Makalah Gizi Kkp

27
KEKURANGAN KALORI PROTEIN Pembimbing: dr. Rasita Sembiring Oleh: Alfina Rahmina R.D. 080100052 Sheila Nabila Asepty 080100116 Ardiana Annisa 080100171 Dira Wahyuni Siregar 080100174 Shalini Shanmugalingam 080100402 DEPARTEMEN ILMU GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2012 ii

Transcript of Makalah Gizi Kkp

KEKURANGAN KALORI PROTEIN

Pembimbing:

dr. Rasita Sembiring

Oleh:

Alfina Rahmina R.D. 080100052

Sheila Nabila Asepty 080100116

Ardiana Annisa 080100171

Dira Wahyuni Siregar 080100174

Shalini Shanmugalingam 080100402

DEPARTEMEN ILMU GIZI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2012

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia

dan rahmat-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini tepat pada

waktunya.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang

pengertian kekurangan kalori protein, cara mendiagnosa, serta tatalaksana pasien

dengan gagal ginjal terutamanya pengaturan diet protein yang optimal bagi para

penderita.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staff pengajar Departemen

Ilmu Gizi terutama dr. Rasita Sembiring atas segala bantuan yang telah diterima

selama penyusunan makalah ini. Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini

masih memiliki kekurangan dan jauh dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan

kemampuan penulis. Oleh karenanya, penulis mengharapkan saran dan kritik yang

membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Medan, 13 Juni 2012

Penulis

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................iii

DAFTAR ISI......................................................................................................................iv

BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................................6

1.1. Latar Belakang.................................................................................................6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................8

2.1.Kekurangan kalori protein......................................................................8

2.1.1. Definisi................................................................................................8

2.1.2. Epidemiologi ……………………………………………….....8

2.1.3. Klasifikasi...........................................................................................8

2.1.4. Etiologi.....…………………………………………………......9

2.1.5. Patogenesis.........................................................................................9

2.1.6. Gejala Klinis.......................................................................................11

2.1.7. Patofisiologi.....................................................................................11

2.1.8. Diagnosa …………………………………………...................13

2.1.9. Terapi Diet Rendah Protein...........................................................16

2.1.10. Prognosis........................................................................................19

BAB 3 KESIMPULAN & SARAN.................................................................................20

3.1. Kesimpulan.........................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................22

iv

5

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit KKP merupakan bentuk malnutrisi yang terdapat terutama pada anak-anak dibawah

umur 5 tahun dan kebanyakan di negara-negara yang sedang berkembang. Berdasarkan hasil

penyelidikan di 254 desa di seluruh Indonesia, Tarwotjo, dkk (1999), memperkirakan bahwa 30

% atau 9 juta diantara anak-anak balita menderita gizi kurang, sedangkan 3% atau 0,9 juta

diantara anak-anak balita menderita gizi buruk. Berdasarkan “Rekapitulasi Data Dasar Desa Baru

UPGK 1982/1983” menunjukkan bahwa prevalensi penderita KKP di Indonesia belum menurun.

Hasil pengukuran secara antropometri pada anak-anak balita dari 642 desa menunjukkan angka-

angka sebagai berikut: diantara 119.463 anak balita yang diukur, terdapat status gizi baik 57,1%,

gizi kurang 35,9%, dan gizi buruk 5,9%.

Tingginya prevalensi penyakit KKP disebabkan pula oleh faktor tingginya angka kelahiran.

Menurun Morley (1968) dalam studinya di Nigeria, insidensi kwashiorkor meninggi pada

keluarga dengan 7 anak atau lebih. Studi lapangan yang dilakukan oleh Gopalan (1964) pada

1400 anak prasekolah menunjukkan bahwa 32% diantara anak-anak yang dilahirkan sebagai

anak keempat dan berikutnya memperlihatkan tanda-tanda KKP yang jelas, sedangkan anak-

anak yang dilahirkan terlebih dahulu hanya 17% memperlihatkan gejala KKP. Ia berkesimpulan

bahwa 62% dari semua kasus kekurangan gizi pada anak prasekolah terdapat pada anak-anak

keempat dan berikutnya.

