Makalah Blok 22
-
Upload
stefany-fany -
Category
Documents
-
view
79 -
download
17
description
Transcript of Makalah Blok 22
Meningitis Bakterialis
Stefany
102008111
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna Utara no 6, Jakarta Barat
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan terjadinya
gejala perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia disertai
peningkatan jumlah leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS). Berdasarkan durasi dari
gejalanya, meningitis dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Meningitis akut memberikan
manifestasi klinis dalam rentang jam hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik
memiliki onset dan durasi berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Pada banyak kasus,
gejala klinik meningitis saling tumpang tindih karena etiologinya sangat bervariasi.
BAB II
ANAMNESIS
Identitas
Nama, alamat, umur, jenis kelamin, agama, kebangsaan, tanggal MRS
Keluhan utama kejang
Riwayat penyakit sekarang
1
- Selain kejang apakah ada keluhan lain seperti demam, batuk ataupun sakit
kepala
- Jika ada panas bagaimana frekuensinya
- Panasnya pada pagi hari, siang hari atau sore hari
- Apakah ada penurunan nafsu makan
- Apakah ada penurunan berat badan
Riwayat penyakit dahulu
-
Riwayat keluarga
- Ada anggota keluarga yang menderita kejang seperti ini
Riwayat kehamilan dan persalinan
- Penyakit yang pernah diderita ibu selama hamil, trauma perdarahan
pervaginem, obat yang digunakan selama hamil
- Apakah pada waktu hamil ibu ada mengkonsusmsi obat-obatan
- Apakah ada kelahiran sukar, spontan, tindakan (forcep/vokum) perdarahan
antepartom, aspiksia dan lain-lain.
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
- Apakah ada gangguan perkembangan pada anak
PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisis harus selalu dimulai dengan penilaian keadaan umum pasien. Dengan penilaian keadaan umum ini dapat diperoleh kesan apakah pasien dalam keadaan distress akut yang memerlukan pertolongan segera, atau pasien dalam keadaan yang relative stabil sehingga pertolongan dapat diberikan setelah dilakukan pemeriksaan fisik yang lebih lengkap.6,7
1. Pada penderita meningitis biasanya didapatkan suhu lebih dari 38-41 derajat
2. Panas
3. Kulit kering
4. Penurunan demyut nadi berhubungan dengan peningkatan tekanan intra kranial
2
5. Jika disertai dengan peningkatan pernafasan biasanya berhubungan dengan laju
metabolisme umum adanya infeksi pada saluran pernafasan sebelum mengalami
meningitis
6. Tekanan darah biasanya normal atau meningkat
Inspeksi
1. Anak rewel
2. Fotofobia
3. Delirium
4. Dilihat produksi sputumnya
5. Sesak nafas
6. Tingkat kesadarannya : tingkah laku, gaya bicara, ekspresi wajah
Pemeriksaan patologis
1. Kaku kuduk : kesulitan dalam melakukan gerakan flexi pada kepala
2. Tanda kernig positif : ketika pasien dalam keadaan berbaring dengan paha pada
posisi flexi kearah abdomen kai tidak dapat diekstensikan sempurna
3. Tanda bruzinki : jika leher pasien di flesikan maka terjadi flexi lutut dan pinggul
3
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Begitu diagnosis meningitis dicurigai, dianjurkan untuk melaukan pemeriksaan
CSS segera. Satu-satunya alasan menunda pungsi lumbal adalah bila terapat
kecurigaan kuat akan lesi massa intracranial. Diagnosis pasti meningitis dibuat
berdasarkan gejala klinis dan hasil analisa cairan serebrospinal dari pungsi lumbal.
Tabel 1. Pemeriksaan LCS
Kontraindikasi pungsi lumbal:
o Infeksi kulit di sekitar daerah tempat pungsi. Oleh karena kontaminasi dari
infeksi ini dapat menyebabkan meningitis.
4
o Dicurigai adanya tumor atau tekanan intrakranial meningkat. Oleh karena
pungsi lumbal dapat menyebabkan herniasi serebral atau sereberal.
o Kelainan pembekuan darah.
o Penyakit degeneratif pada join vertebra, karena akan menyulitkan memasukan
jarum pada ruang interspinal.
