Makalah Bedah2 - Sonya

41
TUGAS TUGAS DOKTER MUDA DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL SELAMA BERTUGAS DI BAGIAN BEDAH SONYA SELLY HERMAWATI NIM 2009.04.0.0097 Pembimbing : dr. Bambang Arianto, Sp.B SMF BEDAH RSU HAJI SURABAYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH

description

bedah

Transcript of Makalah Bedah2 - Sonya

TUGAS

TUGAS DOKTER MUDA DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL SELAMA BERTUGAS DI BAGIAN BEDAH

SONYA SELLY HERMAWATINIM 2009.04.0.0097Pembimbing :

dr. Bambang Arianto, Sp.B

SMF BEDAH RSU HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH

SURABAYA

2015

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan dan kematian di dunia. Salah satu jenis infeksi adalah infeksi nosokomial. Infeksi ini menyebabkan 1,4 juta kematian setiap hari di seluruh dunia. Pasien yang datang ke tempat pelayanan kesehatan, khususnya di Indonesia, sebagian besar merupakan penderita penyakit infeksi, sehingga tidak mengherankan bila tempat pelayanan kesehatan pada umumnya dan rumah sakitpada khususnya adalah lingkungan yang sangat berpotensi bahaya dalam halpenularan penyakit infeksi. Infeksi nosokomial (Hospital Acquired Infection/ Nosokomial infection) adalah infeksi yang didapatkan ketika penderita itu mendapatkan perawatan di rumah sakit. Rumah sakit menjadi tempat jujukan pasien dalam rangka mencari kesembuhan, namun rumah sakit juga merupakan sumber berbagai macam penyakit yang berasal dari penderita maupun dari pengunjung yang berstatus karier. Kuman penyakit ini dapat hidup dan berkembang di lingkungan rumah sakit, seperti udara, air, lantai, makanan dan benda-benda medis maupun non medis.

Infeksi nosokomial sendiri menjadi masalah kesehatan sejak ratusan tahun yang lalu. Perhatian terhadap infeki nosokomial telah ada sejak tahun 1840-an di mana Ignaz Semmelweiz memperhatikan tingginya angka kematian pada ruangan persalinan yang ditangani oleh mahasiswa kedokteran disbanding dengan ruangan yang ditangani bidan. Ia menduga bahwa ini terjadi akibat infeksi yang dibawa olah mahasiswa dari ruang otopsi. oleh karena itu ia meminta agar para dokter dan mahasiswa mencuci tangan dulu dengan lautan klorina sebelum memeriksa pasien di ruangan. Ternyata setelah itu angka kematin menurun tajam.

Infeksi nosokomial menjadi salah satu penyebab kematian terbanyak dewasa ini dan telah banyak perkembangan yang dibuat guna mencari penyabab meningkatnya angka kejadian infeksi nosokomial. Data WHO pada tahun 2002 menyebutkan angka terjadinya infeksi nosokomial diseluruh dunia sebesar 8,7 prosen atau sejumlah 1,4 juta jiwa pasien mendapat infeksi nosokomial ketika dirawat di rumah sakit.

Infeksi nosokomial di rumah sakit yang sering terjadi pada penderita memberikan dampak kerugian yang besar. Infeksi rumah sakit yang terjadi padapenderita umumnya akan menyebabkan penyakit yang lebih parah dan membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh. Hal ini disebabkan karena daya tahan tubuh dan status gizi penderita yang jelek, disamping kenyataan bahwa sebagian besar penyebab adalah bakteri komensal yang sudah kebal terhadap antibiotik. Ini akan menyebabkan waktu perawatan yang lama atau kematian penderita, sehingga morbiditas dan mortilitas di rumah sakit meningkat dan ini akan menurunkan mutu rumah sakit yangbersangkutan. Rumah sakit juga akan merugi karena masa perawatan penderita menjadi lebih panjang sehingga hunian rumah sakit rendah. Perusahaan atau orang yang menanggung biaya perawatan penderita merugi karena kehilangan waktunya yang produktif selama di rawatdi rumah sakit.

Mengingat hal di atas, sudah saatnya untuk melakukan tindakan-tindakan pengendalian infeksi nosokomial di tempat-tempat pelayanan kesehatanpada umumnya dan di rumah sakit pada khususnya. Kewaspadaan universal merupakan salah satu pengendalian infeksi rumah sakit yang oleh Departemen Kesehatan telah dikembangkan sejak tahun 1980-an melalui program di Sub Direktorat Isolasi di bawah Direktorat Epidemiologi Dan Imunisasi Ditjen P3M saat itu. Maka untuk hal tersebut dibutuhkan gambaran atau karakteristik dari infeksinosokomial itu sendiri.

Peran dokter muda dalam mencegah infeksi nosokomial sangat penting mengingat dokter muda berinteraksi langsung dengan pasien dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari termasuk tindakan medis. Upaya yang dapat dilakukan dalam mencegah infeksi nosokomial oleh dokter muda yakni dengan menerapkan universal precaution dalam semua tindakan, imunisasi guna meningkatkan kekebalan tubuh, alat perlindungan diri dalam bekerja, profesionalisme dalam bekerja, menerapkan tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan disinfektan dengan benar serta managemen setelah terpapar sumber infeksi.BAB 2TINJAUAN PUSTAKAINFEKSI NOSOKOMIAL2.1 Definisi

Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang terjadi di rumah sakit pada seseorangbaik saat dia sakit atau sedang berobat karena sesuatu penyakit sedangkan pada saat ke rumah sakit tersebut penderita tidak dalam masa inkubasi penyakit itu. Gejala yang sering dijumpai adalah demam yang disebut demam rumah sakit (hospital fever)padahal sebelumnya tidak menderita demam. Pada bangsal selain demam sering pula dijumpai gejala batuk. Menurut CDC (Center for Disease Control and Prevention) infeksi nosokomial adalah Infeksi yang didapatkan di rumah sakit dan terjadi setelah 48 jam perawatan di rumah sakit, atas dasar gejala klinis maupun laboratorium danpada penderita tidak ditemukan tanda-tanda infeksi atau masa inkubasi dari penyakit yang bersangkutan, pada saat penderita mulai dirawat.

