Makalah biogas
-
Upload
prima-fitria-hillman -
Category
Documents
-
view
66 -
download
4
description
Transcript of Makalah biogas
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelangkaan atau berkurangnya sumber bahan bakar fosil serta meningkatnya
permintaan, telah memicu para ilmuwan/peneliti untuk menemukan dan
mengembangkan sumber energi alternatif [1]. Salah satu energi alternatif adalah
biogas. Biogas merupakan campuran yang mudah terbakar yaitu 50-80% metana,
15-45% karbon dioksida, 5% air dan sejumlah H2, NH3 dan H2S, biasanya
dihasilkan dari fermentasi organik dalam kondisi anaerobik oleh campuran
populasi mikroorganisme [2]. Fermentasi anaerobik dari limbah pertanian, kota
dan industri memiliki nilai lingkungan yang lebih karena dapat menggabungkan
limbah buangan dengan pembentukan biogas kemudian residu padat atau cairnya
dapat digunakan sebagai pupuk .
Gas metana yang dihasilkan dari bahan baku yang berbeda telah diteliti, oleh
para peneliti dari berbagai negara sebagian sumber energi alternatif untuk tujuan
domestik dan industri seperti pembangkit energi mekanik, listrik, dan panas.
Pentingnya poduksi biogas dari sumber bahan pertanian juga telah banyak
diminati di berbagai negara [3].
Thailand adalah salah satu negara utama dunia pertanian dan sebagian besar
dari lahan yang dapat diairi dialokasikan untuk budidaya berbagai tanaman,
termasuk singkong. Pemerintah Thailand bermaksud untuk mempromosikan
penggunaan bioenergi dari etanol, biodiesel, biomassa dan biogas dan bahan bakar
alternatif dapat dibuat dari bahan baku yang murah dan berlimpah seperti
singkong, gula, beras, jagung dan kelapa sawit. Hasil rata-rata nasional untuk
singkong sekitar 22 ton per hektar yang lebih tinggi dari rata-rata dunia [3].
Sebuah studi sebelumnya digunakan umbi singkong sebagai bahan baku
ditambah dengan urea untuk produksi biogas dengan fermentasi fase tunggal dan
metana yang diperoleh 67.92% setelah fermentasi jangka waktu 30 hari [4].
Dalam penelitian ini, diteliti penggunaan umbi singkong sebagai bahan baku
produksi metana dengan memanfaatkan fermenasi dua-tahap. Sistem dua tahap
memisahkan hidrolisis dan organisme acidogenik, dan metanogen menjadi dua
1
reaktor terpisah. Karena nutrisi dan persyaratan pertumbuhan organisme
acidogenic dan metanogen mungkin berbeda, sistem dua tahap dapat dioperasikan
untuk memberikan kondisi yang optimal bagi mikroorganisme dalam setiap tahap
untuk efisiensi yang lebih besar dalam proses fermentasi.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian yang telah dilakukan oleh Pramote dkk ini bertujuan untuk meneliti
penggunaan umbi singkong sebagai bahan baku produksi metana dengan
memanfaatkan fermentasi dua tahap.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biogas
Biogas merupakan produk akhir dari proses dekomposisi anaerobik. Proses
ini dapat dibagi menjadi empat tahap yang berbeda. Pada setiap fase, berbagai
kerja mikroorganisme dan enzim saling berketergantungan.
Dalam langkah pertama, yang dikenal sebagai proses hidrolisis, hidrat karbon
dipecah menjadi gula sederhana, protein menjadi asam amino, dan lemak menjadi
asam lemak. Produk-produk dari hidrolisis menjalani proses acidogenic
(acidogenesis) di mana dihasilkan asam organik dan alkohol yang rendah. Proses
selanjutnya acetogenic (acetogenesis) mengarah ke produksi metana. Produk dari
proses acidogenic diubah menjadi asam asetat, karbon dioksida dan hidrogen,
yang merupakan senyawa yang dibutuhkan untuk proses metanogen
(metanogenesis) [5].
Pada umumnya biogas terdiri atas :
- gas metana (CH4) : 50 sampai 70 persen
- gas karbon dioksida (CO2) : 30 - 40 persen
- Hidrogen (H2) : 5 -10 persen
3
- gas-gas lainnya : dalam jumlah yang sedikit
Keuntungan pengembangan teknologi biogas :
- dapat mengurangi pencemaran udara, tanah, air dan biologis
- untuk pupuk : kompos dan pupuk cair [7]
2.2 Metana
Karakteristik Gas Metana (CH4)
- Biogas kira-kira memiliki berat 20 persen lebih ringan dibandingkan udara
dan memiliki suhu pembakaran antara 650 sampai 750oC.
