Makalah Dispepsia Fungsional

26
Dispepsia Fungsional Erwin Ramandei Nim : 10 2012 310 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Alamat : Jl. Terusan Arjuna No. 6 Jakarta Barat [email protected] Pendahuluan Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan gejala/ keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/begah. Keluhan ini tidak perlu selalu semua ada pada tiap pasien, dan bahkan pada satu pasien pun keluhan dapat berganti atau bervariasi baik dari segi jenis keluhan maupun kualitasnya. Terdapat berbagai definisi tentang dispepsia. Salah satunya yang dapat dipakai adalah dyspepsia refers to pain or discomfort centered in the upper abdomen. Definisi ini berdasarkan kriteria Roma II tahun 1999- 2000. Jadi dispepsia bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan suatu sindrom yang harus dicari penyebabnya. Secara garis besar, penyebab sindrom dispepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok penyakit organik ( seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu, dll ) dan kelompok dimana sarana penunjang diagnostik yang konvensional atau baku 1

description

Makalah Dispepsia Fungsional et cause

Transcript of Makalah Dispepsia Fungsional

Dispepsia Fungsional

Erwin Ramandei

Nim : 10 2012 310

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaAlamat : Jl. Terusan Arjuna No. 6 Jakarta Barat

[email protected]

Pendahuluan

Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan gejala/

keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah,

sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/begah. Keluhan ini tidak perlu selalu semua

ada pada tiap pasien, dan bahkan pada satu pasien pun keluhan dapat berganti atau bervariasi

baik dari segi jenis keluhan maupun kualitasnya. Terdapat berbagai definisi tentang

dispepsia. Salah satunya yang dapat dipakai adalah dyspepsia refers to pain or discomfort

centered in the upper abdomen. Definisi ini berdasarkan kriteria Roma II tahun 1999-2000.

Jadi dispepsia bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan suatu sindrom yang harus dicari

penyebabnya. Secara garis besar, penyebab sindrom dispepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok,

yaitu kelompok penyakit organik ( seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu, dll )

dan kelompok dimana sarana penunjang diagnostik yang konvensional atau baku tidak dapat

memperlihatkan adanya gangguan patologis struktural atau biokimiawi. Atau dengan kata

lain, kelompok ini disebut sebagai gangguan fungsional.1

Epidemiologi

Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinik yang sering dijumpai dalam praktek sehari-

hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada praktek

gastroenterologist merupakan kasus dispepsia ini. Dispepsia merupakan keluhan umum yang

dalam waktu tertentu dapat dialami oleh seseorang. Berdasarkan penelitian pada populasi

1

umum didapatkan bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa

hari. Dari data pustaka Negara Barat didapatkan angka prevalensinya berkisar 7-41% tapi

hanya 10-20% yang akan mencari pertolongan medis. Angka insidens dispepsia diperkirakan

1-8%. Belum ada data epidemiologi di Indonesia.1

Etiologi

Istilah dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an, yang

menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala ( sindrom ) yang terdiri dari nyeri atau rasa

tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh,

sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindroma atau keluhan ini dapat

disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit atau gangguan dalam lumen saluran cerna,

tentunya termasuk pula penyakit pada lambung, yang diasumsikan oleh orang awam sebagai

penyakit maag/ lambung. Penyakit hepato-pancreato-bilier ( hepatitis, pankreatitis kronik,

kolesitis kronik dll ) merupakan penyakit tersering setelah penyakit yang melibatkan

gangguan patologik pada esofago-gastroduodenal ( tukak peptik, gastritis dll ). Beberapa

penyakit diluar sistem gastrointestinal dapat pula bermanifest dalam bentuk sindroma

dispepsia, seperti yang cukup kita harus waspadai adalah gangguan kardiak ( inferior

iskemia/ infark miokard ), penyakit tiroid, obat-obatan dan sebagainya. Bersifat fungsional

jika dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti adanya kelainan atau gangguan

organik/ struktural biokimia.2,3

Patofisiologi

Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan patogenesis terjadinya

gangguan ini. Proses patofisiologik yang paling banyak dibicarakan dan potensial

berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah ; hipotesis asam lambung dan inflamasi,

hipotesis gangguan motorik, hipotesis hipersensitivitas viseral, serta hipotesis tentang adanya

gangguan psikologik atau psikiatrik.