2. Pemeriksaan Darah Lengkap
b. Pemeriksaan Radiologi
X-foto dada: untuk mencari kausa meningitis
Dilakukan CT Scan bila didapatkan tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial dan
lateralisasi
DIAGNOSIS
WORKING DIAGNOSIS
Meningitis bakterialis adalah peradangan pada ruang subarachnoid (terletak
dalam lapisan-lapisan jaringan yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang)
yang disebabkan oleh bakteri. Ruang subarachnoid terletak antara lapisan tengah
(mater arakhnoid) dan lapisan dalam tipis (piameter) dari jaringan (disebut meninges)
yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang. Ruang ini berisi cairan
cerebrospinal, yang mengalir melalui meninges, mengisi ruang-ruang internal dalam
otak, dan membantu bantal otak dan sumsum tulang belakang.1
Ketika bakteri menyerang ruang subarachnoid, akhirnya sistem kekebalan
tubuh bereaksi terhadap penjajah, dan sel kekebalan berkumpul untuk
mempertahankan tubuh terhadap mereka. Hasilnya adalah peradangan. Peradangan
yang parah dapat menyebar ke pembuluh darah di dalam otak, kadang-kadang
menyebabkan gumpalan terbentuk. Sehingga stroke dapat terjadi. Peradangan juga
5
dapat menyebabkan kerusakan meluas ke jaringan otak, menyebabkan pembengkakan
(edema) dan daerah perdarahan kecil.1
Gejala klinis meningitis bakterialis pada neonatus tidak spesifik meliputi
gejala sebagai berikut: sulit makan, lethargi, irritable, apnea, apatis, febris,
hipotermia, konvulsi, ikterik, ubun-ubun menonjol, pucat, shock, hipotoni, shrill cry,
asidosis metabolik. Sedangkan gejala klinis pada bayi dan anak-anak yang diketahui
berhubungan dengan meningitis adalah kaku kuduk, opisthotonus, ubun-ubun
menonjol (bulging fontanelle), konvulsi, fotofobia, cephalgia, penurunan kesadaran,
irritable, lethargi, anoreksia, nausea, vomitus, koma, febris umumnya selalu muncul
tetapi pada anak dengan sakit yang berat dapat hipotermia.1
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
1. KEJANG DEMAM
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI 2004), membagi kejang demam
menjadi dua12
Kejang demam sederhana (harus memenuhi semua kriteria berikut)
- Berlangsung singkat
- Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit
- Bangkitan kejang tonik, tonik-klonik tanpa gerakan fokal
- Tidak berulang dalam waktu 24 jam
Kejang demam kompleks (hanya dengan salah satu kriteria berikut)
- Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit
- Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului dengan
kejang parsial
- Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam, anak sadar kembali di
antara bangkitan kejang12
2. ENSEFALITIS
Ensefalitis ialah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikro-organisme.
Terminologi ensefalopati yang dulu dipakai untuk gejala yang sama, tanpa
tanda-tanda infeksi sekarang tidak dipakai lagi.
6
- Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan ensefalitis,
misalnya bakteria, protozoa, cacing, jamur, spirokaeta, dan virus.
Penyebab yang terpenting dan tersering ialah virus.
- Infeksi dapat terjadi karena virus langsung menyerang otak atau reaksi
radang akut karena infeksi sistemik atau vaksinasi terdahulu.
Gejala klinis pada umumnya didapatkan:
Suhu yang mendadak menaik
Seringkali ditemukan hiperpireksia
Pada anak besar, seringkali mengeluh sakit kepala
Muntah sering ditemukan
Bisa disertai dengan kejang, baik fokal atau umum atau hanya twitching
saja.
- Elektroensefalografi (EEG) sering menunjukkan aktifitas listrik yang
merendah sesuai dengan kesadaran yang menurun.
- Diagnosis dapat dilakukan dengan menemukan gejala klinis dan etiologis
dari ensefalitis tersebut.
Diagnosis etiologis dapat ditegakkan dengan:
1. Biakan : dari darah, viremia berlangsung hanya sebentar saja sehingga
sukar untuk mendapatkan hasil yang positif; dari likuor serebrospinalis
atau jaringan otak (hasil nekropsi); dari feses untuk jenis enterovirus
sering didapat hasil yang positif.
2. Pemeriksaan serologis : uji fiksasi komplemen, uji inhibisi
hemaglutinasi dan uji neutralisasi.
3. Pemeriksaan patologi anatomi post mortem
Hasil pemeriksaan ini juga tidak dapat memastikan diagnosis. Telah
diketahui bahwa satu macam virus dengan gejala-gejala yang sama
dapat menimbulkan gambaran yang berbeda. Bahkan pada beberapa
kasus yang jelas disebabkan virus tidak dapat ditemukan sama sekali
tanda radang yang khas. Pada beberapa penyakit yang mempunytai
predileksi tertentu, misalnya poliomielitis, gambaran patologi anatomis
dapat menyokong diagnosa.
7
EPILEPSI
Merupakan suatu kondisi gangguan kronik yang ditandai oleh berulang-
ulangnya bangkitan epilepsi.