- Biogas tidak berbau dan berwarna yang apabila dibakar akan menghasilkan
nyala api biru cerah seperti gas LPG.
- Nilai kalor gas metana adalah 20 MJ/ m3 dengan efisiensi pembakaran 60
persen pada konvesional kompor biogas [7].
2.3 Singkong
Gambar 1. Singkong
Singkong, yang juga dikenal sebagai ketela pohon atau ubi kayu, adalah
pohon tahunan tropika dan subtropika dari keluarga Euphorbiaceae. Umbinya
dikenal luas sebagai makanan pokok penghasil karbohidrat dan daunnya sebagai
sayuran.
Jenis singkong Manihot esculenta pertama kali dikenal di Amerika Selatan
kemudian dikembangkan pada masa pra-sejarah di Brasil dan Paraguay. Bentuk-
bentuk modern dari spesies yang telah dibudidayakan dapat ditemukan bertumbuh
liar di Brasil selatan. Meskipun spesies Manihot yang liar ada banyak, semua
varitas M. esculenta dapat dibudidayakan.
4
Produksi singkong dunia diperkirakan mencapai 184 juta ton pada tahun
2002. Sebagian besar produksi dihasilkan di Afrika 99,1 juta ton dan 33,2 juta ton
di Amerika Latin dan Kepulauan Karibia.
Singkong ditanam secara komersial di wilayah Indonesia (waktu itu Hindia
Belanda) pada sekitar tahun 1810, setelah sebelumnya diperkenalkan orang
Portugis pada abad ke-16 ke Nusantara dari Brasil.
Memiliki nama latin manihot utilissima. Merupakan umbi atau akar pohon
yang panjang dengan fisik rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm,
tergantung dari jenis singkong yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih
atau kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan simpan meskipun
ditempatkan di lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya
warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi
manusia.Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat namun
sangat miskin protein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daun
singkong karena mengandung asam amino metionin.
Singkong
Kerajaan: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Magnoliopsida
Ordo: Malpighiales
Famili: Euphorbiaceae
Upafamili: Crotonoideae
Bangsa: Manihoteae
Genus: Manihot
Spesies: M. esculenta
5
Nama binomial
Manihot esculenta
Crantz
2.4 Anaerobik digestion
Degradasi mikroba dari senyawa organik, tanpa adanya oksigen, untuk
membentuk biogas (campuran dari 50-70% metana, 30-50% CO2, sejumlah H2,
NH3 dan H2S. Pada anaerobic digestion ini terjadi rangkaian reaksi sebagai
berikut [2] :
Keuntungan dari proses anaerobik [2]:
1. Pemuatan (loading) tidak dibatasi oleh laju perpindahan oksigen.
2. Tidak dibatasi oleh tingginya biaya oksigen transfer.
3. Digunakan produk akhir dalam benuk gas metana.
4. Kurangnya produksi biologis solid per pound dari BODR.
5. Lahan yang dibutuhkan lebih kecil karena footprint yang ditinggalkan
lebih kecil.
Potensi dari anaerobic digestion [2]:
1. Pengurangan bau.
6
KARBON ORGANIK KOMPLEKS
HIDROLISIS
MONOMER DAN OLIGOMER
ACIDOGENESIS
ASAM ORGANIK
ACETOGENESIS
ASETAT – H2/CO2
METANOGENESIS
CH4
2. Produksi dari bahan bakar biogas.
3. Mengurangi polusi.
4. Dapat membentuk pupuk.
5. Meningkatkan manajemen limbah dan kebersihan.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada Anaerobik Digestion :
(a) Nilai pH
Produksi biogas secara optimum dapat dicapai bila nilai pH dari campuran
input didalam pencerna berada pada kisaran 6 dan 7. Pada tahap awal proses
fermentasi, asam organik dalam jumlah besar diproduksi oleh bakteri pembentuk
asam, pH dalam pencerna dapat mencapai dibawah 5. Keadaan ini cenderung
menghentikan proses pencernaan atau proses fermentasi. Bakteri-bakteri
metanogenik sangat peka terhadap pH dan tidak bertahan hidup dibawah pH 6.6.
