Makalah Ba & Be
-
Upload
widya-dwi-arini -
Category
Documents
-
view
879 -
download
21
Transcript of Makalah Ba & Be
TUGAS BIOFARMASI TERAPAN DAN
FARMAKOKINETIKA KLINIK
BIOAVAILABILITAS DAN BIOEKIVALENSI OBAT
KELOMPOK III
DISUSUN OLEH :
Lea Oktaviani 260112110522
Andini Nur Fatimah 260112110524
Ajeng Ninda 260112110526
Dita Damayanti 260112110528
Muchammad Reza G 260112110530
Hilda Shinta 260112110582
Yesi Haerunisa 260112110584
Frederika B Jinorati 260112110586
Erni Nurhayati 260112110588
Riska Muliatin 260112110590
PROGRAM PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2012
1
Daftar isi
BAB I
Pendahuluan................................................................................... 3
BAB II
Bioavaibilitas ................................................................................. 4
Bioekuivalen ................................................................................... 11
Dasar penetapan bioavaibilitas........................................................ 11
Kriteria untuk menetapkan suatu persyaratan
bioekivalen...................................................................................... 12
Contoh kasus................................................................................... 15
BAB III
Kesimpulan..................................................................................... 29
Daftar pustaka............................................................................................. 30
2
BAB I
PENDAHULUAN
Uji bioavailability/bioequivalence (BA/BE) adalah uji untuk mengukur
kadar obat dalam darah terhadap waktu. Uji ini dilakukan terhadap obat generik
yang merupakan tiruan obat innovator. Tiruan dibuat agar terjangkau karena harga
obat innovator dirasakan mahal. Dibandingkan dengan uji komparatif, uji BA/BE
mempunyai tujuan pengukuran jelas yaitu kadar obat dalam darah. Variasinya
relative rendah, sehingga jumlah contoh yang dibutuhkan lebih sedikit. Karena itu
biayanya menjadi lebih murah. Obat generik yang diuji harus ekivalen secara
terapeutik dangan obat innovator. Desain dan cara uji BA/BE harus memenuhi
prinsip cara uji klinik yang baik (CUKB), protokol studi harus mendapat
persetujuan komisi etik, informed consent harus ditangani dan disimpan sehingga
dapat dilaporkan, diinterprestasikan dan diverifikasi secara akurat.
3
BAB II
I. Bioavaibilitas
Studi bioavailabilitas dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah
disetujui maupun terhadap obat dengan efek terapeutik yang belum disetujui oleh
FDA untuk dipasarkan. Formula baru dari bahan obat aktif atau bagian terapeutik
sebelum dipasarkan harus disetujui oleh FDA. FDA menyetujui produk obat
untuk dipasarkan bila yakin bahwa produk obat tersebut aman dan efektif sesuai
label indikasi penggunaan. Selain itu, produk obat juga harus memenuhi seluruh
standar yang digunakan dalam identitas, kekuatan, kualitas, dan kemurnian. FDA
menghendaki studi bioavailabilitas/farmkokinetik dan bioekivalensi dan bila perlu
persyaratan bioekivalensi untuk semua produk obat.
Untuk obat-obat yang tidak terpasarkan, yang tidak memenuhi NDA (New
Drug Application) sebagaimana dinyatakan oleh FDA maka studi bioavailabilitas
in vivo harus dilakukan apabila formulasi obat tersebut dimaksudkan untuk
dipasarkan. Selanjutnya, farmakokinetik esensial dari bahan aktif tersebut juga
harus dikarakterisasikan. Parameter farmakokinetik esensial meliputi laju dan
jumlah absorpsi sistemik, waktu paruh elimnasi, laju ekskresi dan metabolisme
harus ditetapkan setelah pemberian dosis tunggal dan dosis ganda. Data studi
bioavailabiltas ini berguna untuk pengaturan dosis dan membantu pemberian label
obat.
Studi biavailabilitas in vivo juga dilakukan terhadap formula-formula baru
dari bahan obat aktif yan telah mendapat persetujuan NDA dan disetujui untuk
dipasarkan. Studi ini bertujuan untuk menentukan bioavailabilitas dan
karakterisasi farmakokinetik formulasi, bentuk sediaan, garam atau ester baru
terhadap suatu formula pembanding.
4
Setelah bioavaibilitas dan dan parameter- parameter farmakokinetik dari
bahan obat aktif diketahui, aturan dosis dapat diajukan untuk mendukung
pemberian label obat. Studi klinik berguna untuk menentukan keamanan dan
efikasi produk obat. Studi bioavailabiltas berguna dalam menetapkan produk obat
dalam kaitan pengaruh obat terhadap farmakokinetik obat sedangkan studi
bioekivalensi berguna untu membandingkan bioavailabilitas suatu obat dari
berbagai produk obat. Produk-produk obat yang dinyatakan bioekivalen
menunjukan bahwa efikasi produk-produk obat tersebuk dianggap sama.
1.1 Availabilitas Relatif dan Absolut
Area di bawah kurva konsenrasi obat-waktu (AUC) berguna sebagai
ukuran jumlah total obat yang utuh tidak berubah yang mencapai sirkulasi
sistemik. AUC tergantung pada jmlah total obat yang tersedia, FD0 dibagi tetapan
laju eliminasi, K dan volume distribusi Vd.
F adalah fraksi dosis yang terabsorpsi setelah pemberian intra vena. F
sama dengan satu, karena seluruh dosis terdapat dalam sirkulasi sistemik. Oleh
karena itu, obat dianggap tersedia sempurna setelah pemberian intra vena. Setalah
pemberian obat secara oral F dapat berbeda mulai dari harga F sama dengan
nol( tidak ada absorpi obat) samapai F sama dengan satu ( absorpsi obat
sempurna).
