Makalah Fiqih II Neng Siti

24
MAKALAH FIQIH II (Muamalah; Syirkah dan Bagi Hasil, Ghasab. Al-Ariyyah) Dosen Pengampu: Oleh Nama : Jawir Julfikar NIM : A1001187 SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-FATAH BOGOR - 2012

Transcript of Makalah Fiqih II Neng Siti

Page 1: Makalah Fiqih II Neng Siti

MAKALAH FIQIH II

(Muamalah; Syirkah dan Bagi Hasil, Ghasab. Al-Ariyyah)

Dosen Pengampu:

Oleh

Nama : Jawir Julfikar

NIM : A1001187

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-FATAH

BOGOR - 2012

Page 2: Makalah Fiqih II Neng Siti

PENDAHULUAN

Fiqih Islam telah mencakup seluruh sisi kehidupan individu dan masyarakat, baik perekonomian, sosial kemasyarakatan, serta lainnya. Para ulama mujtahid dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan yang setelah mereka tidak henti-hentinya mempelajari semua yang dihadapi kehidupan manusia dari fenomena dan permasalahan tersebut di atas dasar ushul syariat dan kaidah-kaidahnya. Selanjutnya, mereka menjelaskan hukum-hukum permasalahan tersebut, kemudian membukukannya dan mengamalkannya. Bahkan sebagian ahli Fiqih telah membahas permasalahan yang belum terjadi di zamannya dan ternyata dapat dimanfaatkan pada masa-masa setelah mereka, ketika lemahnya negeri-negeri Islam dan kaum muslimin dalam seluruh urusannya, termasuk juga masalah Fiqih seperti di zaman sekarang ini.

Fiqih Islam merupakan satu medan ilmu syar’i yang terpenting dan menjadi buah seluruh ilmu syariat, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnul Jauzi,

Fiqih memiiliki kedudukan yang mulia. Para ulama pun bersemangat dalam mempelajari Fiqih dan membukukan permasalahan-permasalahannya, hingga akhirnya mereka meletakkan dasar dan kaidah dalam semua bidang ilmu Fiqih, khususnya Fiqih muamalah yang demikian luasnya. Dengan bekal tersebut, kaidah dasar yang ditulis dan dibakukan para ulama ini kita dapat mengetahui dan memahami banyak sekali permasalahan yang bersinggungan langsung dan tidak langsung dalam kehidupan kita. Penulis memohon petunjuk dan bantuan dari Allah dan berharap dapat memberikan manfaat serta faidah untuk diri penulis sendiri khususnya dan para ikhwan yang membaca dan mendengarkan kajian ini. Mudah-mudahan harapan tersebut dapat dikabulkan Allah dan terwujud dalam bentuk yang nyata.

Page 3: Makalah Fiqih II Neng Siti

1. Latar Belakang

Sudah menjadi kewajiban setiap muslim yang akan menjalani amalan untuk memiliki dan mengenal hukum-hukum syariat Islam yang berkaitan dengan amalan tersebut. Kita semua tidak dapat lepas dari pengelolaan dan penggunaan harta dalam kehidupan sehari-hari. Pertukaran barang, uang, dan jasa menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan ini.

Di samping itu, menuntut ilmu syar’i merupakan satu ibadah besar bila disertai niat yang ikhlas dan pengamalan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang berjalan menempuh satu perjalanan mencari ilmu, niscaya Alah akan membukakan jalan menuju surga baginya. Sungguh, malaikat meletakkan sayap-sayapnya karena ridha pada penuntut ilmu, dan seorang alim (yang berilmu) akan dimintai ampunan oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan-ikan di air. Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya berarti telah mengambil bagian yang sempurna.” (Hr. Tirmidzi)

2. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini sebagai salah satu tugas dari mata kuliah Fiqih Islam II guna mendapatkan nilai dan memenuhi persyaratan untuk mengikuti Ujian Akhir Semester Gasal tahun ajaran 2011-2012 yang di disyaratkan oleh dosen mata kuliah terkait.

