Makalah Benigna Prostat Hiperplasia

47
Makalah benigna prostat hiperplasia BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya dinyatakan sebagai pembesaran prostat jinak (PPJ), merupakan suatu penyakit yang biasa terjadi. Ini di lihat dari frekuensi terjadinya BPH di dunia, di Amerik secara umum dan di Indonesia secara khususnya. Di dunia, diperkirakan bilangan penderita BPH adalah seramai 30 juta, bilangan ini hanya pada kaum pria kerana wanita tidak mempunyai kalenjar prostat, maka oleh sebab itu, BPH terjadi hanya pada kaum pria (emedicine,2009). Jika dilihat secara epidemiologinya, di dunia, dan kita jaraskan menurut usia, maka dapat di lihat kadar insidensi BPH, pada usia 40-an, kemungkinan seseorang itu menderita penyakit ini adalah sebesar 40%, dan setelah meningkatnya usia, yakni dalam rentang usia 60 hingga 70 tahun, persentasenya meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkannya bisa sehingga 90% (A.K. Abbas, 2005). Akan tetapi, jika di lihat secara histologi penyakit BPH, secara umum membabitkan 20% pria pada usia 40-an, dan meningkat secara dramatis pada pria berusia 60-an, dan 90% pada usia 70 . Di indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak

description

BPH

Transcript of Makalah Benigna Prostat Hiperplasia

Makalah benigna prostat hiperplasia

BAB I

PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya dinyatakan sebagai

pembesaran prostat jinak (PPJ), merupakan suatu penyakit yang biasa terjadi. Ini di lihat dari

frekuensi terjadinya BPH di dunia, di Amerik secara umum dan di Indonesia secara

khususnya. Di dunia, diperkirakan bilangan penderita BPH adalah seramai 30 juta, bilangan

ini hanya pada kaum pria kerana wanita tidak mempunyai kalenjar prostat, maka oleh sebab

itu, BPH terjadi hanya pada kaum pria (emedicine,2009).

Jika dilihat secara epidemiologinya, di dunia, dan kita jaraskan menurut usia, maka

dapat di lihat kadar insidensi BPH, pada usia 40-an, kemungkinan seseorang itu menderita

penyakit ini adalah sebesar 40%, dan setelah meningkatnya usia, yakni dalam rentang usia 60

hingga 70 tahun, persentasenya meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun, persen untuk

mendapatkannya bisa sehingga 90% (A.K. Abbas, 2005). Akan tetapi, jika di lihat secara

histologi penyakit BPH, secara umum membabitkan 20% pria pada usia 40-an, dan

meningkat secara dramatis pada pria berusia 60-an, dan 90% pada usia 70 . Di indonesia,

penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih,

dan jika dilihat secara umumnya, diperkirakan hampir 50 persen pria Indonesia yang berusia

di atas 50 tahun, dengan kini usia harapan hidup mencapai 65 tahun ditemukan menderita

penyakit PPJ atau BPH ini. Selanjutnya, 5 persen pria Indonesia sudah masuk ke dalam

lingkungan usia di atas 60 tahun. Oleh itu, jika dilihat, dari 200 juta lebih bilangan rakyat

indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah pria, dan yang berusia 60 tahun dan ke

atas adalah kira-kira seramai 5 juta, maka dapat secara umumnya dinyatakan bahwa kira-kira

2.5 juta pria Indonesia menderita penyakit BPH atau PPJ ini. Indonesia kini semakin hari

semakin maju dan dengan berkembangnya sesebuah negara, maka usia harapan hidup pasti

bertambah dengan sarana yang makin maju dan selesa, maka kadar penderita BPH secara

pastinya turut meningkat. (Furqan, 2003) Secara pasti, bilangan penderita pembesaran prostat

jinak belum di dapat, tetapi secara prevalensi di RS, sebagai contoh jika kita lihat di

Palembang, di RS Cipto Mangunkusumo ditemukan 423 kasus pembesaran prostat jinak yang

dirawat selama tiga tahun (1994-1997) dan di RS Sumber Waras sebanyak 617 kasus dalam

periode yang sama (Ponco Birowo, 2002). Ini dapat menunjukkan bahawa kasus BPH adalah

antara kasus yang paling mudah dan banyak ditemukan. Kanker prostat, juga merupakan

salah satu penyakit prostat yang lazim berlaku dan lebih ganas berbanding BPH yang hanya

melibatkan pembesaran jinak daripada prostat. Kenyataan ini adalah berdasarkan bilangan

dan presentase terjadinya kanker prostat di dunia secara umum dan Indonesia secara

khususnya.