1.2 `Availabilitas Relatif
Availabiltas relatif adalah ketersediaan suatu produk obat dalam sistemik
dibandingkan dengan suatu standar yang diketahui. Fraksi dosis suatu produk oral
yang tersdia secara sistemik sukar dipastikan. Formula standar yang biasa
digunakan berupa larutan obat murni. Availabilitas relatif dari dua produk obat
yang diberikan pada dosis dan rute pemberian yang sama dapat diperoleh dengan
persamaan berikut:
Availabilitas relatif = ; Produk obat B sebagai standar pembanding
yang telah diketahui. Fraksi tersebut dapat dikalikan 100 untuk memberi prosen
5
avaibilitas relatif. Jika dosis yang diberikan berbeda, suatu koreksi untuk dosis
dibuat, seperti dalam persamaan berikut :
Availabilitas relatif =
Avaiabilitas relatif juga dapat ditentukan dengan menggunakan data ekskresi urin
sebagai berikut:
Availabilitas relatif = ; = jumlah total obat yang diekskresi dalam
urin
1.3 Availabilitas Absolut
Availabilitas absolut dapat diukur dengan membandingkan AUC produk
yang bersangkutan setelah pemberian oral dan intra vena. Pengukuran dapat
dilakukan sepanjang Vd dan K tidak bergantung pada rute pemberian. Availabilitas
absolut yang menggunakan data plasma dapat ditentukan sebagai berikut :
Availabilitas absolut =
Availabilitas absolut dengan data ekskresi obat lewat urin dapat ditentukan
sebagai berikut :
Availabilitas absolut =
Availabilitas absolut sama dengan F, fraksi dosis yang tersedia dalam
sistemik. Obat-obat yang diberikan secara vaskular, seperti injeksi intra vena
bolus, memiliki F = 1 artinya obat tersedia sempurna dalam sistemik. Untuk
semua rute pemberian ekstravaskular memiliki F ≤ 1.
I.4 Parameter yang Berguna untuk Penentuan Bioavailabilitas
1. Data plasma
a. Waktu konsentrasi plasma (darah) mencapai puncak (tmaks)
6
b. Konsentrasi plasma puncak (Cp, maks)
c. Area di bawah kurva obat dalam plasma waktu.
2. Data urin
a. Jumlah komulatif obat yang diekskresi dalam urin (Du)
b. Laju ekskresi obat dalam urin (dDu/dt)
c. Waktu untuk terjadi ekskresi obat maksimum dalam urin ( )
3. Efek farmakologi akut
4. Pengamatan klinik
Data plasma dan data urin dapat memberikan informasi paling objektif
tentang bioavaiabilitas bila obat bebas atau aktif dalam cairan biologik
dapat ditentukan secara tepat.
1) Data Plasma
Waktu konsentrasi plasma mencapai pucak (tmaks) merupakan waktu yang
diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat maksimum setelah pemberian obat.
Pada tmaks.absorpsi obatadalah terbesar. Setelah tmaks tercapai, laju absorpsi menjadi
lebih lambat. tmaks digunakan untuk memperkirakan laju absorpsi produk obat.
Harga tmaks menjadi lebih kecil (sedikit waktu yang diperlukan untuk mencapai
konsentrasi plasma puncak) bila laju absorpsi obat menjadi lebih cepat. Satuan
tmaks adalah satuan waktu (misal: jam, menit).
Konsentrasi plasma puncak (Cp, maks) merupakan konsentrasi obat
maksimum dalam plasma setelah pemberian obat secara oral. Cp, maks menunjukkan
bahwa obat cukup diabsorpsi secara sistemik untuk memberi suatu respon
terapeutik serta menunjukkan adanya kadar toksik obat. Satuan Cp, maks adalah
satuan konsentrasi (misal., µg/ml, mg/ml).
Area di bawah kurva konsentrasi obat dalam plasma-waktu (AUC) adalah
suatu ukuran jumlah bioavaibilitas suatu obat. AUC menunjukan jumlah total obat
aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. AUC adalah area dibawah kurva kadar
obat dalam plasma-waktu dari t = 0 sampai t = ∞, dan sama dengan jumlah obat
tidak berubah yang mencapai sirkulasi sistemik dibagi dengan klirens.
7
=
= =
F = fraksi dosis terabsorpsi; D0 = dosis; K = tetapan laju elimnasi, dan Vd =
volume distribusi.
AUC tidak bergantung pada rute pemberian dan proses eliminasi obat
selama proses eliminasi obat tidak berubah. AUC dapat ditentukan dengan suatu
prosedur integral numeric, metode rumus trapezium, atau secara langsung dengan
menggunakan planimeter. Satuan AUC ialah konsentrasi-waktu (µg jam/ml).
Untuk beberapa obat AUC berbanding langsung dengan dosis sebagai
contoh , suatu dosis tunggal dari suatu obat dinaikan 250 ke 1000 mg, AUC
juganaik empat kali.(gambar 2-1,2-2)
Gambar 2-1
Gambar 2-1. Kurva kadar obat dalam plasma-waktu setelah pemberian dosis tunggal (a) 250 mg;
(b) 500 mg; (C) 1000 mg.
Gambar 2-2
8
Gambar 2-2 huungan linier anatas AUC dan dosis data.
Gambar 2-3
Gambar 2-3. Hubungan antara AUC dan dosis bila metabolisme dapat menjadi jenuh
Dalam beberapa hal, AUC tidak berbanding langsung dengan dosis yang
diberikan. Sebagai contoh, bila dosis obat dinaikkan, salah satu jalur eliminasi
obat dapat menjadi jenuh. (gambar 2-3). Eliminasi obat meliputi proses
metabolisme dan ekskresi. Metabolisme obat adalah proses yang bergantung pada
enzim. Untuk beberapa obat (seperti salsilat dan fenitoin) peningkatan dosis dapat
menyebabkan penjenuhan salah satu jalur metabolisme dan hal ini dapat
memperpanjang waktu-paruh eliminasi. Dengan demikian kenaikan AUC tidak
sebanding dengan kenaikan dosis oleh karena jumlah obat yang dieliminasi lebih
kecil (lebih banyak obat yang ditahan). Jika AUC tidak berbanding langsung
dengan dosis, bioavailabilitas obat sulit untuk dievaluasi.