Mortalitas KKP berat dimana-mana dilaporkan tinggi. Hasil penyelidikan yang dilakukan pada

tahun 1955/1956 (Poey, 1957) menunjukkan angka kematian sebanyak 55%, 35% diantara

mereka meninggal dalam perawatan minggu pertama, dan 20% sesudahnya.

Menurut WHO, 150 juga anak berumur di bawah 5 tahun menderita KKP dan 49% dari 10,4 juga

anak berumur di bawah 5 tahun meninggal karena KKP yang kebanyakan terjadi di negara-

negara yang sedang berkembang.

5

6

KKP merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. KKP disebabkan karena defisiensi

macro nutrient (zat gizi makro). Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari

defisiensi macro nutrient kepada defisiensi micro nutrient, namun beberapa daerah di Indonesia

prevalensi KKP masih tinggi (> 30%) sehingga memerlukan penanganan intensif dalam upaya

penurunan prevalensi KKP (Aritonang, 2008).

Penyakit akibat KKP ini dikenal dengan Kwashiorkor, Marasmus, dan Marasmic Kwashiorkor.

Kwashiorkor disebabkan karena kurang protein. Marasmus disebabkan karena kurang energi dan

Manismic Kwashiorkor disebabkan karena kurang energi dan protein. KKP umumnya diderita

oleh balita dengan gejala hepatomegali (hati membesar). Tanda-tanda anak yang mengalami

Kwashiorkor adalah badan gemuk berisi cairan, depigmentasi kulit, rambut jagung dan muka

bulan (moon face). Tanda-tanda anak yang mengalami Marasmus adalah badan kurus kering,

rambut rontok dan flek hitam pada kulit (Aritonang, 2008).

Adapun yang menjadi penyebab langsung terjadinya KKP adalah konsumsi yang kurang

dalam jangka waktu yang lama. Pada orang dewasa, KKP timbul pada anggota keluarga

rumahtangga miskin olek karena kelaparan akibat gagal panen atau hilangnya mata pencaharian.

Bentuk berat dari KKP di beberapa daerah di Jawa pernah dikenal sebagai penyakit busung lapar

atau HO (Honger Oedeem) (Aritonang, 2008).

Menurut perkiraan Reutlinger dan Hydn, saat ini terdapat ± 1 milyar penduduk dunia yang

kekurangan energi sehingga tidak mampu melakukan aktivitas fisik dengan baik. Disamping itu

masih ada ± 0,5 milyar orang kekurangan protein sehingga tidak dapat melakukan aktivitas

minimal dan pada anak-anak tidak dapat menunjang terjadinya proses pertumbuhan badan secara

normal(Aritonang, 2008) .

Di Indonesia masalah kekurangan pangan dan kelaparan merupakan salah satu masalah pokok

yang dihadapi memasuki Repelita I dengan banyaknya kasus HO dan kematian di beberapa

daerah. Oleh karena itu tepat bahwa sejak Repelita I pembangunan pertanian untuk mencukupi

kebutuhan pangan penduduk merupakan tulang punggung pembangunan nasional kita. Bahkan

sejak Repelita III pembangunan pertanian tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan produksi

pangan dan meningkatkan pendapatan petani, tetapi secara eksplisit juga untuk meningkatkan

keadaan gizi masyarakat (Aritonang, 2008).

6

7

BAB II

ISI

Definisi

Kekurangan kalori protein adalah defisiensi gizi terjadi pada anak yang kurang mendapat

masukan makanan yang cukup bergizi, atau asupan kalori dan protein kurang dalam waktu yang

cukup lama (Ngastiyah, 1997).

Kurang kalori protein (KKP) adalah suatu penyakit gangguan gizi yang dikarenakan adanya

defisiensi kalori dan protein dengan tekanan yang bervariasi pada defisiensi protein maupun

energi (Sediatoema, 1999).

