Makalah DPT

22
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini penyakit menular di Indonesia semakin marak, salah satu penyakit menular yang banyak terjadi di Indonesia adalah DPT yang terdiri dari penyakit Dipteri, Pertusis, dan Tetanus. Dengan semakin maraknya penyakit DPT yang ada, dibutuhkan beberapa upaya pengendalian untuk penyakit tersebut. Hingga kini imunisasi masih menjadi andalan dalam mengendalikan penyebaran berbagai penyakit infeksi, khususnya penyakit yang banyak menjangkiti anak-anak. Menurut para pakar imunisasi dunia, sedikitnya sebanyak 10 juta jiwa dapat diselamatkan pada tahun 2006 melalui kegiatan imunisasi. Bahkan hingga tahun 2015 sebanyak 70 juta jiwa anak-anak di negara miskindapat diselamatkan dari penyakit-penyakit infeksi yang umumnya menjangkiti mereka. Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap difteri, pertusis dan tetanus. Difteri adalah suatu infeksi bakteri yang menyerang tenggorokan dan dapat menyebabkan komplikasi yang serius atau fatal. Pertusis (batuk rejan) adalah inteksi bakteri pada saluran udara yang ditandai dengan batuk hebat yang menetap serta bunyi pernafasan yang melengking. Tetanus adalah penyakit yang disebakan oleh tetanospasmin, yaitu sejenis neurotoksin yang diproduksi oleh 1

description

dipteri pertusis tetanus

Transcript of Makalah DPT

BAB I

PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Dewasa ini penyakit menular di Indonesia semakin marak, salah satu penyakit menular yang banyak terjadi di Indonesia adalah DPT yang terdiri dari penyakit Dipteri, Pertusis, dan Tetanus. Dengan semakin maraknya penyakit DPT yang ada, dibutuhkan beberapa upaya pengendalian untuk penyakit tersebut. Hingga kini imunisasi masih menjadi andalan dalam mengendalikan penyebaran berbagai penyakit infeksi, khususnya penyakit yang banyak menjangkiti anak-anak. Menurut para pakar imunisasi dunia, sedikitnya sebanyak 10 juta jiwa dapat diselamatkan pada tahun 2006 melalui kegiatan imunisasi. Bahkan hingga tahun 2015 sebanyak 70 juta jiwa anak-anak di negara miskindapat diselamatkan dari penyakit-penyakit infeksi yang umumnya menjangkiti mereka. Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap difteri, pertusis dan tetanus. Difteri adalah suatu infeksi bakteri yang menyerang tenggorokan dan dapat menyebabkan komplikasi yang serius atau fatal. Pertusis (batuk rejan) adalah inteksi bakteri pada saluran udara yang ditandai dengan batuk hebat yang menetap serta bunyi pernafasan yang melengking. Tetanus adalah penyakit yang disebakan oleh tetanospasmin, yaitu sejenis neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani yang menginfeksi sistem urat saraf dan otot sehingga saraf dan otot menjadi kaku (rigid).

Pada tahun 2005, Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa lebih dari 10 juta balita meninggal tiap tahun, dengan perkiraan 2,5 juta meninggal (25%) akibat penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin yang kini ada maupun yang terbaru.Oleh karena itu sangat jelas bahwa imunisasi sangat penting untuk mengurangi seluruh kematian anak. Keberhasilan program imunisasi untuk mencapai target yang diharapkan akan sangat tergantung dari hasil cakupan program tersebut dan pada akhir Pelita IV ditentukan bahwa cakupan imunisasiharus mencapai 65% dan pada tahun 1990 secara nasional Indonesia dapat mencapai status Universal Child Immunization (UCI) yaitu DPT minimal 90%.Oleh karena itu, penting halnya untuk mengetahui mengenai penyakit DPT dan upaya-upaya pencegahan yang harus dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

Apa itu penyakit DPT dan bagaimana pathogenesis dari penyakit DPT?

Bagaimana cara pengendalian penyakit DPT?

Apa saja hambatan dari pengendalian penyakit DPT?

1.3 Tujuan Makalah

Untuk mengetahui pengertian dan pathogenesis dari penyakit DPT.

Untuk mengetahui cara pengendalian penyakit DPT.

Untuk mengetahui apa saja hambatan dari pengendalian penyakit DPT.