9
2) Data Urin
Obat harus diekskresi dalam jumlah yang bermakna di dalam urin dan
cuplikan urin harus dikumpulkan secara lengkap. Du∞ merupakan jumlah
kumulatif obat yang diekskresi dalam urin secara langsung berhubungan dengan
jumlah total obat terabsorpsi Di dalam percobaan cuplikan urin dikumpulkan
secara berkala setelah pemberian produk obat. Tiap cuplikan urin ditentukan kadar
obat bebas dengan cara yang spesifik. Kemudian, dibuat grafik yang
menghubungkan kumulatif obat yang diekskresi terhadap jarak waktu
pengumpulan.
Laju ekskresi obat bergantung pada tetapan laju eliminasi order kesatu (K)
dan kadar obat dalam plasma (Cp), karena sebagian obat dielimnasi dengan proses
laju order kesatu.
3) Efek Farmakologi Akut
Dalam beberapa hal pengukuran kuantitatif suatu obat tidak dapat
dilakukan atau kurang tepat dan/atau tidak memberikan hasil yang sama jika
diulang. Efek farmakologi akut seperti efek pada diameter pupil , kecepatan
denyut jantung atau tekanan darah dapat digunakan sebagai indeks dari
bioavailabilitas obat. Dalam hal ini, dibuat kurva efek farmakologi akut-waktu.
Untuk mendapatkan perkiraan yang layak dari total area di bawah kurva
hendaknya dilakukan pengukuran efek farmakologi dengan frekuensi yang cukup
(tidak kurang dar tiga kali waktu paruh obat).
Penggunaan efek farmakologi akut untuk menentukan bioavailabilitas
diperlukan adanya kaitan dosis-respon. Bioavailabilitas dapat ditentukan dengan
memeriksa kurva dosis-respon maupun total area dari kurva efek farmakologi
akut-waktu.
4) Respon Klinik
Perbedaan respon klinik pada tiap individu mungkn disebabkan oleh
perbedaan farmakokinetik atau farmakodinamik obat antar individu. Produk-
10
produk obat yang bioekivalen harus mempunyai bioavailabilitas sistemik yang
sama, sehingga respon obat yang sama dapat diperkirakan. Oleh karena itu,
perubahan respon klinik antar individu yang tidak dikaitkan dengan
bioavailabilitas mungkin disebabkan adanya perbedaan farmakodinamik obat.
Perbedan farmakodinamik yang menyangkut hubungan antara obat dan reseptor
mungkin disebabkan oleh perbedaan kepekaan reseptor terhadap obat. Faktor-
faktor yang mempengaruhi perilaku farmakodinamik obat diantaranya adalah
umur, toleransi obat, interaksi obat, dan faktor-faktor patofisiologik yang tidak
diketahui.
II. Bioekuivalen
Alasan utama dilakukannya studi bioekuivalensi karena produk obat yang
dianggap ekivalen farmasetik tidak memberi efek terapetik yang sebanding pada
penderita. Dalam suatu studi bioekuivalen, satu formulasi obat dipilih sebagai
standar pembanding dari formulasi obat lain. Standar pembanding hendaknya
mengandung obat aktif terapetik dalam formulasi yang paling banyak berada
dalam sistemik (yakni larutan atau suspensi) dan dalam jumlah yang sama seperti
formulasi lain yang dibandingkan. Pembanding hendaknya diberikan dengan rute
yang sama seperti formulasi yang dibandingkan kecuali kalau suatu rute lain atau
rute tambahan diperlukan untuk menjawab masalah farmakokinetik tertentu.
Sebagai contoh, jika suatu obat aktif sangat sedikit berada dalam sistemik
setelah pemberian oral, maka obat dapat dibandingkan baik setelah pemberian
oralmaupun intravena. Bila suatu larutan atau suspense obat tidak tersedia, standar
pembanding dapat berupa suatu formulasi yang sedang dipasarkan yang telah
diakui oleh NDA yang secara ilmiah mempunyai data keamanan dan efikasi yang
sudah terbukti. Produk obat pembanding hendaknya merupakan produk yang
diterima olef profesi kesehatan dan mempunyai sejarah penggunaan klinik yang
panjang. Formulasi pembanding biasanya produk “innovator” atau produk dari
pabrik yang pertama memproduksi obat tersebut.
III. Dasar Penetapan Bioavaibilitas
11
Dasar-dasar untuk menetapkan ketersediaan hayati pada studi bioekivalen :
1. Ketersediaan hayati dari suatu produk obat dilakukan jika laju dan
jumlah absorbsi produk, sebagaimana dinyatakan oleh perbandingan
parameter-parameter terukur (misal, konsentrasi bahan obat aktif dalam
darah, laju ekskresi urin dan efek farmakologik), tidak berbeda secara
bermakna dengan produk pembanding.
2. Teknik analisis statistic yang dipakai hendaknya cukup peka untuk
menemukan perbedaan laju dan jumlah absorbs yang tidak disebabkan
oleh adanya perbedaan subjek.
3. Suatu produk obat yang berbeda dari bahan pembanding dalam hal laju
absorbsi, tetapi tidak berbeda dalam jumlah absorbsi, dapat dianggap
berada dalam sistemik jika perbedaan laju absorbs disengaja dan
dinyatakan dengan tepat dalam tabel dan atau laju absorbsi tidak
mengganggu keamanan dan efektifitas produk obat.
