Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

36
PENEGAKAN HUKUM SENGKETA TANAH ADAT YANG BERBASIS KEARIFAN LOKAL MINANGKABAU PADA MASYARAKAT TALANG MAUR PAYAKUMBUH MATA KULIAH FILSAFAT HUKUM Dosen Pengampu: Prof. Dr. Yusriyadi, S.H., M.S. Disusun Oleh: Nama : ROKHI MAGHFUR Nim : 11010115410079 Kelas : HUKUM EKONOMI DAN TEKHNOLOGI (HET)

description

kearifan lokal

Transcript of Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

Page 1: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

PENEGAKAN HUKUM SENGKETA TANAH ADAT YANG BERBASIS

KEARIFAN LOKAL MINANGKABAU PADA MASYARAKAT TALANG

MAUR PAYAKUMBUH

MATA KULIAH FILSAFAT HUKUM

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Yusriyadi, S.H., M.S.

Disusun Oleh:

Nama : ROKHI MAGHFUR

Nim : 11010115410079

Kelas : HUKUM EKONOMI DAN TEKHNOLOGI (HET)

MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2015

Page 2: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tanah memiliki arti yang sangat krusial bagi setiap individu dalam

masyarakat. Selain memiliki nilai ekonomis yang dapat digunakan sebagai

investasi di masa yang akan datang, tanah juga mengandung aspek spiritual dalam

lingkungan dan kelangsungan hidupnya. Tanah merupakan tempat untuk

bermukim, tempat melakukan kegiatan manusia bahkan sesudah mati pun masih

memerlukan tanah. Bagi pandangan mayoritas masyarakat, memiliki tanah seperti

halnya bahan makanan maupun bahan sandang yang mengandung kebutuhan

primer bagi individu dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Sedemikian pentingnya arti tanah bagi manusia, Indonesia sebagai negara

agraris memandang perlu mengatur politik hukum di bidang pertanahannya

(konsepsi agraria dalam arti sempit) dalam konstitusi UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya, Konstitusi kita mengamanatkan agar sumber

daya alam termasuk tanah dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat. Politik hukum pertanahan kita ini setidaknya

mengalami 2 (dua) kali masa penyusunan. Masa penyusunan pertama adalah

tanggal 18 Agustus 1945 dengan diundangkannya UUD RI Tahun 1945. Pada era

reformasi, politik hukum pertanahan diatur dalam Bab XIV tentang Kesejahteraan

Sosial yang memuat satu pasal yaitu Pasal 33 yang berisi ketentuan bahwa bumi

dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dikarenakan tanah merupakan benda yang sangat berharga ditengah-

tengah kehidupan bermasyarakat, sehingga banyak masyarakat yang menjadikan

tanah sebagai harta warisan, yang dalam Minangkabau disebut juga sebagai harta

1

Page 3: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

pusaka.1 Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat,

maka sebagai realisasi dari ketentuan Pasal 33 ayat (3), Undang-Undang Dasar

1945 telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau disingkat (UUPA), yang dalam

Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 2043. Hak menguasai dari Negara sebagai

mana dimaksudkan dalam Pasal 33 ayat (3) bukan berarti hak untuk memiliki,

tetapi Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia pada

tingkatan tertinggi telah diberi wewenang mengatur untuk mencapai sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat.

Atas dasar hak menguasai dari Negara dalam pelaksanaannya dikuasakan

kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat.

Pelaksanaan hak menguasai dari Negara kepada masyarakat hukum adat. Di

dalam hukum adat, antara masyarakat hukum adat sebagai kesatuan dengan tanah

yang dikuasainya, terdapat hubungan yang erat, hubungan yang bersifat pada

pandangan religio magis. Hubungan erat dan bersifat religio magis ini,

menyebabkan masyarakat hukum adat memperoleh hak untuk menguasai tanah

tersebut, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang

hidup di atas tanah itu dan juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup di

wilayah persekutuan tersebut.

Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat,

karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami

keadaan bagaimanapun akan tetap dalam keadaan semula dari segi ekonomis.

Kenyataan bahwa tanah merupakan tempat tinggal keluarga dan masyarakat,

memberikan penghidupan, merupakan tempat dimana para warga yang meninggal

dunia dikuburkan, dan sesuai dengan kepercayaan merupakan pula tempat tinggal

para dewa-dewa pelindung dan tempat roh para leluhur bersemayam. Dalam

hukum adat, antara masyarakat hukum merupakan kasatuan dengan tanah yang

1 “Harta benda peninggalan orang yang telah meninggal”, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Jakarta, 2002.

2

Page 4: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

didudukinya, terdapat hubungan yang erat sekali, hubungan yang bersumber pada

pandangan yang bersifat religio-magis.2

Tanah dalam masyarakat hukum adat Minangkabau merupakan harta

kekayaan yang selalu dipertahankan, luas tanah yang dimiliki oleh suatu kaum

atau oleh seseorang akan sangat mempengaruhi wibawa seseorang atau suatu

kaum dalam kehidupan masyarakat. Orang (kaum) yang memiliki tanah yang luas

akan lebih dihormati dan dihargai dibandingkan orang (kaum) yang tanahnya

sedikit atau tidak ada sama sekali. Begitu juga halnya dalam menentukan asli atau

tidak nya seseorang (suatu kaum) berasal dari suatu daerah, seseorang (suatu

kaum) yang tidak memiliki tanah disuatu daerah atau nagari, maka dapat

dipastikan orang (suatu kaum) tersebut bukanlah penduduk asli daerah tersebut.

Oleh sebab itu soal tanah tidak dapat diabaikan begitu saja, tingginya nilai

seseorang bersangkut paut dengan tanah. Maka sebab itu tanah di Minangkabau

tidak boleh dipindah tangankan dengan begitu saja layaknya menjual rumah atau

barang-barang lainnya seperti mobil, emas, motor dan lainnya baik dalam bentuk

menggadaikannya, apa lagi menjualnya, apalagi menjualnya.