Epidemiologi

KKP adalah gangguan nutrisi yang penting di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia,

karena sebagai salah satu penyebab kematian dan kecacatan anak-anak (Hendricks, 2009).

KKP merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Besar dan luasnya masalah KKP

pada balita di tingkat propinsi dan nasional sudah tersedia secara periodik melalui SUSENAS

modul kesehatan dan gizi. Analisis masalah KKP pada balita berdasarkan data Susenas 1989,

1992, dan 1995 menunjukkan bahwa secara keseluruhan terdapat penurunan prevalensi KKP

total dari 47,8% tahun 1989 menjadi 41,7% tahun 1982 dan 35% pada tahun 1995. Di sisi lain,

7

8

prevalensi gizi lebih meningkat dari 1,1% tahun 1989 menjadi 2,4% tahun 1992 dan 4,6% pada

tahun 1995 (Aritonang, 2008).

Keadaan gizi balita yang tinggal di pedesaan cenderung lebih buruk dibanding balita yang

tinggal di perkotaan; dan keadaan gizi balita perempuan relatif lebih baik dibanding balita laki-

laki (Aritonang, 2008).

Etiologi

Penyebab langsung dari KKP adalah defisiensi kalori protein dengan berbagai tekanan, sehingga

terjadi spektrum gejala-gejala dengan berbagai nuansa dan melahirkan klasifikasi klinik

(kwashiorkor, marasmus, marasmus kwashiorkor) (Aritonang, 2008).

Penyebab tak langsung dari KKP sangat banyak sehingga penyakit ini disebut sebagai penyakit

dengan causa multifactoral (Aritonang, 2008).

Berikut ini merupakan sistem holistik penyebab multifactoral menuju ke arah terjadinya KKP.

Ekonomi negara rendahPendidikan umum kurang

Produksi bahan pangan rendahHygiene rendah

Pekerjaan rendahPasca panen kurang baik

Sistem perdagangan dan distribusi tidak lancar

Daya beli rendahPersediaan pangan kurang

Penyakit infeksi dan investasi cacing

Konsumsi kurangAbsorpsi tergangguUtilisasi terganggu

8

9

K K PPengetahuan gizi kurang

Anak terlalu banyak

Etiologi akibat primer oleh karena tidak cukupnya asupan energi, protein maupun keduanya, dan

akibat sekunder oleh karena penyakit tertentu yang mengakibatkan intake yang tidak optimal,

absorpsi maupun penggunaan yang tidak adekuat serta meningkatnya kebutuhan karena

kehilangan zat gisi maupun meningkatnya penggunaan energi. KKP adalah gangguan nutrisi

yang penting di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, karena sebagai salah satu

penyebab kematian dan kecacatan anak-anak. KKP sekunder sering terjadi akibat adanya

penyakit akut maupun kronis (Hendricks, 2009). .

Pada tingkat makro, besar dan luasnya masalah KKP sangat erat kaitannya dengan keadaan

ekonomi secara keseluruhan. Peningkatan angka prevalensi KKP pada balita, dari data Susenas,

seiring sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dengan pendapatan di bawah garis

kemiskinan (Hendriks, 2009).

Pada tingkat mikro (rumah tanggat/individu), tingkat kesehatan terutama penyakit infeksi yang

juga menggambarkan keadaan sanitasi lingkungan merupakan faktor penentu status gizi.

Kesalahan memberikan makanan pada bayi mempunyai pengaruh kuat terjadinya KKP pada

awal kehidupan balita. Seringkali bayi tidak memperoleh ASI yang adekuat. Soal pemberian

makanan pendamping ASI (MP-ASI) terlalu dini atau terlambat dan jumlah serta mutu MP-ASI

tidak cukup akan membuat pertumbuhan balita terhambat. Lebih-lebih MP-ASI buatan pabrik

yang penyebarannya sudah sangat meluas di pedesaan, banyak digunakan oleh ibu-ibu dengan

jumlah yang tidak sesuai dengan kecukupan gizinya (Hendriks, 2009) .