Penyebab dari epilepsi adalah multifaktor,termasuk genetik dan penyebab
yang didapat.
- Faktor genetik yang menjadi penyebab epilepsi diantaranya
o Epilepsi sekunder pada tuberkulosis dan fenilketonuria.
o Epilepsi primer yang disebabkan oleh gangguan eksitabilitas dan
sinkronisasi neuron korteks serebri.
- Lesi di otak (didapat) yang menyebabkan epilepsi sekunder diantaranya
o Asfiksia
o Sklerosis hipokampus
o Tumor
o Trauma kepala
o Infeksi
o Stroke
Klasifikasi epilepsi:
Komisi Klasifikasi dan Terminologi International League Against Epilepsy
(ILAE) tahun 1981 membuat sistem klasifikasi berdasarkan bentuk bangkitan,
yaitu:
I. Bangkitan parsial/fokall yang dimulai dari satu bagian hemisfer otak
Bangkitan fokal dibagi menjadi:
1. Bangkitan fokal sederhana (kesadaran tidak terganggu)
Dapat dengan manifestasi motorik, somatosensorik, atau sensorik
khusus (kesemutan , keliatan cahaya, berdengung), autonomik (sensasi
epigastrik, pucat, pupil dilatasi), atau psikik (ilusi, halusinasi).
2. Bangkitan fokal kompleks(kesadaran terganggu)
Dapat terjadi dengan onset parsial sederhana diikuti kesadaran
terganggu atau dengan kesadaran terganggu pada saat onset (dengan
automatism).
8
II. Bangkitan umum yang dimulai dari kedua hemisfer secara simultan.
1. Bangkitan absens
Absens tipikal (ditandai oleh hilangnya kesadaran disertai gerakan
minor seperti mengedip, twitching, berlangsung singkat biasanya
kurang dari 10 detik dengan gambaran EEG khas, paku ombak
3 per detik).
Absens atipik (berlangsung lebih lama, diikuti post-ictal confusion
dengan EEG tidak khas/iregular).
2. Bangkitan mioklonik
3. Bangkitan klonik
4. Bangkitan tonik
5. Bangkitan tonik klonik
6. Bangkitan atonik
- EEG( elektro-ensefalografi) merupakan pemeriksaan penunjang yang paling
penting. Kelainan dan lokasi EEG interiktal (diantara bangkitan) selain
dapat membantu menegakkan diagnosis epilepsi juga dapat menentukan
klasifikasi bangkitan epilepsi.
- Kelainan EEG interiktal saja tidak cukup untuk mendiagnosis epilepsi sebab
10-20% pasien epilepsi tidak menunjukkan kelainan EEG dan 2-3% pasien
bukan epilepsi menunjukkan kelainan epilepsi.
- Diagnosis pasti epilepsi baru dapat ditegakkan bila bangkitan muncul pada
saat dilakukan rekaman EEG, sehingga rekaman iktal dapat direkolasikan
dengan manifestasi klinis epilepsi.
Perbedaan kejang demam dengan epilepsi yaitu pada epilepsi, tidak disertai
demam. Epilepsi terjadi karena adanya gangguan keseimbangan kimiawi sel-
sel otak yang mencetuskan muatan listrik berlebihan di otak secara tiba-tiba.
Penderita epilepsi adalah seseorang yang mempunyai bawaan ambang
rangsang rendah terhadap cetusan tersebut. Cetusan bisa di beberapa bagian
otak dan gejalanya beraneka ragam. Serangan epilepsi sering terjadi pada saat
ia mengalami stres, jiwanya tertekan, sangat capai, atau adakalanya karena
terkena sinar lampu yang tajam.
9
ETIOLOGI
Pada anak-anak di atas 4 tahun, penyebab tersering adalah Streptococcus pneumoniae,
Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae tipe B (HIB). HIB pernah menjadi
etiologi tersering tetapi sudah tereradikasi pada negara-negara yang telah menggunakan
vaksin konjugasi secara rutin.13
- Streptococcus pneumonia.