2

Sekresi Asam lambung

Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi asam

lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata

normal. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang

menimbulkan rasa tidak enak diperut.

Helicobacter pylori

Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya

dimengerti dan diterima. Dari berbagai laporan kekerapan helicobacter pylori pada

dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda makna dengan angka kekerapan

Hp pada kelompok orang sehat. Memang mulai ada kecenderungan untuk melakukan

eradikasi helicobacter pylori pada dispepsia fungsional dengan Hp positif yang gagal

dengan pengobatan konservatif baku.

Dismotilitas gastrointestinal

Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan

pengosongan lambung, adanya hipomtilitas antrum ( sampai 50% kasus ), gangguan

akomodasi lambung waktu makan, disritmia gaster dan hipersensitivitas viseral. Salah

satu dari keadaaan ini dapat ditemukan pada setengah sampai duapertiga kasus

dispepsia fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus

dispepsia fungsional, tetapi tidak adanya korelasi antara beratnya keluhan dengan

derajat perlambatan pengosongan lambung. Pemeriksaan manometri antro-duodenal

memperlihatkan adanya abnormalitas dalam bentuk post antral hipomotilitas prandial,

disamping juga ditemukannya disfungsi motorik usus halus. Perbedaan patofisiologi

ini diduga yang mendasari perbedaan pola keluhan dan akan mempengaruhi pola pikir

pengobatan yang akan diambil. Pada kasus dispepsia fungsional yang mengalami

perlambatan pengosongan lambung berkorelasi dengan keluhan mual, muntah dan

rasa penuh di ulu hati. Sedangkan kasus dengan hipersensitivitas terhadap distensi

lambung biasanya akan mengeluh nyeri, sendawa dan adanya penurunan berat badan.

Rasa cepat kenyang ditemukan pada kasus yang mengalami gangguan akomodasi

lambung waktu makan. Pada keadaaan normal, waktu makanan masuk lambung

terjadi relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam

lambung. Dilaporkan bahwa pada penderita dispepsia fungsional terjadi penurunan

kemampuan relaksasi fundus post prandial pada 40% kasus. Konsep ini yang

mendasari adanya pembagian subgrup dispepsia fungsional menjadi tipe dismotilitas,

tipe seperti ulkus, dan tipe campuran.

3

Ambang rangsang persepsi

Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor

mekanik dan nociceptor. Dalam studi tampaknya kasus dispepsia ini mempunyai

hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon di gaster atau duodenum. Bagaimana

mekanismenya, masih belum dipahami. Penelitian dnegan menggunakan balon

intargastrik didapatkan hasil bahwa 50% populasi dsipepsia fungsional sudah timbul

rasa nyeri atau tidak nyaman di perut pada inflasi balon dengan volume yang lebih

rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi kontrol.

Disfungsi autonom

Disfungsi persyarafan vagal diduga berperan daam hipersensitivitas gastrointestinal

pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam

kegagalan relaksasi bagianproksimal lambung waktu menerima makanan, sehingga

menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.

Aktivitas mioelektrik lambung

Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi berupa

tachygastria, bradygastria, pada lebih kurang 40% kasus dispepsia fungsional, yapi

hal ini bersifat inkonsisten.

Hormonal

Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan

adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas

antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin

mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit

gastrointestinal.

Diet dan faktor lingkungan

Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia

fungsional dibandingkan kasus kontrol.

Psikologis

Adanya stress akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan

keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang

mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral. Tapi korelasi antara faktor

psikologik stres kehidupan, fungsi otonom dan motilitas tetap masih kontroversial.

Tidak didapatkan personaliti yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional

ini dibandingkan kelompok kontrol. Walaupun dilaporkan dalam studi terbatas adanya

4

kecenderungan pada kasus dispepsia fungsional terdapat adanya masa kecil yang

kurang bahagia atau adanya gangguan psikiatrik.1-4

Manifestasi Klinis

Karena bervariasinya jenis keluhan dan kuantitas/ kualitasnya pada setiap pasien, maka

banyak disarankan untuk mengklasifikasikan dispepsia fungsional menjadi subgrup

didasarkan pada keluhan yang paling mencolok atau dominan.