Kemudian proses pencernaan berlangsung, konsentrasi NH4 bertambah
pencernaan nitrogen dapat meningkatkan nilai pH diatas 8. Ketika produksi
metana dalam kondisi stabil, kisaran nilai pH adalah 7,2 sampai 8,2.
(b) Suhu
Bakteri metanogen dalam keadaan tidak aktif pada kondisi suhu ekstrim
tinggi maupun rendah. Suhu optimum yaitu 35oC. Ketika suhu udara turun sampai
10oC produksi gas menjadi berhenti. Produksi gas sangat bagus yaitu pada kisaran
mesofilik, antara suhu 25oC dan 30oC. Penggunaan isolasi yang memadai pada
pencerna membantu produksi gas khususnya di daerah dingin.
(c) Laju Pengumpanan
Laju pengumpanan adalah jumlah bahan yang diumpankan kedalam pencerna
per unit kapasitas pencerna per hari. Pada umumnya, 6 kg kotoran sapi per m3
volume pencerna adalah direkomendasikan pada suatu jaringan pengolah kotoran
sapi. Apabila terjadi pengumpanan yang berlebihan, terjadi akumulasi asam dan
produksi metana akan terganggu. Sebaliknya bila pengumpanan kurang dari
kapasitas pencerna, produksi gas juga menjadi rendah.
(d) Waktu retensi dalam pencerna (digester)
7
Waktu retensi dalam pencerna adalah rerata periode waktu saat input masih
berada dalam pencerna dan proses pencernaan oleh bakteri metanogen. Dalam
jaringan pencerna dengan kotoran sapi, Waktu retensi dihitung dengan pembagian
volume total dari pencerna oleh volume input yang ditambah setiap hari. Waktu
retensi juga tergantung pada suhu, dan diatas 35oC atau suhu lebih tinggi, Waktu
retensi semakin singkat.
(e) Toxicitas
Ion mineral, logam berat dan detergen adalah beberapa material racun yang
mempengaruhi pertumbuhan normal bakteri patogen didalam reactor pencerna.
Ion mineral dalam jumlah kecil (sodium, potasium, kalsium, amonium dan
belerang) juga merangsang pertumbuhan bakteri, namun bila ion-ion ini dalam
konsentrasi yang tinggi akan berakibat meracuni. Sebagai contoh, NH4 pada
konsentrasi 50 hingga 200 mg/l merangsang pertumbuhan mikroba, namun bila
konsentrasinya diatas 1500 mg/l akan mengakibatkan keracunan.
Slurry atau residu dari input yang keluar dari lubang pengeluaran setelah
mengalami proses fermentasi oleh bakteri metana dalam kondisi anaerobik
didalam pencerna. Setelah ekstraksi biogas (energi), slurry keluar dari ruang
pencerna sebagai produk samping dari sistem pencernaan secara aerobik. Kondisi
ini, dapat dikatakan manur dalam keadaan stabil dan bebas pathogen serta dapat
dipergunakan untuk memperbaiki kesuburan tanah dan meningkatkan produksi
tanaman.
8
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
Alat :
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu biodigester sistem fermentasi
2 tahap, cawan porselen, neraca analitik, tanur, steam bath, desikator, oven suhu
103-105oC, stirrer magnet, dan pipet, pH meter, culture tube, labu ukur, oven,
Erlenmeyer, buret, sentrifuge, biogas meter,
Bahan :
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu singkong, kultur benih alami,
kultur benih KU (kultur campuran benih dari Kasetsart University (KU)
diperoleh dari Dr Pramote Sirirote, Departemen Mikrobiologi, Kasetsart
University, Bangkok, Thailand), H2O, Sampel campuran POME dan aktivator
sebanyak 25-30 ml, K2Cr2O7 anhidrous, H2SO4 pekat, HgSO4, Ag2SO4, 1,10-
phenantroline monohydrat, FeSO4.7H2O, FAS, NaOH 0,1N, indicator fenoftalein,
3.2 Metoda Penelitian
Pembuatan Kultur Benih Alami
500 g kotoran sapi kering (peternakan sapi di Provinsi Petchaburi, Thailand) dan
500 g lumpur (taman Raja Mongkut, Raja Mongkut Institut Teknologi
Ladkrabang, Bangkok, Thailand) dicampur dalam wadah plastik, ditambahkan 5,8
L air dan ditinggalkan pada suhu kamar untuk difermentasi selama 2 bulan.
