Materi Complete (Konsep Ttg Filsafat, Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu Komunikasi
Makalah Filsafat Komunikasi Komunikasi Sebagai Ilmu Pengetahuan 1230990735384432 2
-
Upload
anthy-part-ii -
Category
Documents
-
view
787 -
download
3
Transcript of Makalah Filsafat Komunikasi Komunikasi Sebagai Ilmu Pengetahuan 1230990735384432 2
BAB I
PENDAHULUAN
1. Filsafat Sebagai Ilmu Untuk Bertanya
Filsafat pada dasarnya adalah perbuatan manusia1 dan tiap-
tiap manusia akan berlaku sebagai filsuf pada waktu ia dalam
kehidupan sehari-harinya menginsyafi (menyadari) akan
tujuan hidupnya dan makna semua perbuatannya. Filsafat
bukanlah suatu hikmah tersembunyi ataupun suatu ilmu yang
sangat sukar. Andaikata seseorang belum mengenal istilah
filsafat, orang itu dapat mewujudkan perilaku filsafati ataupun
mempunyai watak filsafati. Namun ada perbedaan diantara
suatu ilmu yang sulit dan filsafat yang dilaksanakan setiap
manusia. Ilmu-ilmu mencoba merumuskan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan dan memerlukan keahlian tertentu.
Sedangkan filsafat tidak bermaksud membentuk keahlian,
melainkan untuk memperluas cakrawala pandangan manusia.
Dalam filsafat terdapat dua aspek, yaitu ilmu sebagai jawaban
1 Prof. Dr. C.A. van Peursen: Filsafat Sebagai Seni Untuk Bertanya. Dikutip dari buku B. Arief Sidharta. Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu Itu?, Pustaka Sutra, Bandung 2008. Hal 7-11.
1
terhadap pertanyaan, dan filsafat sebagai pertanyaan pada
jawaban2.
2. Filsafat
Karena filsafat bersifat pertanyaan pada jawaban, maka
pertama-tama filsafat mendekatkan kembali manusia pada
kenyataan yang lengkap. Contoh: apakah jatuh cinta boleh
hanya dijelaskan sebagai proses kelenjar saja dalam ilmu
kedokteran, atau sebagai kelakuan lahiriah saja dalam bidang
Psikologi? Disini filsafat bertanya apakah ilmu spesialisasi
menjauhkan kita dari kenyataan jika kita lupa bahwa
pandangan sebuah ilmu adalah khusus dan sempit. Kedua,
filsafat mengintegrasikan ilmu, dimana ilmu-ilmu yang
terpisah seperti: Ilmu Alam memandang sinar-sinar yang
dipancarkan elektro-magnetik. Ilmu Hayat berkata bahwa
matahari terdiri atas tenaga cahaya yang dapat dipergunakan
oleh sel-sel hijau untuk fotosintesis, yaitu untuk menyusun
bahan organis. Antropologi kebudayaan memandang matahari
sebagai symbol atau arti yang menguasai beberapa agama
yang primitif. Dan filsafat bertanya: apakah ada beberapa
matahari? Hanaya satu saja. Maka pertanyaan filsafati
menunjukkan bahwa pengetahuan ilmiah itu tidak terpisah.
2 ibid
Ini berarti filsafat memberikan integrasi, layaknya sebuah
UNIVERSITAS, dibandingkan dengan MULTIVERSITAS3.
3. Ilmu
Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari
berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini
dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu
memberikan kepastian dengan membatasi lingkup
pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari
keterbatasannya. Contoh: Ilmu Alam hanya bisa menjadi
pasti setelah lapangannya dibatasi kedalam hal yang bahani
(materiil saja) atau ilmu psikologi hanya bisa meramalkan
perilaku manusia jika membatasi lingkup pandangannya ke
dalam segi umum dari perilaku manusia yang kongkrit.
Berkenaan dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab
pertanyaan tentang berapa jauhnya matahari dari bumi, atau
ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi sesuai untuk
menjadi perawat4. Ilmu sendiri berasal dari bahasa Arab “Ilm”
yang berarti yang berarti memahami, mengerti, atau
mengetahui5.
3 Ibid
4 Ibid.
5 Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Qu’ran, Grafindo, Jakarta, 1996, hal. 7.