3. Pemilihan Judul

Pemilihan judul dan isi materi yang dibahas dalam makalah ini adalah hasil kesepakatan bersama antara mahasiswa- mahasiswa KPI 3 dan Dosen terkait, yang melakukan pembagian sub judul materi sehingga saling melengkapi dan memudahkan para mahasiswa dalam memahami materi Fiqih Muamalah.

Page 4: Makalah Fiqih II Neng Siti

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang 22. Tujuan penulisan 23. Pemilihan judul 2

DAFTAR ISI 3

BAB II

PEMBAHSAN

A. KERJASAMA (SYIRKAH) DAN BAGI HASIL DALAM ISLAM

1. SYIRKAH 4

a. Pengertian dan Hukum Syirkah 4b. Rukun dan Syarat Syirkah 5c. Macam- macam Syirkah 5

2. BAGI HASIL 6

Macam-macam bagi hasil 6

B. GHASAB

1. Definisi Ghasab 92. Dasar Hukum Ghasab 103. Hukuman orang yang Ghasab 114. Sulitnya menghindari Ghasab 12

C. HUKUM PINJAM MEMINJAM (AL ARIYYAH) 14

BAB II

KESIMPULAN 15

Page 5: Makalah Fiqih II Neng Siti

DAFTAR PUSTAKA 17

Page 6: Makalah Fiqih II Neng Siti

KERJASAMA (SYIRKAH) DAN BAGI HASIL DALAM ISLAM

A. SYIRKAH

a. Pengertian dan Hukum Syirkah

Secara bahasa kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Sedangkan menurut istilah, syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan. Hukum syirkah sendiri adalah mubah. Nabi shallahu ‘alahi wa sallam telah mengizinkan orang muslim untuk bermu'amalah secara syirkah. Hal ini sesuati dengan sabda beliau yang telah diriwayatkan Abu Hurairah ra sebagai berikut:

Dari Abi Hurairah, dia berkata, Rasulullah shallahu ‘alahi wa sallam bersabda, Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman, “Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang bersyirkah selama salah satu dari keduanya tidak mengkhianati rekannya yang lain. Kalau salah satunya berkhianat, maka Aku keluar dari keduanya.” (HR. Al- Baihaqi dan ad- Daruquthni).

Imam al-Bukhiri telah meriwayatkan di dalam kitab Shahihnya bahwa Abul Minhal pernah mengatakan bahwa dia dan orang yang telah melakukan syirkah dengannya membeli suatu barang dengan cara tunai dan kredit. Kemudian al- Barra’ bin 'Azib datang menjumpai mereka. Akhirnya mereka pun bertanya kepadanya mengenai hal tersebut. Dia pun menjawab bahwa rekannya menjadi orang yang menjalin syirkah dengannya. Kemudian mereka berdua bertanya kepada Nabi shallahu ‘alahi wa sallam mengenai transaksi itu. Ternyata Rasulullah shallahu ‘alahi wa sallam bersabda,Dari Utsman, yaitu bin al-Aswad, dia berkata, aku diberitahu oleh Sulaiman bin Abi Muslim,…Lantas beliau bersabda, “Barang yang (diperoleh) dengan cara tunai silakan kalian ambil. Sedangkan yang (diperoleh) dengan cara kredit, silakan kalian kembalikan.” (HR. Al- Bukhari).

Mu'amalah dengan cara syirkah boleh dilakukan antara sesama muslim ataupun antara orang Islam dengan orang non- muslim. Seorang muslim boleh melakukan syirkah dengan orang Nashrani, Yahudi atau orang non- muslim lainnya. Imam Muslim pernah meriwayatkan hadis dari 'Abdullah bin 'Umar sebagai berikut: Rasulullah shallahu ‘alahi wa sallam telah menyerahkan kebun kurma kepada orang- orang Yahudi Khaibar untuk digarap dengan modal harta mereka. Dan beliau mendapat setengah bagian dari hasil panennya.” (HR. Muslim).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum melakukan syirkah dengan orang Yahudi, Nashrani atau orang non- muslim yang lain adalah mubah. Hanya saja, orang muslim tidak boleh melakukan syirkah dengan orang non- muslim untuk menjual menjual barang- barang yang haram, seperti minuman keras, babi, dan benda haram lainnya. Karena