Produksi Biogas
50 g singkong kering digiling, dibuat menjadi bubur dengan penambahan 200 Ml
air, dimasukkan ke dalam tangki asam. 3 L kultur benih alami diinokulasikan ke
dalam tangki metana. Setelah 13 hari masa fermentasi, 3 L kultur benih KU (10%)
diinokulasikan ke dalam tangki metana. Bubur singkong semi-kontinyu
dimasukkan setiap hari ke dalam tangki asam untuk memprtahankan volume kerja
tangki di 6 L dan 21 L. HRT tangki asam adalah 24 hari dan tangki metana 84
hari. Proses fermentasi dilakukan pada suhu ambient dengan rata-rata 33oC.
9
Analisis Sampel
- Pengukuran pH
pH sampel diukur dengan menggunakan pH meter (Ultra BASIC, USA)
sesuai dengan metoda AOAC .
- Pengukuran Chemical Oxygen Demand (COD)
Pengukuran COD didasarkan pada didasarkan pada metoda bikromat, 10
mL sampel (atau pengenceran dengan volume akhir 5 mL) dimasukkan ke
dalam culture tube. Buat blanko (akuades) dan standar KHP (0,6129 g
K2Cr2O7 anhidrous dilarutkan di dalam labu ukur hingga volumenya 250
mL), ditambahkan 3 mL larutan digest (5,1085 g K2CrO7+, 83,5 mL H2SO4
pekat, dan 4,1625 g HgSO4 dilarutkan denan akuades sampai 500 mL) dan
7 mL larutan katalis (5,0551 g Ag2SO4 ditambahkan ke dalam 500 mL atau
1,375 g Ag2SO4 ke dalam 0,25 kg H2SO4 pekat. Dibiarkan 1-2 hari untuk
melarutkan Ag2SO4), culture tube ditutup kemudian dikocok. Culture tube
dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 150oC selama 2 jam, setelah 2
jam culture tube didinginkan pada suhu ruangan. Sampel dituangkan ke
dalam Erlenmeyer, ditambahkan 3 tetes indikator ferroin (0,7425 g 1,10-
phenantroline monohydrat dan 0,3475 g FeSO4.7H2O dilarutkan dengan
akuades hingga volumenya 50 mL), titrasi dengan FAS (9,8035 g FAS
dilarutkan dengan 10 mL H2SO4, kemudian ditambahkan aquadest sampai
500 mL, distandarisasi dengan larutan standar primer K2Cr2O7 0,05 N)
sampai berubah warna dari hijau menjadi merah.
- Pengukuran Total Solid (TS)
Sampel diletakkan di dalam cawan porselen, dikeringkan dengan oven
pada suhu 103-105oC selama 24 jam, sampai berat kojstan (W1).
Dimasukkan dalam desikator, timbang dan catat pembacaan (W2). Sampel
dipanaskan selama 15-20 menit dalam muffle furnace dipertahankan pada
suhu 550 ± 50°C. Dinginkan sampel di udara sampai sebagian panas telah
hilang, dan kemudian pindahkan ke desikator untuk pendinginan akhir
dalam suasana kering dan catat berat akhir (W3). Konsentrasi tersebut akan
dihitung dalam persen berat.
10
- Pengukuran Volatil Solid (VS)
Disiapkan cawan porselen yang telah dibersihkan kemudian dikeringkan di
dalam oven bersuhu 103-105oC selama 1 jam. Porselen tersebut lalu
dimasukkan ke dalam desikator. Setelah beberapa saat, porselen ditimbang
dan didapatkan bobot porselen yang dilambangkan dengan (B). Sampel
sebanyak 25-30 ml dimasukkan ke dalam oven bersuhu 103-105oC selama
satu jam, lalu didinginkan menggunakan desikator hingga mencapai suhu
dan bobot seimbang. Bobot setelah desikator dilambangkan dengan (A).
Sampel (A) diambil dan dipanaskan dalam tanur dengan suhu 550oC
selama satu jam hingga seluruh bahan organik terabukan. Setelah itu,
sampel didinginkan menggunakan desikator hingga mencapai suhu dan
bobot seimbang.
- Pengukuran Volatil Fatty Acid (VFA)
VFA diukur berdasarkan pada APHA (1980). Sebanyak 100 mL contoh
disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama lima menit. Supernatan
yang diperoleh diambil sebanyak 50 mL atau diencerkan hingga 50 mL ke
dalam Erlenmeyer 250 mL, ditambahkan 50 mL akuades dan 5 mL asam
sulfat 50%, kemudian dikocok agar asam tidak mengendap di dasar
Erlenmeyer. Distilasi dilakukan selama 30 menit atau sampai diperoleh
distilat sebanyak 150 mL dan sebanyak 15 mL distilat pertama dibuang.
