Makalah DOM Aceh

download Makalah DOM Aceh

of 24

description

Resume Materi Aceh

Transcript of Makalah DOM Aceh

Aceh Bersimbah DarahSistem Sosial IndonesiaAceh: Dari daerah Darul Islam, Ke Daerah Istimewa Hingga Daerah Operasi Militer (DOM)1. Sejarah keistimewaan Aceh Rentetan kejadian politik dan pembantaian di Aceh, selalu punya makna tersendiri, contoh perbandingan misalnya Aceh dan Timor-Timor, pernyataan ini bersifat tentatif, masyarakat Aceh mengalami depolitisasi yang berlebih, istilah ini memang sangat debatable sifatnya, namun dengan menunjukan beberapa indikator kunci tentang kedua masyarakat tersebut, hal-hal yang bisa diperebatkan diatas relative bisa terdamaikan.Pertama, keduanya adalah masyarakat pantai, ciri struktural ini bukan saja membuat corak keagamaan menjadi relatif puritan. Agama pantai pada kedua masyarakat itu berfungsi sebagai counter culture. Kedua, pancang-pancang budaya local di Aceh dan Timor-Timor diperkokoh dengan perkembangan lembaga pendidikan agama atau disebut dengan dayah, fungsi dayah antara lain sebagai pusat pertumbuhan institusi kemasyarakatan ,penjaga dan reproduksi sistem nilai-nilai.Dengan fungsi yang terakhir, posisis dayah menjadi strategis, ketiga , corak kepemimpinan sosial dan politik kedua masyarakat itu lahir dari sumber yang sama, para pemimpin pada tahap awal berasal dari kalangan agamawan, lalu oleh proses perubahan politik-sosial dan ekonomi terdorong kedepan untuk memainkan peranan non-agama-nya, dari proses inilah lahir tokoh-tokoh secara terpaksa memainkan peranan kepemimpinan sekuler ditengah-tengah masyarakatnya.Demikian, kedua masyarakat menemukan dirinya penuh dengan warna agama, makadari itu gerak kedua daerah dibatasi oleh nafas agama. Krisis penyelesaian GPK Fretilin di Timor-Timor, serta pengharaman segala bentuk kemaksiatan di Aceh, menunjukan tingkah laku yang di strukturkan oleh nilai-nilai agama.Cara pandang masyarakat Timor-Timor mengenai pembantaian umat manusia oleh Negara berubah, yaitu apa yang bisa disebut sebagai desekralisasi politik, proses ini berlangsung pada masa pemberontakan GPK Fretilin thn 1976, awalnya menggembirakan masyarakat Katolik Timor-Timor Untuk kasus Aceh, respon masyarakatnya terhadap pembantaian rakyat dalam peristiwa DOM kali ini sangat berbeda, dan diperkirakan melahirkan implikasi yang berbeda, perkiraan ini terutama karena Aceh mempunyai periwtiwa-peristiwa sosial-politik dan struktur sosial yang khusus pula, proses-proses politik diaceh sangatlah sukar dipisahkan dengan nilai-nilai Islam, karena sangat obyektif, diimbangi oleh absennya peristiwa-peristiwa khusus seperti momentum desakralisasi politik di Timor Timor .Kehadiran ABRI dan pemberontak, sebagai suatu peristiwa besar tetaplah dipandang sebagai sesuatu yang sacral. Tidak mengherankan jika basis pertarungan untuk mengamankan stabilitas politik secara langsung, melainkan mendemonstrasikan siapakah yang paling kuat diantara para petarung, struktur masyarakat Aceh terbilang horizontal: sultan, para kerabat, dan punggawanya disatu pihak, kaum uleebalang, kaum ulama dan masyarakat biasa dipihak lain, semua kelompok masyarakat berada dalam kapsul nya masing-masing dan secara fungsional relative tidak berkaitan .Sultan dan kerabat menaruh perhatian ke pelabuhan tempat dimana ia bisa mengeruk pajak. Uleebalang mengkonsentrasikan ke pasar dan perbatasan wilayah kekuasaannya, juga untuk memungut pajak dan berdagang. Sementara ulama hanya memperhatikan reformasi sosial dan cultural. Rakyat biasa, dan demikian terbiarkan begitu saja akibatnya integrasi vertical yaitu tipisnya tradisi berpemerintahan dikalangan masyarakat Aceh. Menurut Fachy Ali konsekuensi dari tipisnya tradisi integrasi politik di Aceh itu adalah besarnya peranan pemimpin informal ditengah-tengah masyarakat, tentu saja struktur sosial semacam ini tidaklah lagi menjelma semurni masyarakat Aceh pada abad-19 ketika industrialisasi berlangsung, ada kelompok masyarakat baru yang terjadi akibat perkembangbiakan, seperti kaum industriawan, kaum menengah ekonomi, kaum terpelajar non-dayah, kaum politisi, dan lain sebagainya, namun pengembangbiakan golongan ini tidak diikuti oleh peningkatan daya tampung structural yang bersifat vertical, golongan masyarakat ini terutama yang bisa disaksikan di Aceh Utara tidak bertumbuh menuju kepada bentuk kohesi sosial ysng ideal, melainkan kembali ke bentuk kapsul-kapsul yang telah tercipta pada abad lalu. Keresahan-keresahan sosial yang sedikit bersifat etnis dalam tahun-tahun yang lampau antara lain disebabkan oleh kecilnya daya tampung structural terhadap pembiakan golongan-golongan masyarakat iniDalam konteks inilah, kehadiran DOM di Aceh sebagai peristiwa politik nasional mempunyai arti yang begitu mendalam bagi masyarakat Aceh, nilai keislaman yang masih menjadi acuan dasar dalam menafsirkan realitas yang kini di proyeksikan ke dalam peristiwa DOM itu hanya akan melahirkan perebutan tentang siapa yang paling berhak dintara birokrat, ulama dan aktivis LSM, di AcehBerbeda dengan masyarakat Timor Timor, pembantaian manusia karena diberlakukannya DOM di Aceh dapat menimbulkan keretakan sosial-politik, pada dasarnya Aceh adalah wilayah komunitas relijius dimana peran penafsir realitas sosial yang paling sah berada dalam genggaman kaum ulama. Dengan melalui proses politik yang panjang kemudin Aceh menjadi Daerah Istimewa meski hanya sebutan tanpa realisasinya dalam kebijakan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Daerah ini tetap terkukuh sebagai sebuah wilayah yang memang istimewa sejak awalnya perkembangan lanjutan mengalami poses depolitisasi masa orde baru, dimana kaum ulama dipersempit perannya sehingga yang kemudian terlihat adalah sebuah realitas dimana ulama dijadikan alat oleh kekuasaan orde baru.Ulama merupakan kekuatan sosial masyarakat sipil yang telah membawa serangkaian perubahan besar di Aceh, pergulatan masyarakat Aceh dalam berbagai aspek kehidupannya selalu identik dengan pergulatan-pergulatan yang dilakukan kaum cendekiawan Islam ini, bagaimana perubahan ini terbentuk dan menghasilkan suasana baru diAceh kemudian akan dibahas disini dari sudut perspektif Fachry Ali, selalu saja mendapat kesulitan. Agama dalam perspektif ilmu sosial, dalam beberapa hal berfungsi sebagai kebudaaan yang didalam prakteknya adalah sebuah sistem nilai. Dalam konteks inilah bisa dilihat