Makalah Datu Aling
-
Upload
wahyu-indra-wardhana-iwe -
Category
Documents
-
view
111 -
download
6
Transcript of Makalah Datu Aling
MAKALAH (SEJARAH LOKAL)
PANEMBAHAN MUDA DATU ALING
Oleh :
WAHYU INDRA WARDANA
NIM : A1A109233
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2013
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................
B. Rumusan Masalah .................................................................................
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................
D. Metode Penulisan ..................................................................................
E. Batasan Masalah ...................................................................................
BAB II Pembahasan
A. Geografis Daerah Muning. ...................................................................
B. Panembahan Muda Datu Aling..............................................................
BAB III Penutup
A. Kesimpulan. ..........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA. ...................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perang banjar yang meletus pada tanggal 18 April 1859, diyakini bukan hanya
sebagai perang memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankan “tanah banyu”
Banjar, melainkan lebih dari itu, yaitu sebagai “Perang Sabil” untuk menjunjung
simbol agama yang suci. Sebagai pimpinan yang tertinggi Perang Banjar Pangeran
Antasari diberikan gelar Amiruddin Khalifatul Mu’minin, dengan semboyannya
“Haram Manyarah, gawi Manuntung, Waja Sampai Kaputing”. Apabila dicermati
Perang Banjar yang panjang itu yang dimulai di desa Muning yang dipimpin oleh elit
desa, dalam konteks ini dapat dikatagorikan sebagai sebuah gerakan sosial.
Gerakan sosial di muning, hingga gerakan radikal petani ini di kenal dengan
Gerakan Datu Muning, yang di pimpin oleh seorang yang dahulunya seorang
perampok dan pembajak yang disebut Panembahan Muda Aling. Kehadiran Aling
sebagai pertanda konflik politik di antara elite politik tradisional berada pada
puncaknya. Pertikaian-pertikaian politik pada kerajaan Banjar yang berlangsung lama,
membuat terpecah-pecah, yang akhimya kerajaan Banjar harus diserahkan kepada
Belanda. Sebagaimana diketahui, sejak dahulu masyarakat Banjar tidak pemah
bersatu, selalu bertikai dan mudah terpecah belch. Kerajaan-kerajaan yang dibangun
di wilayah yang sekarang disebut Kalimantan Selatan tidak pernah menjadi besar
sebagaimana yang terdapat di Jawa.
Kehadiran Aling merupakan langkah untuk mencari resolusi konflik, yang
dilakukan para penduhulunya, seperti Ampu Jatmika dan Patih Masih. Pilihan Aling
yang dijatuhkan kepada Pangeran Antasari merupakan figur yang mampu
menciptakan integrasi sosial politik merupakan pilihan yang tepat. Pangeran Antasari,
yang pada akhimya, mempu menyatukan masyarakat Banjar untuk menentang
pemerintah kolonial Belanda dengan perlawanan rakyat Banjar yang disebut Perang
Banjar.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Keadaan Geografis Daerah Muning?
2. Bagaimana Peranan Panembahan Muda Datu Aling Dalam Gerakannya?
3. Apakah Tujuan Gerakan Dari Panembahan Muda Datu Aling?
C. Tujuan Penulisan
- Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Lokal.
- Menjelaskan bagaimana seorang Panembahan Muda Datu Aling semasa hidupnya.
- Sebagai bahan pengetahuan bagi pembaca, khususnya mahasiswa Pendidikan
Sejarah FKIP Unlam Banjarmasin.
D. Metode Penulisan
Metode Penulisan yang digunakan Penulis adalah menggunakan Metode
Kepustakaan yaitu dengan Membaca buku yang berkaitan dengan Pokok
permasalahan.
E. Batasan Masalah
Pembahasaan Masalah adalah Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh
Panembahan Muda Datu Aling.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Geografis Daerah Muning
Secara geografis daerah Muning terletak di sepanjang sungai Muning, yang
merupakan cabang sungai Negara dan bermuara di sungai Margasari. Daerah ini adalah
daerah yang berawa-rawa dan merupakan daerah pertanian yang subur. Bahkan daerah ini
pada waktu itu disebut-sebut sebagai daerah lumbung padi bagi kesultanan Banjarmasin.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila hampir keseluruhan rakyat Muning adalah para
petani. Mereka adalah para petani yang mengerjakan pertanian sawah pasang surut. Pada
sebagian daerah dataran agak tinggi pada masa-masa lebih kemudian lahannya ditanami oleh
masyarakatnya dengan pohon karet.