IV. Kriteria Untuk Menetapkan Suatu Persyaratan Bioekivalen :
1. Adanya fakta dari percobaan klinik yang terkendali dengan baik atau
pengamatan terkendali pada penderita yang menyatakan bahwa
berbagai produk obat tidak memberi efek terapetik yang sebanding
2. Adanya fakta dari studi bioekivalen yang terkendali dengan baik yang
menyatakan bahwa produk-produk tersebut bukan merupakan produk-
produk obat yang bioekivalen
3. Adanya fakta produk-produk obat yang memperlihatkan rasio terapetik
yang sempit dan konsentrasi efektif minimum dalam darah, serta
penggunaannya secara aman dan efektif memerlukan titrasi dosis yang
cermat dan memerlukan pemantauan penderita.
4. Penetapan secara medik oleh yang berwenang menyatakan bahwa suatu
kekurangan bioekivalensi akan menyebabkan suatu efek yang tidak
dikehendaki yang membahayakan dari pengobatan atau pencegahan
suatu penyakit atau kondisi yang parah.
5. Sifat-sifat fisikokimia sebagai berikut
12
a. Bahan obat aktif memiliki kelarutan rendah dalam air (misalnya,
kurang dari 5 mg / mL).
b. Laju disolusi dari satu atau lebih produk tersebut lambat (misalnya,
kurang dari 50% dalam 30 menit saat diuji dengan metode umum
yang ditetapkan oleh FDA).
c. Ukuran partikel dan / atau area permukaan bahan obat aktif sangat
penting dalam menentukan ketersediaan hayati tersebut.
d. Bentuk struktural tertentu dari bahan obat aktif (misalnya, bentuk
polimorfik, solvates, kompleks, dan modifikasi kristal)
membubarkan buruk, sehingga mempengaruhi penyerapan.
e. produk obat yang memiliki rasio tinggi eksipien untuk bahan aktif
(misalnya, lebih besar dari 5:1).
f. bahan aktif Tertentu (misalnya, hidrofilik atau hidrofobik eksipien
dan pelumas) baik mungkin diperlukan untuk penyerapan bahan
obat aktif atau setengah terapeutik atau dapat mengganggu
penyerapan tersebut.
g. Bahan obat aktif, setengah terapi, atau prekursor diserap sebagian
besar dalam segmen tertentu dari saluran pencernaan atau diserap
dari situs lokal.
h. Tingkat penyerapan bahan aktif obat, setengah terapi, atau
prekursor adalah miskin (misalnya, kurang dari 50%, biasanya
dibandingkan dengan suatu dosis intravena), bahkan bila diberikan
dalam bentuk murni (misalnya, dalam larutan).
i. Ada metabolisme cepat dari separoh terapeutik dalam dinding usus
atau hati selama proses penyerapan (orde pertama metabolisme),
sehingga tingkat penyerapan yang luar biasa penting dalam efek
terapi dan / atau toksisitas dari produk obat.
j. Terikat pada molekul terapi dengan cepat dimetabolisme atau
dikeluarkan, sehingga pembubaran cepat dan penyerapan
dibutuhkan untuk efektivitas.
13
k. Bahan obat aktif atau setengah terapeutik tidak stabil di bagian
tertentu dari saluran cerna dan membutuhkan pelapis khusus atau
formulasi (misalnya, buffer, pelapis usus, dan coating film) untuk
memastikan penyerapan yang memadai.
l. Produk obat pada kinetika tergantung dosis pada atau dekat rentang
terapeutik, dan tingkat dan tingkat penyerapan yang penting bagi
bioekivalensi.
6. Sifat-sifat farmakokinetik sebagai berikut :
a. Bahan obat aktif, bagian terapetik atau prekursornya diabsorbsi
dalam jumlah besar pada bagian tertentu saluran cerna atau
diabsorbsi pada suatu tempat terbatas.
b. Derajat absorbsi bahan aktif, bagian berkhasiat atau prekursornya
kecil (misal lebih kecil dari 50% dibandingkan terhadap suatu dosis
intravena) begitu pula bila diberikan dalam bentuk murni (misal
bentuk larutan).
c. Terjadinya metabolism cepat dari bagian terapetik di dalam dinding
usus atau hati selama proses absorbsi biasanya tidak berpengaruh
terhadap efek terapetik dan atau tosisitas produk.
d. Bagian terapetik dimetabolisme atau diekskresi secara
cepat,sehingga pelarutan dan absorbsi yang cepat diperlukan untuk
kefektifannya.
e. Bahan obat aktif atau bagian terapetik tidak stabil dalam bagian
tertentu saluran cerna dan memerlukan penyalutan atau formulasi
tertentu (misal, dapar, salut enteric dan salut film) untuk
memastikan absorbsi yang cukup.
f. Produk obat yang mengikuti kinetika yang bergantung dosis (dose-
dependent kinetics) dalam atau dekat rentang terapetiknya, dan laju
serta jumlah absorbsi mempengaruhi bioekivalensi.
14
V. CONTOH KASUS
Kasus 1
Judul : Disintegrasi Dan Disolusi Tablet Furosemida Dari Berbagai Produk
Generik Dan Produk Paten Yang Beredar
Yandi Syukri, Uji Sukmawati
FMIFA Universitas Islam Indonesia
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas farmasetik in
vitro produk furosemid yang tersedia di pasaran yang berbeda dalam hal formulasi
dan proses manufaktur. Furosemid adalah agen diuretic yang bekerja dengan
menghambat secara intensif dan biasanya digunakan untuk hipertensi dan oedem.