besarnya peran agama dalam memberikan dan isi serta pengayaan budaya Aceh , focus perhatian Fachry Ali disebutkan bahwa kedatangan agama-agama itu telah menyebabkan wilayah nusantara mendapat tempat dalam sejarah dunia, disamping itu bagaimanapun harus diakui bahwa kedatangan agama telah memperkenalkan konsep-konsep tertentu yang sebelmnya tidak atau belum berkembang di masyarakat.Untuk itu perlu menengok kembali sejarah sosial-budaya Aceh dimasa lalu. Dari sini bisa dilihat pertemuan fisik pertama Islam Aceh dan dunia modern Belanda, yang terjadi dilapangan politik dan militer, bukan dilapangan budaya dan kemanusiaan, pertemuan ini sangat krusial dalam member bentuk bagi Islam Aceh untuk periode-periode selanjutnya. Ketika benteng kesultanan Aceh jatuh ke tangan Belanda pada 1873, dan pada akhir 1890-an, Belanda melancarkan serangan besar-besaran ke seluruh Aceh, masyarakat politik Aceh yang baru pun segera terbentuk: jatuhnya kepemimpinan dan uleebalang dan naiknya kaum ulama sebagai lapisan baru. Sebagaimana dikonsepsikan oleh Fachry Ali, kemunculan elemen kepemimpinan baru itu telah menyuntikkan darah segar bagi resistensi Aceh terhadap Belanda. Untuk memberikan semangat keagamaan penopang perlawanan terhadap kaum kafir, menurut temuan dari Fachry Ali, kaum ulama menawarkan Islam sebagai basis gerakan. Islam ditangan kaum ulama ditransformasikan ke dalam ideologi perlawanan. Selama masa inilah Islam Aceh terbentuk secara tipikal. Agar Islam dapat secara lebih konferhensif menjadi ideologi perang, kaum ulama pun menerjemahkan ajaran-ajaran agama ke dalam bait-bait Hikayat Prang Sabi (Kisah Perang Suci). Hikayat ini pada intinya menjanjikan surga bagi para martir (syahid), dan dengan demikian membangkitkan semangat perang masyarakat Aceh sejak buaian hingga kakek-nenek, setelahkalah dengan korban sekitar 250.000 jiwa pada 1879, dan 20.000 pada 1890.Yang penting ditekankan disini adalah Islam, sebagai agama universal, telah secara khusus tertransformasikan ke dalam ideologi perang. Transformasi ini telah menjadikan Islam di Aceh lebih sebagai alat politik untuk mengadakan perlawanan terhadap musuh-musuhnya, membentuk identifikasi diri dan oleh karenanya menarik garis perbedaan yang mendasar antara orang-orang Aceh dengan musuh-musuhnya serta para pengkhianat lokal. Diatas semua itu, ajaran-ajaran Islam telah tertransformasikan ke dalam Hikayat Prang Sabi. Kini tidak ada seorang sastrawan atau penyair di Indonesia yang sanggup untuk membuat puisi sehebat Hikayat Prang Sabi yang sanggup menggerakkan rakyat untuk bertempur tanpa takut mati. Pada tahap perkembangan inilah, Islam hampir dalam pengertian sebenarnya berubah menjadi agama rakyat yang secara mendalam telah mempengaruhi hubungan sosial dan tingkah laku budaya masyarakat Aceh. Islam yang ter-Acehkan mengutip istilah Fachry Ali ini berlanjut sebagai pemberi identitas rasa percaya diri Aceh ketika, semenjak tahun 1920-an, Belanda memodernisasikan Aceh dengan, seperti terjadi di Jawa sebelumnya, mengembangkan sistem pendidikan khusus kepada anak-anak uleebalang. Proses ini menghasilkan orang-orang pertama ter-Baratkan itu hanya terdiri dari segelintir orang. Sebagai akibatnya, perkembangan budaya sekuler yang bersifat kekotaan itu berlangsung di pinggir budaya Islam Aceh. Sebaliknya, dengan dasar modernisasi Islam, kaum ulama mendirikan beragam madrasah di tahun 1930-an yang secara progresif mengadopsi metode pengajaran modern tentunya setelah mengalami proses Islamisasi. Bagi masyarakat Aceh, masih menurut Fachry Ali, terdapat beberapa konsekuensi dari hasil perkembangan terakhir ini. Pertama, berkenaan dengan gagasan keberadaan orang Aceh. Kebangkitan sekolah-sekolah Islam modern di tahun 1930-an telah dianggap sebagai kebangkitan Islam. Karena Islam telah menjadi agama rakyat dan merupakan bagian integral dari identitas Aceh, kebangkitan Islam melalui penyebaran sekolah-sekolah itu dihayati juga sebagai kebangkitan Aceh. Kedua, perkembangan madrasah-madrasah itu memberikan struktur sosiologis bagi ulama. Tidak seperti dayah, sistem pendidikan tradisional Aceh, sistem madrasah lebih bertelekan pada struktur baru dimana kaum ulama dapatmuncul menjadi tokoh publik. Terdorong kebutuhan menyebarkan pemikiran reformis, kaum ulama bergerak keluar, melewati batas-batas madrasah dan membuat tabligh dalam berbagai pertemuan, mengajak masyarakat bergerak satu nafas dalam gerakan madrasah. Ini berarti dalam struktur madrasah semacam inilah para ulama tertransformasikan menjadi pemimpin publik dengan dukungan massa yang luas. Era madrasah, dengan demikian menandai datangnya zaman baru di Aceh, bukan saja dengan kemunculan tokoh publik dari kalangan ulama, melainkan dengan intensifikasi kesadaran politik massa. Terakhir, pertumbuhan madrasah tersebut erat kaitannya denga proses perkembangan pemimpin muda Islam reformis di masa mendatang. Sebagai alternatis sisitem pendidikan Belanda, madrasah menjadi satu-satunya institusi pendidikan modern yang tersedia bagi mayoritas rakyat Aceh, dan dengan demikian berfungsi sebagai lembaga penyerap dalam jumlah massive, massa pemuda. Dan berada dilingkungan yang telah sangat terpolitisasi itu, madrasahpun menjadi wahana memperdalam kesadaran sejarah dan politik kaum muda Aceh.Tidaklah mengejutkan jika gagasan-gasasan nasionalisme Islam mereka tumbuh melalui madrasah dan bukan dari sekolah-sekolah elit modern yang didirikan Belanda. Melalui Islam dan madrasah, masyarakat aceh menemukan alat utama mengartikulasikan kesadarn politik mereka. Inti persoalan yang bisa ditarik dati fenomen diatas bahwa pada masa itu nilai pendidikan keagamaan tertentu berkaitan erat dengan serat-serat budaya masyarakat sehingga seorang mempunyai kecakapan dan terdidik dalam pengetahuan agama akan dengan sendirinya terstukturkan kedalam jaringan serat budaya itu. Untuk sebagian fenomena tersebut diatas, haruslah dilihat pada sifat dari masyarakat agraris di masa sebelum lahirnya masyarakat industri sebagaimana dengan telanjang didemonstrasikan oleh masyarakat Aceh pada masa itu. Dalam konteks ini, Fachry Ali melihat bahwa kendatipun sebuah masyarakat yang terisolasi secara sempurna namun perkembangan dunia masyarakat ini tidak bersifat ekspansif, dan karenanya terdapat kecenderunganbesar dalam sosok material dam teknologi untuk lebih berorientasi pada sifat lokal dari pada keluar. Keadaan