Daerah Muning ini adalah daerah tanah lungguh Pangeran Prabo Anom. Setelah
pangeran ini ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke pulau Jawa, tanah lungguh pangeran
tersebut dirampas dan dijadikan hak milik sultan Tamjid. Di daerah Muning inilah terdapat
sebuah kampung yang diberi nama Kumbayau, tempat gerakan sosial dari golongan
masyarakat jaba bangkit, dipimpin oleh seorang yang bemama Aling.
Kampung Kumbayau daerah asal Aling sendiri sebenarnya merupakan daerah
perkampungan yang tidak begitu besar. Pada saat itu diperkirakan hanya terdapat
permukiman yang terdiri dari tidak lebih dari 32 buah rumah. Akan tetapi, sejak Aling
mampu memunculkan dirinya sebagai tokoh temyata pengaruhnya melampaui dari sekedar
lingkup kampung Kumbayau. Gerakan yang dimotori Aling melingkupi wilayah Muning
secara keseluruhan, bahkan lebih dari itu dilihat dari sisi gerakannya is mampu lebih luas lagi
sehingga sulit dibantah bahwa Perang Banjarmasin yang meletus meliputi wilayah Kaliman-
tan Tenggara justru dimulai dari adanya gerakan Aling yang berujung pada perlawanan
secara fisik terhadap penjajahan Belanda. Dari perlawanan yang dilakukan oleh para petani
Tambai, kemudian meluas menjadi sebuah perang besar yaitu perang Banjarmasin.
Kampung Kumbayau terletak didaerah dataran rendah yang berawa-rawa dan sukar
dilewati. Perjalanan dari Martapura ke Kumbayau memerlukan waktu perjalanan selama
dua hari, baik itu ditempuh melalui sungai maupun melalui darat. Perjalanan menuju
kampung Kumbayau melalui sungai harus menggunakan jukung (perahu) kecil dari
Martapura. Sedangkan perjalanan dari Martapura ke Kumbayau melalui daratan harus
melewati jalan setapak. Untuk mencapainya orang harus mengelilingi kampung-kampung
kecil yang terpencil. Kampung Kumbayau baru menjadi pusat perhatian masyarakat Banjar,
karena munculnya gerakan sosial Panembahan Muda Aling tersebut. Muning, kemudian saat
ini sekarang dikenal dengan daerah (desa) Lawahan, yang secara administrasi pada saat ini
menjadi bagian dari daerah Kecamatan Tapin Selatan Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan
Selatan.
Penduduk daerah Muning di samping petani, mereka juga menangkap ikan air tawar
yang hasilnya kemudian dijual ke pasar di luar daearah Muning. Daerah Muning memberikan
banyak penghasilan pertanian pada penduduknya karena tanahnya yang terdiri atas rawa-rawa
yang subur. Sistem pertanian adalah sistem pertanian pasang surut. Pada saat gerakan sosial
Panembahan Muda Aling bangkit, daerah ini sedang mengalami panen padi yang baik dan
hasil panennya melimpah ruah sehingga memberikan kesejahteraan penduduknya. Harga
beras menjadi murah, 1 gantang (lima liter) berharga f 4 dan 1 gantang garam dapur dapat
ditukar dengan 5 gantang beras.
Pada sisi lain, daerah Muning juga terkenal dalam hal kejahatannya. Perampokan dan
pembajakan sering terjadi di sepanjang sungai Muning dan di bagian sungai Negara, tempat
sungai Muning bermuara. Aling sebelum menjadi pemimpin pergerakan sosial, adalah juga
seorang perampok dan pembajak yang ditakuti dan disegani. Aling bukanlah seorang
penduduk asli dari Muning, dan oleh karena itu, kita dapat menduga para pembajak dan
perampok bukanlah berasal dari daerah Muning asli.