Disintegrasi dan disolusi dilakukan dimana sampel dengan kekuatan tablet
furosemid 40 mg berdasarkan farmakope. Waktu untuk disintegrasi antara 0- 8
menit. Pengujian disolusi dilakukan dalam buffer fosfat pH 5,8. Telihat hasil yang
serupa dalam persentase keseluruhan pelepasan obat dari produk. Kecepatan
disolusi menjadi batas keceatan dari absorpsi furosemid, salah satu kesulitannya
adalah sulit larut dalam air. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada Q60 dari
produk A=94,380%, B=91,832%, C=56,381%, D=99,014%, E=97,899%,
F=99,872%, G=100,668%, H=79,195%, I=97,149% dan J=76,292%. Dapat
disimpulkan terdapat variasi profil karakteristik disolusi dari produk yang diuji.
Kata Kunci: Furosemid, Waktu disintegrasi, Kecepatan disolusi, Q60.
Hasil dan Pembahasan
15
Uji disintegrasi (waktu hancur) meneliti bagian pertama dalam tahap awal
pelepasan zat aktif. Hasil uji disintegrasi dari 10 macam produk tablet furosemid
menunjukkan rentang waktu hancur tablet dari 0 sampai 8 menit, seperti terlihat
dalam table 1. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam FI yaitu waktu untuk
menghancurkan tablet tidak lebih dari 15 menit untuk tablet tidak bersalut.
Tabel 1
Waktu hancur 10 Macam Tablet Furosemida.
ReplikasiWaktu Hancur (menit)
A B C D E F G H I J
1 2,58 7,68 4,98 1,83 0,85 0,75 6,60 0,35 5,38 0,63
2 3,00 7,62 4,93 2,47 1,02 0,70 6,07 0,30 5,17 0,58
3 2,53 8,03 4,87 2,13 1,1 0,98 6,42 0,20 5,08 0,52
4 3,43 8,07 5,33 2,63 0,88 0,80 6,90 0,35 5,65 0,52
Mean 2,88 7,85 5,03 2,26 0,96 0,81 6,50 0,30 5,32 0,56
SD 0,42 0,23 0,21 0,36 0,12 0,12 0,35 0,07 0,25 0,05
Uji disintegrasi dianggap penting karena merupakan salah satu komponen
dalam pengendalian kualitas fabrikasi tablet. Selain itu uji disintegrasi
memberikan jaminan teknologi misalnya pada reprodusibilitas suatu lot fabrikasi.
Namun demikian waktu hancur yang baik tidak menjamin efektivitas sediaan
obat. Oleh karena itu dilakukan uji disolusi yang diperkirakan lebih menjamin
efektivitas suatu sediaan obat.
Uji Disolusi
Penetapan kadar furosemid terlarut dilakukan secara fisikokimia dengan
mengukur sampel dari masing-masing waktu sampling pada spektrofotometri UV-
16
Vis pada panjang gelombang maksimum. Profil disolusi kesepuluh macam produk
tablet furosemid dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini.
Profil Laju Disolusi Sepuluh Produk Furosemide 40 mg/tablet pada Media,
Dapar Fosfat pH 5,8 pada Suhu 37 ± 0,5 °C
Dari pada gambar terlihat adanya profil yang bervariasi. Berarti pula
adanya variasi bioavailabilitas dari produk-produk obat tersebut. Perbedaan dalam
biolavailabilitas antara produk-produk obat dari zat terapetik sama bias jadi
karena perbedaan bahan formulasi yang digunakan, metode dari produk pabrik
pembuat yang digunakan, kerasnya prosedur control kualitas dalam proses
pembuatan, dan bahkan metode penanganan, pengemasan, dan penyimpanan.
Perkembangan ilmu teknologi modern membuktikan, bahwa formulasi obat yang
sudah baik dalam suatu pabrik bias sama sekali berubah bila dibuat di pabrik lain
dengan penggunaan alat-alat yang berbeda.
Variabel-variabel yang dapat membantu ke perbedaan antar produk adalah
banyak. Misalnya dalam pembuatan tablet, bahan atau jumlah bahan yang berbeda
dari komponen formulasi seperti pengisi, zat pendisintegrasi, pengikat, pelumas,
zat warna, pemberi rasa, dan penyalutan yang mungkin digunakan. Ukuran
partikel dan bentuk kristal dari suatu komponen farmasi atau terapetik bisa
bervariasi antarformulasi. Tablet bisa bervariasi dalam bentuk, ukuran, dan
kekerasan tergantung punch dan die yang dipilih untuk digunakan oleh pembuat
tersebut dan tekanan kompresi yang digunakan dalam proses tersebut. Selama
17
pengemasan, pengapalan, dan penyimpanan, integritas dari tablet tersebut bisa
diubah oleh tumbukan fisik yang kuat atau perubahan dalam kondisi kelembapan,
temperatur, atau melalui interaksi dengan komponen-komponen wadah. Masing-
masing faktor yang dicatat bisa mempunyai pengaruh terhadap laju disintegrasi
(penghancuran) tablet, disolusi obat, dan akibatnya terhadap laju dan besarnya
absorpsi obat.
Untuk mengukur keefektifan absorpsi dari furosemida dapat dilakukan
dengan mengukur parameter efisiensi disolusi yang meliputi efisiensi disolusi
pada menit ke 15 (ED15), efisiensi disolusi pada menit ke 45 (ED45) dan efisiensi
disolusi pada menit ke 60 (ED60) yang dilakukan dengan mengukur luas daerah
dibawah kurva (AUC) pada masing-masing waktu diatas.
Dari data analisis statistik menggunakan ANOVA pada taraf kepercayaan
0,05 menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang bermakna pada masing-masing
nilai Efisiensi Disolusi (ED) yang meliputi ED15, ED45 dan ED60. Dari data
yang terkumpul diperoleh hasil dimana Efisiensi Disolusi (ED) yang paling baik
adalah pada ED60.