yang segera menyergap Aceh ketika datangnya industri-industri an jasa yang ikut menyertainya adalah cultural shock dan ketidaksiapan tenaga ahli yang siap dipakai untuk memutar industri-industri tersebut. Ulama, terutama menghadapi perkembangan-perkembangan sosial, ekonomi, dan politik lokal di daerah segera terperangkap ke dalam permainan yang dilakukan oleh aktor-aktor politik lokal. Dengan membahana dunia material, maka politik menyawarkan keuntungan-keuntungan material yang dapat diraih ulama jika bergabung dalam kegiatan-kegiatan politik. Ulama, dalam proses ini, telah mengalami penyempitan peran: (1) dari concern terhadap persoalan-persoalan rakyat ke persoalan politik praktis; (2) dari wawasan keIndonesiaan, keAcehan dan dunia ke orientasi lembaga-lembaga politik tingkat daerah yang kecil maknanya; (3) dari pengetahuan yang berpersepsi jauh ke masa depan kepada orientasi sesaat menjelang pemilu ( sebagai vote-getter); (4) dari peran high politics yang diperankannya dengan seruan-seruan moral kepada permainan politik tingkat rendah dalam dinamika politik praktis; dan yang lebih disedihkan lagi adalah (5) dari wawasan ulama yang dulunya memiliki aqidah politik kepada politik yang tak ber-aqidah alias menjual segala hukum agama demi kepentingan-kepentingan penguasa di tingkat lokal. Sehingga, dalam tradisi politik Aceh yang sudah demikian lama bersedimentasi, ulama juga bisa disalahkan oleh rakyat (selain dari sanjungan-sanjungan dan penghormatan yang hampir adikodrati sifatnya). Ulama, ketika menjadi media politik, ia hanya sebatas alat dalam pandangan rakyat, kehilangan nilai kemanuasiaannya. Ulama sebagai tokoh politik akan terserap ke dalam suatu sistem birokrasi yang memiliki jalinan yang rumit sehingga fungsinya sebagai pemberi petunjuk, juru penerang bagi masyarakat juga akan mengalami pengrumitan, sehingga agama hadir di tengah masyarakat mengalami suatu involusi.Sehingga, tidaklah terlalu salah dalam mengambil keputusan tentang ulama Aceh sekarang adalah kira-kira sama seperti kiyai dalam masyarakat Jawa. Perkembangan dunia material dan teknologi yang terbatas ini tentunya mempunyai konsekuensi sosial-budayadan politik. Dengan kata lain, keterbatasan-keterbatasan itu telah menyempitkan wadah artikulasi ekspansi dalam dunia material, dan karenanya harus dikembangkan sebuah sistem atau kekuatan subtitusinya yang memberikan ruang bagi artikulasi masyarakatnya. Dunia non-material, yang untuk konteks pembicaraan disini disebut sebagai sistem budaya, dengan sendirinya mengambil peran yang dominan, yaitu mengatur dan menstrukturkan sistem tindakan kolektif anggota-anggota masyarakatnya. Dengan kata lain, dalam sebuah masyarakat agraris di mana dunia material dan teknologi belum berkembang pesat, terdapat kecenderungan besar untuk menggantikan kelemahan-kelemahan material tersebutdengan menciptakan pesona-pesona terhadap kedigdayaan nila-nilai non material pada mana jaringan budaya masyarakat agraris, untuk sebagian besar, merupakan representasinya yang mencolok. Maka, karenanya pula, kontrol atau penguasaan terhadap ajaran-ajaran agama di dalam masyarakat agraris adalah sama nilainya denga n menguasai the fountainhead of culture (sumber mata air dari kebudayaan) yangberkembang dan dianut oleh masyarakat tersebut. Untuk kasus Aceh, segelintir orang itu adalah kaum ulama. Dalam konteks inilah bisa dipahami mengapa ulama secara otomatis terposisikan pada lapisan teratas dalam susunan masyrakat agraris. Ini terjadi karena bukan saja mereka menguasai secara teknilkal ajaran-ajaran agama, melainkan juga merekalah yang bertindak sebagai interpreters (juru tafsir) yang paling sah atas sumber-sumber mata air yangmendasari kebudayaan (agrarsis) itu. Ini berarti bahwa para agamawan itulah yang memegang kekuasaan riil dalam bidang sosial dan politik. Hal inilah yang menyulitkan kekuatan luar (semacam pemerintahan nasional) untuk mempengaruhi eskalasi politik di aceh. Meski Aceh dapat tertaklukkan, itu hanyalah penguasaan tulang dan daging rakyat Aceh, namun jiwa dan hatinya tidak. Dengan melihat persoalan yang dibicarakan dalam atau menurut perspektif ini, maka dengan segera bisa menemukan sebuah kenyataan bahwa betapa pendidikan di dalam masyarakat Aceh agraris pra-industri menempati tempat yang strategis baik di dalam susunan budaya maupun di dalam masyarakat itu sendiri. Sistem serta nilai pendidikan Islam dan tokoh-tokoh pelakunya bukan merupakan bagian yang integral dari budaya dan masyarakatnya, melainkan juga bertindak sebagai pusat-pusat budaya yang berwibawa yang reproduksi dari pemikiran serta nilai-nilainya menyumbangkan konsep-konsep pengetahuan dan menstrukturkan sistem perilaku kolektif anggota-anggota masyarakatnya. Berdirinya atau berkembagnya aneka dayah dan madrasah telah dengan sendirinya merupakan kutub-kutub budaya tersendiri.Studi-studi yang dilakukan akhir-akhir ini menunjukan betapa dunia dayah sebagai pusat pendidikan islam (tradisional) Aceh masih tetap berfungsi sebagai jaringan kutub-kutub budaya sendiri yang otonom, yang kewibawaan kulturalnya masih memancar pada masyarakat sekitarnya. Namun persoalannya adalah bahwa dimasa kini pusat-pusat pendidikan Islam telah tidak lagi memiliki keistimewaan sebagaimana di zaman agraris. Pancaran pengaruh dan wibawa yang direproduksi baik oleh pusat pendidikan atau oleh tokoh-tokohnya itu tidak lagi efektif pada tingkat yang lebih tinggi.Faktor utama yang menyebabkan terjadinya proses peredupan aura pengaruh spiritual itu terutama terletak pada pudarnya struktur masyarakat agraris itu sendiri akibat proses modernisasi dan kapitalisasi yang pada dasarnya berawal dari tevolusi teknikal dan industry di dalam masyarakat Barat. Pada tingkat dunia, ekspansi dunia material dan teknologi yang dimotori oleh revolusi industry telah melahirkan Barraclough sebagai sebuah kenyataan kekuatan-kekuatan dunia yang terpencar-pencar dan saling terisolasi sebelumnya itu telah terpaksa menjadi satu dengan seluruh konsekuensi positif dan negatifnya.Pada tingkat lokal, kekuatan-kekuatan dunia yang bersifat intregatif itu telah memaksa terkelupasnya selubung isolasionisme daerah-daerah pedalaman yang menyebabkan mereka terbuka dari berbagai pengaruh luar. Modernisasi, teknologisasi serta kapitalisasi yang dilaksanakan pada dasarnya adalah sebuah proses ekspansi dunia material yang berlangsung secara besar-besaran