Melihat latar belakang penduduknya dan wilayahnya sebagai sarang perampok dan
pembajak, maka daerah Muning bertumbuh dan berkembang populasinya. Hal ini mungkin,
disebabkan sebagian besar anggota perampok dan pembajak berasal dari berbagai daerah di
wilayah Kerajaan Banjar dan menjadikan daerah Muning sebagai tempat persembunyian
mereka. Kemudian terbentuklah kampung-kampung kecil, disusul areal pertanian di
sekitarnya. Akhimya mereka hidup berkeluarga dan berketurunan di kampung‑kampung
tersebut.
B. Panembahan Muda Datu Aling
1. Gerakan Radikal Petani Tambai dan Kerajaan Tambai
Kampung Tambai merupakan kampung pusat gerakan radikal merupakan daerah yang
sulit untuk dicapai karena terletak di daerah daratan dan berhutan lebat. Dari Martapura
sebagai ibukota kerajaan Banjar ke kampung Tambai menghabiskan waktu dua hari. Awalnya
Kampung Tambai merupakan daerah apanage Prabu Anom, akan tetapi setelah ia meninggal
maka wilayah ini diambil oleh Sultan Tamjidullah. Penduduk Tambai selain berprofesi
sebagai petani tidak jarang juga mereka menjadi penangkap ikan dan sekali-kali menjadi
bajak sungai.
Pembahasan mengenai kausalitas gerakan petani Tambai tidak lepas dari semakin
kokohnya cengkraman politik kolonial terhadap kerajaan Banjar. Gerakan petani Tambai
dapat dikategorikan sebagai gerakan radikal. gerakan radikal adalah gerakan yang menolak
secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku dan ditandai oleh kejengkelan moral
yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-hak istimewa
dan yang berkuasa.
Pada masa itu, para petani menyaksikan kemunduran politik dan wewenang di
kalangan elite politik kerajaan yang telah tunduk terhadap kepentingan pemerintah kolonial.
Realitas ini, membuat para petani Tambai melecehkan keberadaan para elite politik dan
mereka mulai mencari para pemimpin yang bukan berasal dari elite birokrasi kerajaan.
Pada saat yang sama, semakin merosotnya wewenang para elite politik kerajaan,
kebangkitan agama Islam semakin terasa di wilayah kesultanan Banjar. Jumlah haji di
Kalimantan Tenggara bagian selatan sebanyak 100 orang haji. Bahkan, Agama Islam oleh
Sultan Adam dijadikan sebagai identitas Orang Banjar. Merupakan suatu kewajaran apabila
Orang Banjar sebagai pemeluk agama Islam. Merefleksikan kebenaran sesuai dengan ajaran
agama. Dalam pandangan Orang Banjar, orang kulit putih identik dengan kafir, sedangkan
pribumi yang bekerja untuk kepentingan kulit putih disebut pembantu kafir. Merekapun
merasa, bahwa hak-haknya tidak diperhatikan lagi oleh kerajaan. Pajak yang tinggi tidak
diterima oleh para petani, ketika Pangeran Tamjidillah pada tanggal 3 November 1857
diangkat oleh pemerintah colonial sebagai Sultan Banjar.
Menurut para petani, pengangkatan Pangeran Tamjiddullah menjadi sultan merupakan
pelanggaran tradisi yang tidak dapat dimaafkan. Sebab, di mata para petani Tamjidullah
adalah anak ompang, yaitu anak yang lahir sebelum ibunya (seorang selir) yang bernama
Nyai Aminah, seorang Cina keturunan Dayak, dinikahi oleh ayahnya, yaitu Sultan Muda
Abdurrahman. Sultan Muda dari permaisurinya bernama Ratu Siti memperoleh anak bernama
Pangeran Hidayatullah.
Dalam berprilaku menurut pandangan para petani, Tamjidullah tidak mencerminkan
layaknya Orang Banjar. Ia lebih suka mengejar kenikmatan hidup diantara orang Eropa di
Banjarmasin. Ia juga terbiasa dengan minuman keras yang memang bertentangan dengan
ajaran agama Islam. Bahkan Tamjidullah membiarkan dua adik perempuannya, yaitu Ratu
Ishak yang tinggal bersama tanpa nikah dengan pejabat Eropa di Banjarmasin, sedangkan
Ratu Kramajaya menjadi gundik dari seorang pegawai bea cukai di kantor residen. Para haji
yang memang banyak berada di kesultanan Banjar dan para petani tidak dapat menerima gaya
hidup seperti ini.