Suatu infeksi dapat disebut infeksi nosokomial bila memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Apabila pada waktu dirawat di RS, tidak dijumpai tanda-tanda klinik infeksi tersebut.

2. Pada waktu penderita mulai dirawat tidak dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut.

3. Tanda-tanda infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya 3 x 24 jam sejak mulai dirawat.

4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya.

5. Bila pada saat mulai dirawat di RS sudah ada tanda-tanda infeksi, tetapi terbukti bahwa infeksi didapat penderita pada waktu

2.2 EpidemiologiDi Indonesia masalah infeksi nosokomial juga merupakan masalah yang cukup serius. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wardana dan Acang pada tahun 1989 mendapatkan hasil observasi infeksi nosokomial insidensi infeksi nosokomial 18,46%pada pasien yang di rawat penyakit dala RSUP M. Jamil, Padang. Pada penelitian lainpada tahun yang sama di RS Hasan Sadikin Bandung, didapatkan insidensi infeksi nosokomial 17,24% sedangkan di RSUD dr. Sutomo adalah sebesar 9,85%.Pada negara maju kejadian infeksi ini diperkirakan 5 % dan angka ini makin tinggi di negara-negara berkembang.. Suatu penelitian yang yang dilakukan oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan adanya infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10,0%. Walaupun ilmupengetahuan dan penelitian tentang mikrobiologi meningkat pesat pada 3 dekade terakhir dan sedikit demi sedikit resiko infeksi dapat dicegah, tetapi semakin meningkatnya pasien-pasien dengan penyakit immunocompromise, bakteri yang resisten antibiotik, super infeksi virus dan jamur, dan prosedur invasif, masih menyebabkan infeksi nosokomial menimbulkan kematian sebanyak 88.000 kasus setiap tahunnya.Pada penelitian yang dilakukanNational Infection Surveillance (NNIS) dan Center Disease Control and Prevention didapatkan 5 sampai 6 kasus infeksi nosokomial dari setiap 100 kunjungan ke rumah sakit.. Pada beberapa penyakit yang berat, infeksi nosokomial meningkatkan angka kematian menjadi 2 kali lipat.

The Journals of Infections Control Nursing sebagaimana yang ditulis olehNancy Roper (1996) mengadakan survei prevalensi pada 43 rumah sakit di Inggris yang menunjukkan bahwa kira-kira 20% pasien rumah sakit terkena infeksi dan darijumlah tersebut kurang lebih 10% adalah dari infeksi komunitas, yang sudah ada padasaat pasien masuk rumah sakit, serta 10% lagi adalah infeksi nosokomial. Lokasi danpresentasi infeksi yaitu : (1) saluran kemih (30%), (2) luka operasi (20%), (3) saluranpernafasan (20%), (4) luka lain (30%)

Infeksi nosokomial paling sering melibatkan saluran kencing dan pada umumnya menyertai manipulasi urologis, termasuk penggunaan kateter tetap saluran kencing. Beberapa infeksi nosokomial saluran kencing mengakibatkan bakteriemia kecuali pada adanya obstruksi. Walaupun wanita lebih sering terinfeksi, tetapi pada laki-laki tua lebih sering terjadi bakteriemia.Kontaminasi bisa terjadi pada setiap titik dan sistem intra-venous. Misalnya,risiko terjadinya kontaminasi bisa bertambah pada penambahan obat ke dalam botol intra-venous, suntikan ke dalain selang. Pemasangan manometer dan alat-alat lain,saat penggantian botol, dan pengambilan spesimen dan sistem intravenous. Cairan intravenous juga bisa terkontaminasi dengan masuknya udara yang tidak difilterkedalam botol infus. Hal ini bila vakum dan botol pecah waktu set dipasang dan udara masuk kedalam botol selama infus berjalan.

2.3 Etiologi

Infeksi nosokomial dapat berupa epidemik maupun endemik walaupun kuman-kuman penyebabnya mungkin sama ialah Staphylococcus aureus, Enterococcus, E.coli, Pseudomonas, Proteus, Klebsiella, Enterobacter, Serratia, Salmonella, dan Streptococcus pyogenes. Berdasarkan penelitian, kuman penyebab infeksi nosokomialdan waktu kewaktu selalu berubah. Sebelum perang dunia ke II, pada tahun 1940-anpenyebab utama infeksi nosokomial adalah golongan Streptococcus, setelah perang dunia ke II pada tahun 1950-an setelah digunakannya antibiotik pinisillin secara luaspenyebab utama infeksi nosokomial adalah golongan Staphylococcus.

2.3.1. BakteriBakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang sehat.Keberadaan bakteri disini sangat penting dalam melindungi tubuh dari datangnyabakteri patogen. Tetapi pada beberapa kasus dapat menyebabkan infeksi jika manusia tersebut mempunyai toleransi yang rendah terhadap mikroorganisme. ContohnyaEscherichia coli paling banyak dijumpai sebagai penyebab infeksi saluran kemih. Bakteri patogen lebih berbahaya dan menyebabkan infeksi baik secara sporadikmaupun endemik. Contohnya : Anaerobik Gram-positif, Clostridium yang dapat menyebabkan gangrene. Penyebab terbanyak dari infeksi Gram positif adalah MRSA (Methisilin Resisten Staphylokokus Aureus). Bakteri gram-positif Staphylococcus aureus yang menjadi parasit di kulit dan hidung dapat menyebabkan gangguan pada paru, tulang, jantung dan infeksipembuluh darah serta seringkali telah resisten terhadap antibiotika.Bakteri gram negatif:Enterobacteriacae, contohnya Escherichia coli, Proteus,Klebsiella, Enterobacter, Pseudomonas sering sekali ditemukan di air danpenampungan air yang menyebabkan infeksi di saluran pencernaan dan pasienyang dirawat. Bakteri gram negatif ini bertanggung jawab sekitar setengah dari semua infeksi rumah sakit.