di atas struktur masyarakat dan budaya agraris. Proses ini melahirkan perubahan radikal, ketika kecenderungan yang bersifat local oriented di dalam masyarakat agraris tidak lagi bisa dipertahankan. Secara konseptual,ekspensi dunia material dan teknologi itu telah mengubah etos dan pandangan hidup yang sekaligus berarti merombak jaringan kognitif yang selama ini berlaku.Pada saat sekarang, di mana modernisasi berjalan demikian derasnya, peran-peran kaum ulama pun mengalami pergeseran. Seperti yang terjadi di Aceh, struktur masyarakat Aceh telah mangalami perubahan. Kalau dulu struktur masyarakat Aceh terdiri dari Sultan, uleebalang, ulama, dan petani. Maka, dengan kemajuan-kemajuan yang terjadi struktur itu mengalami perombakan. Ada kaum tani di desa dengan budaya subsistemnya, ada kaum ulama yang bertahan di desa-desa dan kadang muncul ke permukaan di kota, ada kaum umara yang menguasai urusan administrasi pemerintahan dan mereka adalah bekas uleebalang serta kalangan mahasiswa yang merupakan kaum idealis yang berdiri di dua dunia, nyata dan teoritis. Sementara itu, melting pot dari semua itu adalah kaum marjinal yang jumlahnya semakin membengkak dan signifikan untuk daerah Aceh.Menyimak persoalan-persoalan yang muncul akhir-akhir ini di Aceh, secara sosial kita menghadapi kenyataan banyaknya orang-orang yang terpinggirkan untuk mendapat pekerjaan. Sebagian besar masyarakat Aceh pergi ke Malaysia dan Singapura untuk bekerja. Aceh yang kaya dengan sumber daya ternyata masih belum mampu memberi penghidupan yang layak untuk masyarakatnya. Apalagi dengan persoalan-persoalan sosial yang tidak cukup program-program dari pemerintah saja untuk mengatasinya, peran ulama juga masih penting. Masuknya teknologi dan perangkat-perangkat nilai baru yang menyertainya telah menyulitkan ulama untuk mengcompatiblekan ajaran-ajaran agama kedalam kehidupan dan kemajuan teknologi yang membalut masyarakat.Semua ini terutama terjadi karena ekspansi dunia material dan teknologi itu telah menstrukturkan setting baru bagi kebutuhan-kebutuhan dan pola kehidupan yang menciptakan bidang-bidang atau lapangan pekerjaan yang amat berbeda dengan apa yang pernah berkembang di dalam masyarakat agraris pra-industri. Dalam suasana perkembangan yang tidak menentu sekarang ini, rakyat Aceh kembali mengharapkan peran ulama dalam mengatasi krisis yang melanda Aceh. Mungkin juga saatnya, rangkang pesantren para Teungku tidak hanya diisi oleh anak-anak didik yang mencari ilmu, melainkan justru harus dapat berfungsi sebagai crisis center untuk persoalan sosial ekonomi umat masyarakat.Secara subjektif, dayah atau pesantren dilibatkan dalam proses-proses pembangunan sehingga pendekatan ke masyarakat menjadi lancar dan masyarakat pun menerima pembangunan setelah mendapat penjelasan dari kalangan ulama. Masyarakat yang sebagian besar term of reference-nya mengacu pada pola kehidupan keagamaan, maka posisi ulama menempati tempat teratas dalam perspektif mereka.2. Kronologi Gangguan Kamtibmas di Aceh Utara, Timur dan PidieBerikut ini, sebagai sebuah data tentang proses terbentuknya sebuah rekayasa politik dan kebohongan oleh para oknum ABRI, maka kronologi peristiwa hingga memunculkan DOM di Aceh ini perlu sekali diikuti di sini.26 September 1989. Pratu Islam Ali, anggota Batalyon III Kompi-B, penduduk Kampung Rawa Sigli, tewas ditembak di Krueng Tuan, Kecamatan Nisam,Aceh Utara. Sedangkan temannya Pratu Zakaria mengalami luka berat.Awal 1990. Beberapa hari berikutnya dua anggota GAM tewas setelah baku tembak dengan pihak militer di Kecamatan Jeunieb, Aceh Utara.9 Maret 1990. Serma Ar Ali, tewas dibacok di warung kopi, Desa Alue Leuhob, Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara. Menurut beberapa saksi mata, pelakunya menggunakan mobil, tapi tidak dikenali.10 Maret 1990. Serda Pol. Samad Kurniawan, anggota Polsek Mila Pidie, tewas ditembak di kampus Universitas Jabal Sigli. Pelakunya mengenakan pakaian hijau, tapi belum ditemukan. Sedangkan temannya, Sertu Muridno, hanya mengalami luka tembak di bagian dada, dan sempat mendapat perawatan intensif di RSUZA Banda Aceh.3 April 1990. Koptu A. Djalil, anggota Polsek Syambalira Aren, Aceh Utara, tewas diberondong senjata yang diduga milik komplotan separatis. Ia ditembak tengah malam di Polsek setempat. Sebelumnya para penembak menggedor pintu, kemudian segera memberondong peluru kearah korban, sedangkan temannya sempat mengelak. Para penembak menggunakan kendaraan mini bus. Korban adalah penduduk Meunasah Tutong, Blang Asan Simpang Mulieng, Aceh Timur.15 April 1990. Sepasang remaja mati ditembak oleh petuga di Pos Pemeriksaan KTP Simpang Ulim. Kedua korban dari Lhokseumawe menuju Langsa berboncengan dengan sepeda motor, mereka tidak berhenti ketika disetop petugas. Dari jarak dekat keduanya ditembak hingga terpuruk di tengah jalan. Bahkan salah satu korban bernama Sri, payudaranya copot. Keduanya penduduk Banda Aceh. Jenazahnya dimandikan warga Simpang Mulieng, lalu diantar ke Banda Aceh.Selain itu pada hari yang sama Agus, putra Asisten I Setwilda Aceh, Abdul Djalil, tewas kena puluru senjata petugas pemeriksa KTP di atas jembatan Cunda, Lhokseumawe. Korban saat tertembak baru saja membeli makanan untuk sahur dibulan Ramadan. Ia tewas di dalam mobilnya.20 April 1990. Kopda Faisal dan M. Butar Butar tewas tertembak.29 April 1990. Ditemukan dua mayat di Bayu, Aceh Utara. Salah seorang bernama M. Jakfar Ahmad, warga Meunasah Blang. Keduanya diduga informan tentara. Salah seorang, dini hari itu baru saja pulang dari rumah Danramil setempat. Setelah tewas ditembak, kedua mata korban dicungkil, lalu diletakkan dipinggir jalan . Senter masih menyala di atas dada korban. Pembunuh juga menggorok leher korban hingga nyaris putus. Kedua jenazah korban sempat beberapa hari menginap di RSU Lhokseumawe, hingga Dinas Sosial setempat mengebumikannya.1 Mei 1990. Di dekat lapangan golf PT. Arun LNG ditemukan mayat Razali Achmad, penduduk Meunasah Teumpeuen Syamtalira Aron, Aceh Utara.2 Mei 1990. Koptu A. Gani dan Sertu Ilyas tewas ditembak orang tak dikenal.4 Mei 1990. Husni penduduk Lancok Kecamatan Syamtalira Bayu, tewas di Desa Blang Nibong Samudera Aceh Utara, lehernya digorok hampir putus.6 Mei 1990. Serma Zainuddin, anggota Reserse Aceh Utara, dibacok orang tak dikenal.13 Mei 1990. Pukul 10.00 WIB, Jono, penduduk desa Seuneubok Rambung, Aceh