makalah askep gerontik 2.docx
-
Upload
ruhil-iswara -
Category
Documents
-
view
180 -
download
10
description
Transcript of makalah askep gerontik 2.docx
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu ciri kependudukan abad 21 ialah meningkatnya
pertumbuhan penduduk lansia yang sangat cepat. Pada tahun 2000 jumlah
penduduk lansia di seluruh dunia mencapat 426 juta atau sekitar 6,8% total
populasi. Jumlah ini diperkirakan akan mencapai dua kali lipat
peningkatan pada tahun 2025 dimana terdapat 828 lansia yan menempati
97% populasi. (Bustan, 2007)
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik BPS pada 2007, jumlah lansia
di indonesia mencapai 18,96 juta orang.
Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia
termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak
di dunia yakni mencapai 18,1 juta jiwa pada 2010 atau 9,6 persen dari
jumlah penduduk. Karena itu, Kementerian Kesehatan akan menambah
jumlah puskesmas yang santun bagi lanjut usia karena bertambahnya
jumlah penduduk lansia akibat meningkatnya umur harapan hidup
menyebabkan pelayanan kesehatan yang ramah bagi kelompok tersebut
semakin dibutuhkan.
Umur Harapan Hidup (UHH) manusia Indonesia semakin meningkat
dimana pada RPJMN Kemkes tahun 2014 diharapkan terjadi peningkatan
UHH dari 70,6 tahun pada 2010 menjadi 72 tahun pada 2014 yang akan
menyebabkan terjadinya perubahan struktur usia penduduk.
Menurut proyeksi Bappenas jumlah penduduk lansia 60 tahun atau
lebih akan meningkat dari 18.1 juta pada 2010 menjadi dua kali lipat (36
juta) pada 2025.
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan pola penyakit
pada lansia yang terbanyak adalah gangguan sendi kemudian diikuti oleh
1
hipertensi, katarak, stroke, gangguan mental emosional, penyakit jantung
dan diabetes mellitus.
Riskesdas 2007 juga menunjukkan penyebab kematian pada umur 65
tahun ke atas pada laki-laki adalah stroke (20,6 persen), penyakit saluran
nafas bawah kronik (10,5 persen), Tuberkulosis Paru (TB) (8,9 persen),
hipertensi (7,7 persen), NEC (7,0 persen), penyakit jantung iskemik (6,9
persen), penyakit jantung lain (5,9 persen), diabetes mellitus (4,9 persen),
penyakit hati (4,4 persen) dan pnemonia (3,8 persen).
Sementara pada perempuan penyebab kematian terbanyak adalah
stroke (24,4 persen), hipertensi (11,2 persen), NEC (9,6 persen), penyakit
saluran pernafasan bawah kronik (6,6 persen), diabetes mellitus (6,0
persen), penyakit jantung iskemik (6,0 persen), penyakit jantung lain
(5,9persen), TB (5,6 persen), pnemonia (3,0 persen) dan penyakit hati (2,2
persen).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia Kantor Asia Selatan dan Asia
Tenggara (WHO SEARO / WHO South East Regiunal Office) di New
Delhi, batasan usia lanjut untuk indonesia sampai saat ini yaitu 60 tahun ke
atas (Czeresna, 2000).
Menurut Undang-Undang nomor 4 tahun 1965 yang termuat dalam
pasal 1 dinyatakan bahwa seseorang dikatakan lansia setelah mencapai
umur 50 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah
sendiri untuk keperluan hidupnya sehati-hari dan menerima nafkah dari
orang lain (Wahyudi, 1995). Penggolongan lansia menurut Depkes dikutip
dari Azis (1994) menjadi tiga kelompok yakni a) Kelompok lansia dini (55
– 64 tahun) merupakan kelompok yang baru memasuki lansia, b)
Kelompok lansia (65 tahun ke atas) Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu
lansia yang berusia lebih dari 70 tahun.
Dari beberapa pengertian tersebut bisa disimpulkan bahwa yang
disebut lansia adalah seorag yang telah berumur 60 tahun ke atas. Dimana
pada usia ini mengalami perubahan fisik, mental, sosial, dan spiritual.