Pada dasarnya hak untuk menguasai tanah oleh masyarakat hukum adat

dapat disebut hak ulayat. Sejak berlakunya UUPA tentang kedudukan hak ulayat

di atur dalam Pasal 3 UUPA, yang menentukan bahwa:

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan ayat (2) pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan- peraturan lain yang lebih tinggi.

Sifat dan karakteristik tanah dalam masyarakat hukum adat Minangkabau

tersebut sering kali menimbulkan permasalahan terutama yang berkaitan dengan

tanah ulayat, khususnya di kenagarian Talang Maur. Permasalahan terkait tanah

ulayat biasa disebut dengan sengketa tanah ulayat. Diskusi mengenai tanah ulayat

merupakan kegiatan yang selalu menarik bagi kalangan praktisi maupun

2 Muhammad. Bushar, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 2000, Hal 103.3

Page 5: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

akademisi, karena keberadaannya yang tekait dengan banyak kepentingan. Tanah

ulayat merupakan tanah yang memiliki secara bersama-sama oleh masyarakat

hukum adat, menurut hukum adat Minangkabau tanah ulayat tidak boleh

diperjualbelikan yang dinyatakan sebagai berikut :

a. Dijua indak dimakan bali (dijual tidak dimakan beli)

b. Digadai indak dimakan sando (digadai tidak dimakan sando)3

Sengketa tanah ulayat merupakan sengketa tanah adat yang banyak terjadi

di Propinsi Sumatera Barat, terutama di daerah yang masih menggunakan dan

melestarikan hukum adat Minangkabau dalam kesehariannya khususnya di Nagari

Talang Maur yang masih kental dengan hukum adatnya, Dalam tataran hidup

bernagari, segala permasalahan yang ada disuatu nagari harus diselesaikan

secara bajanjang naik dan batangga turun, artinya semua permasalahan harus

diselesaikan mulai dari bawah yaitu mulai dari mamak terus kepada kepala kaum.

Jika tidak selesai di kepala kaum di teruskan kepada penghulu suku. Apabila tidak

selesai juga baru sampai kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN). Demikian juga

dengan segala hasil Kerapatan Adat Nagari (KAN) disampaikan kepada anak

kemenakan melalui tingkatan atau batangga turun. Penghulu suku menyampaikan

kepada kepala kaum dan seterusnya kepada mamak kepala waris seterusnya

kepada kemenakan dan anak.

Berdasarkan tataran implementasinya berbagai persoalan yang ada dalam

kehidupan beranak kemenakan, berkaum, bersuku, berkorong, berkampung dan

beradat serta bernagari tetap saja terjadi berbagai persoalan yang sulit diselesaikan

pada tingkat Kerapatan Adat Nagari. Salah satu bentuk sengketa yang sering

terjadi didalam nagari adalah tanah, baik dengan pihak interen kaum maupun

dengan pihak lain.

Oleh karena permasalahan mengenai adanya sengketa tanah yang terjadi di

Talang Maur Payakumbuh Propinsi Sumatera Barat, maka kiranya perlu dikaji

secara mendalam mengenai” PENEGAKAN HUKUM SENGKETA TANAH

3 Idrus Hakimy, Buku Pegangan Penghulu di Minangkabau, Bandung:Rosda,1978 , hal.42-444

Page 6: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

ADAT YANG BERBASIS KEARIFAN LOKAL MINANGKABAU PADA

MASYARAKAT TALANG MAUR PAYAKUMBUH”.

B. RUMUSAN MASALAH

Untuk memudahkan pembaca memahami isi makalah, penulis mencoba

mempersempit uraian-uraian dalam makalah ini menjadi beberapa garis besar

yang pada intinya membahas:

1. Apa penyebab utama terjadinya sengketa tanah adat pada Masyarakat

Talang Maur Payakumbuh?

2. Bagaimana Penegakan Hukum dalam penyelesaian sengketa tanah adat

yang berbasis kearifan lokal Minangkabau pada Masyarakat Talang Maur

Payakumbuh?

C. TUJUAN PENULISAN

Sejalan dengan permasalahan diatas maka hal ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui penyebab utama terjadinya sengketa tanah adat pada

Masyarakat Talang Maur Payakumbuh.

2. Untuk mengetahui Penegakan Hukum dalam penyelesaian sengketa tanah

adat yang berbasis kearifan lokal Minangkabau pada Masyarakat Talang

Maur Payakumbuh.

Sementara itu, penyusunan makalah ini juga bertujuan untuk melengkapi

tugas pada Matakuliah Filsafat Hukum Tahun 2015 Magister Ilmu Hukum

Universitas Diponegoro.

D. RUANG LINGKUP

Pembahasan dalam makalah ini terbatas pada ruang lingkup makna dan

kronologis dalam hubungannya dengan topik dan judul makalah ini.

E. METODE PENULISAN

Metode yang penulis gunakan dalam menyusun makalah ini adalah studi

kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan sumber dari buku-buku maupun

tulisan-tulisan lain yang menjadi acuan penulis.