Utara, didatangi oleh delapan anggota GAM yang membawa senjata dan mengancam agar semua transmigran keluar dari Aceh.15 Mei 1990. Pukul 16.00 WIB, kejadian serupa menimpa seorang warga transmigran bernama Slamet, penduduk Teupin Raya.21 Mei 1990. Pukul 11.30 WIB, M. Zaini, nelayan Desa Eurebe Timur Kecamatan Seunedon, ditembak oleh GAM.24 Mei 1990. Radis, penjual jamu tewas di Pondok Kates, lehernya digorok hingga putus.27 Mei 1990. Pukul 20.00 WIB, Muhammad M, anggota DPRD Aceh Utara, tangannya mengalami luka berat akibat tembakan orang tak dikenal.28 Mei 1990. Pukul 08.45 WIB, bace camp Bhakti ABRI di serang serombongan orang tak dikenal. Dua orang anggota ABRI tewas dan satu luka berat serta seorang pelajar SMTP setempat terkena peluru nyasar.31 Mei 1990. Terjadi pengusiran terhadap 60 KK warga kampung Rambonglub, Kecamatan Idi Rayek, Aceh Timur oleh 25 anggota GAM.4 Juni 1990. Menjelang subuh, pasukan ABRI melakukan operasi penyergapan GAM di sebuah rumah di langsa. Dalam operasi tersebut tiga anggota GAM luka-luka dan satu orang tewas. Masih pada hari yang sama, dalam perjalanan pulang kepangkalan seusai memakamkan jenazah anggota GAM, sebuah mobil petugas jadi sasaran tembak di Langsa, tiga anggota ABRI tewas.6 Juni 1990. Pukul 05.45 WIB, satuan IPP Polres Aceh Timur dan anggota kodim 0104 menggrebek rumah Bachtiar bin Ismail alias Yahya (35) di komplek BTN Alur Beurawe Langsa, Aceh Timur. Tempat tersebut diduga digunakan sebagai posko GAM. Dalam penyerbuan itu, Yunus petani asal Desa Sungai Lueng Langsa, Jamaluddin petani penduduk sungai Pauh, Basri bin Ramli penduduk Sigli Pidie, Azman bin Daud penduduk Sungai Pauh, Bachtiar tewas dalam penggerebekan itu.7 juni 1990, ramli saleh (38), penduduk kampung cumbok kabupaten pidie, tewas ditembak GAM. 11 juni 1990. Pukul 10.00 WIB , mayat Ali Gayo (45) mantan guru MIM penduduk Desa arogan baktia Aceh Utara ditemukan dijalan desa cot mayang,kecamatan setempat.14 juni 1990. Pukul 12.30 WIB, terjadi pembunuhan dan pembakaran rumah penduduk desa alue papuen, aceh utara .15 juni 1990. Pukul 19.30 WIB, sebuah truk kayu BK 2423 BC milik PT nalang raya dihadang di alu nireh langsa oleh GAM yang berkekuatan delapan orang dengan tiga pucuk senjata api.19 juni 1990. Pukul 06.00 WIB, ditemukan mayat Syauman (52) penduduk cot mamplam kandang, aceh utara.21 juni 1990.pukul 09.00 WIB, di desa kedai baru kecamatan simpang ulim aceh timur ditemukan selelbaran yang dipajang di beberapa sudut desa . bunyi selembaran : 1. Agar masyarakat aceh jangan memihak kepada pemerintah dan orang orang jawa2. Perjuangan tinggal dua bulan lagi, lalu kemerdekaan akan diproklamirkan susunan pemerintahan : Presiden: hasan tiro Panglima perang: Ali Paseh Panglima operasi: RobertDi desa alue sudep kecamatan rantau selamat aceh timur , dalam keadaan terparung di sungai.27 juni 1990. Pukul 06.05 WIB, ditemukan mayat tak dikenal dijalan kampung bukit selamat kecamatan rantau selamat aceh timur.28 juni 1990 . pukul 16.00 WIB, terjadi pengusiran besar-besaran terhadap warga trans di kecamatan simpang ulim.9 juli 1990, pukul 21.00 WIB, ditemukan mayat laki-laki tak dikenal di desa bukit rata, areal perkebunan PT Mapoli Raya, kecamatan kejuruan muda aceh timur.13 juli 1990. Pukul 21.00 WIB, di desa bangkeh geumpang pidie, terjadi penembakan terhadap abulbakar bin abdullah (40), anggota ABRI, oleh kelompok GAM. Keadaan korban kritis .14 juli 1990, pukul 11.45 WIB, di desa alue nibong peurelak aceh timur terjadi kontak senjata antara satgas siwa kuning dengan GAM.18 juli 1990. Pukul 14.00 WIB, pratu Yono yang sedang berpergian bersama istri dan seorang anaknya diculuk kelompok GAM dikawasan tangse,pidie.19 juli 1990.pukul 20.00 WIB, mantan kades blang krung pidie,ibrahim bin ahmad (60), meninggal akibat berondong peluru ketika sedang mengajar ngaji di rumahnya .24 juli 1990 . pukul 17.45 WIB , satuan ABRI mengadakan operasi penyergapan dan penyisiran GAM di desa ulee rubek barat, seuneudon, aceh utara.25 juli 1990. Pukul 10.00 WIB, abdullah ismail bin ibrahim , tokoh yang disebut-sebut sebagai panglima sago pimpinan GAM tingkat kecamatan menyerahkan diri kepada korem 011/lilawangsa di lhoksumawe.27 juli 1990. Pukul 23.45 WIB, SMA Negeri Idie Rayek Aceh Timur terbakar.Sebelum peristiwa terjadi, kepala sekolahnya, Zainal Arifin BA dikirimi sepucuk surat yang mengatasnamakan GAM. Isinya singkat saja : jangan tatr P4, jangan ajarkan PMP, dan jangan pakai seragam korpri.28 juli 1990. M.saleh penduduk salamanga terangkap dikawasan meulaboh.29 juli 1990.pukul 23.00 WIB, seorang pemuda penduduk peurelak, aceh timur, ditangkap pihak militer .31 juli 1990.pukul 14.00 WIB, zulfikli,warga desa damar tutong,aceh timur,tewas tertembak di desa itu oleh petugas berseragam.3 agustus 1990. Terjadi perampokan beruntun yang dilakukan sekelompok GAM di matangkuli,aceh utara.5 agustus 1990. Pukul 13.30 WIB . sekitar 655warga seuneudon, aceh utara menyatakan setia kepada pemerintah RI . selain ikrar mereka berjanji tak akan mendukung sedikitpun kegiatan yang bertentangan dengan tujuan negara RI.6 agustus 1990. Di setiap rumah penduduk dan perkantoran di Banda Aceh di tempeli dwi warna.7 agustus 1990 Menko Polkam Sudomo kepada wartawan seusai Rakor bidang Polkam mengatakan, soal GPK Aceh pembahasanya sudah sampai pada finishing talk (pembicara terakhir).9 agustus 1990. Pukul 18.00 WIB, Panglima Sago GAM untuk wilayah Kuta Aetang Pase (membawahi 10 desa).10 Agustus 1990. Pangdam 1/Bukit Barisan Mayjen HR Pramono menghimbau agar pengacau keamanan di Aceh menyerahkan diri dan menyadari bahwa jalan yang mereka tempuh tidak diridhai Tuhan.11 Agustus 1990. Pukul 14.00 WIB, ditemukan mayat lelaki muda danteng tak dikenal, korban tembakan di depan Bank BNI Lampaseh Banda Aceh.12 Agustus 1990. Pukul 08.00 WIB, sejumlah tiang bendera di depan kantor Camat Ranto Panjang, Aceh Timur ditemukan patah.16 Agustus 1990. Pukul 08.00 WIB. Ditemukan bendera milik GAM dalam keadaan terpasang di puncak tiang.17 Agustus 1990. Pukul 14.00 WIB, sebanyak 36 anggota GAM di Kecamatan Peusangan, Aceh Utara membuat pernyataan setia dan taat kepada Pepublik, Pancasila, dan UUD 45, serta menduung Orba.18 Agustus 1990. Pukul 09.00 WIB, 346 warga Desa Tanjung Beridi, Peusangan, Aceh Utara membuat pernyataan kembali ke pangkuan RI, serta tunduk pada Pancasila, UUD 1945 dan pemerintahan orba.3. Mengapa