2
Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15-30 %
usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang di rawat di
rumah sakit mengalami inkntinensia urin, dan kemungkinan bertambah
berat 20-30% saat berumur 65-74 tahun dan angka kejadian pada wanita
dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan pria (Appleby, 1995)
Pada masa lansia umunya timbul kondisi fisik penurunan jumlah sel-
sel otak disertai penurunan fungsi indra pedengaran, penglihatan,
pembauan yang sering menimbulkan keterasingan bagi lansia. Ulit juga
mengalami perubahan karena penurunan lemak di bawah kulit yang
menyebabkan hilangnya kekuatan otot dan masa tulang sehingga terjadi
gerakan menjadi lambat. Perubahan lain yang menonjol pada lansia yaitu
terjadinya inkontinensia urin karena penurunan kekuatan otot dasar
panggul (Hudak & Carloyn, 1997).
Inkontinensia urin adalah pelepasan urin secara tidak terkontrol dalam
jumlah yang cukup banyak, sehingga dianggap sebagai kondisi yang di
sebabkan karena usia (Setyono, 2001). Sensasi berkemih timbul pada saat
volume kandung kemih mencapai 300 - 600 ml dan frekuensi berkemih
yang normal adalah tiap 3 jam sekali atau tak lebih 8 kali sehari (Ganong
W, 2003).
Ini semua dalam kondisi fisiologis, yang berpengaruh pada lansia
biasanya terjadi penurunan kemampuan berkemih. Pada lansia terjadi
proses menua yang berdampak pada perubahan hampir di seluruh organ,
termasuk orang berkemih. Perubahan di antaranya adalah melemahnya
otot dasar panggul yang menjaga kandung kemih dan pintu saluran kemih,
yang menimbulkan rangsangan berkemih sebelum waktunya dan
meningglkan sisa (Setiati, 2000)
Salah satu penatalaksanaan inkontinensia urin secara non
farmakologis bisa dilakukan dengan latihan otot dasar panggul atau latihan
kegel, agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan uretra dapat tertutup
dengan baik. Terapi farmakologi diberikan apabila terapi non farmakologi
tidak dapat menyelesaikan masalah inkontinensia urin (Setiati, 2001).
3
B. Tujuan Penulisan
Tujuan Umum :
Mahasiswa dapat memahami konsep dan asuhan keperawatan pada lansia
dengan inkontinesia urin
Tujuan Khusus :
1. Mahasiswa mampu memahai dan menjelaskan perubahan anatomi dan
fisiologi sistem eliminasi pada lansia.
2. Mahasiswa mampu mengetahui gangguan eliminasi yang timbul pada
lansia.
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan konsep dasar
inkontinensia urine dari pengertian, etiologi, klasifikasi, patofisiologi,
pemeriksaan diagnostik dan penatalaksanaan.
4. memahami dan menjelaskan menjelaskan tentang asuhan keperawatan
pada lansia dengan inkontenensia urin.
5. memahami dan menjelaskan mengaplikasikan asuhan keperawatan
pada lansia dengan inkontenensia urin.
C. Ruang Lingkup
Dalam makalah keperawatan gerontik ini kami membahas tentang
asuhan keperawatan pada lansia dengan inkontenensia urin.
D. Metode Penulisan
Penulisan dalam menyusun makalah ini penulis menggunakan
metode deskriftif yaitu memaparkan atau mendeskripsikan tentang
bagaimana asuhan keperawatan pada lansia dengan inkontenensia urin dan
dengan studi kepustakaan serta artikel dan jurnal yang kami dapatkan dari
internet.
E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan makalah ini terdiri dari 4 BAB, yaitu :
4
BAB I : Pendahuluan, Latar belakang, Ruang Lingkup, Tujuan
Penulisan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan
BAB II : Tinjauan Teoritis, yang membahas tentang perubahan Anatomi
Fisiologi, Gangguan Eliminiasi pada lansia,
BAB III : Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan Inkontenensia Urin
BAB IV : Penutup yang berisikan saran dan kesimpulan
Daftar Pustaka
5
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Perubahan Anatomi Fisiologi
Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh
baik yang berupa urine maupun fekal (Tarwoto dan Wartonah, 2010).
Proses penuaan berdampak pada perubahan-perubahan dihampir semua
organ tubuh termasuk pada organ berkemih yang mengakibatkan orang usia
lanjut lebih mudah mengalami gangguan di semua sistem tubuhnya salah
satunya pada sistem eliminasi. Gangguan sistem eliminasi terbagi atas
gangguan eliminasi urin dan gangguan eliminasi fekal. Gangguan eliminasi
urin melibatkan organ tubuh yaitu ginjal, sedangkan gangguan pada fekal
terjadi akibat dari terganggunya sistem pencernaan yang akan mengganggu
dalam proses eliminasi.