2.3.2 Virus

Banyak kemungkinan infeksi nosokomial disebabkan oleh berbagai macam virus,termasuk virus hepatitis B dan C dengan media penularan dari transfusi, dialisis, suntikan dan endoskopi.

Respiratory syncytial virus (RSV), rotavirus, dan enterovirus yang ditularkan dari kontak tangan ke mulut atau melalui rute faecal-oral. Hepatitisdan HIV ditularkan melalui pemakaian jarum suntik, dan transfusi darah. Rutepenularan untuk virus sama seperti mikroorganisme lainnya. Infeksi gastrointestinal,infeksi traktus respiratorius, penyakit kulit dan dari darah. Virus lain yang sering menyebabkan infeksi nosokomial adalah cytomegalovirus, Ebola, influenza virus,herpes simplex virus, dan varicella-zoster virus, juga dapat ditularkan.2.3.3. Parasit dan JamurBeberapa parasit seperti Giardia lamblia dapat menular dengan mudah ke orangdewasa maupun anak-anak. Banyak jamur dan parasit dapat timbul selama pemberianobat antibiotika bakteri dan obat immunosupresan, contohnya infeksi dari Candidaalbicans, Aspergillus spp, Cryptococcus neoformans, Cryptosporidium.

2.4 Faktor Predisposisi Infeksi Nosokomial2.4.1 Faktor EndogenDalam keadaan normal, tubuh manusia dihuni oleh mikroba komensal yang tidak berbahaya bagi yang bersangkutan, malah membantu misalnya dalam mencegah infeksi dan bakteri patogen karena dihasilkannya zat-zat tertentu oleh bakteri komensal yang berbahaya bagi mikroba lain.

Namun bila dilakukan tindakan invasif, misalnya pada pemasangan pipa endotrakeal, infus, kateter, dan lain-lain, maka bisa terjadi kerusakan pertahanantubuh setempat pada mukosa, sehingga memungkinkan invasi mikroorganisme kedalam jaringan. Dengan menggunakan alat yang tidak steril, maka mikroba komensalbisa dipindahkan ke lokasi yang bukan habitat normal mikroba tersebut (translokasi),sehingga mikroba yang bersangkutan bisa berubah menjadi patogen. Mikroba yang demikian dikenal sebagai mikroba yang opportunistik patogen. 2.4.2 Faktor PenderitaUsia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh terhadap infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita penyakit kronis seperti tumor, anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, SLE dan AIDS. Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan toleransi tubuh terhadap infeksi dari kuman yang semula bersifat opportunistik. Obat-obatan yang bersifat immunosupresif dapat menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Banyaknya prosedur pemeriksaanpenunjang dan terapi seperti biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakanpembedahan juga meningkatkan resiko infeksi. Penderita yang masuk ke rumah sakit adalah orang-orang yang umumnya sudah lama sakit, sehingga mempunyai daya tahan tubuh yang rendah, gizi yang jelek dan dengan usia tua, yang semuanya merupakan faktor yang dapat lebih mempermudah terjadinya infeksi. Pengobatan steroid atau terapi imunologis, juga merupakan faktoryang dapat mempermudah infeksi.2.4.3 Faktor Rumah SakitRumah sakit adalah tempat yang banyak dihuni oleh banyak mikroba patogen,yang dapat dipindahkan dan seorang penderita ke penderita yang lain oleh tindakanpetugas di rumah sakit. Di rumah sakit banyak dilakukan tindakan medis yang menggunakan alat yang dapat merupakan vechile bagi mikroba untuk memasuki tubuh manusia.

Manajemen rumah sakit merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap kejadian infeksi nosokomial. Persediaan peralatan medis, keterampilan dokter dan perawat dan asuhan keperawatan adalah sebagian faktor pencetus terjadinya infeksi nosokomial. Karena itu angka kejadian infeksi nosokomial di saturumah sakit dapat dijadikan salah satu tolak ukur untuk melihat pelayanan di rumah sakit tersebut.2.4.4 Faktor AntibiotikaSeiring dengan penemuan dan penggunaan antibiotika penicillin antara tahun1950-1970, banyak penyakit yang serius dan fatal ketika itu dapat diterapi dan disembuhkan. Bagaimana pun juga, keberhasilan ini menyebabkan penggunaanberlebihan dan penyalahgunaan dari antibiotika. Banyak mikroorganisme yang kini menjadi lebih resisten. Meningkatnya resistensi bakteri dapat meningkatkan angka mortalitas terutama terhadap pasien yang immunocompromise. Resistensi dari bakteridi transmisikan antar pasien dan faktor resistensinya di pindahkan antara bakteri. Penggunaan antibiotika yang terus-menerus ini justru meningkatkan multipikasi danpenyebaran strain yang resistan. Penyebab utamanya karena : Penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak terkontrol, dosis antibiotika yang tidak optimal, terapi danpengobatan menggunakan antibiotika yang terlalu singkat,

Kesalahan diagnosa. Banyaknya pasien yang mendapat obat antibiotika dan perubahan dari gen yang resisten terhadap antibiotika, mengakibatkan timbulnya multi resistensi kuman terhadap obat obatan tersebut. Penggunaan antibiotika secara besar-besaranuntuk terapi dan profilaksis adalah faktor utama terjadinya resistensi. Banyak strains daripneumococci,staphylococci, enterococci, dan tuberculosis telah resisten terhadapbanyak antibiotika, begitu juga klebsiella dan Peudomonas aeruginosa juga telah bersifat multiresisten. Keadaan ini sangat nyata terjadi terutama di negara-negaraberkembang dimana antibiotika lini kedua belum ada atau tidak tersedia. Infeksi nosokomial sangat mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas di rumah sakit,dan menjadi sangat penting karena : meningkatnya jumlah penderita yang dirawat, seringnya imunitas tubuh melemah karena sakit, pengobatan atau umur, mikororganisme yang baru (mutasi) dan meningkatnya resistensi bakteri terhadap antibiotika.