Patogen ini berbentuk seperti lancet, merupakan diplokokus gram positif dan
penyebab utama meningitis. Dari 84 serotipe, serotipe 1, 3, 6, 7, 14, 19, dan 23 adalah
jenis yang sering dihubungkan dengan dengan bakteremia dan meningitis. Anak pada
berbagai usia dapat terpapar tetapi insidensi dan tingkat keparahan penyakit paling
tinggi pada bayi dan lansia. Kurang lebih 50% penderita memiliki riwayat fokus
infeksi di parameningen atau pneumonia. Pada penderita meningitis rekuren perlu
dipikirkan ada tidaknya riwayat trauma kepala atau kelainan dural. S. pneumoniae
sering menimbulkan meningitis pada penderita sickle cell anemia, hemoglobinopathy,
penderita asplenia anatomis atau fungsional. Patogen ini membentuk kolonisasi pada
saluran pernapasan individu sehat. Transmisi terjadi antar manusia dengan kontak
langsung. Masa inkubasi sekitar 1-7 hari dan prevalensi terbanyak pada musim
dingin. Gejala yang ditimbulkan di antaranya kehilangan pendengaran sensorineural,
hidrocephalus, dan sekuelae SSP lainnya. 13
Pengobatan antimikroba efektif mengeradikasi bakteri dari sekresi nasofaring
dalam 24 jam. Pneumococcus membentuk resistensi yang bervariasi terhadap
antimikroba. Resistensi terhadap penicillin berkisar antara 10-60%. Hal ini
disebabkan oleh perubahan dalam enzim yang berperan dalam pertumbuhan dan
perbaikan protein pengikat penicillin pada bakteri sehingga beta-laktamase inhibitor
menjadi tidak berguna. Pneumococcus yang resisten terhadap penicillin juga
menampakkan resistensi terhadap cotrimoxazole, tetrasiklin, chloramphenicol, dan
makrolide. Cephalosporin generasi 3 (cefotaxime, ceftriaxone) saat ini merupakan
10
pilihan karena mampu menghambat sejumlah bakteri yang telah resisten. Beberapa
golongan fluoroquinolon (levofloksasin, trovafloksasin) walaupun merupakan
kontraindikasi untuk anak-anak tetapi memiliki daya kerja tinggi melawan
kebanyakan pneumococcus dan memiliki penetrasi adekuat ke SSP.13
- Neisseria meningitides
Patogen ini merupakan bakteri gram negatif berbentuk seperti ginjal dan
sering ditemukan intraselular. Organisme ini dikelompokkan secara serologis
berdasarkan kapsul polisakarida. Serotipe B, C, Y, dan W-135 merupakan serotipe
yang menyebabkan 15-25% kasus meningitis pada anak. Saluran pernapasan atas
sering dikolonisasi oleh patogen ini dan ditularkan antar manusia melalui kontak
langsung, droplet infeksius dari sekresi saluran pernapasan, dan sering pula dari karier
asimptomatik. Masa inkubasi umumnya kurang dari 4 hari, dengan kisaran waktu 1-7
hari. Faktor resiko meliputi defisiensi komponen komplemen terminal (C5-C9),
infeksi virus, riwayat tinggal di daerah overcrowded, penyakit kronis, penggunaan
kortikosteroid, perokok aktif dan pasif. 13
Kasus umumnya terjadi pada bayi usia 6-12 bulan dan puncak insidensi
tertinggi kedua adalah saat adolesen. Manifestasi purpura atau petekiae sering
dijumpai. LCS pada meningococcal meningitis biasanya memberi gambaran
normoseluler. Kematian umumnya terjadi 24 jam setelah hospitalisasi pada penderita
dengan prognosis buruk yang ditandai dengan gejala hipotensi, shock, netropenia,
petekiae dan purpura yang muncul kurang dari 12 jam, DIC, asidosis, adanya bakteri
dalam leukosit pada sediaan apus darah tepi.13
- Haemophilus influenzae tipe B (HIB)
11
HIB merupakan batang gram negatif pleomorfik yang bentuknya bervariasi
dari kokobasiler sampai bentuk panjang melengkung. HIB meningitis umumnya
terjadi pada anak-anak yang belum diimunisasi dengan vaksin HIB. 80-90% kasus
terjadi pada anak-anak usia 1 bulan - 3th. Menjelang usia 3th, banyak anak-anak yang
belum pernah diimunisasi HIB telah memperoleh antibodi secara alamiah terhadap
kapsul poliribofosfat HIB yang cukup memberi efek protektif. Penularan dari manusia
ke manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi saluran
pernapasan. Masa inkubasi kurang dari 10 hari.13
Mortalitas kurang dari 5% umumnya kematian terjadi pada beberapa hari awal
penyakit. Beberapa data menunjukkan 30-35% patogen ini sudah resisten terhadap
ampicillin karena produksi beta-laktamase oleh bakteri. Sebanyak 30% kasus
menyebabkan sekuelae jangka panjang. Pemberian dini dexamethasone dapat
menurunkan morbiditas dan sekuelae.13
EPIDEMIOLOGI
Meningitis bakterialis sering terjadi pada masa kanak-kanak, khususnya usia
prasekolah; 35% kasus anak-anak terjadi pada 1 tahun pertama kehidupan dan 80%
terjadi pada 5 tahun pertama kehidupan. Di UK,1 dari 500 anak menderita meningitis
purulenta usia antara 1 bulan dan 10 tahun. Diagnosis dini harus ditegakkan karena
keterlambatan diagnosis meningkatkan risiko kematian atau komplikasi neurologis.14
PATOFISIOLOGI14,15
Pertama-tama bakteri berkolonisasi dan menyebabkan infeksi lokal pada inang.