1. Penuaan pada sistem Renal Dan Urinaria
Penuaan mempengaruhi sistem renal dan urinaria dalam berbagai
cara. Pada lansia yang sehat, perubahan terkait usia tidak terlihat jelas
karena ginjal tetap mampu untuk memunuhi kebutuhan normal. Namun,
pada saat stress, seperti saat kebutuhan fisiologis secara tidak normal
sangat tinggi atau ketika terserang penyakit, penuaan pada sistem renal
sangat rentan.
Namun, sistem urinaria berbeda. walaupun proses penuaan tidak
langsung menyebabkan masalah inkontinensia, kondisi yang sering terjadi
pada lansia yang di kombinasikan dengan perubahan terkait usia dalam
sistem urinaria dapat memicu terjadinya inkontinensia. (Stanley dan
Patricia,2006)
a. Struktur dan Fungsi Sistem Renal dan Urinaria
Sistem renal dan urinaria terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemih,
dan uretra. Ureter, kandung kemih, dan uretra terutama sebagai sistem
penyimpanan dan transportasi untuk pengeluaran urine dari dalam
tubuh ketika telah dibentuk oleh ginjal. Ginjal secara fisiologis lebih
6
kompleks dan secara vital terlibat dalam penampilan fungsi
hemoestatis yang sangat penting. Fungsi-fungsi ini bermaksud
mengeluarkan sampah yang di produksi dari tubuh; mengatur cairan
dan elektrolit; mempertahankan keseimbangan asam-basa;
memproduksi renin, prostaglandin, dan eritropoietin; memetabolisme
vitamin D ke dalam bentuk aktifnya; dan mendegradasi insulin. Sistem
urinaria memberikan dua fungsi yang sangat kritis, yaitu penyimpanan
pasif dan pengeluaran aktif urine. (Stanley dan Patricia, 2006)
b. Perubahan terkait usia pada sistem renal
Unit fungsional dari ginjal adalah nefron. Pada dewasa muda,
terdapat kurang lebih 2 juta nefron pada korteks bagian luar dan bagian
dalam medulla ginjal. Pada masa dewasa lanjut, jumlah ini sudah
berkurang setengahnya. Selain itu, nefron yang tersedia memiliki lebih
banyak ketidaknormalan dari pada yang ditemukan pada dewasa muda.
Walaupun perubahan-perubahan ini tampak dramatis, kenyataan
bahwa individu yang sehat mampu untuk menyumbangkan sebuah
ginjal tanpa konsekuensi serius memberikan dasar perbandingan untuk
kehilangan nefron yang normal pada lansia. (Stanley dan Patricia,
2006)
c. Perubahan terkait usia pada sistem urinaria
Penyimpanan dan pengeluaran urine dalam interval yang sesuai
adalah suatu proses koordinasi volunteer dan involunter yang rumit.
Kandung kemih diisi dengan urine yang dikeluarkan dari ureter dengan
kecepatan 2 ml/menit. Otot kandung kemih relaksasi untuk
mengakomodasi peningkatan volume ketika sfingter external dasar
punggul konstriksi sehingga kebocoran tidak terjadi.
Perubahan yang pada umumnya menyertai penuaan, termasuk
kapasitas kandung kemih yang lebih kecil. Peningkatan volume residu
dan kontraksi kandung kemih yang tidak disadari. Pada wanita lansia,
penurunan produksi estrogen menyebabkan atrofi jaringan uretra.
7
Pada pria lansia, hipertrofi prostat menyebabkan tekanan pada leher
kandung kemih dan uretra. (Stanley dan Patricia, 2006)
d. Perubahan normal pada sistem renal dan urinaria akibat penuaan
(Stanley dan Patricia, 2006)
1) Penebalan dasar membrane
2) Penurunan area permukaan glomerular
3) Penurunan panjang dan volume tubulus proksimal
4) Penurunan aliran vascular
5) Penurunan kapasitas kandung kemih
6) Peningkatan volume residu
7) Atrofi pada kandung kemih secara umum
8) Peningkatan kontraksi kandung kemih yang tidak di sadari
B. Gangguan Eliminasi Pada Lansia
1. Inkontensia urin
a. Pengertian
Inkontinensia urin adalah salah satu keluhan utama pada penderita
lanjut usia. Seperti halnya dengan keluhan pada suatu penyakit, bukan
merupakan diagnosis, sehingga perlu dicari penyebebnya (Brocklehurst
Fillit dkk,2010).
Inkontenensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih
yang tidak terkendalikan atau terjadi di luar keinginan (Brunner&Sudart,
2002)
Inkontinesia adalah berkemih diluar kesadaran pada waktu dan
tempat yang tidak tepat serta menyebabkan masalah kebersihan atau
sosial (Maryam,2008).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang
tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa
memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah
sosial dan higienis pendeitanya (FKUI, 2006).
8
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa inkotinesia Urine
(IU) adalah pengeluaran urien involunter (tidak disadari) dalam jumlah
yang cukup dan sangat menyebabkan masalah bagi lansia.
b. Klasifikasi
Menurut Maryam (2008) Inkontenensia urine diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu:
1. Inkontenensia urine akut
Penanganan IU akut pada usia lanjut berbeda tergantung kondisi yang
dialami pasien. Penyebab IU akut antara lain terkait dengan gangguan
di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin
meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. IU
akut juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai
sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang
harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan
yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat
diuretika seperti kafein. Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi
faktor penyebab produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi
medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan
oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk
mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau
menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah
psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi
nonfarmakologik atau farmakologik yang tepat.
2. Inkontenensia urine persisten
Menurut Nugroho (2002) Inkontinensia yang persisten atau
kronik/menetap dapat dibagi menjadi empat tipe :
a) Tipe stress
Inkontinensia tipe stres ditandai dengan keluarnya urin
diluar pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah sedikit akibat
9
peningkatan tekanan intra-abdominal. Misalnya saat bersin, tertawa
atau olahraga. Inkontinensia ini banyak terdapat pada wanita lanjut
usia. Kadang terjadinya tidak terlalu sering, dan urin yang keluar
hanya sedikit dan tidak berpengaruh kepada kualitas kehidupan
penderita serta tidak membutuhkan pengobatan khusus. Tetapi juga
dapat sedemikian banyak dan menggangu, sampai dibutuhkan
tindakan pembedahan untuk mengatasinya. Seperti sudah
disinggung diatas, peristiwa seperti ini seringkali berkenaan dengan
kelemahan jaringan sekitar muara kandung kemih dan uretra.
Hilangnya pengaruh estrogen dan sering melahirkan disertai
dengan tindakan pembedahan merupakan salah satu faktor
predisposisi. Obesitas dan batuk kronik juga sering memegang
peranan. (Nugroho, 2002)
Inkontinensia tipe stres jarang pada pria. Dapat terjadi setelah
mengalami operasi lewat uretra (trans-uretral) atau misalnya akibat
terapi radiasi yang merusak struktur jaringan dari spingter (Fillit,
2010).
b) Tipe urgensi
Inkontinensia tipe urgensi ditanfai dengan pengeluaran urin
diluar pengaturan berkemih yang normal, biasanya dengan jumlah
banyak karena ketidakmampuan menunda berkemih, begitu sensasi
penuhnya kandung kemih diterima oleh pusat yang mengtur proses
berkemih terdapat gangguan pengaturan rangsangan dan instabilitas
dari otot-otot destrusor kandung kemih. Inkontinensia ini terdapat
pada gangguann sistem saraf pusat misalnya pada struk, demensia,
sindrom parkinson dan kerusakan mredula spinalis.
Gangguan lokal dari saluran urogenital misalnya sistitis,
batu dan diveretikulum dari kandung kemih juga dapat
mencetuskan inkontinensia tipe urgensi.
c) Tipe luapan
10
Inkontinensia tipe luapan (over flow) ditandai dengan
kebocoran atau keluarnya urin, biasanya dalam jumlah sedikit,
karena desakan mekanik akibat kandung kemih yang sudah sangat
teregang. Penyebab umum dari inkontinensia ini adalah antara
lain :
1) Sumbatan akibat kelenjar prostat yang membesar atau adanya
kistokel, dan penyempitan dari jalan keluarnya urin.
2) Gangguan kontraksi kandung kemih akibat gangguan dari
persarafan misalnya pada penyakit diabetes militus.
d) Tipe fungsional
Inkontinensia tipe fungsional ditandai dengan keluarnya
urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai tempat
berkemih karena gangguan fisik atau kognitf maupun macam-
macam hambatan situasi/linkungan yang lain, sebelumnya siap
untuk berkemih. Faktor-faktor psikologik seperti marah-marah,
depresi juga dapat menyebabkan inkontinensia tipe ini.
Macam-macam tipe dari inkontinensia tipe ini dapat terjadi
pada satu penderita secara bersamaan, sehingga membawa dampak
juga pada strategi pengelolahannya.
c. Etiologi
Nugroho (2002) berpendapat bahwa yang merupakan etiologi
inkontinensia urine adalah :
1. Melemahnya otot dasar panggul yang menyangga kandung kemih dan
memperkuat sfingter uretra.