Secara umumnya, jika diperhatikan, di dunia, pada 2003, terdapat lebih kurang

220,900 kasus baru ditemukan, dimana, daripada jumlah ini, 29,000 daripadanya berada di

tahap membunuh (A.K. Abbas, 2005) . Seperti juga BPH, kanker prostat juga menyerang pria

berusia lebih dari 50 dan pada usia di bawah itu bukan merupakan suatu yang abnormal.

Secara khususnya di Indonesia, menurut (WHO,2008), untuk tahun 2005, insidensi terjadinya

kanker prostat adalah sebesar 12 orang setiap 100,000 orang, yakni yang keempat setelah

kanker saluran napas atas, saluran pencernaan dan hati . Setelah secara umum melihat dan

mengetahui akan epidemiologi dari kedua penyakit, yakni BPH dan kanker prostat, penulis

tertarik untuk mengetahui dengan lebih dalam lagi mengenai gambaran penyakit ini terutama

berdasarkan gambaran secara histopalogi memandangkan tiada penelitian khusus yang

setakat diketahui oleh penulis mengenainya dijalankan di Medan.

B.  RUMUSAN MASALAH

1.      Apa pengertian dari BPH ?

2.      Apa etiologi dari BPH ?

3.      Apa Klasifikasi dari BPH ?

4.      Apa Manifestasi klinis dar BPH ?

5.      Bagaiman Patifisiologi dari BPH ?

6.      Apa Pemeriksaan penunjang dari BPH ?

7.      Apa Penatalaksanaan medis dari BPH ?

8.      Apa saja Komplikasi dari BPH ?

9.      Bagaimana WOC pada BPH ?

10.  Bagaimana Konsep keperawatan pada BPH ?

C.  TUJUAN PENULISAN

1.      Untuk mengetahui pengertian dari BPH ?

2.      Untuk mengetahui etiologi dari BPH ?

3.      Untuk mengetahui klasifikasi dari BPH ?

4.      Untuk mengetahui manifestasi klinis dar BPH ?

5.      Untuk mengetahui bagaiman patifisiologi dari BPH ?

6.      Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari BPH ?

7.      Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dari BPH ?

8.      Untuk mengetahui apa saja komplikasi dari BPH ?

9.      Untuk mengetahui bagaimana WOC pada BPH ?

10.  Untuk mengetahui bagaimana Konsep keperawatan pada BPH ?

BAB II

PEMBAHASAN

A.  KONSEP TEORI

1.    DEFENISI

a.       Hiperplasia prostat adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia

kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi

prostat namun secara histologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,1994)

b.      BPH adalah pembesaran adenomatous dari kelenjar prostat, lebih dari setengahnya dan

orang yang usianya diatas 50 tahun dan 75 % pria yang usianya 70 tahun menderita

pembesaran prostat (C. Long, 1996 :331).

c.       Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.

Price&Wilson (2005)

d.      Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum

pada pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan

aliran urinarius. (Doenges, 1999)

e.       BPH adalah suatu keadaan dimana kelenjar prostat mengalami pembesaran,

memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutupi

orifisium uretra (Brunner and Suddart, 2001)

f.       BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas

kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra.

(Smeltzer dan Bare, 2002)

Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang

disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas

kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra.

2.    ETIOLOGI

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya

BPH, namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan

kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada

prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang,

akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka

kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90

tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011)

Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesis yang diduga menjadi

penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo (2011) meliputi :

1.      Teori Dehidrotestosteron (DHT)

Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan

sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi

dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostad merupakan factor terjadinya penetrasi DHT

kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan

terjadinya sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai

penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada

prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfa –reduktase dan jumlah reseptor

androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih

sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan

prostat normal.