Kolonisasi dapat terbentuk pada kulit, nasofaring, saluran pernapasan, saluran
pencernaan, atau saluran kemih dan genital. Dari tempat ini, bakteri akan menginvasi
submukosa dengan menghindari pertahanan inang (seperti barier fisik, imunitas lokal,
fagosit/makrofag) dan mempermudah akses menuju sistem syaraf pusat (SSP) dengan
beberapa mekanisme : Invasi ke dalam aliran darah (bakteremia) dan menyebabkan
12
penyebaran secara hematogen ke SSP, yang merupakan pola umum dari penyebaran
bakteri. Penyebaran melalui kontak langsung, misalnya melalui sinusitis, otitis media,
malformasi kongenital, trauma, inokulasi langsung selama manipulasi intrakranial.
Sesampainya di aliran darah, bakteri akan berusaha menghindar dari pertahanan imun
( misalnya: antibodi, fagositosis neutrofil, sistem komplemen). Kemudian terjadi
penyebaran hematogen ke perifer dan organ yang letaknya jauh termasuk SSP.
Mekanisme patofisiologi spesifik mengenai penetrasi bakteri ke dalam SSP sampai
sekarang belum begitu jelas. Setelah tiba di SSP, bakteri dapat bertahan dari sistem imun
inang karena terbatasnya jumlah sistem imun pada SSP. Bakteri akan bereplikasi secara
tidak terkendali dan merangsang kaskade inflamasi meningen. Proses inflamasi ini
melibatkan peran dari sitokin yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukin(IL)-
1, chemokin (IL-8), dan molekul proinflamasi lainnya sehingga terjadi pleositosis dan
kerusakan neuronal. Peningkatan konsentrasi TNF-α, IL-1, IL-6, dan IL-8 merupakan ciri
khas meningitis bacterial.
Paparan sel (endotel, leukosit, mikroglia, astrosit, makrophag) terhadap produk yang
dihasilkan bakteri selama replikasi dan kematian bakteri merangsang sintesis sitokin dan
mediator proinflamasi. Data-data terbaru memberi petunjuk bahwa proses ini dimulai
oleh ligasi komponen bakteri (seperti peptidoglikan, lipopolisakarida) untuk mengenali
reseptor (Toll-like receptor).
TNF-α merupakan glikoprotein yang diderivasi dari monosit-makrophag, limfosit,
astrosit, dan sel mikroglia. IL-1 yang dikenal sebagai pirogen endogen juga berperan
dalam induksi demam saat infeksi bakteri. Kedua mediator ini dapat terdeteksi setelah 30-
45 menit inkulasi endotosin intrasisternal.
Mediator sekunder seperti IL-6, IL-8, Nitric Oxide (NO), prostaglandin (PGE2) dan
platelet activation factor (PAF) diduga memperberat proses inflamasi. IL-6 menginduksi
reaktan fase akut sebagai respon dari infeksi bakteri. IL-8 membantu reaksi chemotaktik
neutrofil. NO merupakan molekul radikal bebas yang menyebabkan sitotoksisitas saat
diproduksi dalam jumlah banyak. PGE-2 akan meningkatkan permeabelitas blood-brain
barrier (BBB). PAF dianggap memicu pembentukan trombi dan aktivasi faktor
pembekuan di intravaskular.
Pada akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi peningkatan
permeabelitas BBB sehingga terjadi perpindahan berbagai komponen darah ke dalam
ruang subarachnoid. Hal ini menyebabkan terjadinya edema vasogenik dan peningkatan
13
protein LCS. Sebagai respon terhadap molekul sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan
bermigrasi dari aliran darah menuju ke BBB yang rusak sehingga terjadi gambaran
pleositosis neutrofil yang khas untuk meningitis bakterial.
Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influk komponen plasma ke dalam
ruang subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema interstitial,
produk-produk degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas selular lain yang menyebabkan
edema sitotoksik.
Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra
kranial dan pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF). Metabolisme
anaerob terjadi dan mengakibatkan peningkatan konsentrasi laktat dan
hypoglycorrhachia. Hypoglycorrhachia merupakan hasil dari menurunnya transpor
glukosa ke LCS. Jika proses yang tidak terkendali ini tidak ditangani dengan baik, dapat
terjadi disfungsi neuronal sementara atau pun permanen.