2. Kontarksi abnormal pada kantung kemih
3. Obat diuretik yang mengakibatkan sering berkemih dan obat penenang
terlalu banyak.
4. Radang kantung kemih
5. Radang saluran kemih
6. Kelainan control pada kantung kemih
11
7. Kelainan persyarafan pada kantong kemih.
8. Akibat adanya prostat
9. Faktor psikologis.
d. Patofisiologi
Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase. Pada keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urine, walaupun kandung kemih penuh atau tekanan intra-abdomen meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-loncat atau kencing dan peningkatan isi kandung kemih memperbesar keinginan ini. Pada keadaan normal, dalam hal demikian pun tidak terjadi kebocoran di luar kesadaran. Pada fase pengosongan, isi seluruh kandung kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat mempercepat atau memperlambat miksi menurut kehendaknya secara sadar, tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing. Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian otot kandung kemih tetap kendor sehingga meskipun volume kandung kemih meningkat, tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan tegang. Dengan demikian maka uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung kemih meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi pengendoran mekanisme penutup di dalam uretra. Uretra membuka dan urine memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-otot kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase pengeluaran. Pada kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter (refluks). (FKUI, 2006)
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah control volunter dan disuplai oleh saraf pudenda, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem safar otonom,yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisanmukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih berlangsung. otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas
12
beberapa lapisan kandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor,saraf pelvis, medula spinalis dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketikakandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusar saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut,rasa penggebungan kandung kemih disadari, dan pusat kortikal (pada lobusfrontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikaldan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin. Komponen penting dalam mekanisme sfingter adalah hubungan urethra dengan kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan agulasi yang tepat antara urethra dan kandung kemih.Fungsi sfingter urethra normal juga tergantung pada posisi yang tepat dari urethra sehiingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif ditrasmisikan ke uretre. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen. Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat dimedula spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inversisomatik pada otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih. Proses reflek ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum. Pada usia lanjut biasanya ada beberapa jenis inkontinensia urin yaitu ada inkontinensia urin tipe stress, inkontinensia tipe urgensi, tipe fungsional dan tipe overflow. (FKUI, 2006)
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain : melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang
13
salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urine berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. (FKUI, 2006)
Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi
akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca
melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang
aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama
kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena
ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat
otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan
penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko
terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon
estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi
penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra),
sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang
lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan
lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua
seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine,
karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.
(FKUI, 2006)
e. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji
untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan
poliuria.
14
2. Catatan berkemih (voiding record).
Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih.
Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat
mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, dan gejala
berkaitan dengan inkontinensia urin. Pencatatan pola berkemih
tersebut dilakukan selama 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan
untuk memantau respon terapi dan juga dapat dipakai sebagai
intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor-faktor
yang memicu terjadinya inkontinensia urin pada dirinya.
f. Penatalaksanaan
Martono (2010) berpendapat bahwa penatalaksanaan pada inkontinensia
urine diantaranya adalah :
1. Kartu catat berkemih
Kartu catat berkemih merupakan kartu yang dapat digunakan oleh usia
lanjut yang mempunyai masalah inkontinensia urin. Pada kartu ini
akan dicatat waktu dan urin yang keluar, baik yang keluar secara
normal maupun yang keluar karena tak tertahankan . selain itu juga
akan dicatat waktu, jumlah, jenis minuman yang diminum. Pencatatan
pemasukan dan pengeluaran cairan ini dilakukan setiap saat sepanjang
hari selama tiga hari berturut-turut. Tujuan pencatatan ini adalah agar
diketahui pola berkemih dan dapat diduga tipe inkontinensia urinnya.
Dengan diketahui tipe inkontinensia urin yang diderita, masalah ini
dapat dikelolah dengan baik dan benar.