2. Persyaratan ilmiah ilmu
Pengetahuan ilmu atau ilmu pengetahuan (lazim disebut ilmu
saja) bertujuan untuk “tahu secara mendalam”. Terdapat
sejumlah persyaratan agar suatu pengetahuan layak disebut
ilmu, dan persyaratan ini disebut ilmiah6. Sifat ilmiah sebagai
persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigm ilmu-ilmu
alam yang lahir terlebih dahulu.
a. Obyektif. Ilmu harus memiliki obyek kajian yang terdiri dari
satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya,
tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Obyeknya
dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus
diuji keberadaannya. Dalam mengkaji obyek, yang dicari
adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan
obyek, dan karenanya disebut kebenaran obyektif; bukan
subyektif berdasarkan subyek peneliti atau subyek
penunjang penelitian.
b. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk
meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan
dalam mencari kebenaran. Konsekuensi dari upaya ini
adalah harus terdapat cara tertentu untuk menjamin
6 Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008. Halaman 8.
kepastian kebenaran. Metodis berasal dari kata Yunani
“Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis
berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya
merujuk pada metode ilmiah.
c. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui
dan menjelaskan suatu obyek, ilmu harus terurai dan
terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis
sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara
utuh, menyeluruh, terpadu , mampu menjelaskan
rangkaian sebab akibat menyangkut obyeknya.
Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam
rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang
ketiga.
d. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah
kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat
tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º.
Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang
keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-
umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda demgan
ilmu-ilmu alam mengingat obyeknya adalah tindakan
manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas
dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu
pula.
Dengan demikian apabila pengetahuan hendak disebut ilmu,
ia harus memenuhi sifat ilmiah sebagai syarat ilmu, yaitu:
obyektif, metodis, sistematis, dan universal.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada bab pertama, telah dipaparkan bagaimana filsafat berlaku
sebagai ilmu untuk bertanya, dan juga telah diulas dengan
singkat persyaratan ilmiah suatu ilmu. Pada bagian pembahasan
kita akan mengulas lebih dalam lagi filsafat ilmu dan filsafat ilmu
komunikasi, serta membahas bagaimana bidang kajian
komunikasi memenuhi persyaratan sebagai ilmu pengetahuan
dan dinamakan ilmu komunikasi.
1. Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat yang menjawab
beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pemikiran
secara filsafati memungkinkan orang menganalisis segala
sesuatunya dalam tiga wilayah yaitu “ada”, “pengetahuan”,
dan “nilai”7.
a. Ontologi. Berada dalam wilayah ada. Berasal dari bahasa
Yunani onto (ada) dan logos (teori) sehingga ontology
dapat diartikan sebagai ilmu tentang ada. Dalam wilayah
ini pertanyaan-pertanyaan yang bersangkutan adalah:
7 Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008. Halaman 20.
apakah obyek yang ditelaah ilmu? Bagaimanakan hakikat
dari obyek itu? Bagaimana hubungan antara obyek tadi
dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa,
mengindra) yang membuahkan pengetahuan dan ilmu?
b. Epistemologi. Berada dalam wilayah pengetahuan. Berasal
dari kata Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (teori)
yang berarti teori tentang pengetahuan. Pertanyaan yang
menyangkut wilayah ini antara lain: bagaimanakah proses
yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan menjadi
ilmu? Bagaimanakah prosedurnya? Hal-hal apa yang harus
diperhatikan agar kita mendapat pengetahuan yang benar?
(Filsafat Metodologi), apa yang dimaksudkan dengan
kebenaran itu sendiri? Apa kriterianya? (logika).
c. Aksiologis. Berada dalam wilayah nilai. Berasal dari kata
Yunani axion (nilai) dan logos (teori) yang berarti teori
tentang nilai. Pertanyaan di wilayah ini menyangkut antara
lain: untuk apa pengetahuan ilmu itu digunakan?
Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya dengan
kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana
kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan norma-
norma moral dan professional? (filsafat etika).
Dari sini kita bisa melihat bahwa filsafat ilmu diartikan sebagai
cabang filsafat yang mencoba mengkaji ilmu pengetahuan
dari segi cara-cara perolehan dan pemanfaatannya8.
