Makalah CRS Bangsal Interne

46
CASE REPORT STUDY PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT STROKE NASIONAL BUKITTINGGI (8 APRIL – 28 JUNI 2013) SIROSIS HEPATIK OLEH KELOMPOK 2 1. LAILATURRAHMI, S. Farm 1241012026 2. ANGGRAINI PHAWESTRI SARI, S. Farm 1241012063 3. RAEHOFDI, S. Farm 1241012099 4. TEGUH UTAMA, S. Farm 1241012112 5. MIA AMELIA, S. Farm 1241012149 PROGRAM PROFESI APOTEKER UNIVERSITAS ANDALAS

description

sirosis hepatik

Transcript of Makalah CRS Bangsal Interne

Page 1: Makalah CRS Bangsal Interne

CASE REPORT STUDY

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DI RUMAH SAKIT STROKE NASIONAL BUKITTINGGI

(8 APRIL – 28 JUNI 2013)

SIROSIS HEPATIK

OLEH

KELOMPOK 2

1. LAILATURRAHMI, S. Farm 12410120262. ANGGRAINI PHAWESTRI SARI, S. Farm 12410120633. RAEHOFDI, S. Farm 12410120994. TEGUH UTAMA, S. Farm 12410121125. MIA AMELIA, S. Farm 1241012149

PROGRAM PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2013

Page 2: Makalah CRS Bangsal Interne

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Sirosis hepatik

a. Definisi

Sirosis didefinisikan sebagai proses difusi yang ditandai dengan fibrosis

dan perubahan struktur hati normal menjadi nodul dengan struktur abnormal.

Pada akhirnya, akan terjadi kerusakan hepatosit yang nantinya akan digantikan

dengan jaringan fibrosis.

b. Etiologi

c. Epidemiologi

d. Patofisiologi

Sirosis menyebabkan peningkatan tekanan darah porta karena perubahan

fibrotik dalam sinusoid hati, perubahan kadar mediator vasodilatasi dan

vasokonstriktor, dan peningkatan aliran darah ke pembuluh splanknik. Kelainan

patofisiologis yang mendasarinya menyebabkan masalah yang sering ditemui,

seperti asites, hipertensi porta, dan varises esofagus, ensefalopati hepatik, dan

gangguan pembekuan darah.

Asites merupakan akumulasi patologis cairan limfe dalam rongga

peritoneum. Asites merupakan tanda sirosis yang paling awal dan paling sering

ditemukan. Perkembangan asites terkait dengan vasodilatasi arteri sistemik yang

menyebabkan aktivasi baroreseptor di ginjal dan aktivasi sistem renin-

angiotensin, dengan retensi air dan natrium serta produksi vasokonstriktor.

Kelanjutan hipertensi portal yang terpenting adalah terbentuknya varises dan rute

aliran darah alternatif. Pasien dengan sirosis memiliki risiko varises ketika

tekanan porta melebihi tekanan vena kava sebesar > 12 mmHg. Perdarahan

1

Page 3: Makalah CRS Bangsal Interne

akibat varises terjadi pada 25 – 40% pasien sirosis dan setiap episode perdarahan

lopati memiliki risiko kematian sebesar 25 – 30%.

Ensefalopati hepatik merupakan gangguan sistem saraf pusat dengan

rentang gejala neuropsikiatri yang lebar terkait dengan insufisiensi dan gagal

hati. Gejala – gejala ensefalopati hepatik diduga terjadi karena akumulasi

senyawa-senyawa nitrogen di dalam sirkulasi sistemik sebagai akibat shunting

melalui kolateral portosistemik yang melewati hati. Senyawa-senyawa ini

kemudian memasuki sistem saraf pusat dan menghasilkan perubahan

neurotransmiter yang mempengaruhi kesadaran dan perilaku. Perubahan amonia,

glutamat, agonis reseptor benzodiazepin, dan mangan dikaitkan dengan

ensefalopati hepatik. Akan tetapi, kadar amonia serum tidak begitu berhubungan

dengan status mental pada ensefalopati hepatik. Ensefalopati hepatik tipe A

diinduksi oleh gagal hati akut, tipe B disebabkan oleh bypass porta-sistemik

tanpa penyakit hati intrinsik, dan ditipe C terjadi pada sirosis. Ensefalopati

hepatik dapat diklasifikasikan menjadi episodik, persisten, atau minimal.

Gangguan pembekuan darah dapat terjadi pada sirosis, mencakup

berkurangnya sintesis faktor pembekuan darah, fibrinolisis berlebihan,

pembekuan intravaskuler terdiseminasi, trombositopenia, dan disfungsi platelet.

Faktor pembekuan darah tergantung vitamin K, termasuk faktor VII dipengaruhi

lebih awal. Dampak dari seluruh kejadian ini adalah terbentuknya diatesis

perdarahan.

.

e. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada pasien dengan sirosis bervariasi, mulai dari

asimptomatik dengan hasil tes laboratorium abnormal hingga perdarahan akut

yang mengancam jiwa. Beberapa tanda dan gejala sirosis adalah hepatomegali,

splenomegali, pruritus, jaundice, eritema palmar, spider angiomata ,

hiperpigmentasi, ginekomastia, penurunan libido, asites, edema, efusi pleura, dan

kesulitan bernafas, malaise, anoreksia, penurunan berat badan, serta ensefalopati.

Jaundice biasanya muncul lebih akhir pada sirosis dan ketiadaannya tidak

2

Page 4: Makalah CRS Bangsal Interne

membatalkan diagnosis. Tanda – tanda klasik sirosis, seperti eritema, spider

angiomata, dan ginekomastia, tidak sensitif maupun spesifik terhadap penyakit.

Pasien yang menyalahgunakan alkohol seringkali meremehkan jumlah alkohol

yang dikonsumsi. Peningkatan waktu protrombin merupakan manifestasi yang

paling reliabel. Kombinasi trombositopenia, ensefalopati, dan asites memiliki

nilai prediksi tertinggi.