Page 7: Makalah Fiqih II Neng Siti

bagaimanapun juga, Islam tidak membenarkan jual beli barang- barang yang haram, baik secara individu maupun secara syirkah.

b. Rukun dan Syarat Syirkah

Adapun rukun syirkah secara garis besar ada tiga, yaitu:

1. Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani). Syarat orang yang melakukan akad adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta). Sebab hak pengelolaan harta bagi orang yang tidak memiliki kecakapan berada di bawah walinya.

2. Obyek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi yang mencakup pekerjaan atau modal. Adapun syarat pekerjaan atau benda yang dikelola dalam syirkah harus halal dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan. Dengan demikian, keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarik (mitra usaha).

3. Akad atau yang disebut juga dengan istilah shighat. Adapun syarat sah akad harus berupa tasharruf, yaitu adanya aktivitas pengelolaan.

c. Macam- macam Syirkah

Syirkah 'Inan

Syirkah 'inan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing- masing memberi konstribusi kerja (amal) dan modal (mal). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil sunnah dan ijma' sahabat. Dalam syirkah jenis ini, modalnya disyaratkan harus berupa uang. Sementara barang seperti rumah atau mobil yang menjadi fasilitas tidak boleh dijadikan modal, kecuali jika barang tersebut dihitung nilainya pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan dan kerugian ditanggung oleh masing- masing syarik (mitra usaha) berdasarkan porsi modal. Jika masing- masing modalnya 50%, maka masing- masing menanggung kerugian sebesar 50%.

Syirkah Abdan

Syirkah abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing- masing hanya memberikan konstribusi kerja (amal), tanpa konstribusi modal (amal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti penulis naskah) ataupun kerja fisik (seperti tukang batu). Syirkah ini juga disebut syirkah 'amal. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal dan tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya berburu anjing. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan, porsinya boleh sama atau tidak sama di antara syarik (mitra usaha).

Page 8: Makalah Fiqih II Neng Siti

Syirkah Wujuh

Disebut syirkah wujuh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak yang sama- sama memberikan konstribusi kerja (amal) dengan pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal). Dalam hal ini, pihak yang memberikan kontribusi kerja adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam mudhdrabah sehingga berlaku ketentuan- ¬ketentuan mudbdrabah padanya. Namun ada juga tipe syirkah wujuh yang melibatkan antara dua pihak atau lebih yang bersyirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit.

Syirkah Mufawadhah

Syirkah Mufawadbah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas.

B. BAGI HASIL

Macam-macam bagi hasil

Yang dimaksud dengan macam-macam bagi hasil dalam pembahasan ini, hanya dikemukakan yang berkaitan dengan bidang pertanian saja. Hal ini perlu dibatasi, karena bagi hasil atau kerja sama dalam pembagian hasil dari sesuatu yang dikerjakan sangat luas, misalnya dalam bidang perdagangan, perburuhan, dan lain-lain termasuk bidang pertanian ini.

Pengelolaan lahan pertanian dengan system bagi hasil telah berlangsung pada masa Rasulullah shallahu ‘alahi wa sallam masih hidup dan beliau sendiri melakukanya. Artinya perjanjian bagi hasil adalah suatu kerjasama yang halal dilakukan oleh manusia, namun tidak semua urusan atau usaha yang halal dilakukan. Kerjasama yang dibolehkan adalaah kerjasama kebaikan. Dengan kata lain, dengan kerjasama masalah yang dilarang atau haram tidak dibolehkan, seperti kerjasama melakukan pencurian, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain atau seluruh perbuatan yang diharamkan.