2. Filsafat Ilmu Komunikasi
a. Ontologi Komunikasi dan Ilmu Komunikasi
Berdasarkan sejarahnya, semenjak ada kehidupan di muka
bumi komunikasi antar organisme yang hidup dilakukan
untuk mengungkapkan kebutuhan organis melalui sinyal-
sinyal kimiawi. Seiring dengan kehidupan berevolusi, maka
komunikasi juga. Sinyal-sinyal kimiawi primitif membuka
perluang terjadinya perilaku yang lebih rumit, contohnya
seperti tarian kawin pada ikan. Selain untuk seks, binatang
berkomunikasi demi menunjukkan keunggulan. Sekitar 250
juta tahun yang lalu terjadi tahap penting dalam evolusi,
yaitu adanya “otak reptil”. Otak ini bereaksi terhadap
dunia luar hanya dengan memicu reaksi-reaksi fisiologis
yang kita kenal sebagai “emosi”. Pada mamalia awal dan
kemudian manusia otak lalu berkembang secara
cemerlang, dimana otak reptil pemicu emosi ini dilapisi
dengan segundukan sel otak tingkat “tinggi”. Otak reptil ini
kemudian dinamakan system limbik, yang menentukan
8 Ibid
reaksi emosional dasar kita. Sistem ini dapat dipicu oleh
panca indera seperti: penglihatan, bunyi, bau, kata , atau
ingatan9. Pada manusia, emosi ini kemudian diungkapkan
dalam bentuk bahasa untuk berkomunikasi. S. Langer
berpendapat bahwa bahasa bermula sebagai tindakan
emosional – ungkapan yang meluap-luap, yang menggugah
hati para pendengarnya10. Sehingga komunikasi dapat
dikatakan sebagai jalinan yang menghubungkan manusia11.
Ilmu komunikasi adalah usaha penyampaian pesan antar
manusia. Hal ini disesuaikan oleh dua hal dimana 1) sesuai
dengan obyek materianya yang berada dalam rumpun ilmu
sosial maka ilmu komunikasi harus terjadi antar manusia 2)
Ilmu komunikasi menggunakan paradigm dimana pesan
disampaikan dengan sengaja, dilatarbelakangi oleh motif
komunikasi dan usaha untuk mewujudkannya12.
Obyek material ilmu komunikasi adalah manusia dan
tindakannya dalam konteks sosial13, sementara obyek
9 Gonnick, Larry. Kartun (Non) Komunikasi, Kepustakaan Populer Gramedia 2007, Jakarta. Hal 12-29.
10 Langer, S. Mind, An Essay on Human Feelings. John Hopkins Press, 1973, Baltimore.
11 Littlejohn, Stephen W. Theories of Human Communication, 2004. Albuquerque, New Mexico.
12 Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008. Halaman 20.
13 Tebba, Sudirman. Filsafat dan Etika Komunikasi, Pustaka IrVan, Banten 2008. Hal 57.
formanya adalah komunikasi itu sendiri sebagai usaha
penyampaian pesan antar manusia14.
b. Epistemologi Ilmu Komunikasi
Ilmu komunikasi sebagai ilmu sosial yang berada dalam
rumpun empiris (paham yang menekankan pengalaman
sebagai sumber utama pengetahuan) dapat dikembangkan
berdasarkan paradigm positivist (menyatakan bahwa ilmu
dibangun berdasarkan fakta empirik sensual: teramati,
terukur, teruji, terulang, dan teramalkan karenanya
sangat kuantitatif) dan anti-positivist (ilmu menggunakan
pendekatan kualitatif dan mencoba menyatukan obyek-
subyek). Ilmu komunikasi berlatar positivist cenderung
objektif, kebenaran ada pada objeknya. Sedangkan ilmu
komunikasi berlatar antipositivist bersifat intersubjektif.
Postivisme dan antipositivisme menurunkan jenis
penelitian yang berbeda – penelitian komunikasi kuantitatif
berlatar positivist yang obyektif, sedangkan penelitian
komunikasi kualitatif lebih berlatar antipositivist yang
intersubyektif dimana kebenaran merupakan kesepakatan
antar subyek menyangkut interpretasi atas obyek. Empat
14 Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008. Halaman 20.
strategi pengumpulan dan pengolahan data penelitian
yang utama:
Eksperimen: lazim digunakan pada penelitian kuantitatif
dimana diciptakan situasi laboratories untuk mengontrol
variabel secara ketat dalam melihat pengaruh antar-
variabel yang diteliti.