5

Page 7: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENYEBAB UTAMA TERJADINYA SENGKETA TANAH ADAT PADA

MASYARAKAT TALANG MAUR PAYAKUMBUH

1. Pengertian Tanah Adat(Tanah Ulayat)

Menurut Ter Haar, hak masyarakat atas tanah itu dalam lukisan

kuno disebut dengan hak eigendom (eigendomsrecht) dan hak yasan komunal

(communal bezitsrecht). Maka Van Vollenhoven menamakan hak komunal

itu dengan Beschikkingrecht (hak pertuanan), yang akhirnya menjadi istilah

teknis.4

Ciri-ciri dari kewenangan yang dimiliki oleh persekutuan hukum

adat terhadap tanah ulayat bagi Teer Haar adalah, Pertama, hak ulayat

berlaku kedalam bahwa masyarakat atau anggota-anggotanya, berwenang

menggunakan hak ini dengan jalan memungut hasil dari tanah beserta

binatang-binatang dan tanaman-tanaman yang terdapat di wilayah

kekuasaannya. Kedua, kewenangan yang berlaku keluar bahwa orang hanya

boleh memungut hasil pertuanan setelah mendapat izin dari persekutuan,

orang luar tersebut harus membayar uang pengakuan dimuka dan dibelakang.

Sedangkan sifat dari hak ulayat itu sendiri adalah mempunyai hubungan yang

abadi dengan masyarakat hukum pendukungnya, yang berarti tetap ada

sepanjang tanah sebagai objeknya dan masyarakat adat sebagai subjeknya

ada.5

Sedangkan Iman Sudiyat menyebut hak ulayat sama dengan istilah

Djojodiguno yaitu hak purba. Menurutnya, hak purba ini adalah hak yang

dipunyai oleh suatu suku (clan/gens/stam), sebuah serikat desa – desa

(dorpenbond) atau biasanya oleh sebuah desa saja, untuk menguasai seluruh

tanah seisinya dalam wilayahnya.6

4 Ter, Haar, Asas–asas dan susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999, hal 71-72.5 Iman Sudiyat, Hukum Adat, Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 236 Ibid, hal. 23.

6

Page 8: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

Tanah ulayat merupakan kondisi konstitutif keberadaan suatu

masyarakat adat. Perjuangan pengakuan atas tanah ulayat merupakan agenda

utama gerakan masyarakat adat di Indonesia dan dunia. Pada level

internasional perjuangan itu telah sampai pada Deklarasi Hak-Hak

Masyarakat Adat (United Nation Declaration on The Rights of Indegenous

Peoples) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 13 September

2007. Salah satu isi dari deklarasi tersebut adalah penegasan hubungan antara

masyarakat adat dengan hak-hak tradisionalnya, termasuk tanah ulayat,

sebagai hak-hak dasar yang harus diakui, dihormati, dilindungi dan dipenuhi

secara universal.

Perjuangan hak masyarakat adat terutama dalam hal penguasaan

ulayat (sumber daya alam) di Indonesia acap terbentur oleh kebijakan agraria

nasional dan atau kebijakan yang sektoral, dan menggantungkan hak ulayat

kepada pengakuan negara dengan batas-batas pengakuan hak yang rinci dan

jelimet. Kondisi kebijakan tersebut diperparah lagi oleh berbagai distorsi

penafsiran dan implementasi kebijakan yang mendesak keberadaan hak

ulayat oleh masyarakat adat.

Dengan lahirnya Perda No. 16 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan

Pemanfaatannya (TUP) memberikan suasana tersediri bagi dinamika

penguatan masyarakat nagari, Perda serupa sebenarnya telah ada di daerah

lain seperti Perda Kabupaten Kampar No. 12/1999 tentang Hak Tanah Ulayat

dan Perda Kabupaten Lebak No. 32/2001 tentang Perlindungan Atas Hak

Ulayat Masyarakat Baduy. Dalam konteks Perda TUP pada level provinsi

membuat tingkat abstraksi Perda TUP lebih tinggi karena harus

menggambarkan keberagaman struktur sosial yang ada di dalam masyarakat.

Prinsip utama pemanfaatan tanah ulayat di Minangkabau

sebagaimana diadopsi menjadi asas utama pembentukan Perda TUP adalah

“jua indak makan bali, gadai indak makan sando” yang maksudnya bahwa

tanah ulayat tidak dapat diperjual belikan dan tidak dapat dipindahtangankan

pada orang lain. Tetapi masyarakat boleh memanfaatkannya, mengelola,

mengolah dan menikmati hasil dari tanah ulayat yang kepemilikannya tetap

7

Page 9: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

menjadi milik komunal dan tidak dapat dijadikan milik pribadi. Filosofi ini

menegaskan bahwa hubungan antara masyarakat Minangkabau dengan tanah

ulayat bersifat abadi.

Pemanfaatan tanah ulayat bagi kepentingan anggota masyarakat

adat dilakukan berdasarkan hukum adat. Pemanfaatan tanah ulayat bagi

kepentingan umum dilakukan “sesuai dengan ketentuan yang berlaku”, Perda

TUP tidak menjelaskan apakah yang dimaksud dengan “sesuai dengan

ketentuan yang berlaku” itu didasarkan kepada hukum adat atau kepada

hukum nasional. Bila mengacu kepada hukum nasional maka akan merujuk

kepada Perpres 36/2005 juncto Perpres 65/2006 tentang Pengadaan Tanah

Bagi Pelaksanaan Pembangunan Demi Kepentingan Umum. Perpres ini sejak

kelahirannya banyak dikritik oleh kalangan masyarakat sipil sebab dianggap

sebagai landasan legitimasi perampasan tanah masyarakat.

Pemanfaatan tanah ulayat bersama atau oleh pihak luar (pemerintah

atau investor) bila berakhir masa perjanjiannya akan kembali kepada

masyarakat adat sesuai dengan adagium”Kabau tagak kubangan tingga,

pusako pulang ka nan punyo, nan tabao sado luluak nan lakek di badan.”

Tanah ulayat tetap menjadi milik dari masyarakat adat. Yang dibawa oleh

pengusaha adalah hasil-hasil usaha yang diperoleh dari. Mengelola tanah

ulayat. Setelah usaha selesai maka tanah dikembalikan kepada masyarakat

adat.