Tamjidullah juga tidak memperoleh simpatik, sebab ia merobek-robek segel yang
bercapkan sultan yang sedang berkuasa (saat itu Sultan Adam) memperoleh bagian dari
penghasilan kerajaan, bahkan Tamjidullah juga meminta bagian dari pemasukan kerajaan
yang diperuntukan kepada para bangsawan. Ketika Tamjidullah diangkat oleh pemerintah
kolonial menjadi sultan muda, Sultan Adam, para pembesar istana dan para petani menjadi
kecewa dan terluka hatinya. Sultan Adam lalu membuat surat wasiat, yang isinya Pangeran
Hidayatullah sebagai cucunya kelak yang akan menjadi sultan Banjar. Kepada para pemimpin
agama, pemuka rakyat dan para petani untuk patuh kepada Pangeran Hidayat sebagai Sultan
mereka dan siapa yang melanggar, Sultan Adam bersumpah akan dimurkai Allah dan dikutuk
oleh Allah.
Ketidakpuasan petani terhadap aparat yang merupakan bagian dari kaki tangan
Tamjidullah, terutama petugas pajak sudah berlangsung sebelum Tamjidullah diangkat
menjadi Sultan. Misalnya pada tahun 1853 tiga orang petugas pajak disekitar Amandit telah
dibunuh oleh para petani. Di Banua Lima, para petani menolak membayar pajak kemudian
dilanjutkan dalam gerakan keagamaan bemama beratib beramal.
Keradikalan petani Tambai di daerah Tapin Hilir sekitar 1859 terlihat, ketika seorang
petani yang matanya sudah rabun bernama Aling telah menghasut para petani untuk menolak
membayar pajak dan menentang pengangkatan Pangeran Tamjidullah menjadi sultan Banjar
oleh pemerintah kolonial. Dengan diangkatnya Tamjidullah menjadi sultan oleh pemerintah
kolonial dalam sudut yang lain juga meminggirkan elite tradisional (elite agama dan
aristokrat yang mempertahankan tradisi), yang kemudian perannya diganti oleh elite sekuler
tradisional yang dianggap sebagai kepanjangan tangan pemerintah kolonial di banua Banjar.
Pengangkatan Tamjidullah menjadi sultan oleh kebanyakan petani dan bangsawan
tidak disetujui karena ia merupakan produk dari kegagapan sosial dan budaya yang
direkayasa oleh pemerintah kolonial. Merupakan kewajaran apabila masyarakat Banjar,
khususnya para petani menentang pengangkatan ini, karena dianggap telah melanggar tradisi
yang telah mapan. Padahal sebagian besar masyarakat, khususnya para petani memegang
penuh tradisi dan tindakannya diliputi oleh suasana keagamaan.
Aling pada masa mudanya pemah menjadi seseorang perampok sungai, kemudian
menjadi tagop (pengawal) Sultan Adam di keraton Martapura. Ketika ia merasa sudah cukup
tua, ia kembali ke Kampung Tambai. Betapa terkejutnya ia sampai dikampungnya sebab
Pembakal Karim telah merampas tanahnya dan hasilnya). Aling menangkap realita yang
dihadapinya dan memunculkan, apa yang disebut sebagai suatu kesadaran kritis (critical
consciousness). Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber
masalah. Hemat Aling struktur dan sistem baru yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial
menjadi sumber terpinggirkannya sistem lama. Aling berpendapat, bahwa setiap pelanggaran
terhadap, adat dapat dianggap sebagai ancaman equalibrim kehidupan masyarakat tradisional.
Dalam kekecewaannya, Aling memutuskan untuk melakukan suatu proses spritual
dalam wujud balampah (bertapa/ascetic) dengan cara menggantungkan dirinya dalam posisi
kepada ke bawah, kaki di atas di sebuah pondok ditengah-tengah ladangnya selama 40 hari
40 malam. Tujuan balampahnya, ia meminta ampun kepada Allah akan dosa-dosa yang
pernah dilakukannya dan meminta petunjuk-Nya tentang tindakan apa yang hares dilakukan
terhadap keterhimpitan sosial, budaya, ekonomi, politik yang menerpa masyarakat Banjar.