Uji fungsi hati rutin mencakup alkali fosfatase, bilirubin, ALT, AST, dan

gammaglutamil transpeptidase (GGT). Penanda aktivitas hati lainnya mencakup

albumin dan waktu protrombin. Senyawa – senyawa ini meningkat pada penyakit

hati inflamatori kronis seperti hepatitis C, tetapi dapat saja normal pada penderita

infeksi yang telah pulih. ALT dan AST merupakan enzim – enzim yang

mengalami peningkatan konsentrasi pada plasma setelah cedera hepatoseluler.

Konsentrasi tertinggi terlihat pada infeksi virus akut, iskemik, atau cedera hati

toksik. Kadar alkali fosfatase dan GGT meningkat dalam plasma pada gangguan

obstruktif yang mengganggu aliran cairan empedu dari hepatosit menuju

kandung empedu, atau dari pembuluh bilier menuju usus dengan kondisi sirosis

bilier, sclerosing cholangitis, kolestasis akibat obat, batu empedu, dan penyakit

hati kolestatik autoimun. Kadar GGT plasma berkorelasi dengan baik dengan

peningkatan alkali fosfatase dan merupakan penanda sensitif untuk penyakit hati

kolestatik. Peningkatan bilirubin serum merupakan hal yang umum terjadi pada

penyakit hati stadium akhir dan obstruksi kandung empedu, tetapi terdapat

banyak penyebab hiperbilirubinemia lainnya. Albumin dan faktor pembekuan

darah merupakan penanda fungsi hati pada sirosis. Trombositopenia umum

ditemukan pada 30 – 64% pasien sirosis.

f. Komplikasi

g. Penatalaksanaan

Tujuan terapi yang diharapkan adalah 1) perbaikan secara klinis atau

pemulihan komplikasi akut; dan 2) mencegah komplikasi. Pendekatan umum

yang dilakukan antara lain mengidentifikasi dan mengeliminasi penyebab sirosis,

3

Page 5: Makalah CRS Bangsal Interne

menilai risiko perdarahan varises dan memulai profilaksis secara farmakologi

bila diperlukan, terapi endoskopi untuk pasien berisiko tinggi atau episode

perdarahan akut. Perlu dilakukan evaluasi terhadap tanda – tanda klinis asites dan

ditangani dengan terapi farmakologi (seperti diuretik) dan paracentesis. Perlu

pemantauan untuk spontaneous bacterial peritonitis (SBP) pada pasien asites

yang mengalami perburukan akut. Ensefalopati hepatik merupakan komplikasi

yang umum terjadi pada sirosis serta membutuhkan pengawasan serta

penanganan dengan pembatasan asupan makanan, eliminasi depresan SSP, serta

terapi untuk menurunkan kadar amonia. Diperlukan pemantauan berkala untuk

tanda – tanda sindrom hepatorenal, insufisiensi pulmonar, dan disfungsi

endokrin.

Penanganan varises melibatkan tiga strategi berikut: (1) profilaksis primer

untuk mencegah perdarahan, (2) terapi perdarahan varises, dan (3) profilaksis

sekunder untuk mencegah perdarahan kembali pada pasien yang telah mengalami

perdarahan. Profilaksis primer dilakukan dengan obat – obat golongan β-blocker

seperti propranolol atau nadolol. Obat – obatan ini menurunkan tekanan porta

dengan menurunkan aliran vena porta dengan dua mekanisme, yaitu penurunan

curah jantung dan penurunan aliran darah splanknik, sehingga perdarahan dapat

dicegah dan mortalitas dapat dikurangi. Obat – obat β blocker harus dilanjutkan,

kecuali obat ini tidak dapat ditoleransi, karena perdarahan dapat terjadi ketika

terapi dihentikan. Semua pasien dengan sirosis dan hipertensi porta perlu

dipertimbangkan untuk menjalani pemeriksaan endoskopik dan pasien dengan

varises yang besar harus menerima profilaksis primer dengan obat β blocker.

Terapi harus diawali dengan propranolol 10 mg tiga kali sehari atau nadolol 20

mg satu kali sehari, kemudian ditingkatkan perlahan hingga laju jantung saat

istirahat berkurang menjadi 55 – 60 kali/menit atau hingga timbul efek samping.

Endoscopic band ligation (EBL) harus dipertimbangkan pada pasien yang

dikontraindikasikan atau mengalami intoleransi terhadap obat β blocker. Tidak

terdapat cukup bukti untuk menyarankan pemberian nitrat sebagai terapi

tambahan β blocker untuk menurunkan tekanan portal lebih rendah lagi.

4

Page 6: Makalah CRS Bangsal Interne

Tujuan awal penanganan perdarahan varises akut mencakup (1) resusitasi

cairan yang adekuat, (2) koreksi koagulopati dan trombositopenia, (3)

pengendalian perdarahan, (4) pencegahan perdarahan, dan (5) mempertahankan

fungsi hati. Resusitasi cairan dapat dilakukan dengan koloid untuk awal dan

diikuti dengan produk darah. Terapi obat vasoaktif (somatostatin, oktreotida, atau

terlipressin) untuk menghentukan atau memperlambat perdarahan dilakukan pada

awal penanganan untuk memudahkan stabilisasi kondisi pasien. Obat – obatan ini

menurunkan aliran darah splanknik dan menurunkan tekanan porta dan varises.

Penanganan dengan oktreotide atau somatostatin harus segera dimulai untuk

mengendalikan perdarahan dan memudahkan endoskopi. Oktreotide lebih dipilih

dan diberikan sebagai IV bolus dengan dosis 50 – 100 mcg, kemudian diikuti

dengan infus dengan laju 25 mcg/jam, maksimal 50 mcg/jam. Pasien harus

dimonitor untuk hipo atau hiperglikemia. Vasopressin tidak lagi

direkomendasikan sebagai terapi lini pertama karena menyebabkan

vasokonstriksi nonselektif sehingga terjadi hipertensi, sakit kepala berat, iskemia

koroner, infark miokard, dan aritmia.