Bila nyeri ulu hati yang dominan adalah nyeri epigastrik disertai nyeri pada malam

hari dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe ulkus ( ulcer like dyspepsia )

Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling sering

dikemukakan, dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti dismotilitas

( dismotility like dyspepsia )

Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai dispepsia non-

spesifik.

Perlu ditekankan bahwa pengelompokan tersebut hanya untuk mempermudah diperoleh

gambaran klinis pasien yang kita hadapi serta pemilihan alternatif pengobatan awalnya.1

Anamnesis

Anamnesis yang akurat untuk memperoleh gambaran keluhan yang terjadi, karakteristik

keterkaitan dengan penyakit tertentu, keluhan bersifat lokal atau manifestasi gangguan

sistemik. Harus terjadi persepsi yang sama untuk menginterpretasikan keluhan antara dokter

dan pasien yang dihadapinya.

Pada anamnesis perlu ditanyakan :

o Identitas dan pekerjaan

o Umur

o Jenis kelamin

o Keluhan utama/ Keadaan umum yang dirasakan

o Riwayat penyakit sekarang

o Riwayat penyakit dahulu

5

o Riwayat keluarga

o Riwayat sosial

o Riwayat obat yang sudah digunakan

Berdasarkan lokasi nyeri, dapat dipikirkan kemungkinan kelainan yang terjadi :

Lokasi nyeri Dugaan sumber nyeri

Epigastrium gaster, pankreas, duodenum

Periumbilikus usus halus, duodenum

Kuadran kanan atas hati, duodenum, kantung empedu

Kuadran kiri atas pankreas, limpa, gaster, kolon, ginjal

Perlu diketahui kualitas nyeri yang dialami pasien. Namun hal ini tidak mudah terutama di

Indonesia dimana ekpresi bahasa tidak sama untuk menggambarkan rasa nyeri. Pada dasarnya

harus dibedakan antara nyeri kolik seperti obstruksi intestinal dan bilier, nyeri yang bersifat

tumpul seperti pada batu ginjal, rasa seperti diremas pada kolesistis, rasa panas pada

esofagitis, dan nyeri tumpul yang menetap pada apendisitis.

Intensitas nyeri juga dapat membantu dalam diagnosis penyakit. Pada keadaan kaut,

intensitas nyeri dapat diurutkan dari yang paling hebat sampai nyeri yang cukup ringan sesuai

dengan urutan penyakit berikut : perforasi ulkus, pankreatitis akut, kolik ginjal, obstruksi

ileus, kolesistis, apendisitis, tukak peptik, gastroenteritis dan esofagitis. Pada nyeri kronik

banyak faktor psikologis yang berperan sehingga lebih sulit dalam menentukan diagnosis.3

Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

Setelah melakukan anamnesis dan mendapatkan informasi yang cukup dari pasien. Dokter

tentu mendapatkan gambaran penyakit yang diderita pasien tersebut tetapi perlu dilakukan

pemeriksaan fisik dan penunjang untuk mendapatkan diagnosis yang tepat sehingga tindakan

terapi/penatalaksanaan dapat diberikan secara optimal.

Pada dasarnya langkah pemeriksaan penunjang diagnostik adalah untuk mengeksklusi

gangguan organik atau biokimiawi.

Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau intra lumen yang

padat ( misalnya tumor ), organomegali, atau nyeri tekan yang sesuai dengan adanya

rangsang peritoneal/ peritonitis.

6

Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi ( lekositosis ),

pankreatitis ( amilase, lipase ), keganasan saluran cerna ( CEA, CA19-9, AFP ).

Pemeriksaan ultrasonografi untuk mengidentifikasi kelainan padat intra abdomen,

misalnya adanya batu kandung empedu, kolesistis, sirosis hati dan sebagainya.

Pemeriksaan endoskopi ( esofagogastroduodenoskopi ), pemeriksaan ini sangat dianjurkan

untuk dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai oleh keadaan yang disebut alarm symptoms

yaitu adanya penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi,

muntah darah, hematemesis melena, atau keluhan sudah berlangsung lama dan terjadi pada

usia lebih dari 45 tahun. Keadaan ini sangat mengarah pada gangguan organik, terutama

keganasan, sehingga memerlukan eksplorasi diagnosis secepatnya. Teknik pemeriksaan ini

dapat mengidentifikasi dengan akurat adanya kelainan struktural/ organik intra lumen saluran

cerna bagian atas seperti adanya tukak/ ulkus, tumor dan sebagainya serta dapat disertai

pengambilan contoh jaringan ( biopsi ) dari jaringan yang dicurigai memperoleh gambaran

histopatologiknya atau untuk keperluan lain seperti mengidentifikasi adanya kuman

Helicobacter pylori.