2.      Teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)

Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron sedangkan kadar estrogen

relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone relative

meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi

sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan

menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya

sel-sel baru akibat rangsangan testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada

mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.

3.      Faktor interaksi stroma dan epitel-epitel

Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel

stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah sel-sel stroma

mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth

factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta

mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel

epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (BFGF) dapat menstimulasi sel

stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran

prostad jinak. BFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau

infeksi.

4.      Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)

Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk

mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan

fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh

sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal,

terdapat keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi

pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru

dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan

prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan

menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.

5.      Teori sel stem.

Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam kelenjar prostat

istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi

sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen,

sehingga jika hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya

poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga

terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

3.    KLASIFIKASI

Menurut Rumahorbo (2000), terdapat empat derajat pembesaran kelenjar prostat yaitu

sebagai berikut :

1.      Derajat Rektal

Derajat rektal dipergunakan sebagai ukuran dari pembesaran kelenjar prostat ke arah rektum.

Rectal toucher dikatakan normal jika batas atas teraba konsistensi elastis, dapat digerakan,

tidak ada nyeri bila ditekan dan permukaannya rata. Tetapi rectal toucher pada hipertropi

prostat di dapatkan batas atas teraba menonjol lebih dari 1 cm dan berat prostat diatas 35

gram.Ukuran dari pembesaran kelenjar prostat dapat menentukan derajat rectal yaitu sebagai

berikut :

1). Derajat O : Ukuran pembesaran prostat 0-1 cm

2). Derajat I : Ukuran pembesaran prostat 1-2 cm

3). Derajat II : Ukuran pembesaran prostat 2-3 cm

4). Derajat III : Ukuran pembesaran prostat 3-4 cm

5). Derajat IV : Ukuran pembesaran prostat lebih dari 4 cm

2.      Derajat Klinik

Derajat klinik berdasarkan kepada residual urine yang terjadi. Klien disuruh BAK sampai

selesai dan puas, kemudian dilakukan katerisasi. Urine yang keluar dari kateter disebut sisa

urine atau residual urine. Residual urine dibagi beberapa derajat yaitu sebagai berikut :

1). Normal sisa urine adalah nol

2). Derajat I sisa urine 0-50 ml

3). Derajat II sisa urine 50-100 ml

4). Derajat III sisa urine 100-150 ml

5). Derajat IV telah terjadi retensi total atau klien tidak dapat BAK sama sekali. Bila kandung

kemih telah penuh dan klien merasa kesakitan, maka urine akan keluar secara menetes dan

periodik, hal ini disebut Over Flow Incontinencia. Pada derajat ini telah terdapat sisa urine

sehingga dapat terjadi infeksi atau cystitis, nocturia semakin bertambah dan kadang-kadang

terjadi hematuria.

3.      Derajat Intra Vesikal

Derajat ini dapat ditentukan dengan mempergunakan foto rontgen atau cystogram,

panendoscopy. Bila lobus medialis melewati muara uretra, berarti telah sampai pada stadium

tida derajat intra vesikal. Gejala yang timbul pada stadium ini adalah sisa urine sudah

mencapai 50-150 ml, kemungkinan terjadi infeksi semakin hebat ditandai dengan

peningkatan suhu tubuh, menggigil dan nyeri di daerah pinggang serta kemungkinan telah

terjadi pyelitis dan trabekulasi bertambah.

4.      Derajat Intra Uretral

Derajat ini dapat ditentukan dengan menggunakan panendoscopy untuk melihat sampai

seberapa jauh lobus lateralis menonjol keluar lumen uretra. Pada stadium ini telah terjadi

retensio urine total.

4.    MANIFESTASI KLINIS

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan

diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu :

keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala

di luar saluran kemih.

1.      Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung

kemih sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi),

pancaran, miksi lemah. Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi

tidak puas (menetes setelah miksi)

b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin

miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).

2.      Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas berupa adanya gejala

obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis),

atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.

3.      Gejala diluar saluran kemih

Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau

hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada

saan miksi sehingga mengakibatkan tekanan intra abdominal. Adapun

gejala dan tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan

prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan,

keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada

epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan

volume residual yang besar.