Dalam balampahnya, ia mendengar suara gaib. Cerita tentang Aling ini dituturkan oleh
Sambang anaknya ketika ia diintrogasi oleh Residen J.J Meijer.
Suara gaib yang diyakini ini berbunyi, sebagai berikut: “ikam nang baamal dengan
kasukaan aku, akan permintan mendapat nagri dan pagustian ikam batatap, karjaakan
barbunyian, Sarta anak ikam nang bisa bagandut-gandutan, limbah sudah jadi barbunyian,
mau raja gaib manulung ikam, sakira-kira jadi selamat nagri dan raja pun tatap. Tetapi
Pangiran Antasari ikam aturi di Muning”.
Setelah selesai, Aling menyelesaikannya balampahnya, kemudian ia mengklaim,
bahwa dirinya sebagai utusan Tuhan yang ditugaskan sebagai juru selamat (mesiasnistis)
untuk menyelamatkan kerajaan Banjar yang tengah terpuruk akibat dominasi pemerintah
kolonial. Sebagai bukti, bahwa ia adalah juru selamat maka ia mendemontrasikan
kemampuan adikodratinya untuk menyembuhkan 4 orang petani yang masing-masing
bernama: Andin, Belakup, Lanting dan Muna yang sedang sakit parah. Sehingga, Aling
diyakini oleh para petani memiliki kemampuan yang sangat adikodrati (superhuman).
Kemasyuran tentang kemampuan adikodrati yang dimiliki oleh Aling tersebar tidak hanya di
Kampung Tambai akan tetapi menyebar ke kampung tetangganya.
Ketika para petani meyakini, akan kelebihan adikodrati yang dimiliki oleh Aling, ia
kemudian mendirikan suatu replika kerajaan dengan segala atribut kerajaan seperti payung
dan panji-panji kerajaan yang berwarna kuning. Memang warna kuning bagi masyarakat
Banjar adalah warna yang dimaknai sebagai warna yang mengandung ketuahan,
kekeramatan dan kemuliaan. Kerajaan itu diberi nama Kerajaan Tambai. Kata Tambai dalam
bahasa Banjar mengandung arti pemulaan. Pendirian Kerajaan Tambai oleh Aling
merupakan suatu simbol yang dapat diartikan, sebagai bentuk awal perlawanan petani
terhadap kaum feodal, perlawanan tradisional terhadap ke modern (yang dibawa oleh
kolonial), perlawanan rakyat terhadap negara.
Seperti layaknya sebuah kerajaan, maka Aling pun memberikan gelar-gelar kepada
dirinya sendiri, anak-anaknya dan kerabatnya. Gelar-gelar itu bersifat magis-sakral. Misalnya
Aling bergelar Panembahan Kuning, Sambang anak tertuanya bergelar Sultan Kuning,
anaknya keduanya bergelar Pangeran Surianata, anak ketiganya diangkat sebagai
mangkubumi dan anak-anaknya diberi gelar Ratu Keramat, sedangkan Saranti putri
terakhirnya diberi gelar Putri Junjung Buih. Suami dari anak ketiganya, oleh Aling diberi
gelar Saidina Ali, sedangkan keponakannya diberi gelar Siti Fatimah. Aling juga memberikan
gelar kepada panglimanya, yaitu Juntai di Langit, dan seorang perempuan dari kerabat
jauhnya diberi gelar Fatimah sebagai panglima yang memimpin pasukan khusus wanita.