2. Macam-Macam Tanah Adat Menurut Hukum Adat Minangkabau

Tanah ulayat yang terdapat di Sumatera Barat berdasarkan adat

Minangkabau, dapat dibedakan ke dalam tiga golongan besar dari macam–

macam status, JenisHak Ulayat, Sifat dan Status pengemban atau pemilik hak

pengurusan.

a. Tanah Ulayat Nagari, Penguasaan/ Publik HGU, Hak Pakai, Hak

Pengelolaan Secara adat dimiliki oleh anak nagari Pengurusan oleh Ninik

mamak KAN (Kerapatan Adat Nagari). Pengaturan pemanfaatan oleh

Pemerintah Nagari.

8

Page 10: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

b. Tanah Ulayat Suku, Kepemilikan/perdata Hak Milik Milik kolektif

anggota suatu suku Pengaturan dan pemanfaatan oleh penghulu- penghulu

suku.

c. Tanah Ulayat Kaum, Kepemilikan/ perdata, Hak Milik Milik kolektif

anggota suatu kaum. Pengaturan dan pemanfaatan oleh mamak jurai/

mamak kepala waris.

d. Tanah Ulayat Rajo, Kepemilikan/perdata Hak Pakai dan Hak Kelola Laki

- laki tertua dari garis keturunan ibu Laki-laki tertua dari garis keturunan

ibu.

Hal diatas merumuskan bahwa tanah ulayat nagari memilik aspek

publik yang penguasaan dan pengurusannnya dilakukan oleh ninik mamak

KAN (Kerapatan Adat Nagari). Tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum

merupakan hak milik kolektif anggota suatu suku atau kaum. Sedangkan

tanah ulayat rajo merupakan tanah ulayat yang penguasaan dan

pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari dari garis keturunan ibu.

Tanah Ulayat Nagari di bawah pengawasan penghulu-penghulu

yang bernaung dalam kerapatan nagari. Tanah ulayat nagari adalah milik

bersama rakyat dalam nagari itu. Tanah ulayat nagari dapat berupa hutan-

hutan, semak belukar maupun tanah-tanah yang berada dalam lingkup dan

pengelolahan nagari. Nagari merupakan gabungan dari beberapa koto, yang

mempunyai suku serta menempati suatu wilayah tertentu. Pada umumnya di

dalam suatu nagari dijumpai sedikitnya empat buah suku. Sebuah nagari

dipimpin oleh seorang kepala nagari. Penggunaan tanah ulayat nagari,

digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat umum, seperti

pembangunan mesjid, pembuatan balai adat, dan untuk pasar atau

kepentingan lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.

Kepemilikan tanah ulayat nagari tidak dapat diubah, kecuali atas

kesepakatyan seluruh wakil suku atau kaum yang ada dalam nagari itu.

Karena berkembangnya anak kemenakan, kebiasaan tanah ulayat nagari itu

diturunkan derajatnya menjadi tanah ulayat suku atau tanah ulayat kaum.

Seluruh suku dan kaum mendapat bagian yang sama. Kesepakatan pembagian

9

Page 11: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

tanah ulayat nagari menjadi ulayat suku atau kaum itu dituangkan dalam

suatu surat kesepakatan yang ada pada zaman dahulu ditulis dalam bahasa

Melayu dan ditanda tangani bersama. Dapat juga status pemakaian tanah

ulayat nagari diubah atas kesepakatan bersama.

Tanah ulayat suku, terpegang pada penghulu suku, dan dikelola

anggota suku. Suku adalah gabungan dari beberapa kaum, dimana pertalian

darah yang mengikat suku adalah pertalian darah menurut garis ibu. Suku

sama sekali tidak terikat pada suatu daerah tertentu. Dimana anggota suku itu

berada mereka akan tetap merasakan pertalian darah dengan segenap rasa

persaudaraan sesuku.

Setiap suku dipimpin oleh seorang penghulu suku. Untuk

menggunakan tanah ulayat suku para anggota suku dalam pelaksanaannya

diawasi oleh kepala penghulu suku dan dia juga membawahi beberapa rumah

gadang milik kaum atau jurai. Mengingat begitu pentingnya tugas seorang

penghulu sebagai pemimpin dalam suatu suku, maka tidak semua laki-laki

dalam sukunya yang dapat diangkat menjadi penghulu suku melainkan

seorang laki- laki dewasa berilmu yang luas, baik dalam pengetahuan adat

maupun pengetahuan umum, adil, arif dan bijaksana serta sabar. Pada

mulanya suku di Minangkabauu berjumlah empat suku yaitu Bodi, Caniago,

Koto dan Piliang. Kemudian sesuai dengan perkembangan zaman dan

bertambahnya penduduk maka suku-suku di Minangkabau berjumlah lebih

kurang 96 suku diantaranya suku Tanjung, Jambak, Koto, Sikumbang, Guci,

Panyalai, Melayu, Banu Hampu, Kampai, Pitopang, Mandaliku, Sako dan

lain-lain.

Setiap orang Minangkabau mempunyai suku dan seorang yang

memiliki keturunan darah yang sama dianggap satu suku. Dalam adat

Minangkabau orang yang satu suku umumnya dilarang untuk menikah karena

dianggap mempunyai satu keturunan genelogis yang sama yaitu matrilineal

menurut garis keturunan ibu.

Setiap kaum, suku dan nagari di Minangkabau memiliki harta

pusaka yang dipelihara secara turun temurun dari satu generasi ke generasi

10

Page 12: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

berikutnya. Harta pusaka ini merupakan tanggung jawab dari mamak waris

untuk memeliharanya. Harta pusaka ada yang berujud matrial disebut sako

yaitu berupa tanah, rumah dan barang-barang berharga lainnya. Disamping

itu juga ada harta pusaka yang bersifat immaterial yang berupa gelar

kebesaran suku yang diturunkan dari mamak (saudara laki-laki dari ibu) ke

kemenakan (anak laki-laki dari saudara perempuan). Harta pusaka terutama

tanah yang merupakan milik komunal dalam suku bukan milik perorangan.