Tahapan Perkembangan Penyakit BPH

Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De jong (2005) secara

klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :

1.      Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur

ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan

sisa urin kurang dari 50 ml

2.      Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur

dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50-

100 ml.

3.      Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas

prostat tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari

100ml.

4.      Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total

5.    PATOFISIOLOGI

Hiperplasia prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk

dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang

terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik

terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-

beda. Proses pembesaran prostad terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada

saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan.

Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-buli dan

daerah prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul

sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut,

maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi

untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa

mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang

statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk

2007).

Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran

urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing terputus-putus

(intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai

berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya

mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa

vesika urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval

disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien

mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih /disuria

( Purnomo, 2011).

Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi,akan terjadi

inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter,

hidronefrosis dan gagalginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada

waktumiksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkanhernia atau

hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapatmenyebabkan terbentuknya batu endapan

didalam kandung kemih. Batuini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan

hematuria. Batutersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan

mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).

6.    PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Penunjang Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007)

pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita BPH meliputi :

1.      Laboratorium

a.    Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk melihat adanya

sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk menegtahui kuman

penyebab infeksi dan sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba.

b.    Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang

menegenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit kadar ureum dan kreatinin darah merupakan

informasi dasar dari fungsin ginjal dan status metabolic.

c.    Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya

biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA <4ng/ml tidak perlu dilakukan

biopsy. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah prostate specific antigen density

(PSAD) lebih besar sama dengan 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsy prostat, demikian

pula bila nila PSA > 10 ng/ml.

2.      Radiologis/pencitraan

a.    Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di saluran

kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh dengan urin

sebagai tanda adanya retensi urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda

metastasis dari keganasan prostat, serta osteoporosis akbibat kegagalan ginjal.

b.    Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP ), untuk mengetahui kemungkinan adanya

kelainan pada ginjal maupun ureter yang berupa hidroureter atau hidronefrosis. Dan

memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat

(pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter dibagian distal yang berbentuk seperti

mata kail (hooked fish)/gambaran ureter berbelok-belok di vesika, penyulit yang terjadi pada

buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli-buli.

c.    Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat, memeriksa masa

ginjal, menentukan jumlah residual urine, menentukan volum buli-buli, mengukur sisa urin

dan batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli, dan mencari kelainan yang mungkin ada

dalam buli-buli.

.

7.    PENATALAKSANAAN MEDIS

1.    Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung

pada stadium-stadium dari gambaran klinis

a.    Stadium I

Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan

konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin.

Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi

proses hiperplasia prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk

pemakaian lama.

b.    Stadium II

Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan

reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra).

c.    Stadium III

Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah

cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan

pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik

dan perineal.

d.   Stadium IV

Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total

dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut

untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan

terbuka.

Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan

pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat

penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat

anti androgen yang menekan produksi LH.

2.    Terapi medikamentosa

Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH

adalah :

a.       Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk mengurangi

tekanan pada uretra

b.      Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa blocker

(penghambat alfa adrenergenik)

c.       Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/

dehidrotestosteron (DHT).

Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo

(2011) diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase,

fitofarmaka

1.      Penghambat adrenergenik alfa

Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin,terazosin,afluzosin atau yang lebih

selektif alfa (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4

mg/hari. Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat mengurangi

obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-

reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan

kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah prostat. Obat-obat golongan ini dapat

memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan menurunkan tekanan pada

uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya

pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah ia mulai memakai

obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di hidung dan lemah. Ada

obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari seperti

antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan, obatobat ini mempunyai efek pada

otot kandung kemih dan sfingter uretra.

2.      Pengahambat enzim 5 alfa reduktase

Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari. Obat golongan ini

dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil.

Namun obat ini bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas

pada prostat yang besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru

menunjukkan perbaikan sedikit 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan bila

dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek

samping dari obat ini diantaranya adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.

3.      Fitofarmaka/fitoterapi

Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya misalnya

pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus. Efeknya diharapkan terjadi setelah

pemberian selama 1- 2 bulan dapat memperkecil volum prostat.