Tekanan tinggi intra kranial (TTIK) merupakan salah satu komplikasi penting dari
meningitis di mana keadaan ini merupakan gabungan dari edema interstitial (sekunder
terhadap obstruksi aliran LCS), edema sitotoksik (akibat pelepasan produk toksik bakteri
dan neutrofil) serta edema vasogenik (peningkatan permeabelitas BBB).
Edema serebral dapat menyebabkan terjadinya midline shift dengan adanya
penekanan pada tentorial dan foramen magnum. Pergeseran ini akan menimbulkan
herniasi gyri parahippocampus dan cerebellum. Secara klinis keadaan ini ditunjukkan
oleh adanya penurunan kesadaran dan reflek postural, palsy nervus kranial III dan VI.
Jika tidak diobati maka terjadi dekortikasi dan deserebrasi yang secara pesat berkembang
menjadi henti napas atau henti jantung.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang khas dan umum ditampakkan oleh penderita meningitis diatas umur 2
tahun adalah demam, sakit kepala dan kekakuan otot leher yang berlangsung berjam-jam atau
dirasakan sampai 2 hari. Tanda dan gejala lainnya adalah photophobia (takut/menghindari
sorotan cahaya terang), phonophobia (takut/terganggu dengan suara yang keras), mual,
muntah, sering tampak kebingungan, kesusahan untuk bangun dari tidur, bahkan tak sadarkan
diri Kadang-kadang, terutama pada anak kecil, hanya gejala nonspesifik mungkin muncul,
seperti mudah marah dan kantuk. Jika terjadi ruam-ruam pada tubuh, hal itu mungkin
menunjukkan penyebab tertentu meningitis; misalnya, meningitis yang disebabkan oleh
14
bakteri meningokokus (meningococal bacteria) dapat disertai oleh ruam yang khas. Pada bayi
gejala dan tanda penyakit meningitis mungkin sangatlah sulit diketahui, namun umumnya
bayi akan tampak lemah dan pendiam (tidak aktif), gemetaran, muntah dan enggan
menyusui.
PENATALAKSANAAN
Meningitis adalah keadaan yang paling darurat pada bidang pediatric. Diagnosis harus
dicurigai dan segera dikonfirmasi dengan lumbal punksi dalam setengah jam sampai 1
jam setelah anak masuk rumah sakit. Cairan intravena yang sesuai dan antibiotika dengan
spectrum luas harus segera diberikan dalam waktu 1 jam. Dalam 12jam harus dapat
diketahui bakteri penyebab yang sebenarnya dan antibiotic diubah dengan yang sesuai.
Biakan darah yang diambil bersamaan dengan tindakan punksi lumbal dapat merupakan
konfirmasi kuman penyebabnya.1
Pada berbagai rumah sakit digunakan antibiotic baku yang berbeda. Beberap patokan
adalah :1
Sebagai pengobatan awal harud dipakai antibiotic berspektrum luas (seringkali
kombinasi ampisilin dan kloramfenikol) sampai didapatkan hasil biakan dan
resistensi yang sesuai.
Antibiotic harus selalu diberikan melalui intravena. Lebih baik penderita
dalam keadaan sedikit dehidrasi, karena ada kemungkinan terdapat edema otak
sebagai ketidak sesuaian ADH.
Manitol dapat bermanfaat apabila terdapat bukti peningkatan TIK yang
menetap
Antikonvulsan harus diberikan sebagai tindakan profilaksis.
Penatalaksanaan efektif untuk meningitis bergantung pada terapi suportif agresif yang
dini dan pemilihan antimikroba empiric yang tepat untuk kemungkinan pathogen.
Tindakan suportif umum diindikasikan bagi setiap pasien yang menderita patologi
intrakranium berat. Pasien koma atau dengan gangguan reflex muntah harus dikosongkan
isi lambungnya dan dipertimbangkan untuk intubasi guna melindungi jalan nafas.15
Terapi antibiotic awal. Pendekatan terapeutik pada penderita dengan dugaan
meningitis bakteri tergantung dari sifat manifestasi awal penyakit. Anak dengan penyakit
yang memburuk dengan cepat selama kurang dari 24 jam, bila tidak ada kenaikan TIK,
harus mendapat antibiotic segera sesudah dilakukan PL. jika ada tanda-tanda kenaikan
15
TIK atau penemuan-penemuan neurologis fokal, antibiotic harus diberikan tanpa
melakukan PL dan sebelum melakukan CT scan. Kenaikan TIK harus diobati secara
bersamaan.14
Pilihan dalam terapi awal dalam kurung empiric untuk meningitis pada bayi dan anak
imunokompeten harus didasarkan pada kerentanan antibiotic H. influenza tipe B, S.