Tanah merupakan syarat yang pokok bagi orang Minangkabau. Dalam

pepatah adat dikatakan, bahwa orang yang tidak punya tanah dibumi

Minangkabau orang itu bukanlah asli daerah tersebut.

Tanah ulayat kaum, adalah tanah-tanah yang dikelola oleh kaum

secara bersama. Kaum adalah gabungan dari pada paruik (seibu) yang berasal

dari satu nenek. Tanah ulayat kaum merupakan harta pusaka tinggi yang

dimanfaatkan untuk kesejahteraan anak kemenakan, terutama untuk

memenuhi ekonominya. Tanah ulayat kaum yang dimiliki secaral komunal

itu merupakan harta yang diberikan haknya kepada anggota kaum untuk

memungut hasilnya, sedangkan hak milik atas nama kaum tersebut. Harta ini

jika digadaikan harus mendapat persetujuan dari kepala kaum dan seluruh

anggota kaum lainnya.

Pengawasan tanah ulayat kaum atau harta pusaka tinggi ini,

merupakan tugas dari kepala kaum yang disebut tungganai (mamak rumah

yang dituakan) dalam jurai dan dihormati seperti yang diungkapkan dalam

pepatah adat didahulukan salangkah, ditinggikan sarantiang (didahulukan

selangkah dan ditinggikan seranting) oleh anggota kaumnya.

3. Penyebab Utama Terjadinya Sengketa Tanah Adat

Menurut Loockwood (dalam Soekanto dan Ratih, 1988)

menyebutkan penyebab konflik dalam masyarakat dapat berupa perbedaan

taraf kekuasaan yang dipegang individu dalam masyarakat, sumberdaya yang

terbatas, kepentingan yang tidak sama. Konflik dapat juga disebut sebagai

11

Page 13: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang

memiliki, atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan.7

Kasus pertanahan di Sumetera Barat dan khususnya di Talang Maur

Payakumbuh, konflik secara spesifik bisa dirumuskan sebagai, perampasan

hak milik, pencegahan dan gangguan, serta tindakan kekerasan. Semua,

umumnya berkaitan dengan sistem keluarga matrilineal, sebab sistem ini ikut

mendorong atau memberi peluang akan terjadinya sengketa. Pegang-gadai

dan pewarisan adalah masalah utama yamg sering mendorong terjadinya

sengketa. Sebab sistem ekonomi ini umumnya dilakukan secara lisan ataupun

kalau ada surat bawah tanngan, kurang kuat keabsahannya sesuai dengan

perundang-undangan umum.

Semua itu tidak bisa lepas dari perubahan sosial ekonomi. Pada saat

sistem adat matrilineal mulai meluntur perlahan-lahan, dan masalah-masalah

ekonomi mulai mendesak maka tanah sebagai katup pengaman dalam

perekonomian sering menjadi masalah. Ada banyak model sengketa yang

terjadi, mulai dari perselisihan pebatasan nagari, perampasan sawah atau

kebun, pengkhianayan hak milik dan pengaduan ke penghulu, pengaduan ke

polisi, ke nagari, ke kecamatan serta ke pengadilan. Dalam hal ini tentu tidak

jarang terjadi tindakan kekerasan seperti perkelahian atau ada juga main

racun atau tubo.

Kasus perselisihan tanah diperbatasan nagari sering terjadi, hal ini

dipicu oleh antara lain tidak jelasnya batas-batas nagari, apabila diantara

kedua nagari dibatasi oleh jurang ataupun bukit, dimana masing warga nagari

sama ingin memanfaatkan lahan tersebut untuk berladang, ataupun buat

menggembala ternaknya, hal ini bisa menimbulkan perkelahian antar

masyarakat kampung. Kasus perselisihan tanah sepadan (batas-batas), hal ini

disebabkan tidak jelasnya batas sepadan, antara tanah ulayat yang satu

dengan tanah yang lainnya, dimana masing-masing tanah tersebut sudah

7 Soerjono Soekanto dan Ratih Lestari, Fungsionalisme dan Teori Konflik. Jakarta: Gunung agung, 1988, hal 65.

12

Page 14: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

terpisah nagarinya. Tidak berperannya masing-masing mamak kepala waris

serta tidak berfungsinya Lembaga Kerapatan Adat Nagari.

Kasus warisan, karena tidak jelasnya ranji juga sering menimbulkan

sengketa antara para pewarisnya, hal mana yang penulis bahas juga terjadi di

Kabupaten Solok, tepatnya di Nagari Muara Panas, begitu kompleknya

masalah ini yang disamping menyangkut warisan juga ada hibah serta

menyangkut juga dengan sako (gelar adat), sehingga hal ini dipertanyakan

mengenai dapatkan diselesaikan oleh Nagari atau Kerapatan Adat Nagari.

B. PENEGAKAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH

ADAT YANG BERBASIS KEARIFAN LOKAL MINANGKABAU PADA

MASYARAKAT TALANG MAUR PAYAKUMBUH

Pemahaman mengenai sengketa dalam hal ini menurut kamus besar

bahasa Indonesia, sengketa adalah segala sesuatu yang menyebabkan

perbedaan pendapat, pertikaian atau pembantahan timbulnya sengketa hukum

adalah bermula dari pengaduan suatu pihak (orang/badan) yang berisi

keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, perioritas

maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian

secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

Didalam hukum perdata perkara dapat dibagi menjadi 2 (dua)

macam yaitu: perkara Voluntair dan perkara contentiosa, seperti yang

dikemukakan oleh Yahya Harahap bahwa yurisdiksi contentiosa yaitu

perkara sengketa yang bersifat partai(ada pihak penggugat dan tergugat) dan

juga perkara Voluntair, yaitu: gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada

pihak lain yang ditarik sebagai tergugat.8

Dikaitkan dengan kearifan lokal Minangkabau di masyarakat

Talang Maur Payakumbuh pada dasarnya menganut sistem kekerabatan

matrilinial, yaitu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu

masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu.

