Makalah Bulan Bahasa

41
PARADIGMA BARU PERKEMBANGAN TEORI DALAM ILMU SEJARAH DAN ARKEOLOGI A. Rasyid Asba 1 Email: [email protected] Dari sudut epistemologi, perkembangan sejarah dan arkeologi sebagai ilmu, apa yang selama ini dikenali sebagai titik lemah dalam arti dianggap sebagai kurang “ilmiah”adalah masalah data dan interpretasi. Sejarah dan Arkeologi dipandang sebagai sebuah ilmu yang sangat subyektif. Pengukuran kadar keilmiahan di sini didasarkan kepada tolok ukur keilmiahan ilmu-ilmu eksakta atau ilmu pengetahuan alam, yaitu dalam hal ke-obyektifannya. Ilmu pengetahuan yang tidak obyektif dianggap tidak dapat memenuhi ketentuan sebagai ilmu pengetahuan serta kemudian dianggap sebagai bukan ilmu, sehingga hasil penelitiannya pun dipandang kurang bersifat ilmiah. Sesungguhnya masalah ini bukanlah merupakan masalah sejarah dan arkeologi sebagai ilmu saja, melainkan telah menjadi masalah di lingkungan ilmu-ilmu budaya pada umumnya. Sebagaimana diketahui ilmu-i1mu budaya memiliki manusia sebagai obyek studinya sehingga atas dasar itu disebut pula sebagai ilmu kemanusiaan. Secara sangat mudah dapat dikenali bahwa ilmu-ilmu yang dianggap tidak ilmiah tadi sesungguhnva merupakan ilmu-ilmu yang obyek studi dan 1 Makalah ini disampaikan pada Seminar bulan bahasa dan Ulang tahun Fakultas Ilmu Budaya tanggal 29-30 November 2007 di Gedung PKP Unhas. Pemakalah adalah Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Univ. Hasanuddin. 1

description

Bahasa

Transcript of Makalah Bulan Bahasa

PARADIGMA BARU PERKEMBANGAN TEORI DALAM ILMU SEJARAH DAN ARKEOLOGI

A. Rasyid Asba1

Email: [email protected]

Dari sudut epistemologi, perkembangan sejarah dan arkeologi sebagai ilmu, apa

yang selama ini dikenali sebagai titik lemah dalam arti dianggap sebagai kurang

“ilmiah”adalah masalah data dan interpretasi. Sejarah dan Arkeologi dipandang sebagai

sebuah ilmu yang sangat subyektif. Pengukuran kadar keilmiahan di sini didasarkan

kepada tolok ukur keilmiahan ilmu-ilmu eksakta atau ilmu pengetahuan alam, yaitu

dalam hal ke-obyektifannya. Ilmu pengetahuan yang tidak obyektif dianggap tidak dapat

memenuhi ketentuan sebagai ilmu pengetahuan serta kemudian dianggap sebagai bukan

ilmu, sehingga hasil penelitiannya pun dipandang kurang bersifat ilmiah. Sesungguhnya

masalah ini bukanlah merupakan masalah sejarah dan arkeologi sebagai ilmu saja,

melainkan telah menjadi masalah di lingkungan ilmu-ilmu budaya pada umumnya.

Sebagaimana diketahui ilmu-i1mu budaya memiliki manusia sebagai obyek

studinya sehingga atas dasar itu disebut pula sebagai ilmu kemanusiaan. Secara sangat

mudah dapat dikenali bahwa ilmu-ilmu yang dianggap tidak ilmiah tadi sesungguhnva

merupakan ilmu-ilmu yang obyek studi dan subyeknya sama, yaitu manusia. Atas dasar

inilah maka ilmu-ilmu yang demikian ini di pandang sebagai ilmu yang bersifat subyekif

Sebaliknya oleh karena obyek studi ilmu-ilmu eksakta adalah benda (obyek) yang sama

sekali berlainan dengan peneliti atau subyek studi. Atas dasar itu pulalah maka limu-ilmu

eksakta dikenal sebagai ilmu yang bersifat obyektif.

Upaya yang dilakukan oleh para ahli ilmu budaya ada dua arah. Arah yang

pertama adalah mencoba untuk menerapkan metoda ilmu eksakta dalam penelitian

mereka. Upaya ini di dalam arkeologi dikenal sebagal “new archaeology”, yang

diupayakan oleh ahli arkeologi Amerika. Aliran ini merupakan penganut yang

mengembangkan teori bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya hanya memiliki satu

metode saja. Sebaliknya, upaya yang kedua menganut faham bahwa sesungguhnya ilmu

1 Makalah ini disampaikan pada Seminar bulan bahasa dan Ulang tahun Fakultas Ilmu Budaya tanggal 29-30 November 2007 di Gedung PKP Unhas. Pemakalah adalah Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Univ. Hasanuddin.

1

pengetahuan itu terdiri dari dua jenis ilmu, oleh karena keduanya masing-masing

mengembangkan “scholarship”nya sendiri. Ilmu kemanusiaan mengembangkan metode

“mengerti”sedangkan ilmu eksakta metode “menerangkan”.

Suatu penelitian ilmiah memiliki peranan yang sangat penting dalam mencari

kebenaran dan merupakan sebuah pemikiran kritis. Penelitian dalam ilmu-ilmu sosial,

sama halnya dengan penelitian pada umumnya merupakan suatu proses yang terus

menerus yang dilakukan secara kritis dan terorganisasi untuk melakukan analisa,

memberikan penjelasan dan interpretasi terhadap fenomena sosial yang mempunyai

hubungan yang kait-mengkait.

Peneliti ilmu sosial walaupun berpijak pada metode ilmiah, tetapi beberapa ciri

khas yang ada di dalam masing-masing bidang ilmu, menyebabkan si peneliti dituntut

memiliki ketrampilan yang khas pula dan harus didukung oleh kerangka teori dan analitik

yang berbeda dalam menganalisa interaksi antar fenomena disebabkan kompleksnya

fenomena-fenomena yang diteliti. Masalah-masalah sosial yang mudah berubah dan sulit

diukur mengakibatkan kurangnya kemampuan melakukan prediksi, tidak se-eksak

prediksi dalam ilmu alam.

Penggunaan metode kuantitatif yang telah baku dan lazim dipakai dalam

penelitian ilmu-ilmu alam ternyata tidak cukup mampu mengungkapkan dan

mendeskripsikan fenomena-fenomena sosial yang ada dalam masyarakat karena variabel-

variabelnya sulit untuk diukur. Bidang ilmu humaniora yang mencakup bidang hukum,

antropologi, sastra, linguistik, filsafat, sejarah, merupakan bidang ilmu yang “kurang

cocok” bila dipakai pendekatan kuantitatif.

Oleh karena itu akhir-akhir ini dengan perkembangan teori-teori sosial yang lebih

menekankan dan melebihkan unsur makna dalam ”human action” dan “interaction”

sebagai determinan utama eksistensi kehidupan bermasyarakat, berkembang teori-teori

yang berparadigma baru dengan konsekuensi metodologinya yang hendak lebih mengkaji

aksi-aksi individu dengan makna-makna simbolik yang direfleksikannya akan lebih

kualitatif daripada kuantitatif.

Menurut kaum interaksionis ini, realita kehidupan itu, sesungguhnya hanya eksis

dalam alam makna yang simbolik sehingga sulit ditangkap lewat pengamatan dan

pengukuran begitu saja dari luar melalui beberapa indikator yang cuma tampak di

2

permukaan, melainkan realita sosial hanya mungkin “dipahami serta ditangkap” lewat

pengalaman dan penghayatan-penghayatan internal para subyek pelaku yang

berpartisipasi dalam interaksi setempat.

Metode kuantitatif yang merupakan metode klasik dan konvensional yang semula

efektif terbukti untuk meneliti fenomena alam yang kemudian dipinjam oleh ilmu-ilmu

sosial ternyata tidak banyak membantu. mengungkapkan pola-pola dalam tatanan

perilaku dan kehidupan manusia serta kurang mampu mengungkapkan nilai, ide, makna

dan keyakinan yang “individualized” dan studi-studi sosial yang kian banyak bersifat

lintas-kultural. Hal tersebut mengingat pula metode kuantitatif yang “theory testing”

untuk meneliti dan memecahkan masalah-masalah yang dikonsepkan pada tingkat

analisis yang makro sebagai realitas empiris.

Bidang ilmu humaniora yang hendak meneliti tatanan perilaku dan kehidupan

manusia yang merupakan makna aksi individu dan interaksi-interaksi antara individu,

dianjurkan dan untuk banyak dicoba menggunakan metode kualitatif yang paradigma

teoretik dan rancangan metodologiknya amat berbeda dengan metode kuantitatif.