8.    KOMPLIKASI

Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :

1.      Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi

2.      Infeksi saluran kemih

3.      Involusi kontraksi kandung kemih

4.      Refluk kandung kemih.

5.      Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka

pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan mengakibatkan

tekanan intravesika meningkat.

6.      Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi

7.      Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu

endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula

menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.

8.      Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi

pasien harus mengedan.

9.    WOC

B.  KONSEP KEPERAWATAN

1.    PENGKAJIAN

1.      Identitas

BPH merupakan pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria

lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan

pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 ). Hiperplasia prostat atau BPH

adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hyperplasia

beberapa atau semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra pars

prostatika (Muttaqin : 2012).

2.      Keluhan Utama

Merupakan keluhan yang paling dirasakan oleh klien sehingga ia mencari pertolongan.

Keluhan yang diungkapkan klien pada umumnya yaitu adanya rasa nyeri. Disuria yaitu nyeri

pada waktu kencing. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai

dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu

beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam

uretra prostatika.

3.      Riwayat Penyakit Sekarang

Hal- hal yang perlu dikaji adalah mulai kapan keluhan dirasakan, lokasi keluhan, intensitas,

lamanya atau frekuensi, faktor yang memperberat atau memperingan serangan, serta keluhan-

keluhan lain yang menyertai dan upaya- upaya yang telah dilakukan.

4.      Riwayat Personal dan Keluarga

Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang pernah

menderita penyakit BPH atau tidak.

5.      Riwayat Pengobatan

Apakah klien pernah menggunakan obat- obatan. Yang perlu dikaji perawat yaitu: Kapan

pengobatan dimulai, Dosis dan frekuensi,Waktu berakhirnya minum obat

6.      Pemeriksaan Fisik

a.    Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi

dapatmeningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok

pada retensi urin serta urosepsis sampai syok.

b.   Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui adanya

hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan

menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi.

Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin.

1)      Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra,

batu uretra, karsinoma maupun fimosis.

2)      Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis.

3)      Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi

sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat

diketahui derajat dari BPH, yaitu :

Derajat I = beratnya 20 gram.

Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.

Derajat III = beratnya 40 gram.

2.    DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan yang timbul adalah :

Pre Operasi :

1.      Retensi urin berhubungan dengan obstruksi uretra sekunder dari pembesaran prostat,

dekompensasi otot destrusor dan ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi secara

adekuat.

2.      Kecemasan atau ancietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau

menghadapi prosedur bedah

Post Operasi

1.Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada post operasi.

3.    RENCANA KEPERAWATAN

Pre Operasi

1.Retensi urin berhubungan dengan obstruksi uretra sekunder dari pembesaran prostat,

dekompensasi otot destrusor dan ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi secara

adekuat.

Tujuan : Setelah di lakukan asuhan keperawatan dalam waktu 3x24 jam pola eliminasi

optimal sesuai kondisi klien

Kriteria hasil : Frekuensi miksi dalam batas 5-8x/jam, tidak teraba distensi kandung kemih.

INTERVENSI RASIONAL

1.Dorong pasien untuk berkemih

tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba

dirasakan.

2.Observasi aliran urin perhatian

ukuran dan kekuatan pancaran urin.

3.Awasi dan catat waktu serta

jumlah setiap kali berkemih.

4.Berikan cairan sampai 3000 ml

sehari dalam toleransi jantung.

5.Berkolaborasi dalam pemberia

obat sesuai indikasi (antispamodik)

1.   Meminimalkan retensi urina

distensi berlebihan pada

kandung kemih.

2.   Untuk mengevaluasi

ibstruksi dan pilihan intervensi.

3.   Retensi urine meningkatkan

tekanan dalam saluran

perkemihan yang dapat

mempengaruhi fungsi ginjal.

4.   Peningkatkan aliran cairan

meningkatkan perfusi ginjal

serta membersihkan

ginjal ,kandung kemih dari

pertumbuhan bakteri.

5.   Mengurangi spasme

kandung kemih dan

mempercepat penyembuhan

2.      Kecemasan/ ancietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi

prosedur bedah.

Tujuan : Setelah di lakukan asuhan keperawatan dalam waktu 1x24 jam kecemasan klien

berkurang.