Penentuan laju disolusi furosemide berdasarkan parameter persen terlarut
pada 60 menit memberikan hasil seperti tertera pada tabel 3 berikut.
Tabel 2
Hasil Penentuan Laju Disolusi Furosemide Pada 60 Menit
Sesuai Persyaratan Fi Edisi Iv.
Produk Hasil (%) Syarat (%) Kesimpulan
A 94,380 80 +
B 91,832 80 +
C 56,381 80 -
D 99,014 80 +
E 97,899 80 +
F 99,872 80 +
G 100,668 80 +
H 79,195 80 -
I 97,149 80 +
18
J 76,292 80 -
Keterangan : + memenuhi syarat
- Tidak memenuhi syarat
Dari tabel tersebut dapat dilihat hasil yang bervariasi, dimana tujuh produk
memenuhi persyaratan termasuk di dalamnya produk generik dan tiga produk
lainnya yang semuanya merupakan produk paten tidak memenuhi persyaratan
Farmakope. Di dalam FI edisi IV dijelaskan persyaratan disolusi untuk tablet
furosemide adalah tidak kurang dari 80 % dari yang tertera pada etiket (Anonim,
1995). Berdasarkan hasil uji disintegrasi dan uji disolusi, dapat diketahui bahwa
waktu hancur (disintegrasi) yang singkat tidak menjamin laju pelarutan (disolusi)
zat aktif yang efektif. Hal ini dapat dilihat dari ketiga produk (C, H dan J) yang
memiliki waktu hancur rata-rata yang tergolong cepat yaitu masing-masing 5,03
menit, 0,30 menit dan 0,56 menit (instantaneous), namun tidak memenuhi
persyaratan farmakope dalam hasil laju disolusi. Seperti penjelasan sebelumnya
bahwa waktu hancur yang baik tidak menjamin efektivitas sediaan obat. Uji
disintegrasi hanya memberikan pengukuran yang tepat pada pembentukan
fragmen, granul, atau agregat dari bentuk sediaan padat, sedangkan proses
pelarutan berhubungan dengan luas permukaan efektif obat (ukuran partikel) yang
mana semakin besar luas permukaan efektif / semakin kecil ukuran partikel obat
maka makin cepat laju pelarutannya. Penilaian klinik penting dalam mengevaluasi
hasil dari studi bioekivalensi. Perbedaan kecil antarproduk, sekalipun bermakna
secara statistik, dapat menghasilkan perbedaan yang kecil dalam respon terapetik.
Namun demikian bukan berarti dapat diabaikan karena banyak pula kasus bahwa
variasi dalam bioavailabilitas dari produk-produk obat telah menghasilkan
kegagalan terapi pada pasien yang makan dua produk obat yang tidak ekivalensi
dalam waktu terapinya. Dari pengukuran kualitas farmasetika suatu sediaan yang
mengandung bahan aktif dan dosis yang sama serta rute pemberian yang sama
tidak menjamin memberikan ketersediaan farmasetika yang sama. Hal ini
disebabkan oleh modifikasi-modifikasi formulasi yang dalakukan oleh masing-
19
masing pabrik. Modifikasi-modifikasi formulasi yang biasanya banyak
dikembangkan diantaranya : (1) modifikasi karakteristik sifat fisikokimia zat aktif,
misalnya dengan pengomplekan, dispersi padat, penggaraman dan lain sebagainya
; (2) modifikasi dan pemilihan bahan tambahan, misalnya bahan pengisi, bahan
penghancur, bahan pelincir dan lain sebagainya ; (3) kombinasi modifikasi
karakteristik sifat fisikokimia zat aktif serta modifikasi dan pemilihan bahan
tambahan ; dan (4) cara prosesing, misalnya metode
pembuatan, teknologi dan fasilitas peralatan yang dimiliki.
Sifat media pelarutan juga mempengaruhi uji pelarutan. Kelarutan maupun
jumlah obat dalam bentuk sediaan juga merupakan hal yang harus
dipertimbangkan . Media pelarutan (uji disolusi) hendaknya tidak jenuh dengan
obat. Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan
menyebabkan perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan
mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka
gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan
pelarutan. Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari medium, serta
pengambilan sampel juga dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.
Jadi dari penelitian pengukuran kualitas farmasetika tentang laju disolusi
dan desintegrasi tablet furosemida yang beredar di pasaran yang diproduksi oleh
berbagai industri farmasi terbukti bahwa masing-masing produk mempunyai
karakteristik desintegrasi dan disolusi yang berbeda. Ditemukan ada beberapa
produk tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan pada Farmakope
Indonesia. Seiring dengan semakin meningkatnya produksi obat dan semakin
maraknya persaingan pada industri farmasi, kemampuan untuk memproduksi obat
yang dengan kualitas yang lebih baik merupakan pilihan yang utama.
Kesimpulan
1. Diperoleh profil disolusi yang bervariasi dari 10 macam produk tablet
furosemida yang diuji. Hal ini memberikan fakta yang kuat bahwa metode
pabrikasi dan formulasi dengan nyata mempengaruhi kelarutan obat tersebut.
20
2. Produk obat furosemida generik memenuhi persyaratan Q60 sesuai dengan
ketentuan Farmakope Indonesia yaitu tidak kurang dari 80% dari jumlah yang
tertera pada etiket.
3. Terdapat tiga produk obat furosemida paten yang tidak memenuhi persyaratan
Q60.
Saran
Melakukan uji bioekivalensi produk menggunalan data darah atau data u
Kasus 2
Uji Ketersediaan Hayati Tablet Parasetamol dan Tablet Teofilin pada Kelinci.