Apabila dicermati gelar-gelar yang disandang oleh Aling dan anak-anaknya
merupakan suatu campuran dari tokoh sejarah Banjar, saudara Nabi Muhammad SAW dan
tokoh mitos yang berada di dalam imaginasi para petani. Menarik untuk dicermati, bahwa
Aling juga mempunyai sikap yang nyeleneh. Sebab, dalam pandangan tradisional, bahwa
yang berhak menjadi raja adalah orang yang dianggap, keturunan tokoh mitos apabila yang
bukan keturunan berkeinginan menjadi raja maka malapetaka akan menyapa. Aling
menyadari tentang itu, sebab ia secara geonologi adalah keturunan jaba. Akan tetapi penguasa
yang diwakili oleh Sultan Tamjidullah dan pemerintah kolonial telah mempurukan nilai-nilai
tradisi yang diyakini oleh masyarakat. Untuk itu, ia pun melawan simbol kekuasaan dengan
menggunakan simbol gelar yang lebih tinggi dari yang digunakan para penguasa, yaitu gelar
Sultan. Aling memakai gelar panembahan. Gelar panembahan berawal dari kata sembah yang
diperuntukan kepada orang yang dimuliakan. Gelar panembahan yang disandang oleh Aling,
kira mempunyai arti, bahwa Aling adalah orang yang harus dihormati karena memiliki sifat
kemuliaan, dan kekeramatan. Sementara itu, Tamjidullah sebagai kepala negara kerajaan
Banjar hanya bergelar sultan. Ini berarti, bahwa Sultan Tamjidullah harus menghormati
Panambahan Aling. Makna yang lebih lugs adalah penguasa apabila tidak amanah maka
derajatnya berada dibawah orang biasa.
Sambang memakai gelar Sultan Kuning. Nama Sultan Kuning adalah nama lain dari
Sultan Hamidullah yang memerintah Kerajaan Banjarmasin sekitar 1700-1734 (abad XVIII).
Kerajaan Banjarmasin ketika diperintah oleh Sultan Kuning dapat dikatakan mengalami
kejayaan. Sultan Kuning merupakan buyut dari Pangeran Antasari, salah seorang dari dua
pahlawan nasional yang dimiliki oleh Orang Banjar. Pemakaian gelar Sultan Kuning oleh
Sambang memberikan informasi, bahwa gerakan radikal petani Tambai berideologikan
nativistic, yaitu: ideologi yang meromantiskan kejayaan masa lampau. Untuk kembali kemasa
lampau, para petani harus melakukan gerakan radikal.
Sementara itu, Saranti memakai gelar Putri Junjung Buih. Nama Putri Junjung Buih
adalah nama putri yang dimitoskan keluar dari buih air. Kelak, Putri Junjung Buih
menurunkan Raja-raja Banjar. Pemakaian Gelar Putri Junjung Buih oleh Saranti
menggambarkan, bahwa Saranti merupakan simbol tentang wanita tani yang lemah, akan
tetapi mampu juga melakukan oposisi bahkan mengalahkan kekuasaan penguasaa negara
yang zholim, yaitu Tamjidullah. Sebab, memakai gelar Putri Junjung Buih merupakan sebuah
simbol tentang legitimasi dalam kekuasaan tradisional yang berpindah kepada para tani. Arti
yang lain, Saranti sedang membangun citra, bahwa para petani lebih absah dalam menjaga
nilai-nilai tradisi ketimbang Tamjidullah seorang bangsawan yang selalu melanggar adat.
Panembahan Aling dan Saranti melakukan suatu aktivitas ritual dengan diringi suara
gamelan dan tarian gandut. Ritual yang diiringi gamelan dan tarian gandut pada dasarnya
adalah pelaksanaan apa yang diperintahkan oleh suara gaib ketika Aling sedang melakukan
kegiatan lampahnya (astetic). Suara gamelan yang bertalu-talu tersebar ke seantero kampung
disekitar kampung Tambai, sehingga menarik perhatian para penduduknya untuk datang ke
Tambai. Pada awal bulan puasa tanggal 5 April 1859, Aling mendirikan masjid. Tanah
tempat masjid itu didirikan dipercaya oleh petani memiliki kekuatan gaib. Banyak para petani
datang berziarah dan membawa tanahnya untuk dijadikan jimat.
Sensasi nama Panembahan Aling menambah besar jumlah pengikutnya. Ketika
Panembahan Aling sudah merasa banyak pengikutnya baru ia melontarkan gagasannya untuk
merestorasi kerajaan Banjarmasin lama kembali kepada kebesarannya dahulu dengan cara
menyingkirkan Tamjidullah yang menjadi sultan dan mendudukan yang lebih legitim
(Pangeran Antasari atau Pangeran Hidayatullah) di atas Singgasananya. Panembahan Aling
juga mengintruksikan para petani untuk tidak membayar pajak.
Sejak saat itu, para pendukung Aling mulai bertambah kembali. Pendukung Aling
tidak melulu para petani, melainkan juga para haji, kepala-kepala daerah pada tataran bawah.
