Makalah Hadits Tarbawi

33
COVER Tugas Kelompok XIII HADIST TARBAWI Pernikahan dalam Pandangan Hadits Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadist Tarbawi. Dosen Pembimbing: Akhmad Supriadi, M.S.I. Di susun oleh: Siti Ainul Avivah (NIM: 1101120695) Sofyan Rahmat Ali (NIM: 1301140330) PENDIDIKAN BIOLOGI

description

mengupas hadits yang berkaitan tentang pernikahan

Transcript of Makalah Hadits Tarbawi

COVERTugas Kelompok XIIIHADIST TARBAWIPernikahan dalam Pandangan HaditsMakalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadist Tarbawi.Dosen Pembimbing: Akhmad Supriadi, M.S.I.

Di susun oleh:

Siti Ainul Avivah(NIM: 1101120695)Sofyan Rahmat Ali (NIM: 1301140330)

PENDIDIKAN BIOLOGIFAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU PENDIDIKANINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA2015 M / 1436 H

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi ALLAH SWT yang telah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya kepada kita semua, karena dapatlah penyusun menghimpun dan menyelesaikan tugas mata kuliah Hadits Tarbawi tentang Perkawinan dalam Pandangan Hadits sesuai dengan jadwal. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad Saw, beserta keluarga dan sahabat serta orang-orang yang mengikuti jejak langkah beliau sampai hari kiamat.Pembuatan makalah ini bertujuan antara lain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hadits Tarbawi. Selain itu juga sebagai bahan untuk menambah wawasan penyusun.Harapan penyusun pada makalah sederhana ini dapat berguna bagi pembaca sebagai bahan tambahan dalam proses belajar mengajar di dalam ruang kuliah dan lainnya. Kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penyusun harapakan demi perbaikan makalah sederhana ini dan dalam pembuatan makalah kedepannya lagi. Akhir kata penyusun ucapkan Terimakasih.

Penyusun

DAFTAR ISI

COVERiKATA PENGANTARiiDAFTAR ISIiiiBAB I PENDAHULUAN1A.Latar Belakang1B.Rumusan Masalah1C.Tujuan Penulisan1BAB II PEMBAHASAN2A.PERNIKAHAN2B.MAHAR DALAM PERNIKAN6C.Nikah Mutah10BAB III PENUTUP16A.Kesimpulan16B.Saran17DAFTAR PUSTAKA18

iii

BAB IPENDAHULUANLatar BelakangPernikahan merupakan suatu ikatan perjanjian antara dua insan laki-laki dan perempuan dan syarat-syarat adanya ijab Kabul, dua saksi, mahar, dan wali nikah[footnoteRef:1]. Pernikahan merupakan sunah nabi yang sangat dianjurkan pelaksanaannya bagi umat Islam. Pernikahan adalah suatu peristiwa yang fitrah, dan sarana paling agung dalam memelihara keturunan dan memperkuat hubungan sesama manusia yang menjadi sebab terjaminnya ketenangan cinta dan kasih sayang. Bahkan Nabi pernah melarang sahabat yang berniat untuk meninggalkan nikah agar bisa mempergunakan seluruh waktunya untuk beribadah kepada Allah, karena hidup membujang tidak disyariatkan dalam agama oleh karena itu, manusia disyariatkan untuk menikah. [1: Wajidi Sayadi, 2010, Hadis Tarbawi Pesan-Pesan Nabi Saw Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Teras, hlm. 129]

Dibalik anjuran Nabi kepada umatnya untuk menikah, pastilah ada hikmah yang bisa diambil. Diantaranya yaitu agar bisa menghalangi mata dari melihat hal-hal yang tidak di ijinkan syara dan menjaga kehormatan diri dari jatuh pada kerusakan seksual.Islam sangat memberikan perhatian terhadap pembentukan keluarga hingga tercapai sakinah, mawaddah, dan warahmah dalam pernikahan. Dalam makalah ini, pemakalah akan membahas tentang pernikahan baik dari segi pengertian, hokum, rukun, syarat, dan lain-lainnya berdasarkan hadits Nabi. Rumusan Masalah1. Apa yang dimaksud dengan pernikahan sebagai sunah Rasulullah SAW.?2. Apa yang dimaksud dengan nikah mutah.?3. Bagaimana kedudukan mahar dalam pernikahan.?Tujuan Penulisan1. Untuk mengetahui maksud penikahan sebagai sunah Rasulullah SAW.2. Untuk mengetahui maksud dari nikah mutah.3. Untuk mengetahui kedudukan mahar dalam pernikahan.