Dilakukan untuk menguji obat murah yang akan dipasarkan untuk masyarakat kurang mampu. Pengujian ini dilakukan pada tablet parasetamol 500 mg sebagai obat penurun panas (antipiretik) dan tablet teofilin 130 mg untuk obat antiasma. kedua obat tersebut diperbandingkan dengan obat parasetamol 500 mg dan teofilin 150 mg yang telah memiliki nama dagang.
Penelitian ini dilakukan terhadap 10 ekor kelinci yang masing-masing dibagi menjadi 2 kelompok dan proses pengambilan darah dilakukan melalui vena lateral telinga kelinci tersebut.
(diambil darah pada waktu tertentu) (wash out selama 1 minggu)
21
Kelinci @ 5 ekor
Parasetamol 500 mg
Teofilin 130 mg
Parasetamol pembanding 500 mg
Teofilin pembanding 150 mg
(diambil darah pada waktu tertentu)
diuji menggunakan KCKT
Dari hasil yang didapat diperoleh data :
22
Hasil AUC, tmaks, Cmaks
Analisis menggunakan uji t berpasangan, α = 95%
23
Dari hasil yang didapat, disimpulkan bahwa ketersediaan hayati obat murah tablet penurun panas ( Parasetamol 500 mg ) dan tablet asma ( Teofilin 130 mg) yang diukur berdasarkan parameter farmakokinetik tmaks dan Cmaks dan AUC berbeda tetapi tidak bermakna dibandingkan dengan tablet pembandingnya yang sudah memiliki nama dagang ( α = 95% ).
Kasus 3
Judul :Pengaruh pemberian syrup curcuma plus ® terhadap farmakokinetik rifampisin pada tikus
Djoko Wahyono *), Arief Rahman Hakim dan Purwantiningsih Bagian
Farmakologi & Farmasi Klinik FakultasFarmasi UGM Yogyakarta
A. Pendahuluan
Tuberculosis merupakan penyakit infeksi penyebab kematian nomor tiga di
Indonesia. Pengobatan penyakit ini biasa digunakan terapi dengan menggunakan
kemoterapi anti TB, yaitu : Rifampisin, isoniazid, etambutol, pirazinamid,
streptomisisn
Rifampisin :
bakterisidal spektrum luas termasuk Mycobacterium tuberculosis
diabsorbsi secara baik dari saluran pencernaan
waktu paruh eliminasi berkisar 1-6 jam (rata-rata 3,4 jam)
Syrup Curcuma Plus ® :
Mengandung curcuminoid dan multivitamin
Penelitian terdahulu, menunjukkan bahwa curcuminoid :
- kurkumin dapat berinteraksi dengan teofilin dan parasetamol
24
- kurkumin mampu menghambataktifitas sitokrom P-450 1 A1/1A2 dan
3A4
- kurkumin dapat meningkatkan klirens total propanolol dan salisilamid
Kasus :
Pada anak – anak penderita tuberkulosis, pemberian Rifampisin sering
diimbangi dengan pemberian suplemen syrup curcuma plus ®
Adakah pengaruh pemberian syrup curcuma plus ® terhadap metabolisme
rifampisin ?
B. Metodologi
Bahan
Subyek uji tikus jantan galur SD (Sprague Dewley) bobot 180-200 g.
Bahan uji utama meliputi syrup Curcuma plus® diproduksi oleh PT. SOHO
Industri Pharmasi, Jakarta, Indonesia dan rifampisin serbuk mutu farmasetis
diperoleh dari PT. Indofarma, Jakarta, Indonesia.
Alat
Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat HPLC
dengan double pump LC-6A, system controller SCL-6A, menggunakan detektor
UV pada 342 nm SPD-6AV dan integrator C-R3A (Shimadzu), kolom Cartridge
LiChroCART 125-4 RP-18 (Merck, Darmstadt, Germany).
Jalannya penelitian
Penelitian menggunakan rancangan uji acak lengkap pola searah (One Way
Randomized Completely Design) dimana sebanyak 15 ekor tikus jantan galur SD
dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan. Kelompok I (kelompok kontrol) diberi
rifampisin dosis 50 mg/kgBB secara oral. Terhadap kelompok II dan III berturut-
turut diberikan syrup Curcuma plus® dosis tunggal 2,7 mL/kgBB secara oral 1
jam sebelum pemberian rifampisin dan dosis ganda 2,7 mL/kgBB secara oral satu
kali sehari selama 7 hari berturut-turut. (dosis dihitung berdasarkan konversi dari
dosis lazim pada manusia). Pengambilan cuplikan darah sebanyak 0,2 mL
25
dilakukan lewat vena ekor pada waktu-waktu 0,25; 1; 1,5; 2; 2,5; 3; 4; 6; 8; 10; 12
dan 24 jam setelah pemberian rifampisin. Analisis rifampisin dalam darah
dilakukan secara HPLC dengan menggunakan kurva baku mengikuti metode
terdahulu yang telah tervalidasi.
C. Hasil dan Pembahasan
Tabel I: Kadar rifampisin dalam darah (Mean ± SE) setelah pemberian rifampisin
oral 50 mg/kgBB (KelompokI). Kelompok II adanya praperlakuan syrup
Curcuma plus® 2,7 mL/kgBB 1 jam sebelum rifampisin. Kelompok III
adanya praperlakuan syrup Curcuma® dosis 2,7 mL/kgBB 1x sehari
selama 7 hari berturut-turut pada tikus (N=5)
26
Gambar 1. Kurva kadar rifampisin dalam darah (Mean ± SE) terhadap waktu
setelah pemberian rifampisin oral 50 mg/kgBB (Kelompok I).