Misalnya Pembakal Ali Akbar dari Sungkai, Haji Buyasin dari Cintapuri, Pembakal Bakim
dari Pengaron. Tanpa Kesukaran yang berarti, pengikut Panembahan Aling semakin
bertambah, penduduk gunung lawak, para buruh tambang batubara Pangaron dan sekitamya.
Jumlah kekuatan yang berhasil direkrut Panglima Aling, menurut keterangan Meijer
berjumlah 500 orang petani bersenjata lengkap, termasuk pasukan wanita yang bersenjata
Klewang.
Diantara para pengikut Panembahan Aling terdapat sejumlah aristokrat Banjar. Di
antaranya adalah Pangeran Antasari, seorang Pangeran keturunan yang legitimit dari dinasti
sultan Banjar yang diusurpasi. Pangeran Antasari merupakan pangeran yang rendah hati,
sangat sederhana dan sifatnya sangat jauh dari nafsu angkara murka. Waktu hidupnya
dihabiskan lebih banyak di tanah apanagenya di daerah Mangkauk ketimbang di istana yang
terletak di Martapura. Kesederhanaan hidupnya terlihat dari penghasilannya. Antasari
hidupnya tidak melulu mengandalkan penghasilan tahunan dari Mangkauk yang hanya
sebesar f 1.300 sampai f 1.400. Untuk menambah kekurangan biaya hidupnya, ia memasok
kayu untuk keperluan tambang batubara di Pangaron. Data ini menggambarkan, bahwa
Antasari hidupnya sangat sederhana dan bukan tipe sebagaimana layaknya para bangsawan
yang konsumtif. Gaya hidup yang dilakoni oleh Pangeran Antasari apakah ia dipinggirkan
secara sengaja oleh istana, atau memang keinginan ia tidak diperoleh informasinya.
Tidak diketahui secara persis kapan, bagaimana dan siapa yang memulai pertemuan
antara Panembahan Aling dengan Pangeran Antasari agar ia mau diusung menjadi sultan
Banjar. Sebab, apabila dilihat secara geneologis, Pangeran Antasari yang paling legitim
menduduki tahta kesultanan. Selain itu, Panembahan Aling mengusulkan, bahwa anaknya
Antasari yang bernama Gusti Muhammad Said dikawinkan dengan anaknya yang bernama
Saranti. Antasari tidak dapat memberikan jawaban, sebab anaknya Said tidak hadir dalam
pertemuan itu. Akan tetapi, secara tersirat Antasari menyetujui ajakan melakukan pertautan
kekerabatan melalui jalur pemikahan. Hal ini dibuktikan, ketika Antasari memberikan f 1.10
sebaga jujuran (mas kawin).
Menarik untuk dicermati penawaran dan persetujuan antara Aling dan Pangeran
Antasari untuk menikahkan kedua orang anaknya. Secara derajat hubungan antara Aling dan
Pangeran Antasari memang tidak setara melainkan hirarki yang diwujudkan sebagai
hubungan, ayah, anak dan menantu. Pola hubungan ini, memunculkan hubungan
kekerabatan yang kental bukan berdasarkan sistem kontrak yang semu. Hal ini semakin
tampak, ketika Pangeran Antasari tidak keberatan, ketika mengetahui Sambang memakai
gelar Sultan Kuning yang merupakan nama kakeknya, seorang sultan Banjar yang
memerintah pada abad XVIII dan sangat dicintai oleh rakyat dan kaum bangsawan.
Pertemuan yang kemudian disepakati untuk berkoalisi menentang sultan antara Aling
dan Pangeran Antasari terendus Sultan Tamjidullah yang memang memiki sifat penakut yang
berlebihan dan pengecut sangat ketakutan. la kemudian memohon kepada residen untuk
membantunya secara militer, bahkan ia memerintah masyarakat Martapura untuk membuat
benteng perlindungan dan berharap banyak untuk melidungi dirinya dan istana.