Penanganan asites akibat hipertensi porta mencakup penghentian alkohol,

pembatasan natrium, dan diuretik. Natrium klorida harus dibatasi menjadi 2

g/hari. Terapi diuretik harus diawali dengan spironolakton 100 mg dosis tunggal

pada pagi hari dan furosemide 40 mg dengan tujuan penurunan berat badan

maksimal 0,5 kg/hari. Dosis kedua obat tersebut dapat ditingkatkan dengan rasio

100 : 40, sehingga menghasilkan dosis maksimal harian spironolakton 400 mg

dan furosemide 160 mg. Bila timbul asites tegang, perlu dilakukan parasentesis 4

– 6 L sebelum mengawali terapi diuretik dan pembatasan garam. Terapi diuretik

harus dihentikan pada pasien yang mengalami ensefalopati, hiponatremia berat,

atau penurunan fungsi ginjal.

Terapi antibiotik untuk pencegahan SBP perlu dipertimbangkan pada

semua pasien yang memiliki risiko tinggi untuk komplikasi ini, yaitu mereka

yang pernah mengalami SBP sebelumnya dan mereka yang mengalami asites

dengan protein rendah. Pasien yang mengalami ataupun dicurigai mengalami

5

Page 7: Makalah CRS Bangsal Interne

SBP harus menerima terapi antibiotik spektrum luas untuk mengatasi infeksi

Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, dan Streptococcus pneumoniae.

Antibiotik pilihan utama adalah sefotaksim dengan dosis 2 g setiap 8 jam atau

sefalosporin generasi 3 lainnya. Ofloksasin oral 400 mg setiap 12 jam setara

dengan sefotaksim intravena.

h. Pemantauan selama terapi

Hal-hal yang menjadi prioritas untuk dipantau adalah(2):

1) Suhu tubuh serta vital sign lain

2) Keseimbangan cairan

3) Deteksi dini terhadap timbulnya komplikasi

4) Adanya koinfeksi dan/atau komorbid dengan penyakit lain

5) Efek samping dan/atau efek toksik obat

6) Resistensi antimikroba

7) Kemajuan pengobatan secara umum

6

Page 8: Makalah CRS Bangsal Interne

BAB II

TINJAUAN KASUS

2.1. Identitas pasien

Tanggal kunjungan : 6 Mei 2013

No. rekam medik : 04 67 69

Nama pasien : Tn. K

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 53 tahun

Alamat : Birugo Puhun

Status : Pasien Askes

Agama : Islam

2.2. Ilustrasi kasus

Pasien K, 53 tahun masuk ke Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam Rumah Sakit

Stroke Nasional Bukittinggi dari IGD pada tanggal 6 Mei 2013 pukul 13.20 WIB

dengan keluhan muntah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien F mengalami pembesaran perut berulang sejak 2 tahun yang lalu, Kaki

membesar, mual (-), muntah (+), pusing (+), nyeri abdomen bagian tengah (+).

Riwayat penyakit terdahulu:

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan keluarga pasien, pasien

telah pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya sejak tahun 2011.

7

Page 9: Makalah CRS Bangsal Interne

Riwayat penyakit keluarga:

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan keluarga pasien, tidak ada

penyakit serupa yang pernah diderita oleh keluarga pasien.

Pemeriksaan fisik:

a. Keadaan umum : sakit sedang

b. Kesadaran : compos mentis

c. Tekanan darah : 120/80 mmHg

d. Nadi : 80 kali/menit

e. Pernafasan : 20 kali/menit

f. Suhu : 36° C

g. Asites : (+)

2.3 Pemeriksaan Penunjang

Hasil Pemeriksaan Laboratorium dengan Sampel Darah Lengkap tanggal 7 Mei

2013

Parameter Nilai Normal Hasil

SGOT <37 U/L 9,6

SGPT <42 U/L 53

Total Kolesterol <220 mg% 272

HDL Kolesterol >35 mg% 55

LDL kolesterol <130 mg% 202,6

Trigliserida <200 mg% 72

Hemoglobin  12 – 16 11,5

Leukosit 5.000 - 10.000 3200

Trombosit 200.000 - 400.000 73.000

Hematokrit 42 - 52% 33,3

Gula Darah Puasa 75-115 mg% 77

8

Page 10: Makalah CRS Bangsal Interne

Gula Darah 2 Jam Puasa <150 mg% 90

Ureum 20 - 40% 37

Kreatinine 0,6 - 1,1 mg% 1,6

Total Protein 6-8 mg% 6,7

Albumin 3,5-5,2 mg% 3

Globulin 1,5-2,5 mg% 3,7

Asam urat 3-6 mg% 7,5

Diagnosis: Sirosis Hepatic

Terapi yang diberikan :

IVFD Ringer Laktat/12 jam

Tilidon 2 x 1 tablet

Ulsafat syrup 3 x 1 C

Injeksi Gastrofer 1 x 1 iv

Injeksi Ondansetron 2 x 1 iv

9

Page 11: Makalah CRS Bangsal Interne

BAB III

FOLLOW UP

3.1. Follow-up

a. Hari ke-1 (6 Mei 2013)

Pasien mengalami muntah, perut dan kaki membesar. Tekanan darah 120/80

mmHg, denyut nadi 80 kali/menit, frekuensi pernafasan 22 kali/menit, suhu

tubuh 37°C.

Terapi yang diberikan:

o IVFD Ringer Laktat 12 jam/kolf

o Tilidon 2 x 1 tablet

o Ulsafat syrup 3 x 1 C

o Injeksi Gastrofer 1 x 1 iv

o Injeksi Ondansetron 2 x 1 iv

b. Hari ke-2 (7 Mei 2013)

Perut tidak terasa sakit, mual dan muntah tidak ada. Tekanan darah 130/80

mmHg, denyut nadi 82 kali/menit, frekuensi pernafasan 21 kali/menit. Terapi

dilanjutkan, dengan tambahan:

o Lansoprazole 1 x 30 mg

c. Hari ke-3 (8 Mei 2013)

Perut tidak terasa sakit, mual dan muntah tidak ada. Tekanan darah 130/80

mmHg, denyut nadi 82 kali/menit, frekuensi pernafasan 21 kali/menit.

Terapi dilanjutkan dengan tambahan:

o Ranitidin 2 x 150 mg

o Neurodex 1 x 1 tablet

o Allopurinol 1 x 300 mg

10

Page 12: Makalah CRS Bangsal Interne

o Pravinat 1 x 20 mg

d. Hari ke-4 (9 Mei 2013)

Pasien tidak mengalami mual dan muntah, perut tidak terasa sakit. Tekanan

darah 120/90 mmHg, denyut nadi 80 kali/menit, frekuensi pernafasan 22

kali/menit, suhu tubuh 36°C.