BAB II

PEMBAHASAN2.1 Penyakit DPT

2.1.1 Penyakit Dipteri

Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium diphteriae yang berasal dari membrane mukosa hidung dan nasofaring, kulit dan lesi lain dari orang yang terinfeksi. Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya pada anak anak. Biasanya penyakit ini menyerang saluran pernafasan (terutama laring, amandel dan tenggorokan); tetapi bisa juga menyerang kulit dan toksin yang dihasilkan bisa menyebabkan kerusakan pada saraf, otak dan jantung. Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat. Selain itu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Penyakit ini menyerang bagian atas mukosa saluran pernapasan dan kulit yang terluka.

Penyakit difteri disebarkan orang ke orang melalui pernafasan, terutama droplet tenggorokan yang disebabkan batuk dan bersin. Kuman difteri hidup pada selaput lendir rongga mulut, tenggorokan, dan hidung pada orang yang terinfeksi dengan kuman ini. Penularan umumnya melalui udara (batuk / bersin), percikan air ludah batuk sang penderita. Bisa juga melalui benda atau makanan yang terkontaminasi Corynebacterium Diphtheriae. Penularan difteri juga dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh karier.Corynebacterium diphteriae masuk kehidung atau mulut dimana basil akan menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital. Setelah 2-4 jam hari masa inkubasi kuman dengan corynephage menghasilkan toksik yang mula-mula diabsorbsi oleh membran sel, kemudian penetrasi dan interferensi dengan sintesa protein bersama-sama dengan sel kuman mengeluarkan suatu enzim penghancur terhadap Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NAD). Sehingga sintesa protein terputus karena enzim dibutuhkan untuk memindahkan asam amino dan RNA dengan memperpanjang rantai polipeptida akibatnya terjadi nekrose sel yang menyatu dengan nekrosis jaringan dan membentuk eksudat yang mula-mula dapat diangkat, produksi toksin kian meningkat dan daerah infeksi makin meluas akhirnya terjadi eksudat fibrin, perlengketan dan membentuk membran yang berwarna dari abu-abu sampai hitam tergantung jumlah darah yang tercampur dari pembentukan membran tersebut apabila diangkat maka akan terjadi perdarahan dan akhirnya menimbulkan difteri. Hal tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak antara lain sesak nafas sehingga menyebabkan pola nafas tidak efektif, anoreksia sehingga penderita tampak lemah sehingga terjadi intoleransi aktifitas.

2.1.2 Penyakit Pertusis

Pertusis adalah suatu infeksi akut saluran nafas yang mengenai setiap pejamu yang rentan, tetapi paling sering dan serius pada anak-anak. (Behrman, 1996). Penyakit ini merupakan suatu penyakit akut yang disebabkan olehBordetella pertusis. Pertusis merupakan penyakit yang toxin mediated,toksinyang dihasilkankuman(melekat pada bulu getar saluran napas atas) akan melumpuhkan bulu getar tersebut sehingga gangguan aliran sekret saluran pernapasan, dan berpotensi menyebabkanpneumonia. Definisi Pertusis lainnya adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat menular dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodic dan paroksismal disertai nada yang meninggi. (Rampengan, 1993). Penyakit ini ditandai dengan demam dan perkembangan batuk semakin berat. Batuk adalah gejala khas dari batuk rejan atau pertusis. Seranagn batuk terjadi tiba-tiba dan berlanjut terus tanpa henti hingga seluruh udara di dalam paru-paru terbuang keluar. Akibatnya saat napas berikutnya pasien pertusis telah kekurangan udara shingga bernapas dengan cepat, suara pernapasan berbunyi separti pada bayi yang baru lahir berumur kurang dari 6 bulan dan pada orang dewasa bunyi ini sering tidak terdengar. Batuk pada pertusis biasanya sangat parah hingga muntah-muntah dan penderita sangat kelelahan setelah serangan batuk.