2.5 Cara penularan dan Model Transmisi2.5.1 Penularan secara kontak

Penularan ini dapat terjadi secara kontak langsung, kontak tidak langsung dan droplet. Kontak langsung terjadi bila sumber infeksi berhubungan langsung dengan penjamu, misalnya person to person pada penularan infeksi virus hepatitis A secara fecal oral. Kontak tidak langsung terjadi apabila penularan membutuhkan objek perantara (biasanya benda mati). Hal ini terjadi karena benda mati tersebut telah terkontaminasi oleh infeksi, misalnya kontaminasi peralatan medis oleh mikroorganisme.

2.5.2 Penularan melalui Common Vehicle Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh kuman dan dapat menyebabkan penyakit pada lebih dari satu penjamu. Adapun jenis-jenis common vehicle adalah darah/produk darah, cairan intra vena, obat-obatan dan sebagainya.

2.5.3 Penularan melalui udara dan inhalasiPenularan ini terjadi bila mikroorganisme mempunyai ukuran yang sangat kecil sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang cukup jauh dan melalui saluran pernafasan. Misalnya mikroorganisme yang terdapat dalam sel-sel kulit yang terlepas (staphylococcus) dan tuberculosis.

2.5.4 Penularan dengan perantara vektor

Penularan ini dapat terjadi secara eksternal maupun internal. Disebut penularan secara eksternal bila hanya terjadi pemindahan secara mekanis dari mikroorganisme yang menempel pada tubuh vektor, misalnya shigella dan salmonella oleh lalat.

Penularan secara internal bila mikroorganisme masuk ke dalam tubuh vektor dan dapat terjadi perubahan secara biologis, misalnya parasit malaria dalam nyamuk atau tidak mengalami perubahan biologis, misalnya yersenia pestis pada ginjal (flea).

Berdasarkan kajian terhadap cara transmisi mikroba, maka mayoritas infeksi nosokomial ini adalah tipe infeksi endogenous (autoinfeksi) yang merupakan translokasi mikroba mukokutan ke tempat predileksi infeksi, dengan frekuensi 80 % dan kejadian infeksi nosokomial. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap model transmisi ini di antaranya faktor umur (neonatus, geriatri), penyakit dasar yang meliputi kegagalan organ (diabetes, gagal ginjal, sirosis), status imun yang tidak adekuat (malnutrisi, terapi imunosupresi, AIDS) defek barier mukokutan (trauma, endoskopi), serta mendapatkan terapi invasif (operasi, ventilasi mekanik, protesa).

Model transmisi kedua adalah infeksi eksogenous (20%) yang berarti infeksiberasal dari luar tubuh pasien. Reservoar dapat dari tenaga kesehatan yang melayanipasien (health care worker), pasien lain, lingkungan rumah sakit, atau dari alat kesehatan yang terkontaminasi dan tenaga kesehatan ke pasien atau sebaliknya (infeksi silang) paling sering terjadi (10-20%) yang disebabkan karena budaya kerja yang tidak memenuhi syarat aseptik dan sterilitas.

2.6 Berbagai penyakit yang ditimbulkan infeksi nosokomial 2.6.1 Infeksi saluran kemih

Prevalensi kejadian sekitar 40% dari infeksi nosokomial, 80% infeksinya dihubungkan dengan penggunaan kateter urin. Walaupun tidak terlalu berbahaya, tetapi dapat menyebabkan terjadinya bakteremia dan mengakibatkan kematian. Organisme yang bisa menginfeksi biasanya E.Coli, Klebsiella, Proteus, Pseudomonas, atau Enterococcus. Infeksi yang terjadi lebih awal lebih disebabkan karena mikroorganisme endogen, sedangkan infeksi yang terjadi setelah beberapa waktu yang lama biasanya karena mikroorganisme eksogen.

Sangat sulit untuk dapat mencegah penyebaran mikroorganisme sepanjang uretra yang melekat dengan permukaan dari kateter. Kebanyakan pasien akan terinfeksi setelah 1-2 minggu pemasangan kateter. Penyebab paling utama adalah kontaminasi tangan atau sarung tangan ketika pemasangan kateter, atau air yang digunakan untuk membesarkan balon kateter. Dapat juga karena sterilisasi yang gagal dan teknik septik dan aseptik.2.6.2 Pneumonia NosokomialPneumonia nosokomial dapat muncul, terutama pasien yang menggunakan ventilator, tindakan trakeostomi, intubasi, pemasangan NGT, dan terapi inhalasi. Kuman penyebab infeksi ini tersering berasal dari gram negatif seperti Klebsiella, dan Pseudomonas. Organisme ini sering berada di mulut, hidung, kerongkongan, dan perut. Keberadaan organisme ini dapat menyebabkan infeksi karena adanya aspirasi oleh organisme ke traktus respiratorius bagian bawah. Dari kelompok virus dapat disebabkan oleh cytomegalovirus, influenza virus, adeno virus, para influenza virus, enterovirus dan corona virus.

Faktor resiko terjadinya infeksi pneumonia ini adalah tipe dan jenis pernapasan, riwayat merokok, tidak sterilnya alat-alat bantu, obesitas, beratnya kondisi pasien dan kegagalan organ, tingkat penggunaan antibiotika, penggunaan ventilator dan intubasi dan penurunan kesadaran pasien.