Aceh Dicurigai sebagai Kaum Separatis?Di dalam struktur politik yang totaliter , menurut Napoleon Bonaparte yang npemikiran politiknya ditiru bulat-bulat oleh soeharto, perbedaan etnis, budaya , bahasa bahkan agama menjadi modal penting untuk terpeliharanya kelanggengan sebuah kekuasaan yang korup. Dengan cara memecah belah , maka akan mudah menghentikan suatu pergolakan dari masyarakat. Anarki yang diciptakan dari ideology persatuan dapat menghasut rakyat agar membenci suatu kelompok yang sedang dibenci oleh penguasa. Munculnya berbagai gejolak di Aceh setelah kemerdekaan adalah bentuk protes karena martabat dan kedaulatannya telah dirusak oleh pemerintah pusat. Peleburan propinsi Aceh serta tidak memadainya pembagian kekayaan daerah serta tidak diperbolehkannya menjalankan syariat islam sehingga aceh merasa dianak tirikan. Padahal dalam aspek apapun Aceh tetap berperan dalam proses kemerdekaan dan pembangunan di Indonesia cukup besar bila dibandingkan dengaqn daerah lain di Indonesia.Meski kesetiaan terhadap republic sudah terbukti sejak dari dulu, pemerintah pusat pada akhirnya tidak percaya dengan Aceh. Tetapi disini lah menimbulkan sejuta pertanyaan bagi rakyat aceh. Kalau ternyata demikian , maka bukan tak mungkin konsep Negara federasi yang didengungkan oleh timor-timur dan irian jaya ,bukan lagi menjadi wilayah yang sacral dalam wacana aceh baru. Kondisi seperti ini tidak lain karena sikap pemerintah pusat yang tidak mempedulikan wilayah lain seperti Aceh. Kenyataan seperti itu diperburuk dengan sikap aparat yang tidak manusiawi menangani masalah di propinsi Aceh. Sikap tersebut tercermin perlakuan aparat keamanan yang menyinggung martabat ulama di Aceh. Dalam konteks sejarah , pergolakan aceh terlihat pada munculnya gerakan DI/TII tahun 1953 juga membuktikan sikap tidak puas atas pemerintahan Soekarno. Begitupun, satu hal yang perlu di catat oleh generasi muda aceh serta pemimpin Negara adalah DI/TII tetap ingin berada di dalam Negara kesatuan Republic Indonesia dan gerakan tersebut hanya bentuk protes atas pemerintahan. Tentang symbol gerakan Aceh merdeka, gerakan pengacau keamanan , dan gerakan pengacau liar lebih disebabkan kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan daerah dan rakyat aceh. GAM ini adalah ciptaan soeharto bersama jendral kancil lainnya. Ada kesan bahwa aceh merupakan sapi perah oleh pemerintahan pusat. Ini dibuktikan dengan tidak adanya perhatian dalam pengembangan ekonomi rakyat Aceh.Selama zaman orde baru, pemerintah tidak member angin kepada Gerakan Aceh Merdeka yang dibuat Hasan Tiro. Padahal GAM itu hanyalah kabar angin belakang yang seperti komando jihad dengan gerakan-gerakan artificial lainnya yang merupakan buatan dari strategi militer untuk melemahkan rakyat sipil dan khususnya untuk menyudutkan umat islam Indonesia. Dengan memanfaatkan kebodohan umat islam Indonesia, apalagi di Aceh ditiupkan kabar bahwa aceh sebelum memproklamasikan gam , mereka sudah melatih kadernya di luar negri. Beberapa elit politik menganggap pergolakan DI/TII murni pergolakan melawan pemerintah pusat. Sedangkan GAM yang dipimpin Hasan Tiro menginginkan kemerdekaan Aceh-sumatra. Dasarnya diambil dari ketika Sultan Iskandar Muda 1603-1637. Padahal gerakan ini bagi rakyat Aceh sendiri bagaikan hantu di balik layar. Dengan sedikit energy intelektual dan emosi agama dapat disimpulkan bahwa gerakan tersebut hanya ada dipikiran sesat elit orde baru.Kemudian, Aceh sendiri dalam rencana Hasan Tiro, menurut berita-berita fitnah rezim soeharto, pasti akan menjadi Negara maju seperti brunei darusalam,mengingat tanah Aceh ini memiliki kandungan gas alam di arun. Proyek gas alam arun di lhoksumawe melebihi kekayaan alam milik Kuwait. Aceh yang Cuma berpenduduk3,4 juta pasti mudah untuk membangun dan rakyat sejahtera.Masyarakat yang masih trauma akibat aksi DI/TII yang memakan korban banyak, misalnya selama pergolakan 1953-1954 saja terjadi 271 pembunuhan, 117 kasus penculikan, 676 pembakaran, dan 247 perampokan, begitu hasil catatan teuku haji ali pada 1955. Hasan Saleh sebagai mantan panglima DI/TII menganggap gerakan DI/TII merupakan tindakan yang tidak ada gunanya. Hasan tirodengan keberaniannya menipu rakyat aceh keseluruh wilayah Aceh.para pendukung hasan tiro telah sering melakukan aksi terror di beberapa tempat. Masih banyak tokoh yang bersimpatik kepada Hasan Tiro karena kurang memproleh informasi yang benar.Pemerintah orde baru dengan kekuatannya, segera segera mengantisipasi gerakan pengikut tior. Berbagai aksi militer telah dilancarkan sebagai reaksi atas gangguan keamanan di Aceh. Gerakan pengacai liar ini, mulainya bergerilya di hutan sekitar aceh besar, pidie, aceh utara dan aceh timur. Menurut aparat yang bertugas di aceh , lama-kelamaan GPL mulai menyebar dan bergerilya. Kasus perampokan bersenjata merupakan indicator bahwa kelemahan dan kekurangan system keamanan di daerah ini yang perlu diperbaiki.Peristiwa perampokan BCA lhoksumawe adalah rangkaian aksi terror, sabotase, subversi dan merupakan pukulan terhadap rakyat aceh. Apalagi dilakukan pada saat bulan puasa pada saat umat islam meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Rakyat aceh tidak akan member peluang lagi kepada teroris dan pengacau keamanan untuk mengganggu daerah Aceh lagi. Ada dua fakta yang ditemukan dalam kasus aceh, yaitu gangguan GPK dan oprasi militer merupakan dua hal yang meresahkan masyarakat. Keduanya harus ditempatkan kepada posisi yang sebenarnya. Forum lsm aceh kemudian membentuk forum peduli HAM Aceh, yang sejak bulan juli menerjunkan anggotanya sebagai pencari fakta di lapangan tentang korban oprasi militer antara tahun 1989-1998.TPF yang telah bertemu warga Aceh utara yang mengaku menjadi korban kekejaman oknum aparat. Dari tujuh wakil yang diberikan kesempatan bicara, terdapat dua wanita dan seorang anak yatim. Salah satu dari dua wanita mengaku orang tuanya ditangkap tahu 1992 dan sampai sekarang tidak ada kabarnya lagi. Dua LSM setempat, LBH dan Walhi , menyerahkan data dan daftar orang hilang di aceh utara, jumlahnya 496 orang. Orang hilang dicatat DPRD dan sejumlah LSM sebanyak 1.679 orang sejak 1989-mei 1998.4. Sumbangan-sumbangan Aceh terhadap Republik iniJauh sebelum RI di proklamasikan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Aceh telah menjadi sebuah negeri yang berdaulat. Aceh tercatat sebagai