Terapi dilanjutkan, obat injeksi dihentikan.

e. Hari ke-5 (10 Mei 2013)

Pasien tidak mengalami mual dan muntah, perut tidak terasa sakit. Tekanan

darah 110/70 mmHg, denyut nadi 79 kali/menit, frekuensi pernafasan 20

kali/menit.

Terapi dilanjutkan.

f. Hari ke-6 (11Mei 2013)

Kondisi pasien sudah membaik diperbolehkan pulang dengan catatan harus

kontrol secara teratur. Obat yang dibawa pulang adalah sebagai berikut:

Tilidon 3 x 10 mg

Spasmomen 2 x 1 tablet

Curcuma 2 x 1 tablet

11

Page 13: Makalah CRS Bangsal Interne

BAB IV

DISKUSI

BAB V

KESIMPULAN

12

Page 14: Makalah CRS Bangsal Interne

1. Demam tifoid

Pemilihan obat, dosis, dan lama pemberian dinilai sudah tepat.

Tidak ada reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) yang ditemukan

pada pasien.

2. Gastritis

Pemilihan obat, dosis, dan lama pemberian dinilai sudah tepat.

Tidak ada ROTD yang ditemukan pada pasien

3. Tuberkulosis

Pemilihan obat, dosis, dan lama pemberian dinilai sudah tepat.

Tidak ada ROTD yang ditemukan pada pasien

Pasien gagal mendapatkan obat pada hari kedua pengobatan.

Terdapat masalah interaksi obat antara OAT dan antasida, tetapi tidak

signifikan secara klinis.

BAB VI

EDUKASI PASIEN

13

Page 15: Makalah CRS Bangsal Interne

1. Sefiksim diminum 2 kali sehari (setiap 12 jam) setelah makan dan harus

diminum sampai habis.

2. Ottopan diminum 4 kali sehari satu sendok takar bila panas.

3. Acitral diminum 3 kali sehari 2 jam sesudah makan.

4. Rifampisin diminum 1 jam sebelum makan, INH dan Pirazinamid diminum

setelah makan pada pagi hari

5. Jika air seni, air liur, atau air mata berwarna oranye kemerahan, jangan panik

karena hal itu merupakan efek samping yang biasa terjadi setelah menggunakan

OAT (Rifampisin).

6. Vistrum diminum 3 kali sehari satu sendok takar setelah makan.

7. Kurangi aktivitas berat dan perbanyak istirahat

8. Selama 2 minggu, jangan makan makanan yang keras, pedas,

berempah,ataupun berserat.

9. Perbanyak minum air putih.

10. Makan secara teratur, jangan melewatkan waktu makan.

11. Pasien perlu kontrol secara teratur ke dokter untuk follow-up pengobatan

tuberkulosis.

12. Bila pasien mengalami muntah yang mengganggu/tidak bisa dikendalikan, kulit

atau bagian putih mata berwarna kuning, segera konsultasikan ke dokter.

DAFTAR PUSTAKA

14

Page 16: Makalah CRS Bangsal Interne

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi Pertama. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI

2. Menkes RI. 2006. Kepmenkes RI No 364/Menkes/SK/V/2006 Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta: Depkes RI

3. Crump JA, Luby SP, Mintz ED. 2004. The global burden of typhoid fever. Bull WHO;82:346-53

4. Riset Kesehatan Dasar. 2009. Data demam tifoid. Kementerian Kesehatan RI5. Kliegman, RM, Stanton, BF, Behrman, RE. 2011. Nelson’s Textbook of

Pediatrics 19th Edition.Philadelpia: Elsevier6. Rudolf, A.M, dkk. 2002. Buku Ajar Pediatri Rudolf. Volume 2, Edisi 20.

Jakarta: EGC7. Hay, WW, Levin, MJ, Sondheimer, JM, Deterding, RR. 2008. Current

Diagnosis and Treatment: Pediatrics (19th Edition). New York: McGrawHill Medical

8. The Paediatric Formulary Committee. 2009. British National Formulary For Children. London: RPS Publishing

9. Behrman, R.E & Kliegman, R.M., 2003. Nelson Esensi Pediatri. Jakarta: EGC.

10. Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberkulosis. Depkes RI.

11. Kelompok Kerja TB Anak Depkes – IDAI. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Anak. Depkes RI

12. Kartasasmita CB. 2001. Childhood tuberculosis in the community. Disampaikan pada International Paediatric. Respiratory and Allergy Congress; Prague, Czech Republic

13. Rikesdas Indonesia tahun 2007. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta

14. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi IDAI. 2008. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Jakarta: UKK Pulmonologi IDAI

15. Katzung, B,G. 2004. Basic and Clinical Pharmacology. New York: McGraw Hill

16. Sweetman, S.C. 2010. Martindale 36th Edition. London: Pharmaceutical Press17. Hadinegoro, SRS. Tumbelaka, AR, Satari, HI. 2001. Pengobatan Cefixime

pada Demam Tifoid Anak. Sari Pediatri Vol 2 (4): 182 - 18718. Memon IA, Billoo AG, Memon HI. 1998. Cefixime: An oral option for the

treatment of multidrug-resistant enteric fever in children. South Med J; 90:1204-7.

15

Page 17: Makalah CRS Bangsal Interne

19. Peloquin CA, Namdar S, Dodge AA, Nix DE. 1999. Pharmacokinetics of isoniazid under fasting conditions, with food, and with antacids. Int J Tuberc Lung Dis 3, 703–710.

20. Peloquin CA, Namdar R, Singleton MD, Nix DE. 1999. Pharmacokinetics of rifampin under fasting conditions, with food, and with antacids. Chest 115, 12–18.

21. Peloquin CA, Bulpitt AE, Jaresko GS, Jelliffe RW, James GT, Nix DE. 1998. Pharmacokinetics of pyrazinamide under fasting conditions, with food, and with antacids. Pharmacotherapy 18, 1205–11.