BAB IIPEMBAHASAN1. PERNIKAHAN1. Pengertian PernikahanPernikahan berasal dari kata () yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata nikah sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus) juga untuk arti akad nikah[footnoteRef:2]. Menurut istilah adalah ikatan suami istri yang sah yang menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi suami istri. [2: Abdur Rahman Ghofur, 2008, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana prenada media group, hlm 7]

Pernikahan menurut ahli hadits dan ahli fiqih adalah perkawinan, dalam arti hubungan yang terjalin antara suami istri dengan ikatan hokum islam, dengan memenuhi syarat-syarat, dan rukun-rukun pernikahan, seperti wali, mahar, dua saksi yang hadir dan di sahkan dengan ijab qabul[footnoteRef:3]. [3: Ali yusuf As Subkhi, 2010, Fiqh keluarga, Jakarta: Amzah, hlm. 1]

Pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk memenuhi tujuan hidup berumah tangga sebagai suami istri yang dengan memenuhi syarat dan rukunyang telah ditentukan oleh syariat Islam.[footnoteRef:4] [4: Amri, 2012, Hadist Tentang Pernikahan, Di akses Jumat, 06 Maret 2015, dari: https://amrikhan.wordpress.com ]

2. Nikah Sebagai Sunah NabiMelaksanakan penikahan adalah melaksanakan perintah agama dan sekaligus mengikuti jejak dan sunah para Rasul Allah. Karena itu jika seseorang sudah mencukupi persyaratan untuk menikah maka dia diperintahkan untuk menikah , karena dengan menikah hidupnya akan menjadi lebih sempurna.[footnoteRef:5] [5: Wajidi Sayadi, 2010, Hadis Tarbawi Pesan-Pesan Nabi Saw Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Teras]

Rasulullah SAW bersabda: (BUKHARI - 1772) : Telah menceritakan kepada kami 'Abdan dari Abu Hamzah dari Al A'masy dari Ibrahim dari 'Alqamah berkata; Ketika aku sedang berjalan bersama 'Abdullah radliallahu 'anhu, dia berkata: Kami pernah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang ketika itu Beliau bersabda: "Barangsiapa yang sudah mampu (menafkahi keluarga), hendaklah dia kawin (menikah) karena menikah itu lebih bisa menundukkan pandangan dan lebih bisa menjaga kemaluan. Barang siapa yang tidak sanggup (manikah) maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi benteng baginya".[footnoteRef:6] [6: Al-Hafidh Imam Ibnu Hajar al-Asqalany, 2011, Terjemahan Bulughul Maram, Semarang: Pustaka Nuun, hlm.]

PERAWI

Rasulullah SAW 'Abdullah radliallahu 'anhu 'Alqamah Ibrahim Al A'masy Abu Hamzah 'Abdan.

Seperti yang diriwayatkan Bukhori, Muslim dalam kitab al luluwal marjan 1:[footnoteRef:7] [7: Muhammad Faud Abdul Baqi, 2008, Al-LuLu Wal Marjan, Jakarta: Pustaka as-Sunnah, hlm.]

(MUSLIM - 2487) : Dan telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Nafi' Al Abdi telah menceritakan kepada kami Bahz telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengenai amalan beliau yang tersembunyi. Maka sebagian dari mereka pun berkata, "Saya tidak akan menikah." Kemudian sebagian lagi berkata, "Aku tidak akan makan daging." Dan sebagian lain lagi berkata, "Aku tidak akan tidur di atas kasurku." Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: "Ada apa dengan mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku." PERAWI

Rasulullah SAW Anas bin Malik bin An Nadlir bin Dlamdlom bin Zaid bin Haram Tsabit bin Aslam Hammad bin Salamah bin Dinar Bahza bin Asad Muhammad bin Ahmad bin Nafi'