Konsumsi makan bagi seseorang yang rawan terhadap kekurangan gizi (balita, ibu hamil)

dipengaruhi oleh pola konsumsi keluarga dan pola distribusi makan antar anggota keluarga.

Selanjutnya pola distribusi makan antar anggota keluarga dipengaruhi oleh banyak faktor.

Beberapa faktor penting yang diduga ada kaitannya dengan kebijaksanaan ekonomi makro

adalah tingkat upah kerja, alokasi waktu untuk keluarga, dll. Dalam hal ini peranan wanita atau

ibu sangat penting. Meningkatnya kesempatan kerja wanita dapat mengurangi waktu untuk

9

10

pemeliharaan anak, kurang pemberian ASI, meskipun hal tersebut belum tentu berpengaruh

negatif pada keadaan gizi bayi (Hendriks, 2009).

Pendapatan rumah tangga merupakan salah satu faktor yang menentukan konsumsi makan

keluarga. Disamping itu konsumsi makan keluarga juga dipengaruhi oleh harga pangan dan

harga bukan pangan. Rumah tangga berpendapatan rendah 60-80% dari pendapatannya

dibelanjakan untuk makan. Harga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pendapatan

riil rumahtangga, sedangkan pendapatan riil rumahtangga disamping ditentukan oleh tingkat

harga juga oleh jumlah pendapatan nominal, sementara tingkat harga ditentukan, oleh tingkat

inflasi dan harga relatif antar berbagai barang dan jasa (Aritonang,2008).

Klasifikasi

Berdasarkan berat dan tidaknya, KKP dibagi menjadi (Aritonang, 2008):

KKP ringan/sedang disebut juga sebagai gizi kurang (undernutrition) ditandai oleh

adanya hambatan pertumbuhan.

KKP berat, meliputi:

Kwashiorkor

Marasmus

Marasmik-kwashiorkor.

Manifestasi KKP tercermin dalam bentuk fisik tubuh yang apabila diukur secara Antropometri

(TB/U, BB/U, BB/TB) kurang dari nilai baku yang dianjurkan (Hendricks, 2009).

).

Klasifikasi Kurang Kalori Protein (Hendricks, 2009)

Normal Mild Moderate Severe

10

11

BB/TB 110-90 90-85 85-75 < 75

BB/U 110-90 90-81 80-61 < 60

BB/U > 90 90-75 75-61 < 60

TB/U > 95 98-87 87-80 < 80

BB/TB 90 90-80 80-70 < 70

Patofisiologi dan Manifestasi Klinis

Perjalanan penyakit Kurang Kalori Protein (KKP) yang terdiri dari marasmus (kurang protein

dan kalori) dan kwashiorkor (kurang protein) diawali dengan adanya ketidakseimbangan pasokan

protein dan kalori dengan kebutuhan sebenarnya. Penyakit yang biasanya melanda anak-anak di

negara miskin dan berkembang ini disebabkan oleh selain dari kurangnya pasokan sumber nutrisi

terpenting seperti protein, karbohidrat dan lemak sebagai penyebab utama, infeksi yang kronis

dan tergolong berat, khususnya yang disertai dengan diare, juga meningkatkan angka kejadian

KKP (Dixone, 2008).

Anak-anak dengan KKP kronis, tergolong kecil untuk umur dan cenderung tidak aktif secara

fisik, apatis, dan mudah terkena infeksi. Anoreksia dan diare juga sering dijumpai pada anak

yang mengalami KKP (Behrman, 2007).

Pada KKP akut, anak tampak kecil, sangat kurus tampak seperti tulang yang hanya dilapisi kulit

tanpa adanya jaringan lemak di bawah kulit.2 Kulit kering, dan “baggy” seperti, rambut jarang

dan berwarna coklat kusam atau kuning kemerahan. Temperatur tubuh rendah, denyut nadi dan

frekuensi pernapasan melambat. Mereka juga tampak lemah, irritable, dan biasanya lapar,

walaupun ada beberapa yang mengalami anoreksia disertai mual dan muntah (Behrman, 2007).