Dasar hukum bagi hasil pertanian ini berdasarkan literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah ini diketahui secara jelas adalah As-Sunnah (perbuatan ataupun sabda-sabda Rasulullah ). Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a bahwa Rosulullah shallahu ‘alahi wa sallam memperkejakan penduduk khaibar sebagai petani dengan upah separoh dari hasil tanaman (buah-buahan ataupun biji-bijian) yang tumbuh pada lahan pertanian yang dikelola.

Page 9: Makalah Fiqih II Neng Siti

Masalah bagi hasil dalam bidang pertanian ini, maka diketahui ada dua macam bentuk kerjasama bagi hasil, yaitu:

1. Musaqah

Musaqah adalah mufa’alah berasal dari kata as-saqy, adalah nama pepohonan penduduk hijaz atau madinah yang sangat memerlukan saqi atau penyiraman atau pengairan dari sumur-sumur. Karena itu al-musaqah artinya penyiraman. Menurut syara’ musaqah berarti penyerahan pohon-pohon atau tanaman kepada orang lain untuk dipelihara hingga menghasilkan, dan upah dari mereka sebagai penyiram adalah hasil dari tanaman-tanaman itu sendiri, yang diberikan setelah selesai musim panen atau petik.

Yang dimaksud dengan musaqah adalah bentuk kerjasama dalam pemeliharaan dan pengembangan tanaman. Dalam bidang ini pemilik tanaman menyerahkan pemeliharaan, perawatan, atau pengembangan tanaman kepada seorang petani penggarap, yang uapah atau pembayarannya adalah hasil dari tanaman itu sendiri setelah habis panen atau menghasilkan, besarnya bagian petani penggarap berdasarkan kesepakatan ketika pertama kali mengadakan akad.

Rukun musaqah ada dua yaitu: ijab dan qabul.

Syarat-syarat musaqah antara lain adalah:

Pohon atau tanaman yang dimusaqahkan (dipelihara) diketahui sifat-sifatnya

Masa pemeliharaan ditentukan atau ditetapkan dengan jelas

Akad dilakukan sebelum Nampak baik hasilnya

Biaya, upah, dan lain-lainnya juga ditentukan secara jelas

Para fuqaha sepakat bahwa tanaman yang boleh dijadikan akad dalam musaqah adalah tumbuh atau tanaman yang bersifat tahan lama atau kuat, seperti anggur, kurma, dan lain-lain. Sedangkan tanaman yang tidak boleh dijadikan akad musaqah adalah seluruh tanaman yang tidak tahan lama, seperti sayur-sayuran.

2. Muzara’ah

Muzara’ah adalah kerjasama dalam bidang pertanian atau pengelolaan kebun dan sejenisnya. Pemilik lahan menyerahkan lahanya kepada petani agar diusahakan, dan hasil dari pertanian itu dibagi antara kedua belah pihak. Muzara’ah berasal dari kata az-zar’u yang artinya ada dua cara, yaitu; menabur benih atau bibit dan menumbuhkan.

Page 10: Makalah Fiqih II Neng Siti

Untuk mengetahui pengertian muzara’ah secara jelas, maka dikemukakan beberapa pendapat ahli fiqih salaf yaitu:

Menurut ulama Hanafi

Muzara’ah menurut pengertian syara’ adalah suatu akad perjanjian pengelolaan tanah dengan memperoleh hasil sebagian dari penghasilan tanah itu. Dalam bidang kerjasama ini boleh penggarap (petani) bertindak sebagai penyewa, untuk menanami tanah dengan imbalan biaya dari sebagian hasil tanamanya. Dan boleh juga pemilik lahan hanya meperkejakan petani dengan upah dari hasil sebagian tanaman yang tumbuh pada tanah itu.

Menurut ulama Maliki

Muzara’ah menurut pengertian syara’ adalah perjanjian kerjasama antara pemilik lahan dengan petani sebagai penggarap. Dalam hal ini pemilik lahan menyerahkan tanahnya kepada petani untuk ditanami, upah dari pengelolaan itu diambil dari hasil tanaman yang ditanam pada lahan tersebut. Jika pemilik lahan ikut membiayai penggarapan itu, seperti menyediakan bibit, maka si petani penggarap mendapat upah boleh berupa sejumlah uang dan boleh berupa sebagian dari tanah dan tanaman yang dikelolanya sesuai dengan kesepakatan mereka berdua.