8 M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika,2010, hal. 28.13

Page 15: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan anggota dari kaum

ibunya. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya kedalam sebagaimana

yang berlaku dalam sistem patrilineal. Nenek moyang minang kabau

meninggalkan warisan (harta) untuk generasi selanjutnya. Harta tersebut

dapat berupa bukan benda (tidak berwujud) dan benda (berwujud). Harta

yang tidak berwujud disebut sako itu ialah gala (gelar). Sedangkan harta

yang berwujud disebut pusako. Sako adalah milik kaum secara turun

temurun menurut sistem matrilineal yang tidak berbentuk material,

seperti gelar penghulu, kebesaran kaum, tuah dan penghormatan yang

diberikan masyarakat kepadanya. Hal ini menyebabkan sako menjadi hak

bagi laki-laki dalam kaumnya.

Sengketa harta pusaka tinggi berupa tanah ini disebabkan oleh

beberapa faktor, antara lain:

1. Karena pada waktu dahulu, sewaktu menggadaikan

ataupun meminjamkan harta pusaka tinggi, tidak

dituangkan dalam bukti tertulis. Hanya disaksikan oleh

beberapa orang saksi, sehingga seiringnya waktu yang terus

berjalan, saksi-saksi tersebut meninggal dunia dan anggota

kaum penerus lainnya mengalami kesulitan untuk menebus

harta pusaka tinggi itu.

2. Tidak jelasnya batasan-batasan harta pusaka tinggi yang

berbentu tanah, sehingga dapat menimbulkan

persengketaan antar kaum.

3. Tidak terjadinya kesesuaian antara ninik mamak dengan

kemenakan tentang pembagian harta pusaka tinggi.

4. Adanya klaim dari keturunan pihak/kaum yang menerima

gadaian tanah pusako tinggi dahulunya menyatakan kalau

tanah pusako tinggi itu telah dibeli oleh nenek moyang

mereka.

Karena pada dasarnya Pada Masyarakat Minangkabau harta yang

akan diwariskan tersebut dapat berupa:

14

Page 16: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

a. Harta Pusako

b. Harta Pencaharian

Harta pusako dapat dibedakan lagi menjadi harta pusako tinggi

dan harta pusako randah. Harta pusako tinggi, terdiri dari sako dan pusako.

Sako biasanya berbentuk gelar kehormatan, sedangkan pusako berbentuk

tanah atau hak ulayat. Sako dan pusako diturunkan dari seorang mamak

kepada keponakannya. Harta pusako tinggi adalah harta yang telah diwarisi

lebih dari tiga generasi secara turun temurun sehingga bagi penerima harta

itu sudah kabur asal usulnya. Yang berhak mewarisi adalah para kemenakan

menurut garis ibu. Pewarisan harta pusako tinggi tersebut dilakukan secara

kolektif dan hak yang diperolah para ahli waris secara individual hanya

sebatas Hak Pakai. Sedangkan harta pusako randah/ Tanah pusaka rendah

adalah harta yang diperoleh seseorang atau sebuah paruik berdasarkan

pemberian yang dipunyai suatu keluarga berdasarkan pencaharian. Harta

pencaharian dibagi menurut hukum agama (Islam), sedangkan harta pusaka

tetap dimiliki oleh suku yang bersangkutan dan diwariskan. Ini merupakan

kesadaran baru bagi orang Minangkabau untuk mengurangi kekuasaan

penghulu dan mamak dalam keluarga. Sebab sebelumnya, pencaharian

seorang ayah melekat di rumah isteri tetap dikuasai oleh pihak keluarga

isteri termasuk mamak.9

Mengenai sengketa tanah juga disebabkan karena ketidak jelasan

silsilah keluarga juga dalm hal mawaris harta pusako (tanah adat). Sehingga

setiap sengketa adat harus diselesaikan secara berjenjang naik bertangga

turun mulai dari lingkungan kaum, lingkungan suku, dan nagari. Jika

penyelesaian dalam kaum tidak dipoleh dapat diajukan ketingkat suku, dan

jika pada tingkat suku tidak terdapat penyelesaian dapat diajukan ke

tingkat Kerapatan Adat Nagari.

Dapat diuraikan kembali bahwa sengketa dalam penyelesaiannya

dapt ditempuh melalui dua tahap, yaitu:

9 Hamka, Adat Minangkabau dan Harta Pusakanya, dalam Mochtar Naim (Ed.), Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris, Center For Minangkabau Studies Press, Padang, 1968, hal. 46

15

Page 17: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

a. Litigasi

Yakni dengan mengajukan gugatan atupun permohonan kepada

pengadilan negeri yang didasari aturan-aturan hokum dari negara.

b. Non litigasi

Merupakan penyelesaian sengketa diluar pengadilan konvensional

yang didasari atas kesepakatan dan persetujuan masing-masing pihak

yang bersengketa.

Dalam penulisan ini penulis mengupas mengenai penyelesaian

sengketa secara non litigasi. Penyelesaian sengketa secara non litigasi

memiliki berbagai pilihan dalam menyelesaikan sengketa serta memiliki

keunggulan daripada cara litigasi yakni”:

a. Sifat kesukarelaan dalam proses.

b. Prosedur yang cepat.

c. Keputusan non yudisial.

d. Prosedur yang rahasia (confidential).

e. Fleksibelitas yang besar.

f. Hemat waktu.

g. Hemat biaya.

h. Keputusan yang bertahan sepanjang waktu.