3. Anjuran MenikahAgama dan Nabi menganjurkan menikah bagi yang mampu dan apabila dia tidak menikah maka dia dianggap tidak sebagai umat Nabi. Sebab menikah itu akan menjauhkan kita dari perbuatan yang mendekati zina.Rasulullah SAW bersabdda: (AHMAD - 13080) : Telah menceritakan kepada kami 'Affan telah menceritakan kepada kami Khalaf bin Khalifah bapakku berkata; saya pernah melihat Khalaf bin Khalifah diajak bicara seseorang "wahai Abu Ahmad, telah menceritakan kepadamu Muharib bin Ditsar", --bapakku berkata; saya tidak paham ucapan Muharib bin ditsar karena tuanya maka saya meninggalkannya--, telah menceritakan kepada kami Hafs dari Anas bin Malik berkata; Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam memerintahkan untuk menikah dan melarang membujang dengan keras dengan bersabda: "Menikahlah dengan orang yang penyayang dan subur. Sesungguhnya saya bangga dengan jumlah yang banyak di hadapan para nabi pada hari kiamat".[footnoteRef:8] [8: Software Hadits 9]

PERAWI

Rasulullah SAW Anas bin Malik bin An Nadlir bin Dlamdlom bin Zaid bin Haram "Hafsh, anak dari saudara Anas bin Malik" Khalaf bin Khalifah bin Sha'id Affan bin Muslim bin 'Abdullah.

Nikah hukumnya wajib bagi orang yang mampu dan nafsunya telah mendesak, serta takut terjerumus dalam lembah perzinahan. Menjauhkan diri dari perbuatan haram adalah wajib, maka jalan yang terbaik adalah dengan menikah. Imam Qutubi berkata, bujangan yang sudah mampu menikah dan takut dirinya dan agamanya, sedangkan untuk menyelamatkan diri tidak ada jalan lain, kecuali dengan pernikahan maka tidak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya ia nikah. Jika nafsunya telah mendesak, sedang ia tidak mampu menafkahi istrinya, maka Allah nanti akan melapangkan rejekinya.[footnoteRef:9] [9: Abidin Slamet, Fiqih Munakahat 1, Bandung: Cv Pustaka Setia, 1999 , hal: 33]

Firman Allah SWT: Artinya: Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?"Senada dengan pendapat di atas adalah ulama Malikiyah yang mengatkan bahwa menikah itu wajib bagi orang yang menyukainya dan takut dirinya akan terjerumus ke jurang perzinaan manakala ia tidak sanggup. Selanjutnya malikiyah memberikan beberapa kriteria tentang wajibnya menikah bagi seseorang, yaitu:[footnoteRef:10] [10: Ibid, hal: 33]

a. Apabila takut dirinya akan terjerumus ke dalam lembah perzinaan.b. Untuk mengekangnya tidak mampu berpuasa, atau mampu berpuasa tetapi tidak bisa mengekang nafsu.c. Tidak mampu menyatukan kekayaan umat manusia.Sedangkan ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa menikah itu hukumnya wajib bagi seseorang dengan syarat sebagai berikut:a. Yakin apabila tidak menikah akan terjerumus kedalam lembah perzinaan.b. Tidak mampu berpuasa untuk mengekang nafsu seksual.c. Tidak mampu menyatukan kekayaan umat.d. Mampu memberikan mahar dan memberi nafkah.Oleh karena itu membujang sesungguhnya merupakan suatu pelanggaran atas naluri manusia. Inilah sebabnya Islam tak mengizinkan membujang atau paham kebiaraan sebagai suatu jalan hidup. Dengan demikian kita dituntut untuk menjaga keseimbangan antara sisi kebutuhan kemanusiaan, moral dan material kehidupan. Maka membujang bukanlah kebajikan, bahkan mungkin suatu kebusukan.[footnoteRef:11] [11: Asghary , hasri iba dan masturi, wadi, perkawinan dalam syariat islam, Hal :12, Jakarta, PT. Rineka Cipta 1996]

1. MAHAR DALAM PERNIKAHAN1. Pengertian dan Hukum MaharMahar secara etimologi yang artinya maskwain. Secara terminologi mahar ialah, pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau, suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dsb).[footnoteRef:12] [12: Abdul Rahmat Dhozali, 2008, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm. 84]