Merasa tidak aman, akhimya Tamjidullah minggat meninggalkan istana Martapura ke
Banjarmasin. Larinya Tamjidullah ke Banjarmasin, menjadi buah bibir yang cenderung
mencibirkan sifat Tamjidullah. Bahkan, banyak juga yang mengkaitkan dengan ramalan
lama, bahwa setelah sultan kedua belas memerintah maka akan terjadi perubahan dinasti yang
berkuasa di kesultanan Banjar. Secara kebetulan,Tamjidullah adalah sultan kedua belas yang
memerintah kerajaan Banjar semakin terbukti.
Pada pagi hari pukul 7 pagi, tanggal 28 April 1859, kurang lebih 300 orang petani
Tambaj yang dipimpin Sambang (Sultan Kuning), Pambakal Ali Akbar dari Sungkai, dan
Pambakal Bakim mulai menyerang pertambangan batubara di Pangaron. Milik pemerintah
kolonial Belanda bernama Oranje Nassau. Daerah Riam Kiwa. Pertambangan batubara
Oranje Nassau dibuka pertama kalinya oleh Gubernur Jendral Rochussen 1849.
Pertambangan batubara Oranje Nassau, awalnya memproduksi batubara sebesar 10.000 ton
setiap tahun. Pada tahun 1854 meningkat menjadi 14.794 ton (Broersma dalam Tunjung,
2004: 48). Burch tambang batu bara Oranje Nassau berjumlah 400 orang hukuman dan 45
orang serdadu pribumi, lima orang serdadu Eropa, seorang dokter dan dibawah komandan
Beekman.
Tambang Batubara Oranje Nassau dipilih untuk diserang oleh para petani merupakan
simbol penyerangan terhadap kapitalisme dan kepentingan Belanda, pada tahun 1859 ditutup
dan diikuti oleh penambangan-penambangan lainnya yang beroperasi di Kalimantan Selatan
Bangunan-bangunan pertambangan milik orang Belanda dirusak dan beberapa pegawainya
dibunuh oleh para petani Tambai. Mereka itu adalah J.G. Hooperts bersama seorang putrinya
dan Motley. Selain, menyerang tambang batu bara Oranje Nassau, para petani juga
menyerang perkebunan milik kolonial di Gunung Tabok dan menewaskan tiga orang Perancis
dan empat orang Indo-Eropa. Banyu Irang, Tanah Laut, Banua Lima tidak luput diserang oleh
petani Tambai.
Pada tanggal 23 September 1859, residen Verspyek memutuskan untuk mengambil
tindakan tegas untuk menyerang kampung Tambai sebagai pusat gerakan radikal petani.
Penyerangan langsung terhadap kampung Tambai membuat markas gerakan hancur dan
Panembahan Aling konon ikut tewas. Akan tetapi gerakan radikal petani Tambai menjadi
istimewa, sebab gerakan radikal ini berlanjut kedaerah lain dan area perlawanan meluas
sampai ke wilayah disebut sekarang Kalimantan Tengah.
Munculnya gerakan radikal petani Tambai juga menyadarkan pemerintah kolonial
Belanda akan kekeliruannya akan kebijakannya mengangkat Tamjidullah menjadi sultan.
Pada akhirnya kerajaan Banjar pada tahun 1860 dihapus oleh kolonial Belanda, akan tetapi
perlawanan rakyat yang di dalam sejarah nasional disebut dengan perang Banjar masih
berlanjut sampai 1906.
DAFTAR PUSTAKA
Husni Abrar, Panembahan Muda Aling (Datu Muning): Sebuah Studi Kasus tentang
Kekuasaan dalam Masyarakat Banjar, Pemkab Tapin, Cet. Ke-2, 2003.
M. Zainal Arifin Anis & Bambang Subiyakto, Radikalisasi Petani Tambai Pada Abad XIX di
Kalimantan Selatan, Laporan Penelitian, FKIP UNLAM, Banjarmasin, Oktober 2005.
Ramli & Adit, Hikayat & cerita Datu Aling, Transkrip Kaset Wawancara dengan Bapa
Rahman di Kampung Lawahan, Tapin, 2006.
Wahyuddin, Potret Perang Banjar: Peranan Tarekat Sammaniyah dalam Gerakan Perjuangan
Melawan Penjajahan Belanda di Tanah Banjar, Makalah Diskusi Ilmiah, Lembaga Kajian
Keislaman & Kemasyarakatan (LK3), Jum’at 11 Oktober 2002.