LAMPIRAN

16

Page 18: Makalah CRS Bangsal Interne

Lampiran 1 : Data Obat

1. Domperidon

a. Mekanisme kerja

Domperidon merupakan antagonis dopamin

Adverse EffectsPlasma-prolactin concentrations may be increased,which may lead to galactorrhoea or gynaecomastia.There have been reports of reduced libido, and rashesand other allergic reactions. Domperidone does notreadily cross the blood-brain barrier and the incidenceof central effects such as extrapyramidal reactions ordrowsiness may be lower than with metoclopramide(p.1748); however, there have been reports of dystonicreactions.Domperidone by injection has been associated withconvulsions, arrhythmias, and cardiac arrest. Fatalitieshave restricted use by this route.Effects on the cardiovascular system. Sudden death has occurredin cancer patients given domperidone intravenously inhigh doses.1-3 Four cancer patients experienced cardiac arrest afterhigh intravenous doses4 and 2 of 4 similar patients had ventriculararrhythmias.5 After such reports the injection has beenwithdrawn from general use in many countries, including theUK.Prolongation of the QT interval has been reported in an infantgiven oral domperidone, with normalisation after the drug wasstopped.61. Joss RA, et al. Sudden death in cancer patient on high-dose domperidone.Lancet 1982; i: 1019.2. Giaccone G, et al. Two sudden deaths during prophylactic antiemetictreatment with high doses of domperidone and methylprednisolone.Lancet 1984; ii: 1336–7.3. Weaving A, et al. Seizures after antiemetic treatment with highdose domperidone: report of four cases. BMJ 1984; 288: 1728.4. Roussak JB, et al. Cardiac arrest after treatment with intravenousdomperidone. BMJ 1984; 289: 1579.5. Osborne RJ, et al. Cardiotoxicity of intravenous domperidone.Lancet 1985; ii: 385.6. Rocha CMG, Barbosa MM. QT interval prolongation associatedwith the oral use of domperidone in an infant. Pediatr Cardiol2005; 26: 720–3.Effects on the endocrine system. There have been reportsof galactorrhoea with gynaecomastia1 or mastalgia2,3 generallyassociated with raised serum-prolactin concentrations. Gynaecomastiawithout galactorrhoea has also been reported.41. Van der Steen M, et al. Gynaecomastia in a male infant givendomperidone. Lancet 1982; ii: 884–5.2. Cann PA, et al. Galactorrhoea as side effect of domperidone.BMJ 1983; 286: 1395–6.3. Cann PA, et al. Oral domperidone: double blind comparison withplacebo in irritable bowel syndrome. Gut 1983; 24: 1135–40.4. Keating JP, Rees M. Gynaecomastia after long-term administrationof domperidone. Postgrad Med J 1991; 67: 401–2.Extrapyramidal effects. There are reports of extrapyramidalsymptoms,1,2 including acute dystonic reactions3 and neurolepticmalignant syndrome4 in individual patients given domperidone.1. Sol P, et al. Extrapyramidal reactions due to domperidone. Lancet1980; ii: 802.HNNONNHNOCl

17

Page 19: Makalah CRS Bangsal Interne

Domperidone/Drofenine Hydrochloride 1727The symbol † denotes a preparation no longer actively marketed The symbol ⊗ denotes a substance whose use may be restricted in certain sports (see p.vii)2. Debontridder O. Extrapyramidal reactions due to domperidone.Lancet 1980; ii: 802. Correction, ibid.; 1259.3. Casteels-Van Daele M, et al. Refusal of further cancer chemotherapydue to antiemetic drug. Lancet 1984; i: 57.4. Spirt MJ, et al. Neuroleptic malignant syndrome induced bydomperidone. Dig Dis Sci 1992; 37: 946–8.

PrecautionsDomperidone is not recommended for chronic use orfor the routine prophylaxis of postoperative nausea andvomiting. Domperidone should be used with great cautionif given intravenously, because of the risk of arrhythmias,especially in patients predisposed to cardiacarrhythmias or hypokalaemia.Breast feeding. No adverse effects have been seen in breastfedinfants whose mothers were given domperidone, and theAmerican Academy of Pediatrics considers1 that it is thereforeusually compatible with breast feeding. However, the FDA in theUSA has issued a warning against the use of domperidone to increasemilk production because of the possibility of serious adverseeffects.2 Others have commented that these warnings werebased on data from patients with malignant disease receivinghigh doses of intravenous domperidone, and that if the motherwere taking smaller oral doses, the total amount of drug ingestedby an infant would be extremely small. They recommend thatlow-dose domperidone should still be considered for lactatingwomen with decreased milk supply who are unresponsive tonon-pharmacological measures to enhance lactation. However,patients should be warned of the risk of arrhythmias at high doses,and women with known cardiac disease should not take domperidone.31. American Academy of Pediatrics. The transfer of drugs and otherchemicals into human milk. Pediatrics 2001; 108: 776–89.Correction. ibid.; 1029. Also available at:http://aappolicy.aappublications.org/cgi/content/full/pediatrics%3b108/3/776 (accessed 07/05/04)2. FDA. FDA warns against women using unapproved drug, domperidone,to increase milk production (June 7, 2004). Availableat: http://www.fda.gov/bbs/topics/ANSWERS/2004/ANS01292.html (accessed 30/06/04)3. da Silva OP, Knoppert DC. Domperidone for lactating women.Can Med Assoc J 2004; 171: 725–6.

InteractionsAs with other dopamine antagonists (see Metoclopramide,p.1749), there is a theoretical potential that domperidonemay antagonise the hypoprolactinaemic effectof drugs such as bromocriptine. In addition, theprokinetic effects of domperidone may alter theabsorption of some drugs. Opioid analgesics andantimuscarinics may antagonise the prokinetic effectsof domperidone.Domperidone is metabolised via the cytochrome P450isoenzyme CYP3A4; use with ketoconazole has beenreported to produce a threefold increase in plasma concentrationsof domperidone, and an associated slightprolongation in QT interval. Similar increases in domperidoneconcentrations might theoretically be seenwith other potent inhibitors of CYP3A4 such as erythromycinor ritonavir, and such combinations may bebest avoided.PharmacokineticsAlthough absorption is rapid, the systemic bioavailabilityof domperidone is only about 15% in fasting subjectsgiven an oral dose; this is increased when domperidoneis given after food. The low bioavailability isthought to be due to first-pass hepatic and intestinalmetabolism. The bioavailability of rectal domperidoneis similar to that after oral doses, although peak plasmaconcentrations are only about one-third that of an oraldose and are achieved after about an hour, comparedwith 30 minutes after an oral dose.