Imam Syafii mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasi seluruh anggota badannya.[footnoteRef:13] [13: Ibid, hlm. 85]

Islam sangat memperhatika dan menghargai ke dudukan seorang wanita dengan memberikan hak kepadanya di antaranya adalah hak untuk menerima mahar. Mahar hanya diberikan oleh calon sumi kepada calon istri, bukan kepada wanita lain atau siapa pun walau sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan istri.[footnoteRef:14] [14: Ibid, hlm. 85]

Allah SWT Berfirman: Artinya: berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S. An-Nisa : 4)Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipu muslihat, lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberikan maharanya karena malu, atau takut, maka tidak halal menerimanya.[footnoteRef:15] [15: Ibid, hlm. 85]

Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakannya sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya wajib.Rasululluah SAW bersabda: (BUKHARI - 4696) : Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id Telah menceritakan kepada kami Hammad dari Tsabit dan Syu'aib bin Al Habhab dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membebaskan Shafiyyah dan menjadikan pembebasnya itu sebagai maharnya.[footnoteRef:16] [16: Al-Hafidh Imam Ibnu Hajar al-Asqalany, 2011, Terjemahan Bulughul Maram, Semarang: Pustaka Nuun, hlm. 291]

PERAWI

Rasulullah SAW Anas bin Malik bin An Nadlir bin Dlamdlom bin Zaid bin Haram Tsabit bin Aslam Hammad bin Zaid bin Dirham Hammad bin Zaid bin Dirham Qutaibah bin Sa'id bin Jamil bin Tharif bin 'Abdullah.

Sabdanya lagi: (BUKHARI - 5422) : Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abdul Abu Hazim dari Ayahnya bahwa dia mendengar Sahl berkata; seorang wanita datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata; "Saya datang kepada anda untuk menyerahkan diriku kepada anda, " Beliau lalu berdiri lama dan menelitinya dengan seksama, ketika beliau berdiri lama seorang laki-laki berkata; 'Wahai Rasulullah, jika anda tidak berkenan dengannya, maka nikahkanlah aku dengannya.' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada laki-laki tersebut: 'Apakah kamu mempunyai sesuatu yang dapat dijadikan mahar untuknya? ' Laki-laki itu menjawab; 'Tidak.' Beliau bersabda: 'Carilah terlebih dahulu.' Lalu laki-laki itu pergi, sesaat kemudian dia kembali dan berkata; 'Demi Allah, aku tidak mendapatkan sesuatupun.' Beliau bersabda: 'Pergi dan carilah lagi walaupun hanya dengan cincin dari besi.' Kemudian laki-laki itu pergi, tidak berapa lama dia kembali sambil berkata; 'Aku tidak mendapatkan apa-apa walau cincin dari besi.' -Saat itu laki-laki tersebut tengah mengenakan kain sarung, lantas dia berkata; 'Aku akan menjadikan kain sarung ini sebagai mahar.' Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Jika kamu memakaikan kain sarung itu padanya, maka kamu tidak memakai apa-apa, sementara jika kamu yang memakai sarung tersebut, dia tidak memakai apa-apa.' Laki-laki itu duduk termenung, ternyata Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melihatnya berpaling, lalu beliau memerintahkan seseorang untuk memanggilnya, maka dipanggilah laki-laki tersebut, beliau bertanya: 'Apakah kamu mempunyai hafalan dari Al Qur'an? ' Laki-laki itu menjawab; 'Ya, saya telah hafal surat ini dan ini.' Lalu beliau bersabda: 'Maka aku nikahkan kamu dengan wanita itu, dengan mahar apa yang telah engkau hafal dari surat Al Qur'an.'[footnoteRef:17] [17: Muhammad Faud Abdul Baqi, 2008, Al-LuLu Wal Marjan, Jakarta: Pustaka as-Sunnah, hlm. 701]

PERAWI

Rasulullah SAW Anas bin Malik bin An Nadlir bin Dlamdlom bin Zaid bin Haram Tsabit bin Aslam Hammad bin Zaid bin Dirham Hammad bin Zaid bin Dirham Qutaibah bin Sa'id bin Jamil bin Tharif bin 'Abdullah.