2. Terapi non farmakologi.
Terapi nonfarmakologi dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang
mendasari timbulnya inkontinensia urin. Beberapa terapi yang
digunakan adalah:
a. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang waktu kemih)
dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekuensi barkemih
15
6-7 kali per hari. Pasien dapat menahan keinginan/ sensasi untuk
berkemiah bila belum waktunya. Pasien diinstruksikan untuk
berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,
selanjutnya interval berkemih diperpanjang secara bertahap sampai
pasien ingin berkemih setiap 2-3 jam. Teknik latihan ini
memerlukan motivasi yang kuat dari pihak pasien.
b. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan
sesuai dengan kebiasaan pasien. Teknik ini membutuhkan
keterlibatan petugas kesehatan dan atau pengasuh pasien.
c. Prompted voiding dilakukan dengan cara mengajari pasien
mengenali kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan
petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini
digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi berfikir.
d. Melakukan latihan otot dasar panggul, dengan berkontraksi
berulang-ulang otot dasar panggul.hal ini dimaksutkan agar otot
dasar panggul menjadi lebih kuat dan uretra dapat tertutup dengan
baik sebelum pasien menjalani latihan,harus dilakukan lebih dahulu
pemeriksaan lubang kemaluan (perempuan) atau rectum untuk
menetapkan apakah mereka dapat mengkontreksikan otot dasar
punggungnya.
e. Pasien dengan trauma mandula spinalis, strok, atau demensi
memerlukan pemasangan kateter jangka panjang atau selamanya.
Terapi nonfarmakologi ini harus disertai dengan evaluasi fisik dan
lingkungan sosial pasien seperti kemudahan mencapai toilet,
pakaian dalam atau celana yang mudah dibuka , system bel untuk
memanggil pengasuh/petugas kesehatan yang mudah dijangkau
usia lanjut, dan sebagainya.
3. Terapi farmakologi
Terapi dengan menggunakan obat-obatan dapat dilakukan bila
terapi non farmakologi tidak dapat menyelesaikan masalah
16
inkontinesia urin. Obat-obatan yang dapat diberikan adalah
antikolinerik (relaksasi kandung kemih) yang dapat diberikan pada
inkontinensia urogensi dan agonis alfa yang dapat diberikan pada
inkontinensia stress.
4. Terapi pembedahan
Terapi pembedahan dapat dipertimbangkan pada inkontinensia
tipe stress tipe campuran stress dan urgensi, bila terapi
nonfarmakologi dan farmakologi tidak berhasil. Inkontinensia urin
tipe overflow umumnya memerlukan tidakan pembedahan karena
pada tipe overflow disebabkan oleh adanya sumbatan, sehingga harus
dilakukan tindakan pembedahan untuk memperbaiki aliran dan
menghilangkan retensi urin.
Tindakan operatif sangat membutuhkan informed consent yang
cermat dan baik pada penderita dan keluarganya karena angka
kegagalan maupun rekurensi tindakan ini tetap ada.
5. Modelitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medic yang
menyebabkan inkontinensia urin ini, dapat pula digunakan beberapa
alat bantu yang dapat digunakan oleh usia lanjut yang mengalami
inkontinensia urin. Diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat
bantu toilet (seperti urinal, dan bedpan).
a. Pampers
Pampers dapat digunakan baik pada kondisi akut maupun pada
kondisi dimana pengobatan sudah tedak berhasil mengatasi
inkontinensia urin. Namun demikian, pemasangan pampers juga
dapat menimbulkan masalah seperti timbul luka lecet bila jumlah
air seni berlebihan daya tempung pampers sehingga air seni keluar
17
dan akibatnya kulit dalam pampers terus menerus lembab,
sementara pasien tidak dapat bergerak karena penyakitnya.
b. Kateter
Kateter menetap (indwelling cathether) tidak diajurkan untuk
digunakan secara rutin karena dapat terjadi infeksi saluran kemih,
pembentukan batu, abses, dan kebocoran.
Kateter menetap dipasangi bila:
1) Terdapat inkontinensia overflow, infeksi somatic atau gangguan
fungsi ginjal akibat retensi urin
2) Retensi urin yang tidak dapat dikoreksi secara pembedahan atau
obat-obatan.
3) Retensi urin tidak dapat diatasi dengan kateterisasi intermitan.
4) Luka dikubitus atau iritasi yang terkontaminasi oleh
inkontinensia urin.
5) Perawatan pasien dengan penyakit terminal yang mengalami
kesulitan menggenti pakaian/celana.
Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan
alat yang secara rutin digunakan intuk mengosongkan kandung
kemih. Teknik ini digunakan pada pesien yang tidak dapat
mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko
untuk terjadinya infeksi saluran kemih.
c. Alat bantu toilet
Alat bantu toilet, seperti urinal, kondom dan bedpen dapat
digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak mampu bergerak atau
menjalani tirah baring. Alat-alat bantu tersebut akan menolong
akan menolong mereka terhindar dari jatuh dan akan membantu
memberikan kemandirian pada usia lanjut dalam menggunakan
toilet.
