus adalah pemotongan saraf vagus kanan

dan kiri saat saraf ini memasuki ambung pada bagian

distal esofasgus. Tipe vagotomi ini paling umum

digunakan untuk menurunkan sekresi asam dan

mengurangi motilitas lambung dan usus. Angka

kekambuhan ulkus setalah melakukan vagotomi trunkus

adalah 10% samapai 15 %.

(2) Vagotomi Selektif adalah pemotongan persarafan vagal

ke lambung tetapi mempertahankan persarafan pada

seluruh abdomen.

(3) Vagotomi Piloroplasti adalah suatu operasi drainase di

mana insisi longitudinal dibuat ke dalam pilorus dan

secara transversal dijahit dekat pada pembesaran jalan

keluar dan merilekskan otot. Vagotomi tipe ini biasanya

menyertai vagotomi trunkus dan vagotomi selektif,

dimana menimbulkan pelambatan pengosongan lambung

karena penurunan inervasi.

14

Page 15: makalah hemel

(4) Vagotomi lambung proksimal (sel pariteal) tanpa

piloroplasti adalah denevarsi sel pariteal yang mensekresi

asam tetapi mepertahanakan inervasi vagal pada antrum

dan pilorus lambung. Pada vagotomi tipe ini tidak ada

sindrom dumping.

b. Antroktomi Billroth I dan II

Prosedur pembedahan kedua mencakup antroktomi billroth I

(gastroduodenosiom) dan billroth II (gastrojejunostomi). Billroth I adalah

pengangkatan bagian bawah porsi antrum lambung (yang mengandung sel-

sel yang mensekresi gastrin) serta bagian kecil dari duodenum dan pilorus.

Pada billroth I adanya penurunan terhadap insiden sindrom dumping yang

mana sering terjadi setelah prosedur billroth II. Billroth II meliputi

reanastomosis perut bagian proksimal ke proksimal jejunum. Pembedahan

dengan teknik billroth II lebih baik dilakukan untuk ulkus duodenal karena

angka kekambuhan ulkus lebih rendah dengan prosedur ini sekitar kurang

dari 1 %.

(gbr 1. Antroktomi Billroth I) (gbr 2. Antroktomi Billroth II)

2.4 Penatalaksanaan Komplikasi Peptic Ulcer: Hemoragi

Komplikasi dari peptic ulcer, yaitu hemoragi ditandai dengan timbulnya

hematemesis (muntah yang mengandung darah) dan melena (terdapatnya

darah pada feses). Intervensi yang diberikan untuk klien dengan komplikasi

hemoragi bertujuan untuk mengobati syok hipovolemik, mencegah dehidrasi

dan keseimbangan eletrolit, serta menghentikan pendarahan. Berikut tindakan

yang dilakukan kepada klien dengan komplikasi dari peptic ulcer: hemoragi.

15

Page 16: makalah hemel

2.4.1 Pemasangan NGT

Hematemesis melena ec peptic ulcer merupakan salah satu

penyakit yang menyebabkan perdarahan yang disebabkan oleh adanya

area berlubang pada dinding lambung. Penyakit ini menyebabkan klien

kehilangan banyak darah dan cairan sehingga diperlukan salah satu cara

penatalaksanaan untuk menjaga keseimbangan cairan dan darah.

Pemakaian selang nasogastrik merupakan salah satu cara untuk menjaga

keseimbangan tersebut. Dalam kasus dikatakan klien memakai selang

nasogastrik dengan drainase darah 400 cc/5 jam, hal tersebut

menandakan klien mengeluarkan darah sebanyak drainase darah yang

dibutuhkan. Ada beberapa jenis selang nasogastrik yang mempunyai

fungsinya masing-masing, yaitu: (Smeltzer & Bare, 2002)

a. Selang Levin

Selang ini digunakan pada orang dewasa untuk menghilangkan

cairan dan gas dari saluran gastrointestinal atas, untuk

mendapatkan spesimen isi lambung, untuk uji laboratorium, dan

untuk memberikan obat-obatan atau pemberian makanan (gavase)

secara langsung ke dalam saluran gastrointestinal.