Nabi Muhammad SAW memberi mahar kepada isteri-sterinya sebesar dua belas Uqiyah. (IBNUMAJAH - 1876) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ash Shabbah berkata; telah memberitakan kepada kami Abdul Aziz Ad Darawardi dari Yazid bin Abdullah bin Al Had dari Muhammad bin Ibrahim dari Abu Salamah ia berkata; "Aku bertanya kepada 'Aisyah, "Berapa jumlah mahar isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam?" Ia menjawab, "Mahar beliau untuk isteri-isterinya seebsar dua belas Uqiyah dan satu Nassy, apakah kamu tahu, berapa satu Nassy itu? Satu Nassy adalah setengah Uqiyah. Dan jumlah keseluruhannya adalah lima ratus dirham."PERAWI

Rasulullah SAW Abdullah bin 'Umar bin Al Khaththab bin Nufail "Nafi', maula Ibnu 'Umar " Malik bin Anas bin Malik bin Abi 'Amir Abdullah bin Yusuf Abdullah bin Yusuf

2. Syarat-Syarat Mahar dan Kadar Mahara. Syarat-syarat maharMahar yang diberikan kepada calon isteri dalam Fiqh Munakahat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[footnoteRef:18] [18: Abdul Rahmat Dhozali, 2008, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm. 87]

1) Harta/bendanya berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi apabila sedikit tapi bernilai maka akan tetap sah.2) Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.3) Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermasuk untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah.4) Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau barang disebutkan jenisnya.b. Kadar (jumlah) maharMengenai besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar tidak ada batas tertinggi. Kemudian berselisih pendapat tentang batas terendahnya. Diantaranya yang beda pendapat:[footnoteRef:19] [19: Abdul Rahmat Dhozali, 2008, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm. 88]

Imam Syafii, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabiin berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah 10 Dirham. Riwayat yang lain mengatakan ada Dirham, 5 Dirham, dan 40 Dirham.Nikah Mutah1. Pengertrian dan hokum nikah mutahNikah mutah atau nikah muwaqqat atau nikah munqathi adalah nikah untuk jangka waktu tertentu. Lamanya bergantung pada permufakatan antara laki-laki dan wanita yang akan melaksanakannya, bisa sehari, seminggu, sebulan, setahun, dan seterunya.[footnoteRef:20] Salah seorang tokoh Syi'ah berkata bahwa Nikah Mut'ah adalah: "Nikah yang dilakukan oleh seorang muslim dengan wanita muslimah atau kitabiyyah yang merdeka, selama tidak ada halangan syar'i antara keduanya untuk melangsungkan perkawinan baik halangan karena nasab (keturunan) atau karena sebab atau karena susuan, atau karena telah menikah atau karena dalam masa iddah, dengan mahar tertentu dan untuk masa waktu tertentu pula sesuai dengan syarat-syaratnya".[footnoteRef:21] [20: Rahmat Hakim, 2000, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, hlm. 31] [21: Dochy Firdauz, 2013, Nikah Mutah, Di akses Pada 5 Maret 2015 (11.09 WIB), dari: http://dochyfirdauz.blogspot.com ]

Nikah mutah ini kemungkinan besar ditimbulkan oleh hal-hal yang insidental, yang terjadi pada suatu ketika saja. Seperti halnya Rasulullah SAW yang memberikan kelonggaran dengan memberikan dispensasi melakukan mutah kepada pemuda Islam yang pergi ke medan perang untuk membela agama. Di tempat itu mereka jauh dari istrinya. Jauhnya jarak dan sulitnya medan serta kendala transportasi menyebabkan perjalanan memakan waktu lama. Oleh karena itu, mereka diberi dispensasi untuk melakukan perkawinan sesaat untuk menghindari dari pada melakukan penyimpangan. Setelah selesai tugas Negara, mereka tidak lagi diperbolehkan melakukan hal tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa sabda Rasullulah SAW,[footnoteRef:22] [22: Rahmat Hakim, 2000, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, hlm. 32]