2.6.3TuberkulosisPenyebab utama adalah adanya strain bakteri yang multi-drugs resisten. Kontrol terpenting untuk penyakit ini adalah identifikasi yang baik, isolasi, dan pengobatan serta tekanan negatif dalam ruangan.

2.6.4 Gastroenteritis Mikroorganisme tersering berasal dari E.coli, Salmonella, Vibrio Cholerae dan Clostridium. Selain itu, dari gologan virus lebih banyak disebabkan oleh golongan enterovirus, adenovirus, rotavirus, dan hepatitis A. Bedakan antara diarrhea dan gastroenteritis. Faktor resiko dari gastroenteritis nosokomial dapat dibagi menjadi faktorintrinsik dan faktor ekstrinsik.

Faktor intrinsik meliuti abnormalitas dari pertahanan mukosa, seperti achlorhydria, lemahnya motilitas intestinal, dan perubahan pada flora normal. Sedangkan faktor ekstrinsik meliputi tindakan medis yang diberikan seperti pemasangan nasogastrictube dan obat-obatan saluran cerna.

2.6.5Infeksi Kulit dan Jaringan Lunak. Luka terbuka seperti ulkus, bekas terbakar, dan luka bekas operasi memperbesarkemungkinan terinfeksi bakteri dan berakibat terjadinya infeksi sistemik. Dari golongan virus yaitu herpes simplek, varicella zooster, dan rubella. Organisme yang menginfeksi akan berbeda pada tiap populasi karena perbedaan pelayanan kesehatan yang diberikan, perbedaan fasilitas yang dimiliki dan perbedaan negara yang didiami.

2.6.6Infeksi lainnya

Infeksi mata, telinga, hidung, dan mulut

Konjunctivitis, infeksi mata, otitis eksterna, otitis media, otitis interna,mastoiditis, sinusitis, dan infeksi saluran nafas atas.

Infeksi pada saluran pencernaan

Gastroenteritis, hepatitis, necrotizing enterocolitis, infeksi intra abdominal

Infeksi sistem pernafasan bawah

Bronkhitis, trakeobronkhitis, trakeitis, dan infeksi lainnya Tulang dan Sendi

Osteomielitis, infeksi tulang atau sendi dan discus vertebralis

Infeksi sistem Kardiovaskuler

Infeksi arteri atau vena, endokarditis,miokarditis, perikarditis dan mediastinitis

Infeksi sistem saraf pusat

Meningitis atau ventrikulitis, absess spinal dan infeksi intra kranial Infeksi pada sistem reproduksiEndometriosis dan luka bekas episiotomy.2.7 Diagnosis Infeksi NosokomialDiagnostik pada umumnya hanya berdasar pada gejala klinik, sedangkan diagnosis etiologi lebih sukarditetapkan karena terbatasnya sarana dalam dana untuk menegakan diagnosis infeksinosokomial tersebut. Diagnosis klinik pada umumnya diduga ditegakkan bila sebelumnya penderita tidak sedang dalam masa inkubasi penyakit tersebut. Sebelumnya tidak pernah kontak dengan penyakit tersebut. Masa inkubasi penyakit tersebut lebih pendek dan masa rawat penderita di rumah sakit.

Kriteria diagnosis infeksi nosokomial.

Infeksi sistem saraf pusat : manifestasinya berupa nyeri kepala, kejang, demam (> 38o C), defisit neurologis, dan penurunan kesadaran. Hasil kultur dari jaringan otak atau dura positif, pemeriksaan antigen pada darah atau urin positif,didapatkan hasil terdapat infeksi dari pemeriksaan radiologi (CT-Scan, dan MRI).

Infeski saluran napas : manifestasinya berupa batuk, nyeri dada, dan sputum menjadi purulen, foto thorax berubah. Infeksi saluran cerna : Manifestasinya berupa diare akut (feses cair lebih dari 12jam) dengan atau tanpa muntah atau demam (> 38o C), dan kultur kuman positif. Infeksi Hepar : manifestasinya berupa demam (> 38o C), mual, muntah, nyeriabdomen, ikterus, riwayat transfusi 3 bulan yang lalu. Kriterianya harus memiliki minimal 2 gejala di atas. Hasil lab antigen atau antibodi hepatitis A,B,C, atau Dpositif , peningkatan fungsi hati. Infeksi bekas luka operasi : manifestasinya berupa pus pada luka insisi. Infeksi dialami jika terjadi 30 hari setelah operasi. Infeski saluran napas : manifestasinya berupa batuk, nyeri dada, dan sputum menjadi purulen, foto thorax berubah.

Infeksi sistemik: manifestasinya berupa gejala sepsis seperti demam (> 38 derajat C atau < 36,5 derajat C), hipotensi, bradikardi, oligouri, hasil kultur darah tidakmenunjukkan kuman yang spesifik.