Survey: dilakukan dengan menyebarkan kuesioner atau
wawancara, dengan tujuan untuk mengetahui: siapa
mereka, apa yang mereka pikir, rasakan, atau
kecenderungan suatu tindakan. Survey lazim dilakukan
untuk penelitian kuantitatif maupun kualitatif. Dalam
penelitian kuantitatif, survey lebih merupa pertanyaan
tertutup, sementara dalam penelitian kualitatif berupa
wawancara mendalam dengan pertanyaan terbuka.
Analisis teks: penelitian dimana obyek yang dikaji
adalah teks dalam pengertian luas. Analisis teks lazim
dilakukan untuk penelitian kuantitatif dan kualitatif.
Partisipasi-observasi: lazim dilakukan pada penelitan
kualitatif. Dalam strategi penelitian ini, subyek peneliti
menyatukan diri dengan subyek penelitain berikut
obyek penelitiannya dalam kurun tertentu.
c. Aksiologi dalam ilmu komunikasi
Aksiologis mempertanyakan nilai: bagaimana dan untuk
tujuan apa ilmu komunikasi itu digunakan. Penilaian ini
menjadi terkait oleh nilai etis atau moral. Hanya tindakan
manusia yang sengaja yang dapat dikenakan penilaian
etis. Akar tindakan manusia adalah falsafah hidup:
kesatuan nilai-nilai yang menurut manusia yang
memilikinya memiliki derajat teragung yang jika terwujud
ia yakin akan bahagia. Dalam aksiologi ilmu komunikasi
pertanyaan utama adalah untuk tujuan apa praktisi
komunikasi menggunakan ilmunya tergantung pada pokok
jawaban atas pertanyaan pokok falsafah hidup individu
manusianya: apakah ilmunya akan digunakan untuk
kebaikan dan kemaslahatan umat, atau sebaliknya?
Demikian pula halnya dengan ilmuwan komunikasi,
falsafah hidupnya akan menentukan dalam:
(a) Memilih obyek penelitian
(b) Cara melakukan penelitian
(c) Menggunakan produk hasil penelitiannya.
BAB III
KESIMPULAN
Kelayakan komunikasi sebagai ilmu
Dalam menentukan apakah Komunikasi layak menjadi ilmu
maka bab sebelumnya telah membahas syarat-syarat ilmu
dalam kaitannya dengan komunikasi. Syarat ilmu antara lain
menyatakan bahwa ia harus memiliki objek kajian, dimana
objek kajian tersebut harus terdiri satu golongan masalah
yang sama sifat hakikatnya. Secara ontologis obyek material
ilmu komunikasi hanya mengkaji penyampaian pesan antar
manusia. Penyampaian pesan kepada yang bukan manusia
berada di luar obyek kajiannya. Pesan adalah segala hasil
penggunaan akal budi manusia yang disampaikan untuk
mewujudkan motif komunikasi, tanpa motif maka sesuatu
tidak dinilai sebagai pesan, karenanya tidak berada dalam
kajian ilmu komunikasi. Syarat ilmu yang kedua menyatakan
bahwa ilmu harus bersistem, dimana obyeknya itu tersusun
dalam satu rangkaian sebab akibat yang tersusun secara
sistematis. Dalam komunikasi sistem ini digambarkan
sebagai; 1) mengapa manusia menyampaikan pesan
karena terdorong oleh motif komunikasi. 2) Dari mana
datangnya motif komunikasi karena adanya konsepsi
kebahagiaan yang lahir dari naluri manusia sebagai paduan
arah bertindak. 3) Dari mana konsepsi kebahagiaan
diturunkan dari falsafah hidupnya. 4) Dari mana datangnya
falsafah hidup? Diturunkan dari peralatan rohaniahnya yang
bekerja secara simultan yaitu: hati nurani, akal, budi, dan
seperangkat naluri. 5) Dari mana datangnya peralatan
rohaniah yang bekerja secara simultan Dari manusia. 6)
Darimana datangnya manusia berhenti, bukan kajian ilmu
komunikasi sebagai pencarian sebab mengapa manusia
menyampaikan pesan. Syarat yang ketiga ilmu adalah adalah
metodis, dimana harus tersedia cara tertentu untuk
membangun suatu ilmu, dan metode ini berdasarkan metode
ilmiah. Sesuai dengan latar filsafat ilmunya, ilmu komunikasi
mengenal dua macam metode penelitian, yaitu kuantitatif-
positivist dan kualitatif anti-positivist. Kedua metode
penelitian dengan dasar filsafat masing-masing menurunkan
cara membangun ilmu yang berbeda dengan tujuan yang juga
berbeda. Ilmu komunikasi dengan latar postivisme mencari
generalisasi dan obyektifitas universal, dimana hasilnya bebas
nilai. Sebaliknya ilmu komunikasi berlatar antipositivisme
mencari intersubyektifitas guna membangun ilmu secara
ideografik, dan hasil penelitiannya justru terkait nilai. Syarat
ilmu yang keempat adalah universalitas, hal ini berlaku untuk
ilmu komunikasi bagi kuantitatif-positivis namun tidak berlaku
bagi kualitatif-antipositivis karena mereka tidak berprentensi
untuk membangun generalisasi universal. Kuantitatif positivis
yang berlatar ilmu alam, system sebab-akibat cenderung
mekanistis: setiap sebab menimbulkan akibat yang pasti,
terduga, dan teramalkan, sebaliknya kualitatif-antipositivis,
system sebab-akibat cenderung humanistis: setiap sebab
belum tentu menimbulkan akibat yang sama dan tak terduga,
karena sangat tergantung pada factor situasional dan
kondisional yang ada. Misalnya, sebab X membuat seseorang
tertawa, disaat lain saat, sebab yang sama pada orang yang
sama justru membuatnya menangis.