kerjaan islam pertama di Asia Tenggara. Seperti yang pernah ditulis Prof Dr Denys Lombard dalam bukunya yang berjudul Le Sultanat d Atjeh Au Temps d Iskandar Muda yang diterbitkan di Paris pada tahun 1967, bahwa sejarah Aceh telah gemilang dan mencapai puncaknya pada zaman Sultan Iskandar Muda.Dalam Islam In Modern History Smith menyebutkan bahwa pada abad XVI di dunia telah lahir empat kerajaan besar islam. Keempat tersebut adalah Kerajaan Maroko di Afrika Utara, Kerajaan Turki Usmaniyah di Asia Kecil, Kerajaan Agra di India, dan Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam perjuangan melawan penjajah, Aceh juga mempunyai catatan sejarahyang panjang. Tercatatlah nama-nama tokoh pejuang Aceh seperti Teungku Chik Di Tiro, Teuku Panglima Polim, Cut Nyak Dien, dan sederet pahlawan lainnya. Pada perkembangan politik paska kemerdekaan RI, Aceh mengalami pasang surut yang panjang, yang ditandai pergolakan sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat ( Jakarta).Ada beberapa momentum yang menarik dalam perkembangan hubungan Aceh Jakarta. Ketika proklamasi dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, masyarakat Aceh sibuk dengan penyelesaian masalah perlawanan terhadap Jepang. Sisa masalah hubungan dengan pihak Belanda masih terasa cukup kental, yang telah membelah masyarakat Aceh ke dalam dua kubu: kubu pendukung kelompok establish yang diwakili golongan uleebalang ditambah beberapa ulama istana yang tradisionalis, dan kubu ulama yang reformis kritis, yang bersama rakyat membangun kekuatan oposisi.Ketika Belanda kembali menguasai Yogyakarta, godaan Teungku Mansyur dari Sumatera timur untuk mendirikan Negara sendiri ditampika dengan tegas oleh para ulama dan tokoh masyarakat. Kegagalan Daud Beureueh bernegoisasi dengan Bung Karno untuk meminta status khusus bagi daerah Aceh yang memberlakukan syariat Islam, menghasilkan benih kekecewaan awal dari masyarakat Aceh, yang kemudian membuahkan malapetaka. Upaya pemulihan keamanan di Aceh berlangsung alot. KSAD Jenderal AH Nasution, ketika itu, dengan sungguh-sungguh mencari terobosan untuk mencairkan kebekuan. Keadaan berlangsung pulih dan membaik, hingga pemerintahan Orde Baru muncul pada tahun 1966. Pada masa ini perkembangan politik Aceh masih diwarnai oleh kemenangan partai-partai Islam. Gerakan ini dapat diredam dengan kekerasan militer, dan hingga tahun 1980an praktis tak terdengar lagi aktifitasnya. Realitas ini lalu dimanfaatkan Ibrahin Hasan, Gubernur Aceh pertama yang mampu memenangkan Golkar dalam pemilu di Aceh. Kekecewaan baru muncul kembali dikalangan masyarakat luas, manakala penyusunan daftar calon legislative untuk DPR pusat yang tak terwakili aspirasi daerah. Dalam keasingan konseptual semacam ini, bagaimanakah masyarakat menyatukan dirinya kedalam Negara? Pernyataan ini pastilah tidak kadaluarsa, karena justru itulah yang kini sedang menggema dibanyak Negara Eropa Timur dewasa ini. Apa yang sangat penting untuk dicatat adalah, bahwa hasrat tulus menyatukan diri itu sangat berkaitan dengan kesempatan masyarakat memproyeksikan makna subjektif kepada Negara. Proses mensubjektifikasikan makna Negara, rasanya merupakan tali yang paling efektif mempertautkan masyarakat dan Negara. Masyarakatlah, dan bukan negara, yang memberikan makna terhadapnya. Polim mensubjektifikasikan makna Negara (yang akan datang, yang akan dimiliki masyarakat): ini perang Sutji. Oleh sebab itu, perlu didjaga norma kesopanan menurut Petundjuk agama, djangan melewati batas, djangan membunuh wanita, anak-anak, dan orang tua. Pada 4 Oktober 1945 misalnya, sebuah telegram dilayangkan dari Aceh dari kalangan yang menyatakan diri pahlawan Toea kepada presiden Republik Indonesia.Sebuah telegram bertanggal 27 Juli 1948 dari Kepala Staf AURI Komandemen Sumatera, H . Sudjono, dilayangkan kepada Residen Aceh tentang sumbangan harta dari Tanah Rencong: Mengutjapkan sjukur telah dapat mengumpulkan 120.000 str. dollar lagi dengan berupa cheque. Dalam periode itu, kehadiran Negara lebih bersifat dramatis. Wajahnya kini terwakili oleh industrialisasi besar-besaran di Aceh Utara. Rakyat Aceh yang sebagian besar berasal dari dunia perladangan, jalan-jalan besar dan licin, bandara udara, pesawat-pesawat dan para penumpangnya yang turun hilir mudik Lhokseumawe Medan atau Jakarta. Suatu suasana gemerlap yang hadir tanpa presiden.Ada ketakjuban luar biasa terhadap penampilan Negara yang megah itu. Maka, jika kita rekonstruksikan secara imajinatif, wilayah Negara di Aceh menjadi sangat distinctive. Bersama dengan itu, perbedaan tajam pun lahir antar wilayah Negara dan non-negara : Ranah tempat mereka berada. Wilayah kedua ini adalah dunia persawahan, yang ringkasnya lebih banyak dibalut dengan segala hal yang tak modern. Semua ini melahirkan kontras tajam, yang secara mudah menciptakan demokrasi antara Negara dan non-negara Kehadiran dramatis Negara itu kemudian dilengkapi dengan kejadian lain. Serentak dengan proses industrialisasi itu, Aceh mengalami kejutan baru, timbulnya sesuatu yang menyebut dirinya Gerakan Aceh Merdeka. Gerakan ini telah menimbulkan kegoncangan yang mengancam keamanan.Sistem kekuasaan tipikal Aceh pra colonial pada tiga actor utama kekuasaan : Sultan, uleebalang dan ulama. Seperti dikatakan Nazaruddin Sjamsuddin, melalui aktivitas ketiga actor tersebut keseimbangan politik, social dan budaya Aceh dapat terkontrol. Ini terutama terjadi karena ketiganya tumbuh secara alami dalam masyarakat Aceh itu sendiri. Tanah Rencong, seperti sering menjadi ungkapan, dengan demikian adalah negeri sultan, uleebalang, dan ulama. Keseimbangan itu runtuh ketika Belanda mendominasi Aceh. Belanda secara otomatis menggantikan posisi Sultan. Kaum uleebalang, seperti yang terjadi pada kaum priyayi di Jawa, secara perlahan-lahan terdomestifikasikan. Tetapi, kaum ulama memilih melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Inilah titik crucial sejarah sosial-politik Aceh. Kosongnya kepemimpinan Sultan dan uleebalang memberikan kesempatan luas bagi ulama untuk mengembangakan kepemimpinan yang distingtif. Perlahan-lahan mereka tumbuh sebagai penafsiryang paling sah atas realitas ke Aceh an. Maka tidaklah heran jika perubahan struktur dan aktor kekuasaan dan diatas itu muncul kaum ulama sebagai pemimpin pribumi yang paling riil ini telah mempercepat transformasi Islam, dari sekedar agama ke arah ideologi islam.