C. GHASAB

A. Definisi Ghasab

1. Ulama Mazhab Maliki: mengambil harta orang lain secara paksa dan sengaja (bukan dalam arti merampok)

2. Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali: penguasaan terhadap harta orang lain secara sewenang-wenang atau secara paksa tanpa hak. Maka dari itu menanami tanah ghasab termasuk haram karena mengambil manfaat dari tanah ghasab dan menghasilkan harta.

3. Mazhab Hanafi: mengambil harta orang lain yang halal tanpa ijin, sehingga barang tersebut berpindah tangan dari pemiliknya

Dari definisi tersebut diatas yang dikemukakan oleh para ulama jelas terlihat bahwa

Page 11: Makalah Fiqih II Neng Siti

1. Bagi Mazhab Hanafi (selain Muhammad bin Hasan asy Syaibani dan Zufar bin Hudail), ghasab harus bersifat pemindahan hak seseorang menjadi milik orang yang menggasab.

2. Imam Hanafi dan sahabatnya Imam Abu Yusuf, tidak dinamakan ghasab apabila sifatnya tidak pemindahan hak milik.

3. Jumhur Ulama: menguasai milik orang lain saja sudah termasuk ghasab, apalagi bersifat pemindahan hak milik.

Akibat dari perbedaan definisi ini akan terlihat pada tiga hal :

Jenis benda (bergerak dan tidak bergerak)

1. Imam Hanafi dan Abu Yusuf: ghasab terjadi hanya pada benda-benda yang bergerak, sedangkan benda yang tidak bergerak tidak mungkin terjadi ghasab. Seperti rumah dan tanah

2. Jumhur Ulama: ghasab bisa terjadi pada benda bergerak dan tidak bergerak. Karena yang penting adlah sifat penguasaan terhadap harta tersebut secara sewenang-wenang dan secara paksa. Melalui penguasaan ini berarti orang yang menggasab tersebut telah menjadikan harta itu sebagai miliknya baik secara material maupun secara manfaat.

Hasil dari benda yang diambil tanpa ijin.

1. Imam Hanafi dan Abu Yusuf : hasil dari benda yang diambil merupakan amanah yang harus dikembalikan kepada pemiliknya. Akan tetapi jika hasil dari benda itu dibinasakan (melakukan kesewenangan terhadap hasil dari benda yang digasab) maka ia dikenakan denda. Seperti : buah dari pohon yang dighasab.

2. Jumhur Ulama: Jika pengghasab menghabiskan atau mengurangi hasil barang yang dighasabnya maka ia dikenakan denda

Manfaat dari benda yang di Ghasab.

1. Mazhab Hanafi: manfaat barang yang dighasab tidak termasuk sesuatu yang digasab. Karena manfaat tidak termasuk dalam definisi harta bagi mereka. Seperti : menggasab sandal kemudian dikembalikan lagi

2. Jumhur Ulama: Manfaat itu termasuk dalam definisi harta. Oleh sebab itu dikenakan denda jika barang yang digasab tersebut dimanfaatkan orang yang menggasabnya.Dari definisi yang dikemukakan para ulama diatas terlihat jelas bahwa ghasab tidak sama dengan mencuri, karena mencuri dilakukan secara sembunyi sedangkan ghasab dilakukan secara terang-terangan dan sewenang-wenang. Bahkan ghasab sering diartikan sebagai

Page 12: Makalah Fiqih II Neng Siti

menggunakan/memanfaatkan harta orang lain tanpa seijin pemiliknya, dengan tidak bermaksud memilikinya.

3.Contoh : si A mengambil sajadah si B dengan tidak bermaksud memilikinya tetapi memanfaatkannya untuk shalat. Setelah itu dikembalikan lagi ke tempat semula.