Mengingat kehidupan manusia saat ini sudah semakin demokratik dan “people centered”,

maka metode kualitatif dikembangkan untuk mengkaji kehidupan manusia dalam kasus-

kasus terbatas namun mendalam dan menyeluruh dan juga dikembangkan untuk

mengungkapkan gejala-gejala kehidupan masyarakat seperti apa yang terpersepsi oleh

warga-warga masyarakat itu sendiri dan dari kondisi mereka yang tak tercampuri oleh

pengamat peneliti. Selain dari itu metode kualitatif tidak menganjurkan

dikembangkannya perspektif konseptual dari sudut amatan para peneliti.

Humaniora adalah bidang ilmu yang memiliki objek manusia sebagai human

being dalam masyarakat yang mencakup disiplin-disiplin ilmu antara lain Hukum,

Politik, Antropologi, Sosiologi, Perilaku Kesehatan, Linguistik, Sastra, Filologi, Seni,

Pendidikan, Sejarah, dan Filsafat. Dengan demikian yang diteliti adalah hal-hal yang

lebih menekankan pada aspek budaya manusia sebagai bagian dari masyarakat. Oleh

karena itu cakupan kajian ilmu-ilmu humaniora adalah tentang ekspresi dan aktualisasi

yang terwujud dalam perilaku, sikap, orientasi, nilai, norma, tata makna, pandangan

hidup, spiritualitas, etika dan estetika. Dengan demikian tema-tema penelitian yang dapat

dikembangkan di bidang ini antara lain berkisar tentang perubahan sosial, dampak sosial

3

pembangunan, kontinuitas dan perubahan dalam masyarakat, etos kerja, dan respons

masyarakat terhadap berbagai perubahan, dan sebagainya.

Apa yang hendak dikemukakan dalam makalah ini adalah bagaimana arkeologi

mengembangkan dirinya menjadi salah satu ilmu di antara ilmu-ilmu pengetahuan

lainnya. Dalam upayanya ini, mau tidak mau yang harus dikembangkan adalah teorinya.

Atas dasar ini maka akan diungkapkan beberapa teori yang mendasari pengembangan itu.

Teori tersebut akan mencakup dua aspek, yaitu teori yang berkenaan dengan hakekat data

arkeologi, dan teori yang berkenaan dengan bagaimana data itu diperlakukan sesuai

dengan hakekatnya. Teori yang kedua itu berkenaan dengan teori interpretasi data.

Berbicara mengenai masa datang adalah berbicara mengenai arah gejala yang

nampak di masa kini yang diperkirakan akan berkelanjutan di masa datang. Ilmu sejarah

di masa kini sedang mengalami krisis yang diperkirakan akan berkelanjutan di masa

datang. Krisis yang dimaksud adalah pengaruh post-modernisme dalam historiografi

termasuk metodologi sejarah.

Krisis dalam ilmu sejarah tersebut, yang juga terdapat dalam ilmu-ilmu lainnya

itu, nampaknya akan berkelanjutan dalam masa mendatang terutama karena globalisasi

yang akan menjadi ciri utama masa datang itu. Doktrin postmodernisme yang menegakan

relativitas budaya itu menyebabkan keabsahan ilmu sebagai wacana yang menampilkan

kebenaran mengenai kenyataan nampaknya akan makin terancam.

Di sini saya akan membahas ciri-ciri pokok dari relativisme budaya yang sedang

mengancam ilmu sejarah itu, dan mencoba menampilkan masalah itu dalam historiografi

Indonesia masa kini.

1.1 Ilmu Sejarah dan Post Modernisme

Istilah postmodernisme pertama kali dimunculkan oleh Jean-Francois Lyotard

dan Roland Barthes. Postmodernisme sesungguhnya muncul sebagai reaksi atas

"common-sense thinking" dalam kritik sastra. Kritik itu pada awalnya ditujukan pada

wacana-wacana moralistik yang menganggap pandangannya sendiri sebagai kebenaran

mutlak yang tidak dapat dibantah tanpa dikenakan sangsi. Kritik postmodernisme itu

kemudian berkembang menjadi kritik terhadap pandangan universalisme yang

4

terkandung dalam suatu sistem budaya tertentu (Barat) dalam kritik sastra. Masalahnya

adalah bahwa doktrin ini kemudian juga dianggap berlaku dalam wacana-wacana ilmu-

ilmu alam, ilmu-ilmu teoretis, ilmu-ilmu sosial maupun ilmu sejarah.

Doktrin postmodernisme bersumber pada teori linguistik dari Ferdinand Saussure

yang berpendapat, bahwa bahasa hanyalah "signifier" (petunjuk) pada "signified" (yang

ditunjuk). Kata, dalam teori tersebut, tidak mengacu pada kebenaran atau realitas, tetapi

hanya pada suatu "konsep"." Kata-kata dengan demikian samasekali tidak mengacu pada

realitas, dan arti kata-kata baru terungkap dalam hubungan-hubungannya dengan kata-

kata lain dalam bahasa yang bersangkutan. Berkaitan dengan teori itu postmodernisme

beranggapan bahwa semua wacana, seperti dikatakan Jean-Francoise Lyotard, hanyalah

"language game", dan sebab itu kebenaran atau obyektifitas (realitas) tidak terungkap di

dalamnya. Dalam ilmu sejarah itu berarti bahwa historiografi hanyalah permainan kata-

kata, "language game". Para sejarawan yang terpengaruh oleh doktrin tersebut, seperti

Hayden White umpamanya, berkeyakinan bahwa dalam historiografi tidak bisa

dibedakan antara fiksi dan kenyataan. Bahkan bagi para sejarawan yang tergolong dalam

"New Historicisme", tidak ada perbedaan hakiki antara historiografi dan teks biasa;

keduanya sama karena hanyalah "language game" tanpa mengandung kebenaran

mengenai kenyataan.

Masalahnya, seperti dikatakan ahli filsafat ilmu C. Morris adalah. bahwa

postmodernisme tidak membedakan antara wacana ilmiah pada satu pihak yang

didasarkan pada observasi, inferensi logis atas evidensi faktual yang mendasari

eksplanasi, dan pada pihak lain, "bahasa yang digunakan untuk menciptakan dunia fiktif,

imajiner atau poetis," dimana persyaratan ilmiah tersebut diatas tidak ada (Morris: 1997:

5,6). Postmodernisme menyanggah kemampuan ilmu pengetahuan mengajukan

kebenaran dengan mengatakan, bahwa kebenaran dalam ilmu pengetahuan hanyalah

suatu cara untuk melegitimasi kedudukan seorang pakar, dan bahwa kebenaran ilmiah

lebih banyak ditentukan oleh ideologi yang dominan pada saat tertentu.

Dengan kata lain, postmodernisme tidak mempertimbangkan bahwa setiap cabang

ilmu memiliki prosedur untuk menentukan kausalitas yang mengacu pada kebenaran atau

realitas; postmodernisme sengaja melupakan bahwa setiap cabang ilmu memiliki apa

5

yang oleh C.Lloyed disebut sebagai "structure of reasoning". 2 Apa yang pada awalnya

sesungguhnya muncul hanya sebagai suatu upaya menyempurnakan kritik sastra itu, kini

makin gencar dikembangkan oleh berbagai ahli dalam berbagai cabang ilmu.

Postmodernisme beranggapan bahwa doktrinnya relevan bagi semua cabang ilmu atau

wacana, karena semua cabang ilmu menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya.

Maka tidak mengherankan kalau kini muncul berbagai usaha untuk menegakkan

kembali keabsahan ilmiah dan menegakkan kembali nilai-nilai tentang kebenaran ilmiah.

Gerakan ini terutama muncul karena berkembangnya aliran realisme dalam filsafat ilmu

sejak tahun-tahun 1980-an seperti yang terkandung dalam tulisan-tulisan dari Rom Harre,

Dudley Shapere, Roy Bhaskar, dan sebagainya. Realisme filosofis juga sekaligus

membantah keabsahan historis materialisme dalam ilmu sejarah.

Berikut ini akan saya kemukakan dua buah sanggahan mengenai postmoderisme

dalam ilmu sejarah, yang pertama khusus menyangkut .pendekatan empiris dalam ilmu

sejarah dan yang kedua menyangkut pendekatan strukturis. Yang pertama berasal dari

seorang ahli filsafat ilmu, yaitu C. Behan Mc. Cullagh, dan yang kedua berasal dari

seorang ahli sejarah ekonomi, yaitu C. Lloyed. Tetapi sebelumnya patut dikemukakan

terlebih dahulu bentuk postmodernisme yang merasuk dalam ilmu sejarah.