Infeksi diperoleh oleh inhalasi yang mengandung bakteri Bordetella pertusis. Perubahan inflamasi dipandang sebagai organisme proliferasi di mukosa sepanjang saluran pernafasan, terutama di dalam bronkus dan bronkiolus, mukosa yang padat dan disusupi dengan neutrofil, dan ada akumulasi lendir lengket dan leukosit di lumina bronkial. gumpalan basil terlihat dalam silia epitel trakea dan bronkial, di bawahnya yang ada nekrosis dari apithelium basiliar. Obstruksi parsial oleh plak lendir di saluran pernapasan.(Wong,2004)

2.1.3 Penyakit TetanusTetanus yang juga dikenal dengan lockjaw, merupakan penyakit yang disebakan oleh tetanospasmin, yaitu sejenis neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani yang menginfeksi sistem urat saraf dan otot sehingga saraf dan otot menjadi kaku (rigid).Kitasato merupakan orang pertama yang berhasil mengisolasi organisme dari korban manusia yang terkena tetanus dan juga melaporkan bahwa toksinnya dapat dinetralisasi dengan antibodi yang spesifik. Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme otot tonik dan hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang, dan paralisis pernapasan.

Clostridium tetani harus bersimbiosis dengan organisme piogenik. Basil tetanus tetap berada di daerah luka dan berkembang biak sedangkan eksotoksinnya beredar mengikuti sirkulasi darah sehingga terjadi toksemia (toksemia murni tanpa disertai bakteremia maupun sepsis).

Hipotesis cara bekerjanya toksin, yaitu pertama toksin diserap oleh ujung ujung saraf motorik dan mencapai sel sel kornu anterior medula spinalis, melalui axis silinder (kemudian menyebabkan kegiatan motorik seperti kejang). Kedua toksin diangkut oleh aliran darah ke SSP (Sistem Saraf Pusat), hal ini dapat dibuktikan dengan pemberian antitoksin tetanus (Antitetanic Serum ATS) yang bereaksi dengan baik, ATS bereaksi pada toksin yang hanya ada di darah. Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2 - 14 hari. Prognosis penyakit ini sangat buruk bila ada OMP (otitis media purulen) dan luka pada kulit kepala.2.2 Pengendalian DPT

Berikut merupakan beberapa cara pengendalian Dipteri :

1. Isolasi penderitaPenderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri dua kali berturut-turut negative. Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk difteria kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung dan sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di bawah).2. Pencegahan terhadap kontakTerhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila dalam pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati. Bila tidak ada gejala klinis, maka diberi imunisasi terhadap difteri.Sedangkan semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur dari sample hidung dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal Benzathine Penicillin (IM: lihat uraian dibawah untuk dosis pemberian) atau dengan Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan untuk diberikan kepada semua orang yang tinggal serumah dengan penderita difteria tanpa melihat status imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan carrier. Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu diberikan dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka terima sudah lebih dari lima tahun. Sedangkan bagi kontak yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, berikan mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau DTP-Hib tergantung dari usia mereka.

3. Imunisasi Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan pada usia 1 tahun dan 4 sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usia 2, 3 dan 4 bulan dan boster dilakukan pada usia 1 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada usia 2 bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena imunisasi yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml tiap kali pemberian.Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal

4. Desinfeksi serentak

Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk penderita dan terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita. Dilakukan pencucihamaan menyeluruh.

5. Karantina

Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya berhubungan dengan pengolahan makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat dengan anak-anak yang belum diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai mereka telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan di bawah dan pemeriksaan bakteriologis menyatakan bahwa mereka bukan carrier.

6. Kegiatan penyuluhan

Sangatlah penting beri penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak.Berikut merupakan pengendalian Pertusis :

1. Imunisasi aktif:

Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis, difteria dan tetanus (kombinasi).

Jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu.

Anak-anak berumur lebih 7 tahun tidak rutin diimunisasi. Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens, infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai sumber infeksi B.pertussis pada bayi-bayi non imun.Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar.

Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika terjadi penyakit panas, kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang dll. Riwayat keluarga adanya kejang, sudden infant death syndrome (SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlahkontra indikasi untuk imunisasi pertussis.Kontra indikasi untuk pemberian vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 harisebelum imunisasi, menangis>3 jam, high picth cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan> 40.50C dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis.

2. Kontak:

Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan ibu-ibu dengan pertussis.

Kontak intim yang berumur

Eritromisin : 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi juga diberikan eritromisin profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi eliminasiB. pertussisdari saluran pernafasan, dan mengurangi gejala-gejala penyakit.

Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemi.