Ghasab tidak hanya untuk harta benda saja tetapi juga kemanfaatan orang lain seperti menyuruh pergi dari tempat duduknya dan contoh yang sering dijumpai yakni memakai ataupun meminjam sandal orang lain tanpa ada izin.

Kita tak pernah menyangka ternyata perbuatan sekecil itu dilarang oleh agama. Memang mudah sekali untuk berbuat serta mengumoulkan dosa, tetapi untuk mencegahnya serta menghapusnya sulit sekali. Hawa nafsulah penyebabnya makanya cobalah untuk melawan hawa nafsu.

Bagi orang yang ngasab dalam bentuk harta maka wajib baginya untuk mengembalikan harta tersebut ke pemiliknya, jika barang tersebut telah kurang, rusak, hilang maka penggasab wajib mengganti dengan barang yang sama ataupun berupa uang yang jumlahnya sama seperti barang tersebut. Dengan demikian ghosib bisa terhindar dari larangan dan dosa.

Sekalipun tujuannya adalah baik, tetapi karena memanfaatkan barang orang lain tanpa ijin itu adalah perbuatan tercela dalam islam.

B. Dasar Hukum Ghasab

1. Surat An Nisa ayat 29

29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Surat Al Baqarah 188

Page 13: Makalah Fiqih II Neng Siti

188. dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.

3. Sabda Rasulullah

“Darah dan harta seseorang haram bagi orang lain (HR Bukhari dan Muslim dari Abi Bakrah)

“Harta seorang muslim haram dipergunakan oleh muslim lainnya, tanpa kerelaan hati pemiliknya (HR.Daruquthni dari Anas bin Malik.

C. Hukuman orang yang Ghasab

Ia berdosa jika ia mengetahui bahwa barang yang diambilnya tersebut milik orang lain.

Jika barang tersebut masih utuh wajib dikembalikannya.

Apabila barang tersebut hilang/rusak karena dimanfaatkan maka ia dikenakan denda.

Mazhab Hanafi dan Maliki

Denda dilakukan dengan barang yang sesuai/sama dengan barang yang dighasab.

Apabila jenis barang yang sama tidak ada maka dikenakan denda seharga benda tersebut ketika dilakukan ghasab.

Mazhab Syafi’i →denda sesuai dengan harga yang tertinggi

Mazhab Hanbali → denda sesuai dengan harga ketika jenis benda itu tidak ada lagi di pasaran.

Terjadi perbedaan pendapat tentang apakah benda yang telah dibayarkan dendanya itu menjadi milik orang yang menggasabnya

Mazhab Hanafi → orang yang menggasab berhak atas benda itu sejak ia melakukannya sampai ia membayar denda.

Mazhab Syafii dan Hanbali →orang yang menggasab tidak berhak atas benda yang yang digasabnya walaupun sudah membayar denda.

Page 14: Makalah Fiqih II Neng Siti

Mazhab Maliki → orang yang mengasab tidak boleh memanfaatkan benda tersebut jika masih utuh, tetapi jika telah rusak, maka setelah denda dibayar benda itu menjadi miliknya dan ia bebas untuk memanfaatkannya.

Apabila yang dighasabnya berbentuk sebidang tanah, kemudian dibangun rumah diatasnya, atau tanah itu dijadikan lahan pertanian, maka jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa tanah itu harus dikembalikan. Rumah dan tanaman yang ada diatasnya dimusnahkan atau dikembalikan kepada orang yang dighasab. Hal ini berdasarkan kepada sabda Rasulullah

“ Jerih payah yang dilakukan dengan cara aniaya (lalim) tidak berhak diterima oleh orang yang melakukan (perbuatan aniaya) tersebut” (HR Daruqutni dan Abu Daud dari Urwah bin Zubair)

D. Sulitnya Menghindari Gasab

Sulitnya menghindari Ghasab dalam kehidupan sehari-hari kita,karena terkadang tanpa kita sengaja kita melkukan perbuatan Ghasab itu sendiri. Apalagi dalam kehidupan sehari-hari sebagai Santri yang tinggal di Asrama suatu Pondok pesantren Ghasab sudah menjadi realita. Pertama, hidup dalam “satu atap” membuat perbuatan gasab hampir sulit dihindari. Kedua, gasab hampir menjadi hal yang wajar (naudzubillah). Ghasab juga paling sering ditemui pada suatu lingkup tempat tinggal dalam lingkungan sedang atau besar misalnya: selama kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN),perkemahan outbond (Camping), Rumah susun,Asrama dll.