18

Page 20: Makalah CRS Bangsal Interne

Domperidone is more than 90% bound to plasmaproteins, and has a terminal elimination half-life ofabout 7.5 hours. It undergoes rapid and extensivehepatic metabolism. The main metabolic pathwaysare N-dealkylation by cytochrome P450 isoenzymeCYP3A4, and aromatic hydroxylation by CYP3A4,CYP1A2, and CYP2E1. About 30% of an oral dose isexcreted in urine within 24 hours, almost entirely asmetabolites; the remainder of a dose is excreted in faecesover several days, about 10% as unchanged drug. Itdoes not readily cross the blood-brain barrier.Small amounts of domperidone are distributed intobreast milk; concentrations are 10 to 50% of those inmaternal serum.Uses and AdministrationDomperidone is a dopamine antagonist with actionsand uses similar to those of metoclopramide (p.1749).It is used as an antiemetic for the short-term treatmentof nausea and vomiting of various aetiologies (p.1700).It is not considered suitable for chronic nausea andvomiting, nor for the routine prophylaxis of postoperativevomiting.Domperidone is also used for its prokinetic actions indyspepsia (p.1695) and has been tried in diabetic gastroparesis(see Diabetic Complications, p.433). It hasbeen given with paracetamol in the symptomatic treatmentof migraine (p.616).Domperidone is used as the maleate in tablet preparationsand as the base in suppositories and the oral suspension;doses are expressed in terms of the base.Domperidone maleate 12.73 mg is equivalent to about10 mg of domperidone. Domperidone has been givenparenterally, but this route has been associated with severeadverse effects (see above).For the treatment of nausea and vomiting domperidonemay be given in oral doses of 10 to 20 mg threeor four times daily up to a maximum daily dose of80 mg or it may be given rectally in a dose of 60 mgtwice daily. For doses in children see below.For the symptomatic management of non-ulcer dyspepsiasimilar oral doses of 10 mg taken up to fourtimes daily (the last dose to be taken at night) have beenrecommended; if necessary, an increase in the dose to20 mg may be prescribed. An initial course of treatmentshould not normally exceed 2 to 4 weeks. Inmigraine, a dose of 20 mg has been given orally up toevery 4 hours, with paracetamol, as required, up to amaximum of 4 doses in 24 hours.◊ Reviews.1. Prakash A, Wagstaff AJ. Domperidone: a review of its use indiabetic gastropathy. Drugs 1998; 56: 429–45.2. Barone JA. Domperidone: a peripherally acting dopamine -receptorantagonist. Ann Pharmacother 1999; 33: 429–40.3. Ahmad N, et al. Making a case for domperidone in the treatmentof gastrointestinal motility disorders. Curr Opin Pharmacol2006; 6: 571–6.4. Reddymasu SC, et al. Domperidone: review of pharmacologyand clinical applications in gastroenterology. Am J Gastroenterol2007; 102: 2036–45.Administration in children. UK licensed product informationstates that children may be given domperidone in oral dosesequivalent to 250 to 500 micrograms/kg three or four times daily;a total daily dose of 2.4 mg/kg or 80 mg, whichever is less,should not be exceeded. Alternatively, children weighing morethan 15 kg may be given a rectal dose of 30 mg twice daily. TheBNFC gives similar doses, but specifies use in children over 2years; in those children over 35 kg, it allows an oral dose of 10 to20 mg three or four times daily (maximum 80 mg daily) or a rectaldose of 60 mg twice daily.Gastro-oesophageal reflux disease. A systematic review ofthe use of domperidone in infants and young children with gastro-

19

Page 21: Makalah CRS Bangsal Interne

oesophageal reflux (p.1696), which identified 4 randomisedcontrolled studies of such use, considered that there was very littleevidence of its efficacy in reducing symptoms.1 Some suggestthat it has been overused because of the lack of a suitable alternativeafter withdrawal of cisapride in many countries.21. Pritchard DS, et al. Should domperidone be used for the treatmentof gastro-oesophageal reflux in children? Systematic reviewof randomized controlled trials in children aged 1 month to11 years old. Br J Clin Pharmacol 2005; 59: 725–9.2. Vandenplas Y, et al. The diagnosis and management of gastrooesophagealreflux in infants. Early Hum Dev 2005; 81:1011–24.Parkinsonism. Domperidone is used to control gastrointestinaleffects of dopaminergic drugs given in the management of parkinsonism(p.791). It may be of use in those patients who experienceperipheral effects with levodopa despite the use of peripheraldopa-decarboxylase inhibitors and for patients usingdopamine agonists such as bromocriptine or apomorphine sinceperipheral dopa-decarboxylase inhibitors are ineffective for preventingthe peripheral effects of these drugs. Although domperidonedoes not readily cross the blood-brain barrier there havebeen isolated reports of extrapyramidal effects associated

2. Antasid

a. Mekanisme kerja

Menetralkan asam lambung sehingga berguna untuk menghilangkan nyeri

tukak peptik. Antasid tidak mengurangi volume HCl yang dikeluarkan

lambung, tetapi peninggian pH akan menurunkan aktivitas pepsin.

b. Indikasi

Tukak peptik, hiperasiditas GI, gastritis, gangguan pencernaan, kembung,

dispepsia, dan hiatus hernia.

c. Efek samping

Gangguan GI, konstipasi.

d. Perhatian

Gangguan fungsi ginjal, diet rendah fosfat.

e. Interaksi obat

Mengganggu absorbsi tetrasiklin, Fe, penghambat H2, warfarin, kuinidin, dan

isoniazid.

f. Farnakokinetika

20

Page 22: Makalah CRS Bangsal Interne

Absorbsi : antasid dibagi dalam dua golongan yaitu antasid sistemik dan

antasid nonsistemik. Antasid sistemik diabsorbsi dalam usus halus sehingga

menyebabkan urin bersifat alkalis.Antasid nonsistemik hampir tidak

diabsorbsi dalam usus sehingga tidak menimbulkan alkalosis metabolik.

g. Dosis dan bentuk sediaan

Natrium bikarbonat: tablet 500 mg, dosis : 1-4 g/hari

Aluminium hidroksida: tablet suspensi 4 %, dosis tunggal 0,6 g

Aluminium fosfat : suspensi 4-5 %, dosis : 15-45 ml

Al-karbonat basa : suspensi berisi 5 % Al2O3 dan 2,4 % CO2, dosis : 8 ml.