Postmodernisme paling jelas nampak dalam pendekatan empiris dalam ilmu

sejarah, pendekatan yang paling umum di kalangan para ahli sejarah. Pendekatan empiris

dalam ilmu sejarah itu (baik yang bersifat diskriptif maupun yang menggunakan berbagai

teori kausalitas) paling mudah disusupi oleh doktrin postmodemisme karena pada

dasarnya modus komunikasi pendekatan ini adalah kisah atau naratif. Pendapat

postmodemisme, bahwa semua ilmu tidak terkecuali hanyalah "language game" sangat

mudah mempengaruhi pendekatan empiris dalam ilmu sejarah yang mengandalkan

natarif.

Behan McCullagh, seorang ahli filsafat ilmu, memperlihatkan pengaruh post-

modernisme dalam tiga aspek dari ilmu sejarah, yaitu (a) metode sejarah yang digunakan

ahli sejarah, (b) pengaruh budaya pada ahli sejarah, dan (c) penggunaan bahasa oleh ahli

sejarah3 .

2 Chritopher Lloyd. The Structures of History. Blackwell: Cambridge University Press. P. 133-141.3

6

Pertama mengenai metode sejarah. Seperti diketahui, ilmu sejarah sesungguhnya

tidak mempelajari masa lampau, tetapi ilmu sejarah mempelajari sumber sejarah atau

peninggalan dari masa lampau seperti dokumen-dokumen, arsip dan kesaksian lisan.

Khususnya mengenai pendekatan empiris dalam ilmu sejarah, penjelasan tentang suatu

peristiwa, riwayat hidup atau struktur sosial, bertumpu pada uraian mengenai motivasi

atau "intention" dari pelaku sejarah yang diyakini menjadi dasar dari tindakan tokoh

sejarah yang bersangkutan.

Kalangan post-modernisme berpendapat, bahwa motivasi atau intention yang

tercantum dalam dokumen sejarah, tidak mengacu pada kenyataan atau realitas karena

pandangan tokoh sejarah dalam sumber sejarah hanyalah gambaran yang berkaitan

dengan konsep-konsep budaya yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan.

Sumber sejarah hanyalah teks-teks berupa "language game" yang tidak mencerminkan

kenyataan. Kenyataan pada dasarnya tidak dapat diungkapkan melalui sumber sejarah,

dan menurut postmodernisme tidak perlu. Demikian pun historiografi atau hasil karya

sejarah hanyalah teks-teks yang tidak mengandung kebenaran.

Dengan kata lain, menurut postmodernisme karya sejarah hanyalah teks yang didasarkan

pada teks, atau "language game" yang didasarkan para "language game".

Kedua mengenai dampak budaya dalam ilmu sejarah. Postmodernisme

berpendapat bahwa setiap ahli sejarah mau tidak mau dipengaruhi oleh konsep-konsep

tertentu yang berasal dari sistem budaya masing-masing ahli sejarah. Dengan demikian,

menurut doktrin itu, kesimpulan yang diambil ahli sejarah dari sumber sejarah yang

digunakannya (inferensi) sudah diwarnai oleh konsep-konsep budaya tertentu. Ini berarti

penjelasan mengenai suatu peristiwa, biografi atau struktur sosial bisa berbeda-beda dari

sejarawan yang satu dan sejarawan lain, sejalan dengan perbedaan-perbedaan budaya

para ahli sejarah itu. Dengan demikian, sekali lagi menurut postmodernisme, historiografi

tidak mengandung kebenaran realitas, dan sebab itu historiografi mengandung unsur

relativisme budaya.

Ketiga mengenai bahasa. Menurut para penganut postmodernis, seperti Roland

Barthes (ahli filsafat ilmu) pengaruh teori linguistik dari Saussure jelas menonjol dalam

hal ini. Seperti dikemukakan di atas, menurut Suassure, "kata-kata samasekali tidak

mengacu pada hal-hal yang terdapat dalam dunia [kenyataan] tetapi hanya mengacu pada

7

konsep-konsep, dan bahwa makna dari kata-kata atau konsep-konsep itu seluruhnya

terkandung dalam hubungan-hubungannya dengan kata-kata lain dalam bahasa yang

bersangkutan". Kata "coklat", menurut Saussure, "bukanlah suatu konsep yang otonom

yang mengacu pada ciri-ciri independen, tetapi merupakan suatu istilah dalam sistem

istilah warna yang didefinisikan oleh hubungan-hubungannya dengan istilah-istilah lain

yang membatasinya" (McCullan 1998: 37). Karena historiografi juga menggunakan kata-

kata, maka menurut teori tersebut, historiografi juga tidak mengandung kebenaran

(realitas), tetapi mengungkapkan suatu peristiwa yang maknanya terkandung dalam

hubungan-hubungan antara kata-taka yang bersangkutan dalam suatu sistem bahasa.

1.2 Teori Korelasi Dalam Kebenaran Sejarah

C.Behan Mc.Cullagh sebagian besar menerima kritik yang dilontarkan

postmodernisme kepada pendekatan empiris-naratif dalam ilmu sejarah . Dalam hal ini ia

menyalahkan "correspondence theory of truth" dalam pendekatan sejarah empiris itu,

seolah-olah empiris dalam suatu peristiwa, seperti biografi atau struktur sosial, mengacu

pada kebenaran yang obyektif (realitas). McCullagh menggantikan teori korespondensi

yang dipakai dalam ilmu eksatta diganti dengan teori korelasi ("correlation theory of

truth") dalam ilmu sejarah. Teori korespondensi berpendapat bahwa apa yang

diungkapkan dalam historiografi empiris itu sama benar dengan kenyataan, sedangkan

teori korelasi lebih hati-hati dan mengatakan bahwa apa yang diungkapkan dalam

histioriografl empiris itu tidak sama benar dengan kenyataan, tetapi ada kaitannya dengan

kenyataan (korelasi).

Berdasarkan teori korelasi kebenaran sejarah itu, Mc.Cullan membantah

pandangan dalam doktrin postmodernisme, dan mencoba membuktikan melalui

penelitian historiografis, bahwa para ahli sejarah, khususnya yang menggunakan

pendekatan naratifisme, dapat mengungkapkan kebenaran (realitas) berdasarkan sumber

sejarah (dokumen, arsip, kesaksian lisan) karena memiliki cara-cara tertentu (metode

sejarah) untuk menilai teks atau dokumen, dan cara-cara tertentu untuk menjelaskannya

(diskripsi atau analisis). Bahkan cara yang digunakan ahli sejarah untuk membuat

inferensi (inference) atau menarik kesimpulan dari dokumen bisa obyektif, karena pada

8

dasarnya tindakan-tindakan manusia di masa lampau dialami juga oleh manusia masa

kini.

McCullagh bisa menerima pendapat postmodernisme bahwa para ahli sejarah

terikat pada kondisi budaya mereka. Namun hal itu tidak harus menghasilkan relativisme

budaya dalam historiografi. Ahli sejarah selalu menjelaskan fakta sejarah melalui

generalisasi yang bersifat diskriptif, interpretatif ataupun melalui teori-teori kausalitas

tertentu. Generaliasi-generaliasi dan teori-teori itu senantiasa bisa diubah-ubah agar lebih

mencerminkan realitas.

Dengan demikian metode sejarah dan historiografi bisa juga menjamin bahwa apa

yang disampaikan melalui bahasa dalam bentuk naratif itu bukan sekedar "language

game" tetapi memiliki kaitan (korelasi) dengan kenyataan. Kemampuan akademik para

ahli sejarah itulah yang menjamin bahwa historiografi tidak terjerumus dalam relativisme

budaya, dan tetap memiliki kadar realitas yang cukup tinggi.

1.3. Strukturisme Dalam Ilmu Sejarah

Sejumlah ahli sejarah lain mencoba mengatasi serangan dari postmodernisme itu

dengan upaya menegakkan kembali teori korespondensi dalam ilmu sejarah. Dengan kata

lain, mereka berupaya untuk mencari cara-cara yang bisa menjamin realitas sepenuhnya

dalam ilmu sejarah, bukan sekedar kaitan atau korelasi saja. Inilah yang oleh sementara

ahli disebut sebagai pendekatan "strukturis". Patut dikemukakan di sini bahwa

pendekatan strukturis tidak sama dengan pendekatan struktural yang bersumber pada

aliran An'nals dari Prancis atau sosiologi Talcott Parson.

Kalangan ahli sejarah strukturis samasekali meninggalkan pendekatan empiris

dalam ilmu sejarah dan memanfaatkan teori-teori sosiologi tertentu, khususnya konsep-

konsep "emergency" dan "agency", untuk mengembangkan suatu pendekatan strukturis.

Pendekatan ini mengacu pada cara kerja ("structure of reasoning") dalam ilmu-ilmu

alam, tetapi disesuaikan dengan ilmu sejarah dimana data hanya dapat diperoleh dari

peninggalan-peninggalan dari masa lampau (sumber sejarah).