Pemeriksaan radiologi, dalam hal ini pemeriksaan barium meal adalah pemeriksaan untuk

mengidentifikasi kelainan struktural dinding/ mukosa saluran cerna bagian atas seperti

adanya tukak atau gambaran ke arah tumor. Pemeriksaan ini terutama bermanfaat pada

kelainan yang bersifat penyempitan/ stenotik/ obstruktif dimana skop endoskopi tidak dapat

melewatinya.

Pada umumnya pemeriksaan fisik dan laboratorium bersifat tidak khas atau tidak spesifik

karena dalam aplikasi klinisnya jarang digunakan karena tidak memberikan gambaran yang

tepat dalam rangka mencari dasar patofisiologi atau mencari dasar penyebab penyakit. Tetapi

pemeriksaan endoskopi dan radiologi sangat penting dalam indikasi dispepsia yang disertai

alarm symptoms.1

Diagnosis

Working Diagnosis ( WD )

Dispepsia fungsional

7

Untuk menentukan diagnosis dispepsia diperlukan anamnesis yang cermat, sebab

tindakan-tindakan yang pertama tergantung pada keluhan yang dikemukakan penderita.

Untuk lengkapnya diajukan pula pertanyaan yang mungkin dapat menyatakan keadaan

kejiwaan penderita. Perlu ditanyakan pula kemungkinan adanya dispepsia organik.

Pemeriksaan fisik dan laboratoris biasanya tidak menunjang banyak untuk dispepsia

fungsional.

Seperti dikemukakan diatas bahwa kasus dispepsia setelah ekplorasi penunjang

diagnostik, akan terbukti apakah disebabkan gangguan patologis organik atau bersifat

fungsional. Dalam konsensus Roma III ( tahun 2006 ) yang khusus membicarakan tentang

kelainan gastrointestinal fungsional, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai :

1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu

hati/ epigastrik, rasa terbakar di epigastrium.

2. Tidak ada bukti kelainan struktural ( termasuk didalamnya pemeriksaan endoskopi

saluran cerna bagian atas ) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut.

3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis

ditegakkan.

Jadi disini ada batasan waktu yang ditujukan untuk meminimalisasikan kemungkinan

adanya penyebab organik. Seperti dalam algoritme penanganan dispepsia, bahwa bila ada

alarm symptoms seperti penurunan berat badan, timbulnya anemia, melena, muntah yang

persisten, maka merupakan petunjuk awal kemungkinan adanya penyebab organik yang

membutuhkan pemeriksaan penunjang diagnostik secara lebih intensif seperti endoskopi dan

sebagainya.1,3

Different Diagnosis

Dispepsia organik

Diagnosis ditegakkan pada dispepsia organik jika pada penunjang diagnostik

ditemukan kelainan struktural organik maupun biokimiawi. Dispepsia organik meliputi ;

1. Gastritis

8

Definisi gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung.

Infeksi kuman Helicobacter pylori dan OAINS merupakan kausa gastritis yang sangat

penting. Perjalanan alamiah gastritis kronik akibat infeksi kuman Helicobacter pylori

secara garis besar dibagi menjadi gastritis kronik non atropi predominasi antrum dan

gastritis kronik atropi multifokal. Ciri khas gastritis kronik non atropi predominasi

antrum adalah inflamasi moderat sampai berat mukosa antrum, sedangkan inflamasi

di korpus ringan atau tidak sama sekali. Antrum tidak mengalami atropi atau

metaplasia. Pasien-pasien seperti ini biasanya asimptomatis, tetapi mempunyai resiko

menjadi tukak duodenum. Gastritis kronik atrofi multifokal mempunyai ciri-ciri

khusus sebagai berikut : terjadi inflamasi pada hampir seluruh mukosa, seringkali

sangat berat berupa atropi atau metaplasia setempat-setempat pada daerah antrum dan

korpus. Gastritis kronik atropi multifokal merupakan faktor resiko terpenting displasia

epitel mukosa dan karsinoma gaster. Infeksi Helicobacter pylori juga sering

dihubungkan dengan limfoma MALT. Gastritis kronik atrofi predominasi korpus atau

sering disebut gastritis kronik autoimun setelah beberapa dekade kemudian akan

dikuti anemia pernisiosa dan defisiensi besi.