Infeksi saluran kemih : manifestasinya demam (> 38 derajat C), nyeri suprapubik,urgensi, frekuensi, dan kultur urin positif dengan jumlah kuman 10 per cm atau jenis kuman pada urin tidak lebih dari dua. Infeksi kulit : manifestasinya berupa adanya pus, vesikel, atau bulla pada kulit, yang dengan atau tanpa disertai nyeri, oedema, merah, dan panas. Dapat jugaberupa ulkus dekubitus. Hasil lab dapat menunjukkan kultur darah positif, antigen dari kultur jaringan atau darah seperti herpes simpleks, varicella zoosterpositif. Infeksi luka infus : terdapat phlebitis

2.8 Pengendalian Infeksi NosokomialUntuk meniadakan perkembangan infeksi pada penderita yang sedang dirawat di rumah sakit perlu diperhatikan beberapa hal yang pokok. Pokok-pokok danpenanganan infeksi nosokomial dapat dikelompokkan dalam beberapa butir sebagaikewaspadaan universal.Kewaspadaan universal adalah suatu konsep penanggulangan infeksi dimana strategi pelaksanaannya dititikberatkan pada pengendalian penyeberangan infeksi yang terjadi melalui darah dan cairan tubuh secara universal tanpa memandang status infeksi dan pasien. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh sangat potensial menularkan penyakit, baik yang berasal dari pasien maupun petugas kesehatan. Prinsip utama Prosedur Kewaspadaan Universal kesehatan adalah menjaga higiene sanitasi individu, higiene sanitasi ruangan dan sterilisasi peralatan. Ketigapninsip tersebut dijabarkan menjadi kegiatan pokok yaitu:

1. Cuci tangan

Cuci tangan guna mencegah infeksi silang. Tiga cara cuci tangan yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan yaitu: Cuci tangan higienik atau rutin: dilakukan dengan air mengalir dan sabun antiseptik. Cuci tangan mengurangi kotoran dan flora yang ada ditangan. Cuci tangan rutin sebelum bekerja dimaksudkan untuk melindungipenderita, sedangkan cuci tangan setelah bekerja disamping untuk melindungipenderita lain, juga untuk melindungi diri petugas sendiri dari infeksi.

Cuci tangan aseptik: sebelum tindakan aseptik pada pasien denganmenggunakan antiseptik atau setelah tangan kontak dengan darah atau duh tubuh penderita. Dilakukan dengan air mengalir dan sabun antiseptik,kemudian larutan savlon, dan alkohol 70 %, atau antiseptik yang lain.

Cuci tangan bedah : disamping tangan dicuci dengan sabun, antiseptik dan air, maka harus dilakukan penyikatan kulit tangan minimal 15 menit untukmenghilangkan sebanyak mungkin bakteri penghuni pori-pori kulit. Cuci tangan ini dilakukan sebelum melakukan tindakan bedah.

Gambar 2.1. Teknik Cuci Tangan

2. Pemakalan alat pelindung.Pada waktu bekerja harus selalu dijaga agar bagian tubuh petugas tidak kontakdengan cairan tubuh penderita. Hal ini bisa dilakukan dengan memakai alat pelindung pada waktu melakukan pelayanan atau tidakan medis yang memungkinkan terjadinya kontak antara tubuh petugas dengan darah atau duh tubuh lain. Alat pelindung yang digunakan berupa : sarung tangan, pelindung wajah atau masker atau kaca mata penutup kepala, gaun pelindung (baju kerja atau celemek), sepatu pelindung. Baju kerja, gaun operasi, jas praktikum atau celemek, yang dipakai sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan. Pada keadaan dimana ada kemungkinan cairan tubuh bisa mencemari kaki, maka harus digunakan sepatu yang tertutup.

3. Pengelolaan alat kesehatanPenatalaksanaan peralatan dilakukan melalui 4 tahapan yaitu: dekontaminasi,pencucian, sterilisasi atau DTT, dan penyimpanan.

Dekontaminasi adalah tindakan yang dilakukan untuk mematikan semua virus dan sebagian besar untuk vegetatif bakteri. Semua barang dan alat yang terkontaminasi dengan cairan tubuh penderita, sebelum dicuci harus didekontaminasi dulu dengan merendamnya dalam cairan klorin 0,5-5 % selama 5-30 menit. Dengan merendam dalam cairan klorin 5 %, maka semua virus sudah dimatikan dalam 5 menit. Dekontaminasi ini terutama bertujuan untuk melindungi petugas dan kemungkinan tertularinfeksi.Pencucian alat, setelah dekontaminasi dilakukan pembersihan yang merupakan langkah penting yang harus dilakukan. Tanpa pembersihan yang memadai maka pada umumnya proses disinfeksi atau sterilisasi selanjutnya menjadi tidak efektif. Kotoran yang tertinggal dapat mempengaruhi fungsinya atau menyebabkan reaksi pirogen bila masuk ke dalam tubuh pasien. Pada pencucian digunakan deterjen dan air. Pencucian harus dilakukan dengan teliti sehingga darah atau cairan tubuh lain, janingan, bahan organik dan kotoran betul-betul hilang dari permukaan alat tersebut, Peralatan yang sudahbersih dibilas dan dikeringkan dahulu sebelum diproses lebih lanjut.

Gambar 2.2 Pencucian dan Sterilisasi Alat MedisPenyimpanan alat kesehatan, penyimpanan yang baik sama pentingnya dengan proses sterilisasi atau disinfeksi itu sendini. Ada dua macam alat dilihat dan cara penyimpanannya, yakni alat yang dibungkus dan yang tidakdibungkus. Alat yang dibungkus, umur steril (shelf life) selama peralatan masih terbungkus, semua alat steril dianggaptetap steriltergantung ada atau tidaknya kontaminasi. Alat yang tidak dibungkus harus digunakan segera setelah dikeluarkan. Alat yang tersimpan pada wadah steril dan tertutup apabila yakin tetap steril paling lama untuk 1 minggu, tetapi kalau ragu-ragu harus disterilkan kembali.

Sterilisasi adalah tindakan yang dilakukan untuk mematikan semua bentukmikroorganisme. Cara sterilisasi yang balk untuk alat medis dan logam adalah dengan panas basah diatas 100C (autoclave), dan yang dan karet atau plastiksebaiknya disterilkan dengan sinar ultraviolet.

4. Pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah perlukaanBenda tajam sangat beresiko untuk menyebabkan perlukaan sehingga meringkatkan terjadinya penularan penyakit melalui kontak darah. Tidak dianjurkan melakukan daur ulang atas pertimbangan penghematan karena 17 % kecelakaan kerja disebabkan oleh luka tusukan sebelum atau selama pemakaian, 70 % terjadi sesudah pemakaian dan sebelum pembuangan serta 13 % sesudah pembuangan. Hampir 40 % kecelakaan ini dapat dicegah dan kebanyakan kecelakaan kerja akibat melakukan penyarungan jarum suntik setelah penggunanya.