Dikatakan mirip dengan ilmu-ilmu alam karena pertama-tama realitas yang dicari

bukan keseluruhan realitas (yang hanya diketahui oleh Tuhan), tetapi hanya apa yang

9

dinamakan "causal factors" atau "causal mechanism" yang tidak kasat mata

(unobservable). Seperti halnya dalam alam, fenomena dapat disaksikan oleh panca indra

manusia (observable), tetapi sebab-sebab terjadinya fenomena itu tidak kasat mata

(unobeservable). Di dunia ini benda-benda jatuh ke bawah (fenomena, observable), tetapi

causal mechanism-nya, yaitu grafitas, tidak kasat mata (unobservable); suara dari radio

dapat didengar, atau gambar pada televisi dapat dilihat, tetapi medan magnetik yang

menyebabkannya tidak dapat ditangkap oleh pancaindra (unobservable).

Demikian pula pendekatan strukturis bertujuan menampilkan realitas dalam

bentuk causal factors yang tidak tertangkap oleh pancaindra. Fenomena-fenomena seperti

pemberontakan, revolusi, perubahan sosial, dsb. dapat ditangkap melalui pancaindra,

karena terkandung dalam sumber sejarah yang dapat dibaca dan dipelajari. Tetapi sebab-

musababnya tidak muncul secara empiris dalam sumber sejarah, karena tersembunyi

dalam struktur sosial yang unobservable itu. Secara teoritis terdapat interaksi antara

manusia (individu atau kelompok) dan struktur sosial dimana mereka' berasal. Maka

untuk menampilkan causal factor yang unobservable itu seorang sejarawan yang

mendapat datanya dari sumber sejarah harus menggunakannya untuk menganalisa

struktur sosial agar dapat menampilkan interaksi antara manusia yang konkrit

(observable) dan struktur sosial yang tidak kasat mata itu (unobservable).

Pengertian struktur sosial yang unobservable dalam pendekatan ini berasal dari

sosiologi realis. Struktur sosial bukanlah kumpulan manusia yang kongkret (agregasi),

tetapi suatu unit yang memiliki ciri-ciri umum yang bersifat "emergence" berupa peran-

peran, aturan-aturan, pola interaksi, dan pemikiran (mentalite). Tetapi berbeda dengan

sosiologi pada umumnya, menurut pendekatan strukturis, perubahan sosial tidak

disebabkan oleh struktur sosial lainnya (kriminalitas yang meningkat disebabkan

pengangguran yang meningkat), tetapi perubahan struktural justru disebabkan tindakan-

tindakan kongkret dan observable dari manusia (individu atau kolektfitas) yang dengan

sengaja mengubah peran, aturan, interaksi berdasarkan pemikiran tertentu. Pendekatan

strukturis bertujuan menjelaskan perubahan dari masyarakat tradisional menjadi

masyarakat yang modern.

Pemikiran, pandangan, wawasan manusia kongkret yang menjadi anggota suatu

kelompok sosial tertentu, seperti juga dikemukakan dalam pendekatan empiris,

10

terkandung dalam sumber sejarah, yang -dalam pendekatan strukturis disebut sebagai

"expressed intentions". Causal factors yang diperoleh melalui analisa teoretis atas sumber

sejarah itu dapat diuji kembali kebenarannya pada "expressed intentions" lain. Dengan

demikian, seperti halnya dalam ilmu-ilmu alam, teori-teori sejarah memiliki kemampuan

prediksi.

Sebab-musabab dalam metodologi strukturis itu memiliki ciri-ciri universal yang

dapat dirumuskan dalam bentuk wacana. Namun hakekat ilmu sejarah sebagai "ilmu yang

mempelajari manusia dalam waktu" (Marc Bloch), menyebabkan para ahli sejarah

menyadari betul bahwa unsur perubahan senantiasa menentukan penjelasannya tentang

peristiwa-peristiwa. Sebab itu perbedaan-perbedaan waktu dan tempat juga membatasi

rumusan causal factors. Inilah perbedaan lainnya antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu alam.

Contoh-contoh dari pendekatan strukturis ini bisa kita temukan

umpamanya dalam karya-karya dari Max Weber dan Norbert Elias (sosiolog),

Mandelbaum dan Le Roy Ladurie (ahli sejarah) Cliffort Geertz (antropolog),

dan masih banyak lagi (Lloyed 1993). .

Kalau dibandingkan antara kedua pendekatan tersebut di atas (empiris dan

strukturis), maka harus dikatakan, bahwa di Indonesia pendekatan empiris lebih menonjol

dibandingkan dengan pendekatan strukturis. Hasil historiografi empiris sesungguhnya

bisa dibedakan antara karya-karya sejarah yang diskriptlf dan yang anarkis. Di Indonesia

diskripsi atau interpretasi terutama digunakan oleh para penulis sejarah yang "amatir"

(bukan profesional) dan hasilnya bisa kita saksikan dalam toko-toko buku, baik yang

menggunakan peristiwa sebagai unit, atau hidup manusia maupun struktur sosial. Banyak

sekali karya-karya jenis ini yang berupa biografi atau otobiografi yang bermunculan

dalam tahun-tahun yang lalu. Diantaranya ada yang dapat dikatakan cukup baik, seperti

karya A.M. Nasution, baik yang unit diskripsinya adalah suatu peristiwa, atau hidup

manusia (otobiografi), maupun struktur sosial (perang kemerdekaan).

Kita dapat mengajukan keberatan-keberatan metodologis mengenai karya-karya

tersebut di atas. Antara lain mengenai sumber sejarahnya yang tidak selalu jelas atau

dikemukakan secara gamblang, atau kesaksian lisan yang tidak menggunakan cara-cara

oral history yang baik. Selain itu tentunya kebenaran fakta sering harus diragukan,

bahkan tidak lengkapnya uraian mengenai suatu peristiwa atau struktur sosial

11

menyebabkan terjadinya distorsi dan sebab itu tidak memenuhi persyaratan teori

kebenaran sejarah.

Kalangan akademisi, terutama Prof. Sartono dari UGM dan mereka yang

dipromisikannya sebagai doktor, bisa digolongkan sebagai ahli sejarah profesional yang

menggunakan analisis dalam penelitiannya, baik untuk menjelaskan suatu peristiwa,

kehidupan manusia, ataupun struktur sosial. Para pelopor dalam pendekatan ini (yang

oleh Sartono dinamakan pendekatan multi-dimensional) lebih banyak tertarik pada

peristiwa-peristiwa yang digolongkan sebagai "collective action". Dalam perkembangan

lanjut perubahan sosial juga menarik perhatian mereka, salah satu contohnya adalah

disertasi mengenai menak Sunda. Tetapi terutama para ahli sejarah ekonomi yang karya-

karyanya bermunculan sejak awal 1990-an menaruh perhatian pada perubahan sosial, cq

perubahan ekonomi.

Pendekatan strukturis belum banyak menarik perhatian kalangan akademisi di

Indonesia. Sampai kini baru beberapa disertasi dan monografi yang menjurus kepada

metodologi ini, dengan mengikuti jejak-jejak Norbert Elias atau Charles Tilly.

Diharapkan dalam masa mendatang lebih banyak ahli sejarah menaruh minat pada

pendekatan ini.

II . Ilmu Arkeologi dan Perkembangannya

Masalah yang dihadapi oleh arkeologi adalah hakekatnya sebagai ilmu yang

memiliki obyek yang berkenaan dengan fenomena yang berkembang untuk masa tertentu

atau bersifat historis. Seperti halnya dengan ilmu astro fisika, biologi evolusioner,

tektonik lempengan dalam geologi, ilmu yang demikian ini tidak dapat diingkari

berhadapan dengan obyek studi yang sangat fragmentaris. Hal itu disebabkan oleh karena

obyek studinya hanya merupakan peninggalan fisik yang tidak sengaja ditinggalkan.

Tambahan pula, peninggalan itu pun hanyalah merupakan peninggalan yang tahan

terhadap proses pelapukan alami, sehigga dapat sampai kepada peneliti masa kini.

Dengan demikian maka apa yang sampai pada kita sesungguhnya adalah materi tanpa

makna. Adapun makna yang dimaksudkan di sini adalah makna penyebab terjadinya atau

dalam hal arkeologi makna sebagai yang dimaksudkan oleh pembuat ataupun

pemakainya dahulu.