b. Selang Gastrik Sump

Selang ini digunakan untuk dekompresi lambung dan

mempertahankannya tetap kosong.

c. Selang Nutriflex

Selang nasogastrik nutriflex panjangnya 76 cm (30 inci) dan

mempunyai ujung dengan pemberat air raksa untuk memudahkan

pemasukan.

d. Selang Moss

Selang dekompresi lambung nasoesofagus moss panjangnya 90 cm

(35 inci) dan mempunyai lumen tripel. Selang ini dibenamkan

dalam lambung dengan mengembangkan balon. Kateter

dekompresi mengaspirasi esofagus dan lambung sebagai lavase.

Lumen ketiga adalah untuk pemberian makanan duodenal.

16

Page 17: makalah hemel

e. Selang Sengstaken-Blakemore

Selang ini digunakan untuk mengatasi perdarahan varises esofagus.

Selang ini mempunyai 3 lumen. 1 lumen digunakan untuk

mengembangkan balon lambung, lumen lain digunakan untuk

mengembangkan balon esofagus, dan lumen terakhir digunakan

untuk lavase lambung dan perdarahan.

Jika dilihat dari jenis-jenis NGT tersebut, dapat dilihat jenis

NGT yang cocok untuk klien hematesis melena ec. peptic ulcer

adalah selang nasogastrik Sengstaken-Blakemore, karena Intubasi

nasogastrik digunakan untuk membedakan darah segar dari materi

“kopi gelap” membantu menghilangkan bekuan dan asam,

mencegah mual dan muntah, dan untuk pemantauan lebih lanjut.

Selain itu selang nasogastrik juga dapat memantau pH sekresi

lambung dan juga untuk untuk aspirasi cairan lambung, lavage

(kumbah lambung) dengan air , dan pemberian obat-obatan.

Pemberian air pada kumbah lambung akan menyebabkan

vasokontriksi lokal sehingga diharapkan terjadi penurunan aliran

darah di mukosa lambung, dengan demikian perdarahan akan

berhenti. Kumbah lambung ini akan dilakukan berulang kali

memakai air sebanyak 100- 150 ml sampai cairan aspirasi

berwarna jernih dan bila perlu tindakan ini dapat diulang setiap 1-2

jam. Pemeriksaan endoskopi dapat segera dilakukan setelah cairan

aspirasi lambung sudah jernih. Adapun intervensi keperawatan

untuk intubasi nasogastrik, yaitu:

a. Menjelaskan pada klien tentang tujuan selang dan

prosedur yang diperlukan untuk memasang dan

memasukkannya.

b. Mengidentifikasi sensasi yang diperkirakan selama

pemasukan selang.

c. Memasang selang

Pasien ditempatkan pada posisi fowler dan handuk

dilebarkan menutupi dada. Perawat menggunakan sarung

17

Page 18: makalah hemel

tangan selama prosedur. Siapkan tisu. Berikan privasi dan

cahaya yang adekuat. Anjurkan pada pasien untuk berkumur

dengan cairan anestetik atau menyimpan bata es dalam mulut

selama beberapa menit. Dorong klien untuk bernapas melalui

mulut atau napas pendek cepat, atau menelan air, bila

diijinkan. Ujung hidung klien ditinggikan dan selang

disejajarkan masuk orofaring. Apabila selang mencapai

nasofaring, pasien diinstruksikan untuk menurunkan kepala

sedikit dan mulai menelan saat selang dimasukkan. Pasien juga

dapat menghisap air melalui sedotan untuk memudahkan

pemasukan selang.

d. Memastikan penempatan selang nasogastrik

Sinar X dapat dilakukan, akan tetpi terdapat studi baru yaitu

dengan menentukan pH aspirat selang.

e. Memantau pasien

Pemastian tempat selang penting dilakukan sebelum

cairan atau obat dimasukkan. Perubahan posisi selang dapat

disebabkan oleh tegangan selang (bila pasien bergerak

disekitar tempat tidur atau ruangan), batuk, penghisapan trakea

atau nasotrakea, dan intubasi jalan napas.