Risiko kecelakaan sering terjadi pada saat memindahkan alat tajam dan satu orang ke orang lain, oleh karena itu tidak dianjurkan menyerahkan alat tajam secara langsung, melainkan menggunakan teknik tanpa sentuh (hands free) yaitu menggunakan nampan atau alat perantara dan membiarkan petugas mengambil sendiri dari tempatnya, terutama pada prosedur bedah. Risiko perlukaan dapat ditekan dengan mengupayakan situasi kerja dimana petugas kesehatan mendapatkan pandangan bebas tanpa halangan, dengan cara meletakkan pasienpada posisi yang mudah dilihat dan mengatur sumber pencahayaan yang baik. Pada dasarnya adalah menjalankan prosedur kerja yang lege artis, seperti padapenggunaan forcep ataupinset saat mengerjakan penjahitan.

Kecelakaan yang sering terjadi pada prosedur penyuntikan adalah pada saat petugas berusaha memasukkan kembali jarum suntik bekas pakai kedalam tutupnya. Oleh karena itu sangat tidak dianjurkan untuk menutup kembali jarum suntik tersebut melainkan langsung saja dibuang ketempat penampungan sementaranya, tanpa menyentuh atau memanipulasi bagian tajamnya seperti dibengkokkan, dipatahkan atau ditutup kembali. Jika jarum terpaksa ditutup kembali (recapping), gunakanlah cara penutupan jarum dengan satu tangan (single handed recapping methode) untuk mencegah jari tertusuk jarum.

Sebelum dibawa ke tempat pembuangan akhir atau tempat pemusnahan, maka diperlukan satu wadah penampungan sementara yang bersifat kedap air dan tidak mudah bocor serta kedap tusukan. Wadah penampungan janim suntik bekaspakai harus dapat dipergunakan dengan satu tangan, agar pada waktu memasukkan jarum tidak usah memeganginya dengan tangan yang lain. Wadah tersebut ditutup dan di ganti setelah seluruh bagian terisi dengan limbah, dan setelah ditutup tidak dapat dibuka kembali sehingga isi tidak tumpah. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari perlukaan pada pengelolaan sampah selanjutnya.Limbah tajam ditangani bersama limbah medis. Wadah benda tajam merupakan limbah medis dan harus dimasukkan kedalam kantong medis sebelum insinerasi. Idealnya semua benda tajam dapat diinsinerasi, tetapi bila tidak mungkin dapat dikubur dan dikaporisasi bersama limbah lain. Apapun metode yang akan digunakan haruslah tidak memberikan kemungkinan perlukaan benda tajam.

Gambar 2.3 Pengelolaan Limbah Medis5. Ruangan IsolasiPenyebaran dari infeksi nosokomial juga dapat dicegah dengan membuat suatu pemisahan pasien. Ruang isolasi sangat diperlukan terutama untuk penyakit yang penularannya melalui udara, contohnya tuberkulosis, dan SARS, yang mengakibatkan kontaminasi berat. Penularan yang melibatkan virus, contohnya DHF dan HIV. Biasanya, pasien yang mempunyai resistensi rendah seperti leukimia dan pengguna obat immunosupresan juga perlu diisolasi agar terhindar dari infeksi. Tetapi menjaga kebersihan tangan dan makanan, peralatan kesehatan di dalam ruang isolasi juga sangat penting. Ruang isolasi ini harus selalu tertutup dengan ventilasi udara selalu menuju keluar. Sebaiknya satu pasien berada dalam satu ruang isolasi, tetapi bila sedang terjadi kejadian luar biasa dan penderita melebihi kapasitas, beberapa pasien dalam satu ruangan tidaklah apa-apa selama mereka menderita penyakit yang sama.2.9Pengendalian dan Pencegahan Infeksi NosokomialPembersihan yang rutin sangat penting untuk meyakinkan bahwa rumah sakit sangat bersih dan benar-benar bersih dari debu, minyak dan kotoran. Perlu diingat bahwa sekitar 90 persen dari kotoran yang terlihat pasti mengandung kuman. Harus ada waktu yang teratur untuk membersihkan dinding, lantai, tempat tidur, pintu, jendela, tirai, kamar mandi, dan alat-alat medis yang telah dipakai berkali-kali.

Pengaturan udara yang baik sukar dilakukan di banyak fasilitas kesehatan. Usahakan adanya pemakaian penyaring udara, terutama bagi penderita dengan status imun yang rendah atau bagi penderita yang dapat menyebarkan penyakit melalui udara. Kamar dengan pengaturan udara yang baik akan lebih banyak menurunkan resiko terjadinya penularan tuberkulosis. Selain itu, rumah sakit harus membangun suatu fasilitas penyaring air dan menjaga kebersihan pemrosesan serta filternya untuk mencegahan terjadinya pertumbuhan bakteri. Sterilisasi air pada rumah sakit dengan prasarana yang terbatas dapat menggunakan panas matahari.

Toilet rumah sakit juga harus dijaga, terutama pada unit perawatan pasien diare untuk mencegah terjadinya infeksi antar pasien. Permukaan toilet harus selalu bersih dan diberi disinfektan. Disinfektan akan membunuh kuman dan mencegah penularan antar pasien. 2.9 Peran Dokter Muda Dalam Mencegah Infeksi Nosokomial

Dokter muda sebagai tenaga kesehatan di sarana pelayanan kesehatan berinteraksi langsung dengan pasien, oleh karena itu peran dokter muda dalam mencegah infeksi nosokomial sangat vital. Upaya-upaya yang bisa dilakukan dokter muda dalam mencegah infeksi nosokomial adalah sebagai berikut:

1. Menerapkan universal precaution dalam semua tindakan.

2. Imunisasi guna meningkatkan kekebalan tubuh.

3. Alat perlindungan diri dalam bekerja.

4. Profesionalisme dalam bekerja, menerapkan tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan disinfektan dengan benar.