Kebanyakan gastritis tanpa gejala. Mereka yang mempunyai keluhan biasanya berupa

keluhan yang tidak khas. Keluhan yang sering dihubung-hubungkan dengan gastritis

adalah nyeri panas dan pedih di ulu hati disertai mual kadang-kadang sampai muntah.

Keluhan-keluhan tersebut sebenarnya tidak berkorelasi baik dengan gastritis.

Keluhan-keluhan tersebut juga tidak dapat digunakan sebagai alat evaluasi

keberasilan pengobatan. Pemeriksaan fisis juga tidak dapat memberikan informasi

yang dibutuhkan untun menegakkan diagnosis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan

pemeriksaan endoskopi dan histopatologi. Sebaiknya biopsi dilakukan dengan

sistematis sesuai dengan update Sydney System yang mengharuskan mencantumkan

topografi. Gambaran endoskopi yang dapat dijumpai adalah eritema, eksudatif, flat-

erosion, raised erosion, perdarahan, edematous rugae. Perubahan-perubahan

histopatologi selain menggambarkan perubahan morfologi sering juga dapat

menggambarkan proses yang mendasari, misalnya autoimun atau respon adaptif

mukosa lambung. Perubahan – perubahan yang terjadi berupa degradasi epitel,

hyperplasia foveolar, infiltrasi neutrofil, inflamsai sel mononuklear, folikel limpoid,

atropi, intestinal metaplasia, hyperplasia sel endokrin, kerusakan sel parietal.

9

Pemeriksaan histopatologi sebaiknya juga menyertakan pemeriksaan kuman

Helicobacter pylori.2

Gastropati

Gastopati yang disebabkan oleh refluks empedu dan OAINS sering disebut sebagai

gastropati kimiawi atau gastropati reaktif atau gastritis tipe C. Terdapat 3 kategori

pasien gastropati kimiawi yakni : refluks empedu setelah gastroktomi parsial, refluks

empedu sebagai bagian dari sindrom dismotilitas gastrointestinal dan pengguna obat

anti inflamasi non steroid ( OAINS ) kronik.

Gastropati OAINS

OAINS merupakan salah satu obat yang paling sering direseokan. Obat ini dianggap

sebagai first line theraphy untuk arthritis dan digunakan secara luas pada kasus traum,

nyeri pasca pembedahan dan nyeri-nyeri yang lain. Sebagian besar efek OAINS pada

saluran cerna bersifat ingan dan reversibel. Hanya sebagian kecil yang menjadi berat

yakni tukak peptik, perdarahan saluran cerna dan perforasi. Risiko untuk

mendapatkan efek samping OAINS tidak sama untuk semua orang. Faktor risiko yang

penting adalah : usia lanjut, digunakan bersama-sama dengan steroid, riwayat pernah

mengalami efek samping OAINS, dosis tinggi atau kombinasi lebih dari satu macam

OAINS dan disabilitas.

Efek samping OAINS pada saluran cerna tidak terbatas pada lambung. Efek samping

pada lambung memang yang paling sering terjadi. OAINS merusak mukosa lambung

melalui 2 mekanisme yakni : topikal dan sistemik. Kerusakan mukosa secara topikal

terjadi karena OAINS bersifat asam dan lipofilik, sehingga mempermudah trapping

ion hydrogen masuk mukosa dan menimbulkan kerusakan. Efek samping OAINS

tampaknya lebih pentimg yaitu kerusakan mukosa terjadi akibat produksi

prostaglandin menurun, OAINS secara bermakna menekan prostaglandin. Seperti

diketahui prostaglandin merupakan substansi sitoprotektif yang amat penting bagi

mukosa lambung. Efek sitoproteksi itu dilakukan dengan cara menjaga aliran darah

10

mukosa, meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat dan meningkatkan

epithalial defense. Aliran darah mukosa yang menurun menimbulkan adhesi netrolit

pada endotel pembuluh darah mukosa dan memacu lebih jauh proses imunologis.