f. Memberikan higiene dan perawatan oral dan nasal

Swab berujung kapas yang dilembabkan dapat

digunakan untuk membersihkan hidung, diikuti dengan

pembersihan dengan minyak larut air untuk pelumasan. Plester

nasal diganti setiap 2 hari sekali. Bila mukosa nasal dan faring

sangat kering, lembabkan atau inhalasi uap dingin mungkin

menguntungkan.

g. Pemantauan dan penatalaksanaan komplikasi potensial

Pasien dengan intubasi nasogastrik rentan terhadap berbagai

masalah, yaitu:

(1) Kekurangan volume cairan. Gejala-gejala yang

menunjukkan kekurangan volume cairan mencakup:

18

Page 19: makalah hemel

o Kekeringan kulit dan membran mukosa

o Penurunan haluaran urin

o Letargi dan kelelahan

o Penurunan suhu tubuh

Pengkajian kekurangan volume cairan mencakup mempertahankan

catatan akurat tentang hal berikut:

o Drainase. Jumlah, warna, dan tipe, setiap 8 jam.

o Jumlah cairan yang dimasukkan dengan irigasi selang

nasogastrik dan jumlah air yang diminum.

o Jumlah dan karakter muntahan bila ada.

o Keseimbangan cairan selama 24 jam.

o Air yang diberikan dengan selang pemberian makan.

o Durasi adanya periode dimana alat penghisap tambahan

tidak berfungsi.

o Efek yang dihasilkan oleh pengobatan.

(2) Komplikasi paru

o Intubasi nasogastrik meningkatkan insiden komplikasi paru

pascaoperatif dengan mempengaruhi batuk dan

pembersihan faring.

o Perawat mengkaji bidang paru dengan teratur, melalui

auskultasi untuk menentukan adanya kongesti.

(3) Iritasi yang berhubungan dengan selang

o Perawat mengobservasi membran mukosa akan adanya

tanda-tanda iritasi atau kekeringan berlebihan dan

mempalpasi area disekitar parotis untuk mendeteksi adanya

sariawan atau benjolan dan adanya iritasi kulit atau

membran mukosa atau nekrosis.

o Hidung, mukosa oral, esofagus, dan trakea rentan terhadap

iritasi dan nekrosis. Pasien dikaji untuk adanya esofagitis

dan trakeitis.

19

Page 20: makalah hemel

h. Pengangkatan selang

Sebelum mengangkat selang, perawat dapat mengklem selang

secara intermiten dan melepaskan klem nasogastrik selama periode 24

jam untuk menjamin bahwa klien tidak mengalami mual, muntah, atau

distensi. Pakai sarung tangan pada saat mengangkat selang. Sebelum

mengangkatnya, selang dibilas dengan salin normal 10 ml untuk

menjamin bahwa selang bebas dari debris dan jauh dari lambung.

Selang ditarik dengan perlahan dan halus, selama 15 sampai 20 cm,

pada interval 10 menit, sampai ujung selang mencapai esofagus;

sisanya ditarik dengan cepat dari hidung. Saat selang ditarik, letakkan

selang dalam handuk. Setelah selag diangkat lakukan higiene oral.

Indikasi dan Kontraindikasi Pemasangan NGT (Nasogastric Tube)

a. Indikasi pemasangan Nasogastric Tube (NGT) antara lain:

(1) Adanya perdarahan gastrointestinal, walaupun perdarahan

tersebut diduga berada di saluran gastrointestinal bagian bawah.

(2) Adanya perdarahan di saluran gastrointestinal bagian atas.

(3) Pemasangan tabung di perut dapat digunakan untuk

mendiagnosa permasalahan yang terjadi.

(4) Memonitor perdarahan yang sedang terjadi dan mendeteksi

adanya perdarahan kembali.

(5) Sebagai terapi.

(6) Untuk pemberian obat.

(7) Rute pemberian nutrisi.