Regiditas ulama melawan Belanda, munculnya POESA ( Persatoean Oelama Seloeroeh Atjeh) pada tahun 1930 an dan kemenangan beruntunnya dalam revolusi sosial (1945-1946) memberikan kesempatan kepada mereka untuk memformulasikan gagasan-gagasan politik dan kebudayaan sesuai dengan tujuan-tujuannya. Formulasi gagasan itu dapat diringkaskan sebagai pandangan dasar masyarakat dan politik Islam apa yang saya sebut di sini sebagai discourse ulama. Dengan demikian, di akhir masa kolonial dan awal kehadiran negara kesadaran sosial-politik masyarakat Aceh telah terlingkup oleh discourse tersebut.Sejalan dengan itu kehadiran Golkar sebagai wakil negara dengan discourse pembangunan berada di tepian emosi dan kesadaran politik masyarakat. Usaha masuknya negara melalui Golkar dalam kesadaran masyarakat tidaklah membawa hasil yang memuaskan terutama karena sifat kehadirannya yang dramatis pada dekade 1970-an dan 1980-an. Fenomena keterasingan negara dari masyarakat pastilah bukan monopoli Aceh. Seperti terjadi dimana-mana, negara yang membesar terutama akibat dari pembangunan ekonomi dan sistem keamanannya semakin tak sensitif dari sentuhan proyeksi subyektif masyarakatnnya. Jalan terpenting masuknya negara adalah melalui penelusuran discourse ulama. Melalui cara itu, jarak simbolis masyarakat dan negara diperpendek. Dalam konteks ini, Golkar dan wakil-wakil negara di Aceh telah membalut dirinya dengan simbol yang dikenal oleh masyarakat. 5. Lust of Power untuk Mengeruk Kekayaan Alam dan Memiskinkan AcehProfesor Nazaruddin Sjamsuddin mengajukan beberapa artikel yang membahas sebab akibat serta proses pemiskinan rakyat di Aceh. Apabila diperhatikan pada tabel dasa miskin BPS ada beberapa hal yang sangat menarik perhatian, Pertama, dari delapan propinsi di Sumatra, ternyata Aceh menduduki ranking teratas dakan pemilikan desa miskin, yaitu 40,32% dari keseluruhan desanya. Bahkan dengan 2.275 desa miskin Aceh merupakan kedua yang terbesar jumlah desa miskinnya. Aceh hanya kalah dari Jawa Tengah yang memiliki 2.439 desa atau 28,71% dari keseluruhan desanya. Kedua, propinsi yang paling sedikit memuluki desa miskin di Sumatera adalah Jambi, sebanyak 24,38%. Angka ini cukup jauh di bawah persentase terendah di Jawa di luar DKI Jakarta, yaitu 21,98% yang dimiliki Jawa Barat. Ketiga, perbandingan di sini hanya keadaan di Jawa dan Sumatera saja, dapat dikatakan telah terjadi pergeseran wilayah kemiskinan dari Jawa ke Sumatera.Jika data BPS ditelaah lebih lanjut, ternyata bukan hanya terbatas pada perubahan kemiskinan saja. Lebih dari itu, kurangnya perhatian pembangunan pedasaan du daerah-daerah penghasil devisa yang utama, cenderung lebih sering dilakukan eksperimentasi politik di desa-desa yang sebenarnya adalah lumbung padi nasional, seperti Tangse dan Geumpang di Pidie. Konsenstrasi desa miskin dalam jumlah yang sangat besar pada umumnya terletak di daerah-daerah penghasil bahan mineral untuk ekspor. Riau yang juga merupakan daerah penghasil devisa utama kita, ternyata mempunyai desa miskin sebanyak 36,33% dari jumlah seluruh desanya. Menduduki ranking kedua di Sumatera, kondisi Riau juga lebih buruk daripada keadaan pedesaan Jawa Tengah. Kecenderungan yang sama dialami pula oleh dua daerah sumber utama mineral kita yang lain, yaitu Kalimantan Timur dan irian Jaya. Data BPS mencatat presentase desa miskin di Kalimantan Timur dengan 45,70% dan Irian Jaya sebesar 77,52%.Perekonomian desa dikeempat propinsi ini memang lebih buruk dari desa-desa kebanyakan propinsi diluar Jawa. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi pembangunan yang terlalu ditekankan pada pengembangan sector mineral dan sarana-sarana pendukungnya. Ekonomi masyarakat pedesaan di propinsi-propinsi tersebut kecuali Irian Jaya, terlalu tergantung dari persawahan padahal beras merupakan komoditi pertanian yang harganya termasuk paling murah. Dapat dikatakan, bahwa selama ini telah terjadi proses pemiskinan di sebagian pedesaan. Inilah faktor penyebab masih adanya sekitar 31,47% desa miskin di seluruh Indonesia. Rekomendasi Profesor Nazaruddin Sjamsuddin, usaha mengentaskan kemiskinan di pedesaan haruslah ditujukan secara langsung pada faktor yang menimbulkan kemiskinan tersebut. Faktor penyebab timbulnya pemiskinan bervariasi dari daerah satu ke daerah lain. Sejauh menyangkut pedesaan di Aceh, dalam tinjauan Profesor Nazaruddin Sjamsuddin, memperlihatkan faktor yang sangat umumsangat menentukan adalah tiadanya sinkronisasi pembangunan sarana pertanian dengan perbaikan kehidupan petani. Pembangunan irigasi secara besar-besaran justru berlangsung pada saat kehidupan para petani sedang mengalami kemerosotan secara berkelanjutan, dan pada saat yang sama, tidak ada usaha untuk mengendalikan kemerosoyan itu. Program pemerintah terlalu terpusat pada usaha menjadikan Aceh sebagi lumbung beras utama di Sumatera. Usaha ini berhasil, tetapi tidak secara otomatis meningkatkan kehidupan para petani. Menurut Nazaruddin Sjamsuddin tampak pula keinginan di beberapa kalangan untuk membuktikan, bahwa Aceh benar-benar sedang dibangun dan mengalihkan pembangunan dari menyejahterakan rakyat kepada tujuan-tujuan politik. Salah satu wujud kemerosotan kehidupan petani itu tampil dalam gejala tersingkirnya sebagian mereka dari lahan pertanian. Tekanan ekonomi disebabkan oleh tidak seimbangnya harga beras dengan harga Komoditi lain, telah menyebabkan banyak petani menjual sawah mereka. Di lain pihak, karena harga beras kurang menarik, maka harga jual lahan pun menjadi rendah. Akibatnya terjadi peralihan peranan dari petani yang memiliki tanah menjadi penggarap. Profesi ini juga digerogoti oleh mereka-mereka yang berduit. Traktor-traktor dan mesin-mesin pertanian lainnya dimasukan ke desa-desa. Akibatnya, berkuranglah jumlah dan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan oleh petani penggarap itu.Menurut penelitian Profesor Nazaruddin Sjamsuddin memperlihatkan bahwa jumlah dan jenis data pekerjaan yang semakin berkurang itu mengakibatkan para penggarap semakin tergantung dari pemilik sawah. Hal ini dengan sendirinya pula mempengaruhi tingkat upah di pedesaan. Dampak yang diterima oleh para penggarap luar biasa besarnya, yaitu merka harus membiasakan diri hidup dalam situasi baru. Mereka menjadikan pemilik tanah sebagai sumber utang, sehingga mereka terus terikat kepada pemilik sawah. Dengan demikian, pilihan yang mereka punya adalah, menerima upah yang rendah dengan kesempatan memperoleh utang atau menganggur dan tak bisa lagi berutang.Profesor Nazaruddin Sjamsuddin yang sangat mengerti setiap jengkal tanah Aceh ini mengajukan solusi radikal bahwa kini pengentasan kemiskinan haruslah secara langsung bertujuan memperbaiki kehidupan para petani dan penggarap yang selama ini telah dirugikan oleh dampak negative pembangunan. Bantuan Inpres Desa Tertinggal tidak ditujukan pada pembangunan sarana fisik desa, melainkan pada usaha-usaha yang secara langsung dapat meningkatkan pendapatan petani. Gunanya pada tiga hal yaitu. Pertama, komitmen pemerintah pada pngentasan kemiskinan janganlah bersifat sektoral. Sebab faktor-faktor yang menimbulkan kemiskinan di pedesaan tidak melulu berkaitan dengan sector pertanian saja, melainkan lebih luas dari itu. Kedua, perlu diajaga Inpres Desa Tertinggal benar-benar dapat dinikmati oleh mereka yang berhak. Ketiga, perlu segera dibuat dompet Khusus DOM Aceh di berbagai media massa dalam kurun waktu sedikitnya tiga bulan mulai dari sekarang ini agar uang yang terkumpul dapat disalurkan untuk generasi yang tertindas di Aceh.

Page 19