12

Menghadapi keadaan obyek studi yang demikian itu maka tidaklah mengherankan

apabila tujuan arkeologi pada pertamanya adalah rekonstruksi. Tujuan arkeologi tidak

bisa lain dari rekonstruksi oleh karena di samping jarak waktu, ahli arkeologi juga

dipisahkan oleh perbedaan kebudayaan dengan obyek studinya. Peninggalan fisik

kebudayaan yang diteliti oleh peneliti sangat berlainan dari kebudavaan ahli arkeologi itu

sendiri. Sebagai akibat dari tujuan ilmu ini adalah timbulnya permasalahan epistemologis.

Masalah pertama adalah sejauh mana makna tadi dapat direkonstruksikan dari

peninggalan kebudayaan fisiknya. Adapun masalah keduanya adalah bagaimana ahli

arkeologi dapat melakukan rekonstruksi itu. Dengan lain perkataan, dengan metode apa

rekonstruksi itu dapat dilaksanakan.

Makalah ini akan berupaya mengemukakan berbagai usaha yang telah

dilaksanakan untuk menjawab permasalahan yang bersifat epistemologis tadi. Pendekatan

ini dilaksanakan atas dasar pemikiran bahwa ulasan yang dikemukakan merupakan

pengungkapan upaya arkeologi untuk memantapkan dirinya sebagai ilmu. Masalah ini

dianggap penting terutama agar para ahli arkeologi dapat ikut secara sadar menjaga

wibawa keilmuannya dalam melakukan rekonstruksi. Kesadaran yang dimaksudkan

adalah menyadari bahwa, sebagaimana yang telah diutarakan di atas, ditinjau dari

hakekat data, ditinjau dari sudut keilmuan serta dengan demikian juga metodenya,

arkeologi memiliki berbagai keterbatasan. Dengan demikian maka sebagai akibat dari

kesadaran akan keterbatasan metodenya, maka ahli arkeologi kemudian akan dapat

mengupayakan cara untuk menanggulanginya. Melalui upaya yang demikian ini maka

peninggalan kebudayaan fisik yang terkumpul berkat berbagai penggalian yang telah

dilaksanakan dapat direkonstruksikan, sehingga pengetahuan kita tentang kebudayaan

masa lalu akan dapat bertambah dengan cepat. Pada gilirannya dari sudut arkeologi itu

sendiri, kesadaran ini akan dapat mengembangkan arkeologi sebagai ilmu.

2. .1. Hakekat Data Arkeologi

Sebagaimana yang telah diutarakan di atas, obyek arkeologi adalah peninggalan

kebudayaan fisik. Melalui kebudayaan fisik ini ahli arkeologi memperoleh informasi

tentang kebudayaan masa lalu. Selanjutnya, berdasarkan atas informasi ini ahli arkeologi

melakukan rekonstruksi kebudayaan yang meninggalkan informasi itu. Dengan demikian

maka dapat dikatakan bahwa rekonstruksi sesuatu kebudayaan yang telah musnah

13

dilaksanakan melalui peninggalan informasinya yang kebetulan sampai kepada kita.

Kiranya perlu ditekankan di sini dua hal. Hal pertama adalah bahwa tiap kebudayaan

memiliki ciri masing-masing yang berbeda antara kebudayaan yang satu dengan

kebudayaan yang lain. Demikian pula halnya, kebudayaan yang telah musnah yang

menjadi obyek penelitian arkeologi berbeda dengan kebudayaan ahli arkeologi yang

meneliti kebudayaan itu. Hal kedua adalah penggunaan kata kebetulan oleh karena

memang informasi tentang kebudayaan yang sampai kepada ahli arkeologi untuk diteliti

itu tidak diciptakan sebagai informasi yang dengan sengaja ditinggalkan oleh para

pendukungnya. Kita semua mengetahui bahwa peninggalan fisik itu sampai kepada kita

dalam bentuk artefak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ahh arkeologi

menghadapi artefak dari sebuah kebudayaan yang sama sekali asing dari kebudayaannya

sendiri.

Kondisi data arkeologi sebagaimana yang diutarakan di atas menimbulkan dua

permasalahan, yaitu masalah epistemologis dan masalah metodologis. Masalah

epistemologis yang dihadapi oleh ahli arkeologi adalah bahwa di dalam menghadapi

informasi tentang kebudayaan yang telah punah dan yang tercipta di masa lalu, tanpa

dapat ia hindari, haruslah ia perlakukan melalui pengetahuan dan berdasarkan sudut

pandang kebudayaannya sendiri dari masa kini. Proses berpikir yang demikian inilah

yang kemudian disebut sebagai archaeological reasoning.

Sebagai akibat dari data yang demikian ini maka archaeological reasoning

terhadap data terjadi seperti berikut. Kebudayaan yang telah punah itu dapat dianggap

sebagai fakta yang bersifat historis atau fakta yang telah tiada lagi (sebuah historical

facts). Pada hakekatnya fakta atau kebudayaan yang telah punah inilah yang oleh ahli

arrkeologi itu hendak direkonstruksikan. Namun demikian fakta historis ini

meninggalkan records dalam hal ini archaeological records, dalam wujud artefak.

Selanjutnya ahli arkeologi, sesuai dengan pengetahuan pengalaman dan kemampuannya,

melakukan observasi dan analisis terhadap records ini. Observasi dan analisis itu

dilakukannya berdasarkan kebudayaannya sendiri serta bukan berdasarkan kebudayaan

yang meninggalkan records tadi. Mengapa hal ini terjadi demikian, oleh karena ahli

arkeologi tidak dapat meneliti kebudayaan yang telah menjadi sebuah historical fact.

Dengan demikian maka ahli arkeologi hanya dapat mengkajinya melalui archaeological

14

records tadi. Konsekuensi lebih lanjut adalah bahwa hasil observasi dan analisis ahlli

arkeologi itu, yang secara teknis dikenal sebagai data sesungguhnya merupakan ciptaan

peneliti. Hal ini lagi-lagi disebabkan oleh karena observasi dan analisis terhadap records

itu dilaksanakan pada masa kini, berdasarkan kebudayaan peneliti dan ilmu arkeologi

mutakhir, walaupun records itu sendiri berasal dari kebudayaan masa lalu. Keadaan inilah

yang seringkali terlupakan oleh para peneliti dan yang sejak dekade 80-an diingatkan

kembali berkat timbulnya perhatian pada masalah teori dan yang pada gilirannya

mengangkat permasalahan yang bersifat epistemologis. Dengan demikian maka data

arkeologi itu berupa deskripsi tentang pola-pola yang ditampakkan dari teknik tipologi,

klasifikasi dan diperlakukan sebagai contemporary fact4. Akhirnya ahli arkeologi

melakukan rekonstruksi melalui data ini. Atau dengan lain perkataan merekonstruksikan

historical fact melalui contemporary fact.

Aspek lain dari hakekat data arkeologi, masih dalam kaitan dengan rekonstruksi,

adalah dari namanya sebagai kebudayaan materi atau fisk Nama ini mengandung dua

unsur yaitu materi dan kebudayaan. Unsur materi jelas menunjukkan kaitannya dengan

alam, yaitu menyangkut bahan dengan apa artefak itu dibuat. Melalui materi ini arkeologi

berhubungan dengan ilmu pengetahuan alam, seperti masalah penentuan waktu, analisis

dan sebagainya. Makalah ini tidak akan membahas hal-hal yang berkenaan dengan

masalah yang demikian ini. Adapun masalah yang akan menjadi perhatian adalah aspek

yang kedua yaitu masalah kebudayaan. Sebagaimana diketahui, kebudayaan materi

terciptakan sebagai akibat perbuatan manusia. Namun demikian perbuatan ini bukanlah

merupakan perbuatan yang asal-asalan tanpa tujuan dan maksud tertentu, melainkan

perbuatan yang dilandasi oleh konsep dan makna tertentu. Sebagai akibatnya maka

perbuatan itu pun dilaksanakan dalam pola-pola yang baku oleh pendukung suatu

kebudayaan. Dengan sendirinya kebudayaan materi yang dihasilkan oleh perbuatan

berpola itu pun tercermin dalam wujudnya sebagai kebudayaan materi. Walaupun

kebudayaan yang menghasilkannya telah musnah, dan dengan demikian ikut pula hilang

konsep-konsep dan makna yang menghasilkannya, namun pola-pola tersebut tetap

4 Lihat Lewis R. Binford, “Data, relativism and archaeological science” dalam Man, New Series, Vol. 22, No. 3, halaman 391 dst. Juga Jeremy Sabloff, Lewis Binford dan Patricia McAnany, “Understanding the archaeological records” dalam Antiquity, Vol. 61 Number 232, halaman 203 dst.