Pada penderita yang mengalami KKP, gejala klinis yang khas untuk marasmus adalah triangular

face, amenore primer atau sekunder, perut yang melar (akibat dari hipotonus otot abdomen),

prolapsus anal atau rektal (akibat dari kehilangan lemak perianal). Sedangkan pada penderita

kwashiorkor manifestasi klinis yang sering dijumpai adalah edema, perubahan pada warna kulit

11

12

dan rambut, anemia, hepatomegali, letargi, defisiensi imunitas yang berat, dan kematian yang

cepat (Behrman, 2007)

Edema yang tidak terjadi pada penderita marasmus sedangkan sering dijumpai pada penderita

kwashiorkor masih sering diperdebatkan.1 Protein yang diketahui sebagai pengatur tekanan

onkotik plasma, akan hilang fungsinya jika tidak mencapai kadar yang sesuai dalam pembuluh

darah, sehingga menyebabkan edema dan asites. Tetapi pada penderita kwashiorkor lebih banyak

mengalami edema dan asites dipercaya akibat anemia berat yang dialami oleh penderita karena

dari beberapa penelitian didapati bahwa konsentrasi total protein dalam plasma pada penderita

marasmus tidak jauh berbeda dengan penderita kwashiorkor (Behrman, 2007).

Organ vital yang sering mengalami degeneradsi pada penderita KKP adalah hati dan jantung.

Akibatnya akan terjadi insufisiensi pada otot-otot jantung, yang akhirnya akan menjadi gagal

jantung. Hilangnya lemak subkutan menyebabkan anak-anak penderita KKP tidak memiliki

kemampuan untuk pengaturan suhu tubuh yang baik dan menurunkan cadangan air. Hal ini akan

berujung pada dehidrasi, hipotermi dan hipoglikemi jika dibandingkan dengan anak-anak yang

sehat. Pada KKP berat juga terjadi atrofi vili-vili usus halus sehingga penyerapan nutrisi pun

tidak baik yang akhirnya memperparah keadaan si penderita (Behrman, 2007).

Manifestasi Klinis pada Malnutrisi

Marasmus Kwashiorkor

Gagal tumbuh ++ +

Severely underweight ++ -

Kehilangan massa otot + ++

Edema - +

Apatis, lemah + ++

Iritable + +

Ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia) + +

Hipoalbuminemia - +

Anemia - + ++

Perlemakan hati - +

12

13

Suhu tubuh menurun + ++

Flakey pain dermatitis - +

Tanda-tanda dari KKP dibagi menjadi 2 macam yaitu (Pudjiadi, 2005):

1. KKP Ringan

- Pertumbuhan linear terganggu.

- Peningkatan berat badan berkurang, terhenti, bahkan turun.

- Ukuran lingkar lengan atas menurun.

- Maturasi tulang terlambat.

- Ratio berat terhadap tinggi normal atau cenderung menurun.

- Anemia ringan atau pucat.

- Aktifitas berkurang.

- Kelainan kulit (kering, kusam).

- Rambut kemerahan.

1. KKP Berat

- Gangguan pertumbuhan.

- Mudah sakit.

13

14

- Kurang cerdas.

- Jika berkelanjutan menimbulkan kematian

Pemeriksaan (Behrman, 2007)

Menurut WHO untuk pemeriksaan atau pengkajian pada pasien dengan kekurangan kalori

protein (KKP) sebagai berikut:

1. Pemeriksaan Fisik

1) Kaji tanda-tanda vital.

2) Kaji perubahan status mental, pada anak apakah anak nampak cengeng atau apatis.

3) Pengamatan timbulnya gangguan gastrointestinal, untuk menentukan kerusakan fungsi

hati, pankreas dan usus.

4) Menilai secara berkelanjutan adanya perubahan warna rambut dan keelastisan kulit

dan membran mukosa.