Berikut merupakan beberapa cara pengendalian Tetanus :Tetanus adalah penyakit yang dapat dikendalikan/ dicegah; kadar antibodi serum 0,01 U/mL dianggap protektif. Imunisasi aktif harus mulai pada awal masa bayi dengan vaksin gabungan toksoid difteri - pertusis - toksoid tetanus (DPT) pada usia 2,4,6 bulan, dengan booster pada usia 4-6 tahun dan pada interval 10 tahun sesudahnya sampai dewasa dengan toksoid tetanus-difteri (Td). Imunisasi wanita dengan toksoid tetanus mencegah tetanus neonatorum; dosis tunggal toksoid yang berisi 250 Lf unit mungkin aman diberikan pada trimester ketiga kehamilan dan memeberi cukup antibodi transplasenta untuk melindungi anak untuk sekurang kurangnya 4 bulan. Untuk orang orang umur 7 tahun atau lebih yang belum diimunisasi, seri imunisasi primer terdiri dari 3 dosis toksoid Td yang diberikan secata intramuskuler, yang kedua 4-6 minggu sesudah yang pertama dan yang ketiga 6-12 bulan sesudah yang kedua.

Cara cara pencegahan tetanus pascatrauma terdiri dari menginduksi imunitas aktif terhadap toksin tetanus dan secara pasif memberi antibodi antitoksin. Pada luka yang perawatannya tertunda, imunisasi aktif harus dimulai segera. Walaupun toksoid tetanus cair menghasilkan respons imun lebih cepat daripada toksoid terserap atau terpresipitasi, toksoid terserap dapat menahan titer lebih lama. Indikasi untuk mendapatkan suntikan antitetanus ialah :

1. Luka luka yang besar

2. Luka luka di leher dan muka

3. Luka tembak yang sudah disertai jaringan otot yang mati

4. Luka yang terlambat mendapat perawatan

5. Ada gejala gejala terkena tetanus

6. Luka tusuk dan gigitan binatang yang cukup dalam.

Suntikan pencegahan tersebut terutama diberikan kepada mereka yang belum pernah mendapatkannya. Bila sudah pernah mendapatkannya, maka akan diberikan suntikan booster (penguat).2.3 Hambatan Pengendalian DPT

Dalam pengendalian penyakit DPT terdapat beberapa hambatan yang dapat memengaruhi pengendalian penyakit tersebut. Hambatan ini terdiri dari :

Intervensi dengan vaksinasi masal sampai saat ini belum bisa dilakukan karena keterbatasan biaya operasional. Biaya pengobatan difteri sangat tinggi, ADS (Antui Difteri Serum) sangat mahal dan sulit dicari demikian juga dengan Eritromisin. Pengobatan profilaksis sangat lama (7-10 hari) dengan dosis yang tinggi ( 50mg/KgBB/hari) dibagi dalam 4 dosis Efek samping eritromisin seperti perih, mual, muntah dan diare menajadikan tingginya angka DO (Drop out) pada pangobatan.

Belum tersedianya Ruang Isolasi khusus penyakit menular (difteri) yang memadai di setiap RSUD Kab/Kota untuk merawat penderita agar tidak terjadi Nosokomial infeksi.

Terbatasnya stock ADS dan Eritromisin di tingkat Propinsi sehingga kebutuhan logistik tersebut masih sering di supplay dari Kemenkes. Kebutuhan ADS dan Eritromisin untuk difteri sangat banyak dan belum semua Kab/Kota menyediakan sendiri. Pemberian imunisasi kadang menimbulkan efek samping seperti Demam tinggi pasca imunisasi. Efek samping ini sebenarnya merupakan pertanda baik, karena membuktikan vaksin yang dimasukkan ke dalam tubuh tengah bekerja. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat fakta bahwa adakalanya efek imunisasi ini sangat berat bahkan berujung kematian. Realita ini menurut Departemen Kesehatan RI disebut Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Menurut Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan (KNPP) KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imunisasi. Tetanus tidak bisa segera terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Kebiasaan masyarakat menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril, merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ia sembuh dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin ( kaena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan) Tetanus memiliki angka kematian sampai 50%. Kematian biasanya terjadi pada penderita yang sangat muda, sangat tua, dan pemakai obat suntik. Jika gejalanya memburuk dengan segera atau jika pengobatan tertunda, maka prognosisnya memburuk. Dipengaruhi oleh beberapa factor yang dapat memperburuk keadaan, yaitu :a) Masa inkubasi yang pendek (kurang dari 7 hari)

b) Neonatus dan usia tua (lebih dari 55 tahun)

c) Frekuensi kejang yang sering

d) Kenaikan suhu badan yang tinggi

e) Pengobatan yang lambat

f) Periode trismus dan kejang yang semakin sering

g) Adanya penyulitan spasme otot pernafasan dan obstruksi jalan nafas

Pengetahuan medis masyarakat yang kurang Pelayanan kesehatan yang belum sepenuhnya merata Kompetensi tenaga kesehatan yang kurang

BAB III

PENUTUP3.1 Kesimpulan Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium diphteriae yang berasal dari membrane mukosa hidung dan nasofaring, kulit dan lesi lain dari orang yang terinfeksi. Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya pada anak anak.