15

membayang dalam kebudayaan materi. Kaitan antar artefak dari berbagai tipe apakah

yang diketemukan dalam lapisan dan pit, dalam situs maupun wilayah, dalam pekuburan

maupun landscapes, tanpa terkecuali masih mempertahankan sisa.-sisa pola perbuatan

budaya yang menciptakannya. Kenyataan di atas juga tetap berlaku walaupun

kebudayaan materi, atau yang lebih tepat artefak itu, pada waktu sampai kepada ahli

arkeologi telah mengalami banyak pengaruh perubahan, baik sebagai akibat alam

maupun olah manusia dan bahkan oleh ahli arkeologi sendiri pada waktu melakukan

pengggalian atau ekskavasi. Selanjutnya tergantung kepada kemampuan ahli arkeologi

sendiri dalam menemukan dan mendeskripsikan pola-pola tersebut. Sebagaimana telah

dikemukakan di atas, pola-pola tersebut pada waktu penciptaannya dikendalikan oleh

konsep-konsep tertentu. Namun demikian perlu diingat bahwa konsep yang abstrak ini

tidak dapat dilihat, baik pada waktu kebudayaan itu masih hidup, apalagi pada waktu

telah musnah dan menjadi peninggalan kebudayaan materi. Dengan demikian maka,

melalui kebudayaan materi, ahli arkeologi hanya dapat menemukan kembali pola-pola

tersebut. Selanjutnya rekonstruksi konsep yang mendasari pelaksanaan dan

pewujudannya didasarkan atas interpretasi terhadap pola-pola tersebut. Apabila kita boleh

meminjarn istilah antropologi, maka penemuan kembali pola-pola itu adalah etik,

sedangkan yang dicoba untuk direkonstruksikan itu adalah emik-nya.

Mengingat bahwa konsep yang diupayakan untuk direkonstruksi itu bersifat

abstrak sehingga tidak dapat diamati melalui peninggalan kebudayaan materi, maka ada

sementara ahli arkeologi yang berpendapat bahwa rekonstruksi sebagaimana yang

dimaksudkan itu tidaklah mungkin dilaksanakan. Rekonstruksi ahli arkeologi hanyalah

mungkin dicapai sampai tingkat etik saja. Atas dasar ini maka dalam makalah ini akan

disampaikan pengembangan dan penerapan teori dalam arkeologi yang mencoba

mengatasi kemandegan metodologi tadi. Teori itu adalah hermeneutik dan semiotik.

2.2 Hermeneutik

16

Dasar dari pengembangan teori hermeneutik5 ini adalah bahwa kebudayaan

materi merupakan bagian dari perwujudan budaya dan makna konseptual. Dengan

demikian maka dimungkinkan bagi ahli arkeologi untuk menjangkau pengertian yang

lebih jauh dari sekedar tentang penggunaan fisik dan terbatas pada obyek penelitian saja,

melainkan sampai kepada makna simbolisnya yang lebih bersifat abstrak. Dalam hal ini

upaya untuk menggali makna konseptual dad kebudayaan materi dapat dibandingkan

dengan interpretasi terhadap suatu bahasa, karena proses mengerti itu berkaitan dengan

penggalian makna dari bahasa yang berwujud fisik atau materi. Sebagaimana halnya

bahasa perwujudan makna simbolis ini diatur oleh peraturan-peraturan dan kesepakatan

khusus, serta berdasarkan sebuah sistem tertentu. Sistem itulah yang membedakan satu

kebudayaan satu dari kebudayaan lainnya. Walaupun sistem itu membedakan kebudayaan

yang satu dari yang lain, namun tidak ditentukan oleh masalah-masalah yang bersifat

ekonomis, biologis dan fisik. Atas dasar inilah maka perbandingan dengan masalah

penerjemahan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain dengan interpretasi dari

kebudayaan yang satu dari kebudayaan yang lain dilaksanakan. Ahli arkeologi bekerja

dalam kerangka makna yang dimilikinya dan dengan demikian berhadapan dengan

kebudayaan yang ditelitinya yang memiliki kerangka makna berbeda bahkan mungkin

sama sekali berlainan oleh karena diwujudkan melalui ketentuan dan pengaturan yang

berbeda pula. Atas dasar itu maka upaya untuk mengungkapkan makna simbolis itu dapat

dibandingkan dengan proses penerjemahan, hanya dalam hal ini penerjemahan itu

dilakukan dari kebudayaan yang diteliti ke kebudayaan peneliti. Perlu pula dicatat bahwa

ahli arkeologi sesungguhnya memiliki dua kerangka makna, yaitu kerangka makna yang

diperoleh dari ilmunya dan kerangka makna yang terwujud dari kebudayaannya.

Bagaimana penerjemahan itu dapat dilaksanakan didasari atas tiga pengertian.

Pertama perlakuan bahwa kebudayaan materi diciptakan dengan maksud tertentu dalam

sebuah kerangka makna konseptual. Walaupun Kebudayaan materi itu diciptakan dan

penggunannya diatur dalam satu kerangka makna konseptual tertentu, namun kebudayaan

materi yang sama dapat pula diberi makna konseptual lain melalui berbagai cara. Atas

dasar ini maka di dalam memperlakukan kebudayaan materi kita harus membedakan

5 Dikembangkan dari Ian Hodder, The Theory and Practice in Archaeology. London, Routledge, 1992. Lihat juga Ian Hodder, Reading the Past. Cambridge, Cambridge University Press, 1986.

17

antara makna dari fungsi. Adapun yang dimaksudkan dengan fungsi adalah jawaban

terhadap pertanyaan yang diajukan oleh ahli arkeologi seperti “apa maksud pemberian

bentuk benda seperti itu?” “Mengapa bangunan tempat tinggal, istana misalnya, dibuat

dari bahan yang mudah rusak sedangkan candi dibangun dengan mempergunakan bahan

yang tahan lama dari batu kali”.

Mudah dimengerti bahwa fungsi-fungsi tersebut tidak dapat mengungkapkan

makna konseptualnya, oleh karena mungkin ada makna-makna konseptual yang tidak

diketahui oleh pembuat atau penggunanya. Makna ini, misalnya, menjawab pertanyaan

apa konsep yang melatar belakangi wujud sebuah candi. Makna konseptual yang

demikian ini pun mungkin tidak dikenali oleh pendiri maupun pengguna candi. Dengan

demikian maka terhadap makna ini pun perlu dibedakan makna yang tidak dikenali dan

makna yang tidak dimaksudkan. Makna yang tidak dikenali menyangkut makna yang

tidak dikenali atau secara samar-samar disadari seperti misalnya kebiasaan menata dan

membersihkan kamar tidur atas dasar ketentuan kebudayaan Jawa yang “melarang” orang

lain memasuki kamar tidur, misalnya. Makna yang tidak dimaksudkan. Makna yang

demikian adalah ketidakpastian dari pihak pencipta atau pengguna suatu obyek bahwa

orang lain akan memberikan makna yang sama dengannya terhadap obyek yang sama.

Kemungkinan yang demikian ini dapat terjadi oleh karena orang lain dapat

menghubungkan obyek tersebut dengan kerangka makna yang lain sehingga memberikan

makna yang berbeda. Dalam, kaitannya dengan kebudayaan materi, obvek itu telah

terpisah dari pencipta atau penggunanya. Hal ini terlebih-lebih lagi dapat terjadi sebagai

akibat dari pemisahan oleh waktu yang lebih lama atau tempat yang lebih jauh, sehingga

obyek itu dapat diberi berbagai makn tergantung dari penempatannya dalam berbagai

konteks. Sebagai contoh sebuah candi, misalnya, yang maksud pendirian sesungguhnya

belum diketahui, namun sekarang diberi makna sebagai makam, bukan makam dan

seterusnya.

Kedua pengertian bahwa kebudayaan materi harus dipelajari dalam konteks. Hal

ini berarti bahwa makna simbolis artefak-artefak tertentukan dalam konteksnya. Dengan

demikian maka ahli arkeologi haruslah terlebih dahulu merumuskan konteks itu terlebih

dahulu di dala mana obyek penelitiannya memiliki hubungan yang mempengaruhi

pemberian maknanya agar ia dapat mengetahui makna pada waktu obyek itu diciptakan.

18

Adapun yang dimaksudkan dengan konteks adalah keseluruhan lingkungan yang relevan.

Konteks sebuah obyek arkeologi (apakah itu sebuah situs atau kebudayaan) adalah semua

hubungan yang relevan dengan maknanya. Hubungan yang dimaksudkan adalah

hubungan dinamis antara obyek dengan konteksnya. Sebagai akibat dari penempatan

obyek ke dalam konteks, maka konteks itu sendiri akan mengalami perubahan. Dengan

demikian terdapat hubungan dialektis antara obyek dengan konteks dan teks dengan

konteks. Sebagai akibat dari hubungan dialektis ini maka konteks memberi makna kepada

obyek dan sekaligus juga mendapatkan makna dari obyek.