Kelompok II adanya praperlakuan syrup Curcuma plus® 2,7
mL/kgBB 1 jam sebelum rifampisin. Kelompok III adanya
praperlakuan syrup Curcuma® dosis 2,7 mL/kgBB 1x sehari selama 7
hari berturut-turut pada tikus (N=5)
Tabel 1 dan gambar 1 menunjukkan data kadar Rifampisin dan profil
kurva kadar Rifampisin terhadap waktu setelah pemberian Rifampisin oral pada
masing – masing kelompok (I, II, III). Dari hasil yang ada terlihat adanya
penurunan kadar puncak penurunan kadar puncak (Cmaks) rifampisin yaitu
sebelumnya 28,69 µg/mL menjadi 8,54 µg/mL dan 12,62 µg/mL berturut-turut
setelah adanya praperlakuan syrup Curcuma plus® 1 jam dan sekali sehari selama
7 hari sebelum pemberian rifampisin. Data juga menunjukkan bahwa terjadi
pergeseran pada waktu untuk mencapai kadar puncak (tmaks) rifampisin yaitu
pada jam ke-6 untuk kontrol, menjadi jam ke-4 dan 2,5 berturut-turut setelah
adanya praperlakuan syrup Curcuma plus® 1 jam dan sekali sehari selama 7 hari
sebelum pemberian rifampisin.
Tabel II : Nilai parameter farmakokinetika rifampisin setelah pemberian
rifampisin oral 50 mg/kgBB (KelompokI). Kelompok II adanya
praperlakuan syrup Curcuma plus® 2,7 mL/kgBB 1 jam sebelum
rifampisin. Kelompok III adanya praperlakuan syrup Curcuma plus®
dosis 2,7 mL/kgBB 1x sehari selama 7 hari berturut-turut pada tikus
(N=5)
27
Dari Tabel II terlihat bahwa pemberian syrup Curcuma plus® dosis 2,7
mL/kg BB satu jam dan sekali sehari selama 7 hari sebelum pemberian rifampisin
mampu meningkatkan volume distribusi dan klirens total rifampisin. Praperlakuan
syrup Curcuma plus® dosis tunggal 2,7 mL/kg BB mampu meningkatkan volume
distribusi (Vd) rifampisin sebesar 225,80% dan menyebabkan penurunan pada
Cmaks sebesar 72,81% dan AUC0-inf berturut-turut sebesar 63,93% sedangkan
praperlakuan syrup Curcuma plus® sekali sehari selama 7 hari dapat
meningkatkan klirens total (ClT) rifampisin sebesar 225,60% dan mengakibatkan
penuruan pada AUC0-inf sebesar 76,94%.
Kurkumin telah diketahui mampu menghambat aktivitas sitokrom P-450
1A1/1A2 dan 3A4. Tetapi pada penelitian ini terbukti bahwa sirup Curcuma
plus® justru meningkatkan eliminasi rifampisin yang ditunjukkan dengan
kenaikan klirens total. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bahwa
rifampisin kemungkinan besar tidak dimetabolisme melalui CYP 1A1/1A2, tetapi
melalui β-esterase. Kenaikan klirens total rifampisin karena pemberian sirup
Curcuma plus® (mengandung kurkuminoid 2 mg).
Oleh karenanya maka pengobatan TB anak menggunakan rifampisin perlu
hati-hati bila penggunannya bersama suplemen syrup Curcuma plus® sebagai
penambah nafsu makan, karena kadar rifampisin di dalam darah dapat berkurang,
dan implikasinya adalah adanya penurunan bioavailabilitas dan akhirnya efek
terapi tidak tercapai secara optimum.
28
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian syrup Curcuma plus®
dosis tunggal 2,7 mL/kg BB satu jam sebelum pemberian rifampisin dapat
meningkatkan volume distribusi rifampisin sebesar 225,80% dan ini
mengakibatkan turunnya Cmaks sebesar 72,81% dan AUC0-inf sebesar 63,93%,
sedangkan praperlakuan sekali sehari selama 7 hari dapat menyebabkan
peningkatan klirens total rifampisin sebesar 225,60% dan ini mengakibatkan
terjadinya penuruan AUC0-inf sebesar 76,94%. Pemberian syrup Curcuma Plus®
bersamaan dengan rifampisin dapat menurunkan bioavailabilitas rifampisin,
sehingga dapat mengurangi efektivitas antimikroba tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
Dengan mengetahui jumlah relatif obat yang diabsorpsi dan kecepatan
obat berada dalam sirkulasi sistemik, dapat diperkirakan tercapai tidaknya efek
terapi yang dikehendaki menurut formulasinya. Dengan demikian, bioavailabilitas
dapat digunakan untuk mengetahui faktor formulasi yang dapat mempengaruhi
efektivitas obat. Beberapa manfaat studi bioavailabilitas yang berkaitan dengan
mutu produk obat yaitu :
1) Bagi apoteker dalam bidang penelitian kefarmasian, bioavailabilitas
merupakan uji yang penting dalam penelitian peningkatan mutu obat
2) Bagi dokter dan apoteker di apotek, bioavailabilitas merupakan
pertimbangan kritis yang digunakan untuk pemilihan obat yang bermutu
baik.
29
DAFTAR PUSTAKA
Ringoringo, v., Bioavailabilitas obat., cermin dunia kedokteran, artikel., Portal
kalbe., 1985.
Shargel L., Wu-Pong., S., Apllied Biopharmacheutical & Pharmacokinetik ed V.,
mc graw-hill’s acces pharmacy, 2004
Syukri Y., Uji Sukmawati., Disintegrasi Dan Disolusi Tablet Furosemida Dari
Berbagai Produk Generik Dan Produk Paten Yang Beredar. FMIFA
Universitas Islam Indonesia.xxxx
Wahyono D., Arief Rahman Hakim dan Purwantiningsih., Pengaruh pemberian
syrup curcuma plus ® terhadap farmakokinetik rifampisin pada tikus.
Bagian Farmakologi & Farmasi Klinik FakultasFarmasi UGM
Yogyakarta.xxxx
30
31