Kriteria hasil

Klien menyatakan kecemasan berkurang, mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi

penyebab atau faktor yang memengaruhinya, kooperatif terhadap tindakan, wajah tenang.

INTERVENSI RASIONAL

1. Dampingi klien dan bina

hubungan saling percaya.

2.Memberikan informasi tentang

prosedur tindakan yang akan

dilakukan.

3.Dorong pasien atau orang terdekat

untuk menyatakan masalah atau

perasaan.

4.Beri lingkungan yang tenang dan

suasana istirahat.

1.Menunjukkan perhatian,

hubungan saling percaya dapat

membantu klien kooperatif

terhadap tindakan medis.

2.Membantu pasien dalam

memahami tujuan dari suatu

tindakan.

3.Memberikan kesempatan pada

pasien dan konsep solusi

pemecahan masalah.

4.Mengurangi rangsangan

eksternal yang tidak perlu.

Post Operasi

1.      Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada post

operasi.

Tujuan: Setelah di lakukan asuhan keperawatan dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang atau

hilang.

Kriteria hasil : Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang, Ekspresi wajah klien tenang, TTV

dalam batas normal (TD: 120/80 mmHg, RR:16-24 x/mnt,N:80-100x/mnt,T:36’C)

INTERVENSI RASIONAL

1.      Kaji nyeri dengan pendekatan

PQRST.

2.      Jelaskan dan bantu klien

dengan tindakan pereda nyeri non

farmakologi dan non-infasif.

3.      Lakukan manajemen nyeri

keperawatan

a.       Atur posisi fisiologi

1.Menjadi parameter dasar

untuk mengetahui sejauh mana

intervensi yang diperlukan dan

sebagai evaluasi keberhasilan

dari intervensi manajemen nyeri

keperawatan.

2.Pendekatan dengan

menggunakan relaksasi dan

nonfarmalogi lainnya telah

menunjukkan Keefektifan

dalam mengurangi nyeri.

3.Dengan manajemen nyeri

dapat mengurangi nyeri.

a.       Posisi fisiologi akan

meningkatkan asupan O2 ke

jaringan yang mengalami

iskemia.

b.      Istirahat akan menurunkan

kebutuhan O2 jaringan perifer

dan meningkatkan suplai darah

pada jaringan yang mengalami

b.      Istirahatkan klien

c.       Manajemen lingkungan :

ciptakan suasana yang nyaman.

d.      Ajarkan tehnik relaksasi

pernapasan dalam

e.       Tingkatkan pengetahuan

tentang nyeri dan menghubungkan

berapa lama nyeri akan

berlangsung.

f.       Ajarkan teknik distraksi pada

saat nyeri.

peradangan.

c.       Lingkungan yang nyaman

akan menurunkan stimulasi

eksternal.

d.      Meningkatkan asupan O2

sehingga akan menurunkan

nyeri.

e.       Pengetahuan yang akan

dirasakan membantu

mengurangi nyeri dan dapat

mengembangkan kepatuhan

klien terhadap recana terapiutik.

f.       Distraksi dapat

menurunkan stimulus iinternal

dengan mekanisme peningkatan

produksi endorphin dan

enkefalin yang dapat memblok

reseptor nyeri untuk tidak

dikirimkan ke korteks serebri

sehingga menurunkan persepsi

nyeri.

4.      Analgesik memblok

lintasan nyeri sehingga nyeri

akan berkurang.

4.      Kolaborasi

Pemberian obat analgesic

BAB III

ANALISA KASUS

Bp. C (60 tahun) mengeluhkan susah buang air kecil sejak 7 hari yang lalu. Klien

mengatakan sakit saat akan buang air kecil. Sejak kemarin, klien benar-benar sudah tidak bisa

keluar urin. Setelah dilakukan pemeriksaan, adanya pembesaran pada prostat klien.

Ds :

1.      Bp. C (60 tahun) mengeluhkan susah buang air kecil sejak 7 hari yang lalu.

2.      Klien mengatakan sakit saat akan buang air kecil.

3.      Sejak kemarin, klien benar-benar sudah tidak bisa keluar urin.

Do :

1.      Setelah dilakukan pemeriksaan, adanya pembesaran pada prostat klien.

Dari data subjektif dan objektif dapat di tarik kesimpulan bahwa klien mengalami

BPH, di mana BPH itu sendiri adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran

memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara

menutupi orifisium uretra. Dan manifestasi dari BPH adalah Keluhan pada saluran

kemih bagian bawah Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih

sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran, miksi lemah.

Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi)

Gejala diluar saluran kemih Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia

inguinalis atau hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada

saan miksi sehingga mengakibatkan tekanan intra abdominal. Adapun gejala dan tanda lain

yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan

tidak nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik,

dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual yang besar.

Diagnosa Medis : BPH

A.  PENGKAJIAN

1.    Biodata

a.    Nama : Tn. C

b.    Umur : 60 Tahun

c.    Alamat : Jalan merdeka, no. 99 Nganjuk

d.   Jenis kelamin : Laki-laki

e.    Pekerjaan : Kuli bangunan

f.     Pendidikan : SMP

g.    No. Reg : 18. 22. 12. 98

2.    Riwayat penyakit dahulu

Pasien mengatakan memiliki riwayat penyakit hipertensi

3.    Riwayat penyakit sekarang

Pasien mengatakan nyeri saat BAK dan kesulitan untuk BAK selama 7 hari.

4.    Keluhan utama

Px mengatakan susah BAK dan terasa nyeri saat berkemih

5.    Pemeriksaan Fisik

TTV: TD:150/100mmHg N:100x/mnt RR:24x/mnt T:36°C

1.      B-1 (pernafasan)

Ø  suara nafas vesikuler

Ø  RR: 24x/menit

Ø  Tidak ada pernafasan cuping hidung

Ø  Tidak menggunakan oksigenasi

2.      B-2 (kardiovaskuler)

Ø  CRT< 3 detik

Ø  150/100mmHg

Ø  Irama jantung S1 dan S2 normal

Ø  Nyeri dada (-)

Ø  Oedema (-)

3.      B-3 (persyarafan)

Ø  Kesadaran: Composmetis

Ø  GCS : E: 4 V: 5 M: 6 total: 15

Ø  Sklera putih

Ø  Konjungtiva merah muda.

Ø  Pupil isokor

Ø  Anemia

Ø  Ansietas

4.      B-4 (perkemihan)

Ø  Input 1800cc/24jam

Ø  Disuria

Ø  Distensi kandung kemih

Ø  Pembesaran prostat.

Ø  Warna urine kuning tua, bau khas.

Ø  Menggunakan Kateter

5.      B-5 (pencernaan)

Ø  mulut kotor

Ø  mukosa kering

Ø  anoreksia

Ø  mual muntah

Ø  peristaltik 6x/menit

Ø  BAB 1x/sehari, konsistensi lunak

6.      B-6 (tulang-otot-integumen)

Ø  KU lemah

Ø  Kekuatan 5 5

5 5

Ø  Warna kulit pigmentasi

Ø  Akral hangat

Ø  Turgor kulit cukup

Ø  Sakit pinggang

6.    Analisa Data

Data Etiologi Masalah

DS: pasien mengatakan

susah BAK.

DO:

Ø Input 1800cc/24jam

Ø Disuria

Ø Distensi kandung kemih

BPH

Pembesaran kelenjar

prostat

Disuria

Retensi urin

Ø Pembesaran prostat.

Ø Warna urine kuning tua,

bau khas.

Retensi urin

DS: pasien mengatakan

nyeri saat BAK.

DO:

Ø Ekspresi wajah px

nampak menyeringai.

Ø Ansietas

Ø KU lemah

TTV: TD:150/100mmHg

N:100x/mnt RR:24x/mnt

T:36°C

Hormon androgen

BPH

Peningkatan tonus dan otot

polos prostat

Uretra menyempit

Merangsang pengeluaran

histamin keratinin,

bradikinin dan

prostaglandin

Hipotalamus

Korteks serebal

Nyeri dipersepsikan

Nyeri

7.    DIAGNOSA

1.      Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat,

dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan

adekuat.

2.      Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung

kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran prostat dan

obstruksi uretra.