(8) Dekompresi obstruksi usus.

b. Kontraindikasi pemasangan Nasogastric tube (NGT), antara lain:

(1) Adanya perdarahan diatesis yang ditunjukkan dengan adanya

perdarahan yang tidak terkontrol di bagian nasal.

(2) Sinusitis.

(3) Fraktur maksilofasial.

(4) Koagulopati parah

20

Page 21: makalah hemel

2.4.2 Pemberian Terapi Intravena

Infus intravena adalah salah satu metode umum pemberian

cairan, nutrisi, dan pengobatan untuk pasien serta intravena solution

merupakan satu-satunya sumber makanan dan cairan untuk banyak

pasien akut (Kozier & Erb, 1982). Terapi intravena digunakan kepada

klien untuk menyediakan air, elektrolit, dan ntrien untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari, untuk menggantikan air dan memperbaiki

kekurangan elektrolit serta untuk menyediakan suatu medium untuk

pemberian obat secara intravena.

Pada klien yang mengalami kekurangan cairan dan elektrolit

akibat hematemesis melena. Cara yang dapat dilakukan untuk

mengganti cairan yang hilang yaitu dengan memberikan terapi

intravena. Jenis infus set yang digunakan dalam pemasangan terapi

intravena ada dua yaitu makro drip dan mikro drip. Kedua jenis infus

set ini memiliki jumlah tetes atau faktor tetes yang berbeda per ml.

Makro drip: 20 tetes/cc dan mikro drip: 60 tetes/cc. Rumus yang

digunakan untuk mengitung jumlah tetesan cairan yang dibutuhkan

klien permenit yaitu:

Ada beberapa jenis larutan intravena, yaitu:

a. Cairan isotonis, yaitu cairan dengan osmolalitas total yang

mendekati cairan ekstraseluler dan tidak menyebabkan sel darah

merah mengkerut atau membengkak. Contohnya saline normal

(0,9% natrium klorida), larutan ringer lactate.

b. Cairan hipotonik, yaitu cairan yang bertujuan untuk menggantikan

cairan seluler, karena larutan ini bersifat hipotonis dibandingkan

dengan plasma. Pada saat-saat tertentu, larutan natrium hipotonik

digunakan untuk mengatasi hipernatremia dan kondisi hiperosmolar

yang lain. Contohnya natrium klorida 0,45%, salin 0,33%, atau

dekstrosa 2,5% dalam air.

c. Cairan hipertonik, yaitu dekstrosa 5% dalam salin 0,45%,

dekstrosa 5% dalam salin normal, atau dekstrosa 5% dalam ringer

21

Page 22: makalah hemel

laktat yang diberikan untuk membantu memenuhi kebutuhan kalori.

Larutan-larutan ini menarik air dari kompartemen intraseluler ke

ekstraseluler dan menyebabkan sel-sel mengkerut. Jika diberikan

dengan cepat dan dalam jumlah besar, dapat menyebabkan

kelebihan volume ekstraseluler dan mencetuskan kelebihan cairan

sirkulatori dan dehidrasi.

Penghentian pemberian terapi intravena berkaitan dengan dua

kemungkinan bahaya yaitu perdarahan dan emboli kateter. Perdarahan

dapat dicegah dengan menggunakan spons yang kering dan streil yang

harus diletakkan di atas tempat penusukkan pada saat kanul dilepaskan.

Jika suatu kateter IV plastik putus, hal tersebut dapat mengalir ke

ventrikel kanan dan menyumbat aliran darah sehingga menimbulkan

emboli kateter. Emboli kateter dapat dengan mudah dicegah dengan

mengikuti peraturan sederhana seperti tidak menggunakan gunting di

dekat kateter dan tidak menarik kateter melalui jarum penginsersi.

22

Page 23: makalah hemel

BAB III

PEMBAHASAN

“Pasien laki-laki berusia 40 tahun dirawat di rumah sakit dengan diagnosa medis

hematemesis melena ec peptic ulcer. Saat ini pasien masih terpasang nasogastric

tube (NGT) dengan drainase darah sejumlah 400 cc/5 jam. TTV= TD= 90/60

mmHg. Kesadaran compos mentis. Infus terpasang di tangan kiri sejak 2 hari yang

lalu. Pasien ada perencanaan pemeriksaan lab untuk evaluasi masalah cairan

terkait perdarahan yang muncul. Pasien juga mendapatkan terapi pengobatan

untuk masalah perdarahannya.”