Pertusis adalah suatu infeksi akut saluran nafas yang mengenai setiap pejamu yang rentan, tetapi paling sering dan serius pada anak-anak. (Behrman, 1992). Penyakit ini merupakan suatu penyakit akut yang disebabkan olehBordetella pertusis. Pertusis merupakan penyakit yang toxin mediated,toksinyang dihasilkankuman(melekat pada bulu getar saluran napas atas) akan melumpuhkan bulu getar tersebut sehingga gangguan aliran sekret saluran pernapasan, dan berpotensi menyebabkanpneumonia. Tetanus yang juga dikenal dengan lockjaw, merupakan penyakit yang disebakan oleh tetanospasmin, yaitu sejenis neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani yang menginfeksi sistem urat saraf dan otot sehingga saraf dan otot menjadi kaku (rigid).

Beberapa pengendalian penyakit DPT adalah isolasi penderita, pencegahan terhadap kontak, imunisasi, desinfeksi serentak, karantina, kegiatan penyuluhan, Imunisasi aktif terhadap toksin dipteri,pertussis,tetanus dan secara pasif memberi antibodi antitoksin.

Beberapa faktor penghambat yang ada untuk mengendalikan penyakit DPT adalah adanya intervensi dengan vaksinasi masal sampai saat ini belum bisa dilakukan karena keterbatasan biaya operasional, biaya pengobatan difteri sangat tinggi, pengobatan profilaksis sangat lama, belum tersedianya Ruang Isolasi khusus penyakit menular (difteri) yang memadai di setiap RSUD Kab/Kota, pemberian imunisasi kadang menimbulkan efek samping , kebiasaan masyarakat menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril, tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ia sembuh dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin, pengetahuan medis masyarakat yang kurang, pelayanan kesehatan yang belum sepenuhnya merata, kompetensi tenaga kesehatan yang kurang.3.2 Saran

Menerapkan pola hidup bersih dan sehat.

Masyarakat sebaiknya selalu mengikuti program imunisasi yang telah diselenggarakan pemerintah karena itu semua demi kepentingan masyarakat itu sendiri.

Pemerintah dan petugas kesehatan sebaiknya melakukan sosialisasi atau penyuluhan tentang pentingnya imunisasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat tahu betapa pentingnya imunisasi bagi kesehatan anak-anak mereka.

pemerataan secara serentak pemberian imunisasi secara periodic, teratur dan secara langsung diberikan pada masyarakat yang belum memperoleh imunisasi. perlu adnya perencanaan yang mendalam dengan dibantu promosi masalah kesehatan agar tidak buta ilmu kesehatan. Pengawasan dan evaluasi juga diperlukan sebagai tolak ukur keberhasilan dan untuk perencanaan program kedepan.DAFTAR PUSTAKABatticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Persarafan. Jakarta: Salemba medika.Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. 1996. Nelson Textbook of Pediatrics. 15/E. Saunders Company, Philadelphia, Pennsylvania. Diterjemahkan oleh A. Samik Wahab.

Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, Parry CM. 2009. Tetamus. J Neurol, Neurosurg, and Psychia 69 (3): 292301Klein J. 2007. Infections tetanus. [terhubung berkala]. http://www.kidshealth.org/parent/infections/bacterial_viral/tetanus.html, diakses pada tanggal 30 November 2013.Madigan MT, Martinko JM. 2006. Brock Biology of Microorganisms 11th ed. New Jersey : Pearson Education.Hal. 233-245Mohammad, Kartono. 1975. Pertolongan Pertama. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Persarafan. Jakarta: Salemba medika.Prabowo, Eko Yudho Hadi. 2012. Makalah: Perilaku Ibu Dalam Pencegahan Penyakit Difteri Pada Anak. Ponorogo. Universitas Muhammadiyah Ponorogo.Rampengan,Laurentz. 1993. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta: EGC.Wong, Donna L.2004.Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

14