8.    INTERVENSI

1.      Retensi urin berhubungan dengan obstruksi uretra sekunder dari pembesaran prostat,

dekompensasi otot destrusor dan ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi secara

adekuat.

Tujuan : Setelah di lakukan asuhan keperawatan dalam waktu 3x24 jam pola eliminasi

optimal sesuai kondisi klien

Kriteria hasil : Frekuensi miksi dalam batas 5-8x/jam, tidak teraba distensi kandung kemih.

INTERVENSI RASIONAL

1.Dorong pasien untuk berkemih

tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba

dirasakan.

2.Observasi aliran urin perhatian

ukuran dan kekuatan pancaran urin.

3.Awasi dan catat waktu serta

jumlah setiap kali berkemih.

1.Meminimalkan retensi urina

distensi berlebihan pada

kandung kemih.

2.Untuk mengevaluasi ibstruksi

dan pilihan intervensi.

3.   Retensi urine meningkatkan

tekanan dalam saluran

perkemihan yang dapat

mempengaruhi fungsi ginjal.

4.Berikan cairan sampai 3000 ml

sehari dalam toleransi jantung.

5.Berkolaborasi dalam pemberia

obat sesuai indikasi (antispamodik)

4.   Peningkatkan aliran cairan

meningkatkan perfusi ginjal

serta membersihkan

ginjal ,kandung kemih dari

pertumbuhan bakteri.

5.   Mengurangi spasme

kandung kemih dan

mempercepat penyembuhan

2.      Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung

kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran prostat dan

obstruksi uretra

Tujuan: Setelah di lakukan asuhan keperawatan dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang atau

hilang.

Kriteria hasil : Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang, Ekspresi wajah klien tenang, TTV

dalam batas normal (TD: 120/80 mmHg, RR:16-24 x/mnt,N:80-100x/mnt,T:36’C)

INTERVENSI RASIONAL

1.    Kaji nyeri dengan pendekatan

PQRST.

1.    Menjadi parameter dasar

untuk mengetahui sejauh mana

intervensi yang diperlukan dan

sebagai evaluasi keberhasilan

dari intervensi manajemen nyeri

keperawatan.

2.    Pendekatan dengan

menggunakan relaksasi dan

nonfarmalogi lainnya telah

2.    Jelaskan dan bantu klien

dengan tindakan pereda nyeri non

farmakologi dan non-infasif.

3.    Lakukan manajemen nyeri

keperawatan

a.    Atur posisi fisiologi

b.   Istirahatkan klien

c.    Manajemen lingkungan :

ciptakan suasana yang nyaman.

d.   Ajarkan tehnik relaksasi

pernapasan dalam

menunjukkan Keefektifan

dalam mengurangi nyeri.

3.    Dengan manajemen nyeri

dapat mengurangi nyeri.

a.    Posisi fisiologi akan

meningkatkan asupan O2 ke

jaringan yang mengalami

iskemia.

b.    Istirahat akan menurunkan

kebutuhan O2 jaringan perifer

dan meningkatkan suplai darah

pada jaringan yang mengalami

peradangan.

c.    Lingkungan yang nyaman

akan menurunkan stimulasi

eksternal.

d.   Meningkatkan asupan O2

sehingga akan menurunkan

nyeri.

e.    Pengetahuan yang akan

dirasakan membantu

mengurangi nyeri dan dapat

mengembangkan kepatuhan

klien terhadap recana terapiutik.

f.     Distraksi dapat

menurunkan stimulus iinternal

dengan mekanisme peningkatan

e.    Tingkatkan pengetahuan

tentang nyeri dan menghubungkan

berapa lama nyeri akan

berlangsung.

f.       Ajarkan teknik distraksi pada

saat nyeri.

4.      Kolaborasi

Pemberian obat analgesic

produksi endorphin dan

enkefalin yang dapat memblok

reseptor nyeri untuk tidak

dikirimkan ke korteks serebri

sehingga menurunkan persepsi

nyeri.

4. Analgesik memblok lintasan

nyeri sehingga nyeri akan

berkurang.

BAB IV

PENUTUP

A.  KESIMPULAN

BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh

faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung

kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra.

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya

BPH, namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan

kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada

prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang,

akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka

kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90

tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011)