5) Pengamatan pada output urine.

6) Kaji perubahan pola eliminasi.

Perhatikan apakah ada ditemukan gejala seperti diare, perubahan frekuensi BAB, dan

di tandai adanya keadaan lemas dan konsistensi BAB cair.

7) Kaji secara berkelanjutan asupan makanan tiap hari.

Perhatikan apakah ada dijumpainya gejala mual dan muntah dan biasanya ditandai

dengan penurunan berat badan.

8) Pengkajian pergerakan anggota gerak/aktivitas anak dengan mengamati tingkah laku

anak melalui rangsang.

Kemudian untuk menegakkan diagnose pada Kekurangan Kalori Protein ini juga bisa didukung

dengan pemeriksaan penunjang :

2. Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan Laboratorium

14

15

- Pemeriksaan darah tepi

untuk memperlihatkan apakah dijumpai anemia ringan sampai sedang, umumnya

pada KKP dijumpai berupa anemia hipokronik atau normokromik.

- Pada uji faal hati:

Pada pemeriksaan uji faal hati tampak nilai albumin sedikit atau amat rendah,

trigliserida normal, dan kolesterol normal atau merendah.

- Kadar elektrolit K rendah, kadar Na, Zn dan Cu bisa normal atau menurun.

- Kadar gula darah umumnya rendah. (normalnya Gula darah puasa : 70-110 mg/dl,

Waktu tidur : 110-150 mg/dl, 1 jam setelah makan < 160 mg/dl, 2 jam setelah makan

: < 125 mg / dl

- Asam lemak bebas normal atau meninggi.

- Nilai beta lipoprotein tidak menentu, dapat merendah atau meninggi.

- Kadar hormon insulin menurun, tetapi hormon pertumbuhan dapat normal, merendah

maupun meninggi.

- Analisis asam amino dalam urine menunjukkan kadar 3-metil histidin meningkat dan

indeks hidroksiprolin menurun.

- Pada biopsi hati hanya tampak perlemakan yang ringan, jarang dijumpai dengan

kasus perlemakan berat.

- Kadar imunoglobulin serum normal, bahkan dapat meningkat.

- Kadar imunoglobulin A sekretori rendah.

- Penurunan kadar berbagai enzim dalam serum seperti amilase, esterase, kolin

esterase, transaminase dan fosfatase alkali. Aktifitas enzim pankreas dan xantin

oksidase berkurang.

- Defisiensi asam folat, protein, besi.

- Nilai enzim urea siklase dalam hati merendah, tetapi kadar enzim pembentuk asam

amino meningkat.

2) Pemeriksaan Radiologik

Pada pemeriksaan radiologik tulang memperlihatkan osteoporosis ringan

PENATALAKSANAAN KKP

15

16

Prinsip pengobatan MEP adalah (Junia, 2009):

1) Memberikan makanan yang mengandung banyak protein bernilai biologik tinggi, tinggi

kalori, cukup cairan, vitamin dan mineral.

2) Makanan harus dihidangkan dalam bentuk yang mudah dicerna dan diserap.

3) Makanan diberikan secara bertahap, karena toleransi terhadap makanan sangat rendah.

Protein yang diperlukan 3-4 gr/kg/hari, dan kalori 160-175 kalori.

4) Antibiotik diberikan jika anak terdapat penyakit penyerta.

5) Tindak lanjut berupa pemantauan kesehatan penderita dan penyuluhan gizi terhadap

keluarga.

Dalam keadaan dehidrasi dan asidosis pedoman pemberian cairan parenteral adalah

sebagai berikut:

1) Jumlah cairan adalah 200 ml/kgBB/hari untuk kwashiorkor atau marasmus kwashiorkor,

dan 250 ml/kg BB/hari untuk marasmus.

2) Jenis cairan yang dipilah adalah Darrow-glukosa aa dengan kadar glukosa dinaikkan

menjadi 10% bila terdapat hipoglikemia.