Urinal umumnya digunakan oleh laki-laki, tetapi ada pula
jenis tertentu yang dapat digunakan oleh wanita. Dalam
18
penggunaan urinal ini diperlukan adanya motivasi agar dapat
menggunakan urinal sendiri dan bila tidak mampu baru dibantu.
Kondom merupakan alat bantu berupa kersi yang berlubang
dialas duduknya, dibawah lubang tersebut terdapat pen tempat
menampung air seni dan/atau tinja. Komdam adalah alat bantu
yang baik untuk pasien yang tidak mampu pergi ke toilet tetapi dap
bangun dari tempat tidur.
Bedpen digunakan untuk seseorang yang tidak dapat
bangun dari tempat tidur. Alat ini diselipkan dibawah bokong pada
saat pasien akan berkemih. Pasien diminta atau dibantu untuk
menggkat bagian tubuh bawahnya termasuk bokongnya dan
kemudian bedpan diletakan dibawah bokong.
Frackture Bedpan Bedpan Female Urinal
Male Urinal Kondom Kateter
Gambbar 2.1. Alat Bantu Toilet
19
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN
GANGGUAN SISTEM ELIMINASI
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi
pada lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi
tidak menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.
2. Riwayat Kesehatana. Alasan kunjungan/keluhan utama :
Klien datang dengan keluarganya ke RS dengan keluhan ingin BAK terus-menerus dan tidak bisa ditahan sampai ke toilet.
b. Riwayat kesehatan sekarangKlien mengatakan kencingnya lebih dari 10 kali dalam sehari.
Klien juga mengatakan dia tidak bisa menahan kencingnya, karena dia tidak sempat lagi untuk sampai toilet. Klien mengaku dia mengurangi minum agar tidak mengompol lagi. Klien mengatakan sering menahan haus. Klien mengatakan lecet-lecet pada kulitnya. Klien mengatakan malu apabila keluar rumah, karena mengompol dan bau air kencingnya yang menyengat. sehingga hanya diam dirumah.
c. Riwayat kesehatan duluKlien mengatakan tidak pernah mengalami penyakit yang sama
sebelumya. Klien mengatakan pernah dirawat di RS dan dipasang kateter. d. Riwayat penyakit keluarga
Klien mengatakan keluarganya tidak pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya dan tidak ada penyakit keturunan.
20
3. Pemeriksaan fisika. Keadaan umum : Klien tampak lemas, dan gelisahb. Tanda-Tanda Vital : TD : 160/90 mmHg
N : 90x/mntRR : 18x/mntS : 370C
c. Integumen :1) Kulit kering dan keriput2) Terdapat luka tekan (dekubitus)
d. KepalaSimetris dan tidak ada benjolan, warna rambut putih, distribusi rambut merata
e. MataKonjungtiva normalPupil : an isokor
f. TelingaBersih, tidak ada serumen
g. Mulut dan gigiMulut kering, air liur mudah mengentalBibir pecah-pecah
h. LeherTidak ada pembesaran kelenjar tyroid atau pembesaran limpa nodi
i. KardiovaskulerPeningkatan TD
j. AbdomenBising usus (+), Pulsasi, nyeri tekan abdomen
k. PerkemihanInkontinensia urine, BAK .> 10 kali, Lebih dari 1500-1600 ml dalam 24 jamNyeri saat mengeluarkan urine
l. GenetaliaKelemahan otot vagina dan uterus
m. EkstremitasKelemahan
n. System endokrinPenurunan produksi hormon estrogen
4. Pengkajian psikososiala. Murungb. Mudah tersinggung
21
c. Mudah marahd. Depresie. Dimensiaf. Isolasi socialg. Perubahan peran
5. Pengkajian lingkungana. Kondisi rumah :
Penerangan : penerangan baik, pada siang hari ada cahaya dari ventilasi rumah
Lantai : lantai tidak licin, keadaan rumah datarTata ruang : Tata ruang tidak sering diubah, kamar mandi jauh, didekat
dapur, peralatan yang diperlukan tidak jauh dari jangkauan
6. Pengkajian skala resiko (Skala Norton)
skor skor
Keadaan umum:BaikLumayanBurukSangat buruk
4321
Aktivitas :AmbulanAmbulan dengan bantuanHanya bisa dudukTiduran
4321
Kesadaran :Kompos mentisApatisStruporKoma
4321
Inkontinensia :TidakKadang-kadangSeringAlvi dan urine
4321
Mobilitas:Bergerak bebasSedikit tebatasSangat terbatasTidak bisa bergerak
4321
SKOR TOTAL
Nilai < 12 : RESIKO TINGGINilai <16 : BERESIKO
7. Pengkajian status kognitif / afektif (status mental)Pengkajian status mental gerontik
22
Identifikasi tingkat kerusakan intelektual dengan menggunakan Short Portable Mental Status Questioner (SPMSQ)