Radikal bebas dan protease yang dilepaskan akibat proses imunologis tersebut akan

merusak lambung.2,3

2. Tukak peptik

Penyakit tukak peptik yaitu tukak lambung ( TL ) dan tukak duodenum ( TD )

merupakanpenyakit yang masih banyak ditemukan di klinik terutama dalam

kelompok umur diatas 45 tahun.

Tukak peptik secara anatomis didefinisikan sebagai suatu defek mukosa/ submukosa

yang berbatas tegas dapat menembus muskularis mukosa sampai lapisan serosa

sehingga dapat terjadi perforasi. Secara klinis, suatu tukak adalah hilangnya epitel

superfisial atau lapisan lebih dalam dengan diameter ≤ 5mm yang dapat diamati

secara endoskopis atau radiologis.

Patogenesis terjadinya tukak peptik adalah ketidakseimbangan antara faktor agresif

yang dapat merusak mukosa dan faktor defensif yang memelihara keutuhan mukosa

lambung dan duodenum.

Secara umum pasien tukak biasanya mengeluh sindrom dispepsia, berupa nyeri dan

rasa tidak nyaman ( discomfort ) pada epigastrium. Memiliki periode remisi dan

eksaserbasi.

Pada tukak duodeni rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar, rasa sakit

membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hilang setelah makan dan minum

obat antasida ( Hunger Pain Food Relief / HPFR ). Rasa sakit tukak gaster timbul

setelah makan, berbeda dengan tukak duodeni yang merasa enak setelah makan, rasa

sakit tukak gaster sebelah kiri dan rasa sakit tukak duodeni sebelah kanan garis tengah

perut. Rasa sakit bermula pada satu titik ( pointing sign ) akhirnya difus bisa menjalar

ke punggung. Ini kemungkinan disebabkan penyakit bertambah berat atau mengalami

komplikasi berupa penetrasi tukak ke organ pankreas. Muntah kadang timbul pada

tukak peptik disebabkan edema dan spasme seperti tukak kanal pilorik ( obstruksi

gastric outlet ). Tukak prepilorik dan duodeni bisa menimbulkan gastric outlet

obstruction melalui terbentuknya fibrosis/ oedem dan spasme.1

11

Tukak stress akut dan akibat obat

Istilah tukak stress digunakan untuk menerangkan erosi lambung atau duodenum yang

terjadi sebagai akibat stress psikologis atau fisiologis yang berlangsung lama. Tukak

stress akut biasanya merupakan lesi yang dangkal, irreguler, menonjol ke luar, yang

ukurannya mungkin besar, multipel dan sering terletak pada lambung. Lesi dapat

mengalami pendarahan lambat, menyebabkan melena dan seringkali tanpa gejala atau

diselubungi oleh penyakit berat yang dialami penderita. Karena lesi-lesi ini

superfisial, biasanya tidak telihat pada pemeriksaan sinar-x.2

3. Gastroesofageal reflux disease ( GERD )

Penyakit refluks gastro esofageal ( GERD ) adalah suatu keadaan patologis sebagai

akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang

timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring, dan saluran nafas.

Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat terjadi

sebagai akibat : 1). Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan

refluksat dengan mukosa esofagus, 2). Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa

esofagus, walaupun kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak cukup lama.

Patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari

esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat.

Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/ rasa tidak enak di epigastrium atau

retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar

( heart-burn ), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia ( kesulitan menelan

makanan ), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. GERD juga dapat

menimbulkan manifestasi gejala ekstra esofageal yang atipik dan sangat bervariasi

mulai dari nyeri dada non-kardiak ( non-cardiac chest pain/ NCPP ), suara serak,

larinigitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya bronkiektasis atau asma. Gejala

GERD biasanya perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut atau keadaan yang

bersifat mengancam nyawa.

Pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas yang merupakan stamdar baku

untuk diagnosis GERD ditemukan mucosal break di esofagus ( esofagitis refluks ).