3) Cara pemberiannya adalah sebanyak 60 ml/kg BB diberikan dalam 4-8 jam pertama,

kemudian sisanya diberikan dalam waktu 16-20 jam berikutnya.

Makanan tinggi energi tinggi protein (TETP) diolah dengan kandungan protein yang

dianjurkan adalah 3,0-5,0 gr/kg BB dan jumlah kalori 150-200 kkal/kg BB sehari.

Asam folat diberikan per oral dengan variasi dosis antara 3×5 mg/hari pada anak kecil

dan 3×15 mg/hari pada anak besar. Kebutuhan kalium dipenuhi dengan pemberian KCL oral

sebanyak 75-150mg/kg BB/hari (ekuivalen dengan 1-2 mEq/kg BB/hari); bila terdapat tanda

hipokalemia diberikan KCl secara intravena dengan dosis intramuskular atau intravena dalam

16

17

bentuk larutan MG-sulfat 50% sebanyak 0,4-0,5 mEq/kgBB/hari selama 4-5 hari pertama

perawatan.

a. Prinsip penanganan anak dengan kurang gizi adalah (Junia, 2009)

1. Memberikan makanan yang mengandung banyak protein, tinggi kalori, cukup cairan,

vitamin dan mineral.

2. Makanan harus dihidangkan dalam bentuk yang mudah diserap dan dicerna

3. Makanan diberikan secara bertahap

4. Penyakit- penyakit lain yang menyertai harus ditangani

5. Tindak lanjut bersehatan berupa pemantauan kesehatan penderita dan penyuluhan gizi

terhadap keluarga.

b. Terapi dietik (Junia, 2009)

3 tahap cara pemberian makanan pada KKP adalah

Tahap Penyesuaian (Junia, 2009)

1. Makanan yang diberikan diawal lebih encer, lebih cair

2. Makanan yang diberikan awal bernilai kalori dan protein rendah , lalu bertahap ditingkatkan

kalori 150 – 220 kkal/kgBB sehari

Pada aplikasinya penderita KEP dibagi dua golongan menurut berat badan , yaitu

1. Berat badan < 7 kg

Pada penderita dengan berat badan dibawah 7 kg jenis makanan yang diberikan adalah makanan

bayi. Pada awal perawatan makanan utama adalah susu yng diencerkan ( 1/3, 2/3, 3/3) atau susu

formula rendah laktosa. Untuk tambahan kalori dapat diberikan glukosa 2 – 5 % dan tepung 2 %.

2. Berat badan > 7 kg

Pada penderita dengan berat badan diatas 7kg jenis makanan yang diberikan adalah makanan

anak umur satu tahun. Pemberian kalori 50 kkal/kgBB, protein 0,1 g/kgBB, cair200 ml/kgBB,

makanan cair kental ( 1/3 , 2/3, 3/3). Sumber makanan utama adalah susu dengan tambahan

kalori glukosa 5%.

Tahap Penyembuhan (Junia, 2009)

17

18

Pada tahap penyembuhan, toleransi terhadap makanan dan nafsu makan sudah membaik. Ien

Pemberian makanan dapat ditingkatkan secara berangsur setiap 1-2 hari. Konsumsi kalori 150 –

200 kkal/kgBB dan protein 3,0 – 5,0 g/kgBB.

Tahap Lanjutan (Junia, 2009)

Pada tahap lanjutan, pemberian makanan kembali ke kebutuhan nutrien baku.

C. Penatalaksanaan Marasmik dan Kwarshiorkor

1. Pemberian makanan tinggi energi dan tinggi protein

2. Energi 150 kkal/kgBB, protein 3 – 5 g/kgBB diberikan bertahap.

3. Tambahan KCL 75 – 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam tiga dosis, MgSO4 50%

sebanyak 0,25 ml/kgBB/hari secara IM.

KOMPLIKASI KKP (Muller, 2005)

1. Defisiensi vitamin A (xerophtalmia)

Vitamin A berfungsi pada penglihatan (membantu regenerasi visual purple bila mata

terkena cahaya).