(MUSLIM - 2499) : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Yunus bin Muhammad telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid bin Ziyad telah menceritakan kepada kami Abu Umais dari Iyas bin Salamah dari bapaknya ia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membolehkan nikah mut'ah pada tahun Authas (tahun penaklukan kota Makkah) selama tiga hari. Kemudian beliau melarangnya."[footnoteRef:23] [23: Software Kitab 9 Imam]

PERAWI

Rasulullah SAW Salamah bin 'Amru bin Al Akwa' Salamah bin 'Amru bin Al Akwa' Utbah bin 'Abdullah bin 'Utbah bin 'Abdullah bin Mas'ud Abdul Wahid bin Ziyad Yunus bin Muhammad bin Muslim Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim bin 'Utsman.

Sabda Rasulullah SAW yang lain, (BUKHARI - 4725) : Telah menceritakan kepada kami Ali Telah menceritakan kepada kami Sufyan Telah berkata Amru dari Al Hasan bin Muhammad dari Jabir bin Abdullah dan Salamah bin Al Akwa' keduanya berkata; Ketika kami berada dalam suatu pasukan perang, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendatangi kami dan bersabda: "Sesungguhnya telah dizinkan bagi kalian untuk melakukan nikah Mut'ah, karena itu lakukanlah." Ibnu Abu Dzi`b berkata; Telah menceritakan kepadaku Iyas bin Salamah bin Al Akwa' dari bapaknya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Bilamana seorang laki-laki dan perempuan telah bersepakat, maka batas maksimal antara mereka berdua adalah tiga malam. Jika keduanya suka, maka keduanya boleh menambah, atau pun berpisah." Aku tidak tahu, apakah perkara itu adalah khusus bagi kami, ataukah juga orang lain secara umum. Abu Abdullah berkata; Dan Ali menjelaskan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa perkara tersebut telah Mansukh (dihapus).[footnoteRef:24] [24: Muhammad Faud Abdul Baqi, 2008, Al-LuLu Wal Marjan, Jakarta: Pustaka as-Sunnah, hlm. 696]

PERAWI

Rasulullah SAW Jabir bin 'Abdullah bin 'Amru bin Haram Al Hasan bin Muhammad bin 'Ali bin Abi Thalib Amru bin Dinar Al Atsram Sufyan bin 'Uyainah bin Abi 'Imran Maimun Ali bin 'Abdullah bin Ja'far bin Najih.

(DARIMI - 2100) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad telah menceritakan kepadaku Ibnu 'Uyainah dari Az Zuhri dari Al Hasan dan Abdullah dari ayah mereka berdua, ia berkata; aku mendengar Ali berkata kepada Ibnu Abbas; "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang mut'ah yaitu menikahi wanita secara mut'ah, dan daging keledai jinak ketika perang Khaibar."[footnoteRef:25] [25: Ibid, hlm. 696]

PERAWI

Rasulullah SAW Ali bin Abi Thalib bin 'Abdu Al Muthallib bin Hasyim bin 'Abdi Manaf Muhammad bin 'Ali bin Thalib Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab Sufyan bin 'Uyainah bin Abi 'Imran Maimun Muhammad bin Yusuf bin Waqid bin 'Utsman.

(DARIMI - 2099) : Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Ibnu 'Uyainah dari Az Zuhri dari Ar Rabi' bin Sabrah Al Juhani dari Ayahnya ia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang nikah mut'ah pada saat penaklukan kota Makkah."PERAWI

Rasulullah SAW Sabrah bin Ma'bad bin 'Awsajah Muhammad bin 'Ali bin Thalib Ar Rabi' bin Sabrah bin Ma'bad Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab Sufyan bin 'Uyainah bin Abi 'Imran Maimun Muhammad bin Yusuf bin Waqid bin 'Utsman.