12

Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna

bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai non-

erosive reflux disease ( NERD ).1,3

Komplikasi Dispepsia

Penderita sindroma dispepsia selama bertahun-tahun, dapat memicu adanya komplikasi

yang tidak ringan. Salah satunya komplikasi Ulkus Peptikum, yaitu luka di dinding lambung

yang dalam atau melebar, tergantung berapa lama lambung terpapar oleh asam lambung. Bila

keadaan Ulkus Peptikum ini terus terjadi luka akan semakin dalam dan dapat menimbulkan

komplikasi pendarahan saluran cerna yang ditandai dengan terjadinya muntah darah. Muntah

darah ini sebenarnya pertanda yang timbul belakangan. Awalnya penderita pasti akan

mengalami buang air besar berwarna hitam terlebih dulu. Yang artinya sudah ada perdarahan

awal.Tapi komplikasi yang paling dikuatirkan adalah terjadinya kanker lambung yang

mengharuskan penderitanya melakukan operasi.6

Penatalaksanaan Dispepsia fungsional

Pendekatan umum

Luasnya lingkup manajemen pada kasus dispepsia fungsional menggambarkan bahwa

adanya ketidakpastian dalam patogenesisny. Adanya respon plasebo yang tinggi ( sekitar

45% ) mempersulit untuk mencari regimen pengobatan yang lebih pasti. Penjelasan dan

reaasurance kepada pasien mengenai latar belakang keluhan yang dialaminya, merupakan

langkah awal yang penting. Buat diagnosis klinik dan evaluasi bahwa tidak ada penyakit

serius atau fatal yang mengancamnya. Coba jelaskan sejauh mungkin tentang patogenesis

penyakit yang dideritanya. Evaluasi latar belakang faktor psikologis. Nasehat untuk

menghindari makanan yang dapat mencetuskan serangan keluhan. Sistem rujukan yang baik

akan berdampak positif bagi perjalanan penyakit pada kasus dispepsia fungsional.1

13

Non-medikamentosa

Pada penatalaksanaan non-medika mentosa kita perlu menjelaskan tentang perlunya

dietetik kepada pasien. Walaupun, tidak ada dietetik baku yang menghasilkan penyembuhan

keluhan secara bermakna. Prinsip dasar menghindari makanan pencetus serangan merupakan

pegangan yang lebih bermanfaat. Makanan yang merangsang, seperti pedas, asam, tinggi

lemak, kopi sebaiknya dipakai sebagai pegangan umum secara proporsional dan jangan

sampai menurunkan/ mempengaruhi kualitas hidup penderita. Bila keluhan cepat kenyang,

dapat dianjurkan untuk makan porsi kecil tapi sering dan rendah lemak.1,4

Penatalaksanaaan non farmakologis yaitu meliputi:

1. Atur pola makan

2. Olah raga teratur 

3. Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung (coklat,

keju, dll )

4. Hindari makanan yang terlalu pedas

5. Hindari minuman dengan kadar caffeine,alkohol,dan kurangi rokok

6.Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung

7.Kelola stress psikologi seefisien mungkin.

Medikamentosa

Antasida

Antasida merupakan obat yang paling umum dikonsumsi oleh penderita dispepsia,

merupakan suatu obat yang bekerja lokal, menetralkan asam lambung dengan

menurunkan aktivitas pepsin dan menaikkan pH lambung ≤ 4 dan merupakan suatu

basa lemah. 5,6

Penyekat H2 reseptor/ antagonis reseptor histamin – H2

Obat ini juga diberikan pada penderita dispepsia. Dari data studi acak tersamar

ganda, didapatkan hasil yang kontroversi. Sebagian gagal memperlihatkan

manfaatnya pada dispepsia fungsional, dan sebgaian lagi berhasil. Secara

metaanalisis diperkirakan manfaat terapinya 20% diatas plasebo. Masalah pkok

14

adalah kriteria inklusi pada berbagai penelitian, dan juga kemungkinan masuknya

kasus penyakit refluks gastroesofageal. Umumnya manfaatnya untuk menghilangakn

rasa nyeri ulu hati.5,6

Penghambat pompa proton ( PPI )

Obat ini tampaknya cukup superior dibanding plasebo pada dispepsia fungsional.

Respons baik terlihat pada dispepsia fungsional tipe ulkus. Paling efektif menekan

sekresi asam lambung dan merupakan suatu pro-drug yang membutuhkan suasana

asam sehingga harus diminum sebelum makan. Efeknya akan menurun jika diberi

bersama H2 – reseptor antagonis dan antasida. Preparat : omeprazole, lanzoprazole,

pantoprazole dan rabeprazole. 5,6

Sitoproteksi

Obat ini misalnya misoprostol, sukralfat, tidak banyak studinya yang memperoleh

kemanfaatan yang dapat dinilai. 5,6

Prokinetik

Termasuk golongan ini adalah metoklopramid ( antagonis reseptor dopamin D2 ),

domperidon ( antagonis reseptor D2 yang tidak melewati sawar otak 0 dan cisapride

9 agonis reseptor 5-HT4 ). Dalam berbagai studi metaanalisis, baik domperidon dan

cisapride mempunyai efektivitas yang baik dibandingkan plasebo dalam mengurangi

nyeri epigastrik, cepat kenyang, distensi abdomen dan mual.