Jika tidak segera teratasi ini akan berlanjut menjadi keratomalasia (menjadi buta).

2. Defisiensi Vitamin B1 (tiamin) disebut Atiaminosis.

Tiamin berfungsi sebagai ko-enzim dalam metabolisme karbohidrat. Defisiensi vitamin

B1 menyebabkan penyakit beri-beri dan mengakibatkan kelainan saraf, mental dan

jantung.

3. Defisiensi Vitamin B2 (Ariboflavinosis)

Vitamin B2/riboflavin berfungsi sebagai ko-enzim pernapasan. Kekurangan vitamin B2

menyebabkan stomatitis angularis (retak-retak pada sudut mulut, glositis, kelainan kulit

dan mata.

4. Defisiensi vitamin B6 yang berperan dalam fungsi saraf.

18

19

5. Defisiensi Vitamin B12

Dianggap sebagai faktor anti anemia dalam faktor ekstrinsik. Kekurangan vitamin B12

dapat menyebabkan anemia pernisiosa.

6. Defisit Asam Folat

Menyebabkan timbulnya anemia makrositik, megaloblastik, granulositopenia,

trombositopenia.

7. Defisiensi Vitamin C

Menyebabkan skorbut (scurvy), mengganggu integrasi dinding kapiler. Vitamin C

diperlukan untuk pembentukan jaringan kolagen oleh fibroblas karena merupakan bagian

dalam pembentukan zat intersel, pada proses pematangan eritrosit, pembentukan tulang

dan dentin.

8. Defisiensi Mineral seperti Kalsium, Fosfor, Magnesium, Besi, Yodium

Kekurangan yodium dapat menyebabkan gondok (goiter) yang dapat merugikan tumbuh

kembang anak.

9. Tuberkulosis paru dan bronkopneumonia.

10. Noma sebagai komplikasi pada KEP berat

Noma atau stomatitis merupakan pembusukan mukosa mulut yang bersifat progresif

sehingga dapat menembus pipi, bibir dan dagu. Noma terjadi bila daya tahan tubuh

sedang menurun. Bau busuk yang khas merupakan tanda khas pada gejala ini

(Muller, 2005).

19

20

BAB III

KESIMPULAN

Penyakit KKP merupakan bentuk malnutrisi yang terdapat terutama pada anak-anak dibawah

umur 5 tahun dan kebanyakan di negara-negara yang sedang berkembang. Berdasarkan hasil

penyelidikan di 254 desa di seluruh Indonesia, Tarwotjo, dkk (1999), memperkirakan bahwa 30

% atau 9 juta diantara anak-anak balita menderita gizi kurang, sedangkan 3% atau 0,9 juta

diantara anak-anak balita menderita gizi buruk. Berdasarkan “Rekapitulasi Data Dasar Desa Baru

UPGK 1982/1983” menunjukkan bahwa prevalensi penderita KKP di Indonesia belum menurun.

Hasil pengukuran secara antropometri pada anak-anak balita dari 642 desa menunjukkan angka-

angka sebagai berikut: diantara 119.463 anak balita yang diukur, terdapat status gizi baik 57,1%,

gizi kurang 35,9%, dan gizi buruk 5,9%.

Manifestasi KKP tercermin dalam bentuk fisik tubuh yang apabila diukur secara Antropometri.

Perjalanan penyakit Kurang Kalori Protein (KKP) yang terdiri dari marasmus (kurang protein

dan kalori) dan kwashiorkor (kurang protein) diawali dengan adanya ketidakseimbangan pasokan

protein dan kalori dengan kebutuhan sebenarnya (Behrman, 2007) (Hemdricks, 2009).

Menurut WHO untuk pemeriksaan atau pengkajian pada pasien dengan kekurangan kalori

protein (KKP) adalah dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang(baik pemeriksaan

lab maupun radiologik) (Behrman, 2007).

Kekurangan kalori protein (KKP) berat dapat menimbulkan komplikasi pada kulit dan mata

(Markum, 2006) .

20