Ketiga adalah bahwa kebudayaan materi merupakan sesuatu yang aktif dan tidak

pasif. Apa yang dimaksudkan dengan pernyataan ini adalah bahwa kebudayaan materi

tidaklah tercipta sebagai produk sampingan perilaku manusia. Hal ini disebabkan oleh

karena semua tindakan manusia merupakan tindakan yang kreatif dan interpretatif.

Sebagai akibatnya maka makna tidak tampak dengan sendirinya, demikian pula tidak

dapat secara pasif dimengerti, melainkan harus secara aktif dibangun pengertiannya.

Pada dasarnya cara para ahli arkeologi melakukan interpretasi terhadap makna

konseptual adalah melalui konsep yang ada di kepalanya. Apabila seorang ahli

menemukan sebuah pola, yang menyerupai sebuah bangunan, maka ia akan memulai

analisisnya dengan konsep yang ada di kepalanya. Selanjutnya, konsep bangunan yang

masih dapat dikatakan netral ini akan dikembangkan lebih lanjut, karena konsep netral itu

dapat diarahkan sebagai bangunan suci, rumah, atau gudang dan seterusnya.

Pengembangan ini akan menentukan analisis selanjutnya.

Apabila kita dapat menerima kenyataan ini, maka tugas ahli arkeologi adalah

bagaimana ia dapat mencapai pengertian yang sedekat mungkin dengan makna

konseptual tadi. Untuk ini ia harus tetap berangkat dari konsep bahwa kebudayaan materi

selalu harus ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek materi dan aspek kebudayaan.

2.3. Semiotik

Teori semiotik6 diterapkan dalam arkeologi, juga didasarkan atas anggapan bahwa

sepanjang sejarahnya, manusia menciptakan perkakas bagi keperluan hidupnya tetapi

6 Dikembangkan dari Jean Molino, “Archaeology and Symbol Systems”, dalam Jean Claude Gardin dan Christopher S. Peebles (eds.), Representations in Archaeology. Bloomington, Indiana Polis, Indiana University Press, 1992.

19

juga sistem simbol. Semiotik, kadang-kadang juga disebut semiologi, sesungguhnya

merupakan ilmu tentang tanda. Atas dasar itu, maka perlu terlebih dahulu dikemukakan

apa yang dimaksudkan dengan tanda dalam semiotik. Konsep tentang tanda ini dapat

dibagi dalam tiga unsur.

Sebuah tanda adalah sesuatu yang memiliki arti tentang sesuatu bagi seseorang, di

setiap kesempatan atau tindakan. Dengan demikian tanda ini memiliki arti dalam

hubungannya dengan orang atau tanda lain- Setiap obyek atau fenomena hanya dapat

diungkapkan melalui tanda lain yang merupakan “interpretan” dari tanda yang pertama.

Tanda mewakili obyeknya, mengacu pada obyeknya namun hanya berarti melalui

“interpretan”.

Fungsi tanda dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu semiologi komunikasi dan

semiologi representasi. Fungsi tanda dalam semiologi komunikasi adalah sebagai sarana

atau wahana komunikasi. Pada fungsi yang kedua tanda merupakan pengganti dan

berfungsi sebagai kognitif. Contoh dari kedua fungsi ini adalah bahasa. Menurut

semiologi bahasa dan instrumen, dalam sejarah manusia, berkembang tidak saja sejajar

melainkan juga saling berhubungan, karena keduanya merupakan ekspresi dari ungkapan

peradaban yang sama.

Semua wujud tanda memiliki ciri-ciri modus perwujudannya masing-masing:

tanda yang mewujud sebagai materi, sebagai produksi, dan sebagai resepsi. Dalam

pengertian ini tanda merupakan produksi, sesuatu yang dengan sengaja diciptakan.

Sebagai akibatnya, maka tanda memiliki wujud materi dan menjadi obyek, antara lain

ilmu pengetahuan, sehingga dapat dianalisa.

Aspek lain dari obyek yang diakibatkan oleh hakekatnya yang demikian itu adalah

bahwa walaupun obyek itu dengan sengaja diciptakan, namun arti obyek itu terbuka lebar

bagi “interpretan”nya. Kenyataan ini tidak menutup kemungkinan bahwa arti yang

diberikan oleh “interpretan” menjadi berbeda, dari apa yang dimaksudkan oleh

penciptanya.

Bagaimana teori tentang tanda itu, dapat dikembangkan dalam arkeologi. Untuk

ini dapat memasukinya melalui pernyataan Leslie A. White, ahli antropologi, yang

mengatakan bahwa pada dasarnya manusia merupakan mahluk simbolis dan bukan

mahluk rasional, yang menciptakan simbol dan sekaligus juga alat-alat. Simbol menjadi

20

sama mandiri dan sama produktifnya dengan alat-alat. Atas dasar ini dapat dibentuk teori

tentang proses-proses simbolik. Sejarah peradaban manusia telah menujukkan, bahwa

manusia melalui penciptaan alat-alat secara berhasil telah menaklukkan dunianya.

Keadaan yang sama berlaku pula pada simbol. Berbekal simbol-simbol yang

diciptakannya, peradaban manusia manata pengalamannya dan kemudian menghadapi

dunianya di dalam dan melalui simbol tersebut. Atas dasar ini maka manusia, melalui

fungsi simbol sebagai mediasi dan sekaligus juga wahana untuk menjaga jarak antara

dirinya dengan dunianya seperti halnya dengan alat-alat, dapat tidak saja membuat

proyeksi ke masa lalu melainkan juga ke masa depan.

Sebagaimana yang telah berulangkali dikemukakan di muka, penerapan dan

pengkaitan semiotik dengan arkeologi secara teoretis adalah juga dimulai dari hakekat

data. Ditinjau dari sudut semiotik, data dapat dikaji dari dua sisi, yaitu dari data itu

sendiri dan dari ahli arkeologi. Ilmu pengetahuan pada umumnya sesungguhnya tidak

mengenal adanya data empiris yang betul-betul murni. Setiap datum senantiasa terkait

dengan hipotesa teoretis, oleh karena data itu sebagian merupakan hasil observasi dan

sebagian reproduksi sebagaimana yang telah diutarakan. Sementara itu, dari fihak ahli

arkeologi yang melakukan observasi juga dipengaruhi oleh kebudayaannya, termasuk di

dalamnya ilmunya. Pengaruh yang demikian ini juga dapat diamati pada ilmu

pengetahuan kemanusiaan, yang dihadapkan pada masalah yang timbul sebagai akibat

dari peranan peneliti sebagai observer dan analis yang menciptakan data kemanusiaan.

Arkeologi sebagaimana halnya dengan ilmu kamanusiaan yang bekerja berdasarkan

bekas atau jejak yang ditinggalkan oleh pencipta atau penggunanya sebagai obyek

penelitiannya. Selanjutnya dalam melaksanakan pengkajian terhadap bukti-bukti

kemanusiaan, ia berhadapan dengan data yang homogen dengan persepsinya. Ia mencoba

untuk mengerti dan kemudian mereproduksi data yang telah ia olah sesuai dengan

pengetahuannya. Dengan demikian maka dalam banyak hal, pada, dasarnya pengertian

tentang obyek berkaitan erat dan sangat tergantung pada pengetahuan subyek.

Sebagaimana yang telah berulangkali disampaikan, di dalam menghadapi obyek

kultural, subyek yang juga kultural secara jelas sangat berperan dalam penciptaan data,

serta dalam pemilihan fakta. Masalah yang timbul adalah seberapa besar pengaruh peran

tersebut terhadap arkeologi sebagai ilmu. Adapun yang menjadi permasalahan adalah

21

yang bersifat ontologis dan yang bersifat metodologis. Permasalahan pertama berkenaan

dengan pertanyaan apakah ada sebuah obyek penelitian arkeologi yang dapat dipisahkan

dari subyek kultural yang mempelajarinya. Ditinjau dari permasalahan ontologis ini,

maka obyek arkeologi, yang sebagaimana dikatakan di atas terutama berwujud jejak atau

bekas, tidaklah mengandung permasalahan yang bersifat epistemologis dalam arti apakah

obyek kultural yang tercipta tadi obyektif atau tidak. Dalam ilmu budaya, khususnya

dalam perspektif semiologi tentang bentuk-bentuk simbolik, maka kedudukannya

menjadi jelas, bahwa jejak dan bekas itu benar-benar ada dalam arti pada kedudukannya

yang netral dan sebagai apa adanya. Kedudukan ontologis yang demikian ini memberikan

kesempatan bahwa obyek dapat dianalisis tidak hanya berdasarkan persepsi dan

pengetahuan subyek kultural saja. Secara metodologis kesempatan untuk melakukan

analisis secara tidak terbatas ini dimungkinkan oleh faktor-faktor yang berkenaan dengan

“keberadaan secara berlapis” bekas dan jejak. Adapun yang dimaksudkan dengan lapis di

sini adalah lapisan analisis, yaitu jejak sebagai lapisan pertama yang bersifat materi,

diperlakukan sebagai obyek bagi berbagai analisis awal yang tergantung pada model-

model yang dipergunakan. Walaupun demikian, perlu kiranya diingat bahwa jejak pada

tingkat material sesungguhnya telah merupakan hasil dari aktivitas dan reproduksi dari

subyek kultural. Adapun yang dimaksudkan di sini adalah bahwa jejak tadi mungkin

diketemukan melalui ekskavasi dan direproduksi dalam bentuk deskripsi. Peringatan

yang lain adalah bahwa konfigurasi yang diungkapkan sebagai hasil analisis pada jejak

lapis materi tidak dengan sendirinya mencerminkan konfigurasi dari kegiatan sosial atau

budaya dari mereka yang meninggalkan jejak-jejak itu. Pada gilirannya, konfigurasi tadi

juga memberikan kesempatan untuk melakukan dimensi analisis yang baru.