Penyelesaian sengketa secara non litigasi meliputi:

a. Negosiasi

Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana antara dua

orang atau lebih/para pihak yang mempunyai hal

ataubersengketa saling melakukan kompromi atau tawar

menawar terhadap kepentingan penyelesaian suatu hal atau

sengketa untuk mencapai kesepakatan.

b. Mediasi

Mediasi adalah metode penyelesaian sengketa diluar peradilan

yang kurang lebih hampir sama dengan negosiasi, bedanya

adalah terdapat pihak ketiga yang netral dan berfungsi sebagai

16

Page 18: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

penengah ataumemfasilitasi mediasi tersebut yang biasa

disebut mediator.

c. Konsiliasi

Konsiliasi merupakan salah satu lembaga penyelesaian

diluar pengadilan yakni para pihak bersama-sama mencari

solusi terhadap sengketa mereka.

d. Arbitrasi

Arbitrasi adalah metode penyelesaian sengketa yang mirip

dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakn sebagai

“litigasi swasta” dimana yang memeriksa perkara tersebut

bukanlah hakim tetapi seorang arbiter.

Sengketa tanah pusaka tinggi di Minangkabau diselesaikan

menurut adat, yaitu secara musyawarah mufakat. Hal ini sejalan dengan

pepatah, “bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat”. Azas

musyawarah mufakat tersebut juga didasari oleh bajanjang naiak batanggo

turun. Tingkat peradilan adat dalam menyelesaikan sengketa tanah dengan

berlakunya perda nomor 13 tahun 1983 adalah sebagai berikut:

a. Untuk sengketa yang terjadi dalam suatu kaum, maka

peradilannya terdiri atas tiga tingkat yaitu:

1. Tingkat kaum, pada tingkat ini sengketa diselesaikan oleh

mamak kepala waris.

2. Tingkat suku, jika sengketa dalam kaum tidak dapat

diselesaikan maka dapat diajukan ketngkat suku. Yang

diselesaikan oleh penghulu suku.

3. Tingkat Kerapatan Adat Nagari (KAN), jika suatu

sengketa tidak dapat diselesaikan pada tingkat suku maka

dapat diajukan ke Kerapatan Adat Nagari.

b. Untuk sengketa yang terjadi antar kaum maka peradilannya terdiri

atas dua tingkatan yaitu:

1. Tingkat antar kaum, juka terjadi sengketa antar kaum

maka dapat diselesaikan oleh “penghulu nan ampek”

17

Page 19: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

(penghulu yang empat).

2. Tingkat Kerapatan Adat Nagari, juka sengketa tidak dapat

diselesaikan dalam tingkat antar suku maka

penyelesaiannya dapat dilaksanakan melalui Kerapatan Adat

Nagari.

Penyelesaian sengketa dalam peradilan KAN selalu diusahakan

secepat mungkin, untuk menghindari keresahan dalam masyarakat. Tidak

jarang terjadi dalam peradilan KAN, suatu keputusan diambil tiga kali

sidang, tetapi cepat atau lambatnya keputusan terhadap sebuah perkara akan

sangat ditentukan dan tergantung oleh kasus yang akan diselesaikan,

merupakan suatu keputusan (vonis) bersifat tetap atau hasil akhir suatu

persengketaan.

Prosedur persidangan sampai dengan pengambilan keputusan,

KAN, sebagai berikut:

a. Pemanggilan pihak penggugat yang mengajukan gugatan.

b. Setelah pemanggilan itu dirundingkan oleh ninik mamak pengadilan

adat.

c. Ditanya masing-masing mamak kepala waris dalam sidang oleh anggota

sidang untuk diketahui asal usul obyek sengketa, duduk masalah,

keinginan pihak penggugat, dsb.

d. Ditanya mau diselesaikan oleh pengadilan adat atau tidak

e. Begitu juga untuk pihak kedua (tergugat) sama bunyinya sebagaimana

hal diatas.

f. Kalau mau diselesaikan oleh KAN, baru bukti-bukti diseleksi dan dikaji

oleh KAN dengan ketentuan sidang:

1) Tiga kali sidang untuk penggugat

2) Dipanggil pihak kedua sebagai tergugat, juga sama tiga kali

sidang sebagaimana penggugat

3) Setelah itu dipertemukan lagi antara penggugat dan tergugat,

terjadi daksaan dan jawaban-jawaban serta tangkisan yang

18

Page 20: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

NO TAHUNPIHAK YANG

BERSENGKETASUKU

JUMLAHSENGKETA

KETERANGAN PUTUSAN

1 02 Maret 2006 Si Er dan Khaidar Caniago 2 Diterima Kedua belah Pihak2 30 Juni 2007 Imih dan Ati Piliang

2Diterima Kedua belah Pihak

3 04 Agustus 2007 Izel dan Si Na Kampai dan Dalimo Diterima Kedua belah Pihak4 25 Juli 2009 Sosmina dan Sumar Dalimo 1 Diterima Kedua belah Pihak5 12 Mei 2012 Yusmar dan Mansur Kampai

2Diterima Kedua Belah Pihak

6 16 Juni 2012 Tuti Hasni dan Si Er Caniago Diterima Kedua Belah Pihak7 09 November 2013 Asti Neka dan Si Har Dalimo dan Kampai 2 Diterima Kedua Belah Pihak

Jumlah 9

diajukan selama persidangan berlangsung.

4) Bukti-bukti yang diajukan baik tertulis berupa surat maupun

berupa keterangan saksi yang dikemukakan dalam persidangan.