Metoklopramid yang tampaknya cukup bermanfaat pada dispepsia fungsional, tapi

terbatas studinya dan hambatan efek samping ekstrapiramidalnya.

Cisapride tergolong agonist reseptor 5-HT4 dan antagonis 5-HT3, yang secara

metaanalisis memperlihatkan angka keberhasilan dua kali lipat dibandingkan

plasebo. Beraksi pada pengosongan lambung dan disritmia lambung. Masalah saat

ini adalah setelah diketahuinya efek sampingnya pada aritmia jantung, terutama

perpanjangan masa Q-T, sehingga pemakaiannya berada dalam pengawasan.5,6

Obat lain – lain

Adanya peran hipersensitivitas viseral dalam patogenesis dispepsia fungsional,

mebuka peran obat-obatan yang bermanfaat dalam menghilangkan persepsi nyeri.

15

Dalam beberapa penelitian, dosis rendah antidepresan golongan trisiklik dilaporkan

dapat menurunkan keluhan dispepsia terutama nyeri abdomen.

Kappa agonist fedotoxine dapat menurunkan hipersensitivitas lambung dalam studi

pada volunteer serta pada beberapa studi dapat menurnkan keluhan pada dispepsia

fungsional, walaupun manfaat kliniknya masih dipertanyakan. Obat golongan

agonist 5-HT1 ( sumatriptan dan busipiron ) dapat memperbaiki akomodasi lambung

dan memperbaiki rasa keluhan cepat kenyang setelah makan.5,6

Psikoterapi

Dalam beberapa studi terbatas, tampaknya behavioral therapy memperlihatkan

manfaatnya pada kasus dispepsia fungsional dibanding terapi baku.5,6

Prognosis

Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang

akurat, mempunyai prognosis yang baik.1-3

Kesimpulan

Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan gejala/

keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah,

sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/begah. Diagnosis dispepsia fungsional

didarakan pada keluhan/ simptom/ sindrom dispepsia dimana pada pemeriksaan penunjang

baku dapat disingkirkan kausa organik/ biokimiawi, sehingga masuk dalam kelompok

penyakit gastrointestinal fungsional. Mempunyai patofisiologi yang kompleks dan

multifaktorial, diaman tampaknya berbasiskan gangguan pada motilitas atau hipersensitivitas

viseral. pemeriksaan endoskopi dan radiologi sangat penting dalam indikasi dispepsia yang

disertai alarm symptoms. Modalitas pengobatannya menjadi luas, berdasarkan kompleksitas

patogenesisnya, serta lebih kearah hanya menrunkan atau menghilangkan simptom. Pilihan

pengobatan berdasarkan pengelompokan gejala utama dapat dianjurkan, walaupun masih

diperdebatkan manfaatnya.

16

Daftar pustaka

1. Aru W. Sudoyo, Bambang S, Idrus A, Marcellus simadibrata, Siti S editor. Buku ajar

ilmu penyakit dalam jilid III edisi V. Pusat informasi dan Penerbitan bagian Ilmu

Penyakit Dalam FKUI. Jakarta; 2009 : 441 – 533.

2. Dharmika Djojodiningrat. Dispepsia fungsional. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta:Pusat

Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006:hal 529-33.

3. Fauci et all. Harisson’s priciples of internal medicine. 17 th ed. USA : McGraw-Hill

Companises; 2008 : 2575-590

4. Tack j. Pathophysiology and treatment of functional dyspepsia. Gastroenterology ;

2004 : 325-40

5. Sulistia G, Rianto S, Elysabeth ( dkk ). Farmakologi dan terapi. Edisi- 5. FKUI.

Jakarta ; 2005 : 820-5

6. Isselbacher, Braunwald et al. Harrison: prinsip – prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi ke-13. Volume

4.Jakarta: EGC;2005:hal 1532-43

17