3.1 Definisi Masalah

Klien laki-laki mengalami hematemesis melena ec peptic ulcer sehingga

mengalami perdarahan yang mengakibatkan cairan di tubuhnya berkurang

(hipovolemik).

3.2 Analisis Masalah

3.2.1 Apakah pengertian hematemesis melena serta etiologinya?

3.2.2 Bagaimana proses patofisiologi peptic ulcer?

3.2.3 Bagaimana patofisiologi peptic ulcer menyebabkan hematemesis

melena?

3.2.4 Mengapa hematemesis melena ec. Peptic ulcer menyebabkan

hipovolemik?

3.2.5 Bagaimana penatalaksanaan medis pada klien dengan hematemesis

melena ec. Peptic ulcer (obat-obatan)?

3.2.6 Bagaimana penatalaksanaan non medis pada klien dengan

hematemesis melena ec. Peptic ulcer (NGT dan terapi intravena atau

infus)?

3.2.7 Apa saja pemeriksaan diagnostik yang dilakukan untuk klien dengan

hematemesis melena ec peptic ulcer?

23

Page 24: makalah hemel

3.2.8 Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan hematemesis melena ec.

Peptic ulcer?

3.3 Hipotesis

Klien mengalami hipovolemik karena mengalami perdarahan yaitu

hematemesis melena yang disebabkan oleh peptic ulcer.

3.4 Pembahasan Kasus

24

Page 25: makalah hemel

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Saluran percernaan merupakan rangkaian organ-organ yang berfungsi

dalam mengelola bahan makanan menjadi nutrien-nutrien yang dapat diserap oleh

tubuh yang akan digunakan dalam proses metabolisme. Namun dalam prosesnya,

beberapa organ dalam saluran percernaan mengalami trauma ataupun gangguan

yang menimbulkan beberapa kelainan. Salah satu kelainan dalam saluran

pencernaan adalah hematemesis melena.ec peptic ulcer. Komplikasi dari peptic

ulcer, yaitu hemoragi ditandai dengan timbulnya hematemesis (muntah yang

mengandung darah) dan melena (terdapatnya darah pada feses).

Intervensi yang diberikan untuk klien dengan komplikasi hemoragi

bertujuan untuk mengobati syok hipovolemik. Syok hipovolemik diakibatkan oleh

pendarahan yang masif. Intervensi yang dapat di lakukan untuk menangani

komplikasi peptic ulcer: hemoragi, berupa pemberian obat-obatan antasida dan

golongan H2 reseptor antagonis (simetidin atau ranitidin) berguna untuk

menanggulangi perdarahan. Selain obat-obatan, klien juga mendapatkan intervensi

berupa pemasangan NGT dan pemasangan infus intravena.

25

Page 26: makalah hemel

DAFTAR PUSTAKA

Ahern, Nancy R dan Wilkinson, Judith M. (2012). Buku saku diagnosis

keperawatan (diagnosis NANDA, intervensi NIC, dan kriteria hasil

NOC). 9th Edition. Jakarta: EGC.

Doenges, Marylin E, dkk. (2000). Rencana asuhan keperawatan pedoman untuk

perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. 3rd ed. Jakarta:

EGC.

Polaski, Arlene L dan Tatro, Suzanne E. (1996). Lukmann’s core principales and

practice of medical surgical nursing. Philadelphia: WB Saunders

Company.

Potter, Patricia A dan Perry, Anne Griffin. (2005). Buku ajar fundamental

keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Edisi 4. Volume 1. Jakarta:

Penerbit buku kedokteran EGC.

Kozier, Barbara et al. (2009). Buku Ajar Keperawatan Klinis. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzane C. & Bare, Brenda G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal

Bedah Brunner & Suddath. Jakarta: EGC.

26