Al-natrium dihidroksi karbonat : Tablet 300 mg, dosis : 300-600 mg.

Kalsium karbonat : dosis 2-3 g/hari

Magnesium hidroksida : suspensi susu magnesium 7-8 %, dosis : 5-30

ml.

Magnesium trisilikat : tablet 500 mg, dosis : 1-4 g/hari.

3. Isoniazid (INH)

a. Indikasi.

Obat ini diindikasikan untuk terapi semua bentuk tuberkulosis

aktif,disebabkan kuman yang peka dan untuk profilaksis orang berisiko tinggi

mendapatkan infeksi. Dapat digunakan tunggal atau bersama-sama dengan

antituberkulosis lain.

b. Kontraindikasi.

Kontra indikasinya adalah riwayat hipersensistifitas atau reaksiadversus,

termasuk demam, artritis, cedera hati, kerusakan hati akut, tiap etiologi :

kehamilan(kecuali risiko terjamin).

c. Kerja Obat.

21

Page 23: Makalah CRS Bangsal Interne

Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa

hari pertama pengobatan.Efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik

aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Mekanisme kerja berdasarkan

terganggunya sintesa asam mikolat, yang diperlukan untuk membangun

dinding bakteri.

d. Farmakokinetika.

Pada saat dipakai Isoniazida akan mencapai kadarplasma puncak dalam 1 – 2

jam sesudah pemberian peroral dan lebih cepat sesudah suntikan im; kadar

berkurang menjadi 50 % atau kurang dalam 6 jam. Mudah difusi kedalam

jaringan tubuh, organ, atau cairan tubuh; juga terdapat dalam liur, sekresi

bronkus dan cairan pleura, serobrosfina, dan cairan asitik.Metabolisme dihati,

terutama oleh karena asetilasi dan dehidrazinasi (kecepatan asetilasi

umumnya lebih dominan ). Waktu paro plasma 2-4 jam diperlama pada

insufiensi hati, dan pada inaktivator ”lambat”. Lebih kurang 75-95 % dosis

diekskresikan di kemih dalam 24 jam sebagai metabolit, sebagian kecil

diekskresikan di liur dan tinja. Melintasi plasenta dan masuk kedalam ASI.

e. Interaksi

Isoniazid adalah inhibitor kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes,tetapi

mempunyai efek minimal pada CYP3A.Pemakaian Isoniazide bersamaan

dengan obat-obat tertentu, mengakibatkan meningkatnya konsentrasi obat

tersebut dan dapat menimbulkan risiko toksis.Antikonvulsan seperti fenitoin

dan karbamazepin adalah yang sangat terpengaruh oleh isoniazid. Isofluran,

parasetamol dan karbamazepin, menyebabkan hepatotoksisitas, antasida dan

adsorben menurunkan absopsi, sikloserin meningkatkan toksisitas pada SSP,

22

Page 24: Makalah CRS Bangsal Interne

menghambat metabolisme karbamazepin, etosuksimid, diazepam, menaikkan

kadar plasma teofilin.

f. Efek Samping

Hepatotoksisitas, neuritis perifer.

g. Peringatan/Perhatian

Penderita yang mengalami penyakit hati kronis aktif dan gagal ginjal.

h. Dosis dan bentuk sediaan

Dosis anak: 5 – 15 mg/kg/ hari dosis tunggal.

Bentuk sediaan: Tablet 300 mg, 400 mg

4. Rifampisin

a. Mekanisme kerja:

Bersifat bakterisid,dapat membunuh kuman semi dormant. Menghambat

sintesa asam nukleat mycobacterium TBC.

b. Indikasi

Diindikasikan untuk obat antituberkulosis yang dikombinasikan dengan

antituberkulosis lain untuk terapi awal maupun ulang.

c. Kontraindikasi

Hipersensitifitas, ikterus, gangguan fungsi hati, porfiria, bayi prematur,

neonatus.

23

Page 25: Makalah CRS Bangsal Interne

d. Efek Samping

Gangguan gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis, trombositopenia,

peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna orange kemerahan.

e. Perhatian

Gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, alkoholisme, hamil trimester 1

f. Interaksi Obat

Interaksi obat ini adalah mempercepat metabolisme metadon, absorpsi

dikurangi oleh antasida, mempercepat metabolisme, menurunkan kadar

plasma dari dizopiramid, meksiletin, propanon dan kinidin, mempercepat

metabolisme kloramfenikol, nikumalon, warfarin, estrogen,teofilin, tiroksin,

anti depresan trisiklik, antidiabetik (mengurangi khasiat klorpropamid,

tolbutamid, sulfonil urea), fenitoin, dapson, flokonazol, itrakonazol,

ketokonazol, terbinafin.

g. Farmakokinetika:

Absorpsi:diabsorpsi dengan cepat dari traktus GI dengan kadar plasma

puncak 7-9 Ul/ml setelah 2-4 jam pemberian dosis 600mg.

Distribusi : ikatan protein 80%, didistribusikan secara luas ke jaringan

tubuh dan cairan dan difusinya ke CFS meningkatkan pada kondisi

inflamasi dan meningitis. Didistribusikan ke ASI serta dapat melewati

plasenta.

Metabolisme: rifampisin dapat menginduksi metabolismenya sendiri.

dimetabolisme dengan cepat di hati menjadi bentuk aktif 25-O-

deacetylrifampicin. Rifampicin and deacetylrifampicin akan

diekskresikan di empedu.