Menggunakan pemaparan persyaratan ilmu, maka
disimpulkan bahwa komunikasi merupakan ilmu karena
memenuhi syarat-syarat ilmu pada umumnya, namun secara
khusus tidak persis sama. Pengandaian ini membuat
komunikasi meredefinisikan empat persyaratan ilmu dengan
mencabangkan syarat yang keempat, dimana universalitas
tidak diharuskan. Namun hal ini diperlukan agar ilmu
komunikasi bisa berkembang dan menjadi otonom, karena
persyaratan mekanistis tidak bisa diterapkan pada manusia
seutuhnya. Hal ini dikarenakan otak manusia yang terus
berkembang. Perkembangan ini mengakibatkan perubahan
perilaku manusia dalam upayanya beradaptasi dengan
lingkungan sekitar.
Daftar Pustaka
1. Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu
Pengantar, Indeks, Jakarta 2008.
2. Sidharta, B Arief. Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu Itu?,
Pustaka Sutra, Bandung 2008.
3. Tebba, Sudirman. Filsafat dan Etika Komunikasi, Pustaka
IrVan, Banten 2008.
4. Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Qu’ran, Grafindo, Jakarta,
1996, hal. 7.
5. Gonnick, Larry. Kartun (Non) Komunikasi, Kepustakaan
Populer Gramedia 2007, Jakarta. Hal 12-29.
6. Langer, S. Mind, An Essay on Human Feelings. John Hopkins
Press, 1973, Baltimore.
7. Littlejohn, Stephen W. Theories of Human Communication,
2004. Albuquerque, New Mexico.
Kata Pengantar
Tugas makalah individual dengan judul “Komunikasi sebagai ilmu
pengetahuan” dibuat dengan tujuan mendalami bagaimana
komunikasi sebagai sebuah disiplin diakui sebagai ilmu menurut
kajian ilmiahnya. Dalam makalah ini akan dijelaskan konsep-
konsep dasar yang terkait dengan filsafat ilmu sebagai cabang
filsafat yang mengkaji teori pengetahuan dan etika pada kajian
penggunaan ilmu komunikasi.
Makalah ini terdiri dari tiga bagian utama yaitu pendahuluan,
pembahasan dan ditutup dengan kesimpulan.
Penulis mengucapkan terima kasih atas perhatian Bapak Drs.
Hadi Surantio, MSi sebagai dosen Filsafat Ilmu Komunikasi
karena telah meluangkan waktunya untuk menilai tugas ini.
Tertanda,
Siska DovianaPenulis
Daftar Isi
Kata Pengantar...........................................................................i
Daftar Isi ii
BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………
………………………………………. 1
1. Filsafat Sebagai Ilmu Untuk Bertanya............................1
2. Persyaratan ilmiah ilmu....................................................4
BAB II PEMBAHASAN.................................................................7
1. Filsafat Ilmu......................................................................7
2. Filsafat Ilmu Komunikasi................................................9
BAB III KESIMPULAN................................................................15
Kelayakan komunikasi sebagai ilmu.................................15
Daftar Pustaka............................................................................19