Distilat dititrasi dengan NaOH 0,1 N dengan indikator fenoftalein sampai
warna merah jambu. Faktor recovery (f) ditentukan dengan melakukan
distilasi dengan standar asam asetat.
- Pengukuran Volume Total Produksi dan Gas Metana
Volume total produksi gas diukur dengan penggantian volume air dalam
silinder gas holder. Produksi gas diukur setiap hari. Gas metana yang
terbentuk dideteksi dengan biogas meter.
BAB IV
11
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Berbagai parameter seperti pH, COD, TS, VS, VFA selama fermentasi
ditunjukkan pada Tabel 1-2.
Tabel 1 COD rata-rata dan nilai pH limbah setelah fermentasi dengan budaya benih alami selama 11 hari dan dengan budaya unggulan KU selama 31 hari.
Catatan: COD awal adalah 284.200 mg / L
Hari 0 diinokulasi dengan kultur benih alami
Hari 13 diinokulasi dengan kultur benih KU
Pada hari ke 11 kultivasi, tidak ada produksi gas ditemukan, tetapi dengan
penambahan kultur benih KU, produksi gas terdeteksi dimana nilai COD
berkurang dari 284.200 mg / L menjadi 29.400 dan 9.800 mg / L berturut-turut
pada hari 11 dan 31. Pada akhir fermentasi, rata-rata pengurangan COD adalah
86.21%.
Tabel 2 Produksi TS, VS dan VFA dalam tangki fermentasi.
Catatan: Tahapan penstabilan pada hari 23
Setelah tahap penstabilan pada hari 23 total padatan berkurang dari 82.320
mg/L menjadi 9.480 mg/L dan padatan volatil berkurang dari 79,343.33 mg/L ke
3,416.67 mg/L dan pengurangan rata-rata TS dan VS adalah 84,11 dan 92,44%,
masing-masingnya. Produksi VFA rata-rata adalah 5.745 mg / L.
Produksi maksimum biogas adalah 13,20 L / hari (Tabel 3)
Tabel 3 Produksi biogas dalam tangki fermentasi.
12
Catatan: Hari 1 berarti Hari 23 dalam sistem fermentasi
Pengukuran produksi metana dari biogas adalah 64,3% (Gambar 1).
Gambar 3 Pengukuran produksi metana oleh biogas meter.
4.2 Pembahasan
Menggunakan umbi singkong sebagai substrat dalam digester dua tahap, hasil
gas yang maksimum 13,20 L/hari dengan didapatkan kandungan metana 64,3%.
Bila dibandingkan dengan digester single stage, Anunputtikul dan Rodtong [7]
menemukan bahwa hasil biogas adalah 1,20 L/hari. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa ketika digester awalnya diumpankan, membentuk asam-asam yang
diproduksi bakteri cepat sehingga penurunan pH di bawah pH netral dan
mengurangi pertumbuhan bakteri metanogen dan metanogenesis. Untuk pH fasa
sistem single stage harus dipertahankan dengan menambahkan natrium bikarbonat
untuk meningkatkan kondisi alkalinitas dalam digester [4]. PH rata-rata antara
6,8-7,2 adalah optimum untuk produksi biogas [8]. Kadar metana yang rendah
sering terjadi karena sulfur dan kadar ammonia yang tinggi dalam komposisi
biogas, dosis udara desulfurisasi yang tinggi menyertai masukan bahan kasar [9].
13
Li et al. [10] menjelaskan bahwa ada hubungan erat antara menurunnya
kandungan bahan organik dan produksi biogas dan perubahan VS (pengurangan)
yang berhubungan erat dengan laju produksi gas. Fermentasi dengan sistem dua-
fase, pemisahan proses fermentasi ke fase pengasaman dan fase metanogenesis
menunjukkan stabilitas yang baik, terutama disebabkan oleh kapasitas buffer yang
kuat dengan dua-fase sistem.
14
BAB V
KESIMPULAN
Fermentasi dengan sistem dua fase dapat memberikan kondisi yang lebih
cocok untuk bakteri pembentuk asam dan bakteri pembentuk metana
dibandingkan fermentasi fase tunggal, sehingga meningkatkan aktivitas digester
secara keseluruhan. Umbi singkong mentah dapat digunakan sebagai sumber yang
baik untuk produksi biogas.
15