5. Managemen setelah terpapar sumber infeksi.

Universal precaution penting perannya dalam mencegah terjadinya infeksi nosokomial. Dengan waspada terhadap semua pasien membawa suatu penyakit dalam tubuhnya yang bisa ditularkan melewati berbagai cara akan membuat dokter muda bertindak dengan waspada terhadap segala sesuatu dari tubuh pasien baik berupa darah, urin, air liur, fases dan muntahan.

Dengan adanya upaya universal precaution. diharapkan dokter muda tidak terinfeksi penyakit dari pasien dan tidak akan menularkan penyakit kepada pasien lainnya dengan demikian infeksi nosokomial dapat dicegah.

Peran imunisasi dalam memberikan kekebalan terhadap serangan penyakit. Profesi dokter muda yang selalu berkontak langsung dengan pasien sangat rentan terhadap penularan penyakit dari pasien. Imunisasi yang dapat diberikan kepada dokter muda salah satumya hepatitis B. HBV adalah agen yang sangat menular diseluruh dunia yang menimbulkan sirosis dan carcinoma hepar. Pemberian vaksinasi pada dokter muda dapat mencegah penyebaran infeksi HBV khususnya dan infeksi nosokomial umumnya.

Alat perlindungan diri seperti masker sangat penting dalam mencegah tertular penyakit pernafasan seperti tuberculosis. Alat perlindungan diri harus dipakai oleh dokter muda guna mencegah terinfeksi dan menularkan penyakit.

Profesionalisme dalam bekerja, tidak melakukan kesalahan dan efektif dalam segala tindakan medis akan menurunkan resiko tertularnya infeksi dari penderita. Hal ini menunjukkan pentingnya pengetahuan dan kemampuan dokter muda dalam segala tindakan medis dalam mencegah infeksi nosokomial.

Managemen setelah terpapar sumber infeksi meliputi darah dan cairan dari pasien atau sumber lainnya besar manfaatnya guna mencegah terinfeksi penyakit. Darah yang menempel harus dicuci bersih dan antiseptik dipakai guna membunuh kuman penyakit. Alat alat setelah selesai dipakai ditempatkan pada cairan disinfektan dan dilakukan metode disinfeksi yang sesuai guna menghindari adanya penularan penyakit pada pemakaian selanjutnya.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 KESIMPULANPengertian dari infeksi nosokomial yakni suatu infeksi yang didapat atau timbul pada waktu pasien dirawat di Rumah Sakit. Terjadinya infeksi nosokomial akan menimbulkan banyak kerugian bagi penderita seperti semakin lamanya perawatan penyakit, semakin menderita pasien oleh sakit dan meningkatnya biaya pengobatan.

Peran dokter muda dalam mencegah infeksi nosokomial sangat penting mengingat dokter muda berinteraksi langsung dengan pasien dalam melaksanakan tindakan medis. Upaya yang dapat dilakukan dokter muda dalam mencegah infeksi nosokomial adalah menerapkan universal precaution dalam semua tindakan, imunisasi guna meningkatkan kekebalan tubuh, alat perlindungan diri dalam bekerja, profesionalisme dalam bekerja, menerapkan tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan disinfektan dengan benar serta managemen setelah terpapar sumber infeksi.

Dengan upaya-upaya tersebut diharapkan infeksi nosokomial dapat dicegah dan peningkatan pelayanan kesehatan dapat tercapai sesuai tujuan mencapai kesehatan yang optimal.

3.2 SARAN1. Perlunya pembelajaran lebih lanjut kepada dokter muda sebelum mulai bertugas di rumah sakit mengenai infeksi nosokomial.

2. Perlunya pelatihan tindakan septik,aseptik, sterlisasi dan disinfektan.

3. Perlunya penerapan universal precaution dalam semua tindakan.4. Perlunya vaksinasi kepada dokter muda sebelum mulai bertugas di rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKABabb, JR. Liffe, AJ. Pocket Reference to Hospital Acquired infection. Science Press limited, Cleveland Street, London; 2000

Ducel, G. et al. Prevention of hospital-acquired infections, A practical guide. 2nd edition. World Health Organization. Department of Communicable disease, Surveillance and Response; 2002

Anonymus. Preventing Nosokomial Infection.Louisiana; 2002

Harry Wahyudi, 2006, Infeksi Nosokomial, http://www.ossmed.com/ diakses tanggal 22 maret 2012.Light RW. Infectious disease, noscomial infection. Harrisons Principle of Internal Medicine 15 Edition.-CD Room; 2001

Parhusip, 2005, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial Serta Pengendaliannya Di BHG. UPF. Paru RS. Dr. Pirngadi/Lab. Penyakit Paru FK-USU Medan. Soeroso dr. H Santoso, SpA (K), MARS, 2010, Kewaspadaan Universal Pencegahan Infeksi Nosokomial, http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=16, diakses tanggal 20 maret 2012

Soeparman, dkk. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI, Jakarta; 2001

Pohan, HT. Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine. Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta;2004

Thamrin Hisbullah,1993, Pengendalian Infeksi Nosokomial di RS Persahabatan Jakarta, Cermin Dunia Kedokteran,

Wenzel. Infection control in the hospital,in International society for infectious diseases, second ed, Boston; 2002

WHO, 2003, Health Care Worker Safety, http://www.who.int/injection_safety/toolbox/docs/en/AM_HCW_Safety.pdf, diakses tanggal 23 April 2015.