Pneumoniae, dan M. meningitides. Antibiotic harus mencapai kadar bakterisid pada CSS.
Sefalosporin generasi ketiga, seftriakson atau sefotaksim, mewakili terapi baku untuk
meningitis bakteri. Dosis seftriakson 100mg/kg/24 jam diberikan sehari sekali atau
50mg/kg/dosis, diberikan setiap 24 jam. Dosis sefotaksim adalah 200m/kg/24 jam,
diberikan setiap 6 jam. Kedua obat mencapai kadar bakterisid tinggi pada CSS. Penderita
yang alergi terhadap antibiotic betalaktam harus diobati dengan kloramfenikol
200mg/kg/24 jam, diberikan setiap 6 jam. Walaupun kloramfenikol adalah bakteriostatik
terhadap banyak bakteri, obat ini bakterisid terhadap 3 kuman di atas. Penggunanaan
kloramfenikol sekarang dicadangkan untuk penderita yang tidak dapat mentoleransi
sefalosporin karena kadar serum perlu dipantau selama terapi dan kloramfenikol
mempunyai kemungkinan pengaruh yang merugikan seperti anemia aplastik, sindrom
bayi abu-abu seperti syok, dan supresi sum-sum tulang tergantung dosis. 14
Jika penderita dicurigai meningitis gram negatif, terapi awal dapat memasukkan
seftazidin dan aminoglikosid. 14
Lama terapi antibiotik. Meningitis H. influenzae tipe B tidak terkomplikasi harus
diobati selama total 7-10 hari. Sesudah penentuan bahwa organisme sensitife pada
ampisilin dan tidak menghasilkan betalaktamase, erapi antimikroa awal dapat dirubah ke
ampisilin. 14
Jika S. pneumonia dibiakkan dari CSS, isolate harus di uji untuk resistensi penisilin.
Resistensi relatif terhadap penisilin (MIC 0,1-1,0 gr/mL), ada pada 5 - 25% isolat S.
pneumonia, dan organism yang sangat resisten (MIC >b2,0 g/mL) ditemukan pada
sejumlah kecil penderita. Meningitis yang disebabkan oleh isolate S. pneumoniae yang
relative resisten dapat diobati dengan sefotaksim atau seftriakson, sedang kloramfenikol
adalah obat pilihan untuk organism yang sangat resisten jika organisme sensitive terhadap
antibiotic. Jika ada juga yang resisten terhadap kloramfenikol, vankomisin adalah obat
pilihan. Terapi untuk meningitis pneumokokus sensitive penisilin tidak terkomplikasi
harus diselesaikan dengan penisilin IV 300.000 U/kg/24 jam, diberikan setiap 4 - 6 jam
selama 10 - 14 hari. 14
16
Penisilin IV 300.000 U/kg/24 jam selama 5 - 7 hari merupakan pengobatan pilihan
untuk meningitis N. meningitides tidak terkomplikasi. Jarang isolat meningokokus
menunjukkan resistensi terhadap penisilin relative (0,25 - 0,5 g/ml) dan absolute (> 250
g/ml) dan organisme ini mungkin memerlukan terapi selingan. 14
Penderita yang mendapat antibiotic IV atau oral sebelum PL dan tidak mempunyai
pathogen yang dapat diketahui (pada pewarnaan gram, biakan, atau deteksi antigen) tetapi
mempunyai bukti infeksi bakteri akut atas dasar profil CSSnya harus terus mendapat
terapi dengan seftriakson atau sefotaksim selama 7-10 hari. Jika tanda-tanda setempat ada
atau anak tidak berespon terhadap pengobatan, focus parameningeal mungkin ada dan CT
scan harus dilakukan. 14
Efek samping terapi antibiotic meningitis adalah phlebitis, demam obat, ruam,
muntah, kandidiasis oral, dan diare. Seftrialson dapat menyebabkan pseudolithiasis
kandung empedu reversible, dapat dideteksi dengan USG abdomen. 14
Perawatan pendukung. Penilaian berulang medic dan neurologi penderita dengan
meningitis bakteri sangat penting untuk mengenali tanda-tanda awal komplikasi
kardiovaskuler, SSS, dan metabolik. Frekuensi nadi, tekanan darah, dan frekuensi
pernapasan harus sering dipantau. Penilaian neurologic, termasuk reflek pupil, tingkat
kesadaran, kekuatan motorik, tanda-tanda saraf cranial, dan evaluasi kejang, haru sering
dibuat Selma 71 jam pertama, bila resiko komplikasi neruologis besar. 14
Pengelolaan cairan merupakan hal yang sangat penting pada pesien meningitis.