Menurut hukum Fiqih Ahlussunah, perbuatan ghasab tersebut adalah dosa dan haram tapi tidak membatalkan salatnya (Al-Fiqh ‘alâ Al-Madzâhib Al-Khamsah). Istilahnya adalah harâm lî ghairih yaitu sesuatu yang pada mulanya disyariatkan, akan tetapi dibarengi oleh suatu yang bersifat mudarat bagi manusia.

Bagi orang yang mengghasab harta seseorang, maka wajib mengembalikan kepada pemiliknya, meskipun ghasib(orang yang melakukan ghasab) itu terkena tanggungan (mengganti) dengan berlipat ganda harganya. juga wajib bagi nya untuk menambah kekurangannya. jika memang terdapat kekurangan pada harta yang di ghasab. seperti contoh orang yang mengghasab pakaian kemudian dia memakainya, atau harta itu berkurang tidak karena dipakai.maka wajib memberikan biaya yang sama. sedangkan jika

Page 15: Makalah Fiqih II Neng Siti

maghsub (barang yang di ghasab) itu berkurang sebab harganya menjadi turun, menurut pendapat yang shahih, ghasib tidak wajib menanggung nya.

Di dalam sebagaian keterangan dijelaskan bahwa siapa saja yang mengghasab harta seseorang, maka dia harus dipaksa untuk mengembalikannya. apabila barang yang di ghasab itu rusak, maka ghasib wajib menanggungnya dengan jumlah yang sama dengan barang yang di ghasab tersebut. adapun yang lebih sah bahwa barang itu adalah barang - barang yang dapat di ukur dengan takaran atau timbangan (dapat di ukur dengan nilai).Harga maghsub dapat berbeda beda dengan bentuk harga yang lebih tinggi dari hari pada saat barang tersebut di ghasab sampai pada hari kerusakan barang yang di ghasab. ghasib (orang yang meng-ghasab) dapat menjadi bebas setelah mengembalikan barang maghsub (barang yang di ghasab) kepada pemiliknya dan cukup meletakkan di sebelah pemiliknya. apabila di lupa siapa pemiliknya, maka cukup dengan menyerahkannya kepada Qodli. (hakim)

HUKUM PINJAM MEMINJAM (AL ARIYYAH)

Al Ariyyah adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain dalam jangka waktu tertentu lalu dikembalikan kepada pemilik.

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam  kebajikan dan takwa…” (Al Maaidah 2)

Ketika Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam meminjam baju besi dari Shafwan bin Umaiyyah, Shafwan berkata, “Apakah ini perampasan hai Muhammad ?”. Maka Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda, “Namun Al Ariyyah itu harus diganti.”

Hukum-hukumnya :

Harus sesuatu yang boleh dipinjamkan. “…dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” (Al Maaidah 2)

Jika yang meminjamkan mensyaratkan kepada peminjam untuk mengganti barang yang dipinjamkan jika mengalami kerusakan, maka pihak peminjam wajib mengganti. Jika yang meminjamkan tidak mensyaratkan, tetapi barang rusak bukan karena keteledoran peminjam, maka disunnahkan untuk mengganti, tidak diwajibkan. Tetapi jika rusak karena keteledoran peminjam, maka wajib diganti walaupun pemilik tidak mensyaratkannya. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda, “Tangan berkewajiban atas apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi, Al Hakim mengshahihkannya).

Peminjam harus menanggung biaya pengangkutan pada saat pengembalian. Peminjam tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamnya. Boleh meminjamkan lagi

ke orang lain dengan izin dari pemilik.