BENAR SALAH NO PERTANYAAN
01 Tgl berapa hari ini?
02 Hari apa sekarang ini?
03 Apa nama tempat ini?
04 Dimana alamat anda?
05 Berapa umur anda?
06 Kapan anda lahir?
07 Siapa presiden Indonesia sekarang?
08 Siapa presiden Indonesia sebelumya?
09 Siapa nama ibu anda?
10 20-3, 10-3, 5-3
Jumlah : Jumlah :
Pengkajian keseimbangan untuk klien lansiaPengkajian posisi/gerakan keseimbangan
Bangun dari kursiTidak bangun dari duduk dengan satu kali gerakan, tetapi mendorong tubuhnya keatas dengan tangan, tidak stabil pada saat berdiri pertama sekali. (1)
Duduk ke kursiMenjatuhkan diri ke kursi, tidak duduk ketengah kursi (1)
Menahan dorongan pada sternum (pemeriksa mendorong sternum perlakan-lahan sebanyak 3 kali
Klien memegang objek untuk dukungan (1)
Mata tertutupKlien menggerakkan kaki dan memegang objek untuk dukungan. (1)
Perputaran leherMenggenggam objek untuk dukungan, pusing/keadaan tidak stabil.(1)
Gerakan menggapai sesuatuTidak stabil (1)
MembungkukMemegang objek untuk bisa berdiri lagi (1)
Komponen gaya berjalan/gerakanMinta klien untuk berjalan kearah yang ditentukan
23
Klien ragu-ragu (1)Ketinggian langkah kakiKaki tidak naik dari lantai secara konsisten.(1)
8.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Inkontinensia urin merupakan masalah yang sering dijumpai pada
pasien usia lanjut dan orang tua usia lanjut yang dapat mengakibatkam
timbulnya masalah lain yang lebih serius infeksi saluran kemih, dekubitus
dan fraktur, serta depresi dan rasa terisolasi. Untuk dapat melakukan
pengelolaan dan penanganan yang baik terhadap masalah inkontinensia
urin ini harus diketahui dahulu penyebab tembulnya inkontinensia yang
diderita.dengan anamensia dan pemeriksaan fisik yang baik, ditambah
dengan pengisian kartu catatan berkemih oleh pasien dapat ditetepkan
diagnosis inkontinensiaurin sehingga dapat diketahuipengelolaan dan
penatalaksanaanyang diperlukan pemeriksaan canggih seperti urodynamic
study dapat dilakukan bila diperlukan.terapi yang dapat diberikan pada
24
pengelolah inkontinensia urinini dapat berupa terapi farmakologis, non
farmakologis, maupun terapi pembedahan.
B. Saran
1. Bagi perawat yang akan memberikan asuhan keperawatan pada lansia
dengan penyakit inkontenensia urin lebih memperhatikan dan tahu
pada bagian-bagian mana saja dari asuhan keperawatan pada klien
dengn gangguan ini yang perlu ditekankan.
2. Untuk pasien semestinya harus lebih tanggap terhadap pengkajian-
pengkajian yang dilakukan perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan khususnya dalam asuhan keperawatan pada lansia dengan
inkontenensia urin, karena peningkatan penyembuhan pasien,
melakukan prosedur diagnostik, pemeriksaan-pemeriksaan dan
melakukan perawatan tindak lanjut sangat penting bagi pasien maupun
perawat.
3. Hendaknya mahasiswa keperawatan dapat menerapkan dan
membandingkan ilmu yang telah didapat di kampus berupa teori
dengan kasus di ruangan, yang nantinya mahasiswa mampu
mengaplikasikan tindakan keperawatan dengan sebaik-baiknya.
25
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC.
Fillit, Howard M., Kenneth Rockwood, Kenneth Woodhouse. 2010.
Brocklehurst's Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology.
Philadelphia : Saunders Elsevier
FKUI. 2006. Ilmu Penyakit Dalam jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Martono Hadi. 2010. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta : FKUI.
26
Maryam Siti. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Keperawatan. Jakarta : Selemba
medika.
Nugroho Wahyudi.2002. keperawatan gerontik dan geriatrik. Jakarta : EGC.
Stanley, Mickey. 2006. Buku ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta : EGC
27