Menurut hadist di atas nikah mutah diperbolehkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam waktu tertentu saja. Nikah mutah lalu dinaskh (dihapus). nikah ini menjadi haram hingga hari kiamat. Nikah mutah ini telah hapuskan oleh Rasullulah SAW pada tempat dan waktu yang berbeda. Menurut ulama, tempat dan waktu tersebut adalah pada perang Khaibar, perang Tabuk, Perang Authas, dan Haji Wada.[footnoteRef:26] [26: Rahmat Hakim, 2000, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, hlm. 33]

Rasulullah SAW bersabda, (MUSLIM - 2502) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Umar telah menceritakan kepadaku Ar Rabi' bin Sabrah Al Juhani bahwa ayahnya telah menceritakan kepadanya bahwa dia pernah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (dalam Fathu Makkah), beliau bersabda: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya saya pernah mengizinkan kepada kalian nikah mut'ah terhadap wanita, dan sesungguhnya (mulai saat ini) Allah telah mengharamkannya sampai Hari Kiamat, oleh karena itu barangsiapa yang masih memiliki (wanita yang dimut'ah), maka ceraikanlah dia dan jangan kamu ambil kembali apa yang telah kamu berikan padanya." Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami 'Abdah bin Sulaiman dari Abdul Aziz bin Umar dengan isnad ini, dia berkata; saya pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri di antara rukun (Ka'bah) dan pintu (Ka'bah) seraya bersabda seperti hadits Ibnu Numair.[footnoteRef:27] [27: Software Kitab 9 Imam]

PERAWI

Rasulullah SAW Sabrah bin Ma'bad bin 'Awsajah Ar Rabi' bin Sabrah bin Ma'bad Abdul 'Aziz bin 'Umar biun 'Abdul 'Aziz bin Marwan Abdullah bin Numair Muhammad bin 'Abdullah bin Numair.

2. Pendapat para Ulama tentang nikah mutaha. Syaikhul Islam Ibnu TaimiyyahDalam kitabnya Manhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, menyatakan tidak ada satupun ayat al-Quran yang membolehkan pernikahan mutah. Kaum Sunni tidak saja mengikuti pendapat Umar bin Khattab, tapi juga seluruh Khulafaur Rasyidin termasuk sahabat Ali r.a yang oleh kalangan syiah dimuluskan (tidak sepengetahuan sahabat Ali r.a itu sendiri). Anehnya, kaum Syiah justru membolehkannya, padahal Ali r.a melarangnya, tidak menyetujui.[footnoteRef:28] [28: Ibnu, 2009, Kumpulan Makalah dan Artikel, Di akses Jumat, 6 Maret 2015 (7.20 WIB) dari: http://makalah-ibnu.blogspot.com/ ]

b. Ulama SunniUlama Sunni menilai walaupun terdapat perbedaan tentang masalah dibatalkannya, namun yang jelas bahwa keseluruhan riwayat tersebut sepakat menyatakan dilarangnya nikah mutah, dengan demikian tidak perlu dipersoalkan lagi tentang waktu pelarangannya, yang penting adalah larangannya.c. Majelis Ulama Indonesia (MUI)Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengharamkan nika mutah ini dengan dasar-dasar Al-Quran dan Al-Hadits.[footnoteRef:29] [29: Dewan Majelis Ulama Indonesia, 2014, Nikah Mutah, Di akses Kamis, 5 Maret 2015 (8.00 WIB) dari: http://mui.or.id ]

Firman Allah SWT, Artinya: 5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, 6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. (QS.Almukminun[23]:5-6).Ayat ini jelas mengutarakan bahwa hubungan kelamin hanya dibolehkan kepada wanita yang berfungsi sebagai isteri atau jariah. Sedangkan wanita yang diambil dengan jalan mutah tidak berfungsi sebagai isteri atau sebagai jariah. Ia bukan jariah, karena akad mutah bukan akad nikah,

Hadits Rasulullah SAW,Wahai manusia, aku pernah membolehkan kamu melakukan (nikah) mutah dengan wanita. Kemudian Allah telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat. Oleh karena itu, jika masih ada yang memiliki wanita yang diperoleh melalui jalan mutah maka hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sedikitpun dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka. (HR Muslim)Jelaslah bahwa hadis ini menunjukkan bahwa nikah mutah telah di-nasakhkan untuk selamanya.Perbedaan nikah mutah dengan nikah biasa yaitu:[footnoteRef:30] [30: Rahmat Hakim, 2000, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, hlm. 31]

Pembatasan waktu, Tidak saling mewarisi, kecuali kalau disyaratkan, Lafazh ijab yang berbeda ("aku nikahi engkau, atau aku mut'ahkan engkau), Tidak ada talak, sebab sehabis kontrak perikahan itu putus, Tidak ada nafkah iddah.