Dengan demikian maka kemungkinan penerapan teori semiotik dalam arkeologi

adalah kira-kira sebagai berikut. Pertama pada lapis pertama, ahli arkeologi menghadapi

data untuk mencoba mengerti dan kemudian merekonstruksikan fenomena. Kedua adalah

analisis terhadap lapis netral. Dari records ini ahli arkeologi melakukan identifikasi,

klasifikasi, dan mengungkapkan pola atau konfigurasi, untuk kemudian menyajikannya

dalam bentuk model simbolis. Terakhir adalah pengungkapan makna terhadap berbagai

konfigurasi itu. Jejak-jejak itu dapat diungkapkan maknanya hanya dalam hubungannya

dengan kegiatan yang dilakukan oleh mereka yang meninggalkan jejak-jejak itu.

22

DAFTAR PUSTAKA

Marc Bloch (1989). Pleidooi voor de Geschiedenis of Geschiedenis als Ambacht. Nijmegen: Sun (terjemahan dari bahasa Francis).Leonard Blusse & Femme Gaastra (1998,1. On the Eighteenth Century as a Category of Asian History. Van Leur in Retrospect. London, Brookfield USA, Singapore: Aldershot.Fernand Braudel (1988) Cilivization and Capitalism, 15th – 18th Century. London: Collins/Fontana Press, 3 jilid (terjemahan dari bahasa Francis).Femand Braudel (1979). Geschiedschrijving. Paarn: Basisboeken Ambo (terjemahan dari bahasa Francis).Peter Burke (1 992). History and Social Theory. London: Polity Press. ;Peter Burke (1990). The French Historical Revolution. The Annales School 1929-89. Polity Press.E.H. Carr (1990,). What is History. Penguin Books, Rev. ed. (cetakan pertama 1961).R.G. Collingwood (1956). The Idea of History. New York: Oxford University Press. William H. Dray (1989). On History and Philosophers of History. Leiden: E.J. Brill.Norbert Elias (1982). Het Civilisatieprocess. Sodogenetische en Psychogenetische Onderzoekingen. Utrecht/Antwerpen: Uitgeverij het Spectrum (terjemahan dari bahasa Jerman 1937).Haskel Fain (1970). Between Philosophy and History. The Resurrection of Speculative Philosophy of History Within the Analytic Tradition. Princeton University Press.William H. Frederick (1989). Pandangan dan Gejolak. Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1945). Jakarta: Penerbit Gramedia (terjemahan dari bahasa Inggris).Francis Fukuyama (1992) The End of History and the Last Man. New York: Avon Books.Frank Furedi (1993J. Mythical Past, Elusive Future. History and Society in an Anxious Age. London, Boulder (Colorado): Pluto Press.Hans-George Gadamer (1992). Truth and Method. New York: Crossroad (terjemahan dari bahasa Jerman Wahrheit und Methode, 1960).Clifford Geertz (1983). Agriculture Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia. University of California Press.Clifford Geertz (1980| Negara: The Theater State in Nineteenth Century Ball. Princeton University Press.Felix Gilbert (190). History: Politics or Culture? Reflections on Ranke and Burkhardt. Princeton University Press.James Click (1994). Genius: Richard Feynman and Modern Physics. London: Abacus.Rom Harre (1970). The Principles of Scientific Thinking. London: Macmillan. C.G. Hempel, "The Function of General Laws in History", da/am Journal of Philosophy, no. 39, 1942.

23

C.A. Hooker, "An Evolutionary Naturalist Realist Doctrine of Perception and Secondary Qualities", dalam C.W. Savage (ed.), Minnesota Studies in Philosophy of Science, IX, 1978.Martin Holis (1994). The Philosophy of Social Science. An Introduction. London: Cambridge University Press.Lyn Hunt (ed.J. The New Cultural History. University of California Press.J.J.P. de Jong (1998). De Waaier het Fortuin. De Nederlanders in Azie en de Indonesische Archipel, 1595- 1950. Den Haag: SOU Uitgevers.Gerrit J. Knaap (1996). Shallow Waters, Rising Tides. Shipping and Trade in Java Arround 1775. Leiden: KITLV Press.Gerrit J. Knaap (1987). Kruidnagelen en Christenen. De Verenigde Oostindische Compagnie en de Bevolking van Ambon, 1656-1695. Dortrecht - Province: Forris Publications.Thomas Kuhn (1994). Structure of Scientific Revolution. University of Chicago Press. Second Ed. Enlarged.

Kuntowidjojo (1992| Metodologi Sejarah. Yogyakarta: P.T. Tiara Wacana.

J.C. van Leur (1960). Asian Trade and Society. Esseys in Asian Social and Economic History. Den Haag-Bandung: Voorhoeve.

Thomas Lindblad, ed. (1996). Historical Foundation of a National Economy in Indonesia, 1890s- 1990s. Amsterdam: KNAW.

Christopher Lloyed (1993). The Structures of History. London: Basil Blackwell.

Christopher Lloyed (1986). Explanation in Social History. London: Basil Blackwell.

Chris Lorenz (1990). De Constructie van het Veheden. Een Inleiding in de Theorie van de Geschiedenis. Amsterdam: Boom Meppel.

M. Mandelbaum (1967). The Problem of Historical Knowledge. New York: Harper Torchbooks (cetakan pertama 1 938).C. Behan McCullagh (1998). The Truth of History. London-New York: Routledge. Luc Nagtegaal (1996;. Riding the Dutch Tiger. The Dutch East India Company and the Northeast Coast of Java, 1680-1740. Leiden: KITLV Press.Christopher Norris (1997). Against Relativsm. Philosophy of Science, Deconstruction, and Critical Theory. London: Blackwell.Anthony Reid (1993). Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680. Chiang Mai: Silkwormbooks, 2 Jilid.Carl Sagan ( i996). The Demon-Haunted World. Science as a Candle in the Dark. London: Headline Publishing.David Joel Steinberg, ed. (1971). In Search of Southeast Asia. A Modem History. Honolulu: University of Hawaii Press.

Sartono Kartodirdjo (1984). Ratu Mil. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

24

Sartono Kartodirdjo (1982). Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta: P.T. Penerbit Gramedia.

Nico Schulte Nordholt & Leontine Visser, eds. (1997). llmu Sosial di Asia Tenggara. Dan Partikularisme ke Universalisme. Jakarta: :P3ES.

Dudley Shapere, "Method in the Philosophy of Science and Epistemology: How to Inquire About Inquiry and Knowledge", dalam N.J. Nersessian (ed.) The Process of Science. Dortrecht: Martinus Nijhoff 1 987.

Heather Sutherland (1983). Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan (Terjemahan dari bahasa Inggris).

Richard Tarnas (1991). The Passion of the Western Mind. Understanding the Ideas that Have Shaped Our World View. New York: Ballantine Books.

Charles Tilly (1978). From Mobilization to Revolution. Reading, Mass.: Addison-Wesley Publishing Company.

Charles Tilly (1981). As Sociology Meets History, Studies in Social Discontinuity. Orlando, San Diego, San Fransisco, New York, London: Academic Press Inc.

Charles Tilly (1967). The Vendee. Cambridge University Press.

Jaap Vogel (1998), "J.C. vartteur, 1908-1942: A Short Life in History", dalam Blusse & Gaastra, op.cit. him. 13-38.Immannuel Walerstein (1991). Unthinking Scocial Science. The Limits of Nineteenth Century Paradigms. London: polity Press.W.H. Walsh (1951). Introduction to Philosophy of History. New York:Hutchinson.David K. Wyatt (1998), "The Eighteenth Century in Southeast Asia", dalam Blusse & Gaastra, him op.cit. 39-55.

25