5) Ninik mamak turun ke lapangan, ke tempat obyek perkara.

6) Dihadiri oleh saksi-saksi sepadan yang berperkara serta Kepala

Rukun Tetangga (RT) dan Lurah.

g. Dipanggil lagi penggugat dan tergugat oleh KAN, bagaimana rasanya

karena ibarat pepatah ”sudah siang hari, sudah nampak bulan” telah jelas

dan nyata persoalannya, baru KAN memberikan keputusan (vonis)

berupa kesimpulan.

Keputusan atau kesimpulan yang diambil majelis hakim dalam

KAN dapat berupa :

1) Mengabulkan gugatan, jika gugatan terang (jelas)

2) Memenangkan tergugat jika gugatan tidak terang

3) Jika dalam perkara itu keterangan para pihak sama kuat maka

dianjurkan untuk melaksanakan pembagian harta tersebut sama

banyak

4) Hukum bersumpah, jika persengketaan pembagian harta sama

banyak tidak dapat dilakukan karena para pihak tidak mau

melaksanakan, maka melalui sumpah ini salah satu pihak akan

melepaskan harta tersebut.

Tabel 1: Jenis Sengketa Pusako Tinggi (tanah adat) pada Kantor

Kerapatan Adat Nagari (KAN) Talang Maur yang terselesaikan

Sumber: Kantor KAN Kenagarian Talang Maur

19

Page 21: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

Tabel 2 : Jenis Sengketa Pusako Tinggi (tanah adat) pada kantor Kerapatan Adat Nagari (KAN) Talang Maur yang tidak terselesaikan

NO TAHUNPIHAK YANG

SUKUJUMLAH

KETERANGAN PUTUSANBERSENGKETA SENGKETA

1 28 Juli 2006 Rusna dan Kulih Picancang dan Dalimo 1 Tidak diterima dan dilanjutkan ke pengadilan2 10 November 2013 Akam dan Niar Picancang 2 Tidak diterima dan dilanjutkan ke PengadilanJumlah 3

Sumber: Kantor KAN Kenagarian Talang Maur

Data tabel diatas dapat penulis uraikan, bahwa Kerapatan Adat

Nagari (KAN) dalam menjalankan peranannya dalam menyelesaikan

semua sengketa yang dilaporkan ke Kantor kerapatan Adat Nagari

Kenagarian Talang Maur dapat terselesaikan dengan baik oleh Lembaga

Peradilan Adat. Dari sebelas sampel kasus diatas Sembilan diantaranya

diselesaikan oleh Lembaga Peradilan Adat Nagari dan dua diantara

sengketa dilanjutkan atau diajukan oleh pihak yang bersengketa ke

Pengadilan Negeri. Sehingga kearifan lokal disini lebih dikedepankan dari

pada hukum normatif dalam penyelesaian sengketa tanah Adat (tanah

ulayat).

20

Page 22: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

PENUTUP

SIMPULAN

Berdasarkan hasil dari pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya

maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Penyebab timbulnya sengketa tanah di Talang Maur Payakumbuh

disebabkan karena tidak jelasnya silsilah, sehingga hal tersebut

mengakibatkan beberapa pihak yang merasa bahwa kepada dialah harta

pusaka tinggi yaitu tanah tersebut berhak diwariskan, seseorang mewariskan

hasil jerih payahnya yang telah didirikan atau berada di atas tanah kaum

istrinya kepada anak-anaknya, sehingga tidak menutup kemungkinan

nantinya harta warisan tersebut akan disangka sebagai harta pusaka kaum

istrinya atau menjadi harta pusako randah dan harta pusaka tinggi tersebut

di jual oleh mamak kepala waris tanpa sepengetahuan anggota kaum yang

bersangkutan. Serta anggota masyarakat di dalam kaum di Talang Maur

tidak mengetahui atau kurang memahami ketentuan-ketentuan adat yang

berlaku.

2. Dalam penyelesaian perkara sengketa tanah yang terjadi di Talang Maur

Payakumbuh yang menggunakan kearifan lokal minangkabau tercermin dari

peran Kerapatan Adat Nagari ( K A N ) di Kenagarian Talang Maur yang

berfungsi sebagai penengah atas setiap sengketa-sengketa yang berkaitan

dengan sengketa tanah pusako tinggi di Kenagarian Talang Maur. KAN

berfungsi untuk menyelesaikan sengketa harta pusako tinggi yang mana

sebelum lanjut ketingkat KAN para pihak telah melakukan langkah

penyelesaian dengan mendahulukan musyawarah dan mufakat di tingkat

Paruik, Kaum, Suku dan Sudut. KAN dapat bertindak sebagai penengah

dalam menyelesaikan sengketa apabila langkah tersebut telah di tempuh

para keluarga yang bersengketa dan tidak menemukan penyelesaiannya

Sehingga kearifan lokal disini lebih diunggulkan untuk didahulukan dalam

menyelesaikan masalah dalam masyarakat.

21

Page 23: Makalah Filsafat Hukum kearifan lokal

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Harahap, M. Yahya, 2010, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika.

Hamka, 1968, Adat Minangkabau dan Harta Pusakanya, dalam Mochtar Naim

(Ed.), Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris, Padang: Center For

Minangkabau Studies Press.

Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, 1978, Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang

dan Pidato Dua Di Minangkabau, Bandung: Remaja Karya.

Muhammad. Bushar, 2000, Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita.

Sudiyat. Iman, 1918, Hukum Adat, Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty.

Soerjono Soekanto dan Ratih Lestari, 1988, Fungsionalisme dan Teori Konflik.

Jakarta: Gunung agung.

Ter. Haar, 1999, Asas–asas dan susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya

Paramita.

22