BAB IIIPENUTUP1. Kesimpulan1. Pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk memenuhi tujuan hidup berumah tangga sebagai suami istri yang dengan memenuhi syarat dan rukunyang telah ditentukan oleh syariat Islam. Sabda Nabi Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu. (H.R Bukhari, Muslim).2. Mahar secara etimologi yang artinya maskwain. Secara terminologi mahar ialah, pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau, suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dsb). Hadist Nabi (BUKHARI - 4696) : Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id Telah menceritakan kepada kami Hammad dari Tsabit dan Syu'aib bin Al Habhab dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membebaskan Shafiyyah dan menjadikan pembebasnya itu sebagai maharnya3. Nikah mutah atau nikah muwaqqat atau nikah munqathi adalah nikah untuk jangka waktu tertentu. Lamanya bergantung pada permufakatan antara laki-laki dan wanita yang akan melaksanakannya, bisa sehari, seminggu, sebulan, setahun, dan seterunya. Tetapi nikah muah ini telah di hapus. (MUSLIM - 2502) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Umar telah menceritakan kepadaku Ar Rabi' bin Sabrah Al Juhani bahwa ayahnya telah menceritakan kepadanya bahwa dia pernah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (dalam Fathu Makkah), beliau bersabda: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya saya pernah mengizinkan kepada kalian nikah mut'ah terhadap wanita, dan sesungguhnya (mulai saat ini) Allah telah mengharamkannya sampai Hari Kiamat, oleh karena itu barangsiapa yang masih memiliki (wanita yang dimut'ah), maka ceraikanlah dia dan jangan kamu ambil kembali apa yang telah kamu berikan padanya." Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami 'Abdah bin Sulaiman dari Abdul Aziz bin Umar dengan isnad ini, dia berkata; saya pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri di antara rukun (Ka'bah) dan pintu (Ka'bah) seraya bersabda seperti hadits Ibnu Numair.SaranDemikianlah makalah yang dapat penulis sajikan, penulis menyadari bahwa makalah kami masih banyak kekeliruan, untuk itu penulis membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari Bapak pembimbing dan rekan-rekan serta para pembaca sekalian demi kebaikkan, dalam pembuatan makalah selanjutnya dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Aamiin.

DAFTAR PUSTAKAA. BukuAl-Asqalany,Al-Hafidh Imam Ibnu Hajar. 2011. Terjemahan Bulughul Maram. Semarang: PustakaAsghary, Hasri iba dan Masturi wadi. 1996. Perkawinan Dalam Syariat Islam. Jakarta, PT. Rineka CiptaAs Subkhi,Ali yusuf. 2010. Fiqh keluarga. Jakarta: AmzahBaqi,Muhammad Faud Abdul. 2008. Al-LuLu Wal Marjan. Jakarta: Pustaka as-Sunnah Dhozali,Abdul Rahmat. 2008. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Ghofur,Abdur Rahman. 2008. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media GroupHakim,Rahmat. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia Sayadi,Wajidi. 2010. Hadis Tarbawi Pesan-Pesan Nabi Saw Tentang Pendidikan. Yogyakarta: TerasSlamet,Abidin. 1999. Fiqih Munakahat 1. Bandung: Cv Pustaka SetiaB. InternetAmri. 2012. Hadist Tentang Pernikahan. Di akses Jumat, 06 Maret 2015, dari: https://amrikhan.wordpress.com Dewan Majelis Ulama Indonesia, 2014, Nikah Mutah, Di akses Kamis, 5 Maret 2015 (8.00 WIB) dari: http://mui.or.idFirdauz,Dochy. 2013. Nikah Mutah. Di akses Pada 5 Maret 2015 (11.09 WIB), dari: http://dochyfirdauz.blogspot.com Ibnu. 2009. Kumpulan Makalah dan Artikel. Di akses Jumat, 6 Maret 2015 (7.20 WIB) dari: http://makalah-ibnu.blogspot.com 6