Syndrome sekresi hormone antidiuretik yang tidak tepat (SIADH, syndrome of
inappropriate antidiuretic hormone secretion) terjadi pada sekitar 30% pasien meningitis,
dan jika ditemukan harus dilakukan pembatasan cairan. Pembatsan cairan secara tidak
tepat dapat menimbulkan deplesi volume, yang jika ekstrem dapat menuju pada
ketidakadekuatan volume sirkulasi. Sebaiknya cairan mula-mula dibatasi sementara
menunggu pemeriksaan elektrolit urin dan serum. Bila terdapat SIADH, pembatasan
cairan sampai dua pertiga cairan pemeliharaan merupakan tindakan yang tepat, sampai
kelebihan hormone antidiuretik pulih ; bila tidak terdapat SIADH, cairan harus diberikan
dalam jumlah yang sesuai dengan derajat kekurangan cairan, dan elektrolit diawasi secara
seksama. 15
KOMPLIKASI16
a. Ventrikulitis17
b. Efusi Subdural
c. Gangguan Cairan Elektrolit
d. Meningitis Berulang
e. Abses Otak
f. Paresis, Paralisis
g. Gangguan Pendengaran
h. Hydrochepalus
i. RM
j. Epilepsi
BAB III
PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada jenis bakteri nya, usia penderita, kecepatan pengobatan
efektif yang dilakukan, dan efisiensi pengobatan. Angka kematian berbeda-beda pada
berbagai kasus. Jika terjadi penyembuhan, biasanya sembuh sempurna, tapi biasanya
diiringi oleh gejala-gejala sisa.
PENCEGAHAN
Pencegahan meningitis saat ini terdiri atas 2 bentuk, kemoprofilaksis terhadap
individu rentan yang diketahui terpajan pada pasien yang mengidap penyakit serta
imunisasi aktif. Sekarang kemoprofilaksis diindikasikan untuk mencegah meningitis
sekunder yang disebabkan oleh H. influenzae dan N. meningitidis. 15
Imunisasi aktif pada H.influenzae telah menghasilkan pengurangan dramatis pada
penyakit invasive, dengan pengurangan sebanyak 70-85% pada meningitis akibat
organism tersebut. Saat ini imunisasi dianjurkan untuk bayi sebagai rangkaian imunisasi
tiga dosis pada usia 2, 4, dan 6 bulan. 15
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Penyakit Sistem Neurologis. In : Saputra L. Sinopsis Pediatri. Ed 1. Jakarta : Binapura
Aksara Publisher, 2007. H 345
2. Supartondo, Setiyohadi B. Anamnesis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h. 25-6.
3. Gray.H, Dawkins.K, Morgan.J, Simpson.I. Pengambilan Anamnesis Kardiovaskuler.
Lectures Notes Kardiologi. Edisi 4. Jakarta : Penerbitan Erlangga ; 2003. H. 1 – 2.
4. Setiyohadi B, Subekti I. Pemeriksaan Fisis Umum. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h. 29.
5. Pemeriksaan umum dalam buku diagnosis fisis pada anak ; Editor, Iskandar Wahidayat,
Corry S. Matondang, Sudigdo Sastrasmaro; Jakarta: Balai penerbit FKUI , 1991.
6. Tedjasukmana R. Pemeriksaan Fisik Neurologis. Modul Blok 22 : Neurlogy and
Behaviour. Jakarta : FK UKRIDA, 2010.
7. Lumbantobing SM. Kesadaran. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta :
Balai Penerbit FK UI, 2010. H 8 – 12.
8. Lumbantobing SM. Saraf Otak. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta :
Balai Penerbit FK UI, 2010. H 21 - 84.
9. Lumbantobing SM. Refleks. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta :
Balai Penerbit FK UI, 2010. H 135 - 49.
19
10. Lumbantobing SM. Sistem Motorik. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2010. H 107 - 8.
11. Lumbantobing SM. Rangsang Selaput Otak (Iritasi Meningeal). Neurologi Klinik
Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2010. H 107 - 8.
12. Kejang Demam. Modul Blok 22 : Neurlogy and Behaviour. Jakarta : FK UKRIDA, 2012.
13. http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview
14. Prober CG. Infeksi System Saraf Sentral. In : Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R,
Arvin AM. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Ed 15. Vol 2. Jakarta : EGC, 2000. H 872 – 80.
15. Tureen J. Meningitis. In : Rudolph A, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku Ajar Pediatri
Rudolph. Ed 20. Vol 1. Jakarta : EGC, 2006. H 610 - 4.
16. Meningitis Bakterial. Modul Blok 22 : Neurlogy and Behaviour. Jakarta : FK UKRIDA,
2012.
20