Ekskresi: t1/2 2-5 jam. Eliminasinya berkurang 40% pada 2 minggu

pemberian pertama dan t1/2nya menjadi 1-3 jam.

h. Dosis dan Rute:

24

Page 26: Makalah CRS Bangsal Interne

Anak: 10-20 mg/ kg BB per oral dosis tunggal. Maksimal: 600 mg/ hari.

Bentuk sediaan: Kaplet 150 mg, 300 mg, 450 mg, 600 mg.

5. Pirazinamid

a. Mekanisme kerja:

Bakteriostatis dan bakterisid terhadap Mycobacterium tuberculosa tergantung

dosis pemberian.

b. Indikasi:

Sebagai OAT yang digabung dengan obat anti TB yang lain.

c. Kontraindikasi:

Hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, dan gangguan fungsi ginjal.

d. Efek Samping:

Kerusakan hati, mual, muntah, malaise, demam.

e. Perhatian:

Hati-hati pada penderita hiperurisemia dan encok akut, harus dilakukan uji

fungsi hati dan ginjal.

f. Interaksi Obat

Dapat berinteraksi dengan probenesid dan ziduvudine

g. Farmakokinetika

Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Dosis

1 gram menghasilkan kadar plasma 45µg/mL pada 2 jam setelah pemberian

obat. Eksresinya terutama melalui filtrasi glomerulus.Asam pirazinoat yang

aktiv kemudian mengalami hidroksilasi menjadi asam hidropirazinoat yang

merupakan metabolit utama.Masa paruh eliminasi obat ini adalah 10-16 jam.

25

Page 27: Makalah CRS Bangsal Interne

h. Dosis dan bentuk sediaan

Dosis anak :15-30 mg/kg BB per oral dosis tunggal.

Bentuk sediaan: Tablet 500 mg.

26

Page 28: Makalah CRS Bangsal Interne

Lampiran 2. Data follow-up suhu tubuh pasien

No. TanggalSuhu

Pagi Siang Malam

1. 6/5/2013 – 37°C

2. 7/5/2013 36,7°C 36,8°C 37°C

3. 8/5/2013 37°C 36,2°C 36,6°C

4. 9/5/2013 36,7°C 36,5°C 36,7°C

5. 10/5/2013 36,5°C 36,8°C –

Grafik follow-up suhu pasien

27

Page 29: Makalah CRS Bangsal Interne

28

Page 30: Makalah CRS Bangsal Interne

Lampiran 3. Rencana asuhan kefarmasian

29

Kebutuhan pelayanan kesehatan

Tujuan Farmakoterapi

Pilihan obat/Terapi

Parameter Monitoring

Frekuensi Monitor

Nilai Yang diinginkan

Sirosis hepatik

Pemulihan komplikasi akut dan mencegah timbulnya komplikasi

1) Diuretik 1) Berat badan, lingkar perut, balans cairan

Tiap hari 1) Berkurangnya penumpukan

cairan

Page 31: Makalah CRS Bangsal Interne

Lampiran 4. Tabel penggunaan obat bersama

Lampiran 5. Kertas Kerja Farmasi

KERTAS KERJA FARMASIMASALAH YANG TERKAIT DENGAN OBAT

NO.MASALAH

YANG TERKAIT OBAT

ANALISA MASALAHPERMASALAHAN YANG

TERKAIT OBATKOMENTAR/

REKOMENDASI

30

Page 32: Makalah CRS Bangsal Interne

1. Korelasi antara obat-dengan penyakit

1. Adakah obat tanpa indikasi medis?

2. Adakah pengobatan yang tidak dikenal?

3. Adakah kondisi klinis yang tidak diterapi? dan adakah kondisi tersebut yang membutuhkan terapi obat?

3. Kondisi klinis (asites) tidak diterapi

1. Asites tidak diterapi, seharusnya pasien menerima diuretik.

2. Pemilihan obat yang sesuai

1. Bagaimanakah pemilihan obat? Apakah sudah efektif dan merupakan obat terpilih pada kasus ini?

2. Apakah pemilihan obat tersebut relatif aman?

3. Apakah terapi obat dapat ditoleransi oleh pasien?

Tidak ada permasalahan

Pilihan terapi sudah sesuai dengan keadaan pasien dan merupakan obat terpilih untuk terapi pasien

3. Regimen Dosis 1. Apakah dosis frekuensi dan cara pemberian sudah mempertimbangkan efektivitas keamanan dan kenyamanan serta sesuai dengan kondisi pasien?

2. Apakah jadwal pemberian dosis bisa memaksimalkan efek

Tidak ada permasalahan

Dosis, frekuensi dan jadwal pemberian sudah sesuai dengan kondisi pasien

31

Page 33: Makalah CRS Bangsal Interne

terapi, kepatuhan, meminimalkan efek samping, interaksi obat, dan regimen yang kompleks?

3. Apakah lama terapi sesuai dengan indikasi?

4. Duplikasi terapi Apakah ada duplikasi terapi? Tidak ada permasalahan

Tidak ada duplikasi terapi

5. Alergi obat atau intoleran

1. Apakah pasien alergi atau intoleran terhadap salah satu obat (atau bahan kimia yang berhubungan dengan pengobatannya)?

2. Apakah pasien telah tahu yang harus dilakukan jika terjadi alergi serius?

Tidak ada permasalahan

Pasien tidak alergi terhadap obat yang diberikan, dan pasien telah diberikanedukasi jika terjadi alergi yaitu segera menghentikan penggunaan obat dan segera memberitahu tenaga medik

6. Efek merugikan obat

Apakah ada gejala/permasalahan medis yang diinduksi obat

Tidak ada permasalahan

Berdasarkan pengamatan kepada pasien tidak ditemui gejala yang merupakan efek merugikan obat

7. Interaksi dan kontraindikasi

1. Apakah ada interaksi obat dengan obat? Apakah signifikan secara klinis?

2. Apakah ada interaksi obat dengan makanan? Apakah bermakna secara klinis?

Tidak ada permasalahan

32

Page 34: Makalah CRS Bangsal Interne

3. Apakah ada interaksi obat dengan data laboratorium? Apakah bermakna secara klinis?

4. Apakah ada pemberian obat yang kontraindikasi dengan keadaan pasien?

33

Page 35: Makalah CRS Bangsal Interne

34