Page 16: Makalah Fiqih II Neng Siti

Jika seseorang meminjamkan kebun untuk ditembok, peminjam tidak boleh mengambil lagi hingga temboknya roboh. Jika meminjamkan sawah untuk ditanami, peminjam tidak boleh mengambilnya hingga panen usai.

Jika meminjamkan dalam jangka waktu tertentu, peminjam disunnahkan untuk tidak mengambil barangnya sebelum masa waktunya habis.

Wallahualam bishawaab

Page 17: Makalah Fiqih II Neng Siti

KESIMPULAN

Syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan. Hukum syirkah sendiri adalah mubah.

Rukun dan Syarat Syirkah:

Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani).

Obyek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi yang mencakup pekerjaan atau modal.

Akad atau yang disebut juga dengan istilah shighat.

Macam- macam Syirkah:

Syirkah 'Inan : Syirkah 'inan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing- masing memberi konstribusi kerja (amal) dan modal (mal).

Syirkah Abdan : Syirkah abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing- masing hanya memberikan konstribusi kerja (amal), tanpa konstribusi modal (amal).

Syirkah Wujuh : Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak yang sama- sama memberikan konstribusi kerja (amal) dengan pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal.

Syirkah Mufawadhah : Syirkah Mufawadbah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas.

Bagi Hasil (Pertanian)

Pengelolaan lahan pertanian dengan syitem bagi hasil telah berlangsung pada masa Rasulullah shallahu ‘alahi wa sallam masih hidup dan beliau sendiri melakukanya. Artinya perjanjian bagi hasil adalah suatu kerjasama yang halal dilakukan oleh manusia, namun tidak semua urusan atau usaha yang halal dilakukan. Kerjasama yang dibolehkan adalaah kerjasama kebaikan. Dengan kata lain, dengan kerjasama masalah yang dilarang atau haram tidak dibolehkan, seperti kerjasama melakukan pencurian, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain atau seluruh perbuatan yang diharamkan.

Definisi Ghasab

Page 18: Makalah Fiqih II Neng Siti

Ulama Mazhab Maliki: mengambil harta orang lain secara paksa dan sengaja (bukan dalam arti merampok)

Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali: penguasaan terhadap harta orang lain secara sewenang-wenang atau secara paksa tanpa hak. Maka dari itu menanami tanah ghasab termasuk haram karena mengambil manfaat dari tanah ghasab dan menghasilkan harta.

Mazhab Hanafi: mengambil harta orang lain yang halal tanpa ijin, sehingga barang tersebut berpindah tangan dari pemiliknya

Hukuman orang yang Ghasab

Mazhab Hanafi → orang yang menggasab berhak atas benda itu sejak ia melakukannya sampai ia membayar denda.

Mazhab Syafii dan Hanbali →orang yang menggasab tidak berhak atas benda yang yang digasabnya walaupun sudah membayar denda.

Mazhab Maliki → orang yang mengasab tidak boleh memanfaatkan benda tersebut jika masih utuh, tetapi jika telah rusak, maka setelah denda dibayar benda itu menjadi miliknya dan ia bebas untuk memanfaatkannya.

Apabila yang dighasabnya berbentuk sebidang tanah, kemudian dibangun rumah diatasnya, atau tanah itu dijadikan lahan pertanian, maka jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa tanah itu harus dikembalikan. Rumah dan tanaman yang ada diatasnya dimusnahkan atau dikembalikan kepada orang yang dighasab. Hal ini berdasarkan kepada sabda Rasulullah

“ Jerih payah yang dilakukan dengan cara aniaya (lalim) tidak berhak diterima oleh orang yang melakukan (perbuatan aniaya) tersebut” (HR Daruqutni dan Abu Daud dari Urwah bin Zubair)

Al Ariyyah adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain dalam jangka waktu tertentu lalu dikembalikan kepada pemilik.

Page 19: Makalah Fiqih II Neng Siti

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan Terjemahannya, 2007, Syamil Cipta Media, Bandung.

Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 57

An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti.

Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi, 2005.